JENDER DAN HUKUM KEBIASAAN DALAM MASYARA

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
________________________________________________________________________

TUNTUTAN KESETARAAN JENDER
DAN NORMA KEBIASAAN MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA

Hanna Adistyana Hefni
B10015138

Diampu oleh
Yulia Monita S.H.,M.H

JAMBI
2017

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia disebut merupakan negara multikultural, hal ini karena

Indonesia memiliki masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan
agama. Di antara suku Melayu Jambi, Jawa, Batak, Sunda, dan agama Islam,
Katolik, Kong Hu Cu serta masih banyak lagi.
Dari berbagai keberagaman suku dan agama tersebut, masing-masingnya
memiliki kebudayaan, adat istiadat, dan norma kebiasaan. Seperti misalnya
dari adat Jawa, ada norma kebiasaan yang mengatakan bahwa lelaki pamali
atau tidak boleh atau tidak baik untuk berada di dapur dan mengerjakan
pekerjaan yang seharusnya (menurut norma kebiasaan adat Jawa) dilakukan
oleh perempuan. Hal ini tentunya bertentangan dengan apa yang saat ini
sedang digembar-gemborkan oleh kaum feminis, pembela kesetaraan jender,
yang menganggap bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan
kesempatan yang sama dalam berbagai bidang.
Dilihat dari contoh di atas, terjadi benturan dan ketidaksesuaian dalam hal
melihat peranan laki-laki dan perempuan pada kehidupan sehari-hari antara
norma kebiasaan yang dianut oleh masyarakat adat dan kaum feminis.
Jender sendiri pada dasarnya tidak dapat disamakan dengan jenis kelamin.
Karena, jender merupakan bentuk peran seorang individu di lingkungannya

dan masyarakat, tanpa melihat jenis kelaminnya. Sementara, jenis kelamin
merupakan suatu pembeda secara biologis yang sifatnya kodrati yang dimiliki

seorang individu sejak lahir.
Untuk itu, penulis akan membahas mengenai apa sebenarnya yang
dimaksud

kesetaraan

menyeimbangkan

hak

jender,
dan

dan

peran

bagaimana
suatu


jender

individu

dalam

seharusnya
kehidupan

bermasyarakat dari perspektif norma kebiasaan masyarakat adat di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah makna kesetaraan jender yang sebenarnya?
2. Bagaimana yang dimaksud
kesetaraan jender menurut norma
kebiasaan dalam masyarakat adat?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
Manfaat secara teoretis, agar pembaca lebih mengetahui apa maksud
dan tujuan sebenarnya dari gerakan atau tuntutan kesetaraan jender

tersebut. Tidak lain agar masyarakat tidak salah mengartikan apa yang
diinginkan dari tuntutan kesetaraan jender tersebut adalah untuk
memberikan kesempatan dan hak yang sama bagi semua individu
tanpa

memandang

jenis

kelamin

masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

untuk

berkontribusi

dalam


Masalah mengenai jender menjadi perbicangan hangat dalam beberapa
tahun terakhir, khususnya jika berbicara mengenai kontribusi perempuan dalam
bidang-bidang tertentu yang biasanya dilakoni oleh kaum laki-laki.
Hal ini menimbulkan banyak pro dan kontra. Ada yang merasa bahwa
perempuan seharusnya juga boleh melakukan pekerjaan sebagaimana yang
dilakukan oleh laki-laki, namun ada pula yang menganggap bahwa apa yang
selama ini sudah diterapkan dalam masyarakat adalah benar adanya dan tidak
seharusnya diubah dengan alasan kesetaraan jender seperti yang digaungkan oleh
kaum feminis.
Di Indonesia sendiri, kesetaraan jender mulai menjadi perhatian khusus
oleh pemerintah. Salah satu bentuk perhatian tersebut adalah dengan disahkannya
suatu regulasi mengenai angka persentase kontribusi perempuan di kursi panas
parlemen Indonesia, yang diatur pada pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, yang menyatakan
bahwa daftar bakal calon yang disusun partai politik memuat paling sedikit 30%
keterwakilan perempuan.
Selain itu, yang terbaru adalah dikabulkannya permohonan uji materiil
oleh Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang

diajukan oleh warga Yogyakarta sendiri, yang terdiri dari aktivis perempuan,
pengusaha kecil/menengah, dan Abdidalem Ngayogyakarta. Yang mana pasal

tersebut mengatur mengenai persyaratan formil bagi calon Gubernur dan calon
Wakil Gubernur DIY.
Pasal tersebut berbunyi, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur
adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat
menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan,
pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak”, di mana menurut pemohon, frasa
‘istri’ pada pasal tersebut menutup kemungkinan bagi perempuan untuk menjadi
Gubernur atau Wakil Gubernur DIY.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa tuntutan kesetaraan jender justru
menimbulkan ketidaksesuaian terhadap norma kebiasaan adat istiadat yang dianut
oleh masyarakat. Dikarenakan, dalam adat istiadat dan norma kebiasaan
masyarakat Yogyakarta, yang menjadi Gubernur adalah Sultan atau raja dari
Keraton Ngayogyakarta tersebut. Hal ini dipertegas pula oleh pasal 1 angka 4 UU
KDIY yang berbunyi,
“Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut
Kesultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung
secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan

Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama
Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono.”

Dan pada pasal 1 angka 9 UU KDIY yang berbunyi, “Gubernur DIY, selanjutnya
disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah DIY yang karena jabatannya juga
berkedudukan sebagai wakil Pemerintah.”
Artinya, jelas sudah bahwa tuntutan kesetaraan jender tidak dapat
diterapkan dalam segala aspek, apalagi jika hal tersebut mulai menyinggung pada
norma kebiasaan yang hidup dalam masyarakat adat. Yang mana, norma kebiasaan
tersebut sudah hidup secara turun-temurun dalam masyarakat, selain itu tentunya
leluhur memiliki pertimbangan tersendiri mengenai pemberlakuan norma
kebiasaan tersebut dalam masyarakat.
Perlu kita ketahui pula, bahwa makna dan tujuan dari gerakan kesetaraan
jender itu sendiri adalah untuk tercapainya penghapusan diskriminasi berdasarkan
jenis kelamin seperti yang kerap ditemui pada lingkungan masyarakat tertentu.
Contoh sederhananya adalah pada masyarakat desa yang kebanyakan
menganggap pendidikan tidak begitu penting bagi kaum perempuan. Mereka
cenderung mengawinkan anak perempuan dengan laki-laki dewasa yang kaya,
tanpa melihat dari aspek kesehatan apakah si anak sudah cukup usianya untuk

melakukan perkawinan, dan apakah si anak mampu secara mental untuk
menghadapi kehidupan perkawinan. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian
bagi kaum feminis, yaitu untuk ‘menyadarkan’ masyarakat mengenai hal-hal
tertentu, seperti contoh di atas, bahwa pendidikan merupakan hak dan nilai
penting baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Maka dari itu, dalam melaksanakan gerakan kesetaraan jender, perlulah
bagi kita untuk memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kesetaraan
tersebut. Bukanlah bentuk gerakan untuk membuat seorang perempuan dapat
bertindak seperti laki-laki atau laki-laki dapat berlaku seperti perempuan, tetapi
adalah untuk membuat apa yang timpang menjadi seimbang.
Pun dalam hal berpolitik, bukanlah memberikan ruang untuk perempuan
agar dapat berkontribusi, namun yang diperlukan adalah kesadaran, bahwa kiprah
perempuan pada parlemen juga dibutuhkan. Dengan begitu, tanpa harus adanya
regulasi yang mengatur mengenai kontribusi perempuan pada kursi panas
parlemen, perempuan akan berkiprah pada ranahnya sendiri di dunia perpolitikan.

BAB III
KESIMPULAN
Secara biologis, manusia dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya menjadi

dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut juga ditunjukkan dengan
bentuk fisik, keadaan psikologi, dan kekuatan fisik yang berbeda pula. Di mana
laki-laki secara fisik lebih kuat dibanding perempuan dan secara psikologi
dikatakan, laki-laki lebih menggunakan rasionalitasnya, sementara perempuan
menggunakan perasaan.
Namun, perbedaan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi perempuan
agar dapat berperan sama baiknya sebagaimana laki-laki berperan dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang diharapkan oleh kaum pembela
kesetaraan jender.
Hanya saja, tuntutan kesetaraan jender yang digaungkan kaum feminis
justru terkesan menyamakan peran, bukanlah menyeimbangkan. Padahal
seharusnya, kaum feminis melihat apa makna dan tujuan utama dari gerakan
tersebut. Bahwa yang diinginkan bukanlah menggantikan atau menyamakan,
namun menyeimbangkan ketimpangan peran dan hak antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat.
Perlu diketahui, bahwa dapat berperan sama baiknya, bukan berarti dapat
menggantikan peran tersebut secara utuh dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi
jika kita menimbang juga berdasarkan norma kebiasaan dan adat istiadat yang

hidup dalam masyarakat. Ini menunjukkan, bahwa tuntutan kesetaraan jender

tidak dapat diterapkan dalam segala aspek.
Maka dari itu, perlu bagi kita untuk jeli dan memahami benar apa yang
dimaksud kesetaraan jender, agar tercapai kesesuaiannya terhadap norma
kebiasaan serta adat istiadat yang hidup dalam masyarakat. Sehingga, apa yang
diharapkan terwujud dengan baik dan tidak berbenturan dengan norma kebiasaan
yang dianut masyarakat adat.