Penanggulangan kemiskinan melalui Pember. pdf

Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Ekonomi
Program CSR ExxonMobil Di Bojonegoro
PENDAHULUAN
Pertumbuhan berbagai perusahaan tidak bisa dihindari di negara-negara sedang
berkembang seperti Indonesia. Sebagai salah satu aktor dalam pembangunan, perusahaan
memiliki peran yang cukup signifikan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pembangunan.
Dalam segi penyerapan tenaga kerja, pengelolaan bahan-bahan mentah, sampai pada
penyediaan jasa. Sebagai salah satu aktor, perusahaan merupakan bagian dari swasta dalam
pembangunan. Sedangkan secara lebih luas pembangunan akan sukses jika dilakukan secara
sinergi oleh tiga pihak yaitu negara, swasta, dan masyarakat. Negara memiliki kewajiban
untuk memenuhi mandat yang diberikan oleh rakyat, menciptakan kehidupan yang sejahtera.
Swasta menjadi salah satu pendorong untuk tumbuhnya perekonomian dalam pembangunan.
Sedangkan masyarakat, memiliki peran besar sebagai salah satu aktor pembangunan. Peran
aktif masyarakat melalui partisipasi aktif pada pembangunan yang ada di lingkungannya, baik
oleh pemerintah secara mikro ataupun makro, ataupun oleh pihak lain seperti organisasi
masyarakat sipil atau program perusahaan.
Keberadaan perusahaan dalam sebuah wilayah tidak hanya memberikan dampak positif,
namun juga memberikan dampak negatif. Dampak negatif ini bisa timbul berupa pencemaran
terhadap lingkungan sekitar tempat produksi, resiko bencana yang ditimbulkan, dan berbagai
hal lain yang mungkin timbul karena proses operasi perusahaan. Secara naturally, konsep
ekonomi selalu mengedepankan keuntungan yang sebesar-besarkan dan meminimalisis cost.

Namun hal ini pada dekade terakhir mengalami pergeseran. Freeman dalam Luthfi J.
Kurniawan menjelaskan, sebagai bagian dari lingkungan yang hidup dalam masyarakat,
perusahaan sangat memiliki kepentingan dalam melakukan kerjasama yang baik, secara
internal perusahaan (shareholder), maupun dengan pihak luar perusahaan (stageholder)
(Luthfi J. Kurniawan, dkk 2015: 135). Salah satu stageholder yang perlu diperhatikan adalah
masyarakat. Masyarakat yang berada dekat dengan perusahaan atau ring satu, maupun
masyarakat yang tidak mendapatkan dampak langsung. Salah satu masalah yang penting yang
harus dipertimbangan oleh perusahaan adalah mengenai potensi konflik. Walaupun secara
operasional masalah ini tidak berkenaan langsung dengan pembiayaan, namun jika terjadi
permasalahan ini, maka akan menimbulkan pengeluaran yang sangat besar bahkan bisa
menutup operasi.
Pengeluaran biaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan tanggung jawab
sosial pada masayarakat merupakan pengertian secara sederhana Corporate Social
Responsibility (CSR). Pengelolaan awal CSR hanya sebatas charity saja, sehingga dampak
yang dimunculkan tidak terlalu sigifikan terhadap masyarakat. Seperti sumbangan sembako
1

pada masyarakat miskin, korban bencana alam, melakukan ivent-ivent hari besar. Hal ini
bukan tidak memberikan manfaat, pemberian bantuan secara langsung pada satu waktu
memang diperlukan seperti paska bencana, namun hal ini tidak bisa dilakukan secara terus

menerus karena akan meghancurkan tatanan modal sosial yang ada, bahkan akan
menimbulkan permasalahan ketergantungan pada masyarakat. Salah satu strategi yang
dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan perubahan pola ini adalah pemberdayaan.
Pemberdayaan sebagaimana konsepnya, mendorong masyarakat untuk lebih berdaya dan
mandiri. Pertanyaannya kemudian adalah sampai kapan pemberdayaan akan dilakukan?.
Sumodiningrat dalam Ambar Teguh Sulistyani menyebutkan “ pemberdayaan tidak bersifat
selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk berdiri, dan kemudian dilepas
untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi” (Ambar Teguh Sulistyani, 2004:
82). Bila menggunakan ruang lingkup ini program pemberdayaan, baik itu dilakukan oleh
pemerintah ataupun perusahaan harus menggunakan prinsip keberlanjutan. Hal ini menjadi
harus dilakukan karena untuk membangun keberdayaan dan kemandirian masyarakat
memerlukan proses yang panjang. Berangkat dari konsep pemberdayaan, sasaran
pemberdayaan adalah masyarakat yang belum berdaya. Masyarakat miskin adalah contoh riil
masyarakat yang belum berdaya, sehingga jika dilihat dalam konsep ini, merekalah yang
semestinya menjadi sasaran dari program pemberdayaan.
Kemiskinan sampai saat ini masih menjadi masalah besar di Dunia. Tidak hanya di
Indonesia, dalam dunia internasional masalah ini juga menjadi pekerjaan besar yang belum
terselesaikan. Dalam data World Bank, kemiskinan terbesar masih berada di daerah Sub
Saharan Afrika (World Bank, 2012). Daerah East Asia dan Pasifik menunjukkan angka 7,2 %
pada tahun 2012. Data ini dilihat dari indikator kemiskinan berdasarkan penghasilan 1 U$

Dolar Amerika. Sedangkan dalam data Badan Statistik Nasional mencatatan pada Maret 2012
terdapat 2.859.460.000 penduduk miskin. Jumlah ini hampir duapertiganya berada di daerah
pedesaan (BPS, 2012).
Menjadi menarik kemudian, ketika melihat konteks perkembangan program
pemberdayaan yang menjadi trend baru dalam CSR, dan melihat jumlah kemiskinan yang
cukup besar. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba melihat secara lebih jauh tema besar
kemiskinan dalam konteks program pemberdayaan CSR. Kasus yang diambil adalah
pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh ExxonMobil di daerah Bojonegoro. Ada
beberapa pertanyaan yang ingin penulis telusuri lebih jauh mengenai kemiskinan di
Bojonegoro, bagaimana program CSR pemberdayaan yang telah ada, apakah sudah
mengunakan prinsip triple bottom line, kesesuaian program dengan prinsip pemberdayaan,
dan sejauh mana pemberdayaan tersebut menjawab permasalahan kemiskinan di Bojonegoro.

2

PEMBAHASAN
A. Memahami Kemiskinan
Permasalahan kemiskinan merupakan masalah yang sangat multidimensional.
Memahami permasalahan ini membutuhkan berbagai macam pendekatan, berbagai cara
pandang agar bisa melihat secara komprehensif. Tjokrowinoto dalam Ambar Teguh

Sulistiyani menyebutkan permasalaan kemiskinan tidak hanya menyangkut kesejahteraan,
tetapi juga menyangkut kerentanan, ketidakberdayaan, dan terkait aksesibilitas (Ambar
Teguh Sulistiyani, 2004: 27).
Kesejahteraan atau well being biasanya diartikan sebagai keadaan yang membuat orang
dan lingkungan keluarga yang ada di sekitarnya merasa bahagia. Kebahagiaan ini bisa berupa
material, dan immaterial. Material inilah yang biasanya digunakan oleh masyarakat secara
umum. Sehingga indikator-indikator yang digunakan untuk menyatakan seseorang bahagia
adalah dengan kepemilikan materi. Sedangkan kesejahteraan immaterial menurut Susetiawan
tidak semua orang bisa merasakan sekaligus menyadari kesejahteraan macam ini
(Susetiawan, 2009: 37).
Kerentanan pada masyarakat miskin terjadi karena adanya kelemahan-kelemahan yang
dimiliki oleh orang tersebut. Dalam masyarakat setidaknya ada beberapa modal yang
digunakan untuk kelangsungan hidupnya. Modal kapital, modal sosial, modal politik, dan
berbagai modal lainnya. Masyarakat miskin karena tidak memiliki modal-modal tersebut
menjadi sangat rentan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Permasalahan
ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan dan juga politik.
Keadaan masyarakat miskin biasanya sangatlah lemah. Masyarakat tidak memiliki
keberdayaan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang datang. Seperti ketika masyarakat
miskin sedang sakit, karena kepemilikan harta yang sangat sedikit mereka tidak bisa
melakukan pengobatann secara maksimal. Walaupun beberapa jaminan sosial telah diberikan

oleh pemerintah, posisi masyarakat kelas bawah ini masih sangat termarjinalkan, termasuk
dalam pelayanan akses kesehatan.
Akses masyarakat miskin sangatlah memprihatinkan. Berbagai kebijakan dan program
pemerintah tidak bisa menyentuh pada masyarakat bawah. Dengan berbagai keterbatasan
yang dimilikinya membuat masyarakat semakin jauh tertinggal dalam mengejar kehidupan
yang layak. Beberapa faktor yang mempegaruhi aksesibilitas ini bisa jadi karena masyarakat
tidak memiliki cukup alat untuk mengakses program. Tidak tersampainya informasi pada
masyarakat karena tidak memiliki inisiatif dan wawasan untuk mencari informasi secara proaktif. Hal ini juga bisa dipengaruhi dari tingkat SDM yang dimilikinya.
Secara umum definisi kemiskinan masih menggunakan indikator atau pengukuran
terhadap pemenuhan kebutuhan pokok. Jonathan Haughton & Shanhidur R. Khandker
menyebutkan:
3

Poverty is pronounced deprivation in well-being. The conventional view links well-being
primarily to command over commodities, so the poor are those who do not have enough
income or consumption to put them above some adequate minimum threshold.

Kemiskinan diungkapkan sebagai kekurangan kesejahteraan. Pandangan konvensional
melihat kesejahteraan pada hal komoditas, sehingga memberikan gambaran bahwa orang
miskin adalah mereka yang tidak memiliki cukup pendapatan atau konsumsi untuk

menempatkan mereka di atas beberapa batas minimum yang memadai (Jonathan Haughton,
dan Shahidur r. Khandker, 2009: 1)
Secara pendapatan klasifikasi kemiskinan diukur dengan kemampuan memenuhi
kebutuhan pokok. Ada dua klasifikasi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan absulut adalah keadaan yang menyebabkan orang atau keluarga tidak dapat
memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan kemiskinan relatif adalah orang atau keluarga
yang telah memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan pokok namun secara lingkungan
sosialnya di bawah standart yang ada. Ada pembagian kemiskinan yang lain, pengunaan
diskursus kemiskinan natural, kultural, dan struktural. Kemiskinan natural, keadaan ini
digambarkan dengan adanya kemiskinan yang turun-temurun. Hal ini bisa dipengaruhi karena
sumber daya alam, lingkungan, dan komunitas yang sangat minim, sehingga kemiskinan
menjadi bagian dari warisan. Kemiskinan kultural merupakan kondisi kemiskinan yang
disebabkan karena faktor budaya. Dalam suatu masyarakat terkadang memiliki kebiasaan,
dan pola-pola interaksi yang mendorong anggotanya susah berkembang. Sedangkan
kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh sistem yang menjadikan
keadaan orang menjadi miskin. Hal ini seperti kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih
berpihak pada pemilik modal (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004: 29).
Banyak sekali batasan mengenai kemiskinan terkait dengan indikator terpenuhinya basic
need. Namun perlu juga diperjelas, bahwa kebutuhan dasar sekarang tidak hanya berkutat
pada pemenuhan sandang, papan dan pangan, kesehatan dan pendidikan juga telah menjadi

kebutuhan pokok saat ini. Jika dahulu masyarakat yang telah lulus Sekolah Dasar telah
memiliki bekal untuk menjalani kehidupannya, sekarang paling tidak masyarakat sudah harus
selesai sekolah menengah pertama. Sedangkan dalam hal kesehatan, masyarakat didorong
untuk lebih sadar mengenai arti penting kesehatan. Jika pada masa Orde Baru pendirian
Puskesmas adalah untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat, sekarang
beberapa program jaminan kesehatan juga coba digalakkan untuk bisa mengcover semua
kesehatan masyarakat seperti BPJS.
Klasifikasi lain juga dipaparkan, kemiskinan bisa terjadi karena pola waktu.
Sumodiningrat dalam Ambar Teguh Sulistiyani menyebutkan ada empat tipe yaitu seasional
poverty, accidental poverty, persistent poverty, dan cyclical poverty (Ambar Teguh
Sulistiyani, 2004: 31). Seasional poverty atau kemiskinan musiman adalah keadaan yang
kurang dari kesejahteraan pada musim tertentu. Hal ini bisa dilihat ada kemiskinan
masyarakat nelayan pada masa paceklik. Accidental poverty atau kemiskinan aksiden
merupakan kemiskinan karena suatu kejadian. Beberapa masyarakat yang telah sejahtera bisa
4

saja secara tiba-tiba jatuh miskin. Hal ini seperti yang terjadi paska bencana alam, setelah
mengalami musibah besar, kebangkrutan dan lain sebagainya. Persistent poverty atau
kemiskinan kronis adalah keadaan yang sangat kronis yang terjadi secara turun-temurun.
Keadaan seperti ini biasanya terjadi di lingkungan miskin. Penyebab hal ini sangat kompleks

baik secara kultural maupun struktural membuat kemiskinan semakin menjadi lingkaran yang
sangat sulit diputus. Seperti kemiskinan di wilayah kumuh. Keadaan ekonomi keluarga yang
sangat rendah membuat anak-anak tidak memiliki pendidikan yang layak. Karena lingkungan
yang tidak sehat baik secara sosial maupun psikologis, anak-anak tumbuh dengan perilakuperilaku menyimpang, ditambah lagi kebijakan pemerintah yang kurang berpihak, jadilah
kemiskinan yang sangat kronis. Keadaan di atas juga secara cyclycal poverty.
Indikator kemiskinan sering kali dibuat untuk bisa menukur tingkat kemiskinan yang
ada. Sayogyo adalah orang pertama yang membuat konsep indikator kemiskinan. Baginya,
kemiskinan dikonvensikan dengan nilai kilogram beras yang dikonsumsi dalam satu tahun.
Menurutnya beras kemiskinan adalah setara dengan 240 kg/orang/tahun. Biro Pusat Statistik
(BPS) mengkonversikan dengan kebutuhan kalori sebesar 2.100 kalori perkapita perhari.
Jumlah ini jauh dengan standart yang diberikan oleh Bank Dunia yaitu 2.200 kalori per orang
per hari. Sedangkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun
1994 mengembangkan indikator ptngukur kemikinandengan indikator ekonomi, kesehatan,
gizi, dan sosial. Hasil penelitian BKKBN memberikan klasifikasi masyarakat Pra sejahtera,
Keluarga Sejahtera I, Keluarga sejahtera II, dan keluarga sejahtera III plus. Dalam kategori
ini masyarakat keluarga miskin adalah keluarga pra sejahtera dan sejahtera I. Istrumen lain
yang digunakan adalah dengan penentuan Upah Minimun Regional (UMR). Namun pada
kenyataannya adalah UMRpun masih jauh dari taraf menyejahterakan (Ambar Teguh
Sulistiyani, 2004: 36).
Melihat kemiskinan dengan suatu pandangan akan mendorong pada bagaimana cara

kemiskinan itu bisa dituntaskan. Penuntasan masalah kemiskinan tidak bisa terlepas dari
pembangunan yang sedang terjadi. Korten dalam Ambar Teguh Sulistiyani menyebutkan ada
dua jenis pendekatan dalam pembangunan, pembangunan top-down, dan pembangunan
bottom-up. Pembangunan Top-down merupakan bentuk pendekatan yang bersumber dari
pemerintah dan posisi masyarakat sebagai obyek pembangunan. Sedangkan pembangunan
bottom-up merupakan bentuk pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Posisi
masyarakat sebagai subyek pembangunan mulai perencanaan, implementasi dan evaluasi
pembangunan (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004: 37).
Pembangunan bottom-up berusaha membangun keberdayaan masyarakat untuk mengatasi
permasalahan yang ada. Namun demikian, pemberdayaan tidak bisa dilakukan secara
seragam, karena tingkat permasalahan, dan konteks permasalahan sangat berbeda.
Pembangunan yang berpusat pada manusia ini menyaratkan adanya kemampuan dan
kemauan masyarakat sebagai aktor pembangunan, bukan hanya sekedar objek pembangunan.
Pemberdayaan menurut Tjocrowinoto dalam Ambar menyebutkan ada 13 ciri pemberdayaan:
1. Prakarsa di desa;
5

2.
3.
4.

5.
6.
7.
8.

Dimulai dengan pemecahan masalah;
Proses disain program dan teknologi ersifat asli/alamiah;
Sumber utama adalah rakyat dan sumber daya lokal;
Kesalahan dapat diterima;
Organisasi pendukung dibina dari bawah;
Pertumbuhan organik bersifat tahap demi tahap;
Pembinaan personil berkesinambungan, berdasar pengalaman lapangan belajar dari
kegiatan lapangan;
9. Diorganisir oleh tim interdisipliner;
10. Evaluasi dilakukan sendiri, berkesinambungan, berorientasi pada proses;
11. Kepeimpinan bersifat kuat;
12. Analisis sosial untuk definisi masalah dan perbaikan rogram dan terakhir;
13. Fokus manajemen adalah kelangsungan dan fungsinya sistem serta kelembagaan.
B. Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Berbagai kebijakan telah dilakukan baik secara internasional dan nasional untuk

menyelesaikan kemiskinan. Dalam Milenium Development Goals atau MDG’s salah satu
tujuannya dalah mengentaskan kemiskinan. Hal ini terlihat dari poin pertama dari MDG’s
yaitu “ eradicate extreme and hunger”. MDG’s ini disepakati oleh 189 anggota dan harus
selesai ada tahun 2015 (Jane Nelson, dan Dave Prescott 2008: 5). Kesepakatan ini mendorong
negara anggota untuk meratifikasi dan menggunakan isi-isi MDG’s dalam agenda
pembangunan yang ada pada masing-masing negara. Adapu isi keseluruhan dari MDG’S
adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Eradicate extreme poverty and hunger
Achive universal primary education
Promote Gender equality and empower women
Reduce child mortality
Imrove maternal health
Combat HIV/AIDS, malaria, and other diseases
Ensure environment sustainability
Develop a global partnership for Development

Dengan berakhirnya masa berlaku ini bukan berarti perhatian internasional berakhirpula.
Dalam Sustainable Development Goals atau SDG’s terdapat 17 tujuan dalam menyelesaikan
permasalahan dunia. Dua yang paling awal adalah terkait kemiskinan yaitu No Poverty dan
Zero Hunger. Dalam Goal Targets disebutkan bahwa dalam pengentasan kemikinan
mencakup berbagai hal meliputi pemberantasan kemiskinan ekstrim dengan ukuran $ 1,25
per hari perorang, pengurangan opsi kemiskinan baik laki-laki maupun perempuan,
penerapan sistem nasional yang tepat dalam perlindungan sosial, pemilikan hak yang sama
terhadap sumber daya ekonomi dan akses layanan dasar, kepemilikan dan kontrol atas tanah
dan bentuk-bentuk lain, pembangunan ketahanan masyarakat miskin, pemobilisasian sumber
6

daya yang ada, dan embuatan kerangka kerja yang sehat dari tingkat regional, nasional,
sampai internasional.
Dalam poin Zero Hunger terkonsep dalam beberapa goal targets. Beberapa tujuan terebut
meliputi mengahiri kelaparan dan menjamin akses oleh semua orang, mengahiri semua jenis
kekurangan gizi, mengoptimalkan produktifitas pertanian dan pendapatan produsen makanan
skala kecil, memastikan sistem produksi pangan yang berkelanjutan dan menerapkan praktekpraktek tangguh pertanian yang meningkatkan produktifitas dan produksi, mempertahankan
keragaman genetik benih, meningkatkan investasi, mencegah pembatasan perdagangan dan
distorsi pasar dalam pertanian pasar dunia, dan mengfungsikan pasar komoditas makanan dan
turunannya dalam mengakses informasi pasar.
Beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan di Indonesia meliputi
Pelita VI, Desa tertinggal, IDT, Takesra dan Kukesra, Jaring Pengaman Sosial, PDM-DKE,
dan Tim Nasional Percepatan Penangulangan Kemiskinan atau TNP2K. Pelita VI pada tahun
1994-1999 direncanakan pertumbuhan ekonomi dengan landasan teori pertumbuhannya
rostow. Pada tahun ini dirancang sampai pada tahap tinggal landas. Rangsangan
perkembangan perekonomian rakyat akan dilakukan pada tahap ini, termasuk di dalamnya
program pengentasan kemiskinan. Desa tertinggal merupakan hasil survey Pods pada tahun
1993. Pada penelitian tersebut ditemukan 20.633 desa yang merupakan kantong-kantong
kemiskinan. Dari jumlah tersebut terdapat 3.968 kondisi miskin parah.
Melalui Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) program pengentasan kemiskinan ini
digalakkan. IDT dirancang sebagai program yang terpadu antara pemerintah dan masyarakat
untuk mengentaskan kemiskinan. Inovasi yang dilakukan adalah menyerahkan dan
memperkenalkan pelaksanaan program kepada masyarakat miskin. Untuk mencapai target
ini, dilakukan pendampingan. Pendampingan ini dilakukan untuk menfasilitasi dan menjamin
terjadinya transformasi manajemen dan kemampuan administrasi (Ambar Teguh Sulistiyani,
2004: 138). Pendampingan ini dilakukan oleh beberapa orang yang diangkat secara resmi
oleh pemerintah, namun pada akhirnya program ini berhenti karena stelah program selesai
tidak ada keberlanjutan dan masyarakat belum siap melakukan secara mandiri.
Program takesra dan kukesra merupakan program pemberian program bantuan kepada
keluarga miskin yan bertempat tinggal di luar desa tertinggal. Program ini didesain untuk
merangsang masyarakat untuk menabung, melakukan usaha secara mandiri dan berkelnjutan.
Setiap keluarga miskin didorong untuk memiliki tabungan keluarga (Ambar Teguh
Sulistiyani, 2004: 139). Hal ini mendorong adanya sikap dan perilaku ekonomis dan tidak
konsumtif. Dengan adanya tabungan ini, maka akan memunculkan akumulasi modal. Namun
jika diihat secara logika, seberapa besarkah kemampuan modal yang bisa dikumpulkan oleh
keluarga miskin?. Melalui program ini, tabungan keluarga yang telah mencapai jumlah
tertentu diperbolehkan untuk meminjam modal dengan jumlah yan lebih besar. Hal inilah
yang mendorong masyarakat miski untuk tetap menabung secara kontinyu untuk bisa
membayar pinjaman dan mendapat pinjaman yang lebih besar lagi.
7

Program Jaring Pengaman Sosial atau JPS merupakan program yang digunakan untuk
mengatasi kemiskinan paska krisis ekonomi. Program-program ini mencakup permasalahan
ekonomi masyarakat, pendidikan, dan kesehatan. Pertimbangan ketiga sektor tersebut
kemudian menelorkan beberapa program antara lain, Program Bantuan pendidikan seperti
dana bantuan Operasional (DBO), jaring Pengaman Sosial Bidang kesehatan (JPS-BK),
Program Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS), dan Program Pemberdayaan
daerah untuk Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE).
Program-program di atas secara umum merupakan program tanggap darurat terhadap
krisis. Program DBO, JPS-BK, dan PMT-AS didesain untuk menjaga stabilitas keadaan
masyarakat miskin pada masa krisis. Sedangkan program PMD-DKE merupakan program
suntikan dana modal yang harus digulirkan. Program ini diluncurkan sejak tahun 1998/1999,
dan dilanjutkan pada tahun 1999/2000. Program ini memiliki kerangka pemberdayaan dengan
memicu masyarakat berusaha secara mandiri, dan bertanggungjawab untuk menggulirkan
dana pada orang lain. PMD-DKE dilihat secara kebijakan merupakan bentuk dari
percampuran pembangunan top-down dan bottom-up. Di tingkat pusat kebijakan dirumuskan
berupa pedoman pelaksanaan program PDM-DKE yang bersifat normatif dan administratif.
Sedangkan di level bawah aspirasi dan kreatifitas masyarakat diambil dari kasus dan potensi
yang dimiliki dilakukan sesuai dengan pedoman yang ada (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004:
156). Hal ini menjadi satu titip temu yang cukup baik antara kebijakan dan elaksanaan yang
ada di tataran lapangan atau aplikasi.
Bantuan Langsung Tunai merupakan program kompensasi yang diberikan kepada
masyarakat miskin atas kebijakan naiknya BBM. Kompensasi ini diberikan kepada
masyarakat miskin dengan sasaran 19,1 Juta Rumah tangga. Dalam rilis yang diposting oleh
kementrian Pekerjaan Umum ada tiga kategori keluarga penerima BLT yaitu rumah tangga
sanagt miskin, rumah tangga miskin, dan rumah tangga hampir miskin. Program ini bertujuan
sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin akibat melonjaknya harga BBM
(pustaka.pu.go.id). Dalam pokok-pokok hasil pertemuan koordinasi tingkat nasional
pelaksanaan BLT terdapat tiga pokok tujuan secara luas. Pertama, membantu masyarakat
miskin agar tetap bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Kedua, mencegah penurunan tarap
kesejahteraan masyarakat miskin karena kesulitan ekonomi. Ketiga, meningkatkan
tanggungjawab sosial bersama (kemsos.go.id/modules). Senada dengan program BLT,
program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat memiliki tujuan untuk memberikan
pengaman sosial bagi terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat akibat penyesuaian harga
BBM. Hanya sedikit berbeda dengan BLT, BLSM diambil menggunakan Kartu Perlindungan
Sosial (KPS) (tnp2k.go.id).
Tim Nasional Percepatan Penangulangan Kemiskinan atau TNP2K sebagai badan
otonom yang menjalankan mandat sebagai wadah koordinasi lintas sektor dan pemangku
kepentingan pusat memiliki tugas melaksanakan program pecepatan penanggulangan
kemiskinan. Dalam melaksanakan program ini dibagi menjadi tiga klaster. Klaster Pertama
sasaran pada kelompok program penangulangan kemiskinan bantuan sosial terpadu berbasis
8

keluarga. Beberapa programnya meliputi JAMKESMAS, Program Keluarga Harapan (PKH),
Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin), dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Klaster Kedua
kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan. Program klaster ini
diimplementasikan dalam PNPM Mandiri. Klaster ketiga kelompok program penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan UMKM. Program-program klaster ini seperti Kredit
Usaha Rakyat (KUR) (tnp2k.go.id).
C. Pemberdayaan sebagai Sebuah Pendekatan
Salah satu strategi pengentasan kemiskinan yang banyak digunakan adalah melalui
pemberdayaan. Strategi bukan tanpa alasan, pemilihan ini sesuai dengan pembangunan yang
bottom-up, dimana masyarakat diberikan hak untuk mengelola sumber daya dalam
pembangunan. Secara lebih subtansial, masyarakat miskin dalam pemberdayaan ini diberikan
kekuasaan untuk mengelola dana sendiri, baik dari pemerintah maupun dari pihak lain.
Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Ambar Teguh Sulistyani terkait pengertian, tujuan, dan
tahapan pemberdayaan (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004: 75).
Pemberdayaan berasal dari akar kata “daya” yang memiliki arti kekuatan atau
kemampuan. Berdasarkan arti tersebut, pemeberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses
menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan. Maksud lain
juga bisa dipahami sebagai pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki
daya powefull kepada yang kerang berdaya powerless. Secara tererinci Ambar memberikan
gambaran yang berbeda mengenai proses, memperoleh, dan juga pemberian. Proses
menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis sebagai upaya
mengubah masyarakat yang belum berdaya menuju keberdayaan. Memperoleh menunjuk
pada sumber inisiatif dalam rangka meningkatkan daya sehingga lebih berdaya. Sedangkan
pemberian menunjuk pada sumber inisiatif dari memiliki kekuatan atau powerfull.
Prijono & Pranarka dalam Ambar menyebutkan bahwa pemberdayaan mengandung dua
arti. Pengertian pertama menunjuk pada to give power or authority, dan pengertian kedua
menunjuk ada to give ability to or enable. Pemaknaan pertama meliputi pemberian
kekuasaan, pengalihan kekuatan atau pendelegasian otoritas kepada pihak yang kurang
berdaya. Pemaknaan kedua memberikan kemampuan atau keberdayaan serta peluang kepada
pihak lain untuk melakukan sesuatu. Kedua pengertian tersebut memiliki perbedaan antara
pemberian kekuatan dari powerfull pada powerless, dan pemberian kemampuan oleh
powerfull pada powerless.
Senada dengan Prijono dan Pranarka, Krisdiyatmiko memberikan penjelasan bahwa
dalam pemberdayaan yang memiliki kata dasar empowerment yang berasal dari kata power,
memiliki dua makna yaitu suatu proses memberikan/ mengalihkan sebagian kekuasaan dan
kekuatan dari yang powerfull kepada powerless, dan proses memotivasi individu/ masyarakat
agar memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Jadi,
berbicara mengenai pemberdayaan tidak hanya membangun yang powerlees, akan tetapi juga
mengangkut share power from powerfull (Krisdyatmiko, 2012: 142).
9

Konsep pemberdayaan masyarakat memiliki tiga inti yaitu pengembangan (enabling),
memperkuat potensi (empowering), dan terciptanya kemandirian. Tri Winarni dalam Ambar
menjelaskan bahwa dengan adanya tiga inti ini memberikan gambaran bahwa pemberdayaan
tidak hanya terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki kemampuan, akan tetapi pada
masyarakat yang memiliki daya terbatas, dapat dikembangkan agar lebih mandiri. Ada dua
garis besar dalam pemberdayaan:
1. Daya bisa dipahami sebagai suatu kemampuan yang semestinya dimiliki masyarakat agar
mereka dapat melalukan pembangunan secara mandiri;
2. Pemberdayaan merupakan proses bertahap yang harus dilakukan dalam rangka
memperoleh serta meningkatkan daya agar masyarakat bisa mandiri.
Tujuan pemberdayaan dilihat dari penjelasan pengertian di atas adalah kemandirian
masyarakat. Kemandirian dalam berfikir, betindak, dan mengendalikan apa yang mereka
lakukan. Lalu, apa sebenarnya kemandirian masyarakat?. Kemandirian masyarakat
merupakan sebuah kondisi masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memikirkan,
memutuskan serta melakukan sesuatu untuk menyelesaikan permasalahan dengan
menggunakan kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif berdasarkan sumber daya
yang dimiliki secara internal dalam masyarakat (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004: 80).
Kemampuan kognitif merupakan kemampuan berfikir yang berdasarkan pengetahuan dan
wawasan dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang ada. Kemampuan konatif merujuk
pada sikap perilaku masyarakat yang sensitif terhadap proses pemberdayaan dalam
pembangunan. Kemampuan Afektif merujuk pada sense masyarakat yang diharakan mampu
mendorong program pemberdayaan. Sedangkan Kemampuan Psikomotorik merupakan
kecakapan atau keterampilan masyarakat dalam rangka melakukan pembangunan.
Pemberdayaan merupakan proses belajar yang bisa dilakukan melalui penyadaran,
transformasi, dan peningkatan kemampuan. Tahapan penyadaran dan pembentukan perilaku
menuju kesadaran dan kepedulian terhada pembangunan, sehingga dengan ini, masyarakat
merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. Tahapan transformasi kemampuan berupa
wawasan pengetahuan, keterampilan dasar dalam mengambil eran dalam pembangunan.
Sedangkan yang terakhir, peningkatan kemampuan intelektual, kecakaan keterampilan,
membentuk inisiatif dan kemampuan inovasi yang menantarkan pada kemandirian (Ambar
Teguh Sulistiyani, 2004: 83).
D. Corporate Social Responsibility
Corporate Social Responsibility atau CSR telah menjadi wacana yang cukup hangat
diperbincangkan di berbagai kalangan, mulai dari dunia bisnis, akademisi, maupun
pemerintahan. Secara kebijakan, CSR masih membutuhkan banyak penataan yang cukup
serius. Hal ini karena baik perundangan maupun peraturan belum ada yang menjelaskan
secara jelas terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan ini. Sebelum membahas
mengenai hal tersebut, pemetaan mengenai pengertian akan penulis paparkan.

10

Definisi CSR sampai saat ini masih dalam proses perdebatan oleh para ahli. Dalam
tulisan A. Dahlsrud (2008) menerangkan ada banayak sekali pengertian. Namun dalam
penelitian yang dilakukan melalui internet ini Dahlsrud menjelaskan ada lima dimensi yang
melingkupi dalam CSR meliputi dimensi lingkungan, dimensi sosial, dimensi ekonomi,
dimensi stakeholder, dan dimensi kesukarelawanan (A. Dahlsrud, 2008:4). Terlepas dari hasil
pengkodean yang dilakukan olehnya, perekembangan terkini semakin memberikan gambaran
mengembirakan, bahwa dengan adanya pelaksanaan CSR bisa memberikan keberlangsungan
perusahaan secara jangka panjang.

Profitability

Keberlanjutan dalam program perusahaan akan memberikan keuntungan jangka panjang
juga dipaparkan oleh Andrew W. Savitz dengan istilah yang dipakai The Sustaibnability
Sweet Spot. Secara lebih terperinci Savitz menjelaskan ada lima bagian. Sweet spot antara
Business Interets dengan Stakeholder Interets, sweet spot increase profits dan address
climate change, sweet spot increase market share dengan public health, sweet spot reduce
cost dan conserve natural resources, sweet spot reduce business risk dan enhance water
availability and quality. Secara aplikatif Savitz juga memberikan gambaran map untuk sweet
spot ini, semakin besar profitisitas, dan social benefit akan semakin mendukung
keberlanjutan perusahaan. Lihat tabel berikut:

+

-

- -

+

+

-

+

Social Benefit
Sumber : Andrew W. Savitz 2006

Ada tiga kategori perilaku perusahaan terkait CSR yang meliputi social obligation, social
responsibility, dan social responsivitess. Social Obligation merupakan pelaksanaan program
CSR hanya berdasarkan aturan yang digunakan dalam perundangan-undangan. Perusahaan
belum memiliki kesadaran mengenai pelaksanaan secara murni, hanya sekedar melaksanakan
kewajiban saja. Social responsibility merupakan pelaksanaan program karena kesadaran
terhadap kehidupan sosial, dan lingkungan yang melingkupi perusahaan tersebut. Perusahaan
tidak hanya melakukan program karena kewajiban saja, tapi karena ada kesadaran bahwa
perusahaan adalah bagian dari masyarakat. Social Reponsiveness merupakan program yang
sudah dilakukan perusahaan secara sadar dan telah mengajak partisipasi masyarakat dalam
memerakan permasalahan yang ada pada masyarakat. Pada tahapan inilah, CSR bisa
memiliki effek yang besar terhadap masyarakat (Carroll dalam Suparjan 2012: 36).
Dalam kebijakan pemerintah telah disusun berbagai regulasi baik berupa undang-undang
maupun peraturan terkait CSR. Peraturan yang mengikat Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), sebagaimana Keputusan Menteri BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program
11

Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Peraturan mengikat Perseroan Terbatas (PT) yang
operasionalnya terkait Sumber Daya Alam (SDA), yaitu Undang-Undang Perseroan
Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 Tentang
Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan, PP ini melaksanakan ketentuan Pasal 74 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 . Peraturan yang mengikat jenis perusahaan penanaman
modal, yaitu Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007. Peraturan CSR
bagi perusahaan pengelola Minyak dan Gas (Migas), diatur dalam Undang-Undang Minyak
dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang
Penanganan Fakir Miskin, Undang-undang ini tidak membahas secara khusus peran dan
fungsi perusahaan dalam menangani fakir miskin, melainkan terdapat klausul dalam pasal 36
ayat 1. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Forum tanggungjawab
dunia usaha dalam penyelenggaraan Kesejehteraan Sosial.
E. Program Pemberdayaan Ekonomi CSR ExxonMobil
ExxonMobil merupakan perusahaan penghasil dan pengecer minyak dan gas bumi.
Perusahaan ini beroperasi di berbagai negara salah satunya di Indonesia. Salah satu wilayah
yang sekarang sedang digarap adalah Blok Cepu. Kontrak Kerja Sama (KKS) Cepu
ditandatangani pada 17 September 2005, mencakup wilayah kontrak Cepu di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), Ampolex Cepu Pte Ltd., PT Pertamina
EP Cepu dan empat Badan Usaha Milik Daerah: PT Sarana Patra Hulu Cepu (Jawa Tengah),
PT Asri Dharma Sejahtera (Bojonegoro), PT Blora Patragas Hulu (Blora) dan PT Petrogas
Jatim Utama Cendana (Jawa Timur) yang tergabung menjadi kontraktor di bawah KKS Cepu.
ExxonMobil memegang 45 persen dari total saham partisipasi Blok Cepu. KKS Cepu ini
akan berlanjut hingga 2035. Sebuah Perjanjian Operasi Bersama atau Joint Operating
Agreement (JOA) telah ditandatangani oleh pihak-pihak kontraktor, dimana ExxonMobil
berperan sebagai operator dari KKS Cepu mewakili para Kontraktor. Pengembangan dan
produksi Proyek Cepu diharapkan memberi dampak positif bagi industri lain dan masyarakat
lokal di Pulau Jawa melalui peningkatan hasil ekonomi, lapangan kerja dan proyek-proyek
pengembangan masyarakat (exxonmobil.co.id).
Selain Blok Cepu beberapa wilayah pengembangannya adalah Blok Cendrawasih, Blok
Gunting, Blok Surumana, Blok Mandar, dan Gas Metana Batubara. Sebagai salah satu
perusahaan pengambil minyak bumi ExxonMobil memiliki kewajiban untuk melakukan CSR.
Dalam pelaksanaannya ada tiga bidang yang dikerjakan: bidang ekonomi, bidang kesehatan,
dan bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan dilaksanakan dengan beberapa program :
Pelatihan Pengembangan Kapasitas untuk SMP/SMA, Pengembangan Sekolah Kejuruan dan
Pelatihan Kejuruan, Pengembangan Kapasitas untuk Perpustakaan Daerah di
Bojonegoro, Mobile Library (MoLi) dan Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat,
Pelatihan Guru TK dan Perbaikan Infrastruktur, Komunitas Belajar untuk Anak, dan
Pembangunan Infrastruktur Sekolah Dasar (exxonmobil.co.id).
Bidang Kesehatan beberapa program dilakukan Desa Siaga, Civic Mission Clinic,
Program Promosi Kesehatan, Air Berbasis Masyarakat dan Program Instalasi Sistem Sanitasi,
Peningkatan Pelayanan Kualitas Program Peduli Ibu dan Bayi serta Pelayanan Kesehatan
12

Primer, dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (exxonmobil.co.id). Sedangkan Bidang
ekonomi meliputi Credit Union Usaha Mikro dan Program Keuangan Mikro dan Program
Pengembangan Ekonomi Lokal. Program pengembangan usaha mikro ini dilakukan dengan
kegiatan engembangan kapasitas,engembangan modal sosial, dan menyediaan modal kerja
sebagai modal usaha. Sedangkan program pengembangan ekonomi lokal memiliki tujuan
untuk meninkatkan pendapatan masyarakat dengan membangun potensi ekonomi. Di daerah
Bojonegoro program ini dimulai tahun 2008 dengan inisiatif penggemukan sapi, sinkong, dan
optimalisasi produksi jagung dan peternakan kambing. Program ini berupa pelatihan melalui
lahan percontohan, pembentukan pusat belajar ternak dan pertanian, dan bantuan akses modal
bagi petani (exxonmobil.co.id). Secara lebih terperinci elaksanaan program bisa dilihat pada
tabel berikut:
OBJECTIVE: Peningkatan 30 % pendapatan dari 550 rumah tangga keluarga pada tahun ke-3
(2016)
Out Come I :Peningkatan kapabilitas masyarakat sasaran dalam pengelolaan kelembagaan dan
agribisnis
OUTPUT: 1.1. Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam sistem manajemen
program pengembangan ekonomi di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan
yang ramah lingkungan.
OUTPUT: 1.2. Menumbuhkan dan Mengembangkan 21 Kelompok Swadaya
Masyarakat dan 1 Koperasi
OUT COME II : Pengembangan sistem produksi yang ramah lingkungan sampai pemasaran
OUTPUT: 2.1. Pengembangan TEKNIK-TEKNIK budidaya PERTANIAN,
PETERNAKAN, PERIKANAN
OUTPUT: 2.2. Pengembangan TEKNIK-TEKNIK PENGELOLAAN PASKA
PANEN dan PENGOLAHAN PRODUK LANJUTAN
OUTPUT: 2.3. Peningkatan produksi komoditas PERTANIAN, PETERNAKAN dan
PERIKANAN
OUTPUT: 2.4. Pendampingan teknis PENANGANAN PASKA PANENPENGOLAHAN PRODUK LANJUTAN.
OUTPUT: 2.5. Berkembangnya sejumlah unit usaha mikro/kecil yang berhubungan
dengan pertanian, peternakan, dan perikanan
OUTPUT: 2.6. Masyarakat (KSM) memiliki kemampuan dalam posisi tawar dan
akses kepada pasar untuk produk agribisnis di 6 KSM ditahun 2015 dan 12 KSM di
tahun 2016.
OUT COME III : Peningkatan kapabilitas masyarakat sasaran dalam pengelolaan kelembagaan
keuangan mikro
OUTPUT: 3.1. Peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengelola kelembagaan
koperasi simpan pinjam serta mampu mengelola layanan jasa keuangan mikro secara
berkelanjutan
OUTPUT: 3.2. Mengembangkan hubungan kemitraan masyarakat melalui KSM
kepada Koperasi Simpan Pinjam
KOORDINASI
MONITORING
EVALUASI
LAPORAN
Sumber: Report Program Pendampingan Yayasan Bina Swadaya.

13

F. Analisis
Secara statistik jumlah kemiskinan di daerah Kabupaten Bojonegoro mengalami
penurunan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Poverty Resource Center Bojonegoro (PRCB)
jumlah penduduk miskin menurun dari angka 340.900 pada tahun 2003 menjadi 196.000
pada 2013. Namun hal ini perlu dianalisis lebih jauh, berdasarkan pengukuran kemiskinan
yang seperti apa, dan bagaimana proses penanganan kemiskinan tersebut. Permasalahan
kemiskinan di daerah Bojonegoro masih memiliki pangkal yang sama, mengenai data. Hal
ini disampaikan oleh pihak PRCB.
Program-program pengentasan kemiskinan di daerah Bojonegoro bisa dilakukan secara
sinergi antara beberapa komponen, dalam hal ini adalah pemerintah dan perusahaan. Sebagai
daerah yang memiliki potensi minyak dan gas bisa dioptimalkan keberadaan perusahaan
untuk mensuport penyelesaian masalah pembangunan sosial. Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya program CSR ExxonMobil secara garis besar mencakup tiga bidang yaitu
kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Jika melihat dari sisi potensi dan masalah yang ada di
Bojonegoro pemberdayaan ekonomi melalui pertanian, dan pengembangan ternak sapi dan
kambing sesuai dengan potensi yang ada. Namun pertanyaannya kemudian adalah, siapa
masyarakat yang menjadi mitra program-program ini? apakah masyarakat miskin daerah
terdekat operasi perusahaan atau pihak-pihak yang dekat dengan perusahaan?.
Hal lain yang perlu diperhitungkan dalam pemberdayaan adalah tujuan. Dalam
pemberdayaan, kemandirian masyarakat adalah tujuan yang ingin dicapai. Membentuk
kemandirian masyarakat baik secara kognitif, konatif, afektif, dan psikomotor membutuhkan
waktu yang cukup lama. Sedangkan berbicara mengenai program pemberdayaan, salah
satunya dalam program CSR perusahaan sangat terbatas baik secara dana maupun waktu.
Sehingga proses belajar masyarakat harus dilakukan secara baik agar tidak menimbulkan
ketergantungan. Berdasarkan tabel proper yang disampaikan di atas memberikan gambaran
tujuan jangka menengah/ outcome agar kapabilitas masyarakat meningkat. Ini menjadi salah
satu indikator yang cukup baik dalam pelaksanaan pemberdayaan.
Dilihat dari sisi perusahaan, adanya hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat
dengan perusahaan akan memberikan jaminan keberlanjutan produksi. Dalam logika bisnis
awal menyebutkan bahwa hukum ekonomi adalah meminimalisisr pengeluaran untuk bisa
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Namun dalam perkembangannya
hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar juga untuk mengantisipasi
adanya konflik yang akan menimbulkan pengeluaran yang sangat besar, dan bahkan bisa
menutup operasi sebuah perusahaan.
Pelaksanaan pemberdayaan yang dilakukan oleh CSR ExxonMobil belum memiliki
koordinasi dengan pihak pemerintah setempat. Program yang diberikan secara langsung pada
masyarakat memang akan sampai pada tingkat terbawah, namun akan sulit untuk melakukan
keberlanjutan dari program tersebut. Memang bukan sesuatu yang mudah untuk
mengkoordinasikan program antara pemerintah dan CSR perusahaan. Namun, jika
14

koordinasi ini bisa terjalin dengan baik, program yang dilakukan oleh perusahaan bisa
berjalan secara sustainable dengan komitment dari pemerintah, paling tidak dari
pemerintahan desa tempat pemberdayaan.

15

PENUTUP
Kesimpulan
Ada beberapa hal yang ingin penulis garis bawahi dalam tulisan ini:
1. Pemberdayaan yang dilakukan dalam program CSR menjadi alternatif yang cukup
menarik sebagai salah satu upaya penanggulangan kemiskinan. Namun hal yang perlu
diperhatikan adalah sasaran program pemberdayaan harus lebih tepat yaitu untuk
masyarakat miskin.
2. Program CSR yang dilakukan oleh ExxonMobil di Bojonegoro telah
mempertimbangkan potensi pertanian dan peternakan yang sudah ada. Hal ini terlihat
dari adanya program penembangan agrikultural, pengembangan peternakan, dan
penyediaan modal.
3. Dalam konsep pemberdayaan, program-program yang telah dilakukan telah
mendoroong terwujudnya kemandirian. Namun masih perlu adanya koordinasi dan
kerjasama program antara perusahaan dan pemerintah agar bisa menjadikan program
secara berkelanjutan.

16

Daftar Pustaka
Alexander Dahlsrud, 2008, How Corporate Social Responsibility is Defined: an Analysis of
37 Definitions, Corporate Social Responsibility and Environmental management corp.
Soc. Responsib. Environ. Mgmt. 15, 1-13 (2008), Trondheim, Norway
Ambar Teguh Sulistyani, 2004, Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan, Yogyakarya:
Grava Media
Andrew W. Savitz, 2006, The Triple Bottom Line: How Today’s Best –Run Companies are
Achieving Economic, Social, and Enviroonmental Success- and How You Can too, US:
Jossey-Bass
Jane Nelson dan Dave Prescott, 2008, “Busineess and The Millenium Development Golas: A
Framework for Action”, UNDP and Internasional Bussines Leaders Forum
Jonathan Haughton, dan Shahidur r. Khandker, 2009, Handbook in Poverty + Inequality,
Washinton, DC: The World Bank
Luthfi J. Kurniawan, dkk., 2015, Negara Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial, Malang:
Instrans Publising
Susetiawan, 2009, Pembangunan dan Kesejahteraan yang Terpasung: Ketidakberdayaan
Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme, Working Paper, Yogyakarta: Studi
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dan Ilmu Politik, dan Pusat studi Pedesaan dan
Kawasan Universitas Gadjah Mada
Susetiawan, 2012, (Ed), Corporate Social Responsibility: Komitmen Pemberdayaan
Masyarakat, Yogyakarta: Azzagrafika
Penggunaan KPS untuk BLSM diunduh dari http://www.tnp2k.go.id/id pada 12/01/2016
Perkembangan jumlah Penduduk Miskin (jiwa), Poverty Resource Center Bojonegoro
diunduh dari http://prcbojonegoro.com/ pada 13/01/2016
Petunjuk Teknis Penyaluran Bantuan Langsung
http://pustaka.pu.go.id/ pada 12/01/2016

Tunai

(BLT),

diunduh

dari

Pokok-pokok Hasil pertemuan Koordinasi tingkat Nasional Pelaksanaan Program Bantuan
Langsung
Tunai
untuk
Rumah
Tangga
Sasaran
diunduh
dari
http://www.kemsos.go.id/modules pada 12/01/2016
Poverty Headcount Ratio At $1.90 A Day (2011 PPP) (% Of Population), World Bank 2012
diunduh dari http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.DDAY pada 02/01/2016

17

Dokumen yang terkait

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

6 77 175

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Peningkatan kualitas pembelajaran ketrampilan pembicara bahasa Indonesia melalui teknik bercerita : penelitian tindakan kelas pada siswa kelas V111 smpn 13 tangerang selatan tahun pelajaran 2009/2010

8 126 127

Perbedaan hasil belajar biologi antara siswa yang diajarkan melalui pendekatan kooperatif teknik: student team achievement divisions (STAD) dan teknik Group Investigation (GI)

0 36 221

Peningkatan hasil belajar pada konsep kesetimbangan kimia melalui model pemebelajaran PBL (probelm Based Learning)

7 44 218

Pengujian efisiensi pasar modal melalui evaluasi pergerakan indeks LQ-45 di bursa efek indonesia (BEI)

4 48 84

Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan menerima keragaman suku bangsa dan budaya melalui metode Role Playing di SD NU Wanasari Indramayu

1 53 173

Peningkatan prestasi belajar PAI melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw siswa Kelas X SMAN 90 Jakarta

1 53 118

Peranan International Labour Organization Melalui Program International Programme On the Elimination Of Child Labour (IPEC) Dalam Penanggulangan Pekerja Anak Di Indonesia

1 25 139

Kerjasama ASEAN-China melalui ASEAN-China cooperative response to dangerous drugs (ACCORD) dalam menanggulangi perdagangan di Segitiga Emas

2 36 164