KONSEP HAPPINESS DAN serta PENGUKURANNYA

Makalah Psikometri
KONSEP HAPPINESS DAN PENGUKURANNYA
Oleh:
Syaiful. H. Radeya, S.Psi., M.Psi
A.

Definisi Kebahagiaan
Budaya memiliki sumbangan tersendiri terhadap pembentukan konsep

psikologis individu, seperti halnya konsep kebahagiaan. Kim dan Park (2006)
menyebutkan bahwa budaya memiliki peranan yang sangat sentral dalam
mempersepsi fenomena sosial. Budaya mempunyai peran dasar seperti halnya
fisiologi terkait dengan persepsi individu terhadap realitas. Budaya memuat
simbol bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dan memaknai suatu realitas
sosial, sedangkan fisiologi menyumbang panca indra sebagai alat untuk
mempersepsi realitas sosial tersebut. Karena itu, dapat dipahami apabila suatu
nilai kebahagiaan individu pasti dipengaruhi oleh konteks budaya yang berlaku.
Kebahagiaan merupakan sebongkahan perasaan yang dapat dirasakan
berupa perasaan senang, tentram, dan memiliki kedamaian (Rusydi, 2007).
Sedangkan happiness atau kebahagiaan menurut Biswas, Diener & Dean (2007)
merupakan kualitas dari keseluruhan hidup manusia – apa yang membuat

kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan yang lebih baik,
kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan yang lebih tinggi.
Uchida, dkk. (2004) dalam penelitiannya mengenai konstruksi kultural
kebahagiaan, menemukan bahwa terdapat perbedaan makna kebahagiaan
dikonteks budaya Barat (individualistik) dan Timur (kolektivistik). Secara spesifik
dikonteks budaya Barat/Amerika Utara, kebahagian memiliki kecenderungan
definisi terkait dengan pencapaian prestasi pribadi ( personal achievement). Pada
konteks budaya ini individu bertindak karena termotivasi untuk memaksimalkan
pengalaman afek positif.

Self‐esteem merupakan

prediksi terbaik bagi

kebahagiaan. Hal ini berkebalikan dengan konteks budaya Asia Timur, dimana

kebahagiaan memiliki kecenderungan definisi terkait dengan pencapaian
hubungan interpersonal. Pada konteks budaya ini individu bertindak karena
termotivasi untuk mempertahankan keseimbangan antara afek positif dan negatif.
Cara terbaik untuk memprediksi kebahagian dikonteks ini adalah dengan melihat

kelekatan diri atau individu dalam hubungan sosial.
Furnham (2008) juga menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan bagian
dari kesejahteraan, contentment, to do your life satisfaction or equally the absence
of psychology distress. Ditambahkan pula bahwa konsep kebahagiaan adalah

merupakan sinonim dari kepuasan hidup atau satisfaction with life (Veenhoven,
2000). Diener (2007) juga menyatakan bahwa satisfaction with life merupakan
bentuk nyata dari happiness atau kebahagiaan dimana kebahagiaan tersebut
merupakan sesuatu yang lebih dari suatu pencapaian tujuan dikarenakan pada
kenyataannya kebahagiaan selalu dihubungkan dengan kesehatan yang lebih baik,
kreativitas yang lebih tinggi serta tempat kerja yang lebih baik.
Sumner (dalam Veenhoven, 2006) menggambarkan kebahagiaan sebagai
“memiliki sejenis sikap positif terhadap kehidupan, dimana sepenuhnya
merupakan bentuk dari kepemilikan komponen kognitif dan afektif. Aspek
kognitif dari kebahagiaan terdiri dari suatu evaluasi positif terhadap kehidupan,
yang diukur baik melalui standard atau harapan, dari segi afektif kebahagiaan
terdiri dari apa yang kita sebut secara umum sebagai suatu rasa kesejahteraan
(sense of well being), menemukan kekayaan hidup atau menguntungkan atau
perasaan puas atau dipenuhi oleh hal-hal tersebut.”
Diener (1985) menyatakan bahwa happiness atau kebahagiaan mempunyai

makna yang sama dengan subjective wellbeing dimana subjective wellbeing
terbagi atas dua komponen didalamnya. Kedua komponen tersebut adalah
komponen afektif dan komponen kognitif.
Arti kata “bahagia” berbeda dengan kata “senang.” Secara filsafat kata
“bahagia” dapat diartikan dengan kenyamanan dan kenikmatan spiritual dengan
sempurna dan rasa kepuasan, serta tidak adanya cacat dalam pikiran sehingga

merasa tenang serta damai. Kebahagiaan bersifat abstrak dan tidak dapat disentuh
atau diraba. Kebahagiaan erat berhubungan dengan kejiwaan dari yang
bersangkutan (Dalam Kosasih, 2002).
B. Faktor yang mempengaruhi kebahagiaan
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan
seseorang, yaitu:
1. Budaya.
Triandis (2000) mengatakan faktor budaya dan sosial politik yang spesifik
berperan dalam tingkat kebahagiaan seseorang (dalam Carr, 2004). Hasil
penelitian lintas budaya menjelaskan bahwa hidup dalam suasana
demokrasi yang sehat dan stabil lebih daripada suasana pemerintahan
yang penuh dengan konflik militer (Carr, 2004). Carr (2004), mengatakan
bahwa budaya dengan kesamaan sosial memiliki tingakat kebahagiaan

yang lebih tinggi. Kebahagiaan juga lebih tinggi pada kebudayaan
individualitas dibandingkan dengan kebudayaan kolektivistis (Carr,
2004). Carr (2004) juga menambahkan kebahagiaan lebih tinggi dirasakan
di negara yang sejahtera di mana institusi umum berjalan dengan efisien
dan terdapat hubungan yang memuaskan antara warga dengan anggota
birokrasi pemerintahan.
2. Kehidupan Sosial.
Penelitian yang dilakukan oleh Seligman dan Diener (Seligman 2005)
menjelaskan hampir semua orang dari 10% orang yang paling bahagia
sedang terlibat dalam hubungan romantis. Menurut Seligman (2005),
orang yang sangat bahagia menjalani kehidupan sosial yang kaya dan
memuaskan, paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan mayoritas
dari mereka bersosialisasi.
3. Agama atau Religiusitas.
Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan
daripada orang yang tidak religius (Seligman, 2005). Selain itu
keterlibatan seseorang dalam kegiatan keagamaan atau komunitas agama

dapat memberikan dukungan sosial bagi orang tersebut (Carr, 2004). Carr
(2004) juga menambahkan keterlibatan dalam suatu agama juga

diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan psikologis yang lebih baik yang
dapat dilihat dari kesetiaan dalam perkawinan, perilaku sosial, tidak
berlebihan dalam makanan dan minuman, dan bekerja keras.
4. Pernikahan.
Seligman (2005) mengataka bahwa pernikahan sangat erat hubungannya
dengan kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai
hubungan kebahagiaan dengan pernikahan, yaitu orang yang lebih
bahagia lebih atraktif sebagai pasangan daripada orang yang tidak
bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan memberikan banyak
keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman
psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan
peran sebagai orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan
(Carr, 2004). Kebahagiaan orang yang menikah memengaruhi panjang
usia dan besar penghasilan dan ini berlaku bagi pria dan wanita
(Seligman, 2005). Carr (2004), menambahkan orang yang bercerai atau
menjanda lebih bahagia pada budaya kolektifis dibandingkan dengan
budaya individualis karena budaya kolektifis menyediakan dukungan
social yang lebih besar daripada budaya individualis.
5. Usia.
Penelitian dahulu yang dilakukan oleh Wilson mengungkapkan kemudaan

dianggap mencerminkan keadaan yang lebih bahagia (Seligman, 2005).
Namun setelah diteliti lebih dalam ternyata usia tidak berhubungan
dengan kebahagiaan (Seligman, 2005). Sebuah penelitian otoratif atas
60.000 orang dewasa dari 40 bangsa membagi kebahgiaan dalam tiga
komponen, yaitu kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif (Seligman,
2005). Kepuasan hidup sedikitmeningkat sejalan dengan betambahnya
usia, afek positif sedikit melemah dan afek negatif tidak berubah
(Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan hal yang berubah ketika
seseorang menua adalah intensitas emosi dimana perasaan “mencapai

puncak dunia” dan “terpuruk dalam keputusasaan” berkurang seiring
dengan bertambhanya umur dan pengalaman.
6. Uang.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara
kebahagiaan dan uang (Seligman, 2005). Umumnya penelitian yang
dilakukan dengan cara membandingkan kebahagiaan antara orang yang
tinggal di negara kaya dengan orang yang tinggal di negara miskin.
Perbandingan lintas-negara sulit untuk dijelaskan karena negara yang
lebih kaya juga memiliki angka buta huruf yang lebih rendah, tingkat
kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, kebebasan yang

lebih luas dan barang materil yang lebih banyak (Seligman, 2005).
Seligman (2005) menjelaskan bahwa di negara yang sangat miskin, kaya
berarti bias lebih bahagia. Namun di negara yang lebih makmur dimana
hampir semua orang memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan
tidak begitu berdampak pada kebahgiaan (Seligman, 2005). Seligman
(2005), menyimpulkan penilaian seseorang terhadap uang akan
mempengaruhi kebahagiaannya lebih daripada uang itu sendiri.
7. Kesehatan.
Kesehatan objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan kebahagiaan
(Seligman, 2005). Menurut Seligman (2005), yang penting adalah
persepsi subjektif kita terhadap seberapa sehat diri kita. Berkat
kemampuan beradapatasi terhadap penedritaan, seseorang bisa menilai
kesehatannya secara positif bahkan ketika sedang sakit. Ketika penyakit
yang menyebabkan kelumpuhan sangat parah dan kronis, kebahagiaan
dan kepuasan hidup memang menurun (Seligman, 2005). Seligman
(2005) juga menjelaskan orang yang memiliki lima atau lebih masalah
kesehatan, kebahagiaan mereka berkurang sejalan dengan waktu.
8. Jenis Kelamin.
Jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak konsisten dengan
kebahagiaan. Wanita memiliki kehidupan emosional yang lebih ekstrim

daripada pria. Wanita lebih banyak mengalami emosi positif dengan

intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Tingkat emosi ratarat pria dan wanita tidak berbeda namun wanita lebih bahagia dan lebih
sedih daripada pria (Seligman, 2005).

C. Pengukuran Kebahagiaan (Measuring of happiness)
Terdapat beberapa aspek kebahagiaan. Ada dua hal yang harus dipenuhi
untuk mendapatkan kebahagiaan yaitu afeksi dan kepuasan hidup (Rusydi,
2007).
1. Afeksi
Perasaan (feeling) dan emosi (emotion) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan.

Menurut

salah

seorang

pakar


psikologi

Tellegen

menyebutkan bahwa setiap pengalaman emosional selalu berhubungan
dengan afektif atau perasaan yang sangat menyenangkan sampai kepada
perasaan yang tidak membahagiakan.
2. Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup merupakan kualitas dari kehidupan seseorang yang telah
teruji secara keseluruhan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
Kepuasan hidup merupakan hasil dari perbandingan antara segala
peristiwa yang dialami dengan apa yang menjadi tumpuan harapan dan
keinginan.

Dengan

demikian

dapat


dikatakan

bahwa

semakin

terpenuhinya kebutuhan dan harapan seseorang maka semakin tinggi pula
tingkat kepuasan seseorang.
Ada empat karakteristik atau ciri-ciri orang yang bahagia menurut Myers
(1994) yang selalu ada pada orang yang memiliki kebahagiaan dalam
hidupnya, yaitu:
1. Menghargai diri sendiri
Orang yang bahagia cenderung menyukai dirinya sendiri. Mereka
cenderung setuju dengan pernyataan seperti “Saya adalah orang yang
menyenangkan”. Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang

yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk menyetujui
pernyataan seperti diatas.
2. Optimis

Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk optimis atau
pesimis, yaitu permanen (menentukan berapa lama seseorang menyerah)
dan pervasif (menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak
situasi). Orang yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki
penyebab permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga
mereka berusaha untuk lebih keras pada setiap kesempatan agar ia dapat
mengalami peristiwa baik lagi (Seligman, 2005). Sedangkan orang yang
pesimis menyerah di segala aspek ketika mengalami peristiwa buruk di
area tertentu.
3. Terbuka
Orang yang bahagia biasanya lebih terbuka terhadap orang lain. Penelitian
menunjukkan bahwa orang–orang yang tergolong sebagai orang extrovert
dan mudah bersosialisasi dengan orang lain ternyata memiliki
kebahagiaan yang lebih besar.
4. Mampu mengendalikan diri
Orang yang bahagia pada umumnya merasa memiliki kontrol pada
hidupnya. Mereka merasa memiliki kekuatan atau kelebihan sehingga
biasanya mereka berhasil lebih baik di sekolah atau pekerjaan.
Kebahagiaan mempunyai komponen-komponen tertentu. Komponenkomponen kebahagiaan bisa dikenali dari afektif dan kognitif. Diener (1985)
menyatakan bahwa happiness atau kebahagiaan mempunyai makna yang
sama dengan subjective wellbeing dimana subjective wellbeing terbagi atas
dua komponen didalamnya. Kedua komponen kebahagiaan menurut Diener
tersebut adalah:
1. Komponen afektif yaitu menggambarkan pengalaman emosi dari
kesenangan, kegembiraan dan emosi. Ditambahkan lagi oleh Diener

(1985) bahwa komponen afektif ini terbagi lagi atas afek positif dan afek
negatif.
2. Komponen kognitif yaitu kepuasan hidup dan dengan domain kehidupan
lainnya.
Komponen diatas didukung oleh Suh (dalam Carr, 2004) yang
menyatakan bahwa kegembiraan dalam hidup merupakan komponen afektif
dan kepuasan hidup merupakan komponen kognitif. Kemudian Suh juga
menambahkan bahwa komponen afektif tersebut terbagi menjadi dua
komponen yang saling bebas yaitu afek positif dan afek negatif. Selanjutnya
evaluasi kognitif yang saling tergantung pada kepuasan dalam variasi domain
seperti keluarga atau aturan kerja dan pengalaman-pengalaman kepuasan
lainnya.
Argyle dan Crosland (1987) berpendapat bahwa kebahagiaan terdiri
dari tiga komponen, yaitu frekuensi dari afek positif atau kegembiraan; level
dari kepuasan pada suatu periode; dan kehadiran dari perasaan negatif seperti
depresi dan kecemasan.
Aspek-aspek yang telah disebutkan oleh beberapa tokoh diatas sejalan
dengan dua komponen kebahagiaan menurut Rakhmat (2004) dimana
komponen kebahagiaan pertama adalah perasaan menyenangkan. Bahagia
adalah emosi positif, dan sedih adalah emosi negatif. Sedangkan komponen
kebahagiaan yang kedua adalah penilaian seseorang tentang hidupnya.
Perasaan kita sebut sebagai unsur afektif dan penilaian unsur kognitif.
D. Dinamika Kebahagiaan (Pencapaian kebermaknaan)
Meneurut Bastaman (1996) dalam proses perubahan dari penghayatan
hidup tak bermakna menjadi lebih bermakna dapat digambarkan tahapan-tahapan
pengalaman tertentu. Hal ini hanya merupakan konstruksi teoritis yang dalam
realitas sebenarnya tidak selalu mengikuti urutan tersebut (untuk mepermudah
pemahaman secara menyeluruh). Tahapan-tahapan ini dapat digolongkan menjadi
lima sebagai berikut :

1. Tahap Derita (peristiwa tragis, penghayatan tampa makna)
2. Tahap Penerimaan Diri (pemahaman diri, pengubahan sikap)
3. Tahap Penemuan Makna Hidup (penemuan makna dan penemuan tujuantujuan hidup)
4. Tahap Realisasi Makna (keikatan diri, kegiatan terarah untuk pemenuhan
makna hidup)
5. Tahap Kehidupan Bermakna (penghayatan bermaknaan, kebahagiaan)

Peristiwa tragis yang membawa kepada kondisi hidup tak bermakna dapat
menimbulakan kesadaran diri (self insight) dalam diri individu akan keadaan
dirinya dan membantunya untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi.
Gejala-gejala utama penghayatan hidup tak bermakna, individu dapat merasa
hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidup tak berarti, serba
bosan dan apatis. Kebosanan (boredom) adalah ketidakmampuan seseorang umtuk
membangkitkan minat, sedangkan apatis ( apality) merupakan ketidakmampuan
untuk mengambil prakarsa. Penghayaran-penghayatan tersebut menurut Frankl
(1973), mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tetapi terselubung (Masked)
dibalik bebrbagai upaya kopensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa
(the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan seksual (the will to
sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya
(the will to money). Dengan kata lain perilaku dan kehendak yang berlebihan itu

biasanya menutupi penghayatan hidup tanpa makna.
Munculnya kesadaran diri ini dapat didorong karena berbagai macam
sebab seperti perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan
dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari pengalaman orang lain atau
memahami peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah sikap selama ini.
Bersamaan dengan ini individu dapat menyadari adanya nilai-nilai kreatif,
pengalaman maupun sikap yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup. Atas
dasar pemahaman diri dan penemuan makan hidup ini timbul perubahan sikap
(changing attitude) dalam menghadapi masalah. Setelah individu berhasil

menghadapi masalahnya, semangat hidup dan gairah kerja meningkat, kemudian
secara sadar melakukan keikatan diri (self commitment) untuk melakukan berbagai
kegiatan terarah untuk memenuhi makan hidup yang ditemukan. Kegiatan ini
biasanya berupa pengalaman bakat, kemampuan, keterampilan dan berbagai
potensi positif lainya yang sebelumnya terabaikan. Bila tahap ini pada akhirnya
berasil dilalui, dapat dipastikan akan menimbulkan perubahan kondisi hidup yang
lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna dengan
kebahagiaan. (Bastaman,1996). Dari gambaran diatas jelas bahwa penghayatan
hidup bermakna merupakan gerbang ke arah kepuasan dan kebahagiaan hidup.
Hanya dengan memenuhi makna-makna potensial yang ditawarkan oleh
kehidupanlah, penghayatan hidup bermakan tercapai dengan kebahagiaan sebagai
ganjarannya.

Referensi
Argyle, M. & Crossland, J. (1987). Dimensions of positive emotions. The British
Journal of Social Psychology, 26, 127-137.
Bastaman, HD (1996). Meraih hidup bermakna: kisah pribadi dengan pengalaman
tragis.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/02%20Ilham,%20Perbedaan%20Tingkat
%20Kebermaknaan%20Hidup%20Remaja%20Akhir.pdf
Biswas, M.A., Diener, E.D & Dean, U (2007) Personality, Culture, and Subjective
Well-Being: Emotional and Cognitive Evaluations of Life. Annual Revision
Psychological Journal. Vol. 54; page: 403–25
Carr, W (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human
Strengths.Journal of Philosophy of Education . Volume 38, Issue 1, p:55–73.
Diener, ED (1985). Life Satisfaction and Religiosity in Broad Probability
Samples. Journal of Psychological Inquiry, Vol. 13, p: 206-09.
Diener, ED (2007). Personality, Culture, and Subjective Well-Being: Emotional
and Cognitive Evaluations of Life. Annual Revision Psychological Journal.
Vol. 54; page: 403–25
Frankl, V.E (1973). The meaning of meaninglessness: A challenge to
psychotherapy. American Journal of Psychoanalysis, Vol: 32, page: 85-89.

Furnham (2008). Psychological well-being: Meaning, measurement, and
implications
for
psychotherapy
research.
Psychotherapy
and
Psychosomatics, 65, 14-23.
Kim, I.J.K dan Park, P.Y (2006). The role of culture, family processes, and anger
regulation in Korean American adolescents’ adjustment problems. American
Journal of Orthopsychiatry, Vol: 80, p: 258-266.
Kosasih, (2002). Metabolisme Energi Tubuh dan Olah Raga. Jurnal Olah Raga .
Volume
1
Nomor
07,
Sitasi
8
Nopember
2011,
dari
http://www.pssplab.com/
Myers, H.S (1994). A measure of subjective happiness: Preliminary reliability
and construct validation. Social Indicators Research , Vol: 46, p: 137-155
Rusydi, A.C. (2007). Analisis faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Artikel
http://www.af.uinsgd.ac.id/wpilmiah.
Diambil
dari
content/uploads/2013/05/53-60manusia-dan-kebahagian-dilah.pdf
Seligman, M.E.P (2005). Positive Psychology Progress: Empirical Validation of
Interventions. Psychological Science, 7, 186-189.
Triandis (2000). Goal adjustment capacities, coping, and subjective well-being:
the sample case of caregiving for a family member with mental illness.
Journal of Personality and Social Psycholpgy. Vol: 100(5); p: 934-46.
Uchida, C dan Tor-Anyiin, SA (2004). Psychosocial effects of retirement on
retirees: Implication for pre-retirement conselling in Nigeria. A paper
presented at the 28th Annual National Conference of Counselling
Association of Nigeria. Maiduguri. Diambil pada tgl. 10 Oktoberr 2013 dari:
http://www.unilorin.edu.ng/publications/idowuade/Prof.%20Idowu's%20Pa
per.pdf
Veenhoven, K.J (2006). Orientations to happiness and life satisfaction: The full
life versus the empty life. Journal of Happiness Studies. Vol. 14, page: 141146.