PROBLEMATIKA SOSIAL USIA DAN ORIENTASI

USIA DAN ORIENTASI SEKSUAL
A. Usia dan Struktur Sosial
Ilmu yang mempelajari penuaan, disebut gerontologi, yang mempelajari
manusia sepanjang usianya, karena proses penuaan dimulai sejak bayi
dilahirkan. Berdasarkan tahap-tahap perkembanghan biologis dan kebutuhan
sosialnya, rentang kehidupan manusia dalam beberapa tahapan (life stage);
prediksi suksesi status dan peran dialami seseorang di lingkungannya
mengikuti pertambahan usianya. Ada enam tahapan utama, yakni masa bayi
(0-2 tahun, masa anak (2-5 tahun), masa sekolah (6 – 12 taun), masa remaja
(13-17 tahun), masa dewasa (18-40 tahun) dan masa tua (>40 tahun). Tahap
bayi/anak dan usia lanjut adalah tahap ketergantungan. Tugas kehidupan
sebagian besar bersifat biologis (mempertahankan hidup) alih-alih tugas
sosial. Sebaliknya pada usia diantara tahap bayi dan tahap tua renta,
struktur sosial lebih penting daripada biologi dalam membentuk tugas-tugas
perkembangan hidup.
Jumlah, komposisi dan disribusi populasi dan bagaimana perubahannya dari
waktu ke waktu, dinamakana studi demografi. Berdasarkan struktur usia
komposisi demografi dapat digambar berbentuk piramid atau segitiga, di
mana jumlah terbanyak adalah usia anak-anak, semakin bertambah usia
jumlah semakin sedikit. Ini gambaran khas demografi pra industri, banyak
anak yang lahir tetapi banyak yang meninggal sebeum usianya tua.

Demografi masyarakat industri bisa berupa kotak persegi atau piramid
terbalik, yang berarti jumlah anak yang lahir sedikit dan orang banyak yang
mencapai usia tua berkat kesejahtaraan hiduip dan kemajuan bidang
kesehatan. Dari proposri demografi dapat duhitung rasio ketergantungan
(dependency ratio), ukuran relatif keompok dalam demografi yang secara
ekonomis tergantung kepada kelompok lain yang bekerja. Dewasa ini di
negara maju rasionya 20, yang berarti 100 orang pekerja harus harus
mendukung atau menjadi tempat terantung dari 20 orang yang tidak
bekerja. Dependency ratio ini menjadi masalah sosial karena masyarakat
dapat hancur kalau rasionya terlalu besar.
1) Perspektif fungsionalis; Tugas perkembangan pada setiap tahap kehidupan
berhubungan erta dengan tuntutan masyarakat. Pada masyarakat
praindustri anak belajar bagaimana mengisi posisi dewasa pad usia sangat
muda. Teknologi yang ada masih sangat sederhana sehingga tidak
membutuhkan pendidikan yang lama, bahkan menjadi dewasa tidak perlu
bisa membaca dan menulis. Perubahan dari anak menjadi dewasa
berlangsung singkat pada usia sekitar 10 tahun. Untuk selanjutnya mereka
bekerja mengandalkan kekuatan fisiknya. Hanya pada kelompok kecil
penguasa atau pendeta, anak-anak sampai dewasa belum bekerja /
produktif.

Sebaliknya masyarakat industri membutuhkan pendidikan dan pelatihan
yang lama untuk menguasi teknologi yang canggih. Teknologi itu juga
memungkinkan memproduksi barang dengan jumlah tenaga kerja yang
sedikit, sehingga tidak perlu semua orang dewasa bekerja. Agar semua
orang dapat memperoleh penghasilan dengan “bekerja,” maka usia anak

masuk dunia kerja harus ditunda, dan orang harus pensiun atau berhenti
bekerja jauh sebelum mati.
Tritmen terhadap anak/remaja dan orang tua menjadi maslah sosial kalau
tidak konsisten dengan kemampuan dan perkembangannya, baik dari
sudut biologis maupun sosial. Kalau usia secara semena-mena dipakai
sebagai kriteria perlakuan, akan terjadi disfungsi dan disorganisasi sosial.
Nak-anak yang dipaksa bekerja akan mudah terjerumus dalam tindak
kriminal dan menjadi pengguna narkotik. Orang tua yang dikapsa pensiun
dini menadi depresi dan pemabuik. Jadi mayarakat harus memberi status
sosial yang dapat diterima bagi semua anggautanya di setiap tahap
perkembangan dan memberi peluang untuk mencapai tujuan sosial yang
diinginkan. Setiap orang membutuhkan perasaan “dapat memberi
sumbangan penting” kepada masyarakat. Akan terjadi disorganisasi sosial
yang semakin parah kalau semakin banyak anak dan orang tua yang

merasa tidak memberi sumbangan kepada masyarakatnya.
2). Perspektif Konflik; Posisi anak/remaja dan orang tua tidak jauh berbeda
dengan kelompok minoritas, mereka hanya mempunyai sedikit akses ke
kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang dikuasai oleh kelompok usia
kerja. Pada masyarakat pa industri, orang tua mesih memeiliki kekuatan
krena mereka menjadi pemilik dan menognrtol sumber ekonomi (pemilik
tanah). Ditambah lagi, hubungan kekeluargan jauh lebih kuat
dibandingmasa sekarang – orang sering membutuhkan bantuan dari orang
tuanya untuk memulai hidup bermasyarakat. Dari orang tuanyalah anak
muda belajar membua barang atau mendapat tanah untuk digarap,
artinya anak-anak secara ekonomis tergantung kepada orang tuanya.
Dalam situasi semaca itu norma dan hukum cenderung mendukung dan
memperkuan dominasi orang tua dalam mengontrol sumber-sumber
politik, sosial, dan ekonomi.
Di masyarakat industri, orang tidak perlu tergantung kepada orang tuanya
untuk hidup. Semua dipelajari di sekolah, dan mendapat gaji dari
perusahaan/pemeritah, sehingga posisi penguasaan ekonomi dapat
diperoleh tanpa banyak dukungan orang tua. Ikatan keluarga juga tidak
terlalu kuat, tidak lagi menjadi sumber kekuatan dan prestise. Akibatnya
status orang tua menjadi menurun karena mereka tidak memegang posisi

kekuatan ekonomi, dan anaknya tidak lagi tergantung kepadanya untuk
hidup.
Konflik persepktif memandang posisi kelompok dalam masyarakat
ditentukan oleh akses kelompok itu ke sumber kekuatan politik, sosial, dan
ekonomi. Akses anak muda dan orang tua ke dunia kerja dan sumber
sosial lainnya dibatasi karena akses itu menjadi hak eksklusif kelompok
usia dewasa. Dalam sistem ekonomi di mana jumlah pekerjaan terbatas,
ini akan mengurangi kompetisi. Hanya sedikit remaja yang masuk ke dunia
kerja, dan orang tua dipaksa pensiun agar posisi yang ada diisi kelompok
dewasa awal.
Masyarakat membungkus fenomena agesim dengan dalih untuk
kepentingan anak dan orang tua itu sendiri. Ageisme adalah keyakinan

bahwa orang pada usia tertentu itu lemah, memiliki sifat-sifat negatif, dan
dapat didominasi dan dieksploitasi karena usianya itu. Ageisme adalah
prejudis dan diskriminasi kepada usia anak/tua, seperti sexism dan racism.
Ageisme sering diwacanakan memakai dukungan biologis, bahwa anak itu
belum masak dan orang tua itu sudah pikun, sebagai dasar pembedan
perlakuan dalam masyarakat.
B. Usia Anak dan Masalahnya

1). Eksploitasi ekonomi; Anak-anak pada masa pra industri bekerja membatu
orang tua berburu/bertani, sedang pada zaman modern anak-anak bekerja
di pabrik/perusahaan kecil, dab berkeliaran di jalan menjadi pedagang
asongan. Pabrik/perusahaan mempekerjakan anak-anak dengan dalih
membantu perekonomian rakyat, padahal mereka justru meperoleh
keuntungan dengan mengeksploitasi anak-anak, membayar murah,
menyiksa mereka dengan jam kerja yang panjang dan hukuman kalau
melakukan kesalahan. Ada tiga alasan anak-anak menjadi pekerja pabrik:
1. Anak-anak keluarga miskin bekerja di pabrik karena orang tuanya
terlibat hutang, begitu besarnya hutang itu sehingga mustahil dilunasi.
Praktek ini adalah bentuk lain dari perbudakan di zaman modern.
2. Pemilik pabrik merasa tenaga anak mudah diatur dan menguntungkan
untuk dieksploitasi. Mereka tidak menyadari adanya situasi berbahaya
dan tidak mudah protes dengan kondisi kerja seperti pekerja dewasa.
3. Masyarakat tidak berkeberatan anak-anak dieksploitasi, menganggap
anak-anak miskin bekerja sebagai sesuatu yang seharusnya terjadi.
Undang-undang/hukum negara itu melarang praktek mempekerjakan
anak-anak, tetapi tidak dijalankan secara konsekuen karena
masyarakaat sendiri meprotes kalau anak-anak tidak bolehj membantu
mencari nafkah keluarga.

2). Ketidak-stabilan keluarga; Keluarga yang bercerai, ayah ibu yang hidup
terpisah jauh karena harus bekerja, berdampak pada pengasuhan anak
yang buruk. Anak keluarga pecah itu mengalami masalah emosional, gagal
sekolah, dan mudah terlibat delingkuensi. Anak-anak terdorong untuk
menjadi dewasa sebelum waktunya.
3). Kemiskinan; Menjadi nasib buruk ketika bayi lahir kedunia ditengah
tengah keluarga yang miskin. Mereka akan dewasa tanpa persiapan yang
memadai, pendidikan buruk, pemakaian waktu luang yang buruk,
membuat mereka menjadi sumber masalah sosial.
4). Eksploitasi Seksual; Anak-anak rawan mengalami eksploitasi seksual,
anak perempuan diperkosa dan anak laki disodomi oleh orang tua,
keluarga dekat dan orang dewasa disekitarnya. Pelecehan itu tidak
dilaporka kepada yang berwajib karena pelakunya adalah orang penting
dalam keluarga sehingga dampak pelaporan itu akan dirasakan opleh
semua anggauta keluarga termasuk anak itu sendiri. Perkosaan juga tidak
dilaporkan karena dapat merusak nama baik anak di masyarakat.
Pelecehan bisa berlangsung lama karena anak takut melaporkan
pelakunya.

Pelecehan seksual dalam bentuk prostitusi anak-anak terjadi karena

banyak orang dewasa yang senang berkelamin dengan anak-anak
(pedofilia), dan anak-anak miskin yang berkeliaran tanpa perlindungan
mudah ditipu dengan iming-iming kehidupan yang glamor. Dekadensi
moral bisa terjasdi karena memang tingkat moralitas masyarakat
mengalami perusakan (pada kelompok terentu, tidak semuanya). Prostitusi
anak sangat menguntungkan, sehingga diorganisir rapi di kota-kota besar,
bahkan lintas negara.
5). Penyiksan Anak (Child Abuse); Ketergantungan anak kepada orang tua
membuat orang tua merasa mempunyai hak untuk memperlakukan
anaknya semaunya. Atas nama pendidikan orang tua memukul anak yang
melakukan kesalahan. Orang tua yang frustrasi ditempat kerja,
memuntahkan kemarahannya kepada anak (scape goating), tanpa alasan
faktual. Sering terjadi ayah–ibu yang bekerja meninggalkan anaknya
dikunci di dalam rumah sendirian (ditemani televisi).
C. Usia Tua dan Masalahnya
1). Bekerja dan Pensiun; Bekerja yang semula untuk memenuhi kebutuhan
hidp akkhirnya merubah makna menjadi sumber utama memperoleh selfesteem dan self worth (perasaan diri berkuasa dan perasaan diri
berharga), karena itu orang masih memaksa diri bejerja pada usia tua. Di
Amerika Serikat mandatory retirement (perintah/keharusan pensiun)
sudah banyak dihapus diberbagai bidang pekerjaan. Tinggal pekerjaan

sebagai pilot dan semacamnya yang masih diizinkan keharusan pensiun
karena usia. Perusahaan memensiunkan karyawannya untuk
penghematan. Pekerja muda yang mas kerjanya minimal gajinya lebih
kecil, biaya kesehatannya lebih kecil, dan produktivitasnya lebih tinggi.
Perusahaan sering melakukan restrukturalisasi sebagai cara halus
menghilangkan pekerja uzur. Di Indonesia, usia pensiun pegawai negeri
umumnya 55 tahun, kecuali jenis pekerjan tertentu pensiun ditunda
samapi usia 69 bahkan 65 tahun. Mandatori pensiun itu diikuti di berbagai
perusahaan, walaupun aturan pensiun sesungguhnya perusahaan boleh
membuat aturan pensiun sendiri sebagaimana tertuan dalam perjanjian
kerja.
Ternyata usia kerja masyarakat modern semakin singkat. Pada tahun 1900
an, 60 laki diatas usia 65 tahun masih bekerja, sedang tahun 2000-an
hanya 16%^ laki ditas 65 tahun yang bekerja. Masalahnya adalah apakah
pensiun itu menguntungkan atau merugikan subjek. Dari sisi ekonomi dan
harga diri pensiun berdampak negatid kepada subjek, karena mereka
menjadi tidak mempunyai status yang jelas, dan sullit menemukan
prestise. Pensiunan mengalami post-power syndrom; depresi karena tidak
mempunyai kekuatan dan esteem, mudah tersinggung, bergaya seolaholah masih “berkuasa.” Pensiun menjadi menyenangkan kalau; terjadinya
sukarela guka karena dipaksa, tabungan dan kesehatannya cukup bagus

untuk hidup nyaman selama pensiun, bekerja bukan yang sangat pentring
dalam kehidupannya, dan sudah siap dengan rencana apa yang akan
dilakukan selama masa pensiun.

2). Kemiskinan dan Masalah keuangan; Pensiunan secara perlahan akan
menjadi miskin, tabungannya semakin menipis. Labih lebih pada ibu yang
tidak bekerja, ketika suaminya yang pensiun meninggal dia akan
menghadapi masalah finansial yang berat, karena sebagian besar harta
peninggalan suami harus diserahkan kepada anak sebagai harta warisan.
Budaya ikatan keluarga akan menentukan bagaimana maslah
kemiskinanorang tua diselesaikan. Kalau ikatan keluarga sangat kuat,
orang tua bisa nebeng hidup bersama anaknya sampai mati. Pada budaya
dimana hubungan keluarga cenderung longgar, orang tua yang rtidak
dapat menghidupi diri sendiri dirawat di rumah jompo.
Tidak semua orang tua bernasib baik dapat menabung untuk hari-hari
pensiun. Mereka yang bekerja dengan penghasilan yang pas-pasan, bisa
sampai tua tidak memiliki rumah atau dana yang cukup untuk menjamin
dia dapat tempat berteduh sepanjang usianya. Lebih-lebih kalau tempat
kerjanya tidak memiliki asuransi pensiun, begitu berhenti bekerja berhenti
pula seluruh penghasilannya.

3). Isolasi Sosial; Orang tua yang tinggal bersama anaknya, atau yang
tinggal di rumah jompo tidak mengalami isolasi sosial. Pensiunan yang
tinggal sendirian, mempunyai waktu yang banyak untuk bersosialisasi
dengan teman sesama pensiunan, atau dengan tetangga. Isolasi sosial
akan dialami orang tua/pensiunan yang sukit bergaul, sakit-sakitan, dan
auatu orang tua miskin yang tidak mempunyai anggaran untuk ramah
tamah.
Rumah jompo merpakan fenomena yang menarik. Secara teoritik rumah
jompo dapat memberi kebahagiaan hidup kepad penghuninya, yang
mendapat perawatan, perhatian dari pengurusnya, Cukup makan dan
minum, diajak melakukan pekerjaan perintang waktu yang bermanfaat
dan menyenangkan. Orang tua itu juga memperoleh kehangatan dari
teman senasib. Namun dalam praktek ternyata tidak selalu positif. Tidak
ada orang kaya yang mau tinggal dipanti jompo, kalau mereka bisa
membayar perawat untuk membantunya dirumah. Panti jompo hanya
berisi orang-orang miskin, yang tidak mampu membayar biaya penunjang
hidup minimal sekalipun. Jumlah pertugas/perawat kurang, mereka lelah
sehingga cenderung berperilaku tidak sabar bahkan kasar kepada
penghuni yang dirawatnya. Lantai kamar kotor, sprei tempat tidur tidak
pernah dicuci, kebersihan dan kesehatan penghuni tidak diperhatikan,

makanan yang tidak higienis dan kurang, semua menjadi gambaran panti
jompo bermasalah.
4). Kekerasan Rumag tangga; Domestic violence tidak hanya diaalami anakanak tetapi juga bisa dalami orang tua yang tinggal bersama anakanaknya. Perlakuan tidak senonoh kepad orang tua terjadi terurama pada
keluarga yang miskin, tetapi juga pada keluarga yang secara ekonomis
berkecukupan. Orang tua yang fisik dan mentalnya sudah buruk sulit
ditangani, bisa menimbulkan frustrasi dan kamarahan. Berbeda dengan
anak-anak, perlakuan yang sedikit kasar, misalnya membentaknya sudah

sangat menyakitkan bagi orang tua itu. Membiarkan dan tidak
mengacuhkannya seharian dapat membuat dia sakit hati dan mati.
5). Masalah Kesehatan; Masalah utama dari orang tua adalah kemunduran
fisiknya. Berbagai penyakit kronis menjadi sangat mengganggu ketika usia
sudah tua. Para perokok menuai akibat penumpukan nikotin di tubuhnya
pada usia tua. 40% tempat tidur rumah sakit dihuni orang tua. Penyakit
jantung (tekanan darah tinggi, pengapuran arteri, dll) penyakit
pernafasan, rematik, pencernakan, alzheimer dan stroke, umum dialami
orang tua. Respon tubuh terhadap obat-obatan sudah tidak bagus,
sehingga menjaga kesehatan pad orang tua membutuhkan biaya tinggi.
6). Ancaman kejahatan; Orang tua adalah sasaran empuk tindak kejahatan,
paling tidak orang tua selalu mencemaskannya.
D. Homoseksualita dan Homophobia
Homoseksualita adalah perasaan, ketertarikan dan kegiatan seksual yang
diarahkan ke orang yang berjenis kelamn sama. Jumlah pengidap homoseks
tidak pernah dapat dihitung dengan pasti karena banyak yang tidak mau
mengaku homoseksualitasnya dalam wawancara, khususnya pada kalau ho
oseksualitas masih dipandang sebagai stigma oleh kelompok tertentu dalam
masyarakat. Diperkirana (di Amerika Serikat) antara 1 s/d 5 % laki dewasa
adalah gay (male homosexuality) sedang lesbians (female homosexuality)
sekitar separohnya. Sebagai tambahan, 5 – 25% laki paling tidak sekali
seumur hidup pernah berpengalaman berhubungan dengan homoseksual.
1) Teori Orientasi Seksual: Teori biologis menjelaskan bahwa orientasi seks
dipengaruhi oleh keturunan, paling tidak sebagian diantaranya. Struktur
kromosom seksual laki adalah XY, dan perempuan XX. Orang bisa
mempunyai struktur kromosom yang kelebihan X atau kelebihan Y menjadi
XXY, XXXY, atau XYY, XYYY. Gen semacam itu menjadi predisposisi
penyimpangan orientasi seksual. Kalau pendidikan memfasilitasi
perkembangan orientasi homoseksual, anak akan mudah sekali
terpengaruh. Kemudahan itu bisa sukarela atau dipaksa, bisa hanya
sekedar mengenal seorang homo, itu sudah cukup membuat potensi atau
predisposisi itu menjadi manifest.
Teori Psikologis menjelaskan homoseksualitas adalah malajusment
psikologis, bersumber daru hubungan yang buruk atau tidak sehat antar
anak dengan orang tua. American Psychiatric Association dalam buku DSM
memasukkan homosksualitas sebagai gangguan mental sampai tahun
1973. Dari berbagai penelitian, ternyata hubungan orang tua – anak di
masa kecil tidak berkorelasi dengan homoseksual. Gangguan mental juga
tidak benar, karena kecuali pilihan orientasi seksual yang berbeda dengan
“orang normal,” aspek atau unsur psikologis lainnya (kecerdasan, emosi,
motivasi, kepribadian) semuanya normal. Sejak tahun 1973, homoseksual
tidak dipadang sebagai mentatl disorder, atau gangua psikiatrik, bahkan
tidak termasuk penyesuaian psikologis yang buruk (poor psychological
adjusment).

Teori sosiologi mengemukakan beberapa faktor sosiologis yang mungkin
mempengaruhi individu menjadi homoseksual. Menurutnya heteroseksual
dan himoseksual keduanya merupakan hasil belajar melalui interaksi
dengan orang lain. (1) Bisa karena orang melakukan eksperimen, cobacoba (karena seks bersifat fleksibel dan eksploratorik). Mereka
menemukan kegiatan seks sejenis sebagai hal yang baru dan berbeda,
tanpa berpretansi bahwa mereka itu homoseksual. (2) Bisa terjadi
homoseksual di penjara karena tidak ada objek heteroseksual, dan mereka
kembali heteroseksual ketika keluar dari penjara. (3) Remaja yang
perilakunya mirip dengan lawan jenis (perempuan tomboy atau laki sissie)
oleh lingkungan di cap Homoseksual. Ketika oleh teman sebayanya dia
“dipermalu,” dikalangan homoseksual dia diterima dengan baik. Ini akan
mengubah konsep diri yang semula heteroseksual berubah menjdai
homoseksual. (4) Pengalaman melakukan kegiatan seks sejenis, bisa
karena dirayu secara halus atau dipaksa-diperkosa. Hasilnya akhirnya
sama, orang dapat memperoleh kenikmatan hubungan sejenis, yang
dampaknya dia rentan menjadi homoseksual.
Pasti tidak semua homoseksual berkembang dari interaksi sosial, sama
halnya tidak semua predisposisi menjadi homoseksual dan tidak semua
hubungan anak-orang tua bermasalah berakibat homoseksual. Mungkin
masih ada sumber penyebab lain, tetapi kalau seseorang mengalami tiga
situasi – biologis, psikologi, sosiologis – pemicu homoseksual, dia sangat
rentan mengubah orientasi seksual menjadi homoseksual.
2) Reaksi terhadap Homoseksual; Apakah homoseskaual itu masalah sosial
atau bukan, tergantung kepada penilaian masyarakat luas. Sikap umum
masyarakat Indonesia umumnya negatif. Lebih-lebih sebagai pemeluk
agama Islam, homoseksual hukumnya haram. Sikap toleran masyarakat
kepada homoskesual cukup baik, sepanjang tingkahlaku homoseksual itu
sendiri tidak “menarik perhatian.” Umumnya mereka memandang
homoseksual dengan perasaan kasihan, dan berdoa mudah-mudahan
tidak ada anggauta keluarganya yang mengidap homoseksual. Fenomena
di kota besar, toleransi kepada homoseksual cukup besar, sehingga tidak
ada penolakan yang sistematis di tempat kerja. Namun perkembangan
positif ini banyak dirusak oleh oknum homoseksual yang menjadikan
homoseksual sebagai komoditas (pelacuran). Banyak homoseksual yang
kehidupan seksualnya permissive, sering ganti-ganti pacar dan melakukan
hubungan seks dengan siapa saja. Dampaknya sekitar 40% penderita AID
adalah homoseksual.
3). Diskriminasi terhadap gay dan lesbian; Berbeda dengan diskriminasi
kepada homoseksual mirip dengan diskriminasi ras, etnik, dan gender
minoritas yang status ascribed itu tidak dapat ditolak, homoseksal dapat
menolak reaksi negatif itu dengan menahan diri, tidak membuka rahasia
bahawa drirnya gay atau lesbis. Diskriminasi pada penjualan rumah,
pengembang menolak menjual kepada homoseksual, takut rumah di
sebalnya tidak laku. Pabrik dan perusahaan cenderung menolak
homoseksual karena takut dapat mengganggu suasana kerja, khususnya
di lngkungan yang pekerjanya laki semua atau perempuan semua.

Homoseksual banyak diterima bekerja salon dan perawatan kecantikan
(sudah terbukti mereka pintar merias diri yang maskulin menjadi tampil
feminin). Angkatan Bersenjata Amerika Serikat mempunyai aturan
mengenai rentara yang hooseksual, yakni “do not tell and do not talk.”
Homoseksual boleh menjadi tentara asal tidak bicara kepada orang lain
bahwa dirinya homo. Orang lain termasuk komandannya tidak boleh
bertanya “apakah kamu homo?” sehingga dia juga tidak perlu menjawab
pertanyaan semacam itu.
4). Sumber Homophobia; Homofobia adalahperasaan tidak senang dan
prejudis yang sangat kuat kepada homoseks. Ada banyak sumber
homofon\bia; (1) Agama menjadi sumber homofobia, karena perbiatan
homo dalah dosa. (2) Keluarga merasa malu kalau ada anaknya yang
homo, dunia seperti kiamat. (3) Rasionalisasi, semakin banyak homseksual
akan menggaggu kelestarian demografi. Kalau semua laki menjadi gay
dan semua perempuan menjadi lesbian, dalam 25 tahun jumlah penduduk
akan berkurang 50%, dan dalam 50 tahun bangsa itu punah. Alasan ini
sangat dicari-cari, karena situasi semacam itu tidak mungkin terjadi.
Belum pernah ada di masyarakat manapun jumlah homoseksual dapat
mengurangi fertilitas nasional). (4) Psikoanalisis (Freud) memandang
homoseksual adalah seks yang belum matang dan tidak berkembang
(immature – underdevelop), dan heteroseksual adalah seks yang masak
dan sehat. Teori ini memberi legitimasi ilmiah untuk memandang
homoseksual secara negatif/homofobia.
(5) Homofobia pada
adolsesen bisa manifes dalam bentuk kekersan terhadap pengidap
homofobia. Remaja itu mencari status, mencari pengalaman adventur,
menguji keberanian, dan membuang perasaan bosan dengan menyerang
gay. Perbuatan itu sering lolos dari hukum dan dimaafkan masyarakat
(yang anti gay).
Bukan homoseksual tetapi sikap masyarakat yang anti homoseksual,
stigma/diskriminasi, dan homophobia yang memicu timbulnya maslah
sosial. Gerakan yang menuntut kebebasan mengekspersikan pilihan peran
seks semakin meningkat, didukung filsafat hak asasi manusia (HAM). Isu
homoseksual sering menjadi jargon politik, seperti yang dilakukan oleh
Presiden Obama, yang merencanakan menghapus larangan hooseksual
menjadi tentara.
E. Usia sebagai Masalah Bersama
Di masyarakat yang manapun pasti ada anak-ana dan orang tua, sehingga
masalah itu menjadi masalah yang universal. Masalah usia adalah wajah lain
dari masalah pendidikan, ekonomi, budaya, dan masalah teknologi
kesehatan. Kalau kebijakan politik dapat menjamin semua anak memperoleh
pendidikan yang mamadai, kalau perekonomian dapat disusun sehingga
orang tua yang pensiun tidak menjadi miskin, kalau budaya mengormati
orang tua dapat dikembangkan, kalau teknologi kesehatan dapat
menyesuaikan degradasi fisik dengan tuntutan terhindar dari rasa sakit,
masalah uisa tidak menjadi ancaman serius.

Homoseksual sendiri sesungguhnya bukan masalah, tetapi menjadi pemicu
masalah, yakni masalah sikap negatif dan homofobia..

EKONOMI

TEKNOLOG
I
KESEHATA
N

MASALAH
USIA

BUDAYA

PENDIDIK
AN