PUISI SUKMAWATI KEJUJURAN DAN KESETIAAN.

PUISI SUKMAWATI, KEJUJURAN, DAN KESETIAAN
Oleh Aprinus Salam
Dosen Pasca Sarnana FIB UGM
Sehari setelah puisi yang viral itu, saya dihubungi dan diwawancarai wartawan
dengan tiga pertanyaan. Bagaimana mutu puisi itu, maksudnya puisi “Ibu
Indonesia”. Kedua, apakah puisi itu menistakan agama. Ketiga, dan ini yang paling
menarik, seberapa berbahaya karya sastra, khususnya puisi. Sebetulnya saya tidak
cukup gembira mendapat pertanyaan seperti itu. Itu pertanyan yang sangat berat.
Namun, saya merasa tetap perlu menjawab.
Saya sudah cukup lama tidak memakai pendekatan untuk menghakimi karya sastra,
atau khususnya puisi, untuk dinilai baik buruknya. Saya tidak punya kriteria dan
pengetahuan yang cukup tentang bagaimana menilai sebuah puisi baik atau buruk.
Itu persoalan yang sangat subjektif. Pemandangan matahari yang sedang
terbenam, mungkin secara universal (objektif) akan banyak yang mengatakan
bahwa itu pemandangan yang indah. Akan tetapi, jika seseorang tidak sepakat
terhadap keindahan tersebut, kita tidak bisa melarangnya.
Banyak orang yang mengatakan bahwa puisi si Fulan itu indah dan menyenangkan.
Hal itu dengan pembuktian bahwa diksi, susunan morfologis dan sintaksisnya
membuat banyak orang terharu dan kagum. Akan tetapi, pendapat banyak orang
tersebut tidak membatalkan seseorang yang mengatakan bahwa puisi si Fulan itu
biasa-biasa saja, atau tidak bagus. Tidak ada sesuatu yang akurat. Sesuatu menjadi

akurat tergantung perasaan dan nurani seseorang ketika seseorang itu berhadapan
dengan objek tertentu.
Saya juga merasa tidak pernah mendapat mandat untuk menjadi “penguasa sastra”
sehingga saya tidak punya wewenang untuk menilai dan memutuskan baik
buruknya puisi. Saya merasa ada arogansi dalam diri saya jika mengatakan bahwa
sebuah puisi itu buruk. Secara pribadi mungkin saya punya hak, tetapi lebih baik
hak pribadi tersebut tidak pernah saya ambil.
Hal yang perlu dipahami adalah sastra mengajarkan kesederajatan. Dalam
bersastra, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada itu
penguasa sastra, tidak juga kekuasaan itu dimiliki penyair atau sastrawan. Setiap
orang berhak menulis dan membacakan puisinya. Seperti sama halnya setiap orang
juga berhak mengapresiasi sastra, tetapi tidak dalam posisi sebagai penguasa
sastra, dan tidak dalam rangka menjadi hakim. Tidak ada mandat untuk menjadi
hakim sastra.
Jadi, siapapun berhak berekspresi dalam sastra dengan resiko diapresiasi dalam
berbagai cara. Kadang kita terjebak dalam subjektivitas “ideologis” tertentu untuk

menghakimi sebuah karya seni dan sastra. Jika itu yang terjadi, maka sebetulnya
yang menjadi masalah adalah adanya kontestasi ideologis. Ada yang merasa paling
benar, dan yang lain salah. Perasaan merasa paling benar, itu bukan masalah puisi,

itu masalah dalam diri kita. Banyak hal dari pengetahuan ideologis kita yang justru
memanipulasi dan menutup diri kita terhadap sesuatu Kenyataan, suatu Kebenaran.
Perlu dipahami, Kenyataan atau Kebenaran itu tidak pernah terjangkau, kita tidak
mengetahuinya. Kita adalah pejalan yang bersama-sama berjalan menuju
Kenyataan atau Kebenaran. Perjalanan itu bukan kebenaran. Kita cuma bisa
berusaha bersama-sama, mungkin dengan cara dan jalan yang berbeda, tetapi
intinya sama, bersama berjalan menuju Kenyataan atau Kebenaran.
Hal-hal yang kita lewati dalam kehhidupa kita itu tidak lebih sebagai dugaan tentang
jalan yang kita anggap benar, tapi, sekali lagi bukan Kebenaran itu sendiri. Kita
berhak untuk meyakini bahwa apa yang kita usahakan sebagai kebenaran. Akan
tetapi, keyakinan itu tidak bisa menggugurkan keyakinan orang lain.
Persoalan yang kita hadapi bukan menghakimi puisi itu baik atau jelek, tetapi
bagaimana membongkar makna yang tersembunyi dalam puisi tersebut. Untuk itu
saya mengutipkan puisi tersebut.
Ibu Indonesia
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah

Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu
Indonesia dan kaumnya.
Dalam batas tertentu saya mencoba menafsirkan secara subjektif dan dengan gaya
bebas. Ibu Indonesia, frasa ini untuk menyebut semua wanita Indonesia, yang
secara substansial akan menjadi Ibu dan yang telah Ibu. Ibu adalah status yang
sangat terhormat. Ibu adalah wanita yang melahirkan dan memiliki anak. Kita
semua memiliki Ibu, dan kita sangat mencintai Ibu Kita.
Saya tak tahu syariat Islam. Ini tentu lebih sebagai satu sikap rendah hati. Sebagai
seseorang yang dibesarkan secara Islam oleh dan dalam keluarga Islam, tentulah
sedikit banyak penulis puisi (Dia/Sukmawati) tahu syariat Islam, paling tidak dalam
pengertian dan batas minimal. Akan tetapi, dia merasa pengetahuan syariah
Islamnya sangat sedikit sehingga Dia merasa lebih cocok untuk mengatakan tak
tahu syariat Islam. Dugaan Dia merasa, adalah dugaan perasaan saya terhadap
Sukmawati. Saya merasa perasaan merupakan satu dimensi dugaan yang presisif.
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah/ Lebih cantik dari cadar
dirimu. Pernyataan itu memang sedikit riskan karena Dia melakukan perbandingan
terhadap bagian dan/atau kelengkapan pakaian (penutup tubuh). Sari (kain untuk

wanita), dan konde (gelung/sanggul), merupakan bagian dari “perlengkapan”
pakaian tradisional Ibu Indonesia. Dia membayangkan ada sosok wanita tradisional
Indonesia dengan kelengkaan sandang seperti itu. Cadar, dalam puisi ini, kemudian,
dianggap bukan pakaian atau atribut tradisional Ibu Indonesia.
Tentu Dia tidak cukup pantas membandingkan kedua hal tersebut, karena dia
melakukan penilaian subjektif. Sebetulnya dia tidak punya otoritas untuk itu. Akan
tetapi, pelanggaran terhadap otoritas yang tidak Dia miliki bukan kesalahan hukum.
Di balik itu, tetap saja ada hal penting dlam pernyataan itu, bahwa Dia telah
bersikap jujur. Ada pertanyaan yang ingin saya tunda, apakah seseorang tidak boleh
bersikap atau berkata jujur?
Gerai tekukan rambutnya suci/ Sesuci kain pembungkus ujudmu/ Rasa ciptanya
sangatlah beraneka/ Menyatu dengan kodrat alam sekitar/ Jari jemarinya berbau
getah hutan/ Peluh tersentuh angin laut. Pernyataan tersebut sebagai kekaguman

terhadap rambut Ibu Indonesia yang tergerai dan gerainya merupakan
tekukan/gerakan yang indah. Gerai rambut itu setara dengan ujudmu (Ibu
Indonesia) yang dibungkus kain. Pembungkus kain itu diciptakan dengan rasa yang
beraneka, beragam bentuknya.
Hal yang lebih penting cara itu adalah sesuatu yang sesuai dengan kondisi alam
Indonesia. Jari Ibunda Indonesia berbau getah, karena Ibu Indonesia itu bekerja dan

bersentuhan dengan tanaman dan pepohonan Indonesia. Ibu Indonesia juga orang
yang bekerja dan berpeluh. Sebagai negeri yang dikelilingi laut, sangat mungkin Ibu
Indonesia sangat akrab dengan angin laut.
Lihatlah ibu Indonesia/ Saat penglihatanmu semakin asing/ Supaya kau dapat
mengingat/ Kecantikan asli dari bangsamu/ Jika kau ingin menjadi cantik, sehat,
berbudi, dan kreatif/ Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia. Pernyataan ini
memberi informasi kepada Ibu Indonesia jika Ibu Indonesia semakin asing dengan
hal-hal yang dia lihat. Kita tahu bahwa saat ini banyak orang Indonesia hidup tidak
lagi sesuai dengan budaya aslinya. Kita tahu bahwa saat ini banyak orang yang
berpakaian tidak lagi seperti yang telah dicontohkan oleh tradisinya. Kemudian, Dia
mengingatkan bahwa bangsamu memiliki kecantikan yang asli. Kecantikan berbasis
budaya asli itu menjadikan sehat, berbudi dan kreatif. Dia justru ingin mengatakan
bahwa mari kembali ke budaya asli kita, bumi Ibu Indonesia.
Aku tak tahu syariat Islam/ Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah
elok/ Lebih merdu dari alunan azan mu. Ini pernyataan pengulangan dan
penekanan. Sekali lagi, ini memang kurang pantas. Akan tetapi, kembali dia
menyatakan kejujurannya bahwa kidung (nyanyian) Ibu Indonesia sangatlah elok.
Bahwa kemudian dia membandingkan dengan suara azan memang tidak pas,
karena suara azan bukan kidung. Kesamaannya adalah sama-sama mengeluarkan
suara. Kita tahu, bahwa banyak suara azan yang merdu, tetapi kita juga tahu cukup

banyak suara azan yang kurang merdu.
Dia melakukan perbandingan yang kurang pantas dan tidak cukup pas, tetapi perlu
dilihat keseluruhan puisi. Bahwa, Gemulai gerak tarinya adalah ibadah/ Semurni
irama puja kepada Illahi/ Nafas doanya berpadu cipta/ Helai demi helai benang
tertenun/ Lelehan demi lelehan damar mengalun/ Canting menggores ayat ayat
alam surgawi. Bahwa Dia juga punya keyakinan bahwa gerakan tari, gerakan hidup,
nafasnya, helai demi helai benang tertentu (sari) adalah setara dengan pujian
kepada Illahi. Tenunan itu kemudian diberi motif oleh damar. Lelehan damar yang
memberi motif, yang digores oleh canting setara dengan ayat-ayat alam surgawi. Ini
keyakinan Dia. Suatu keyakinan yang begitu setia dan budayanya sendiri.
Pandanglah Ibu Indonesia/ Saat pandanganmu semakin pudar/ Supaya kau dapat
mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu/ Sudah sejak dahulu kala riwayat
bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya. Sekali

lagi, Dia meminta Ibu Indonesia untuk melihat berbagai hal yang terjadi secara
eksternal dalam kehidupannya. Dia berpendapat bahwa banyak Ibu/wanita
Indonesia pandangannya tidak lagi cukuk jelas/semakin pudar. Banyak wanita
Indonesia yang hidupnya tidak menjadi dirinya sendiri, diri wanita Indonesia.
Padahal, jika pandanganmu tidak pudar, cukup jelas dalam melihat segala
sesuatunya, maka kau dapat melihat kemolekan sejati bangsamu. Sudah sejak

dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan
kaumnya.
Dalam kesetian terhadap budaya bangsanya sendiri, inilah yang saya sebut bahwa
Dia hidup dalam satu faksi kesetiaan berbasis budayanya sendiri, kesetiaan
terhadap budaya dan tradisi bangsanya. Mungkin setiap dari kita memiliki kesetiaan
juga, baik setia terhadap agama kita sendiri, setia terhadap kemodernan, setia
terhadap pernikahan atau terhadap istri/suami sendiri, setia terhadap janji-janji
tertentu, dan berbagai kesetiaan lainnya. Saya menghormati Dia yang setia
terhadap tradisi dan budaya bangsanya. Dalam kesetiaan tersebut, tentu saja kita
harus menghormati masyarakat yang mungkin tidak bersetia terhadap tradisi dan
budaya Indonesia.
Persoalannya, apakah jika Dia melakukan perbandingan terhadap satu simbol
keagaman (khususnya Islam) Dia melakukan penistaan? Penistaan adalah
pernyataan yang menjelek-jelekan atau menghina. Suatu pernyataan penghinaan
yang tidak beralasan dengan mengatakan bahwa simbol keagamaan tersebut buruk.
Akan tetapi, Dia tidak bermaksud mengatakan itu, karena yang dikatakannya adalah
sesuatu yang, dalam keyakinannya, ada sesuatu yang lebih elok/indah. Dan yang
elok/indah itu adalah pakaian, asesoris rambut, kidung, gerak laku, dan kepribadian
yang khas sesuai dengan tradisi dan budayanya sendiri. Kalau dia membandingkan
simbol keagamaan dengan sesuatu yang secara nilai dan substansi memang hal

buruk, maka pernyataan tersebut adalah penistaan.
Dia tentu merasa tidak nyaman mengatakan itu, tetapi Dia harus berkata jujur
sesuai dengan hati nuraninya. Puisi bisa menjadi ajang yang paling cocok dalam
mengekspresikan hati nurani. Di dalam kejujuran, tidak terdapat penghinaan.
Kejujuran justru merupakan salah satu jalan menuju Kebenaran. Saya juga seorang
Islam, tetapi saya menghormati kejujuran Dia.
Saya justru sedikit kecewa bahwa Dia, Sukmawati, justru meminta maaf. Hal itu
mengindikasikan bahwa kejujuran telah menjadi sesuatu yang semakin tidak kita
sukai. Kejujuran menjadi sesuatu yang memalukan. Justru ketika Dia meminta maaf,
hancurlah kejujuran itu. Bukan hanya kejujuran yang leleh, tetapi hancur pula
contoh kesetiaan.

Dulu, pada masa negara otoriter dan tiranik, negara melarang rakyatnya untuk
berkata jujur, terutama seperti yang disampaikan dalam karya sastra. Itulah
sebabnya, terdapat sejumlah karya sastra yang dilarang. Bahkan beberapa
sastrawan pernah masuk penjara. Bahan ada penyair yang dihilangkan oleh negara.
Sekarang jika saya menghakimi Sukmawati dengan sewenang-wenang, maka yang
tiranik dan otoriter adalah saya. Saya telah melarang berbagai bentuk ekspresi jujur,
walau ekspresi yang disampaikan itu pahit. Sampaikanlah sesuatu secara jujur
walau itu menyakitkan. Substansinya kejujuran harus dilindungi,

Puisi memang menjadi berbahaya justru ketika puisi tersebut muncul dari
seseorang yang berprofesi ganda, karena orang tersebut memiliki modal sosial,
ekonomi, budaya, dan simbolik yang lebih besar dan tersebar. Bukan persoalan
apakah Dia dan puisinya itu legitimatif atau tidak, tetapi justru dari efek profesi
gandanya itu sendiri. Puisi dari “ruang antara” berpeluang besar mengintervensi
berbagai wacana yang telah mapan. Inilah yang sedang terjadi.
Jika puisi tersebut muncul dari seseorang yang “murni seniman”, “murni penyair”,
mungkin heboh puisi tersebut tidak akan demikian. Persoalannya, apakah seniman
atau sastrawan murni akan memiliki keberanian dalam kejujurannya? Ini masalah
yang kita hadapi bersama. * * *