PERAN PENEGAK HUKUM TERPADU DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA “MONEY POLITICS” TERHADAP SISTEM PEMILU KEPALA DAERAH (Jurnal)

  

PERAN PENEGAK HUKUM TERPADU DALAM MENANGGULANGI

TINDAK PIDANA “MONEY POLITICS” TERHADAP SISTEM PEMILU

KEPALA DAERAH

(Jurnal)

  

Oleh

Eka Muly

  

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

  

ABSTRAK

PERAN PENEGAK HUKUM TERPADU DALAM MENANGGULANGI

TINDAK PIDANA “MONEY POLITICS” TERHADAP SISTEM PEMILU

KEPALA DAERAH

  

Oleh

Eka Muly, Erna Dewi, Budi Rizki Husin

Email

  

Politik uang (money politics ) dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku

  orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Di setiap penyelengaraan pemilu masih banyak terjadinya tindak pidana hal ini terkait pada kasus money politics yang terjadi di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Mesuji adapun permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah peran penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana “money politics” dan Bagaimanakah koordinasi antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan dalam penyelesaian tindak pidana “money politics” terhadap sistem Pemilu Kepala Daerah. Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan normatif empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian Penegak hukum terpadu ini belum berjalan dengan baik bahwa pada Bawaslu Provinsi Lampung Tahun 2016 terdapat kasus yang menyangkut money pada Pemilihan Kepala Daerah yang ternyata pada proses penegakan hukumnya

  politics tidak ditindak lanjuti sebagaimana penegakan hukum dijalankan secara integral.

  Seharusnya suatu produk hukum harus memenuhi unsur responsif, yaitu suatu produk hukum mencerminkan keadilan yang memenuhi aspirasi masyarakat. Terhadap pelaku tind ak pidana “money politics” dalam pemilu mendapatkan kendala-kendala yang menggangu proses hukum itu sendiri dapat ditegakan. Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya para penegak hukum dalam hal ini Panwaslu, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi serta sosialisasi antara semua pihak dalam menyamakan persepsi tentang tindak pidana Pemilu.

  Kata Kunci: Penegak Hukum Terpadu, Tindak Pidana Pemilu, Money Politics.

  

ABSTRACT

THE ROLE OF INTEGRATED LAW ENFORCEMENT IN

REDUCING "MONEY POLITICS" CRIME IN THE

REGIONAL HEAD ELECTION SYSTEM

  

By

Eka Muly, Erna Dewi, Budi Rizki Husin

Email :

  

Money politics can be interpreted as an attempt to influence the behavior of others by

using certain rewards. In every election event, there are still many cases related to

money politics like in West Lampung and Mesuji regencies. The problems of this

research are formulated as follows: how is the role of integrated law enforcement in

countermeasuring money politics? and how is the coordination among Bawaslu

(Indonesia's Election Supervisory Board), Police, and the Attorney General in the

settlement of "money politics" crime in the system of Regional Head Election? This

research used normative and empirical approaches. The data collection technique was

done through literature study and field study. While the data analysis was carried out

qualitatively. The results of this research on integrated law enforcement showed that the

election system has not been well run as reported by Bawaslu of Lampung in the year of

2016 as there were several cases related to money politics in the Regional Head

Election which resulted on the process of law enforcement was not followed up yet,

unlike if the law enforcement was carried out integrally. However, a legal product must

meet the responsive element, that a legal product should reflect the justice that fulfills

the aspirations of society. Further, there were several inhibiting factors against the

perpetrators of "money politics" crime in the election system which interfered the legal

process. It is suggested that the law enforcers, in this case Panwaslu (Election

Supervisory Committee), Police, Attorney General and Court to improve cooperation

and coordination and also socialization among all parties in equating perception about

election crime.

  Keywords: Law Enforcement, Election Crime, Money Politics.

  Pemilihan umum (pemilu) adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatan politik tertentu. Sistem pemilihan umum memiliki mekanisme dan proses demokrasi yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi. Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat membuat undang- undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan Anggaran Pendapatan Belanja Negara untuk membiayai pelaksanaan fungsi

  • – tokoh bermoral dan memiliki kompetensi atau tidak. Rakyat di dalam melaksanakan haknya sebagai pemilih, dijamin keamanannya oleh Negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nuraninya masing-masing. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan Pemilihan umum, terutama dalam pemilihan Kepala Daerah masih sering dijumpai terjadinya berbagai pelanggaran, baik pelanggaran yang bersifat administratif maupun pelanggaran yang berupa tindak pidana. Tindak pidana pemilu, yaitu semua
  • 2 Suharizal, Pemilukada Regulasi, Dinamia dan
  • –fungsi tersebut. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan wakil kepala daerah merupakan suatu keharusan yang diselenggarakan oleh setiap daerah melalui Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

  tidak lain dan tidak bukan, bertujuan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat didaerah yang menyelenggarakan. Pemilihan kepala daerah ada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat diwilayah provinsi dan atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1

   1945.

  2 Dalam memberikan suaranya,

I. PENDAHULUAN

  pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun. Penyelenggara Pemilu dan semua pihak yang terlibat dalam proses pelaksanan pemilu, wajib bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

  3 Setiap pemilih

  dan peserta pemilu berhak mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Alasan utama ditetapkannya pemilihan langsung terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh rakyat didaerah yang menyelenggarakan adalah agar mereka yang terpilih benar- benar telah melalui proses seleksi dari bawah karena prsetasi moral, intelektual, dan pengabdiannya pada masyarakat selama ini. Tetapi, rupanya gagasan mulia ini sulit terwujud mengingat umumnya masyarakat tidak memiliki informasi yang cukup tentang kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang mencalonkan diri, apakah mereka merupakan tokoh

1 Pemilihan ini

  Konsep Mendatang, Dicetak Di Fajar interpratama, Cetakan ke-2, Depok, Agustus 2012, hlm 30. 3 tindak pidana berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam Undang-Undang Pemilu. Tindak pidana pemilu di Indonesia dalam perkembangannya mengalami banyak perubahan baik berupa peningkatan jenis tindak pidana sampai perbedaan tentang penambahan sanksi pidana. Hal ini disebabkan karena semakin hari tindak pidana pemilu semakin menjadi perhatian yang serius karena ukuran keberhasilan Negara demokratis dilihat dari kesuksesannya menyelenggarakan pemilu. Pemerintah Kemudian memperketat aturan hukum tentang tindak pidana pemilu dengan semakin memperberat sanksi pidana bagi pelakunya. Undang

  • –Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan umum Kepala Daerah yang menjadi dasar dan acuan dalam pelaksanaan pemilu Tahun 2017 telah mengatur mekanisme penanganan pelanggaran dan tindak pidana yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilu. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 telah diatur bahwa ada 4 (empat) institusi yang terlibat dalam penanganan perkara tindak pidana pemilu yakni Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Pembukaan Undang-Undang Dasar

  1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, maka setiap tindak pidana yang terjadi seharusnya diperoses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang sebagai satu- satunya sarana bagi penyelesaian terhadap suatau tindak pidana. Tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang- Undang Hukum Pidana sebagai menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu.

  5 Untuk mengefektifkan

  penanganan perkara pelanggaran pemilu yang menyangkut pidana maka Panwaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan membentuk Sentra Penegak hukum terpadu (Sentra Gakkumdu), payung hukumnya adalah kesepahaman bersama antara Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Ketua Badan Pengawasan Pemilihan Umum. Keanggotaan Sentra Gakkumdu di tingkat pusat terdiri dari Kabareskrim Polri, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dan Ketua Bidang Penanganan Pelanggaran Pemilu Bawaslu. Di tingkat provinsi terdiri dari Direktur Reskrim/Umum, Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi, Koordinator Bidang Hukum dan Penanganan Pelanggaran Pemilu Panwaslu Provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota anggotanya adalah Kepala Satuan Reserse Kriminal, Kepala Seksi Pidana Umum dan Koordinator Bidang Hukum dan Penanganan Pelanggaran Pemilu Panwaslu Kabupaten/Kota. Jika pemilihan dimenangkan melalui cara curang (malpractices), sulit dikatakan bahwa pemimpin Kepala Daerah merupakan wakil-wakil rakyat.

  6 Peran Gakkumdu (Penegak hukum

  terpadu) hanya dioperasionalkan ketika Pemilu dilaksanakan. Namun gakkumdu sendiri punya tugas dalam menyidik segala kejahatan Pemilu yang dilaporkan dari Panwaslu / kejahatan atau tindak pidana.

4 Selain itu

  5 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil,

  Pokok-pokok Hukum Pidana , (jakarta: Pradnya 4 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya , Cet.3, Paramita,2004), hlm. 54. 6 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Jakrta, Sentra Gakkumdu adalah wadah bersama 3 unsur antara pengawas pemilu, kepolisian, dan kejaksaan untuk menangani tindak pidana pemilu. Sentra Gakkumdu yang akan mengolah laporan masyarakat yang mengandung Tindak Pidana Pemilu. Fungsi sentra gakkumdu yang utama adalah melakukan gelar perkara untuk menemukan unsur-unsur tindak pidana pemilu dan bukti-bukti yang harus dikumpulkan. Selain itu fungsi sentra gakkumdu untuk membantu pengawas pemilu dalam membuat kajian tindak pidana pemilu. Sistem pemilihan umum Kepala Daerah secara langsung Tahun 2017 membuka maraknya praktik money politics di Provinsi Lampung, dalam situasi yang serba sulit seperti saat ini, uang merupakan alat kampanye yang cukup ampuh untuk mempengaruhi masyarakat guna memilih calon Kepala Daerah tertentu. Praktik-praktik kecurangan tersebut menimbulkan paradigma bagi masyarakat bahwa kecerdasan intelektual tidak menjadi dasar untuk menjadi calon Kepala Daerah, tetapi kekayaan finansial yang menjadi penentu pemenang dalam pemilu. Pada pemilihan umum Kepala Daerah Tahun 2016 di Kabupaten Mesuji dan Kabupaten Lampung Barat terdapat perbuatan melawan hukum dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada warga, baik secara langsung maupun tidak langsung pelanggaran yang dilakukan oleh calon atau tim kampanye. Menyikapi pelanggaran-pelanggaran tersebut, pihak Pengawas Pemiliu (Panwaslu) tentu saja memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum terkait dengan pelanggaran atau tindak pidana pemilu yang terjadi.

  Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Peran Penegak hukum terpadu Dalam Menanggulangi Tindak Pidana (Money

  Politics) Terhadap Sistem Pemilu

  Kepala Daerah.” Adapun rumusan masalah yang penulis akan dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah : a.

  Bagaimanakah peran penegak hukum terpadu dalam menanggulangi tindak pidana “money politics” terhadap sistem Pemilu Kepala Daerah ? b. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi penegak hukum terpadu dalam menanggulangi tindak pidana “money politics” terhadap sistem Pemilu Kepala Daerah ?

  Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan normatif empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

  II. PEMBAHASAN A. Peran Penegak hukum terpadu Dalam Menanggulangi Tindak Pidana “Money Politics” Terhadap Sistem Pemilu Kepala Daerah

  Penegakkan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi keadilan dan berdaya guna, dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

  Salah satu pilar pokok dalam setiap sistem demokrasi adalah adanya mekanisme penyaluran pendapat rakyat secara berkala dan berkesinambungan melalui pemilihan umum. Pemilihan Umum adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga negara dalam proses memilih sebagian rakyat menjadi pemimpin pemerintah.

  Penggunaan pidana dalam proses Pemilu tidaklah mudah. Pengawas Pemilu, penyidik Polri, Jaksa dan Hakim masih berbeda persepsi terhadap beberapa bentuk kasus pidana Pemilu.

  Perdebatan defenisi kampanye itu sudah menjadi perdebatan yang klasik dan terjadi dari dulu. Atas dasar itu Topo Santoso mengusulkan agar berbagai ketentuan pidana Pemilu dibahas lebih mendalam. Sehingga dapat menghasilkan ketentuan yang lebih jelas, tidak ambigu dan mudah dipahami semua pihak. Ahli pidana berperan penting bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan tindak 7 Paimin Napitupulu, Peran dan

  Pertanggungjawaban DPR Kajian di DPRD Provinsi DKI Jakarta, Disertasi, Alumni, Bandung, 2004, Hlm.71 8 er- kembangan-tindak-pidana-pemilu-di- pidana pemilu.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Yanuar, menyatakan bahwa Mekanisme Pengawasan Pemilu yang dimaksud dengan pengawasan Pemilu adalah kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa, dan menilai proses penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan perundang-undangan. Sedangkan tujuan pengawasan Pemilu adalah untuk menjamin terselenggaranya Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan berkualitas.

  Contoh kasus yang terjadi pada pemilihan umum Kepala Daerah Tahun 2016 di Kabupaten Mesuji dan Kabupaten Lampung Barat terdapat perbuatan melawan hukum dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada warga, baik secara langsung maupun tidak langsung pelanggaran yang dilakukan oleh calon atau tim kampanye. Menyikapi pelanggaran-pelanggaran tersebut, pihak Pengawas Pemiliu (Panwaslu) tentu saja memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum terkait dengan pelanggaran atau tindak pidana pemilu yang terjadi. Penegak hukum terpadu ini belum berjalan dengan baik bahwa pada Bawaslu Provinsi Lampung Tahun 2016 terdapat banyak kasus yang menyangkut money politic di tingkat Provinsi yang ternyata pada proses penegakan hukumnya tidak ditindak lanjuti sebagaimana penegakan hukum dijalankan secara integral. Seharusnya suatu produk hukum harus memenuhi unsur responsif, yaitu suatu produk hukum mencerminkan keadilan yang memenuhi aspirasi masyarakat.

7 Banyaknya tindak pidana Pemilu, tidak menjamin penegakan hukum.

8 Terutama ketentuan yang definisinya kabur, bisa diartikan sempit atau luas.

  Terhadap pelaku tindak pidana money

  politics dalam pemilu mendapatkan

  kendala-kendala yang menggangu proses hukum itu sendiri dapat ditegakan, sesuai dengan kasus yang diteliti yaitu kasus money politics dalam pemilu yang terjadi di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Mesuji, bahwa adanya limit waktu yang disediakan dalam proses tindak pidana Pemilu itu sendiri sehingga aparat dituntut dengan waktu yang sangat cepat untuk prosesnya, berbeda dengan tindak pidana biasa yang memerlukan banyak waktu, dan apabila kasus di dalam tindak pidana Pemilu ini sendiri telah di tindak lanjuti tetapi dalam segi waktu yang lebih dari batas waktu ditetapkan maka kasus itu sendiri akan daluarsa.

  Penanganan pelanggaran pidana Pemilu harus dilakukan dengan cepat apabila didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Adanya batasan waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan penanganan tindak pidana pada umumnya membutuhkan koordinasi yang lebih baik antara lembaga yang terlibat dalam penanganan pelanggaran pidana tersebut. Gakkumdu adalah lembaga yang dilahirkan dari naskah kesepahaman, 28 Juni 2008, antara Jaksa Agung, Kapolri, dan Ketua Bawaslu. Kesepahaman antara ketiga institusi mengenai pembentukan Gakkumdu ini termuat dalam Keputusan Jaksa Agung Nomor : 055/A/JA/VI/2008; Keputusan Kapolri Nomor : B/06/VI/2008; dan Keputusan Bawaslu Nomor :01/Bawaslu/KB/VI/2008 dimana kesepahaman tersebut termuat dalam Sentra Penegak hukum terpadu dan Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu Legislatif Tahun 2009.

  Kesepahaman bersama tersebut dibuat untuk menyamakan pemahaman dan pola tindak dalam penanganan tindak pidana

  “money politics” Pemilu kepala

  daerah Tahun 2017 secara terpadu dan terkoordinasi antara unsur pengawas Pemilu, Kepolisian, dan Kejaksaan. Sedangkan tujuan kesepahaman bersama tersebut adalah untuk tercapainya pengakan hukum tindak pidana Pemilu kepala daerah Tahun 2017 sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak. Sebenarnya pembentukan Sentra Gakkumdu sudah ada pada Pemilu 1999 dimana Gakkumdu diposisikan sebagai lembaga Pra Sistem Peradilan Pidana berbagai kasus Pemilu. Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Hari Sutrisno Peran penting Sentra Gakkumdu dalam penanganan pelanggaran pidana Pemilu adalah menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dari Panwaslu dan KPU. Dalam teknisnya, Sentra Gakkumdu melakukan penelitian dan pengkajian melalui mekanisme gelar perkara setiap laporan pelanggaran yang diterima dari Panwaslu. Sehingga dalam pelaksanaan tugas di Sentra Gakkumdu tersebut wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam pelaksanaan tugas yang bersifat internal maupun eksternal, sesuai dengan asas Integrated Criminal

  Justice System . Jadi dengan prinsip

  tersebut maka setiap unsur dalam Sentra Gakkumdu meneliti laporan yang masuk tersebut. Apabila dalam hasil penelitian oleh unsur-unsur dalam Sentra Gakkumdu laporan yang diterima oleh pengawas Pemilu bukan merupakan tindak pidana maka dikembalikan kepada Panwaslu, sedangkan laporan yang memenuhi unsur pidana selanjutnya dibuatkan laporan oleh unsur penyidik dalam Sentra Gakkumdu. Pola penanganan tindak pidana Pemilu telah diuraikan diatas adalah pendeskripsian tentang alur penyelesaian perkara pidana Pemilu sesuai dengan Undang-Undang dan Kesepahaman Bersama antara Panwaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Selanjutnya pada bab berikutnya akan dikemukakan permasalahan yang dihadapi dalam penanganan perkara pidana Pemilu. Alur Penanganan Pelanggaran Pemilu Berdasarkan Perbawaslu Nomor 14 Tahun 2012 Alur penanganan tindak pidana dalam sistem peradilan pidana pemilu sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan birokrasi penanganan yang tidak sederhana. Sistem penanganan tindak pidana pemilu jauh lebih rumit dibandingkan tindak pidana biasa yang hanya melibatkan Polisi, Jaksa dan Pengadilan. Sementara tindak pidana pemilu juga melibatkan pengawas pemilu. Sehingga, kondisi inipun dinilai sebagai salah satu alasan kenapa penanganan tindak pidana pemilu menjadi tidak efektif. Laporan terjadinya pelanggaran Pemilu disampaikan oleh pelapor kepada Panwaslu paling lama tiga hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu. Sehingga apabila laporan yang disampaikan oleh pelapor melebihi waktu tiga hari setelah terjadinya pelanggaran Pemilu, Panwaslu dapat menolak laporan tersebut. Panwaslu mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima. Apabila dari hasil kajian, laporan tersebut terbukti kebenarannya, maka dalam waktu paling lama tiga hari setelah laporan diterima, Panwaslu wajib menindaklanjuti laporan tersebut. Apabila Panwaslu memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai isi laporan, maka permintaan keterangan tambahan tersebut dilakukan paling lama lima hari setelah laporan diterima. Inilah hak istimewa yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor

  10 Tahun 2016 kepada Penawaslu dimana kewenangan ini sangat mirip dengan kewenangan yang diberikan kepada penyidik yaitu kewenangan menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana dan memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. Laporan yang menyangkut pelanggaran administrasi Pemilu, diteruskan kepada KPU,sedangkan laporan yang menyangkut pelanggaran pidana Pemilu diteruskan kepada penyidik Polri. Dalam tahap ini juga menjadi alasan Panwaslu dapat dikatakan sebagai salah satu sub sistem dalam penanganan perkara pidana Pemilu yaitu Panwaslu menerima laporan pelanggaran Pemilu baik pelanggaran administrasi maupun pidanap pemilu. Panwaslu juga mempunyai kewenangan memutuskan bahwa sebuah perkara merupakan perkara pidana, dimana pada penanganan perkara pidana pada umumnya, kewenangan tersebut merupakan milik penyelidik dan penyidik. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ari Hidayat menyatakan bahwa penuntut umum setelah menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik Polri, segera mempelajari dan meneliti berkas perkara tersebut, dan dalam waktu tiga hari wajib memberitahukan kepada penyidik Polri apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Apabila hasil penyidikan belum lengkap, Penuntut Umum dalam waktu paling lama tiga hari sudah harus mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi. Penyidik Polri dalam waktu paling lama tiga hari sejak tanggal penerimaan berkas, sudah harus menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada Penuntut Umum yang menerima kembali berkas perkara yang telah dilengkapi penyidik, dalam waktu paling lama tiga hari sudah harus memberitahukan hasil penelitian berkas kepada penyidik. Dalam waktu paling lama tiga hari setelah menerima pemberitahuan hasil penyidikan sudah lengkap dari penuntut umum, penyidik Polri sudah harus menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum. Dalam waktu paling lama lima hari setelah menerima penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti (penyerahan berkas perkara tahap kedua), Penuntut Umum harus sudah melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan. Dalam waktu paling lama tujuh hari setelah menerima pelimpahan perkara dari Penutut Umum, Pengadilan Negeri harus sudah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu. Disinilah letak pentingnya kesiapan hakim dalam menerima berkas perkara tindak pidana Pemilu disamping harus adanya koordinasi yang baik pula antara instansi kejaksaan dan pengadilan. Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut dilakukan banding, permohonan banding diajukan paling lama tiga hari setelah putusan dibacakan. Pengadilan Negeri melimpahkan berkas perkara banding kepada Pengadilan Tinggi paling lama tiga hari setelah permohonan banding diterima. Kesiapan hakim dalam menyidangkan perkara pidana Pemilu tersebut diwujudkan dengan komitmen hakim dengan menyiapkan putusan yang lengkap pada saat pembacaan vonis perkara pidana Pemilu sehingga jaksa penuntut umum maupun terdakwa dapat mempersiapkan langkah selanjutnya dengan baik dan tidak terkendala dengan belum adanya salinan putusan yang lengkap dari majelis hakim.

  Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus perkara banding paling lama tujuh hari setelah permohonan banding diterima. Putusan Pengadilan Tinggi merupakan putusan terakhir dan mengikat, serta tidak ada upaya hukum lain. Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi harus sudah disampaikan kepada Penuntut Umum paling lama tiga hari setelah putusan dibacakan. Dalam waktu paling lama tiga hari setelah menerima putusan tersebut, Jaksa harus sudah melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Tenggang waktu yang sangat singkat diatas kadangkala merupakan kendala tersendiri bagi jaksa penuntut umum ketika akan melakukan eksekusi, apalagi terdakwa tidak ditahan dan kendala geografis di daerah yang terpencil, maka koordinasi yang baik dengan polisi dapat mengatasi permasalahan tersebut.

  B. Faktor-faktor yang Mem- pengaruhi Penegak hukum terpadu dalam Menanggulangi Tindak Pidana “Money Politics” Terhadap Sistem Pemilu Kepala Daerah

  Berdasarkan studi wawancara yang dilakukan dengan responden maupun dari hasil pustaka ditemukan beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap p elaku tindak pidana “money politics” dalam sistem pemilu Kepala Daerah.

  Faktor tersebut dapat diperjelas dan dirinci sebagai berikut:

  1. Faktor Hukum (Substansi Hukum) Berdasarkan hasil wawancara dengan Yanuar, salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegeakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegakan hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum dan penegak hukumnya sendiri. Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

  2. Faktor Penegakan Hukum Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan- kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.

  3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

  Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Kalau peraturan perUndang- Undangannya sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.

  4. Faktor Masyarakat Setiap warga masyarakat sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum. Warga masyarakat harus mengetahui dan memahami hukum yang berlaku, serta menaati hukum yang berlaku dengan penuh kesadaran akan penting dan perlunya hukum bagi kehidupan masyarakat. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersang- kutan.

  5. Faktor Kebudayaan Menurut Soerjono Soekanto, fungsi kebudayaan dalam masyarakat yaitu mengatur agar manusia mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya jika mereka berhubungan dengan orang lain.

  Dalam hal ini kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut, dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilu Kepala Daerah secara substansial telah mengatur penjelasan sanksi bagi pelaku tindak pidana Pemilu namun berdasarkan pendapat para ahli dan juga responden yang berkompenten, undang-undang ini memiliki kelemahan yang menjadi penghambat penegakan hukum itu sendiri seperti adanya limitasi waktu yang diatur dalam proses penegakan hukum pidana itu sendiri yang menjadikan prosesnya dilakukan secara terburu-buru dan apabila sudah lewat dari masa tenggang waktu maka akan kadaluarsa, walaupun secara faktual terbukti adanya pelanggaran tersebut. Selain itu pasal yang terdapat pada undang-undang ini masih bersifat secara universal apabila dilihat dari kejelasan kata-katanya tidak secara spesifik. Wawasan dan sumber daya manusia dalam menanganai kasus pidana pemilu khususya “money

  politics”

  benar-benar dibutuhkan mengingat bentuk dari tindak pidana “money politics” itu sendiri berubah- ubah sehingga diperlukan wawasan yang luas dalam diri para penegak hukum di Indonesia. Harus diakui faktor ini juga mendorong terhambatnya penegakan hukum terhadap tindak pidana

  “money politics” dalam Pemilu, mengingat negara Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah yang panjang dan juga pertumbuhan penduduk yang sangat pesat maka kualitas aparat penegak hukum yang menetukan dilihat tidak semua penegak hukum sendiri memahami tindak pidana Pemilu. Masyarakat yang tidak kondusif dan adanya indikasi dari luar juga menjadi faktor penghambat untuk menjalankan pemilihan umum, masih banyaknya masyarakat yang mengangap “money politics” adalah hal yang biasa dalam setiap pemilhan umum yang mengakibatkan proses penegakan hukum itu sendiri tidak berjalan sebagai mana yang telah diatur dalam undang- undang.

  Menurut Ari Hidayat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu ini fasillitas yang dimiliki oleh para penegak hukum masih dirasa kurang Seperti yang dilihat bahwa banyak kejadian tindak pidana Pemilu yang secara geografis letaknya sangat jauh sehingganya menjadikan susahnya para pelapor untuk melapor adanya temuan “money politics”.

  Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang menjadi landasan hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi- konsepsi abstrak menagani apa yang diangap baik (sehingga dianut) apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari) nilai-nilai tersebut biasanya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang seharusnya diserasikan. Hal itulah yang menjadi pokok pembicaraan didalam bagian mengenai faktor penghambat dari segi budaya

  III. PENUTUP A. Simpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik simpulan dalam penelitian ini sebagai berikut:

  1. Peran penegak hukum terpadu terhadap tindak pidana “money

  politics ” Pemilihan Kepala Daerah

  dilaksanakan oleh oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Panwaslu yang tergabung dalam Sentra Penegak hukum terpadu (Gakkumdu) Pemilihan Umum Tahun 2016, dengan menyesuaikan pada sistem peradilan pidana sebagaimana diatur secara umum dalam KUHAP, meliputi penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan dan putusan pidana oleh Pengadilan. Pengaturan dan pengecualian secara khusus hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana Pemilu diatur oleh UndangUndang Nomor

  10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Peran penting Sentra Gakkumdu dalam penanganan pelanggaran pidana Pemilu adalah menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dari Panwaslu dan KPU. Koordinasi antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan dalam penyelesaian tindak pida na “money

  politics” terhadap sistem Pemilu

  Kepala Daerah yaitu Sentra Gakkumdu dalam penanganan pelanggaran pidana Pemilu adalah menerima laporan pelanggaran Pemilu. Dalam teknisnya, Sentra Gakkumdu melakukan penelitian dan pengkajian melalui mekanisme gelar perkara setiap laporan pelanggaran yang diterima dari Panwaslu.

  Sehingga dalam pelaksanaan tugas di Sentra Gakkumdu tersebut wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam pelaksanaan tugas yang bersifat internal maupun eksternal, sesuai dengan asas Integrated Criminal

  Justice System .

  2. Faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana “money politics” terhadap sistem pemilu Kepala Daerah karena ancaman pidananya yang kurang sehingga masih banyak oknum-oknum yang merasa tidak jera dan ingin memanfaatkan keadaan yang ada tanpa memikirkan yang lain, sementara dalam faktor penegak hukum kurangnya anggota atau penyidik yang benar-benar berkompeten dalam menangani kasus tersebut sehingga dalam proses penyidikan sedikit terkendala.

  B. Saran

  Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan maka beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut: 1.

  Kepada Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan serta semua pihak yang berkepentingan di dalam Pemilu perlu meningkatkan kerja sama serta sosialisasi antara semua pihak dalam penyamaan persepsi tentang Tindak Pidana Pemilu. Untuk institusi penegak hukum khususnya Kejaksaan hendaknya menganggarkan alokasi dana dalam penyelesaian perkara pidana Pemilu.

  2. Upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam peran penegakan hukum terpadau terhadap tindak pidana Pemilu “money politics” di masa mendatang dapat ditempuh oleh aparat penegak hukum dengan penyelenggaran acara pemeriksaan biasa untuk kategori pelanggaran pemilu dan acara pemeriksaan cepat untuk kategori tindak pidana pemilu. Hal ini penting dilakukan dalam rangka mengatasi hambatan keterbatasan waktu dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilihan Kepala Daerah pada masa- masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

  Kansil, C.S.T. 2004. Pokok-pokok

  Hukum Pidana , Jakarta: Pradnya Paramita.

  Napitupulu, Paimin. 2004. Peran dan

  Pertanggungjawaban DPR Kajian di DPRD Provinsi DKI Jakarta, Disertasi. Bandung: Alumni.

  Santoso, Topo. 2006. Tindak Pidana Pemilu, Jakarta: Sinar Grafika.

  Sianturi, S.R. 2002. Asas-asas Hukum

  Pidana di Indonesia dan Penerapannya , Cet.3, Jakarta:

  Storia Grafika. Suharizal. 2012. Pemilukada Regulasi,

  Dinamia dan Konsep Mendatang,

  Cetakan ke-2, Depok: Fajar Interpratama. Sumber lain