jiptummpp gdl mohammadar 50354 2 babi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara besar yang mempunyai perjalanan panjang
dalam hal ketatanegaraan setelah Indonesia merdeka. Sejarah mencatat bahwa
terdapat 3 periode kekuasaan atau orde, yaitu pada Orde Lama atau awal
kemerdekaan dimana kondisi Negara masih dalam tahap pembenahan dan
penyusunan ketatanegaraan, Orde Baru yang ditandai dengan pergantian
kekuasaan presiden karena sebab-sebab perpolitikan negara, dan Orde
Reformasi sebagai masa puncaknya perubahan ketatanegaraan Indonesia.
Setiap masa atau orde selalu terdapat gejolak perubahan terkait dengan sistem
ketatanegaran yang terus berlangsung untuk mencapai tujuan negara.
Gejolak perubahan tersebut identik dengan masing-masing orde
kekuasaan. Hingga titik puncaknya pada pertengahan 1997 hingga tahun 1998
Indonesia dilanda krisis moneter. Pemerintahan waktu itu yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto sebagai pemegang kekuasaan orde baru untuk kali ketujuh
menjadi sasaran dan target utama untuk diruntuhkan atau dilengserkan. Aksi
protes, demonstrasi, dan gerakan sosial marak dilakukan oleh berbagai
komponen masyarakat terutama mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia1.
Gerakan dan aksi sosial yang dipelopori oleh mahasiswa tersebut
menuai hasil, pada tanggal 21 Mei 1998 secara resmi Soeharto mengundurkan


1

Nordholt, Henk Shculte & Irwan Abdullah, 2002, Indonesia: In Search of Transition.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 3.

1

diri, dan berdasarkan ketentuan konstitusi2 secara otomatis tampuk kekuasaan
beralih kepada B. J. Habibie selaku Wakil Presiden.3 Peristiwa ini juga sebagai
tanda lahirnya Reformasi. Reformasi merupakan harapan bagi segenap
masyarakat untuk mengadakan perubahan menuju penyelenggaraan Negara
yang demokratis, transparan, akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good
governance dan adanya kebebasan berpendapat.

Hal tersebut dipandang penting dalam mendekatkan bangsa ini pada
pencapaian tujuan nasional seperti dalam amanat Pembukaan UUD 1945. Ada
beberapa tuntutan reformasi yang dianggap mendesak pada saat itu, diantaranya
adalah amandemen UUD 1945. Tuntutan perubahan UUD 1945 didasarkan
pada pandangan bahwa dalam UUD 1945 belum cukup memuat landasan bagi

kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM.
UUD 1945 sebelum perubahan merupakan sebuah UUD yang menimbulkan
multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter,
sentralistik, tertutup dan KKN yang menimbulkan kemerosotan kehidupan
nasional di berbagai bidang kehidupan4.
Amandemen UUD 1945 dilakukan empat kali, berturut-turut tahun
1999, 2000, 2001, dan 2002. Keseluruhan amandemen tersebut mencakup 75
pasal dilakukan dengan mengikuti bentuk adendum atau sistem amandemen

2
Dalam pasal 8 UUD 1945 (sebelum amandemen) disebutkan bahwa “Jika Presiden
mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh
Wakil Presiden sampai habis waktunya”.
3
Willem Oltmans, 2001, Chaos in Indonesia , (terjemahan Wahjoedi Marjono, Surya Multi)
Jakarta: Grafika, halaman 7.
4
MPR RI, 2003, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945 , Sekretariat Jendral
MPR RI: Jakarta, halaman 6.


2

Konstitusi Amerika Serikat, yakni bagian yang diamandemen merupakan atau
menjadi bagian dari konstitusi UUD 19455.
Setiap fase perubahan undang-undang tersebut mempunyai masingmasing konsekuensi, yang paling terasa adalah berubahnya sistem politik
ketatanegaraan, diantaranya adalah perubahan sistem kelembagaan Negara dari
sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara,
dengan beberapa tugas dan kewenangan menurut UUD 1945 (sebelum
amandemen) adalah :
1. Menetapkan Undang Undang Dasar (pasal 3)
2. Menetapkan GBHN (pasal 3)
3. Memilih presiden dan wakil presiden (pasal 6)
4. Mengambil sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden (pasal 9)
5. Mengubah Undang Undang Dasar (pasal 37)
Kemudian kewenangan tersebut di perjelas dalam Tap MPR Nomor 1
Tahun 1978 tentang peraturan tata tertib MPR disebutkan lebih luas tugas dan
kewenangan MPR6. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi bergeser
menjadi MPR sebagai lembaga tinggi negara, sejajar dengan lembaga tinggi
Negara lainnya seperti Presiden, DPR, dan MA. Pasca amandemen UUD 1945,
MPR sebagai lembaga permusyawaratan adalah tempat bertemu dua lembaga

legislatif DPR dan DPD yang memiliki dua wewenang7. Pertama, wewenang
terhadap UUD (mengubah dan menetapkan UUD). Kedua wewenang terhadap

5

Taufiqurrohman Syahuri, 2010, Metode Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Perbandingannya dengan Konstitusi di Beberapa Negara , Jurnal Hukum Nomor 4 Vol. 17, Oktober
2010, halaman 527.
6
Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: PT Asdi
Mahastya, halaman 107.
7
Lihat pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3

Presiden (melantik dan memberhentikan Presiden). Sedangkan kewenangan
untuk menetapkan GBHN tidak lagi ada, hal ini juga kemudian berimplikasi
kepada MPR tidak lagi berwenang untuk membentuk ketetapan MPR yang
sifatnya mengatur. Padahal di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kembali menempatkan
ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Perubahan UUD 1945 yang tujuannya menciptakan keharmonisan
dalam sistem ketatanegaraan dengan mengedepankan prinsip check and
balances tentu menjadi point penting. Dalam hal kekuasaan Negara yang

dipisahkan antar masing-masing lembaga negara. Gagasan fundamental yang di
adopsi dalam perubahan UUD 1945 adalah anutan prinsip pemisahan kekuasaan
(separation of power ) dengan segala implikasi sebagai ganti dari prinsip
pembagian kekuasaan (division atau distribution of power ) yang berlaku
sebelumnya dalam sistematika UUD 19458. Tujuan yang hendak dicapai dari
adanya pemisahan kekuasaan ini untuk menciptakan keharmonisan lembagalembaga Negara dalam tatanan struktur ketatanegaraan.
Pemisahan kekuasaan (separation of power ) sebagai bentuk dari hasil
perubahan UUD 1945 yang menghendaki adanya check and balances antar
lembaga Negara. Sistem pemerintahan yang dianut Indonesia pada masa
perubahan tersebut adalah presidensial dengan adanya sistem yang didasarkan
atas asas pemisahan kekuasaan. Artinya, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

8


Jimly Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar
Grafika, halaman 16.

4

yudikatif secara prinsip satu sama lain terpisah9. Hal ini sejalan dengan konsep
Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu dengan membagi

kekuasaan pemerintah dalam tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik
mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang
menyelenggarakannya. Kekuasaan legislatif (rule making function) merupakan
kekuasaan negara dalam membentuk undang-undang. Kekuasaan eksekutif
(rule application function) merupakan kekuasaan Negara untuk menjalankan

undang-undang. Sedangkan kekuasaan yudikatif (rule adjudication function)
merupakan kekuasaan negara untuk mengadili atas pelanggaran undangundang10.
Pada hakikatnya, Trias Politica menghendaki kekuasaan-kekuasaan
tersebut sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Kemudian menjadi

sebuah dilema ketika MPR setelah perubahan UUD 1945 ini yang
keanggotaanya terdiri dari DPR dan DPD, dengan DPR dan Presiden yang
mempunyai kekuasaan legislatif karena berwenang untuk membentuk undangundang. Sedangkan untuk MPR masih belum jelas sebagai lembaga apa. karena
kewenangan untuk membuat sebuah peraturan perundang-undangan atau
ketetapan yang bersifat mengatur (regelling) sudah tidak lagi dimiliki oleh
lembaga tinggi Negara tersebut.

9

Sri Soemantri, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
halaman 210.
10
Romi Librayanto, 2008, Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia , Makasar
: PUKAP, halaman. 18-19

5

Harun Al Rasyid menegaskan bahwa TAP MPR tidak bisa dijadikan
sebagai peraturan perundang-undangan atau memuat hal-hal yang bersifat
regeling (pengaturan). Lebih lanjut menurut Harun Al Rasyid, ketetapan MPR


boleh saja ada, tetapi ia bukan peraturan perundang-undangan (regelling)
melainkan sebatas penetapan (beschikking). Pandangan tersebut kemudian
diterima dan dimasukkan kedalam amandemen UUD 194511. Sedangkan apakah
yang dimaksud oleh Montesqiueu dengan kekuasaan legislatif tersebut? Apakah
kekuasaan legislatif hanya merupakan kekuasaan untuk membentuk undangundang saja? Apakah kemudian kewenangan untuk mengubah dan menetapkan
UUD tidak termasuk kedalam ruang lingkup kekuasaan legislatif?
Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyan tersebut terdapat beberapa fakta
menarik yang terjadi dalam penyelenggaran ketatanegaran Indonesia, seperti
halnya terjadi dalam hal kewenangan untuk membentuk GBHN (Garis-Garis
Besar Haluan Negara) yang ditiadakan dan diganti dengan RPJPN (Rancangan
Pembangunan Jangka Panjang Nasional) melalui undang-undang yang di buat
oleh DPR bersama Presiden ternyata tidak serta merta membuat arah dan tujuan
negara ini tercapai. Sebagaimana yang di ungkapakan oleh Cholidah Mahmud,
bahwa status sebagai undang-undang, RPJPN diyakini tidak akan powerful
untuk menjadi rujukan utama perencanaan pembangunan nasional. Dibanding
GBHN yang pada masanya begitu sakral sehingga “haram” untuk dilanggar12.

11
Moh. Mahfud MD, 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi .

Jakarta: Rajawali Pers, halaman. 32.
12
Cholidah Mahmud, 2012, Reformulasi GBHN Menguatkan Kedudukan Pedoman
Pembangunan Nasional, Makalah, disampaikan dalam FGD tentang “Reformulasi Model GBHN:
Upaya Mewujudkan Kesatuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah”,

6

Oleh karena itu maka penulis sangat tertarik untuk menelaah
kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah adanya reformasi dan
lembaga Negara tersebut tergolong kedalam kekuasaan pemerintahan yang
seperti apa. Kemudian menarik simpulan terkait rekonstruksi kewenangan MPR
yang mempunyai kekuasaan sebagai lembaga legislatif sebagaimana konsep
trias politica yang di maksud oleh Montesquieu. Sehingga penulis mengambil

judul “REVITALISASI KEWENANGAN MPR DALAM STRUKTUR
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PASCA REFORMASI
BERDASARKAN TEORI TRIAS POLITICA”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan Republik

Indonesia setelah adanya amandemen UUD 1945 di tinjau dari Teori Trias
Politica ?

2. Bagaimanakah prospek kewenangan MPR dimunculkan lagi sebagai fungsi
legislatif dalam ketatanegaraan Indonesia?
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas maka
tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:
1.

Untuk mengetahui kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan
Republik Indonesia pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 ditinjau
berdasarkan teori Trias Politica ;

Universitas Gajah Mada bekerjasama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Kamis, 6
September 2012.

7

2.


Untuk mengetahui prospek menghidupkan kembali kewenangan MPR
pasca reformasi;

D. Manfaat Dan Kegunaan
1. Manfaat Teoritis
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat sumbangan
pemikiran untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan referensi dalam
pengembangan pendidikan terutama terkait dengan struktur ketatanegaraan
dan kelembagaan Negara yang ada di Indonesia, khususnya pemahaman
tentang kewenangan lembaga tinggi Negara yaitu MPR dalam struktur
ketatanegaraan di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Karya tulis ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam
rangka menunjang pengembangan ilmu bagi penulis pada khususnya,
mahasiswa Fakultas Hukum, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan serta seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya.
b. Bagi Instansi Terkait
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan masukan, sumbangan
pemikiran serta konstribusi bagi pemerintah untuk terus berbenah
memperbaiki “tangga” menuju “tujuan negara” sebagaimana di amanatkan

8

di dalam pembukaan UUD 1945. yang telah digariskan oleh para Founding
People13.

c. Bagi Masyarakat
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
membangun kesadaran masyarakat untuk saling mendukung terciptanya
kesejahteraan melalui porsi yang proporsional dalam keterwakilannya di
lembaga Negara secara efektif dan efisien.
E. Metode Penulisan
1. Metode pendekatan
Pendekatan

masalah

merupakan

proses

pemecahan

atau

penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga
mencapai tujuan penelitian atau penulisan.14 Berdasarkan ruang lingkup
serta identifikasi masalah sebagaimana telah diuraikan, untuk mengkaji
secara komprehensif dan holistik pokok permasalahan, akan ditelusuri
dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif (normatif legal
research). Yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan perundang-undangan, dan didukung dengan literatur yang ada
mengenai pokok permasalahan yang dibahas.

13

Menurut Mahfud MD, sebutan faunding people sebenarnya lebih tepat daripada faunding
father , karena “faunding father ” seakan-akan hanya mengakui bapak-bapak pendiri. Padahal
kenyataannya anggota BPUPKI dan/atau PPKI itu ada juga kaum perempuannya. Telusuri Moh.
Mahfud MD, 2012, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Press, halaman
25.
14
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, halaman 112.

9

Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah pertama,
pendekatan historis (historical approach) yang bertujuan mencari sejarah
dan pengaturan kedudukan dan kewenangan MPR sebagai lemabaga
negara. Kedua, pendekatan kepustakaan (library approach) berdasarkan
pada kajian tulisan-tulisan atau pustaka yang sesuai dan relevan dengan
penulisan tersebut pengumpulan bahan hukum ini di lakukan lewat beragam
informasi kepustakaan (buku, jurnal ilmiah, ensiklopedi, Koran, majalah,
naskah-naskah atau majalah-majalah yang bersumber dari khasanah
kepustakaan)15. Kajian pustaka yang digunakan dalam penulisan ini di
anggap lebih efektif dan efisien untuk menganilisis tentang kewenangan
MPR dalam struktur ketatanegaraan pasca reformasi. Ketiga, pendekatan
konsep (conceptual approach) yaitu penulis hendak menawarkan konsep
bertatanegara yang ideal sesuai kebutuhan dari suatu masa.
2. Bahan Hukum16
Bahan hukum penulisan hukum ini meliputi:
a. Bahan Hukum Primer17 meliputi: Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 17 tahun 2014

15

Mustika Zed. 2008. Metode Penelitia Kepustakaan . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
halaman 89.
16
Dalam penelitian ini tidak digunakan istilah “data”, tapi istilah “bahan hukum”, karena
dalam penelitian normatif tidak memerlukan data, yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap
bahan hukum. Dalam Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Malang: Bayumedia, halaman 268-269.
17
Bambang Sunggono, 1998, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, halaman. 116. Bambang mengemukakan bahwa bahan hukum Primer yaitu bahan hukum
yang mengikat yang terdiri dari, 1). Norma atau kaidah dasar pembukaan UUD 1945. 2). Peraturan
dasar, yaitu UUD 1945 dan Ketetapan-ketetapan MPR. 3). Peraturan perundang-undangan. 4).
Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, misalnya hukum adat. 5). Yurisprudensi. 5). Traktat. 7).
Bahan hukum dari zaman penjajahan yang kini masih berlaku. Dalam UU No. 12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dinyatakan bahwa peraturan perundang-

10

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, ketetapan MPR RI Nomor
I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status Hukum
Ketetapan MPRS dan MPR tahun 1960 sampai dengan 2002, UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder: Bahan hukum sekunder diperoleh dari
jurnal-jurnal, buku-buku, makalah, atau sumber-sumber lain
baik cetak maupun online yang berhubungan dengan penulisan
skripsi ini.
c. Bahan Hukum tersier: merupakan bahan

hukum yang

memberikan petunjuk atau penjelasan bahan-bahan hukum
primer dan sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penulisan
adalah kajian kepustakaan (library research). Yaitu pengkajian informasi
tertulis dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literaturliteratur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya
dengan masalah yang dipecahkan,18 studi kepustakaan yang dilakukan oleh
peneliti adalah mengumpulkan bahan-bahan kajian dari buku-buku atau

undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
dan mengikat secara umum.
18
Mohammad Nazir, 1988, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, halaman 111

11

dokumen yang mendukung untuk penulisan ini. Kajian kepustakaan
merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan
menganilisis buku-buku dan dokumen lainnya yang berhubungan langsung
dengan kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan dan teori trias
politica yang di terapkan di sebuah Negara.

Kajian kepustakaan merupakan langkah yang paling penting dimana
setelah seorang peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya
adalah melakukan kajian yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan
topik penelitian19. Dalam pencarian teori, peneliti akan mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang saling berhubungan.
Sumber-sumber kepustakaan seperti : buku-buku, dokumen hukum, jurnal
ilmiah, artikel, koran dan internet yang sesuai. Berikut ini adalah bagan
kajian kepustakaan yang penulis lakukan dalam penulisan ini.
Kajian
Pustaka
Dokumen
Hukum

Media Elektronik

Buku dan
Jurnal

Internet

Gambar 1.1. Bagan Kajian Pustaka
Dokumen hukum yang menjadi baham hukum dalam kajian ini
berbentuk undang-undang, dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan

19

ibid,

12

kewenangan MPR. Penyimpulan data dengan menggunakan teknik
dokumen merupakan salah satu cara yang paling akurat untuk menentukan
langkah-langkah strategis dalam penulisan melalui teknik kajian pustaka
ini.
4. Teknik Analisa Bahan Hukum
Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif
yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasalpasal di dalam undang-undang. Kemudian membuat sistematika dari datadata tersebut sehingga akan menghasilkan asumsi dasar dan menjawab
fenomena yang telah dirumuskan penulis dalam rumusan masalah diatas.
Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukan dalam bentuk uraian
secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar jenis data.
Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara
deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar
hukumnya dan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang
dimaksud.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam 4 bab
dan masing-masing bab terdiri atas sub yang bertujuan agar mempermudah
pemahamannya. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut:

13

BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab yang memuat pendahuluan yang meliputi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, metode penelitian, sistematika penulisan dan penegasan
istilah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis akan memaparkan landasan konsep, teori, atau
kajian teori, berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti, meliputi:
pertama, teori trias politica (pemisahan dan pembagian kekuasaan

negara), di dalamnya menjelaskan mengenai trias politica secara umum
kemudian yang diterapkan di Indonesia. Kedua, teori kedaulatan rakyat,
sebagai bentuk dasar untuk menganalisis penerapan kekuasaan oleh
rakyat Indonesia yang kemudian di wakilkan kepada lembaga negara.
Ketiga, konsep lembaga perwakilan rakyat yang berisi tentang bentuk-

bentuk lembaga perwakilan yang ada baik itu satu kamar, dua kamar,
dan tiga kamar parlemen. Keempat, kewenangan MPR, di dalamnya
memuat tentang kewenangan MPR sebelum dan sesudah amandemen
UUD 1945. Kelima, checks and balnces sistem ketatanegaraan
Indonesia yang menjelaskan hubungan antar lembaga negara yang ada
di Indonesia sebagai bagian dari tujuan perubahan UUD 1945.
BAB III PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan tengtang gambaran mengenai pembahasan
dari rumusan masalah yang diangkat, yaitu mengenai Bagaimana

14

kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia
setelah adanya amandemen UUD 1945 di tinjau dari Teori Trias Politica
dan Bagaimanakah prospek kewenangan MPR dimunculkan lagi
sebagai fungsi legislasi dalam ketatanegaraan Indonesia. Uraian
pembahasan yang diangkat oleh penulis serta dianalisis secara content
dan dianalisa kesesuaian atau keselarasan berdasarkan kenyataan yang
ada (yang terjadi) didukung dengan teori-teori yang relevan dengan
permasalahan dalam penulisan ini.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini dimana
berisi kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisikan
saran penulis dalam menanggapi permasalahan yang menjadi fokus
kajian serta berisikan saran dan rekomendasi penulis sehingga
diharapkan menjadi masukan yang bermanfaat bagi semua pihak.
G. Penegasan Istilah
1. Revitalisasi
Revitalisasi memiliki makna suatu proses atau cara dan perbuatan untuk
menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya terberdaya sehingga
revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan untuk menjadi vital,
sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau sangat diperlukan
sekali untuk kehidupan dan sebagainya. Revitalisasi adalah upaya untuk

15

memvitalkan kembali suatu keberadaan atau bagian yang dulunya pernah vital
hidup akan tetapi mengalami kemunduran dan degradasi20.
2. Kewenangan
Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan
tidak berbuat.Wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban21. Kewenangan
adalah merupakan hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat
atau institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan
juga menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut
kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
dimiliki oleh pejabat atau institusi. Kewenangan memiliki kedudukan yang
penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Begitu
pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G.
Steenbeek menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hokum
administrasi negara22.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Majelis Permusyawaratan Rakyat disingkat MPR adalah lembaga
negara pelaksana kedaulatan rakyat di Republik Indonesia sebelum diadakan
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum amandemen MPR adalah
lembaga tertinggi negara dan setelahnya menjadi lembaga tinggi negara yang

20

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Nurmayani S.H.,M.H. 2009. Hukum Administrasi Daerah . Universitas Lampung Bandar
lampung. Halaman 26.
22
Ridwan HR. 2013. Hukum Administrasi Negara . PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Halaman 99.
21

16

sejajar dengan lembaga lainnya. Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undangundang23.
4. Ketatanegaraan Republik Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tata negara adalah
seperangkat prinsip dasar yang mencakup peraturan susunan pemerintah,
bentuk negara dan sebagainya yang menjadi dasar peraturan suatu negara.
Ketatanegaraan adalah segala sesuatu mengenai tata negara. Menurut
hukumnya, tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur
kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan
pemerintahannya serta hak dan kewajiban para warga terhadap pemerintah atau
sebaliknya. Untuk mengerti ketatanegaraan dari suatu negara pertama sekali
perlu dimengerti apa itu negara: paham negara secara umum dan negara
menurut bangsa Indonesia.
5. Pasca Reformasi
Reformasi adalah proses pembentukan kembali suatu tatanan kehidupan

(lama) diganti dengan tatanan yang baru. Tujuannya ke arah yang lebih baik
dengan melihat keperluan masa depan. Dan kata pasca berarti setelah atau
setelah peristiwa itu terjadi.

23

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 2 ayat 1

17

6. Trias Politica
Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga

macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislative atau kekuasaan membuat
undang-undang (rule making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau
kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function); ketiga,
kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undangundang (rule adjudication function). Trias politica adalah suatu prinsip
normative bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada
orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang
berkuasa24.

24

Miriam budiardjo, 2002. dasar-dasar ilmu politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
halaman 151

18