Pendampingan masyarakat daerah risiko longsor di Desa Dompyong Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek.

(1)

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.)

Oleh:

Muhamad Allan EdyPutra (B02213037)

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM JURUSAN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Muhamad Allan EdyPutra, NIM. B02213037. (2017) : Pendampingan

Masyarakat Daerah Risiko Bencana Longsor Di Desa Dompyong, Kecamatan Bendungan, Kabupaten Trenggalek

Skripsi ini membahas tentang upaya pendampingan masyarakat risiko bencana dalam menghadapi kebencanaan khususnya bencana tanah longsor. Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana longsor, memahami titik-titik rawan bencana longsor, serta mengetahui penyebab bencana longsor yang pernah terjadi beberapa tahun silam di wilayah Desa Dompyong, Kecamatan Bendungan, Kabupaten Trenggalek.

Dalam pendampingan ini peneliti menggunakan metode penelitian sosial

Participatory Action Research (PAR). PAR terdiri dari tiga kata yang saling berhubungan satu sama lain, yakni: partisipasi, riset, dan aksi. Metode penelitian sosial ini menekankan pada proses membangkitkan kesadaran untuk melakukan perubahan di masyarakat. Peneliti bersama masyarakat berproses untuk menjadi lebih menyadari bahwa bencana merupakan bagian dari takdir Allah yang memiliki sebab-sebab.

Faktor alam dan faktor manusia menjadi penyebab dari bencana longsor, berada pada ketinggian 500-975 mdpl membuat Desa Dompyong menjadi salah satu wilayah di Trenggalek yang memiliki potensi bencana longsor yang cukup tinggi. Titik-tik rawan longsor berada di 4 Dusun yakni Dusun Bendungan, Dusun Tumpakaren, Dusun Pakel dan Dusun Garon. Tercatat bahwa 3 dusun memiliki potensi longsor di sekitar tempat tinggal masyarakat. Hanya Dusun Garon yang potensi longsornya berada di wilayah pertanian. Pertambahan jumlah penduduk di setiap tahun juga menambah besar ancaman bencana longsor karena bertambah pula jumlah pemukiman yang memaksa habisnya hutan disebabkan perluasan lahan.

Peneliti bersama Kelompok Satlinmas sebagai pelopor keamanan dan kebencanaan desa melakukan riset dan perorganisiran untuk menciptakan kemandirian dalam menghadapi bencana. Kegiatan preventif atau mitigasi bencana ini dilakukan untuk mencegah dan mempersiapkan diri untuk mengurangi risiko bencana yang mengancam setiap saat. Melalui pendidikan kebencanaan Satlinmas melakukan perubahan perilaku dan berusaha untuk turut serta dalam menjaga alam dengan menanam pohon di wilayah rawan longsor. Serta memasang rambu-rambu rawan bencana disekitar wilayah rawan bencana longsor untuk memberikan peringatan bagi masyarakat.


(7)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap berbagai jenis bencana baik yang disebabkan oleh alam, non-alam, maupun yang disebabkan oleh manusia. Setiap wilayah yang ada dibumi tidak akan pernah lepas dari potensi bencana alam seperti gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, angin puting beliung, atau letusan gunung berapi. Bencana yang terjadi sering mengakibatkan kerugian material yang cukup besar dan juga sering meminta korban jiwa. Serta menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya seperti perumahan, perindustrian, dan juga lahan perekonomian masyarakat. Selama tahun 2015 telah terjadi 1.681 kejadian bencana yang menyebabkan 259 orang tewas, 1,23 juta orang mengungsi, 25.12 unit rusak (5.180 rusak berat, 3.760 rusak sedang, 16.252 rusak ringan), 498 unit fasilitas umum rusak. Bencana banjir, longsor dan puting beliung masih tetap mendominasi bencana.1

Indonesia yang sebagian wilayahnya memiliki topografi berupa pegunungan dengan derajat kemiringan yang tinggi menyebabkan bencana tanah longsor menjadi bencana yang sering terjadi di Indonesia. Dari data yang diperoleh dari BNPB tahun 2015 menunjukkan bahwa terdapat 501 kejadian tanah longsor di seluruh Indonesia. Kejadian ini mengakibatkan hilang dan meninggalnya 157 orang serta 25.924 korban menderita dan mengungsi. Adapun

1

Sutopo Purwo Nugrohi, Evaluasi Penanggulangan Bencana 2015 dan Prediksi Bencana 2016, (Jakarta : Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2016), hal. 3.


(8)

kerusakan yang diakibatkan oleh bencana longsor meliputi 508 rumah rusak berat, 299 rumah rusak sedang, 636 rumah rusak ringan, dan 286 rumah terkubur.2

Diagram 1.1

Trend Bencana Indonesia Tahun 2002-20153

Ada 2 penyebab kenaikan jumlah bencana setiap tahunnya, pertama adalah perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Ada hubungan hilangnya zona penyangga alami dan ketidakstabilan lereng dengan peningkatan suhu global. Penyebab kedua adalah pola pemukiman manusia yang terus meningkat di wilayah yang rentan bencana.4 Longsor terjadi karena proses alami dalam perubahan struktur muka bumi, yakni adanya gangguan kestabilan pada tanah atau batuan penyusun lereng. Gangguan kestabilan lereng ini dipengaruhi oleh kondisi 2

Sutopo Purwo Nugrohi, Evaluasi Penanggulangan Bencana 2015 dan Prediksi Bencana 2016, hal. 2.

3

Ibid, hal. 2.

4

Alifa Nur Fitri, Pengaruh Intensistas Komunikasi Tim Siaga Bencana, Terpaan Pemberitaan Bencana dan Tingkat SES Masyarakat Terhadap Perilaku Tanggap Bencana dalam Program Mitigasi Bencana Tanah Longsor Di Banjarnegara, Dalam Jurnal Penanggulangan Bencana,Vol.06, No. 02, November 2015. hal, 32.


(9)

geomorfologi terutama faktor kemiringan lereng, kondisi batuan ataupun tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Meskipun longsor merupakan gejala fisik alami, namun beberapa hasil aktifitas manusia yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam juga dapat menjadi faktor penyebab ketidakstabilan lereng yang dapat mengakibatkan terjadinya longsor, yaitu ketika aktifitas manusia ini beresonansi dengan kerentanan dan kondisi alam. Faktor-faktor aktifitas manusia ini antara lain pola, pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, konstruksi bangunan, kepadatan penduduk dan usaha mitigasi.5

Bencana merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Beberapa orang berpendapat bahwa bencana yang terjadi ini merupakan bagian dari takdir yang telah ditetapkan oleh Sang Mahakuasa. Seperti yang telah tertulis dalam ayat Al-Qur’an Surat Al-Hadid [57]:22 :

                                 

Artinya:“Tiada suatubencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah

mudah bagi Allah.”6

Hal inilah yang membuat kesadaran masyarakat terhadap bencana masih sangat rendah. Sehingga mereka akan pasrah dalam menghadapi datangnya bencana. Dalam menanggapi bencana tidak semua orang mampu mengatasinya 5Djoko Kirmanto, “Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor”, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, Juli 2007, 22. hal, 1.

6


(10)

karena bencana selalu datang tiba-tiba tanpa bisa diprediksi. Namun, sebenarnya bencana dapat diredam dan dikurangi risiko dan dampaknya secara berarti apabila masyarakat mau mempelajari tentang bencana. Serta masyarakat harus mempunyai informasi dan pengetahuan untuk melakukan sesuatu agar dapat mencegah terjadinya bencana maupun mengurangi dampak yang akan ditimbulkan oleh bencana. Tak lupa membangun budaya pencegahan dan ketahanan dalam menghadapi bencana.

Desa Dompyong, Kecamatan Bendungan, Kabupaten Trenggalek merupakan desa yang berada pada ketinggian 720 mdpl. Termasuk dalam wilayah pegunungan membuat Desa Dompyong masuk kedalam wilayah rawan bencana longsor. Di desa ini masyarakat pernah mengalami kejadian bencana longsor di beberapa titik di tiap dusun. Namun, yang paling diingat oleh masyarakat adalah kejadian longsor yang terjadi pada pertengahan tahun 2006. Kejadian tersebut meminta korban sebanyak 7 orang meninggal dunia. Diantaranya yakni di RT.10, 3 rumah mengalami kerusakan dan 6 orang meninggal dunia, serta 27 rumah harus direlokasi. Sedangk1an di RT.02, 2 rumah mengalami kerusakan dan 1 orang meninggal dunia.7

Pemerintah desa sebagai stakeholderdalam penanggulangan bencana telah membuat program tentang pelatihan tangguh bencana sebagai upaya pengurangan risiko bencana di Desa Dompyong. Pada bulan Mei tahun 2016, pemerintah desa telah mengundang Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Trenggalek untuk memberikan pelatihan tanggap bencana kepada kelompok Satuan Pelindung

7

Wawancara dengan masyarakat Dusun Bendungan, dalam Focus Group Disscussion (FGD) di Balai Desa Dompyong pada tanggal 17 November 2016


(11)

Masyarakat (Satlinmas).8 Adapun kegiatan yang dilakukan adalah sosialisasi tentang kebencanaan, peta rawan bencana, dan memberikan pemahaman tentang peran Satlinmas dalam penanggulangan bencana yang ada di Desa Dompyong.9 Namun, kegiatan yang telah dilakukan melalui program desa ini bersifattop-down

atau pendekatan dari atas ke bawah.

Berdasarkan prinsip pemberdayaan, masyarakat lokal dengan ancaman bencana bukanlah pihak yang tidak berdaya, apabila agenda pengurangan risiko bencana bukan lahir dari kesadaran atas kapasitas komunitas lokal serta prioritas yang dimiliki oleh komunitas maka upaya tersebut tidak mungkin berkelanjutan.10

Kegiatan sosialisasi dari BPBD Trenggalek ini hanya dilakukan dalam 1 hari tanpa adanya tindak lanjut dari kelompok Satlinmas. Selain itu, kegiatan ini hanya bersifat kuratif atau lebih mengarah pada penanggulangan bencana. Maka dari itu peneliti ingin melakukan pendampingan terhadap kelompok Satlinmas agar bersama-sama belajar dan memahami bahwa sangat diperlukan adanya kegiatan preventif atau mengarah pada pencegahan terjadinya bencana. Karena apabila masyarakat tidak memahami akan pentingnya kesadaran preventif bencana sangat dikhawatirkan akan terjadi bencana longsor yang akan meminta lebih banyak lagi korban.

8

Wawancara dengan Yateni (50 th) Kepala Dusun Pakel di kediaman pada tanggal 30 oktober 2016 9

Wawancara dengan Eko (31th) Staf Pusdalops BPBD Tenggalek di Kantor BPBD Trenggalek, pada tanggal 27 November 2016

10

Habibulah,Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas : Kampung Siaga Bencana dan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol.18, No.2, Juli 2013. hal, 135.


(12)

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka permasalahan yang akan diteliti selama proses pendampingan adalah:

1. Apa penyebab terjadinya bencana longsor di Desa Dompyong? 2. Dimana letak titik-titk rawan bencana longsor di Desa Dompyong?

3. Bagaimana usaha Satlinmas dalam kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana longsor?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memahami penyebab terjadinya bencana longsor di Desa Dompyong 2. Mengetahui letak titik-titik rawan bencana longsor di Desa Dompyong

3. Memahami cara masyarakat dalam mengurangi resiko bencana longsor di Desa Dompyong

D. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penulisan di atas maka penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dalam beberapa hal sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

a. Sebagai tambahan refrensi dan khasanah keilmuan tentang kebencanaan yang baru pertama di mahasiswa angkatan tahun 2013 program studi Pengembangan Masyarakat Islam,


(13)

b. Sebagai tugas akhir perkuliahan di Fakultas Dakwah dan Komunikasi program studi Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,

c. Sebagai sumbangsi pemikiran dan konstelasi kajian akademis untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Trenggalek.

2. Secara Praktis

a. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi awal informasi bagi penelitian sejenis,

b. Semoga penelitian ini mampu membawa dampak positif dan memberikan penyadaran bagi masyarakat Desa Dompyong dalam memahami bencana longsor dan mampu melakukan pengurangan resiko bencana secara mandiri.

E. Strategi Pemberdayaan

Sesuai dengan kegiatan pendampingan kelompok satuan perlindungan masyarakat (Satlinmas) tentang kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana, maka yang harus dilakukan adalah mengatasi masalah dengan mewujudkan harapan. Harapan yang telah dirumuskan melalui temuan masalah dapat diwujudkan dengan strategi-strategi yang direncanakan.

Satlinmas sebagai panutan yang menjadi pelopor dalam kegiatan untuk memahami masalah kebencanaan terkhusus pada masalah bencana tanah longsor yang ada di Desa Dompyong. Adapun temuan masalah, harapan, dan strategi pemberdayaan telah digambarkan di dalam tabel sebagai berikut:


(14)

Tabel 1.1.

Temuan Masalah, Harapan, dan Strategi Pemberdayaan

No Tematisasi Masalah Harapan Strategi

1 Sumber daya manusia Masyarakat belum memiliki kapasitas dalam menghadapi bencana tanah longsor Masyarakat memiki kapasitas dalam menghadapi bencana tanah longsor

1. Pendidikan tentang kebencanaan

2. Melakukan kegiatan upaya pencegahan bencana tanah longsor

2 Sumber daya kelompok Kelompok Satlinmas belum menjalankan fungsinya sebagai kelompok siaga bencana Kelompok Satlinmas dapat menjalankan fungsinya sebagai kelompok siaga bencana

1. Menginisiasi kegoatan pelatihan siaga bencana 2. Melakukan kegiatan

pelatihan kelompok siaga bencana 3 Pemerintah Desa Belum adanya kebijakan tentang pengurangan risiko bencana Terbentuknya kebijakan tentang pengurangan risiko bencana

1. Mengusulkan pembuatan kebijakan tentang

pengurangan risiko bencana

2. Melakukan advokasi dalam pembuatan kebijakan

Dari tabel di atas dapat diketahui tiga masalah yang menjadi penyebab rendahnya kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana longsor. Dari tabel tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam strategi pemberdayaan.


(15)

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika adalah salah satu pembahasan yang sangat penting dan harus ada dalam setiap penelitian. Hal ini dilakukan agar penulis mampu menghasilkan penelitian yang baik dan terarah. Serta membantu mempermudah pembaca dalam memahami secara ringkas penjelasan mengenai isi per-bab. Adapun susunan atau sistematikanya sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab pertama ini merupakan bab yang menjadi awal dari pembahasan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Bab tersebut berisikan tentang analisis awal yang menjadi alasan mengapa penulis melakukan penelitian ini. Data-data awal yang ditulis dengan berdasarkan fakta dan realita yang ada di masyarakat dalam pembahasan latar belakang. Kemudian didukung dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Serta tak lupa dengan pengenalan tentang fokus pendampingan, penelitian terdahulu dan juga sistematika pembahasan per-bab.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab kedua ini penulis membahas tentang teori-teori atau kajian yang sesuai dengan tema penelitian. Diantaranya yakni kajian tentang bencana longsor, analisis risiko bencana, dan upaya pengurangan risiko bencana. Sumber teori-teori tersebut berasal dari buku, jurnal penanggulangan bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ataupun dari Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia


(16)

(IABI), serta dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh individu berupa skripsi atau tesis. Selain itu, peneliti juga memberikan penjelasan tentang konsep pemberdayaan untuk pendampingan dalam kebencanaan. Peneliti juga membahas tentang bencana dalam pandangan islam. Serta memberikan pejelasan tentang penelitian terkait yang pernah dilakukan sebelumnya.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN RISET AKSI PARTISIPATIF

Pada pembahasan di bab ini penulis akan menyampaikan metode yang digunakan dalam melakukan pendampingan dan penelitian. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan partisipatif dengan landasan penelitian PAR (Participatory Action Research) yang mengedepankan adanya keterlibatan langsung dari masyarakat. Adapun hal-hal yang dibahas diantaranya tentang pendekatan penelitian, prosedur atau langkah-langkah penelitian, subjek penelitian dan pendampingan, teknik pengumpulan data, teknik validasi data, dan teknik analisis data.

BAB IV : KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA DOMPYONG

Bab empat dalam penelitian ini berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian dan pendampingan. Kali ini penulis akan membawa pembaca untuk mengenal lebih dekat Desa Domyong melalui penjelasan tentang profil desa secara geografis, sosial budaya, adat istiadat, kearifan lokal, dan juga keindahan panorama yang menjadi andalan untuk program Desa Wisata yang diperkenalkan oleh


(17)

pemerintah Kabupaten Trenggalek pada bulan Agustus tahun 2016. Serta tak lupa mengetahui mata pencaharian masyarakat yang ada di Desa Dompyong.

BAB V : BENCANA LONGSOR DAN PROBLEM KESIAPSIAGAAN

Peneliti dalam bab kali ini akan memberikan hasil penelitian mengenai kondisi yang ada di lapangan yakni tentang daerah rendah, sedang, dan rawan longsor berdasarkan sub-sub bahasan. Diantaranya memahami tentang kesadaran akan kondisi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Hal ini dilakukan sebagai lanjutan dari latar belakang yang disajikan dalam Bab pertama penelitian kebencanaan. Selain itu juga menjelaskan bagaimana problem yang dialami masyarakat dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana longsor. Analisis problem ini juga sangat berpengaruh pada aksi yang akan dilakukan oleh masyarakat.

BAB VI : DINAMIKA PROSES PENGORGANISIRAN

Dalam bab ini peneliti menjawab masalah berdasarkan analisis inti masalah yang telah disajikan di bab lima. Adapun pembahasan yang ada pada bab ini yakni menjelaskan tentang proses pengoeganisiran, perencanaan, hingga aksi pemberdayaan. Dalam bab ini juga akan dibahas tentang kegiatan belajar bagi masyarakat untuk melakukan perubahan melalui kesadaran berpikir tentang pentingnya memahami bencana khususnya bencana tanah longsor.


(18)

BAB VII : MITIGASI BENCANA

Bab ketujuh pada penelitian ini menyajikan hasil dari akhir upaya pendampingan serta penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga menjelaskan tentang bagaimana kegiatan mitigasi yang dilakukan melalui aksi dalam mengupayakan dalam bentuk struktural dan non struktural. Dalam bab ini dipaparkan proses aksi yang akan membawa perubahan terhadap konteks masalah yang di alami oleh subyek pemdampingan. Dengan megutamakan partisipasi langsung pihak-pihak yang terkait/terlibat. Bab ini juga menjadi penjelas dari aksi nyata yang sudah direncanakan dalam tahapan metode penelitian sosialParticipatory Action Research (PAR).

BAB VIII : SIAGAKU SOLUSIKU (CATATAN REFLEKSI)

Pada bab ini penulis membuat sebuah catatan refleksi penelitian dan pendampingan dari awal hingga akhir. Dimana dijelaskan tentang

pentingnya ilmu pemberdayaan dalam rangka melakukan

pendampingan pada lingkup kebencanaan. Serta pembahasan tentang kelebihan dan kekurangan pada proses pendampingan yang telah dilakukan dan dikaitkan dengan teori yang telah diterapkan.

BAB IX : PENUTUP

Pada bab terakhir ini peneliti membuat kesimpulan yang bertujuan untuk menjawab rumusan masalah. Pembahasan yang digunakan diambil dari data yang telah diperoleh dari kegiatan penelitian lapangan serta rekomendasi ataupun saran-saran kepada beberapa


(19)

pihak yang semoga nantinya dapat digunakan sebagai acuan untuk dapat diterapkan di kelompok ataupun di desa lain.


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Pengkajian Risiko Bencana

Pengkajian risiko terdiri dari tiga komponen, yaitu penilaian atau pengkajian ancaman, kerentanan dan kapasitas atau kemampuan. Ada beberapa perangkat yang bisa digunakan untuk melakukan pengkajian risiko, seperti menggunakan HVCA (Hazard, Vulnerability, and Capacity Assessment).11

a) Pengenalan Bahaya/Ancaman (Hazard)

Hazards atau dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai ancaman atau bahaya yaitu diartikan sebagai fenomena atau kejadian alam atau ulah manusia yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian dan/atau korban manusia.12 Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam, bencana ulah manusia ataupun kedaruratan komplek.

Beberapa potensi tersebut antara lain adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, kebakaran perkotaan dan permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan teknologi dan konflik sosial. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat

11

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,Pedoman Umum Desa Kelurahan Tangguh Bencana, (Jakarta : BNPB, 2012), hal. 24.

12

Syamsul Maarif,Pikiran dan Gagasan Penanggulangan Bencana Berbasis di Indonesia,(Jakarta: BNBP, 2012), hal. 79.


(21)

dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard).13

Desa Dompyong memiliki beberapa ancaman bahaya bencana yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Bencana yang pernah terjadi diantaranya bencana tanah longsor, kebakaran hutan, puting beliung. Kejadian tanah longsor di tahun 1976 menyebabkan 5 orang meninggal dunia, 3 rumah rusak di RT.07.14 Kejadian kebakaran hutan tahun 1991-1992. Serta kejadian bencana puting beliung pada tahun 2012 yang merusak lahan pertanian masyarakat.15 Serta bencana jembatan ambruk yang disebabkan oleh derasnya aliran air sungai pada bulan agustus 2016.16

b) Kerentanan (vulnerability)

Kerentanan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman. Kerentanan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Kerentanan fisik merupakan kerentanan yang paling mudah teridentifikasi karena jelas terlihat seperti ketidak mampuan fisik (cacat, kondisi sakit, tua, kerusakan jalan dan sebagainya), sedangkan kerentanan lainnya sering agak sulit diidentifikasi secara jelas.17

Menurut Chambers, kerentanan merupakan cerminan dari keadaan tanpa penyangga atau cadangan untuk menghadapi hal-hal yang tidak terduga. Seperti keharusan untuk memenuhi kewajiban sosial (menyediakan mas kawin, 13

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, hal. 9.

14

Wawancara dengan Kepala Dusun Bendungan, Sunarji (54 th) pada tanggal 30 Oktober 2016 15

Wawancara dengan Kepala Dusun Pakel, Yateni (50 th) pada tanggal 30 Oktober 2016

16

Wawancara dengan Kepala Dusun Garon, Jarwo (39 th) pada tanggal 05 November 2016 17


(22)

menyelenggarakan perhelatan pengantin atau upacara adat, kematian), musibah, ketidakmampuan fisik, foya-foya, dan pemerasan.18 Di sisi lain, Chambers juga mendefinisikan kerentanan yang dialami oleh seseorang karena faktor yang berkaitan dengan kemiskinan. Orang terpaksa menjual atau menggadaikan kekayaan untuk menghadapi keadaan darurat, akibat guncangan atau kejadian yang mendadak, serta ketidakberdayaan yang dicerminkan dengan ketergantungan seseorang terhadap majikan atau orang yang dijadikan gantungan hidupnya.19

Kerentanan (vulnerability) juga dapat diartikan sebagai keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Kerentanan ini dapat berupa:20

1. Kerentanan Fisik

Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan menghadapi bahaya tertentu.

2. Kerentanan Ekonomi

Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.

18

Robert Chambers,PRA Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa Secara Partisipatif, (Y. Sukoco, Penerjemah), (Yogyakarta: Yayasan Mitra Tani, 2001), hal. 133.

19

Ibid, hal. 147.

20

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana,hal. 13.


(23)

3. Kerentanan Sosial

Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.

4. Kerentanan Lingkungan

Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan. Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya.

c) Kapasitas (Capacity)

Kapasitas atau kemampuan merupakan kombinasi dari semua kekuatan dan sumber daya yang ada dalam masyarakat, kelompok, atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko atau dampak bencana. Penilaian kapasitas mengidentifikasi kekuatan dan sumber daya yang ada pada setiap individu, rumah tangga, dan masyarakat untuk mengatasi, bertahan, mencegah, menyiapkan, mengurangi risiko, atau segera pulih dari bencana. Kegiatan ini akan mengidentifikasi status kemampuan komunitas di desa/kelurahan pada setiap sektor (sosial, ekonomi, keuangan, fisik dan lingkungan) yang dapat dioptimalkan dan dimobilisasikan untuk mengurangi kerentanan dan risiko bencana.21

21

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,Pedoman Umum Desa Kelurahan Tangguh Bencana, (Jakarta : BNPB, 2012), hal. 25.


(24)

Harus diakui bahwa kapasitas penanggulangan bencana di Indonesia masih perlu diperkuat. Kekuatan-kekuatan dan daya tahan yang ada di masyarakat harus terus diidentifikasi dan dikembangkan. Nilai-nilai budaya yang mengakar di masyarakat perlu terus digali dan ditumbuhkembangkan sebagai kekuatan modal sosial yang akan mendukung pencapaian masyarakat tangguh terhadap bencana. Dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai maka perkuatan kemampuan bangsa kita dalam menghadapi bencana akan merupakan suatu kenyataan dan bencana dapat kita tekan baik jumlah maupun dampak yang ditimbulkannya.22

B. Risiko, Kesiapsiagaan dan Pengurangan Risiko Bencana

Dalam UU 24 Tahun 2007 dijelaskan bahwa penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Rangkaian kegiatan tersebut pada dasarnya terdapat 3 tahapan yakni: 1. Pra bencana, kejadian saat situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi bencana, 2. Saat tanggap darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana, 3. Pasca bencana yang dilakukan saat terjadinya bencana.23

Kata risiko berasal dari kata risicum yang pada awalnya digunakan dalam ilmu ekonomi (secara khusus tentang perdagangan pada abad pertengahan di

22

Syamsul Maarif,Pikiran dan Gagasan Penanggulangan Bencana Berbasis di Indonesia. hal, 89 23

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, (Jakarta : BNPB, 2008), hal. 5.


(25)

sekitar Laut Tengah) dan digunakan untuk menyebut potensi kerusakan dan kehilangan dalam proses pengangkutan barang dagangan.24

Peretemuan dari faktor-faktor ancaman bencana/bahaya dan kerentanan masyarakat akan dapat memposisikan masyarakat dan daerah yang bersangkutan pada timhkatan risiko yang berbeda. Hubungan antara ancaman bahaya, kerentanan, dan kemampuan dapat dinyatakan dalam persamaan Risiko = Bahaya x Kerentanan. Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat kerentanan masyarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat maka semakin kecil risiko yang dihadapi.25

Dalam menghadapi risiko bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu masyarakat harus memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 pasal 1 ayat 7 menjelaskan bahwa kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.26 Kesiapsiagaan dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat.27

24

Heddy S.A.P., Agus Indiyanto, dkk.,Respon Masyarakat Lokal Atas Bencana,(Bandung: PT. Mizan Pustaka,2012), hal. 33.

25

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, (Jakarta : BNPB, 2008), hal. 14.

26

Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

27

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, hal. 17.


(26)

Pengurangan risiko bencana (PRB) adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana yang dilakukan melalui penyadaran, peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana dan atau penerapan upaya fisik dan non fisik yang dilakukan oleh anggota masyarakat secara aktif, partisipatif, dan terorganisir.28 PRB adalah sebuah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko-risiko bencana. PRB bertujuan untuk mengurangi kerentanan social-ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun bahaya lain yang menimbulkan kerentanan.29

C. Pemberdayaan dalam Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat

Pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat dana atau mengoptimalkan keberdayaan (dalam arti kemampuan dan atau keunggulan bersaing) kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Pemberdayaan masyarakat adalah proses partisipatif yang memberi kepercayaan dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengkaji tantangan utama pembangunan mereka dan mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah tersebut.30

Dalam pemberdayaan masyarakat, masyarakatlah yang menjadi aktor dan penentu pembangunan. Masyarakat melakukan pengkajian kebutuhan, masalah, peluang pembangunan, dan prikehidupannya sendiri. Selain itu mereka juga

28

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan,Pedoman Teknis Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRB-BK), (Jakarta : Direktorat Jendral Cipta Karya–Kementrian Pekerjaan Umum, 2013), hal. 3.

29

United National Development Program and Government of Indonesia,Panduan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas,(Aceh : DRR-Aceh, 2012), hal.12.

30

Totok Mardikanto, Poerwoko Soebiato,Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik, (Bandung : Alfabeta, 2012), hal. 62.


(27)

menemu-kenali solusi yang tepat dan mengakses sumber daya yang diperlukan, baik sumber daya eksternal maupun sumberdaya milik masyarakat itu sendiri.31

Pemberdayaan selalu merujuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam:32

1. Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka mimiliki kebebasan

2. Menjangkau sumber-sumber yang produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya juga dapat memperoleh barang-barang dan jasa yang mereka butuhkan

3. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan merumuskan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses penguatan kapasitas yang maksudnya adalah kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu (dalam masyarakat), kelembagaan, maupun sistem atau jejaring antar individu dan kelompok/organisasi sosial, serta pihak lain di luar sistem masyarakat sampai di aras global.33 Pemberdayaan menjadi dasar dalam penanggulangan bencana berbasis masyarakat dimana salah satu hal yang harus ditekankan adalah tentang penguatan kapasitas dalam menghadapi bencana yang ada Di Desa Dompyong.

Untuk memperoleh kewenangan dan kapasitas dalam mengelola pembangunan, masyarakat perlu diberdayakan melalui proses pemberdayaan atau

31

Totok Mardikanto, Poerwoko Soebiato,Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik, hal. 61.

32

Edi Suharto,Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung, PT Refika Aditama, 2010), hal. 57 s.d. 58. 33

Totok Mardikanto, Poerwoko Soebiato,Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik, hal. 69.


(28)

empowerment. Memahami power tidak cukup dari dimensi distributif akan tetapi juga dari dimensi generatif. Dalam dimensi distributif, berdasarkan terminologi

personal, power dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk

mempengaruhi orang lain. Sedangkan powerdalam dimensi generatif merupakan tambahan atau peningkatan power dengan mengurangi power kelompok lain.

Kelompok yang bersifat powerless akan memperoleh tambahan power atau

empowerment, hanya dengan mengurangi power yang ada pada kelompok

powerholders.34

Pemberdayaan dalam penanggulangan bencana berbasis nasyarakat ini menjadi kegiatan pemberdayaan yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan. Perubahan yang dimaksud yakni terwujudnya proses belajar yang mandiri untuk terus menerus melakukan perubahan. Dengan kata lain, pemberdayaan harus di desain sebagai proses belajar, atau dalam setiap upaya pemberdayaan harus terkandung upaya-upaya pembelajaran.35

Tujuan penanggualangan bencana berbasis masyarakat adalah agar

masyarakat mengetahui semua langkah-langkah penanggulangan bencana

sehingga dapat mengurangi ancaman, mengurangi dampak, menyiapkan diri secara tepat bila terjadi ancaman, menyelamatkan diri, memulihkan diri, dan memperbaiki kerusakan yang terjadi agar menjadi masyarakat yang aman, mandiri dan berdaya tahan terhadap bencana.36

34

Soetomo,Pemberdayaan Masyarakat Mungkinkah Muncul Antitesisnya?, hal. 88. 35

Totok Mardikanto, Poerwoko Soebiato,Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik, hal. 68.

36


(29)

D. Bencana dalam Perspektif Islam

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.37

Dalam terminologi Islam, bencana diistilahkan dengan beberapa redaksi. Diantaranya yang paling mendasar maknanya adalahal-baliyyahdan atau al-dahr

yang berarti perkara yang dibenci manusia, semisal kemalangan, musibah dan lain-lain. Bencana ini berbagai macam bentuknya, di antaranya adalah yang bersifat hissiy (inderawi). Bencana yang dimaksud terjadi baik kepada manusia, maupun alam di sekitarnya. Adapun yang berhubungan dengan manusia, terdiri dari bencana pribadi dan bencana sosial, seperti sakit, harta hilang, kematian, kerusuhan, perang, dan sebagainya. Kemudian yang berhubungan dengan alam di sekitar manusia yaitu tanah longsor, gempa bumi, banjir, gunung merapi, tsunami dan lain-lain.38

Bencana yang semata-mata ditentukan kejadiannya oleh Allah SWT. dan tidak terkait dengan selain-Nya, makhluk. Jadi, bencana jenis ini merupakan kemutlakan Sunnatullah. Adapun yang dimaksud dengan Sunnatullah adalah hukum Allah SWT. yang tidak berubah-ubah. Sunnatullah ini hukum Allah SWT. yang tidak bisa diubah-ubah, bukan karena Allah SWT tidak bisa mengubahnya,

37

Undang-undang Republik Indonesia,Penanggulangan Bencana, Nomor 24 Tahun 2007 38

Muhammad Alfatih Suryadilaga,Pemahaman Hadist tentang Bencana, dalam Jurnal Esensia,


(30)

akan tetapi Allah SWT. telah menentukan bahwa Sunnatullah itu tidak akan berubah.39

Misalnya, matahari terbit dari timur. Sunnatullah ini tidak diubah-ubah oleh Allah SWT. kecuali pada saat hari qiyamat nanti. Contoh Sunnatullah yang lain adalah kematian manusia. Kita tidak bisa minta kepada Allah SWT. agar tidak bisa mati, akan tetapi kamu boleh meminta umur yang panjang, karena umur panjang itu termasuk Masyiatullah.40 Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hadid [57]: 22 :

                            

Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”41

Dalam pandangan islam, bencana yang terjadi pada manusia merupakan peristiwa yang telah direncanakan oleh Allah SWT. sebagai wujud keseimbangan alam (Sunnatullah) dan juga sebagai bentuk peringatan atau teguran kepada manusia dengan memberi cobaan dan berbagai kesulitan untuk menguji ketakwaan dan kesabaran manusia.42 Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an

Surat Ali Imran ayat 137 :

39

Muhammad Alfatih Suryadilaga,Pemahaman Hadist tentang Bencana, dalam Jurnal Esensia,

Vol. 1, No. 14, April 2013. hal, 84. 40

Ibid, hal. 85.

41

Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahannya. 42

Achmad Muhlis,Bencana Alam dalam Perspektif Al-Qur’an dan Budaya Madura, Dalam Jurnal Karsa, Vol. 2, No.14, Oktober 2008. hal, 176.


(31)

                   

Artinya: “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah [230]; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”43

Bencana yang ada sangkut-pautnya dengan ulah manusia. Di sini ada hubungan kausalitas antara tingkah laku manusia dengan bencana yang terjadi. Bencana yang ada hubungannya dengan tingkah laku manusia itu bisa berupa bencana sosial, misalnya; perang, konflik, kerusuhan, dan sebagainya. Serta ada pula yang berupa bencana alam, misalnya adalah banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Allah SWT berfirman dalam Surat Asy-Syuura [42] : 30:

             

Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”44

Pada ayat lain Allah menjelaskan bahwa bencana yang terjadi juga disebabkan oleh ulah manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Rum ayat 41:                 

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka

43

Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahannya

44


(32)

sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [Q.S. Ar-Rum, 41].45

Dari ayat diatas dapat dilihat bahwa aspek non alam atau manusialah yang menyebabkan rusaknya kelestarian alam. Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi mengemban tugas dan fungsi untuk menjaga dan memelihara bumi ini beserta isinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa bencana alam yang meninmpa manusia adalah diakibtkan oleh manusia itu sendiri yang tidak pernah perduli dengan tugas kekhalifaannya.46

Bila kita melakukan introspeksi secara arif, kita harus mengakui betapa bencana-bencana yang menimpa kita sebenarnya kita sendiri yang mengundang, bahkan menciptakannya. Hutan-hutan terus kita tebang dan dibiarkannya gundul, bencana banjir, longsor, dan kekurangan air bersih. Bencana itu kita undang dan kita buat sendiri. Limbah-limbah industri dan sampah kita buang ke sungai dan ke laut. Isi perut bumi kita kuras, sehingga terjadi kekosongan di antara lapisan-lapisan bumi. Bahkan, udara pun kita penuhi dengan asap-asap beracun. Ketika pada akhirnya bencana itu terjadi, kita cenderung mencari kambing hitam dan cuci tangan dari apa yang telah kita lakukan, termasuk dengan cara menyalahkan dan mengutuk Allah.47

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan banyak referensi untuk

mempermudah peneliti dalam proses penulisan. Penelitian terdahulu jugatermasuk

45

Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahannya

46

Achmad Muhlis,Bencana Alam dalam Perspektif Al-Qur’an dan Budaya Madura, Dalam Jurnal Karsa, Vol. 2, No.14, Oktober 2008. hal, 176

47

Achmad Muhlis,Bencana Alam dalam Perspektif Al-Qur’an dan Budaya Madura, Dalam Jurnal Karsa, Vol. 2, No.14, Oktober 2008. hal, 176


(33)

dalam salah satu referensi yang sangat dibutuhkan oleh peneliti. Karena dengan adanya penelitian terdahulu dapat membantu peneliti melakukan penilaian, minimal menjadi acuan peneliti. Adapun maksud dari penelitian terdahulu yakni sebagai bahan pembelajaran dalam pemberdayaan serta sebagai bahan acuan dalam penulisan tentang bencana tanah longsor.

Penelitian ini berjudul “Pendampingan Masyarakat Daerah Risiko

Bencana Longsor Di Desa Dompyong, Kecamatan Bendungan, Kabupaten

Trenggalek”. Adapun penelitian yang dimaksud sebagai berikut:

1. Tesis : Analisis Risiko Bencana Tanah Longsor Di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, oleh I Wayan Gede Eka Saputra.48

2. Skripsi : Pemetaan Daerah Rawan Longsor Di Lahan Pertanian Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai, oleh Anjas Anwar.49

Tabel 2.1.

Penelitian Terdahulu yang Relavan

3.

No Judul Fokus Tujuan Metode Temuan/

Hasil 1 Analisis Risiko Bencana Tanah Longsor Di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng Upaya mitigasi untuk mengurangi risiko bencana tanah longsor yang mungkin terjadi di Kecamatan Sukasada, Mengetahui tingkat ancaman, tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas bencana tanah Kualitatif Deskriptif Kecamatan Sukasada mempunyai indeks kapasitas kebencanaan 40,25 jika dikonversi kedalam 48

I Wayan Gede Eka Saputra,Analisis Risiko Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, (Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, 2015) 49

Anjas Anwar,Pemetaan Daerah Rawan Longsor Di Lahan Pertanian Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai, (Skripsi, Program Studi Keteknik Pertanian Universitas Hasanuddin, 2012)


(34)

Kabupaten Buleleng. longsor. Serta merumuskan strategi pengurangan risiko bencana tanah longsor di Kecamatan Sukasada. tingkat kapasitas bernilai 0,2439 atau level rendah 2. Pemetaan Daerah Rawan Longsor Di Lahan Pertanian Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai Upaya meminimalkan risiko gerakan tanah dengan pemetaan daerah rawan longsor Sebagai identifikasi awal zona-zona yang berpotensi longsor secara fisik di lahan pertanian Kabupaten Sinjai Barat Kualitatif Deskriptif Tingkat kerawanan longsor sekitar 11.869,59 ha atau 74.13% dari total luasan di kecamatan sinjai barat

Penelitian yang telah dilakuan tersebut menggunakan metode kualitatif deskriptif dan juga melakukan analisa mengunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam mengolah data, menganalisis dan menampilkan peta-peta. Penelitian yang telah dilakukan ini menekanan pada data-data yang menunjukkan tingkat ancaman, tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas bencana longsor di Kecamatan Sukasada. Serta sebagai media untuk merumuskan strategi pengurangan risiko bencana tanah longsor.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menambahkan kegiatan yang dari, oleh, dan untuk masyarakat menggunakan metode Participation Action Research (PAR). Dimana masyarakat terlibat aktif


(35)

dalam kegiatan penelitian bukan hanya sebagai penonton. Hal ini bertujuan agar terciptanya perubahan sosial yang lebih partisipatif dan diharapkan dapat berkelanjutan.


(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN RISET AKSI PARTISIPATIF A. Pendekatan Penelitian

Selama proses penelitian dan pendampingan yang dilakukan di Desa Dompyong ini penulis menggunakan metode Participatory Action research

(PAR). Penelitian menggunakan metode PAR ini merupakan penelitian yang secara aktif melibatkan semua pihak-pihak yang berperan penting dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi. Penelitian PAR menjadi metode dalam pemberdayaan masyarakat untuk pengurangan risiko bencana yang ada di Desa Dompyong. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan penyadaran akan pentingnya memahami bencana yang setiap saat dapat terjadi di lingkungan sekitarnya.

PAR merupakan sebuah istilah yang memuat seperangkat asumsi yang mendasari paradigma baru ilmu pengetahuan dan bertentangan dengan paradigma pengetahuan tradisional kuno. Asumsi-asumsi baru tersebut menggaris bawahi arti penting proses sosial dan kolektif dalam mencapai kesimpulan-kesimpulan mengenai apa kasus yang terjadi dan apa implikasi perubahannya yang dipandang berguna oleh orang-orang yang berada pada situasi problematik, dalam mengantarkan untuk melakukan penelitian awal.50

Secara bahasa PAR terdiri dari tiga kata yaitu Partisipatory atau dalam bahasa Indonesia bermakna partisipasi yang artinya peran serta. Secara harfiah, partisipasi dapat diartikan sebagai bentuk peran serta atau keikutsertaan secara 50

Agus Afandi, dkk.Modul Participatory Action Research,(Surabaya : LPPM UIN Sunan Ampel, 2014), hal. 90


(37)

aktif atau pro aktif dalam suatu kegiatan.51KemudianActionyang artinya gerakan atau tindakan, dan Research yang artinya penelitian atau penyelidikan. Ketiga kata tersebut selalu berhubungan satu sama lain yang berarti semua riset harus diimplementasikan dalam aksi dengan tetap mengedepankan proses yang partisipatif. Serta tidak mengkonseptualisasikan alur sebagai perkembangan terhadap teori sebab akibat yang bersifat prediktif.52 Prinsip pendidikan dan pelatihan partisipatif dirumuskan sebagai berikut:53

Pertama, belajar dari realitas atau pengalaman. Prinsip pertama ini menekankan bahwa yang dipelajari dalam pendidikan ini bukan hanya teori yang tidak ada kaitan dengan kenyataan dan kebutuhan. Jadi bahan pelajaran dalam pendidikan ini berangkat (bersumber) dari kenyataan dan kebutuhan. Konsep-konsep atau teori-teori yang ada, digunakan untuk membantu dalam menganalisa kenyataan dan kebutuhan. Dengan begitu, tidak ada pengetahuan seseorang lebih tinggi dari yang lainnya. Karena dalam kenyataannya, setiap orang memiliki pengalaman berbeda. Pengalaman tersebut harus diakui sebagai sebuah modal dalam mengembangkan pengetahuan baru.

Kedua, tidak menggurui. Berdasarkan kepada prinsip yang pertama, maka

di dalam pendidikan partisipatif tak ada “guru” dan tak ada “murid yang digurui”. Semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah “guru sekaligus murid” pada saat yang bersamaan. Keduanya sama-sama mencurahkan perhatian

51

Moch. Solekhan,Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi masyarakat. (Malang : Setara Press, 2014), hal. 141

52

Agus Afandi, dkk.Modul Participatory Action Research, hal. 93 53

Perhimpunan SUSDEC Surakarta,Belajar dan Bekerja Bersama Masyarakat,Panduan Bagi Fasilitator PerubahanSosial. (Solo : LPTP, 2006), hal.3


(38)

pada obyek yang sedang dikaji. Kedudukan orang luar, harus didudukkan sebagai seorang fasilitator.

Ketiga, proses belajar dijalankan dengan dialogis. Karena tidak ada lagi

guru atau murid, maka proses yang berlangsung bukan lagi proses “ mengajar-belajar” yang bersifat satu-arah, tetapi proses belajar yang dialogis. Proses belajar yang dialogis adalah proses belajar yang menjamin terjadinya “komunikasi aktif dan kritis” dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti diskusi kelompok, diskusi pleno, bermain peran, dan sebagainya. Proses belajar dialogis ini juga didukung media belajar yang memadai, seperti alat peraga, grafika, audio-visual, dan sebagainya. Proses belajar ini dimaksudkan untuk mendorong semua orang terlibat dalam proses belajar.

Adapun prinsip-prinsip kerja Partisipatory Action Research (PAR) yang menjadi karakter utama dalam implementasi kerja bersama komunitas akan terurai sebagai berikut:54

1. Sebuah pendekatan untuk meningkatkan dan memperbaiki kehidupan sosial dan praktek-prakteknya.

2. Merupakan partisipasi murni membentuk siklus berkesinambungan dimulai dari analisa sosial, rencana aksi, aksi, evaluasi, refleksi, dan terus berulang kembali.

3. Kerjasama banyak pihak untuk melakukan perubahan.

4. Melakukan upaya penyadaran terhadap komunitas tentang kondisi yang sedang dialami.

54


(39)

5. Suatu proses untuk membangun pemahaman situasi dan kondisi sosial secara kritis.

6. Masyarakat sebagai narasumber bagi pemecahan persoalan mereka sendiri. 7. Menempatkan pengalaman, gagasan, pandangan dan asumsi sosial individu

maupun kelompok untuk diuji.

8. Mensyaratkan dibuat rekaman proses secara cermat.

9. Semua orang harus menjadikan pengalamannya sebagai objek riset. 10. Merupakan proses politik dalam arti luas.

11. Mensyaratkan adanya analisa relasi sosial secara kritis.

12. Memulai isu kecil dan mengaitkan dengan relasi yang lebih luas. 13. Memulai dengan siklus proses yang kecil.

14. Memulai dengan kelompok sosial yang kecil.

15. Mensyaratkan semua orang mencermati dan membuat rekaman proses.

16. Mensyaratkan semua orang memberikan alasan rasional yang mendasari kerja sosial mereka.

B. Prosedur Penelitian

Sebagai landasan dalam cara kerja PAR, peneliti harus memahami gagasan-gagasan yang datang dari rakyat. Oleh karena itu, untuk mempermudah cara kerja bersama masyarakat maka dapat dirancang dengan suatu daur gerakan sosial sebagai berikut:55

55


(40)

a. Pemetaan Awal (Preleminary mapping)

Pemetaan awal sebagai alat untuk memahami kondisi di sekitar lingkungan Desa Dompyong. Selain itu melakukan pemetaan sederhana tempat-tempat atau wilayah mana saja yang sering terjadi bencana longsor. Hal ini juga dilakukan untuk mmemahami realitas problem dan relasi sosial yang terjadi. b. Membangun Hubungan Kemanusiaan

Peneliti melakukan inkulturasi dan membangun kepercayaan (trust building) dengan masyarakat. Hal ini dilakuakn untuk menjalin hubungan yang setara dan saling mendukung. Peneliti dan masyarakat dapat saling menyatu untuk melakukan riset, belajar memahami masalahnya, dan memecahkan persoalannya secara bersama-sama (partisipatif).

c. Penentuan Agenda Riset

Bersama kelompok Satlinmas, peneliti mengagendakan program riset melalui teknik Prtisipatory Rural Apprasial (PRA) untuk memahami persoalan masyarakat yang selanjutnya menjadi alat perubahan sosial.

d. Pemetaan Partisipatif

Bersama pemerintah desa yang terdiri dari Kepala Dusun, Ketua RW, Ketua RT, serta anggota Satlinmas, peneliti melakukan pemetaan wilayah untuk melihat persoalan yang dialami oleh masyarakat. Pemetaan partisipatif sebgai bagian dari emansipatori dalam mencari data secara langsung bersama masyarakat.


(41)

e. Merumuskan Masalah Kemanusiaan

Kelompok Satlinmas merumuskan masalah mendasar atas hajat hidup kemanusiaan yang dialaminya. Sebagaimana dalam pendampingan ini berfokus pada rumusan kemanusiaan mengenai pengurangan risiko bencana yang ada di Dusun Bendungan.

f. Menyusun Strategi Gerakan

Kelompok Satlinmas bersama peneliti menyusun strategi gerakan untuk memecahkan masalah problem kemanusiaan yang telah dirumuskan. Menentukan langkah sistematik, menentukan pihak yang terlibat, dan merumuskan kemungkinan keberhasilan dan kegagalan program yang direncanakan serta mencari jalan keluar apabila terdapat kendala yang menghalangi keberhasilan program.

g. Pengorganisasian Masyarakat

Kelompok Satlinmas didampingi oleh peneliti membangun pranata-pranat sosial. Dalam hal ini membangun jaringan-jaringan antar kelompok kerja atau lembaga-lembaga lain yang terkait dengan program aksi yang direncanakan. h. Melancarkan Aksi Perubahan

Aksi memecahkan problem dilakukan secara partisipatif dengan tetap mengedepankan proses pembelajaran masyarakat. Dalam kaitan ini kelompok Satlinmas diharapkan sudah mampu atau terampil dalam melakukan pengorganisiran masyarakat. Dengan tujuan akhirnya dapat memunculkan local leader(pemimpin lokal) yang menjadi pelaku dan pemimpin perubahan.


(42)

i. Membangun Pusat-pusat Belajar Masyarakat

Pusat-pusat belajar dibangun atas dasar kebutuhan kelompok-kelompok komunitas yang sudah bergerak melakukan aksi perubahan. Pusat belajar merupakan media komunikasi, riset, diskusi, dan segala aspek untuk merencanakan, mengorganisir, dan memecahkan problem sosial. Pusat belajar ini bukanlah kegiatan formal, melainkan pembelajaran informal untuk memahami tentang pengurangan risiko bencana. Dimana Satlinmas dapat memberikan pembelajaran di kegiatan kelompok yasinan, Kelompok Tani, PKK, dan kelompok lainnya yang ada di desa.

j. Refleksi

Peneliti bersama komunitas dan didampingi oleh dosen pembimbing merumuskan teoritisasi perubahan sosial. Berdasarkan atas hasil riset, proses pembelajaran masyarakat dan program-program aksi yang sudah terlaksana. Peneliti bersama kelompok Satlinmas mereflesikan semua proses hasil yang telah diperoleh dari awal hingga akhir.

k. Meluaskan Skala Gerakan dan Dukungan

Keberhasilan program PAR tidak hanya diukur dari hasil kegiatan selama proses, tetapi diukur dari tingkat keberlanjutan program yang sudah berjalan. Dan juga dapat memunculkan pengorganisir-pengorganisir serta pemimpin lokal yang melanjutkan program untuk melakukan aksi perubahan.

C. Wilayah dan Subyek Pendampingan

Subjek pendampingan dalam proses pemberdayaan ini adalah masyarakat Desa Dompyong yang terkhusus pada kelompok Satuan Perlindungan Masyarakat


(43)

(Satlinmas). Dari 42 orang jumlah anggota Satlinmas yang terdapat di Desa Dompyong, peneliti mengundang hampir semua anggota untuk hadir. Dalam satu dusun terdapat 10-12 orang Linmas yang tersebar di 4 dusun dengan jumlah 35 RT yakni RT.01 sampai dengan RT.35. Kelompok Linmas dipimpin oleh Bapak Taufik yang didampingi oleh wakilnya Bapak Siswoyo.

Peneliti memfokuskan pendampingan kepada kelompok Satlinmas karena memahami bahwa kelompok tersebut menjadi garda terdepan dalam menagani pengurangan risiko bencana. Diharapkan dengan adanya pendampingan ini masyarakat lebih waspada dan sangat berhati-hati agar kejadian lalu tidak terulang kembali.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik PRA (Participatory Rular Aprasial). PRA memiliki arti yakni penilaian, pengkajian atau penelitian keadaan pedesaan secara partisipatif. PRA juga dapat didefinisikan sebagai sekumpulan teknik dan alat yang mendorong masyarakat pedesaan untuk turut serta meningkatkan kemampuan dalam menganalisa keadaan mereka terhadap kehidupan dan kondisinya, agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan sendiri.56

Menurut Chambers, PRA sebagai metode yang berusaha untuk memungkinkan orang luar belajar melalui suatu sharing informasi untuk meningkatkan analisis dan pengetahuan masyarakat. Tujuannya adalah guna

56

Perhimpunan SUSDEC Surakarta,Belajar dan Bekerja Bersama Masyarakat,Panduan Bagi Fasilitator PerubahanSosial. (Solo : LPTP, 2006), hal. 15.


(44)

memungkinkan masyarakat untuk mempresentasikan, membagi dan menganalisis serta memperbanyak pengetahuan mereka sebagai awal suatu proses.57

PRA memiliki beberapa tujuan dalam pengembangannya yakni menyelenggarakan kegiatan bersama masyarakat untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan praktis dan peningkatan kesejahteraan. PRA dapat mencapai pemberdayaan masyarakat dan perubahan sosial melalui pengembangan masyarakat dengan menggunakan pendekatan pembelajaran.58 Hal ini perlu dilakukan dalam pendampingan Satlinmas untuk memahami kondisi di wilayah mereka.

PRA memiliki beberapa prinsip yang menjadi pedoman dalam penelitian dilapangan. Prinsip tersebut yakni tentang pemberian fasilitas, dimana orang luar memberikan fasilitas penyelidikan, analisis, penyajian, dan pemahaman oleh desa itu sendiri. Sehingga mereka dapat memiliki hasilnya, dan juga mempelajarinya. Selanjutnya, orang luar yang memberikan fasilitas tersebut menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab diri yang kritis kepada masyarakat. Artinya fasilitator secara terus-menerus menguji tingkah laku, menerima kesalahan sebagai suatu kesempatan untuk belajar melakukan yang lebih baik. Selain itu, antar masyarakat harus saling berbagi informasi dan gagasan, dengan fasilitator, dengan berbeda wilayah kegiatan, serta dengan berbeda organisasi.59

57

Robert Chambers,PRA Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa Secara Partisipatif, (Y. Sukoco, Penerjemah), hal. 68

58

Ibid, hal. 20 59

Robert Chambers,PRA Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa Secara Partisipatif, (Y. Sukoco, Penerjemah), hal. 35


(45)

Sistem pembelajaran ini akan memungkinkan masyarakat untuk melakukan anaisis bersama mengenai maslah yang sedang terjadi. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah:

a. Wawancara Semi Terstruktur

Teknik ini adalah wawancara yang mempergunakan panduan pertanyaan sistematis yang hanya merupakan panduan terbuka dan masih mungkin untuk berkembang selama interview dilaksanakan.60 Wawancara ini juga bisa dipahami sebagai penggalian informasi berupa tanya jawab yang sistematis tentang pokok-pokok tertentu.61 Wawancara semi terstruktur ini akan mendeskripsikan hasil dari beberapa wawancara dari tokoh masyarakat, maupun Satlinmas yang masih ada kaitannya dengan subyek pendampingan.

b. Mapping (Pemetaan)

Tehnik ini adalah sebuah berupa cara untuk membuat gambar kondisi sosial ekonomi masyarakat, misalnya gambar posisi permukiman, sumber-sumber mata pencaharian, peternakan, jalan, puskesmas, dan sarana-sarana umum, serta jumlah anggota keluarga, pekerjaan. Hasil gambaran ini merupakan peta umum sebuah lokasi yang menggambarkan keadaan masyarakat maupun lingkungan fisik.62 Tujuannya untuk menganalisa dan mendalami bersama wilayah Desa Dompyong, Kecamatan Bendungan.

60

Ibid, hal. 24

61

Agus Afandi, dkk.Modul Participatory Action Research,hal.181 62

Perhimpunan SUSDEC Surakarta,Belajar dan Bekerja Bersama Masyarakat,Panduan Bagi Fasilitator PerubahanSosial. hal. 25


(46)

c. Transek

Transect merupakan teknik penggalian informasi dan media pemahaman daerah melalui penelusuran dengan berjalan mengikuti garis yang membujur dari suatu sudut ke sudut lain di wilayah tertentu.63 Transek digunakan sebagai alat penggalian data bersama Satlinmas untuk memahami dan mengetahui wilayah-wilayah yang rwan, maupun yang pernah terjadi longsor di Desa Dompyong. d. FGD (Focus Group Discussion)

Teknik ini berupa diskusi antara beberapa orang untuk membicarakan hal-hal yang bersifat khusus secara lebih mendalam. Tujuannya untuk memperoleh gambaran terhadap suatu masalah tertentu dengan lebih rinci.64 FGD bisa dilakukan secara formal maupun non-formal, bersama masyarakat yang terlibat dalam Satlinmas maupun tidak.

Dari beberapa teknik yang telah dijelaskan, data yang telah didapatkan di lapangan akan diolah menjadi data kualitatif oleh peneliti yang digunakan untuk penulisan dalam skripsi. Selain itu juga digunakan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk mencapai keadaan yang transformasi sosial atau perubahan pola pikir masyarakat. Hal ini juga dapat dilakukan untuk selanjutnya dianalisis dengan analisa PRA.

E. Teknik Validasi Data

Dalam kajian informasi tidak semua sumber informasi senantiasa bisa dipercaya ketepatannya. Untuk mendapatkan informasi yang benar bisa

63

Perhimpunan SUSDEC Surakarta,Belajar dan Bekerja Bersama Masyarakat,Panduan Bagi Fasilitator PerubahanSosial, hal. 25

64


(47)

diandalkan dengan menggunakan prinsip ‘triangulasi’ informasi, yaitu pemeriksaan dan periksa ulang, melalui:65

a. Triangulasi Komposisi Tim

Fasilitator PRA biasanya punya latar belakang atau keahlian khusus. Selalu ada risiko bahwa dia mengutamakan ‘keahlian’ dia sendiri (bias).66 Triangulasi akan dilakukan oleh peneliti bersama Satlinmas yang dimaksudkan untuk memperoleh data yang valid dan tidak sepihak. Hal ini dilakukan karena semua pihak akan dilibatkan untuk mendapatkan kesimpulan secara bersama. b. Triangulasi Alat dan Teknik

Setiap teknik PRA punya kelebihan dan kekurangan. Tidak semua informasi yang dikumpulkan dan dikaji dalam satu teknik PRA dapat dipercaya. Melalui teknik-teknik lain, informasi tersebut dapat dikaji ulang untuk melihat apakah benar dan tepat.67 Dalam pelaksanaan di lapangan triangulasi ini dilaksanakan pada saat proses pendampingan berlangsung dalam bentuk pencatatan dokumen maupun diagram.

c. Triangulasi Keragaman Sumber Informasi

Masyarakat selalu memiliki bentuk hubungan yang kompleks dan memiliki berbagai kepentingan yang sering berbeda bahkan bertentangan. Informasi yang berasal dari sumber tunggal atau terbatas tidak jarang diwarnai oleh kepentingan pribadi. Karena itu sangat perlu mengkaji silang informasi dari sumber informasi yang berbeda. Dalam melaksanakan PRA perlu diperhatikan

65

Perhimpunan SUSDEC Surakarta,Belajar dan Bekerja Bersama Masyarakat,Panduan Bagi Fasilitator PerubahanSosial, hal.60

66

Ibid, hal.60 67


(48)

bahwa tidak didominasi oleh beberapa orang atau elit desa saja tetapi melibatkan semua pihak, termasuk yang termiskin dan wanita. Sumber Informasi lain juga dapat dimanfaatkan seperti sumber sekunder yang berada di desa.68Triangulasi ini juga dapat dilakukan ketika proses penelitian dan pendampingan berlangsung.

F. Teknik Analisis Data

Dalam memperoleh data yang sesuai dengan lapangan maka peneliti dan kelompok Satlinmas melakukan sebuah analisis bersama. Analisis ini digunakan untuk mengetahui masalah yang sedang dihadapi yakni tentang kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana di Desa Dompyong. Adapun yang dilakukan adalah: a. Kalender Musiman

Adalah penelusuran kegiatan musiman tentang keadaan-keadaan dan permasalahan yang berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu (musiman) di masyarakat. Tujuan teknik untuk mefasilitasi kegiatan penggalian informasi dalam memahami pola kehidupan masyarakat, kegiatan, masalah-masalah, fokus masyarakat terhadap suatu tema tertentu, mengkaji pola pemanfaatan waktu, sehingga diketahui kapan saat-saat sibuk dan saat-saat waktu luang. Kemudian juga sebagai upaya untuk mendiskusikan tawaran perubahan kalender dalam kegiatan masyarakat.69

b. Diagram Venn

Diagram Venn merupakan teknik yang bermanfaat untuk melihat hubungan masyarakat dengan berbagai lembaga yang terdapat di desa (dan lingkungannya). Diagram venn memfasilitasi diskusi masyarakat untuk

68

Perhimpunan SUSDEC Surakarta,Belajar dan Bekerja Bersama Masyarakat,Panduan Bagi Fasilitator PerubahanSosial, hal. 60.

69


(49)

mengidentifikasipihak-pihak apa berada di desa, serta menganalisa dan mengkaji

perannya, kepentingannya untuk masyarakat dan manfaat untuk masyarakat. Lembaga yang dikaji meliputi lembaga-lembaga lokal, lembaga-lembaga pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga swasta (termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat). Diagram Venn bisa sangat umum atau topikal; mengenai lembaga-lembaga tertentu saja, misalnya yang kegiatannya berhubungan dengan penyuluhan pertanian saja, kesehatan saja atau pengairan saja.70

c. Timeline

Time line adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengetahui kejadian-kejadian dari suatu waktu sampai keadaan sekarang dengan persepsi orang setempat. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai topik-topik penting di masyarakat. Topik-topik yang berulang ini dapat dijadikan topik penting untuk dibahas dengan lebih mendalam. Kearah mana kecenderungan-kecenderungan masyarakat dari waktu ke waktu.71

d. Analisis Pohon Masalah dan Pohon Harapan

Disebut teknik analisa masalah karena melalui teknik ini, dapat dilihat ‘akar’ dari suatu masalah, dan kalau sudah dilaksanakan, hasil dari teknik ini kadang-kadang mirip pohon dengan akar yang banyak.. Analisa Pohon Masalah sering dipakai dalam masyarakat sebab sangat visual dan dapat melibatkan banyak orang dengan waktu yang sama.72

70

Perhimpunan SUSDEC Surakarta,Belajar dan Bekerja Bersama Masyarakat,Panduan Bagi Fasilitator PerubahanSosial, hal. 34.

71

Ibid, hal. 26.

72


(50)

e. Diagram Alur

Diagram Alur menggambarkan arus dan hubungan di antara semua pihak dan komoditas yang terlibat dalam suatu sistem. Diagram ini dapat digunakan untuk menganalisa alur penyebaran keyakinan dan tata nilai keagamaan dalam masayarakat.73

f. Trend and Change

Bagan Perubahan dan Kecenderungan merupakan teknik PRA yang memfasilitasi masyarakat dalam mengenali perubahan dan kecenderungan berbagai keadaan, kejadiaan serta kegiatan masyarakat dari waktu ke waktu. Hasilnya digambar dalam suatu matriks. Dari besarnya perubahan hal-hal yang diamati dapat diperoleh gambaran adanya kecenderungan umum perubahan yang akan berlanjut di masa depan. Hasilnya adalah bagan/matriks perubahan dan kecenderungan yang umum desa atau yang berkaitan dengan topik tertentu, misalnya jumlah pemeluk agama Islam, jumlah musholla, jumlah masjid, jumlah gereja, jumlah majlis taklim, dan lain-lain.74

g. Tata Kuasa, Tata Kelola, dan Tata Guna

Tata kuasa atas milik, tata kelola atas manajemen dan tata guna atas milik semua ditekankan untuk mendapatkan keberlanjutan dari kegiatan yang dikerjakan oleh kelompok Satlinmas. Sangat diharapkan masyarakat yang tergabung dalam kelompok Satlinmas dapat secara mandiri mengorganisir masyarakat untuk siap siaga terhadap bencana.

73

Perhimpunan SUSDEC Surakarta,Belajar dan Bekerja Bersama Masyarakat,Panduan Bagi Fasilitator PerubahanSosial, hal.43

74


(51)

G. Pihak Yang Terlibat

Dalam kegiatan setiap pemberdayaan, seseorang tidak dapat berdiri sendiri untuk mampu menjadikan dirinya berdaya. Sangat dibutuhkan pihak-pihak yang dapat membantu dan terlibat dalam proses pemberdayaan. Pihak yang terlibat di sini tidak dapat dihindarkan dalam proses pemberdayaan, beberapa pihak harus terlibat dalam kegiatan kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana tanah longsor yang ada di Desa Dompyong. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan karena dalam proses pemberdayaan kebersamaan adalah suatu aset penting yang harus terbangun sehingga lebih mudah dalam pemecahan masalah. Beberapa pihak yang terlibat yang telah direncanakan adalah:

Tabel 3.1 Analisa Stakeholder

Institusi Karateristik Kepentingan

Utama

Bentuk Keterlibatan

Tindakan yang Harus Dilakukan

Aparat desa Kepala

desa, Kepala Dusun, Ketua RW, Ketua RT dan tokoh masyarakat Aparat pemerintah dan tokoh masyarakat sebagai pendorong Mendukung, memberi pengarahan serta senantiasa memberi supportdalam proses pemberdayaan yang dilakukan

1. Mendata dan mengkordinasi kan dengan masyarakat 2. Mewadahi masyarakat dan terus mendampingi serta mengawasi program yang dilaksanakan Pengurus Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas) Pelopor keamanan desa Terlibat aktif dalam proses kesiapsiagaan dan PRB 1. Melakukan kegiatan pengkajian risiko bencana 2. Turut serta

belajar Memberikan arahan kepada seluruh anggota Satlinmas untuk dapat terlibat dalam kegiatan


(52)

bersama fasilitator 3. Memotivasi anggota untuk terlibat aktif bersama fasilitator baik melalui pendekatan intra personal atau ekstra personal BPBD Trenggalek Bagian penanggula ngan kebencanaa n Turut terlibat dalam proses pendampingan Memberikan pendidikan akan pentingnya pengetahuan tentang kebencanaan Mengfasilitasi penguatan dan peningkatan kapasitas pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan pentingnya kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana Satpol PP Trenggalek Badan yang menaungi Satlinmas Turut serta melakukan koordinasi dan pembekalan tentang kelinmasan dan kebencanaan Sebagai narasumber keilmuan tentang kelinmasan dan kebencanaan Memberikan ilmu pengetahuan tentang kelinmasan dan kesiapsiagaan & pengurangan risiko bencana tanah longsor


(53)

BAB IV

KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA DOMPYONG A. Menapaki Jejak Desa Dompyong

Desa Dompyong merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Bendungan, Kabupaten Trenggalek, tepatnya berada di bagian utara dari pusat Kabupaten Trenggalek. Desa Dompyong merupakan desa yang berada di wilayah pegunungan Dilem Wilis dengan jarak 20 Km dari pusat pemerintahan. Sedangkan jarak dari kantor desa dengan Kantor Kecamatan Bendungan hanya berkisar 4 meter.

Untuk menuju ke Desa Dompyong dari pusat pemerintahan membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam menggunakan kendaraan bermotor untuk dapat sampai di kantor desa. Kondisi akses jalan yang sudah beraspal dan sedikit berkelok membuat Desa Dompyong mudah dilalui. Secara geografis Desa Dompyong berada pada ketinggian 729 Meter diatas permukaan laut dengan luas wilayah 1782 Ha. Serta suhu rata-rata harian 27 derajat celsius.

Masyarakat di Desa Dompyong tersebar di wilayah 4 dusun dengan jumlah 10 Rukun Warga (RW) dan 35 Rukun Tetangga (RT). Adapun pembagian wilayahnya sebagai berikut :

Tabel 4.1

Pembagian Wilayah Administratif Desa Dompyong

No. Dusun RW RT

1. Bendungan RW 1 sampai RW 3 RT 1 sampai RT 10


(54)

19

3. Pakel RW 6 sampai RW 8 RT 20 sampai RT

29

4. Garon RW 9 sampai RW

10

RT 30 sampai RT 35

Sumber : Data demografi Desa Dompyong tahun 2016

Desa Dompyong berada diantara 8 desa yang ada di Kecamatan Bendungan, diantaranya yakni Desa Sengon, Desa Srabah, Desa Depok, Desa Sumurup, Desa Surenlor, Desa Masaran, Desa Dompyong, dan Desa Botoputih.

Gambar 4.1

Posisi Desa Dompyong di Kecamatan Bendungan

Sumber : BPBD Trenggalek Desa Dompyong


(55)

Dalam data monografi tahun 2016, Desa Dompyong berbatasan dengan beberapa desa lain di Kecamatan Bendungan dan desa lain yang telah masuk dalam wilayah Kabupaten Ponorogo. Adapun batas wilayah Desa Dompyong adalah sebagai berikut:75

Sebelah Utara : Desa Botoputih, Kecamatan Bendungan

Sebelah Timur : Desa Depok, Kecamatan Bendungan

Sebelah Selatan : Desa Surenlor, Kec. Bendungan

Sebelah Barat : Desa Jurug, Kec. Sooko, Kabupaten Ponorogo

Gambar 4.2

Posisi Desa Dompyong Diantara Desa Yang Lain

Sumber : Diolah dari data pemetaan bersama Masyarakat & Perangkat Desa tahun 2016

75


(56)

Desa Dompyong memiliki jumlah penduduk sebanyak 3725 jiwa yang dibagi dalam jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1867 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 1858 jiwa. Hal ini dapat dilihat dari data monografi Desa Dompyong atas pembagian usia sebagai berikut :

Tabel 4.2

Jumlah Penduduk Desa Dompyong

No. Usia Laki-laki Perempuan

1. Penduduk usia 0 - 6 tahun 140 Jiwa 143 Jiwa

2. Penduduk usia 7 - 18 tahun 305 Jiwa 351 Jiwa

3. Penduduk usia 18–56 tahun 1182 Jiwa 1111 Jiwa

4. Penduduk usia 56 tahun ke atas 240 Jiwa 253 Jiwa

Jumlah 1867 Jiwa 1858 Jiwa

Jumlah total 3725 Jiwa

Sumber : Data demografi Desa Dompyong tahun 2016

Desa Dompyong merupakan daerah yang sebagian besar terdiri dari pemukiman, pertanian, perkebunan, dan peternakan. Daerah pemukiman sebagian besar rumah-rumah warga sudah berbentuk modern style dan ada juga yang berbentuk tradisional. Untuk daerah pertanian banyak petani yang memanfaatkan lahan untuk menanam padi dan jagung. Untuk daerah perkebunan meliputi tanaman kopi, cengkeh, palawija, ketela, dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk peternakan biasanya masyarakat mayoritas memilih untuk beternak sapi perah. Selain itu, terdapat juga usaha kecil seperti pengusaha kopi bubuk Ndilem, kripik goreng, roti jahe, toko, sebagai usaha sampingan masyarakat Desa Dompyong.


(57)

B. Sejarah Desa Dompyong

Setiap tempat yang ada di bumi memiliki asal-usul atau sejarah yang mewarnai. Sejarah itu kemudian abadi dalam setiap cerita-cerita atau pitutur dari orang-orang terdahulu hingga sekarang. Tidak semua orang mengerti sejarah asli yang sebenarnya terjadi, hanya sedikit, bisa saja dilebih-lebihkan atau bahkan ada potongan cerita yang hilang. Tidak terkecuali asal mula sejarah yang terjadi di Desa Dompyong ini. Dompyong sendiri terletak di pedukuhan sebelah timur tepatnya di Dusun Pakel, kurang lebih 10 menit jika dilalui dengan kendaraan bermotor dari kantor desa saat ini.

Gambar 4.3 Peta Dusun Pakel

Sumber : Hasil Focus Group Discussion (FGD)

Disanalah sejarah awal desa ini bermula, dari seorang laki-laki yang akhirnya dikenal oleh masyarakat bernama Djojoprojo. Pada zaman Peperangan melawan belanda, Mbah Djoyoproyo merupakan salah satu prajurit dari Pangeran


(58)

Diponegoro. Mbah Djoyo merupakan orang pertama yang melakukan perjalanan dari daerah Surokarto Wonogiri. Ia meninggalkan Wonogiri karena dalam pelarian menjauhi Belanda yang sedang memburunya. Kemudian mbabat alas

atau menetap di dukuh Dompyong sebagai cikal bakal adanya desa Dompyong.76 Setelah melalui proses panjang, penduduk di Dukuh Dompyong semakin banyak, Ia akhirnya menjadi demang pertama Desa Dompyong dan memimpin Desa selama 35 tahun. Untuk mengenang jasanya sebagai orang pertama yang tinggal di desa, makamnya dikebumikan di Dukuh Dompyong, Dusun Pakel.77

Gambar 4.4

Makam Mbah Djoyo Proyo

Sumber : Dokumentasi Peneliti

Asal mula nama Desa Dompyong sendiri terdapat beberapa versi dari masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa nama Dompyong berasal dari pohon

76

Hasil wawancara di kediaman Mantan Lurah, Purwanto (74 th) pada 04 Januari 2017 77


(59)

Dompyong yang dulu pernah tumbuh di sekitar tempat tinggal Mbah Djoyoproyo

mbabat alasdi desa ini.78

Gambar 4.5

Gapura Makam Dukuh Dompyong Dusun Pakel RT. 25

Sumber : Dokumentasi Peneliti

Ada juga yang mengatakan bahwa nama Dompyong berasal dari buah Dompolan yang sejenis dengan buah dukuh, lasep, yang pada saat itu banyak sekali tumbuh di dukuh dompyong.79

C. Kondisi Ekonomi

Masyarakat Desa Dompyong mayoritas bekerja dibidang pertanian dan peternakan, ada juga yg bekerja sebagai pegawai, pedagang dan wirausaha industry rumah tangga. Desa Dompyong memiliki lahan produktif yang bisa digunakan oleh masyarakat sebagai ladang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kondisi geografis Desa Dompyong yang berada diketinggian 729 mdpl

78

Wawancara dengan Yateni (74 th), Kasun Pakel, di Kantor Desa pada 05 Januari 2017 79


(60)

hingga 900 mdpl dengan suhu rata-rata mencapai 27 derajat celcius menjadi lokasi yang sangat cocok untuk membudidayakan ternak sapi perah.

Masyarakat Desa dompyong bisa dikatakan memiliki pendapatan yang rendah karena antara pengeluaran dan pendapatannya tidak seimbang. Apalagi masyarakat yang hanya mengandalkan hasil pertanian, pendapatannya sangat minim. Ketika mengandalkan hasil pertanian, petani harus menunggu hasil panen selama kurang lebih 3-4 bulan, hasil panen yang mau dijualpun harganya sangat murah, seperti halnya jagung hanya dijual dengan harga Rp. 3000 per kg, apalagi hasil panen ketela yang harganya menurun drastis yaitu sekitar Rp. 300 per kg.

Masyarakat akhirnya lebih memilih mengandalkan hasil peternakan sapi perah, dimana susu hasil perahan bisa diambil manfaatnya setiap hari dengan harga Rp. 4.600 per liter. Satu sapi bisa menghasilkan 10-15 liter per hari. Mengembangkan ternak sapi perah dinilai lebih menguntungkan dibanding dengan perolehan hasil pertanian.

Desa Dompyong memiliki banyak lahan produktif, salah satunya yaitu lahan persawahan, ladang, perkebunan dan hutan yang memiliki luas sebagai berikut:

Tabel 4.3

Lahan Produktif Desa Dompyong

No Lahan Produktif Luas Lahan

1. Lahan persawahan Sekitar 49 Ha

2. Lahan ladang/pekarangan Sekitar 95 Ha


(1)

✂ ✄ ✄

2. Melihat Titik Rawan Longsor

Melihat dari kejadian yang lalu, peneliti bersama masyarakat memulai untuk menentukan wilayah yang termasuk dalam daerah rawan risiko bencana longsor. Untuk memberi tanda wilayah rawan longsor penggolongannya menggunakan warna merah, kuning, dan hijau. Warna merah digunakan untuk wilayah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi, kemudian warna kuning untuk wilayah tingkat kerawanan sedang, dan hijau untuk wilayah kerentanan rendah.

Dari 4 dusun, yang termasuk dalam zona merah adalah RT.02, RT.07, dan RT.10. Di masing-masing RT. tersebut pernah terjadi longsor hingga memakan korban meninggal dunia. RT.23 juga masuk dalam zona merah karena pada tahun 1976 pernah terjadi longsor dan menimbun 3 rumah, namun tidak sampai menimbulkan korban.

Sedangkan untuk wilayah yang memiliki tingkat kerawanan sedang yang ada di Dusun Bendungan berada di RT.1,3,4,5,6,7,8,9. Untuk Dusun Tumpakaren daerah rawan longsor sedang berada di RT.11,12,14, 16,17,18. Dan Dusun Pakel di RT.20,21,22,23,25,26,27,29.

Serta yang termasuk dalam wilayah yang memiliki tingkat rawan longsor rendah atau dalam kategori aman berada di RT.13,15,19, RT. 24, 28, RT.30 sampai RT.35.

3. Satlinmas Mengurangi Risiko Bencana

Untuk mengantisipasi kejadian bencana longsor agar tidak terjadi lagi para Satlinmas melakukan perencanaan aksi mengurangi risiko bencana. Kegiatan aksi yang dilakukan oleh Satlinmas diantaranya yakni kegiatan pendidikan tentang


(2)

☎ ✆✝

kebencanaan. Selanjutnya melakukan kegiatan penanaman bersama di daerah rawan bencana longsor. Suatu aksi pendampingan yang berupaya untuk menumbuhkan semangat menjaga kelestarian alam serta memberikan hak pada tanah untuk dapat menyerap air dengan baik. Khusunya di wilayah-wilayah yang dianggap rawan bencana. Dan yang terakhir yakni melakukan pemasangan rambu-rambu rawan bencana longsor untuk memberikan peringatan kepada masyarakat maupun pengendara yang melewati daerah risiko bencana longsor yang ada di Desa Dompyong.

B. Rekomendasi

Satlinmas Desa Dompyong adalah langkah awal bagi keberlanjutan kegiatan pembelajaran dan pemahaman akan pentingnya memahami kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana tanah longsor. Selama ini Satlinmas sebagai komunitas dalam menjaga keamanan dan kebencanaan dianggap sebagai kaum kelas bawah yang tidak perlu diikutsertakan dalam setiap kegiatan pembangunan desa. Para Satlinmas selalu dilibatkan hanya ketika dibutuhkan saja seperti pada kegiatan yang berhubungan dengan keamanan desa.

Pendekatan top down bukan merupakan sebuah langkah yang tepat dalam menentukan skala prioritas pembangunan desa utamanya dalam mempersiapkan diri dalam emnghadapi bencana yang datang sewaktu-waktu. Keterlibatan Satlinmas dapat menjadi tokoh penggerak dalam memahami dan mewaspadai bencana longsor yang setiap waktu mengancam nyawa manusia.


(3)

✞ ✟✠

bencana. Maka dari itu sangat diperlukan adanya tindak lanjut dari aparat desa, BPBD Kabupaten Trenggalek, maupun Satpol PP Kabupaten Trenggalek dalam melakukan pembinaan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Agus. dkk.Modul Participatory Action Research,(Surabaya : LPPM UIN Sunan Ampel, 2014)

Chambers, Robert. PRA Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa Secara Partisipatif, (Y. Sukoco, Penerjemah), (Yogyakarta: Yayasan Mitra Tani, 2001)

Data Monografi Desa Dompyong Tahun 2016

Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahannya

Diolah dari sumber : http://menaksopal.id/2016/10/26/pemerintah-kabupaten-trenggalek-merasionalisasi-proyeksi-RAPBD-2017/ pada tanggal 23 Januari 2017

Fitri, Alifa Nur, Pengaruh Intensistas Komunikasi Tim Siaga Bencana, Terpaan Pemberitaan Bencana dan Tingkat SES Masyarakat Terhadap Perilaku Tanggap Bencana dalam Program Mitigasi Bencana Tanah Longsor Di Banjarnegara, Dalam Jurnal Penanggulangan Bencana,Vol.06, No. 02, November 2015.

Habibulah, Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas : Kampung Siaga Bencana dan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol.18, No.2, Juli 2013.

Heddy, Indiyanto, Agus. dkk. Respon Masyarakat Lokal Atas Bencana, (Bandung: PT. Mizan Pustaka,2012)


(5)

✌ ✍✎

Kirmanto, Djoko. “Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor”,Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, Juli 2007, 22.

Laporan RPJMD 2016

Maarif, Syamsul. Pikiran dan Gagasan Penanggulangan Bencana Berbasis di Indonesia, (Jakarta: BNBP, 2012)

Mardikanto, Totok. Soebiato, Poerwoko. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik, (Bandung : Alfabeta, 2012)

Muhammad, Husein.Menyusuri Jalan Cahaya, (Yogyakarta: Bunyan, 2013) Muhlis, Achmad. Bencana Alam dalam Perspektif Al-Qur’an dan Budaya

Madura, Dalam Jurnal Karsa, Vol. 2, No.14, Oktober 2008. hal, 176 Nugroho, Sutopo P. Evaluasi Penanggulangan Bencana 2015 dan Prediksi

Bencana 2016, (Jakarta : Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2016) Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pedoman

Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, (Jakarta : BNPB, 2008) Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pedoman

Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, (Jakarta : BNPB, 2008) Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pedoman Umum

Desa Kelurahan Tangguh Bencana, (Jakarta : BNPB, 2012)

Perhimpunan SUSDEC Surakarta, Belajar dan Bekerja Bersama Masyarakat, Panduan Bagi Fasilitator PerubahanSosial. (Solo : LPTP, 2006)

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan, Pedoman Teknis Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas


(6)

✏ ✑6

BK), (Jakarta : Direktorat Jendral Cipta Karya Kementrian Pekerjaan Umum, 2013)

Saputra, I Wayan Gede Eka. Analisis Risiko Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, (Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, 2015)

Soetomo, Pemberdayaan Masyarakat Mungkinkah Muncul Antitesisnya?. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)

Solekhan, Moch. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi masyarakat. (Malang : Setara Press, 2014)

Suharto, Edi.Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung, PT Refika Aditama, 2010)

Suryadilaga, Alfatih Muhammad. Pemahaman Hadist tentang Bencana, dalam Jurnal Esensia,Vol. 1, No. 14, April 2013.

Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Undang-undang Republik Indonesia,Penanggulangan Bencana, Nomor 24 Tahun 2007.

United National Development Program and Government of Indonesia, Panduan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas, (Aceh : DRR-Aceh, 2012)