BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja - Efektifitas Dance/Movement Therapy terhadap Penurunan Tingkat Stres Mahasiswa Matrikulasi Penerimaan Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2012 Berdasarkan Perceived Stres

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja

2.1.1 Pengertian Remaja

  Menurut Piaget dalam Hurlock (1999), masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

  Menurut Sadock (2007), masa remaja adalah masa transisi di mana hubungan sebaya lebih dalam, otonomi dalam pengambilan keputusan tumbuh, dan pencarian intelektual dan rasa memiliki sosial dicari. Masa remaja adalah sebagian besar waktu untuk bereksplorasi dan membuat keputusan, proses bertahap yang bekerja menuju konsep diri yang terpadu. Remaja dicirikan dengan meningkatnya kemampuan untuk menguasai atas tantangan kompleks dari tugas- tugas akademik, interpersonal, dan emosional, ketika mencari kepentingan baru, bakat, dan identitas sosial.

  Sadock (2007) membagi remaja menjadi tiga tahap, yaitu:

  1. Remaja awal Dari usia 12-14 tahun. Pada tahap ini, remaja mulai mengkritik kebiasaan- kebiasaan di keluarga, mempunyai kesadaran yang lebih tinggi terhadap penampilan, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya.

  2. Remaja pertengahan Dari usia 14-16 tahun. Pada tahap ini, remaja berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan mereka secara mandiri, perilaku seksual meningkat, bergaul dengan teman yang memiliki ketertarikan yang sama, sering terjadi konflik dengan orang tua menyangkut otonomi remaja.

  3. Remaja lanjut

  Dari usia 17-19 tahun. Pada tahap ini, minat remaja meningkat pada fungsi intelektual, prestasi akademik, berpartisipasi dalam aktivitas olahraga, mengambil tanggung jawab dalam suatu kelompok.

2.1.2 Stres Pada Remaja

  Menurut Windle dan Mason (2004) dalam Indri (2007) ada empat faktor yang dapat membuat remaja menjadi stres, yaitu penggunaan obat-obat terlarang, kenakalan remaja, pengaruh negatif, dan masalah akademis.

  Menurut Walker (2002), ada tiga faktor yang dapat menyebabkan remaja menjadi stres, yaitu:

  1. Faktor biologis, yaitu : a.

  Sejarah depresi dan bunuh diri di dalam keluarga b.

  Penggunaaan alkohol dan obat-obatan di dalam keluarga c. Siksaan secara seksual dan fisik di dalam keluarga d.

  Penyakit yang serius yang diderita remaja atau anggota keluarga e. Sejarah keluarga atau individu dari kelainan psikiatri seperti skizofrenia, manik depresif, gangguan perilaku dan kejahatan f.

  Kematian salah satu anggota keluarga g.

  Ketidakmampuan belajar atau ketidakmampuan mental atau fisik h. Perceraian orang tua i. Konflik dalam keluarga

  2. Faktor kepribadian, yaitu : a.

  Tingkah laku impulsif, obsesif, dan ketakutan yang tidak nyata b.

  Tingkah laku agresif dan antisosial c. Penggunaan dan ketergantungan obat terlarang, tertutup d.

  Hubungan sosial yang buruk dengan orang lain, menyalahkan diri sendiri dan merasa bersalah e.

  Masalah tidur atau makan

  3. Faktor psikologis dan sosial, yaitu : a.

  Kehilangan orang yang dicintai, seperti kematian teman atau anggota keluarga, putus cinta, kepindahan teman dekat atau keluarga. b.

  Tidak dapat memenuhi harapan orang tua, seperti kegagalan dalam mencapai tujuan, tinggal kelas, dan penolakan sosial.

  c.

  Tidak dapat menyelesaikan konflik dengan anggota keluarga, teman sebaya, guru, pelatih, yang dapat mengakibatkan kemarahan, frustrasi, dan penolakan d. Pengalaman yang dapat membuatnya merasa rendah diri dapat mengakibatkan remaja kehilangan self-esteem atau penolakan e.

  Pengalaman buruk seperti hamil atau masalah keuangan Sedangkan menurut Needlmen (2004) ada beberapa sumber stres yang dialami remaja :

  1. Stres Biologis (Biological Stress)

  Tubuh remaja berubah secara cepat, remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Jerawat juga dapat membuat remaja stres, terutama bagi mereka yang mempunyai pikiran sempit tentang kecantikan yang ideal. Saat yang sama, remaja menjadi sibuk di sekolah sehingga dapat membuat remaja kekurangan tidur.

  2. Stres Keluarga (Family Stress)

  Salah satu sumber stres utama pada remaja adalah hubungannya dengan orang tua, karena remaja merasa bahwa mereka ingin mandiri dan bebas, tetapi dilain pihak mereka juga ingin diperhatikan.

  3. Stres Sekolah (School Stress)

  Tekanan dalam masalah akademis cenderung tinggi pada dua tahun terakhir di sekolah, keinginan untuk mendapat nilai tinggi, atau keberhasilan dalam bidang olahraga, dimana remaja selalu berusaha untuk tidak gagal, ini semua dapat menyebabkan stres.

  4. Stres pada Teman Sebaya (Peer Stress) Stres pada teman sebaya cenderung tinggi pada pertengahan tahun sekolah.

  Remaja yang tidak diterima oleh teman-temannya biasanya akan tertutup dan mempunyai self-esteem yang rendah. Pada beberapa remaja, agar dapat diterima oleh teman-temannya, mereka melakukan hal-hal negatif, seperti merokok, minum alkohol, dan menggunakan obat terlarang.

5. Stres Sosial (Social Stress)

  Remaja tidak mendapat tempat pada pergaulan orang dewasa, karena mereka tidak diberikan kebebasan mengungkapkan pendapat mereka, tidak boleh membeli alkohol secara legal. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1995), mahasiswa yang berada di masa remaja lanjut menghadapi berbagai kesulitan penyesuaian dan tidak semua mampu mengatasinya sendiri sehingga cenderung untuk mengalami stres. Kesulitan penyesuaian tersebut berkisar pada:

  1. Perbedaan sifat pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dengan Perguruan Tinggi (PT) a.

  Kurikulum Isi kurikulum PT biasanya lebih sedikit tetapi lebih mendalam. Jika kebetulan senang dengan bidang yang dipilih, kelanjutan dan kegairahan belajar akan lebih lancar. Sebaliknya jika tidak sesuai, kegairahan akan menurun, bahkan bisa menimbulkan gangguan pada kepribadian.

  b.

  Disiplin Di PT biasanya tidak sedisiplin di SLTA karena dianggap sudah lebih dewasa dan tanggung jawab diserahkan kepada mahasiswa yang bersangkutan. Hal ini mengubah cara belajar dan bisa menyebabkan kesulitan tersendiri.

  c.

  Hubungan dosen mahasiswa Pola hubungan sangat berbeda dibandingkan ketika di SLTA. Dialog langsung pada tingkat awal yang jumlah mahasiswanya besar, cenderung jarang dilakukan di ruangan. Karena itu mahasiswa harus menyesuaikan cara dosen memberi kuliah yang masih banyak mempergunakan cara tradisional yakni dosen menerangkan tanpa memperdulikan apakah mahasiswa mengerti atau tidak.

  2. Hubungan sosial Pada remaja lanjut, pola pergaulan sudah bergeser dari pola pergaulan yang homoseksual ke arah heteroseksual sehingga masalah pergaulan bisa menjadi masalah yang penting, baik mengenai percintaan, kesulitan penyesuaian diri, dan keterlibatan terhadap pengaruh kelompok pergaulan yang bisa bersifat negatif.

  3. Masalah ekonomi Sekalipun mahasiswa sudah bisa melepaskan diri dari ketergantungan psikis, ketergantungan ekonomi masih ada karena pada umumnya belum berpenghasilan. Kelonggaran untuk mempergunakan uang tidak sebebas menetukan tingkah laku dan sikap.

  4. Pemilihan jurusan Antara bakat dan minat dengan kesempatan sering tidak sejalan sehingga merasa salah pilih jurusan. Tahap mencoba-coba dan memilih jurusan sesuai dengan keinginan orang tua sering dialami mahasiswa tahun pertama.

  Masalah yang dihadapi oleh mahasiswa (Gunarsa dan Gunarsa, 1995):

  1. Bersumber pada kepribadian Aspek motivasi penting agar gairah untuk belajar dan menekuni ilmu bisa berlangsung lancar. Kegairahan yang ditandai oleh disiplin diri yang kuat dan ditampilkan dalam ketekunan belajar dan menyelesaikan tugas-tugas.

  2. Prestasi akademik Kegagalan dalam prestasi akademik bisa disebabkan karena kemampuan dasarnya tidak menyokong atau bakatnya kurang menunjang. Kegagalan juga bisa disebabkan mahasiswa yang kurang bisa mempergunakan cara belajar yang tepat atau kurangnya fasilitas.

  3. Kondisi yang kurang menunjang Keadaan lingkungan perumahan yang tidak mendukung mahasiswa belajar dengan baik, misalnya penerangan, ventilasi, meja belajar, bising. Demikian pula keadaan psikologis di rumah, baik dalam hubungan dengan orang tua maupun dengan saudara-saudara. Bahkan juga lingkungan sosial dengan tuntutan yang memaksa untuk menyesuaikan diri. Kampus dengan ketersediaan fasilitas bisa menjadi sumber yang menghambat kelancaran belajar mahasiswa.

2.2 Stres

  2.2.1 Pengertian Stres

  Lazarus (1999) menjelaskan bahwa stres dapat diartikan sebagai : 1.

  Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stresor.

  2. Respon, yaitu stres merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara fisiologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, dan pusing serta psikologis, seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.

  3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi. Rice (1987) mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu terasa tegang. Stres merupakan keadaan psikologis yang timbul jika ada ketidakseimbangan antara persepsi individu mengenai tuntutan yang harus dihadapi dibandingkan dengan kemampuan mereka untuk mengatasi tuntutan tersebut (Sarafino, 2011). Menurut Feldman (2007), stres adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku.

  2.2.2 Penggolongan Stres

  Selye (1974, 1979) dalam Rice (1992) menggolongkan stres menjadi dua golongan. Penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang dialaminya : 1.

  Distress (Stres Negatif)

  Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.

2. Eustress (Stres Positif)

  Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Eustress dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan performansi individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu.

2.2.3 Sumber-Sumber Stres

  Menurut Tumer & Helms (1995) dalam Melly (2008) sumber stres adalah semua kejadian atau kondisi eksternal yang dapat mengganggu keseimbangan seseorang. Ketidakseimbangan yang terjadi baik disebabkan oleh perubahan fisik, lingkungan, maupun sosial, dapat memicu terjadinya stres.

  Sumber stres merupakan suatu keadaan yang dianggap mengancam dan menimbulkan ketegangan, antara lain :

  1. Peristiwa dalam Hidup (Life Event) Menurut Rice (1992) kejadian penting secara psikologis yang terjadi pada kehidupan seseorang seperti perceraian, kelahiran, atau perubahan pada posisi/jabatan. Kejadian utama dalam hidup kita dapat menyebabkan stres, meskipun itu positif maupun negatif. Pada umumnya, penyebab dari stres dalam hidup kita adalah karena hal-hal berikut ini: a.

  Kriminal, kekerasan seksual, dan saksi kejahatan b.

  Kehilangan anggota keluarga (loss of a family member) c. Pisah dengan orang tua

  Soewadi (1999) dalam Dhona (2007) menyatakan bahwa stres merupakan ketimpangan dalam menyesuaikan antara tuntutan lingkungan dengan kapasitas respon individu. Sehingga anak yang secara tiba-tiba hidup terpisah dengan orang tuanya jika tidak dapat beradaptasi dengan cepat dengan lingkungan tempat tinggalnya yang baru dapat mengalami stres. Penelitian Sliegman (1994) dalam Nuriana (2010) menyatakan bahwa sebanyak 36,4% remaja mengalami gangguan psikiatri akibat pisah dengan orang tua.

  d.

  Bencana alam (natural disasters) e. Terrorism f.

   Daily hassles

  2. Frustrasi Frustrasi adalah situasi apa pun di mana individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Frustrasi dapat terjadi apabila usaha individu untuk mencapai sasaran tertentu mendapat hambatan atau hilangnya kesempatan dalam mendapatkan hasil yang diinginkan. Frustrasi dapat juga diartikan sebagai efek psikologis terhadap situasi yang mengancam, seperti misalnya timbul reaksi marah, penolakan maupun depresi (Santrock, 2010).

  3. Konflik Konflik merupakan munculnya dua kecenderungan yang bertentangan secara simultan. Konflik dapat muncul karena adanya kebutuhan internal atau motif yang bertentangan, karena tuntutan eksternal yang bertentangan, atau karena motif internal yang berlawanan dengan tuntutan eksternal.

  Keadaan dimana terdapat dua atau lebih motif yang tidak terpuaskan karena motif-motif itu saling berkaitan satu sama lain (Rice, 1992). Konflik berkaitan erat dengan konsep frustrasi. Psikologi menggunakan ‘pendekatan’ dan ‘penghindaran’ dalam usaha menghadapi konflik. Dalam hal ini, kita akan ‘mendekati’ sesuatu yang kita harapkan dan ‘menghindari’ sesuatu yang tidak kita harapkan. Menurut Miller (1959) dalam Sarafino (2011) ada empat jenis utama dari konflik yang meliputi ‘pendekatan’ dan ‘penghindaran’: a.

  Approach-approach conflict (konflik mendekat-mendekat) Konflik ini terjadi pada saat seseorang diharuskan memilih dua alternatif yang sama-sama menarik tapi saling bertentangan serta ingin dipenuhi pada saat yang bersamaan. Misalnya, seseorang harus memilih diantara dua tawaran pekerjaan yang diberikan kepadanya, dimana kedua pekerjaan ini sama-sama baik, bergengsi dan dengan gaji yang cukup layak.

  b.

  Avoidance-avoidance conflict (konflik menghindar-menghindar) Konflik ini muncul pada saat seseorang terjebak dalam dua pilihan yang tidak diinginkan, namun pilihan harus tetap ditentukan. Misalnya, seorang remaja yang harus memilih presentasi di depan kelas atau tidak datang dan mendapat nilai nol.

  c.

  Approach-avoidance conflict (konflik mendekat-menghindar) Konflik ini terjadi apabila seseorang menerima suatu tujuan yang positif yang juga akan menghasilkan satu akibat yang negatif. Misalnya, seorang siswa SMA yang akan melanjut ke perguruan tinggi yang terletak di luar kota, tapi harus meninggalkan keluarganya.

  d.

  Multiple approach-avoidance conflict Konflik yang menginginkan individu untuk memilih diantara dua pilihan, dimana masing-masing memiliki dampak yang positif dan konsekuensi- konsekuensi yang negatif. Misalnya, pilihan antara masuk ke tim basket yang terkenal, menjadi langganan juara, tetapi pelatih dan beberapa pemain dalam tim itu tidak kamu sukai. Atau masuk ke tim basket yang tidak terkenal, sering melakukan permainan yang memalukan, tetapi pelatih dan pemain timnya kamu sukai.

  4. Tekanan (Pressure) Tekanan terjadi karena adanya suatu tuntutan untuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu maupun tuntutan tingkah laku tertentu. Secara umum, tekanan mendorong individu untuk meningkatkan performa, mengintensifkan usaha atau mengubah sasaran tingkah laku. Tekanan sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki bentuk yang berbeda- beda pada tiap individu. Tekanan dalam kasus tertentu dapat menghabiskan sumber-sumber daya yang dimiliki dalam proses pencapaian sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat mengarah pada perilaku maladaptive serta menimbulkan stres (Sarafino, 2011). Tekanan dapat berasal dari dua sumber, yaitu: a.

  Sumber internal Sumber tekanan yang berasal dari dalam diri seseorang, antara lain adalah konsep diri dan komitmen personal.

  b.

  Sumber eksternal Sumber tekanan eksternal banyak berkaitan dengan tekanan waktu, peran yang dijalani, juga berkaitan dengan tuntutan-tuntutan orang lain, misalnya, seorang siswa yang mengejar target agar lulus dalam ujian masuk perguruan tinggi favorit atau dapat berupa tuntutan orang tua.

  5. Kondisi lingkungan Faktor lingkungan tempat tinggal, misalnya temperatur, polusi udara, kebisingan, kelembaban juga bisa menjadi sumber dari stres (Sarafino, 2011).

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi terhadap Stres

  Seringkali dalam kehidupan sehari-hari ditemui orang-orang yang memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres yang sama. Menurut Lazarus (1976) dalam Melly (2008) hal ini terjadi karena stres yang dialami tidak hanya bergantung pada kondisi eksternal tetapi juga karekteristik individu.

  Reaksi seseorang terhadap stres yang dihadapinya dipengaruhi beberapa faktor (Sarafino, 2011). Faktor-faktor tersebut antara lain:

  1. Pengalaman awal dengan stres Reaksi stres pada umumnya tidak akan terlalu kuat ketika seseorang pernah mempunyai pengalaman terhadap stres. Ada studi yang mengatakan bahwa pengalaman awal terhadap stres dapat memberikan efek ke masa yang akan datang.

  2. Kehadiran stres lain

  Diasumsikan bahwa kehadiran suatu sumber stres ternyata tidak hanya menimbulkan reaksi terhadap sumber stres itu sendiri tetapi juga membuat Individu menjadi lebih mudah terganggu oleh sumber stres yang lain.

  3. Intensitas dan lamanya stres Semakin kuat dan semakin lama stres itu berlangsung maka reaksi yang muncul juga akan semakin serius. Kematian atau kehilangan seseorang merupakan contoh stres yang kuat dan berlangsung lama, yang dapat memunculkan reaksi yang serius misalnya dapat mengalami depresi.

  4. Faktor perkembangan Manusia memiliki perbedaan secara psikologis pada umur dan tingkatan perkembangan yang berbeda. Sama halnya dengan dampak stres yang akan berbeda pada umur dan tingkat perkembangan yang berbeda pula.

  5. Prediksi dan kontrol Kemampuan tiap individu untuk memprediksi atau mengontrol situasi stres merupakan faktor yang mempengaruhi perbedaan individu dalam bereaksi terhadap stres. Kejadian yang sudah dapat diprediksi dan dapat dikontrol, biasanya memberikan dampak stres yang lebih rendah terhadap individu daripada kejadian yang tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dikontrol.

  6. Dukungan sosial (social support) Adanya dukungan sosial dan hubungan yang baik dengan teman atau keluarga merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi perbedaan reaksi individu terhadap stres. Individu yang hidup sendirian ataupun yang mempunyai masalah dengan anggota keluarganya cenderung memperlihatkan reaksi berupa tingkah laku menyimpang dibandingkan dengan individu yang hidup bersama keluarga dan mendapat dukungan sosial.

  7. Person variable in reactions to stress Semua karakteristik pribadi individu penting dalam menentukan respon seseorang terhadap stres (person variable). Karakteristik-karakteristik itu terdiri dari: a.

  Faktor kognitif Lazarus (1999) menggunakan istilah penilaian kognitif untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif.

  b.

  Karakteristik kepribadian Karakteristik kepribadian yang muncul sangat berperan penting dalam mempengaruhi konsekuensi kesehatan dari stres yang disebut dengan pola tingkah laku Tipe A. Pola tingkah laku Tipe A adalah pola tingkah laku yang ditandai dengan sikap yang sangat kompetitif, mudah marah, tidak sabar, sikap bermusuhan, terlalu bekerja keras dan selalu terburu- buru seperti dikejar waktu.

  c.

  Perbedaan gender dalam respon terhadap stres Menurut Davis (1999) dalam Sarafino (2011), wanita umumnya memiliki stresor lebih banyak dibanding pria. Wanita lebih mudah mengalami kecemasan, depresi dan gangguan tidur, namun akan kembali membaik setelah peristiwa itu sudah berlalu. Sedangkan pria membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali membaik meskipun peristiwa itu telah berlalu (Earle, 1999 dalam Sarafino, 2011).

  d.

  Perbedaan gender dalam keuntungan dari pernikahan (benefits of

  marriage)

  Menikah menguntungkan bagi pria dan wanita, tetapi lebih menguntungkan bagi kaum pria. Alasannya yaitu: (1) pria cenderung untuk lebih percaya kepada pasangan mereka dalam hal dukungan sosial untuk menahan mereka dari pengaruh stres, (2) wanita lebih ingin mendesak pasangan mereka untuk lebih menjaga kesehatan.

  e.

  Fight-or-flight dan Tend-and-befriend

  

Fight-or-flight merupakan respon yang diberikan dalam bentuk tindakan

  ‘lari’ atau ‘hadapi’. Biasanya ini ditunjukkan oleh kaum pria. Sedangkan pada wanita adalah ‘tend-and-befriend’, yaitu sikap ‘melindungi’ atau ‘menjadi teman bagi orang lain’.

  f.

  Perbedaan etnis Anggota kelompok ras/suku minoritas yang berada pada suatu masyarakat akan mengalami stres lebih tinggi daripada kelompok mayoritas. Menurut Clark (1999) dalam Sarafino (2011) kelompok minoritas mempunyai banyak tekanan atau peristiwa yang menyebabkan mereka stres.

2.2.5 Perceived Stress Scale

  Menurut Cohen (1988) Perceived Stress Scale (PSS) adalah instrumen psikologis yang paling banyak digunakan untuk mengukur persepsi stres. Ini adalah ukuran sejauh mana situasi dalam kehidupan seseorang yang dinilai sebagai stres. Item yang dirancang untuk menyadap bagaimana responden yang tidak terduga, responden yang tidak terkendali, dan responden yang kelebihan beban menemukan kehidupan mereka. Skala ini juga mencakup sejumlah pertanyaan langsung tentang tingkat saat mengalami stres.

  PSS ini dirancang untuk digunakan dalam sampel masyarakat dengan setidaknya pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Item yang mudah dipahami, dan alternatif respon sederhana untuk dipahami. Selain itu, pertanyaan- pertanyaan yang bersifat umum dan karenanya relatif bebas dari konten yang spesifik untuk setiap kelompok subpopulasi. Pertanyaan-pertanyaan di PSS bertanya tentang perasaan dan pikiran selama bulan lalu. Dalam setiap kasus, responden ditanya seberapa sering mereka merasakan hal tertentu.

  Skor PSS yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat stres yang lebih tinggi dan menunjukkan kemungkinan stres yang lebih besar mengganggu hal-hal seperti perubahan gaya hidup dan kemampuan mereka untuk memperbaikinya. Skor yang lebih tinggi berhubungan dengan peningkatan kerentanan seseorang terhadap kesehatan dikompromikan, terutama jika stres besar kehidupan (kehilangan pekerjaan, akhir sebuah hubungan, kematian orang yang dicintai, dll) terjadi dalam waktu dekat. Skor yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap stres yang disebabkan penyakit.

2.3 Self-Esteem

  Self-esteem merupakan evaluasi diri seseorang terhadap kualitas-kualitas dalam dirinya dan terjadi terus menerus dalam diri manusia (Christia, 2007).

  Menurut Larsen dan Buss (2008), self-esteem merupakan apa yang kita rasakan berdasarkan pengalaman yang kita peroleh selama menjalani hidup.

  Respati dkk (2006) juga mengungkapkan bahwa self-esteem merupakan cara individu melihat gambaran diri sendiri, yang terbentuk berdasarkan pemikiran- pemikiran individu dari interaksinya dengan orang lain. Self-esteem yang tinggi ditandai dengan kepercayaan diri yang tinggi, rasa puas, memiliki tujuan yang jelas, selalu berpikir positif, mampu untuk berinteraksi sosial, solving problem yang tinggi, serta mampu menghargai diri sendiri (Robson, 1988). Sedangkan

  

self-esteem yang rendah ditandai dengan rasa takut, cemas, depresi, dan tidak

percaya diri (Robson, 1988).

  Self-esteem memiliki pandangan yang berbeda antara laki-laki dan wanita

  mengenai penilaian diri. Crain (dalam Respati dkk, 2006) mengemukakan bahwa laki-laki akan memiliki self-esteem lebih tinggi bila memiliki fisik yang diinginkan, sedangkan wanita lebih kearah tingkah laku ataupun bersosialisasi akan meningkatkan nilai self-esteem.

  Calhoun dan Acocella (1990) juga menyatakan bahwa penyesuaian diri tidak hanya tergantung dari situasi individu itu saja, namun juga terdapat penilaian terhadap diri sendiri yang mempengaruhi bagaimana seseorang itu berperilaku.

  Rogers (dalam Calhoun & Acocella, 1990) mengungkapkan bahwa individu senantiasa berusaha untuk mencapai aktualisasi diri dengan cara menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada, dalam hal ini kunci menuju aktualisasi diri adalah konsep diri. Konsep diri sebagian besar merupakan hasil pengalaman kita dari masa kecil, baik dengan keluarga maupun lingkungan yang lebih luas.

  Moss dan Carr (2004) menambahkan bahwa terdapat hubungan antara penyesuaian diri baik fisik maupun psikologis dengan persepsi bagaimana individu alami, yang berupa hasil dari proses informasi dari orang lain dan lingkungan sekitar.

  Cigularova (2005) menyebutkan dalam penelitiannya mengenai penyesuaian diri terhadap lingkungan baru pada siswa-siswa internasional, bahwa terdapat hubungan positif antara penyesuaian diri individu dengan efikasi diri dan fleksibilitas.

  Menurut Solinge (2007), penyesuaian diri yang baik dipengaruhi oleh self-

  efficacy

  dan psychological well-being. Self-efficacy menurut Helm (2000) dipengaruhi bagaimana individu itu memandang diri sendiri.

2.3.1 Aspek-Aspek Self-Esteem

  Adapun aspek-aspek yang berhubungan dengan self-esteem, menurut Brown (dalam Christia, 2007) terdapat 3 aspek, yakni: i.

  Global self-esteem merupakan variabel keseluruhan dalam diri individu secara keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi ii.

  Self-evaluation merupakan bagaimana cara seseorang dalam mengevaluasi variabel dan atribusi yang terdapat pada diri mereka. Misalnya ada seseorang yang kurang yakin kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan bahwa ia memiliki self-esteem yang rendah dalam bidang akademis, sedangkan seseorang yang berpikir bahwa dia terkenal dan cukup disukai oleh orang lain, maka bisa dikatakan memiliki self-esteem sosial yang tinggi. iii.

  Emotion adalah keadaan emosi sesaat terutama seseuatu yang muncul sebagai konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan self-esteem atau menurunkan self-esteem mereka. Misalnya, seseorang memiliki self-esteem yang tinggi karena mendapat promosi jabatan, atau seseorang memiliki self- esteem yang rendah setelah mengalami perceraian.

2.4 Tarian (Dance)

  Menurut Shack (2010), tarian ialah suatu fenomena yang kompleks dan indah. Bagian yang indah dari tarian ialah ketika menari, sang penari tidak terlalu memperhatikan elemen dan detail dari tarian tetapi lebih merasakan “kesempurnaan diri” di dalam tarian tersebut sehingga dia mampu memahami dan menginterpretasikan apa yang dialaminya dari tarian tersebut (Blasing, 2010).

  Sedangkan Haukin (1990) menyatakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan sebagai ungkapan kepada Sang Pencipta.

  Menurut Wardhana (1990), seni tari memiliki beberapa fungsi, yaitu: 1. Seni tari sebagai sarana upacara.

  Tari dapat digunakan sebagai sarana upacara. Jenis tari ini banyak jenisnya, seperti tari untuk upacara keagamaan dan upacara penting dalam kehidupan manusia.

  2. Seni tari sebagai hiburan.

  Tari sebagai hiburan harus bervariasi. Oleh karena itu, jenis ini menggunakan tema-tema yang sederhana, diiringi lagu yang enak dan mengasyikkan. Kostum dan tata panggungnya juga dipersiapkan derngan cara yang menarik.

  3. Seni tari sebagai penyaluran terapi.

  Jenis tari ini biasanya ditujukan untuk penyandang cacat fisik atau cacat mental. Penyalurannya dapat dilakukan secara langsung bagi penderita cacat tubuh, penderita tuna wicara, tuna rungu, dan secara tidak langsung bagi penderita cacat mental.

  4. Seni tari sebagai media pendidikan.

  Kegiatan tari dapat dijadikan media pendidikan, seperti mendidik anak untuk bersikap dewasa dan menghindari tingkah laku yang menyimpang. Nilai-nilai keindahan dan keluhuran pada seni tari dapat mengasah perasaan seseorang.

  5. Seni tari sebagai media pergaulan.

  Seni tari adalah kolektif, artinya penggarapan tari melibatkan beberapa orang. Oleh karena itu, kegiatan tari dapat berfungsi sebagai sarana pergaulan.

  6. Seni tari sebagai media pertunjukkan.

  Tari bukan hanya menjadi sarana upacara atau hiburan, tetapi tari juga bisa berfungsi sebagai pertunjukkan yang sengaja dipertontonkan. Tari yang dipentaskan, lebih menitikberatkan pada segi artistiknya, penggarapan koreografi yang mantap, mengandung ide-ide, interprestasi, konsepsional serta memiliki tema dan tujuan.

  7. Seni tari sebagai media katarsis.

  Katarsis berarti pembersihan jiwa. Seni tari sebagai media media katarsis lebih mudah dilaksanakan oleh orang yang telah mencapai taraf atas, dalam penghayatan seni.

2.5 Dance/Movement Therapy

2.5.1 Definisi Dance/Movement Therapy

  Dance/movement therapy (DMT) secara resmi didefinisikan sebagai

  psikoterapi menggunakan gerakan sebagai proses yang lebih lanjut dari emosional, kognitif, integrasi sosial dan fisik individu (American Dance Therapy

  

Association dalam Goodill (2005). DMT adalah disiplin khusus di bidang

  kesehatan mental, bersama dengan terapi seni kreatif lain (seni, musik, drama, puisi dan psikodrama terapi). Secara akademis, lapangan yang menggabungkan dan mensintesis studi psikologis dan proses-proses sosial dengan proses konstruksi teoritis lainnya dari kedua seni gerakan dan prinsip kinesiologis/ biologis gerakan. Secara klinis, kerja terdiri pendekatan pikiran / tubuh yang terintegrasi untuk psikoterapi. Baik klien dan terapis memperhatikan dan menangani yang dirasakan, hubungan kinestetik dan motorik antara proses kognitif (termasuk proses kreatif), tanggapan emosional, pola interaksional dan isu-isu yang relevan dengan terapi. Tujuan umum dari terapi ini adalah, antara lain: i. meningkatkan integrasi dari kognitif, afektif dan pengalaman fisik ii. kemampuan ekspresif iii. meningkatkan kesadaran diri

  Penilaian dan teknik klinis keduanya canggih dan fleksibel, sehingga terapi disesuaikan dengan kebutuhan dari berbagai populasi. Dance/movement

  therapy menekankan keselarasan dan koneksi antara verbal dan

  nonverbal dari cara berekspresi. Namun, penilaian dan terapi dapat dilanjutkan sepenuhnya di bidang nonverbal gerakan, sentuh, irama, dan interaksi spasial, sehingga pendekatan cocok dengan kebutuhan orang yang tidak dapat berpartisipasi dalam psikoterapi yang berorientasi dalam bentuk lisan.

  Menurut Payne (2006) definisi dari Dance/Movement Therapy (DMT) yang diadopsi oleh the Association for Dance Movement Therapy (ADMT) dan the

  Standing Committee for Arts Therapies Professions mewujudkan dua prinsip

  mendasar:

  Dance/movement therapy adalah penggunaan gerakan ekspresif dan menari

  sebagai kendaraan dimana seorang individu dapat terlibat dalam proses integrasi pribadi dan perkembangan. Hal ini didirikan pada prinsip bahwa ada hubungan antara gerak dan emosi dan bahwa dengan mengeksplorasi kosakata yang lebih bervariasi dari gerakan orang yang mengalami kemungkinan menjadi lebih aman seimbang namun semakin spontan dan mudah beradaptasi. Melalui gerakan dan menari batin setiap orang menjadi nyata, individu berbagi banyak simbolisme pribadi mereka dan hubungan menari bersama-sama menjadi terlihat.

  

Dance/movement terapis menciptakan sebuah lingkungan dimana perasaan dapat

dengan aman dinyatakan, diakui dan dikomunikasikan.

2.5.2 Mekanisme Dance/Movement Therapy

  Menurut Chaiklin (2009), DMT dibagi atas dua model yang berfokus pada kapasitas kreativitas yang tiada akhir dan kualitas estetik dari tubuh yang bergerak sebagai suatu fundamental yang unik dan spesifik untuk proses terapi, yaitu : 1.

  The Intra-Actional System Sistem ini berhubungan dengan individu dan persepsi tubuh dan dirinya (spesifiknya, sikap tubuh dan konsep diri sendiri).

2. Interactional System

  Sistem ini lebih mengarah pada individu dan kapasitas mereka yang berhubungan dengan dunia sebagai mahluk sosial (spesifiknya, komunikasi dan dinamika interpersonal)

Gambar 2.1 Model Dance Movement Therapy

2.5.3 Program Dance Movement Therapy

  Adapun program DMT ini terdiri dari 12 sesi, yaitu 6 sesi asosiasi bebas dan 6 sesi tari terstruktur. Remaja berpartisipasi 6 kali seminggu satu sesi per hari. Empat puluh lima menit pertama setiap sesi adalah sesi tari terstruktur berupa pop

  

dance yang dikoreograferi oleh instruktur tari yang profesional. Peneliti, yang

  juga fasilitator gerakan tari dan program intervensi, dapat menerima pelatihan dari instruktur tari untuk memfasilitasi sesi tari terstruktur.

  Kaban (2003) menyatakan bahwa kebutuhan anak-anak atau remaja yang akan berpartisipasi dalam tarian dan gerakan intervensi program akan terus- menerus berubah sehingga program intervensi tiap sesi DMT harus fleksibel. Oleh karena itu, walaupun setiap sesi memiliki tema tertentu dan setiap sesi terdiri dari aspek-aspek tertentu, peneliti/fasilitator harus fleksibel dan siap untuk menyesuaikan sesi untuk kebutuhan remaja. Untuk meningkatkan partisipasi kelompok dan eksplorasi tema tertentu, beberapa aspek tertentu dari setiap sesi harus terstruktur dan sebagian lagi lebih fleksibel.

  Aspek yang terstruktur dari setiap sesi ditujukan untuk menciptakan rutinitas selama periode dua minggu, yang mana memberikan rasa stabilitas, kontrol dan konsistensi pada para peserta. Peneliti/fasilitator memilih untuk mengimplementasikan program intervensi dalam format grup untuk meningkatkan hubungan interpersonal serta keterampilan sosial peserta dan memberikan kesempatan pada para peserta untuk mendukung satu sama lain. (Kaban, 2003).

I. Sesi Asosiasi Bebas

  Gerakan kreatif atau sesi asosiasi bebas dan sesi tari terstruktur memiliki sesi pemanasan dan pendinginan. Sesi ini memungkinkan para peserta untuk meregangkan otot-otot mereka, dengan demikian mencegah cedera, dan memungkinkan mereka untuk rileks dan menenangkan diri sebelum dan sesudah setiap gerakan kreatif atau tari terstruktur. Sesi pemanasan dan pendinginan ini dilakukan karena penelitian sebelumnya telah membuktikan hal tersebut sangat efektif dalam mendukung program DMT (Carter, 2004; Kaban 2003 ; Jeppe, 2006).

  Sesi pertama setiap hari ialah ekspresi emosional yang kreatif dan sesi kedua, gerakan tari terstruktur. Pada sesi pertama setiap harinya, sesi pemanasan dan pendinginan masing-masing dilakukan selama 7 menit yang terdiri dari peregangan dan latihan untuk meningkatkan relaksasi serta pernafasan peserta. Relaksasi tidak hanya menyebabkan pengurangan tingkat stres tetapi juga mempengaruhi respon endokrin seseorang sehingga sistem saraf otonomnya lebih stabil. (Choi etal., 2008).

  Pada sesi kedua, sesi pemanasan dilakukan selama sepuluh menit dan pendinginan lima menit lama. Bagian ini termasuk peregangan dan latihan pernapasan.

Tabel 2.1 Sesi Free Association Dance and Movement (Merwe, 2010)

  Sesi Tema Aktivitas

  1 Attachment Pengenalan Latihan Mirroring

  2 Relationships Latihan Mirroring

  3 Feelings Mengeksplorasi emosi

  Jumping exercise

  4 Control and Helplessness Personal space activity

  Body control activity Improvisation exercise

  5 Grief, loss and rejection Mengeksplorasi emosi negatif

  6 Fears, hopes and dreams Mengeksplorasi emosi positif Urutan di mana tema-tema ini disajikan, dipilih berdasarkan yang tebaik untuk proses terapi (Egan, 2007). Tema dalam dua sesi awal, attachment and relationships, ditujukan untuk membangun hubungan dan rasa nyamanan dalam kelompok. Dua sesi ini berfokus pada pembangunan hubungan, kepercayaan dan rapor (Gibson et al. 2002).

  Tema pada sesi ketiga adalah feeling. Ini adalah tema yang relatif luas di mana emosi positif dan negatif dieksplorasi. Hal ini memungkinkan para peserta lebih banyak waktu untuk merasa nyaman ketika membahas tema ini.

  Sesi keempat dan kelima adalah dua tema secara emosional paling sulit,

  

control and helplessness , dieksplorasi. Sesi terakhir memiliki tema lebih positif

yaitu, fears, hopes and dreams.

  Latihan khusus yang terkait dengan setiap tema sekarang akan dibahas: Sesi pertama, dengan tema attachment, adalah sesi pendahuluan dan selama sesi ini dihabiskan peserta dan peneliti/fasilitator untuk mengenal satu sama lain.

  Selama sesi ini, peneliti/fasilitator menjelaskan prosedur yang akan dijalani para peserta dan memberikan kesempatan pada peserta untuk bertanya.

  Latihan mirroring dilakukan pada tema awal ini. Mirroring adalah tari konstruktif dengan gerakan yang mengikuti gerakan kelompok lain (Kaban, 2003). Mirroring meningkatkan pengembangan attachment dan pembangunan kepercayaan (Kaban, 2003).

Gambar 2.2. Gerakan Mirroring

  Sumber : Static News (2010) Pada awal pelaksanaan, peneliti/fasilitator melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu dan mendorong seluruh kelompok untuk mengikutinya. Lalu kelompok dibagi menjadi pasangan dan melakukan mirroring bergiliran untuk melaksanakan gerakan. Selama latihan ini, peserta didorong untuk tidak berbicara agar fokus pada gerakan pasangannya. Untuk memotivasi remaja untuk terus bergerak, peneliti/fasilitator terus mengubah musik, irama dan gerakannya sehingga para peserta mengikutinya.

  Tema sesi kedua ialah relationship, latihan mirroring ini sekali lagi dilakukan. Peserta saling berpasangan di mana salah satu peserta diminta untuk bergerak dan peserta pasangannya mengikuti pergerakan tersebut sambil diiringi musik. Pada saat musik berhenti secara acak, peserta haruis berhenti dan bertukar posisi. Pada saat musik mulai lagi, peserta melakukan mirroring kembali. (Payne, 2006).

  Tema sesi berikutnya adalah feeling. Pertama, seorang peserta mengambil kertas yang berisi emosi yang berbeda dari topi secara acak dan peserta tersebut menggambarkan emosi ke grup menggunakan gerakan dan tari. Teman sekelompoknya harus menebak emosi apa yang digambarkan. Setelah sesi ini selesai, peserta ditanya mengenai emosi apa yang mereka sulit gambarkan pada teman sekelompoknya.

  Pada sesi keempat dengan tema, control and helplessness. Para peserta harus mengulurkan tangan dan kakinya dan bergerak di sekitar kamar khayalannya, menjelajahi ruang pribadi mereka dan ruang pribadi orang lain (Kaban, 2003).

  Tema sesi akhir yang akan dieksplorasi adalah hopes and dreams. Peserta diminta mengeksplorasi apa yang membuat mereka merasa takut, mendengarkan musik yang dapat menyebabkan seseorang merasa takut, dan bergerak secara bebas sesuai musik. Mereka diberitahu bahwa mereka bisa menggambarkan suatu peristiwa dan bergerak sesuai emosi mereka. Pada akhir sesi mereka diizinkan untuk menggunakan musik, menyanyi, berbicara untuk menggambarkan harapan mereka.

II. Sesi Gerakan terstuktur

  Sesi gerakan terstruktur ini bermanfaat untuk pemahaman para peserta mengenai tema dari tarian setiap sesi. Waktu yang dibuthkan untuk tiap sesi tarian yang terstruktur ini adalah tiga puluh menit. Berdasarkan pertimbangan usia peserta maka sesi tari terstruktur ini adalah pop dance.

  Waktu untuk rutinitas pop dance adalah satu setengah menit. Peneliti/fasilitator menekankan bahwa tidak penting bagi para peserta untuk melakukan gerakan dengan sempurna melainkan meminta mereka menikmati setiap gerakan yang mereka lakukan.

Dokumen yang terkait

Tingkat Stres pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2013

16 100 77

Tingkat Stres Pada Mahasiswa Malaysia Semester I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Tahun Akademik 2013/2014

2 32 86

Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Dispepsia Fungsional Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

28 213 84

Efektifitas Dance Movement Therapy Terhadap Penurunan Tingkat Stres Mahasiswa Matrikulasi Penyambutan Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2012 berdasarkan Hassles Assesment Scale for Student in College

3 43 99

Gambaran Stres pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

18 109 67

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres 2.1.1 Pengertian Stres - Pengaruh Stres Terhadap Pola Makan Mahasiswa Tingkat Akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU)

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Kebiasaan Berolahraga dengan Tingkat Stres pada Mahasiswa di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Gambaran Kecanduan Online Game pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012

0 1 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Stres 1.1 Pengertian Stres Akademik - Gambaran Stressor dan Koping Mahasiswa Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stres 2.1.1. Pengertian Stres - Hubungan Paparan Stresor Akut Cold Pressor Test dengan Frekuensi Napas pada Mahasiswa Semester tiga Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2012

0 0 12