ProdukHukum BankIndonesia

(1)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volum e 3, Nom or 3, Desem ber 2005

Volume 3, Nomor 3, Desember 2005

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia

Pelindung

Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jaw ab

Rosw ita Roza, Oey Hoey Tiong, Ramlan Ginting Pemimpin Redaksi

Agus Santoso Sekretaris Redaksi

M usliha Dew an Redaksi

Suchaemi Sy. M aarif, Hendrikus Ivo, Wahyudi Santoso, Bambang Djauhari, Sudarmaji, Tini Kustini, Umi Widji. R, Agus Santoso

Redaksi Pelaksana

Eddie Rinaldy, Hilman Tisnaw an, Hernow o Koentoadji, Anton Purba, Yulita Kuntari, M . Hoshi Utomo

Penanggung Jaw ab Pelaksana dan Distribusi Tim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jaw ab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada aw al tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Namun mulai tahun 2004 buletin ini akan terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan M oneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M .H. Thamrin No. 2 Jakarta 10100, telepon (021) 381 8629 facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt 9 Jl M .H Thamrin No. 2 Jakarta 10100, telepon (021) 381 7416, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“ Buletin ini dapat diakses melalui w ebsite Bank Indonesia di http://w w w .bi.go.id, pilih links


(2)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005

DARI M EJA REDAKSI

DARI M EJA REDAKSI

DARI M EJA REDAKSI

DARI M EJA REDAKSI

Seiring perkembangan permasalahan hukum khususnya dibidang perbankan dan kebanksentralan, serta dalam rangka peningkatan kualitas serta mutu Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, pada Volume 3 Nomor 3 Desember 2005 ini, Redaksi berupaya untuk tetap dapat menyuguhkan bacaan mengenai topik yang sedang hangat dan aktual. Pada kesempatan ini pula Redaksi menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada para penulis atas dukungan dan kontribusi artikel untuk penerbitan Buletin ini.

Terkait dengan topik yang kami pilihkan, untuk edisi Desember ini kami mencoba menampilkan artikel-artikel yang bervariasi, antara lain membahas tentang Pandangan Yuridis Conflict of L aw dan Choice of L aw dalam Kontrak Bisnis I nternasional, Keterkaitan Perbankan Dalam Transaksi Warehouse Receipt, Permasalahan Yuridis akan Status Hak Kepemilikan Pemegang U nit Penyertaan Kontrak I nvestasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset-Backed Securities) Apabila Dikaitkan dengan Kepailitan, dan Tinjauan Yuridis Rencana Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Bank Sentral Dalam Amandemen RU U Pajak Penghasilan.

Dalam rubrik Resensi, kami menampilkan ulasan terhadap buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H dengan judul “Keuangan Publik dalam Prespektif Hukum Teori, Praktik, dan Kritik”. Sementara itu, pada rubrik Cakrawala Hukum ditampilkan 2 (dua) resume hasil seminar perbankan syariah dengan topik Key Legal, Documentary and Structuring I ssues for I slamic Financial Product yang diselenggarakan di Dubai dan 6th I nternational Conference on I slamic

Economics and Finance yang diselenggarakan di Jakarta. Selanjutnya, guna memberikan pengkinian informasi Peraturan Bank I ndonesia, edisi ini, seperti edisi sebelumnya, memuat daftar Peraturan Bank I ndonesia (PBI ) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank I ndonesia yang dikeluarkan pada bulan Agustus-Desember 2005.

Dengan informasi dan wacana yang cukup beragam, semoga Buletin ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Selamat membaca. Jakarta, Desember 2005


(3)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 3, Nomor 3, Desember 2005

Halaman

Dari M eja Redaksi

Daftar Isi

Pandangan Yuridis Conflict of Law dan Choice of Law Dalam Kontrak Bisnis Internasional………

1 – 13

Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, S.H.

Keterkaitan Perbankan Dalam Transaksi Warehouse Receipt….

14 – 18

Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M

Permasalahan Yuridis Akan Status Hak Kepemilikan Pemegang Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset-Backed Securities) Apabila Dikaitkan Dengan Kepailitan………..

19 – 32

Yunus Edw ard M anik, S.H., LL.M

Tinjauan Yuridis Rencana Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Bank Sentral Dalam Amandemen RUU Pajak Penghasilan………..

33 – 41

Edi Yusup Toto S, S.H. & Leo Sukatrilaksana, S.E., M .Ec.

Resensi Buku:

Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik, dan Kritik (oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H)………..

42 – 45

Hilman Tisnaw an, S.H Cakraw ala Hukum:

-

Key Legal, Documentary and Structuring Issues for Islamic Financial Product, Dubai 7-8 September 2005


(4)

-

6th International Conference on Islamic Economics and Finance, Jakarta 21-24 November 2005

Redaksi

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia Agustus – Desember 2005………...

57 – 62

Tim Informasi Hukum


(5)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005

PANDANGAN YURIDIS CONFLICT OF LAW DAN CHOICE OF LAW

DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL

Oleh: Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH1

A. Umum

1. Pengantar

Conflict of law menjadi salah satu topik dalam diskusi berkepanjangan yang dibahas dalam Working Group VI UNCITRAL bulan September 2005. Tujuan pembahasan adalah untuk membentuk model law bisnis internasional, antara lain sengketa hukum dalam pelaksanaannya, terutama yang berhubungan dengan kebebasan para pihak menentukan hukum dalam penyelesaian sengketa mereka (choice of law ) dan pembatasannya, yang semakin berkembang dalam pelaksanaannya,

berakibat dibutuhkannya pengaturan yang lebih luas.

Keadaan nyata dapat dilihat pada perlindungan terhadap risiko yang timbul dalam perjanjian terkait dengan aktivitas bank dalam pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga untuk menyediakan dan membiayai, seperti perkreditan,

treasury, investasi, dan pembiayaan perdagangan.2

1

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI.

2

Dalam menjalankan usahanya, bank menghadapi berbagai risiko, antara lain penerbitan surat berharga yang dipersengketakan, tunduk pada ketentuan dalam UU No. 7 Tahun 1992 Tentang

Hukum sebagai penunjang utama dalam pelaksanaannya agar berjalan secara tertib berdasarkan hukum nasional para pihak yang membatasi pilihan hukum, misalnya UU Kepailitan,3 UU Lingkungan Hidup, UU Perbankan (termasuk kantor cabang bank asing mengikuti ketentuan ini vide Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-hatian).

Dalam Sekuritisasi Aset Bank Umum, HAKI,4 PP tentang Waralaba, dan sebagainya, memperhatikan

model law perdagangan

internasional yang disepakati dalam UNCITRAL.

Tujuannya adalah menciptakan efisiensi, konsistensi, dan koherensi dalam unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional.

Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, dan dapat pula karena risiko kredit, yaitu risiko yang timbul akibat kegagalan

count er part memenuhi kewajibannya.

3

Kasus insolvensi di Indonesia berlaku UU Kepailitan, berdasarkan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Untuk proses likuidasi bank, berlaku ketentuan Bab VI mengenai Likuidasi UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

4

Lihat UU No. 15/ 2001 tentang Merk, dan UU No. 14/ 2001 tentang Paten yang menentukan bahwa apabila terjadi conf lict of law, maka hukum yang berlaku adalah hukum dari negara yang memberikan hak khusus atas HAKI tersebut.


(6)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 Konvensi internasional sebagai

model law yang berlaku,

pelaksanaan kontrak, antara lain di bidang barang, seperti The Hague

Convention on the Law Applicable to Contracts of International Sale of Goods (1986).5 Konvensi dibidang transaksi elektronik, pelaksanaan fungsi pengaw asan pelaksanaan Konvensi New York 1958 tentang

recognation and enforcement of

Foreign Arbital Aw ards, dan

sebagainya.

Dalam kenyataannya ketentuan hukum harmonisasi yang merupakan

model law saat ini sudah tidak memadai dikaitkan dengan

kegiatan-kegiatan bisnis internasional, terutama yang

menyangkut pelaksanaan penyertaan modal, transaksi

elektronik, pemberian kredit/ hak dan kew ajiban para pihak dikaitkan dengan perjanjian baku, dalam pelaksanaan fungsi bank sebagai penyedia dan penerima dana.

Lembaga internasional/ M ajelis Umum PBB, khususnya Komite VI (Hukum), melalui UNCITRAL, dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi telah melakukan usaha mengumpulkan pendapat dan kesepakatan negara anggota untuk membuat suatu konvensi yang menjadi model atau rujukan dalam pembangunan rezim hukum

5

Konvensi ini menentukan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu kontrak penjualan yang tidak dipilih oleh para pihak adalah hukum tempat kedudukan bisnis penjual saat kontrak dibuat. Pasal 13 menentukan bahwa apabila tidak ada pilihan hukum yang tegas maka berlaku hukum negara pemeriksaan barang dilakukan.

perdagangan internasional dalam bentuk model law yang sesuai kebutuhan saat ini, misalnya dalam kaitan dengan conflict of law yang berhubungan erat dengan choice of

law (pilihan hukum), yaitu hak para pihak untuk memilih hukum yang berlaku apabila terjadi conflict of

law.

B. Permasalahan

1. Apa, dan bagaimana

pelaksanaan lembaga choice

of law, dalam pelaksanaan kontrak bisnis internasional apabila terjadi conflict of

law?

2. Apa permasalahan dan solusi penerapan choice of law dalam pelaksanaan kontrak bisnis internasional apabila terjadi conflict of law ?

C. Pembahasan

1. Perkembangan Choice of Law dalam Kontrak Bisinis Internasional

Hak dan kew ajiban para pihak yang menjadi dasar penyelesaian sengketa mereka dalam conflict of law diistilahkan sebagai choice of law , dan ada pula yang mempergunakan

party autonomy. Istilah choice of law lebih pasti pengertiannya dari pada


(7)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 dikemukakan oleh Sudargo

Gautama.6

Istilah party autonomy sering dipahami secara keliru (misleidend) dalam Hukum Bisnis Internasional, sehingga menimbulkan pemikiran ke arah yang sebenarnya tidak dicakup oleh istilah tersebut. Istilah

autonomy (otonom) mengandung

pengertian menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi mereka. Secara hukum para pihak tidak mempunyai kemampuan untuk membuat sendiri undang-undang bagi mereka. Tidak ada kew enangan untuk menciptakan hukum bagi para pihak yang berkontrak. M ereka hanya diberikan kebebasan untuk memilih hukum mana yang mereka kehendaki untuk diterapkan bagi kontrak yang mereka buat, dan tidak diberikan kew enangan untuk secara otonom menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi mereka. Kolleew ijn mengemukakan dalam kaitan ini: “Het is slechts

kiesvrijheid...Niet het recht tot self-regeling”.7 (Itu hanyalah kebebasan

6

Sudargo Gaut am a, Hukum Perdata Internasional, Jilid II Bagian 4, Buku ke 5, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hal. 3. Menurut Szaszy Schnit zer, dalam Private International Law in European People’s Democraties, Leiden Universiteit, Leiden, 1964, P. 211, bahwa part y aut onomy (Inggris) dalam bahasa Belanda part ij aut onomie, part eiaut onomie/ Jerman atau part y aut onomy/ int ent ion of t he part ies/ Inggris, lebih menekankan hak para pihak tanpa batas. Schnit zer, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereniging, Marthijn Nijhof, Nederland, P. 106, mengatakan bahwa istilah lain dari part y aut onomy adalah recht skeuze, atau choice of law, yang menurut Schnitzer istilah choice of law lebih sesuai karena menggambarkan apa yang diartikan dengan istilah hukum yang bersangkutan dalam hukum perdata internasional.

7

Kollew ijn, R.D, Rechtskeuse, Een Nederlandsch-Indische Rechtspiegelvoorgehouden aan het

untuk memilih....bukanlah hak untuk mengatur sendiri–Terjemahan Redaksi).

Perkembangan masalah otonomi para pihak ke arah kebebasan memilih hukum yang menjadi dasar hubungan perjanjian para pihak sudah dipraktekkan sejak dahulu. Otonomi para pihak secara konkrit baru dikenal kemudian. Dumolin seorang ahli hukum Italia abad pertengahan mengemukakannya berkenaan dengan masalah syarat-syarat perkaw inan (huw

elijks-voorw aarden) berkaitan dengan ide kebebasan para pihak.8

Di Perancis dan Nederland ajaran Dumolin ini telah tersebar. Kebebasan para pihak untuk memilih hukum ini ternyata tidak dibatasi untuk soal-soal perkaw inan, tetapi juga dibidang hukum perjanjian diakui pilihan hukum oleh para pihak, baik secara tegas maupun diam-diam, sebagai faktor yang menentukan. Namun demikian belum tegas bagi para penulis saat itu tentang kebebasan untuk memilih hukum apakah juga berlaku

International Privaatrecht. Paul Scholt en, Verzamelde Opstellen over Intergentiele Privaatrecht Rechtsgeleerde Opstellen Aangeboden aan, Bandung, 1955, hlm. 4.

8

De w int er, L.J. op. cit, hal 23. Menurutnya persoalan epoux meries sans cont rat telah menjadi famossismo question dan Dumuolin sebagai ahli hukum Perancis saat itu yang pertama-tama telah memberikan perumusan tegas daripada ide kebebasan para pihak. Karenanya ia disebut sebagai f ondat eur de la doct rine.


(8)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 sebagai ketentuan yang bersifat

mengikat (dw ingend).9

Choice of law (pilihan hukum) dalam hukum perjanjian adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk perjanjian mereka.10 Tujuan penerapan pilihan hukum adalah perlakuan sama untuk kasus serupa, dan pengembangan kepentingan, tujuan dan kebijakan masyarakat.

Ada beberapa alasan memberlakukan pilihan hukum, yaitu memberlakukan klausula pilihan hukum yang terdapat dalam kontrak (pengakuan) terhadap party

autonomy,11 mengesampingkan

pilihan hukum, dan memberlakukan klausula pilihan hukum sebagai penunjang, dan bukan faktor penentu.12

9

Abad ke 19 ajaran kebebasan memilih oleh para pihak ini semakin berkembang, dipergunakan oleh para hakim, antara lain Von Savigny. Menurutnya bahwa hubungan hukum ditampilkan dalam bentuk penundukan sukarela pada sesuatu stelsel hukum yang terjadi karena dipilih (lex loci execut ions). Pilihan sedemikian ini terutama terjadi secara diam-diam. Teori otonomi para pihak dikembangkan oleh Mancini, bahwa otonomi para pihak merupakan salah satu dari hak asasi keseluruhan bangunan hukum perdata internasional disamping prinsip nasionalitas dan kepentingan umum. Mancini menjadikan kebebasan para individu untuk menentukan hukum bagi hubungan kontrak mereka, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh faham ketertiban umum.

10

Sudargo Gaut am a, op. cit, hal 5, lihat pula Subekt i, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1987, hal. 11.

11

Apabila hukum yang dipilih berhubungan erat dengan kontrak, dan tidak melanggar kebijakan fundamental dari negara lain yang lebih besar kepentingannya terhadap keputusan pokok.

12

Dari berbagai putusan pengadilan di berbagai negara, dapat dilihat tidak ada perbedaan prinsipil antara sistem hukum yang ada di dunia,

M anfaat pilihan hukum adalah memuaskan para pihak karena menggunakan hak dasarnya, bersifat kepastian karena memungkinkan para pihak dengan mudah

menentukan hukumnya, memberikan efisiensi dan manfaat.

Dasar pertimbangan berlakunya pilihan hukum atas pemikiran bahw a semua negara tidak memiliki sistem hukum nasional yang sama. Apabila tidak ditentukan pilihan hukum, maka diterapkan hukum privat nasional.

Pembahasan tentang party

autonomy ditampilkan dalam satu bahasan perkembangan praktek bisnis internasional berkaitan dengan kontrak. Dikemukakan dalam Pokja UNCITRAL, bahw a party

autonomy harus diakui dalam

perjanjian baku perbankan, misalnya perjanjian kredit antara bank sebagai kreditur dan debitur sebagai penerima kredit. Klausula dalam perjanjian baku tersebut harus bersifat perintah (mandatory) dalam rangka melindungi debitur sebagai pihak yang melunasi kredit agar dapat membayar hutangnya sesuai kesanggupannya, bila terjadi conflict

of law.

Aspek-aspek lain yang dibahas apabila terjadi conflict of law , antara lain tentang negotiable instrument

dan negotiable document,

disamping conflict of law . Apakah

seperti common law , social law, dan anglo saxon. Pengaturan pilihan hukum secara umum adalah kebutuhan akan perlindungan dan kepastian para pihak dalam melakukan hubungan dagang yang melewati batas wilayah.


(9)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 dalam menyelesaikan sengketa para

pihak hukum negara pihak penanggung (guarantor) dapat sebagai tempat penyelesaiannya. Selanjutnya disinggung pula substansi pengaturan berkaitan dengan benda bergerak yang harus didaftarkan, dan intellectual

property yang sudah disetujui dalam sidang sebelumnya sebagai security

right intangible property, yang akan dilanjutkan di New York.

Pembahasan yang dilakukan oleh Pokja Hukum UNCITRAL tersebut merupakan pembahasan yang selama ini telah dilakukan, dan sebagian sudah mencapai kesepakatan, antara lain

E-Commerce, the Use of Elect ronic Communications in International Contracts, yang dibahas oleh Pokja IV sebagai respon terhadap kebutuhan hukum berkaitan dengan

secured transaction, yang secara efisien diharapkan mampu menghilangkan hambatan hukum dan memberikan dampak positif terhadap kesediaan biaya bagi kredit.13

Pelaksanaan Sidang Working Group UNCITRAL yang diselenggarakan tanggal 5-9 September 2005, membahas masalah security interest, sesi ke 8 untuk draft rancangan ketentuan hukum secured

13

Sebagian besar masih dalam proses pembahasan. Substansi yang dibahas adalah mengenai procurement (Pokja I), arbit rat ion

(pokja II), t ransport law (Pokja III), insolvency law

(Pokja V), dan securit y int erest (Pokja VI). Securit y int erest oleh Pokja VI merupakan lanjutan pembahasan pada sesi 7, diselenggarakan di New York pada tanggak 24-28 Januari 2005.

transaction, dengan fokus secured

credit law.

Pertimbangan pembahasan isu mengenai secured credit law ini adalah merupakan respon terhadap kendala-kendala hukum yang timbul dalam pelaksanaan penyediaan dan pembiayaan bank. Beberapa hasil keputusan dalam pembahasan

Working Group VI tersebut adalah chapter IX tentang insolvency, chapter X tentang acquisition

financing, dan chapter XI tentang

conflict of law.

Diskusi terkait dengan conflict of law antara lain menyinggung tentang

bank account (rekening bank), dan

security account (surat berharga). Kedua instrumen ini sulit dibedakan dalam pelaksanaan fungsi bank sebagai pihak ketiga dalam melayani nasabah. Security account berfungsi sebagai pemenuhan kew ajiban yang diatur terakhir dalam Hague Convention lebih kompleks dari

bank account. Kesepakatan

pemanfaatan surat berharga sebagai pemenuhan kew ajiban mengikuti perjanjian pokok, dan harus dibayar saat jatuh tempo oleh penerbit.

2. Choice of Law dan Ketertiban

Umum

Ketertiban umum dan choice of law merupakan dua asas hukum sangat penting dalam conflict of law . Para ahli beranggapan bahw a ketertiban umum berfungsi sebagai lembaga yang membatasi kebebasan para


(10)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 pihak dalam menentukan choice of

law yaitu memilih hukum yang berlaku bagi mereka apabila terjadi sengketa.

Hijman mengatakan dalam bidang perdata internasional masih didiskusikan tentang seberapa jauhkah arti dari hak para pihak dalam menentukan hukum bagi mereka. Apakah keinginan para pihak memiliki peranan dalam menentukan hukum yang harus diperlakukan. Berkaitan dengan

partij-autonomie dikatakan bahw a

“ M et dit vragstuk raak ik een hoofdproblemen, van het geheele privaatrecht: de betekenis van den menselijken w il voor het recht”. (Dengan pertanyaan ini sampailah saya pada masalah yang utama dari keseluruhan hukum perdata: arti dari keinginan manusia terhadap hukum–Terjemahan Redaksi)

Choice of law sangat penting

dihubungkan dengan ketertiban umum, yang bila dilihat dari sudut pandang falsafah peranan kemauan individu terhadap hukum yang berlaku (w ildogma) dan ajaran Romaw i. Persoalan pilihan hukum dalam bidang bisnis internasional menampilkan unsur-unsur falsafah hukum, mengandung pula segi-segi teori hukum, praktek hukum dan politik hukum, yang oleh Kosters disebut sebagai de hoek steen van

het rechtstelsel (batu penjuru dari suatu sistem hukum-Terjemahan Redaksi).

Pendekatan semacam ini dapat mempengaruhi pandangan ke arah falsafah tentang sejauh manakah peranan kemauan individu terhadap hukum yang berlaku, atau dalam hukum romaw i mengenai animus,

voluntas, consentire, yang

substansinya tidak diuraikan lebih jauh dalam tulisan ini. Persoalannya adalah dalam menentukan haknya bila terjadi conflict of law .

Para ahli dibidang bisnis internasional mengakui bahw a secara empiris prinsip pilihan hukum dibidang kontrak dipergunakan di dunia tanpa mempersoalkan pandangan secara dogmatis yang dikemukakan para ahli. Pelaksanaannya lebih didasarkan pada pertimbangan dari segi prinsip-prinsip ekonomi, dan hukum, berkaitan dengan batas-batas kew enangan choice of law . Batas kew enangan choice of law dapat dilakukan secara tidak terbatas, atau dibatasi hanya dalam hal-hal tertentu, yaitu tentang hukum manakah yang berlaku bagi kontrak yang disepakati para pihak, dan sejauh manakah para pihak dapat menentukan sendiri hukum yang dipergunakan bagi hubungan hukum mereka, dan apabila para pihak tidak menggunakan haknya untuk memilih hukum yang berlaku bagi mereka maka hukum manakah yang menjadi dasar pelaksanaan kontrak mereka.

Ketentuan apakah yang pantas diterapkan apabila para pihak tidak mempergunakan haknya dalam


(11)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 menentukan pilihan hukum, dan

apabila menggunakannya hak tersebut ditinjau dari sifat kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi para pihak yang berkontrak sesuai dengan logika atau bertentangan dengan sifat memaksa (dw ingend) dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Juga merupakan persoalan apakah para pihak bebas dalam pilihan mereka atau sangat terbatas dalam kemampuan mereka ini. Apakah para pihak dapat menentukan kaidah-kaidah tertentu tunduk atau berlaku hanya terhadap bagian-bagian tertentu dalam kontrak, sehingga dalam satu kontrak terdapat beberapa kaidah yang menjadi dasar penundukan/ sebagian tunduk kepada hukum tertentu, sedangkan bagian lainnya dari kontrak tunduk kepada hukum lain perlu diamati secara tersendiri. Berkaitan dengan substansi ini, Rabel yang mendukung prinsip kebebasan memilih hukum mengatakan bahw a para pihak berhak menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak mereka.14 Secara empiris dapat dilihat pada hasil penelitian terhadap keputusan M ahkamah Agung Internasional, dan badan-badan arbitrase

14

Rabel, dalam Sudargo Gautama, op.cit, hal 122, mengatakan bahwa “despite some the parties to a contract have a right to determine the law applicable to their contractual relationship only the limits may be controversial. Hence the recent literature interest it self more in the limits to imposed upon the autonomy of the parties intention than in challenging its existence”.

internasional tentang adanya pengakuan terhadap hak pilihan hukum bagi para pihak (the principle

of the importance of the intention of the parties has been adopted by most courts and publicits). Sudargo Gautama mengemukakan pendapat Winter dalam suatu karangan khusus mengenai peranan yang memaksa pada perjanjian-perjanjian internasional tentang penerimaan pilihan hukum oleh para pihak berkenaan dengan dilakukannya kontrak-kontrak internasional.15 Ketertiban umum memiliki beberapa fungsi dihubungkan dengan choice

of law, pertama; sebagai rem atau penghambat, yaitu membatasi diberlakukannya hukum asing dalam hal-hal tertentu. Kedua; untuk menghalangi kebebasan hak otonomi para pihak dalam menentukan berlakunya hukum dalam kontrak mereka. Ketiga; sebagai elemen yang membatasi berlakunya stelsel hukum asing yang tidak sesuai dengan stelsel hukum dari hakim yang mengadili sengketa para pihak; dan keempat; sebagai perlindungan terhadap pemakaian otonomi hak para pihak dalam

choice of law yang terlampau luas. Fungsi ketertiban umum tersebut secara empiris terdapat di Cina. Ketentuan hukum Cina melarang

15

De Winter, LJ, Dwingen Recht bij Internasionale Overeenkomsten, University of Leiden, Marthijn Nijhof, Nederland, 1964, hal 329-331. “Deze opvat t ing, die aanvankelijk op bezw aren van dogmat ische aard st uit t e, w ordt t hans in vrijw ealle landen zow el in de recht spraak als de w et enschap aanvaard”


(12)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 pelaksanaan choice of law dalam

kontrak bisnis yang terkait dengan teknologi. Ketentuan hukum yang dipergunakan adalah hukum Cina. Ketentuan yang ditetapkan oleh M enteri Perdagangan dan Ekonomi Cina itu mengenai kebijakan impor teknologi di RRC.16 Oleh karena itu menurut Niboyet, salah satu ahli yang menentang otonomi para pihak, mengatakan bahw a apabila istilah otonomi dipergunakan perlu membatasi pengertiannya, misalnya dalam bentuk definisi untuk menghindari pelaksanaan yang luas.17

Caleb menyebut ketertiban umum atau openbare orde (Belanda), dan

ordre public (Perancis), sebagai pembatasan utama kebebasan untuk melaksanakan kemauan seseorang dalam bidang kontrak untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum.

Penyelundupan hukum itu dapat dilakukan melalui perubahan titik taut yang menentukan dalam proses hukum yang dipakai sebagai dasar dalam penyelesaian suatu peristiw a

16

Douglas C. Markel dan Randy Peerenboom. The Technology Transfer Tango, The China Business, January-February 1997, P. 25.

17

Niboyet, dalam Subekti, op.cit. hal. 12 Volker Triebel dalam The Choice of Law in Commercial Relations, A German Prespective, International and Comparative Law Quarterly, Vol. 37, October 1988, P. 939, mengemukakan bahwa di negara-negara lain antara lain Jerman membentuk undang-undang yang membatasi part y aut onomy, yaitu t he act on t he regulat ion of st andardized cont ract. Pilihan hukum para pihaktidak boleh mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila kontrak bersifat publik, misalnya public of f er, public advert ising di Jerman.

hukum. Peranan subyektif dengan jalan memindahkan atau mengubah titik-titik taut penentu ke arah stelsel hukum lain yang dikendaki dapat berakibat terjadinya penyelundupan hukum ini.

Penyelundupan hukum adalah penggeseran titik-titik pertalian obyektif yang menentukan titik pertalian sekunder. Para pihak melakukan perubahan domicilie, atau menutup kontrak di luar negeri, atau memilih tempat pelaksanaan (lex loci executionis) di luar negeri. Secara hukum, pilihan hukum dapat dilakukan dengan titik pertalian yang bersifat obyektif, seperti misalnya kew arganegaraan (lex

patriea), domisili (lex domicilie), tempat letaknya benda (lex rei sitae), tempat kontrak dilaksanakan (lex

loci contractus), dan sebagainya.

Untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum, melalui sikap pihak bersangkutan secara sew enang-w enang memilih hukum yang dibalut kepentingan menguntungkan dirinya sendiri, dan bukan hukum yang berlaku di negara salah satu pihak yang melakukan kontrak, maka diterapkan persyaratan secara tegas.18

18

Yurispudensi negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon sangat tegas menerapkan persayaratan ini. Misalnya dalam hukum Inggris, sebagai jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan oleh pemerintah Belanda berhubung dengan Konfrensi ke-6 di Den Haag mengenai jual beli internasional telah dikemukakan antara lain: “The view adopt ed in English Law is t hat a cont ract ought t o be governed and is governed by t he law or law s t o w hich t he part ies int ended t o summit t hemselves. When t he part ies expressly


(13)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 Jika dilakukan perbuatan

bersangkutan di tempat tertentu, maka pilihan tempat ini tidak dengan sengaja dipilih dengan maksud untuk melakukan

penyelundupan. Rabel mengemukakan “ the place should

not be intentionaly selected for the purpose of evasion” , dalam berbagai sistem hukum tertentu disyaratkan bahw a pemilihan hanya dapat dilakukan mengenai hukum yang benar-benar mempunyai hubungan nyata dengan peristiw a hukum yang bersangkutan.

Pemilihan hanya terhadap hukum yang ada hubungan tertentu dengan kontrak bersangkutan. Persyaratan di atas merupakan usaha untuk menghindari kemungkinan pilihan hukum berubah menjadi penyelundupan hukum. Dalam hubungan ini dapat ditunjuk pada perkara-perkara riba, yang seringkali terjadi pada Yurispudensi USA tentang perbedaan “ rate” bunga dan syarat-syaratnya di berbagai negara bagian, mengakibatkan terjadinya penyelundupan hukum dengan jalan pilihan-hukum. Dalam hal ini Hakim berpendirian bahw a pilihan hukum hanya dapat diterima, jika hukum yang dipilih merupakan hukum domisili sebenarnya para pihak dan kontrak ditutup, sekaligus

st ipulat e t hat t heir cont ract shall be governed by t he cont ract , provided t hat t he st ipulat ion express t he bonaf ide int ent ion of t he part ies. But a cont ract w ill not be enf orced in England, w het her law f ul by t he law w hich t he part ies int ended t o be applicable or not , (1) if it or t he enf orcement of it is opposed in English int erest s of st at e, or t o t he police of t he English law , or t he moral rules upheld by English law…”

dianggap dibuat, dan dilaksanakan dan dilakukannya pembayaran.19

3. Choice of Law Dalam Praktek

Perbankan

Secara empiris putusan hakim Indonesia yang berkaitan dengan

choice of law dalam

perkembangannya jarang ditemukan, disebabkan

perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan Indonesia pada umumnya kurang dipermasalahkan pilihan hukum oleh para pihak, demikian pula terdapat sebagaian besar hukum Indonesia yang mengatur pembatasan pilihan hukum, yang berdampak kepastian hukum.

Kenyataan dapat disimak sejak dahulu, bahw a dalam praktik choice

of law terdapat pembatasan

pemberian hak terhadap para pihak. Sebelum kemerdekaan dapat dilihat dalam kasus “ Tijdschrift van het

Recht”, diputuskan hakim Indonesia berkaitan dengan sistem choice of

law, atau rectskeuze yaitu Arrest dari

Hoogerechtshof tahun 1935,

tentang penggunaan w esel yang telah diendosir kepada order dari

19

Sudargo Gautama, op. cit hal 123. Niboyet yang dikutip oleh Sudargo Gautama menegaskan bahwa penunjukan kepada hukum intern negera bersangkutan yang dapat diterima. Jika diakui adanya kewenangan untuk memilih hukum disatu pihak, maka tidaklah pada tempatnya bahwa hukum yang dipilih ini kemudian kembali menunjuk kepada hukum lain sebagai hukum yang akan memecahkan sengketa yang bersangkutan. Jika demikian halnya, maka ini akan merupakan suatu kontradiksi dengan pikiran mengenai otonomi.


(14)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 dan diserahkan kepada Barclay’s

Bank Limited.

Kasus Zecha v. Samuel Jones & Co (Export) Ltd, Pedagang Lois Zecha yang bertempat tinggal di Sukabumi dan pedagang dengan merek dagang “ Soekaboemische

Snelpersdrukkerij” telah digugat oleh perusahaan Inggris Samuel Jones & Co (Export) Ltd, berkedudukan di London, untuk membayar 12 w esel yang telah ditarik oleh perusahaan George M an & Co Limited di London pada ordernya sendiri atas tergugat Zecha, w esel-w esel tersebut telah diaksep oleh George M an & Co Limited, sebagian dari w esel-w esel ini telah diendosir kepada order dan diserahkan kepada Barclay’s Bank Limited, yang kemudian diedarkan kepada pihak lain, dan setelah jatuh tempo pihak Zecha tidak bersedia membayar.20

M enurut pertimbangan Hooggerechtshof para pihak saat

melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adalah agar hukum Indonesia yang diberlakukan. Para pihak telah memilih hukum

20

Sudargo Gautama, op.cit 211. Sebagai alasan dikemukakan bahwa tuntutan berdasar wesel-wesel ini tidak beralasan, justru pihak Zecha yang mempunyai gugatan penggantian kerugian setelah wanprestasi oleh pihak Mann & Co, berdasarkan jual beli mesin, karena mesin tersebut rusak dan tidak dapat dipergunakan, berakibat telah ditarik wesel-wesel tersebut. Pihak Jones sudah mengetahui lebih dahulu sebelum mengambil alih wesel-wesel tersebut. Pengambilalihan wesel-wesel oleh Jones ini juga semata-mata merupakan suatu perbuatan pura-pura (schijnhandeling) karena sebenarnya cessie-cessie bersangkutan hanya dilakukan supaya lebih mudah pihak Mann & Co dapat memperoleh jumlah yang dituntutnya.

Indonesia sebagai sistem hukum yang bersangkutan yang harus dipergunakan.21

Walaupun dari kasus ini ternyata bahw a cessie bersangkutan telah dilakukan di London, dihadapan Notaris Jhon Dalton Venn, yang berpraktik di kota itu. Hooggerechtshof beranggapan bahw a hukum Indonesia yang berlaku. Dalam hal ini terlihat bahw a

Hooggerechtshof tidak mempertimbangkan lex loci

contractus sebagai yang

menentukan, dan kemampuan para pihak yang lebih diutamakan pada tempat dimana akta dibuat.

Dengan mempergunakan hukum

Indonesia, Hooggerchtshof berpendirian bahw a akta-akta cessie

yang dibuat mempunyai titel yang sah karena ternyata cessie dan peralihan hak yang bersangkutan telah terjadi dengan pembayaran oleh pihak Jones kepada Barclay’s Bank dari jumlah yang ditagih oleh Jones dari Zecha, dan cessie semacam ini dianggap berlaku menurut ketentuan-ketentuan hukum Indonesia.

Peranan ketertiban umum dalam penentuan choice of law

diefektifkan dalam memutuskan

21

Pertimbangan Hooggerechtshof untuk mengetahui apakah yang merupakan kehendak para pihak saat membuat perjanjian itu, berbunyi sebagai berikut: “ de grief den hove gegrond voorkomt , Immers en het f eit dat de akt en in de Nederlandsche t aal zijn gest eld en ook den inhound van de akt en erop w ijzen, dat zow el de cedens als de cessionaries de t oepasselijkheid van het Nederlansch-indisch recht voor oogen st ond”.


(15)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 kasus-kasus oleh pengadilan dan

M ahkamah Agung di negara-negara di dunia, misalnya di Amerika Serikat.

Dalam perkara First National Bank vs Banco Pere El Commercio Exiterior de Cuba,22 tahun 1983, M ahkamah Agung Amerika Serikat, telah menggunakan pilihan hukum dan ketertiban umum dalam menentukan kasus nasionalisasi property yang dilakukan Cuba bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu tidak sesuai dengan hukum yang berlaku dan situasi yang terjadi.

Putusan M ahkamah Agung mengijinkan “ Citibank’s set off,

advancing both equitable principles and United States public policy” .

Pengadilan di Amerika Serikat menghormati pilihan hukum para pihak dalam kontrak internasional, namun mempergunakan konsep ketertiban umum (public policy) sebagai suatu alat yang mengizinkan forum pengadilan untuk mengabaikan penerapan hukum asing yang tidak sesuai. David Cliffort mengatakan bahw a pembenaran klasik penggunaan konsep public policy terhadap pilihan hukum, yaitu penerapan dalam tradisi kesejahteraan umum.23

22

Yansen Dermawan Latief, Disertasi, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kont rak Int ernasional, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Jakarta 2002, 67-72.

23

David Cliffort, “Transnational Public Policy as a Factor in Choice of Law Analisis”, New York Law School of Journal of International and Comparative Law; 1984, 5 No. 2 & 3, P 367.

Pembatasan terhadap pilihan hukum para pihak diatur dalam Pasal 187 (2) (b) The Restatement (second), yang menentukan pengadilan mengikuti hukum para pihak, kecuali bertentangan dengan kebijaksanaan mendasar dari negara yang mempunyai hubungan lebih erat dengan pilihan hukum yang telah dilakukan.24

Klausula pilihan hukum memang secara esensi memberikan para pihak kecakapan untuk mengeluarkan suatu peraturan

“ illegalit y” atas kontrak dan mengesampingkan hukum, namun

the restatement juga menentukan pembatasan-pembatasan. The Restatement’s “ fundamental policy” dan “ materially greater interest test”

adalah suatu versi modifikasi dari pendekatan analisis kepentingan (interest analisis).25

24

Ari Dobnert, “Litigation for Sale “University of Pennsylvania Law Review. V. 144:1529. Ia mengemukakan bahwa application of the law of chosen state would be contrary to a fundamental policy of state which has a materially greater interest than the chosen state in the determination of the particular issue and which, under the rule of & 188, would be the state of applicable law in the absence of an effective choice of law by the parties.

25

Joint venture antara warga negara Cuba dan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah menanamkan modal di Cuba. Dalam pelaksanaannya beberapa bank, termasuk Citibank telah membuka cabang di Cuba untuk melancarkan usahanya termasuk dana investasi, namun demikian, akibat politik, hubungan Cuba dan Amerika Serikat semakin sulit saat itu. Amerika Serikat melakukan ketentuan melarang impor gula dari Cuba. Untuk menanggulangi persoalan bisnis, pemerintah Cuba mengeluarkan peraturan menasionalisasi seluruh propert y dari penduduk Amerika Serikat di Cuba. Cuba mengatakan bahwa Banco National mempunyai suatu “ legal personalit y and w as a separat e juridical ent it y. Banco Nat ional capable of suing and being sued”. Bank hanya bertanggung jawab


(16)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 Indonesia menganut kedua asas

tersebut, baik asas kebebasan berkontrak maupun ketertiban umum, atas dasar Pasal 1337 KUHPerdata, bahw a suatu sebab terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, demikian pula Pasal 25 AB, bahw a perbuatan atau perjanjian tidak boleh menghilangkan kekuatan peraturan hukum, ketentuan umum atau kesusilaan. Pasal 17 AB mengatur tentang barang tidak bergerak berlaku hukum nasional di tempat barang itu terletak sesuai dengan asas lex rei sitae. Bagi tanah yang dijadikan jaminan harus didaftarkan pada kantor pertanahan, dalam perjanjian antara kreditur asing dan debitur Indonesia.26 Demikian pula ketentuan UU Kepailitan menentukan penyelesaian kepailitan berdasarkan hukum Indonesia, dan bukan pilihan hukum para pihak. Ketentuan UU Kepailitan mengabaikan pilihan hukum para

terhadap modal dan aset, dan bukan merupakan tanggung jawab pemerintah Cuba atas utang Banco National.

Revolusi Cuba mengakibatkan perubahan ekonomi, sosial dan politik, “ (t ) here w as a st udied ef f ort t o preserve a cont inued corporat e exist ence, w hile reorganizing t he Cent ral Bank t o conf orm it t o t he new order” . Dengan demikian terjadi perubahan signifikan. Pert ama, seluruh Banco National dimiliki dan dikontrol oleh pemerintah Cuba. Kedua, nasionalisasi secara khusus terhadap property beberapa bank Amerika Serikat, termasuk Citibank. Dalam sengketa, Citibank dimenangkan atas dasar ketertiban umum.

26

St Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, Asas-asas Ketentuan Pokok dan Masalah Perbankan. Pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk lahirnya hak tanggungan, dan untuk mengikatnya pada pihak ketiga, Bandung, Penerbit Alumni, Hal 36-44.

pihak dalam kontrak bisnis internasional, dan menerapkan hukum Indonesia dalam penyelesaian sengketa insolvensi, dan penundaan pembayaran utang melalui kew enangan khusus, berupa yurisdiksi substantif yang efektif, berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahw a pelaksanaan choice of law dalam

conflict of law memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan hukum yang berlaku bagi bisnisnya. Hakim negara-negara di dunia menghormati pilihan hukum para pihak. Namun demikian ada pembatasannya, melalui penerapan asas ketertiban umum, misalnya berdasarkan UU nasional pelaksanaan kontrak, misalnya di Indonesia UU Kepailitan yang menentukan berlakunya hukum nasional dalam penyelesaian conflict

of law. Apabila hukum yang dipilih tidak mempunyai hubungan yang substantif dengan transaksi dan tidak memiliki alasan yang cukup bagi pilihan hukum para pihak, maka hakim akan menentukan hukum manakah yang berlaku. Hukum negara hakim yang mengadili dapat menjadi dasar penyelesaiannya apabila hukum yang dipilih para pihak tidak dapat diterapkan dalam sengketa yang terjadi.


(17)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 13 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005

DAFTAR PUSTAKA

Cliffort, David. Transnational Public Policy as a Factor in Choice of Law . Harvard University Press, 1979. School of Journal of International and comparative Law , 1984, 5 No. 2 & 3, P. 367.

Dobnert, Ari. Litigation for Sale. University of Pennsylvania Law Review . V. 144: 1529.

Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional. Jilid II Bagian 4. Buku ke 5. Bandung: Alumni, 1992.

Kolew ijn, RD. Rechtskeuse Een Nederlandsch Indische Rechtspiegelvoorge

houden aan het International Privaatrecht. Nederland, M arthijn Nijhof, 1969.

LJ, De Winter. Dw ingen Recht bij Internationale Overeenkomsten. Leiden, University of Leiden, M arthijn Nijhof, Nederland, 1964.

Schnitzer, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereeniging. M arthijn Nijhof, Nederland, 1999.

Scholten, Paul. Verzamelde Opstellen over intergentiele Privaatrecht Rechtsgeleer

de Opstellen Aangeboden aan. Bandung, 1955.

Sjahdeini, St Remy. Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan dan Pokok dan

M asalah Perbankan. Bandung: Alumni, 1999.

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Pustaka Djembatan, 1982.

Szaszy Schnitzer. Private International Law in European People’s Democraties. Leiden, Leiden Universiteit, 1964.

Triebel, Volker. The Choice of Law Commercial Relations, A German Perspective,

International and Comparative Law Quarterly, Vol 37, October 1988.

Yansen Demaw an Latief. Disertasi, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam

Kontrak Internasional. Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2002.


(18)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 14 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005

KETERKAITAN PERBANKAN DALAM TRANSAKSI WAREHOUSE RECEIPT1

Oleh: Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M 2

Transaksi w arehouse receipt telah banyak dilakukan baik di negara maju seperti Amerika dan Kanada maupun di negara berkembang seperti Philipina, India, Ukraine, Brazil, Zambia serta di negara dengan perekonomian dalam transisi (transition country) seperti Poland. Transaksi w arehouse receipt ini melibatkan depositor (producer,

farmer group, trader, exporter,

processor or individual) dan

w arehouse operator (collateral

manager). Depositor yang

menyimpan komoditi pada

w arehouse akan menerima

w arehouse receipt dari w arehouse

operator. Warehouse receipt adalah dokumen yang membuktikan komoditi tertentu dengan jumlah, kualitas dan grade tertentu telah disimpan oleh depositor pada sebuah w arehouse.

Dalam implementasi transaksi

w arehouse receipt dilibatkan juga lembaga lain seperti perusahaan asuransi kerugian, perusahaan penjamin (perusahaan asuransi dan

surety company), perusahaan kliring komoditi dan perbankan.

Dalam tulisan ini fokus pembahasan adalah berkenaan dengan keterkaitan perbankan dalam transaksi w arehouse receipt.

W arehouse Receipt sebagai

Dasar Pembiayaan Perbankan Warehouse receipt dapat digunakan sebagai dokumen yang berfungsi sebagai collateral untuk mendapatkan pembiayaan modal kerja dari perbankan (financing

bank) yang besarnya tergantung pada penilaian financing bank atas

w arehouse receipt tersebut.

Kepercayaan financing bank

terhadap w arehouse receipt sudah pasti sangat ditentukan oleh reputasi

w arehouse operator yang

menerbitkan w arehouse receipt itu. Dalam upaya mengoptimalkan kepercayaan financing bank

terhadap w arehouse receipt adalah sangat w ajar jika w arehouse receipt tersebut mendapatkan penjaminan dari lembaga penjamin yang selain perusahaan asuransi dan surety

company dapat juga dilakukan oleh perbankan dengan menerbitkan jaminan bank.

1

Paper disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Resi Gudang tanggal 15 November 2005 di Hotel Sangrila Jakarta.

2


(19)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 15 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 Jaminan bank ini dapat berupa

Standby Letter of Credit yang

tunduk pada ketentuan International Standby Practices 1998 (ISP98) atau

Demand Guarantee yang tunduk

pada ketentuan Uniform Rules of Demand Guarantees (URDG) atau Bank Garansi yang berlaku di Indonesia yang didasarkan pada Pasal 1820-1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam hal ini, jaminan bank merupakan dokumen yang menjamin kebenaran isi dari sebuah

w arehouse receipt. Pengajuan

penerbitan jaminan bank kepada bank dilakukan oleh w arehouse

operator yang menerbitkannya.

Jaminan bank itu akan menjamin kew ajiban dari w arehouse operator yakni memastikan bahw a jumlah, kualitas dan grade komoditi yang dinyatakan dalam w arehouse receipt yang diterbitkannya adalah benar. Dengan adanya jaminan dari bank penjamin (guarantor), maka seharusnya tidak ada lagi keraguan bagi financing bank atas w arehouse

receipt yang dijadikan sebagai

collateral dalam kerangka

mendapatkan pembiayaan dari bank dimaksud. Sehingga, w arehouse

receipt financing pun terw ujud dengan nilai yang maksimal. Pembiayaan maksimal adalah pembiayaan yang diharapkan oleh

depositor yang telah menyimpan komoditinya pada w arehouse tertentu.

Apabila dalam pelaksanaannya

depositor sebagai peminjam tidak

dapat mengembalikan modal kerja yang diperolehnya dari financing

bank sebagaimana kesepakatan dalam perjanjian kredit, maka

financing bank berhak mencairkan

w arehouse receipt yang dijadikan sebagai collateral oleh depositor. Jika pada saat w arehouse receipt dicairkan ternyata komoditi yang dinyatakan dalam w arehouse receipt tersebut tidak ada atau tidak benar, maka financing bank akan mencairkan jaminan bank kepada

guarantor. Atas pencairan ini,

guarantor akan membayar ganti rugi yang besarnya sesuai dengan kerugian yang dialami financing

bank.

Selain jaminan bank umum untuk menjamin kebenaran substansi sebuah w arehouse receipt, financing

bank dapat juga meminta agar

w arehouse operator memohon

kepada salah satu bank untuk menerbitkan jaminan bank tersendiri (Standby Letter of Credit, Demand

Guarantee atau Bank Garansi) untuk menjamin kepastian delivery of

goods yang juga merupakan

kew ajiban w arehouse operator. Jaminan bank ini diterbitkan juga untuk financing bank. Ketika

depositor tidak dapat

mengembalikan modal kerja yang diperolehnya dari financing bank sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian kredit, maka selain mencairkan jaminan bank yang menjamin kebenaran isi w arehouse

receipt, f inancing bank juga akan mencairkan jaminan bank yang


(20)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 16 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 menjamin delivery of goods. Artinya,

dua jaminan bank dicairkan sekaligus untuk melindungi kepentingan financing bank. Namun, dalam pelaksanaannya dapat saja diterbitkan hanya satu jaminan bank yang menjamin baik isi

w arehouse receipt maupun

kepastian delivery of goods.

Sudah barang tentu, jaminan bank terhadap isi w arehouse receipt dan/ atau delivery of goods tersebut dapat sangat diperlukan oleh

financing bank sebelum ada

Undang-Undang yang mengatur hal-hal mengenai w arehouse receipt. Bila telah ada pengaturan

w arehouse receipt dalam

Undang-Undang, maka terhadap penggunaan w arehouse receipt

pada dasarnya tidak perlu lagi

di-cover dengan jaminan bank atau jaminan lembaga keuangan lainnya karena status hukum dan tanggung jaw ab hukum atas w arehouse

receipt termasuk tanggung jaw ab hukum berkenaan dengan delivery

of goods telah menjadi jelas.

Ketiadaan jaminan bank dalam kerangka w arehouse receipt

financing ini merupakan

penghematan ongkos bagi perekonomian.

Warehouse Receipt dalam Green Clause Letter of Credit

Dalam transaksi perdagangan internasional adakalanya seller dan

buyer sepakat untuk menerbitkan

green clause Letter of Credit untuk

membiayai barang yang diperjualbelikan. Tentu, green clause

Letter of Credit yang dinamakan

green clause Surat Kredit

Berdokumen Dalam Negeri dapat juga digunakan dalam perdagangan domestik di Indonesia. Green clause

Letter of Credit yang merupakan jenis khusus dari Letter of Credit tidak diatur dalam Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang berlaku namun dikenal dalam praktik Letter of

Credit. Demikian juga green clause Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri tidak diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 5/6/PBI/2003 Tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (PBI SKBDN).

Sebagaimana halnya dengan red

clause Letter of Credit, pada green

clause Letter of Credit ini, issuing

bank atas permintaan buyer melakukan pembayaran di muka (pre-shipment finance) kepada seller atas komoditi yang telah disepakati untuk diperjualbelikan antara seller

dan buyer. Dengan pola

pembayaran di muka ini, tentu buyer dapat mengalami risiko (commercial

risk) berupa gagalnya seller melakukan delivery of goods yang harga barangnya telah dibayar di muka. Untuk mengurangi risiko (risk

mitigation) bagi buyer, maka

pembayaran di muka tersebut perlu di-cover dengan penyerahan

w arehouse receipt oleh seller. Dalam hal ini pembayaran uang muka baru akan dilakukan oleh buyer melalui


(21)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 17 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 menyetujui penerbitan w arehouse

receipt sebagai cover atas uang muka yang akan diterimanya. Pembayaran Letter of Credit yang demikian ini dinamakan green clause

Letter of Credit.

Transaksi green clause Letter of

Credit, dengan demikian merupakan

secured transaction yang berbeda dengan red clause Letter of Credit yang merupakan unsecured

transaction karena pre-shipment

finance yang diberikan issuing bank tidak di-cover dengan w arehouse

receipt atau dokumen sejenisnya. Pada red clause Letter of Credit potensi terjadinya risiko pada buyer menjadi besar.

W arehouse Receipt sebagai Dokumen Transaksi Letter of Credit

Pada umumnya w arehouse receipt tidak dipersyaratkan sebagai salah satu dokumen yang menjadi dasar pembayaran Letter of Credit baik dalam perdagangan internasional maupun perdagangan domestik di Indonesia. Dalam upaya mencegah atau paling tidak mengurangi kemungkinan terjadinya penipuan (fraud) atau ekspor fiktif dalam transaksi Letter of Credit, maka

w arehouse receipt, seperti halnya

invoice, bill of lading dan certificate

of insurance, dapat dijadikan salah satu dokumen Letter of Credit. Kehadiran w arehouse receipt ini akan menambah keyakinan para pihak termasuk bank (issuing bank

dan nominated bank) bahw a

underlying transaction memang

benar ada. Namun, w arehouse

receipt perlu diterbitkan oleh

w arehouse operator yang

terpercaya.

Di dalam UCP yang berlaku sekarang tidak terdapat pengaturan mengenai

w arehouse receipt. Namun,

ketiadaan pengaturan ini bukanlah merupakan suatu hambatan karena para pihak dalam transaksi Letter of

Credit bebas menentukan dan

mengatur dokumen yang menjadi dasar pembayaran Letter of Credit tersebut. Penentuan dan pengaturan dokumen yang demikian ini dilakukan sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of

contract) yang juga sejalan dengan UCP yang berlaku (UCP 500).

Sebagaimana halnya dengan UCP,

w arehouse receipt juga tidak diatur secara eksplisit dalam PBI SKBDN. PBI SKBDN ini mengatur hal-hal berkenaan dengan Letter of Credit yang khusus berlaku di Indonesia yang disebut juga Letter of Credit Domestik atau Letter of Credit Antar Pulau. Namun, di dalam PBI SKBDN sebutan resminya adalah Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri. PBI SKBDN juga pada prinsipnya memberi kebebasan kepada para pihak untuk menentukan dan mengatur sendiri dokumen yang menjadi syarat pembayaran Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri. Oleh karena itu para pihak dapat saja menyepakati agar w arehouse


(22)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 18 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 Surat Kredit Berdokumen Dalam

Negeri.

W arehouse Receipt sebagai

Dokumen Transaksi Non-Letter

of Credit

Selain penggunaan w arehouse

receipt dalam transaksi Letter of

Credit, dengan tujuan yang sama, yakni mencegah atau minimal mengurangi terjadinya penipuan atau ekspor fiktif, maka dalam transaksi non-Letter of Credit

(Advance Payment, Collection, Open

Account dan Consignment) ada

baiknya juga w arehouse receipt disyaratkan sebagai salah satu dokumen yang menjadi dasar pembayaran baik dalam perdagangan internasional maupun perdagangan domestik. Tentu juga, dalam transaksi Letter of Credit,

w arehouse receipt harus diterbitkan oleh w arehouse operator yang memiliki reputasi baik.

Penutup

Pengembangan transaksi w arehouse

receipt perlu mendapat dukungan perbankan baik dari segi pembiayaan, penjaminan maupun penciptaan “ rasa aman” atas keberadaan underlying transaction dalam transaksi perdagangan internasional dan perdagangan domestik. Dukungan perbankan diperlukan bukan hanya pada saat sekarang ini kita belum memiliki

Undang-Undang mengenai

w arehouse receipt namun juga

ketika kita telah memilikinya kelak. Negara kita tidak akan bisa terhindar dari perkembangan transaksi

w arehouse receipt karena telah menjadi transaksi internasional yang melibatkan negara maju, negara berkembang dan negara dengan perekonomian dalam transisi. Lagi pula, turut serta dalam transaksi

w arehouse receipt adalah suatu keuntungan bagi perekonomian kita. Namun, pelaksanaannya kiranya perlu dilakukan dengan

prudent dalam konteks trade finance sesuai ketentuan perundang-undangan dibidang perbankan yang berlaku dan dibidang w arehouse

receipt yang nantinya akan kita miliki seperti halnya negara-negara lain yang telah lebih dahulu memilikinya.


(23)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 19 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005

PERM ASALAHAN YURIDIS AKAN STATUS HAK KEPEM ILIKAN

PEM EGANG UNIT PENYERTAAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF

EFEK BERAGUN ASET (ASSET-BACKED SECURITIES) APABILA

DIKAITKAN DENGAN KEPAILITAN.

Oleh: Yunus Edw ard M anik, S.H., LL.M

A. LATAR BELAKANG

Sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1998, yang mengakibatkan begitu banyak perusahaan, serta lembaga Perbankan yang bertumbangan, pasar modal adalah merupakan alternatif sumber pendanaan yang sangat signifikan bagi dunia usaha. Salah satu jenis instrumen yang kini semakin marak diperdagangkan di pasar modal adalah penjualan instrumen obligasi. Selain dari obligasi sebagai salah satu pola pendanaan dan peningkatan likuiditas dari pada instrumen keuangan (monetary

instruments), negara-negara industri maju mencoba untuk mencari alternatif strategi keuangan melalui penerbitan instrumen keuangan lain yang salah satunya dikenal dengan sebutan Asset-Backed Securities.

Asset-Backed Securities adalah proses pencarian dana (raising fund) melalui penerbitan efek yang di back

up oleh cash flow di masa depan yang berasal dari kumpulan (pool) aset yang menghasilkan revenue terhadap efek yang dapat diperdagangkan (Norton, Joseph J.et, al 1993:294).

Atau dengan kata lain, bila sebuah perusahaan ingin menambah modalnya dengan cara mengubah asetnya berupa tagihan yang tidak likuid menjadi likuid, perusahaan yang bersangkutan dapat mensekuritisasi asetnya, dengan cara menjualnya kepada suatu lembaga keuangan atau manajer investasi. Untuk membayar aset itu, pihak manajer investasi akan menerbitkan surat berharga Beragun aset, dan menaw arkannya kepada publik melalui pasar modal.

Asset-Backed Securities mulai

dikenal dalam transaksi di pasar modal kita pada akhir tahun 1996. Hal ini dapat dilihat melalui peraturan Bapepam No. IX.K.1 mengenai pedoman KIK EBA

(Asset-Backed Securities), yang menjelaskan KIK EBA adalah unit penyertaan kontrak investasi kolektif yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersil, sew a guna usaha, perjanjian jual beli bersyarat, perjanjian pinjaman cicilan, tagihan kartu kredit, pemberian kredit termasuk kredit pemilikan rumah atau apartemen,


(24)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 20 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 efek yang bersifat hutang yang

dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan kredit (credit

enhancement) arus kas (cash flow ), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa perusahaan-perusahaan tertentu memilih untuk mencari dana melalui pola sekuritisasi aset antara lain (Lederman 1996: 5);

a. Biaya finansial yang sangat rendah, maksudnya adalah cukup dengan menggunakan aset yang dimiliki, perusahaan dapat melakukan penjualan efek dengan kualitas kredit yang tinggi dibandingkan dengan nilai perusahan tersebut.

b. Penghematan modal. Apabila dikaitkan dengan pembatasan hutang perusahaan khususnya bagi lembaga keuangan, oleh karena ketentuan pasar modal, maka transaksi dengan pola penjualan aset (true sale) dalam sistem akuntansi dapat mengurangi kebutuhan untuk kebutuhan modal yang besar (higher cost equity).

c. Pendanaan/ strategi pendanaan yang sesuai. Dengan sekuritisasi efek perusahaan dapat menaw arkan pola, jangka w aktu dan harga dasar atas efek tersebut.

d. Pendapatan. Apabila konsep sekuritisasi adalah penjualan aset

(true sale), penerbit atau penjual

diperbolehkan untuk mengetahui, sesuai prinsip

standard akuntansi (GAAP) keuntungan atau kerugian penjualan aset tersebut diperhitungkan dengan nilai saat ini (present value) dan ekspektasi nilai yang akan datang.

Dari sisi investor ada beberapa manfaat yang didapatkan melalui pembelian instrumen ini (Personal & Corporate Finance edisi 2: hal 13) yakni:

a.

Sebagai alternatif pendanaan jangka panjang 3 – 10 tahun KIK EBA lebih menarik bagi investor dibanding surat utang lain, seperti obligasi dan promes, karena didukung dengan aset yang likuid dengan risiko yang relatif kecil.

b.

M eski originator (penerbit) bangkrut, tagihannya tetap ada. Ini berbeda dari pembeli obligasi atau promes, yang akan kehilangan dananya kalau perusahaan yang bersangkutan bangkrut.

Walaupun Efek Beragun Aset ini sangat menarik ditinjau dari aspek jaminan dan likuiditasnya, namun dalam pelaksanaannya masih menimbulkan pertanyaan yang signifikan tentang ketidakjelasan akan timbulnya kerugian (loss

experience). Hal ini dapat terjadi karena secara umum asset-backed

securities tidak memiliki standar dalam beberapa hal yaitu;


(25)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 21 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005

-

Tipe dan struktur dari Aset;

-

Pembayaran/sumber dari arus kas dikaitkan dengan kualitas kredit;

-

Servis dan tahapan proses

(processing procedure);

-

Pola pembayaran. (Lederman, 1996: 4).

Tidak adanya standarisasi akan hal-hal sebagaimana disebut di atas, pada tingkat tertentu akan mengurangi pertumbuhan dan efisiensi transaksi atas instrumen tersebut. Ini dapat terjadi karena begitu banyak jenis aset yang dapat disekuritisasi dan struktur transaksi bervariasi. Seperti dikatakan:

Potential corporate asset backed security issuer/asset seller continue to face the difficulties and costs inherent in adapting internal system to securitizat ion requirement, w hile investors are still learning how to analyze the characteristic of and risks associated w ith various asset types and how to differentiate among issues for a given asset type. (Lederman,1996 : 4).

Dari analisis di atas ditekankan bahw a aspek hukum yang berkaitan dengan karakteristik aset merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam menganalisis dan mengantisipasi permasalahan yang akan timbul dalam penerbitan sekuritisasi aset. Permasalahan hukum yang perlu menjadi perhatian adalah: (i) berkaitan dengan keabsahan jaminan dan hak

kepemilikan atas aset tersebut (title

of the ow nership); dan (ii) risiko atas pailitnya kreditur aw al ataupun penyedia jasa (servicer).

Sebagaimana diketahui Pemegang Unit Penyertaan KIK EBA dalam melakukan transaksi ini secara umum memiliki dua hak yaitu hak secara yuridis dan hak secara ekonomis yang satu sama lain saling berkaitan. Hak secara yuridis adalah hak yang melekat pada Pemegang Unit Penyertaan KIK EBA seperti hak untuk dimuat nama pemegang Efek Beragun Aset tersebut termasuk juga hak untuk mendapat keterangan singkat mengenai hak materiil yang menyangkut kelas Efek Beragun Aset tersebut. Sedangkan hak ekonomis adalah hak yang dapat mempengaruhi manfaat ekonomis atas transaksi KIK EBA. M anfaat ekonomis tersebut seperti terhambatnya pembayaran kepada pemegang KIK EBA akibat terjadinya kepailitan, menurunnya likuiditas dari transaksi KIK EBA tersebut karena adanya faktor ketidakjelasan dari status kepemilikan aset yang disekuritisasi tersebut, dan juga tidak adanya kepastian siapa yang berhak untuk mendapatkan nilai tambah dari kenaikan aset yang disekuritisasi.

Permasalahan hukum yang masih belum jelas adalah berkaitan dengan aspek keabsahan jaminan dan hak kepemilikan atas aset yang disekuritisasi apabila dikaitkan dengan aspek pendaftaran atas jaminan kebendaan tersebut.


(26)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 22 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 M isalnya, untuk sebagian aset yang

berupa benda tidak bergerak ketentuan dapat dimasukan kedalam ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Undang-Undang Hak Tangungan dengan tegas mengakui sifat assesoir dari hak tanggungan tersebut. Dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 ditentukan bahw a manakala piutang terhadap mana hak tanggungan diberikan, maka jika terjadi peralihan piutang dengan cara cessie, subrogasi, pew arisan, atau sebab-sebab lain seperti merger, maka hak tanggungan tersebut ikut juga beralih “ demi hukum” kepada kreditur yang baru. Hanya saja Undang-Undang Hak Tanggungan mensyaratkan bahw a peralihan hak tanggungan tersebut harus dipenuhi syarat administratif berupa pendaftaran oleh kreditur yang baru kepada kantor pertanahan.

M enurut Pasal 16 ayat (3) dari Undang-Undang Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan dalam hal ini bertugas untuk mencatat peralihan hak tanggungan tersebut dalam : (1). buku tanah hak tanggungan; (2). buku hak atas tanah yang

menjadi objek hak tanggungan; (3). Sertifikat hak tanggungan, dan (4). Sertifikat hak atas tanah yang

menjadi objek hak tanggungan. Apabila dalam peralihan piutang untuk mana diterbitkan

asset-backed securities, selama belum

diatur lain oleh peraturan khusus lainnya, maka prosedur pendaftaran dan pencatatan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan haruslah dipenuhi. Bagaimana implikasinya dalam penerbitan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.

Permasalahan hukum yang kedua adalah berkaitan dengan aspek hukum kepailitan yakni, apabila terjadinya permohonan kepailitan terhadap originator, namun sebelum adanya permohonan kepailitan pihak originator telah menjual aset tersebut dengan cara jual putus (true

sale) kepada special purpose vehicle/ lembaga trustee, maka aset tersebut tidak termasuk dan didaftarkan dalam boedel pailit (property of the

estate). Timbul pertanyaan, apakah dalam hal ini originator atau kreditur aw al adalah merupakan pemilik sah (legal of the ow nership) dari aset tersebut, sehingga dapat menjual kepada pihak lain? ataukah dia hanya merupakan pemegang hak atas aset tersebut sebagai jaminan kebendaan hutang debitur aw al? Atau justru spesial purpose vehicle yang dalam hal ini adalah manajer investasilah yang merupakan pemilik dari aset tersebut karena dia telah membeli aset tersebut dari kreditur aw al secara jual putus (true sale)? Hal ini pernah menjadi perdebatan dalam kasus M ajors Furniture M art, Inc. vs Castle Credit Corp., Inc F.2d 538.543 dikatakan:


(27)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 23 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005

An issue that often arises in rating a transaction structured as a sale is w hether a court examining the transaction at the request of trustee in bankruptcy or a creditor of the originator w ould re characterize the transaction as a pledge of assets to secure debt or as a sale of asset.

Apabila dilihat pandangan umum lembaga peradilan di negara Amerika Serikat terhadap permasalahan dalam transaksi true

sale tersebut, dinyatakan bahw a: [Legal overview the Hand Book chapter 3 page 44]:

In addressing the true sale issue, court generally look at the extent to w hich transferor has parted w ith the risk and the benefit ow ning the assets and such factors are particularly relevant to the inquiry;

-

The form of the transaction and the consistency of the parties treatment of the transaction, including how the transaction is characterized in the documents.

-

The nature and extent of the risks transferred, w hether the investor has recourse to the seller in some form, such as guarantee or obligate to repurchase non performing asset and w ho is at risk if the value of the asset declines; and w ho is at risk if there is default on the underlying assets.

-

The nature and extent of the benefit transferred including w ho benefit from any appreciation in the value of the asset and w ho receives the income from the assets.

-

The irrevocability of the transfer including w hether specific and indentifiable assets are sold; w hether and in w hich circumstances the transferor can re-acquire or substitute assets; w ho exercise and control over the assets and, if the originator services the assets and their proceeds; and w hether the purchaser can resell the asset w ithout the accounting to the transferor for any gain on the sale.

Pengadilan dalam hal ini tidak memberikan kepastian secara khusus akan status kepemilikan dari aset tersebut, namun secara umum dikatakan bahw a pengadilan dalam menganalisis aset dalam suatu transaksi efek, apakah transaksi tersebut adalah jual beli (true sale) atau sebagai pinjaman adalah dari substansi ekonomi dari transaksi tersebut. Atas dasar tersebut maka permasalahan pokok yang akan timbul adalah, bagaimanakah kedudukan hukum pemegang unit penyertaan KIK EBA terhadap aset yang disekuritisasi? apakah ia menjadi kreditur separatis yaitu kreditur dengan hak mendahului (secure creditor) terhadap seluruh


(28)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 24 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 aset yang dahulu dijadikan jaminan

kebendaan dan didaftarkan atas nama kreditur aw al? Ataukah dia hanya merupakan pemegang hak atas piutang dari kreditur aw al? dan apabila investor atau pemegang efek mempunyai hak untuk recourse kepada originator sebagaimana diperjanjikan, bagaimana kedudukan hukum dari investor ini, apakah ia sebagai pemilik aset?

B. PERM ASALAHAN

Dari uraian tersebut diatas, maka menjadi pertanyaan adalah:

1. Bagaimanakah kedudukan hukum pemegang unit penyertaan KIK EBA atas aset yang merupakan jaminan kebendaan atas piutang Kreditur aw al, dimana atas jaminan tersebut telah dipasang hak tanggungan, hipotik, fidusia, dimana sebelumnya telah didaftarkan atas nama Kreditur aw al ?

2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap aset yang disekuritisasi, apabila terjadi kepailitan ataupun insolvensi atas kreditur aw al (seller) ataupun manajer investasi (issuer), dimana sebelum adanya kepailitan aset tersebut telah di jual putus (true sale)?

C. PEM BAHASAN

I. Ketentuan-ketentuan hukum

yang berkaitan dengan penerbitan KIK EBA

Asset-backed securities merupakan salah satu bentuk surat berharga yang tergolong kedalam efek. Sebagaimana pengertian efek yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar M odal. Dalam Pasal 1 ayat (5) dari Undang Undang No. 8 Tahun 1995 dinyatakan bahw a yang termasuk dalam efek adalah:

Surat berharga, yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersil, saham, obligasi, tanda bukti hutang, Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif, Kontrak Berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari efek.

Undang-Undang ini merupakan

umbrella act bagi penerbitan dan transaksi KIK EBA. Namun sebagaimana yang dikatakan Sudikno M ertokusumo, sistem hukum merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleksitas unsur-unsur yaitu yuridis seperti peraturan-peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum (M ertokusumo 1999:115), maka tentunya banyak sekali


(29)

peraturan-BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 25 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 peraturan dan ketentuan lain yang

saling berkaitan misalnya, berkenaan dengan dasar hukum Perikatan KIK EBA yakni ketentuan-ketentuan hukum perdata, untuk aspek surat berharga adalah Kitab Hukum Dagang, sedangkan untuk penerbitan efek beragun aset pedoman kontrak investasi kolektif didasarkan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar M odal dan peraturan dibaw ahnya seperti kita kenal dengan Peraturan No IX.K.1 atau Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-53/ PM / 1997 tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset. Demikian pula untuk penjaminan kita dapat melihat ketentuan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan ataupun Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia jo Undang-Undang No.16 tahun 1985 tentang Rumah Susun. Sedangkan untuk permasalahan aspek kepailitan tentunya kita dapat kaitkan juga dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan juga ketentuan-ketentuan lainnya.

II. Tinjauan yuridis tentang

perikatan yang mendasari lahirnya KIK EBA

Seperti halnya perjanjian pada umumnya, kontrak investasi adalah juga merupakan peristiw a hukum, dengan objek yang disepakati berupa investasi dibidang efek. Bahw a sesuai asas konsensual,

perjanjian sudah dilahirkan sejak terjadinya kesepakatan, sudah sah dalam arti mengikat sejak tercapainya kesepakatan, sekalipun dalam beberapa hal undang-undang mensyaratkan harus dibuat secara tertulis [Subekti, 2002: 19]. Hal ini dapat dilihat dari Peraturan No.IX.K.1 sebagai Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-53/PM /1997 butir (a) yang berbunyi:

Kontrak Investasi Kolektif adalah Kontrak Antara M anajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan dimana M anajer Investasi diberi w ew enang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi w ew enang untuk melaksanakan penitipan kolektif. Dikatakan bahw a Kontrak Investasi Kolektif adalah Kontrak antara M anajer Investasi dan Bank Kustodian, jelas menegaskan bahw a pembentuk undang-undang yang dalam hal ini adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Bapepam, menentukan bahw a kontrak investasi ini adalah hanya antara M anajer Investasi dan Bank Kustodian, artinya secara tertulis hanya dua pihak, namun mengikat pemegang unit penyertaan yang dalam hal ini adalah investor. Timbul pertanyaan jenis transaksi apakah yang terjadi dan yang melatar belakangi instrumen KIK EBA ini? Apabila kita melihat lebih lanjut dalam Peraturan IX.K.1 Pasal 2:


(30)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 26 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 Aset yang membentuk

portofolio Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset dapat diperoleh dari Kreditur Aw al melalui pembelian atau tukar menukar dengan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.

Jelaslah disini kontrak pertama antara kreditur aw al dengan manajer investasi ataupun issuer dapat didasari kontrak ataupun perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 KUH Perdata dan ataupun perjanjian tukar menukar yang diatur dalam ketentuan 1541 KUH Perdata. Segala peraturan tentang perjanjian jual beli juga berlaku terhadap perjanjian tukar menukar sebagaimana ketentuan Pasal 1546 KUH Perdata.

Berkaitan dengan Investor ataupun pemegang unit Penyertaan KIK EBA apabila kita lihat dalam Peraturan IX.K.1 Pasal 4:

Pemegang Efek Beragun Aset

w ajib menandatangani pernyataan bahw a yang bersangkutan telah menerima dan membaca Dokumen Keterbukaan Efek Beragun Aset, sebelum membeli Efek Beragun Aset.

Ataupun kalau kita lihat dalam pernyataan Jes Lederman dalam bukunya The Hand book of

Asset-Backed Securities dikatakan dengan tegas Securitization is the open

market selling of financial instrument backed by asset cash flow or asset value. Jelaslah investor adalah merupakan pembeli dari Efek Beragun Aset sebagaimana yang diatur dalam ketentuan jual beli KUH Perdata.

Konstruksi hukum ini tentunya berbeda jika kita kaitkan dengan latar belakang terjadinya perikatan antara debitur aw al dan kreditur aw al. Perjanjian yang mendasari terjadinya perikatan antara mereka tentunya dilandasi atas suatu kew ajiban atau yang kita kenal dengan perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1765 KUH Perdata.

Dari aspek perikatannya saja KIK EBA ini ternyata telah mendasari atas tiga jenis perikatan yaitu perikatan jual beli, tukar menukar dan perikatan pinjam meminjam.

III. Tinjauan yuridis berkaitan dengan penjualan piutang dari kreditur aw al kepada manajer investasi, dan implikasinya terhadap aset yang dijaminkan.

Berkaitan status kepemilikan dari aset jaminan yang dijual oleh kreditur aw al (true sale) kepada

special purpose vehicle/ lembaga

trustee sebelum terjadi permohonan kepailitan atas kreditur, maka perlu kiranya dikaji mengenai faktor-faktor hukum yang berkaitan dengan dasar pengalihan piutang tersebut atau


(1)

AGUSTUS-DESEM BER 2005

No Urut

Nomor

P B I Tanggal

Satker

Penerbit Perihal

Nomor LN & TLN RI

1. 7/21/PBI/2005 03-08-2005 DPM /DPNP

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 Tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.

LN.Thn. 2005 No.68 TLN.4518

2. 7/22/PBI/2005 03-08-2005 DPM /DASP

Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum.

LN.Thn. 2005 No.69 TLN.4519

3. 7/23/PBI/2005 03-08-2005 DPbS

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 Tanggal 4 Februari 2003 Tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah.

LN.Thn. 2005 No.70 TLN.4520

4. 7/24/PBI/2005 03-08-2005 DPM

Fasilitas Likuditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.

LN.Thn. 2005 No.71 TLN.4521

5. 7/25/PBI/2005 03-08-2005 DPNP/DPbS

Sertifikasi M anajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum.

LN.Thn. 2005 No.72 TLN.4522

6. 7/26/PBI/2005 08-08-2005 DPM

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor : 2/8/PBI/2000 Tanggal 23 Februari 2000 Tentang Pasar Uang Antar Bank

Berdasrkan Prinsip Syariah.

LN.Thn. 2005 No.74 TLN.4524

7. 7/27/PBI/2005 24-08-2005

DPNP/UKM I/DSM / DPIP

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/17/PBI/2001 Tentang Laporan Berkala Bank Umum.

LN.Thn. 2005 No.75 TLN.4525

8. 7/28/PBI/2005 01-09-2005 DPM

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

6/11/PBI/2004 Tentang Suku


(2)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 58 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 No

Urut

Nomor

P B I Tanggal

Satker

Penerbit Perihal

Nomor LN & TLN RI

Antar Bank.

9. 7/29/PBI/2005 06-09-2005 DPNP/DPM /DKM

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/15/PBI/2004 Tentang Giro Wajib M inimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing.

LN.Thn. 2005 No.80 TLN.4529

10. 7/30/PBI/2005 13-09-2005 DPD/DPM

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia No.4/9/PBI/2002 Tentang Operasi Pasar Terbuka.

LN.Thn. 2005 No.84 TLN.4533

11. 7/31/PBI/2005 13-09-2005 DPD Transaksi Derivatif.

LN.Thn. 2005 No.85

12. 7/32/PBI/2005 22-09-2005 DPM

Pencabutan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/28/PBI/2005.

LN.Thn. 2005 No.86

13. 7/33/PBI/2005 22-09-2005 DPBPR/DPbS

Pencabutan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/17/PBI/2003 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kew ajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

LN.Thn. 2005 No.87

14. 7/34/PBI/2005 22-09-2005 DPBPR/DPbS

Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengaw asan Khusus.

LN No. 88. Thn.2005 TLN


(3)

15. 7/35/PBI/2005 29-09-2005 DPbS

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum yang M elaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

LN No. 90. Thn.2005 TLN

No.4536

16. 7/36/PBI/2005 30-09-2005 DPD Transaksi Sw ap Lindung Nilai.

LN No. 91. Thn.2005 TLN

No.4537

17. 7/37/PBI/2005 30-09-2005 DPNP/DPD

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

5/13/PBI/2003 Tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum.

LN No. 92. Thn.2005 TLN

No.4538

18. 7/38/PBI/2005 10-10-2005 DPNP

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 Tentang Tindak Lanjut Pengaw asan dan Penetapan Status Bank.

LN No. 93. Thn.2005 TLN

No.4539

19. 7/39/PBI/2005 18-10-2005 BKr

Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha M ikro, Kecil dan M enengah.

LN No. 99. Thn.2005 TLN

No.4543

20. 7/40/PBI/2005 18-10-2005 DPU

Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005.

LN No. 100. Thn.2005

21. 7/41/PBI/2005 18-10-2005 DPU

Pengeluaran dan Pengedaran Uang Khusus Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005 Dalam Bentuk Uang Kertas Belum Dipotong.

LN No. 101. Thn.2005

22. 7/42/PBI/2005 18-10-2005 DPU

Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005.

LN No. 102. Thn.2005


(4)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 60 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 No

Urut

Nomor

P B I Tanggal

Satker

Penerbit Perihal

Nomor LN & TLN RI

2005 Dalam Bentuk Uang Kertas Belum Dipotong.

24. 7/44/PBI/2005 21-10-2005 DPD

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

5/5/PBI/2003 Tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing.

LN No. 109. Thn.2005

25. 7/45/PBI/2005 11-11-2005 DPNP/DPbS

Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Umum Pasca Pasca Bencana Alam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias serta Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara.

LN No. 109. Thn.2005

26. 7/46/PBI/2005 14-11-2005 DPbS

Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang M elaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

LN No. 124. Thn.2005 TLN

No.4563

27. 7/47/PBI/2005 14-11-2005 DPbS

Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat Syariah.

LN No. 125. Thn.2005 TLN

No.4564

28. 7/48/PBI/2005 16-11-2005 DASP

Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

2/24/PBI/2005 Tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern.

LN No. 131. Thn.2005 TLN No.


(5)

No Urut

Nomor

SE BI Ekstern Tanggal

Satker

Penerbit Perihal

1. 7/32/DPM 01-08-2005 DPM M arjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank.

2. 7/33/DPM 03-08-2005 DPM

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/7/DPM Tanggal 16 Februari 2004 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.

3. 7/34/DPM 03-08-2005 DPM Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum.

4. 7/35/DPM 03-08-2005 DPM

Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/9/DPM Tanggal 16 Februari 2004 Perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah.

5. 7/36/DPM 03-08-2005 DPM

Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.

6 7/37/DPM 08-08-2005 DPM Tata Cara Pelaksanaan dan Penyelesaian Sertifikat Wadiah Bank Indonesia

7. 7/38/DPM 09-08-2005 DPM Biaya Laporan Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang.

8. 7/39/DPM 19-08-2005 DPM

Pencabutan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/17/DPM Tanggal 6 April 2004 perihal Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase

Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar Sekunde.

9. 7/40/DPNP 24-08-2005 DPNP

Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/23/DPNP Tanggal 30 Oktober 2001 Tentang Laporan Berkala Bank Umum.

10. 7/41/DPM 01-09-2005 DPM M arjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank.

11. 7/42/DPNP 06-09-2005 DPNP Giro Wajib M inimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing.

12. 7/43/DASP 07-09-2005 DASP

Batas Nilai Nominal Nota Debet dan Transfer Kredit dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.


(6)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 62 VOLUM E 3 NOM OR 3, DESEM BER 2005 No

Urut

Nomor

SE BI Ekstern Tanggal

Satker

Penerbit Perihal

oleh Bank. 14. 7/45/DPD 15-09-2005 DPD Transaksi Derivatif.

15. 7/46/DPM 27-09-2005 DPM

Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/34/DPM Tanggal 3 Agustus 2005 Perihal Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum.

16. 7/47/DASP 13-10-2005 DASP

Batasan Nilai Nominal Per Transaksi Antar Bank untuk Kepentingan Nasabah M elalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Sehubungan dengan Hari Libur Nasional.

17. 7/48/DPNP 14-10-2005 DPNP Jumlah M odal Inti M inimum Bank Umum.

18. 7/49/DInt 28-10-2005 DInt

Pencabutan Atas Beberapa Surat Edaran Bank Indonesia Yang Terkait Dengan Kegiatan Eksport-Import.

19. 7/50/DPBPR 01-11-2005 DPBPR

Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status

Pengaw asan Khusus.

20. 7/51/DPNP 09-11-2005 DPNP Prinsip Kehati-hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset bagi Bank Umum.

21. 7/52/DPbS 22-11-2005 DPbS Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah.

22. 7/53/DPbS 22-11-2005 DPbS

Kew ajiban Penyediaan M odal M inimum Bagi Bank Umum Yang M elaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.