PENGEMBANGAN MODEL PENYELENGGARAAN AKRED docx

PENGEMBANGAN MODEL PENYELENGGARAAN AKREDITASI
SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah
Upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan nasional oleh pemerintah selalu dilakukan
secara bertahap, terencana, dan terukur. Salah satu dasar hukum tentang hal tersebut
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, BAB XVI Bagian Kedua Pasal 60 tentang Akreditasi. Melalui
penyelenggaraan akreditasi, pemerintah secara bertahap, terencana, dan terukur melakukan
penilaian dan pengukuran kelayakan program dan/atau satuan pendidikan. Dalam kaitan
tersebut, pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pemerintah telah menetapkan Badan
Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) dengan Peraturan Mendiknas No. 29
Tahun 2005. BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menilai dan mengukur
kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah
jalur formal dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Sebagai institusi yang
bersifat mandiri dan bertanggungjawab kepada Mendiknas, BAN-S/M bertugas
merumuskan


kebijakan

operasional,

melakukan

sosialisasi

kebijakan,

dan

menyelenggarakan akreditasi sekolah/madrasah. Dalam menyelenggarakan akreditasi
sekolah/madrasah, BAN-S/M dibantu oleh Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah
(BAP-S/M) yang dibentuk oleh Gubernur, sesuai Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya Pasal 87 ayat (2).

Akreditasi sekolah merupakan kegiatan penilaian dan pengukuran yang dilakukan oleh
pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang untuk menentukan kelayakan

program dan/atau satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non-formal pada
setiap jenjang dan jenis pendidikan, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, sebagai
bentuk akuntabilitas publik yang dilakukan secara objektif, adil, transparan dan
komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar
Nasional Pendidikan (BAN-S/M, 2009: 5).
Latar belakang adanya kebijakan akreditasi sekolah di Indonesia adalah bahwa setiap
warga

negara

berhak

memperoleh

pendidikan

yang

bermutu.


Untuk

dapat

menyelenggarakan pendidikan yang bermutu, maka setiap satuan/program dan/atau satuan
pendidikan harus memenuhi atau melampaui standar yang dilakukan melalui kegiatan
akreditasi terhadap kelayakan setiap satuan/program pendidikan.
Secara konsep, tujuan diselenggarakannya akreditasi sekolah/madrasah ialah:

(1)

memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah atau program yang
dilaksanakannya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan; (2) memberikan pengakuan
peringkat kelayakan; (3) memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan
kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait (BAN-S/M,
2009: 6).
Penyelenggaraan akreditasi sekolah/madrasah pada dasarnya diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut: (1) dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya
peningkatan mutu sekolah/madrasah dan rencana pengembangan sekolah/madrasah; (2)
dapat dijadikan sebagai motivator agar sekolah/madrasah terus meningkatkan mutu

pendidikan secara bertahap, terencana, dan kompetitif baik di tingkat kabupaten/kota,

provinsi, nasional bahkan regional dan internasional; (3) dapat dijadikan umpan balik
dalam usaha pemberdayaan dan pengembangan kinerja warga sekolah/madrasah dalam
rangka menerapkan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, dan program sekolah/madrasah; (4)
membantu mengidentifikasi sekolah/madrasah dan program dalam rangka pemberian
bantuan pemerintah, investasi dana swasta dan donatur atau bentuk bantuan lainnya; (5)
bahan informasi bagi sekolah/madrasah sebagai masyarakat belajar untuk meningkatkan
dukungan dari pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta dalam hal profesionalisme,
moral, tenaga, dan dana; (6) membantu sekolah/madrasah dalam menentukan dan
mempermudah kepindahan peserta didik dari satu sekolah ke sekolah lain, pertukaran guru
dan kerjasama yang saling menguntungkan (BAN-S/M, 2009: 6).
Sejalan dengan semangat reformasi birokrasi yang saat ini dikembangkan di lingkungan
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) demi mewujudkan layanan prima
kepada publik, maka penyelenggaraan akreditasi sekolah/madrasah sudah seharusnya
menjadi salah satu program yang didorong secara bertahap untuk menjadi salah satu pilar
layanan

prima.


Dengan

perbaikan

dan

reformasi

penyelenggaraan

akreditasi

sekolah/madrasah maka diharapkan akan memberikan kemudahan dan akuntabilitas yang
lebih baik kepada pemangku kepentingan dalam persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut
akreditasi.
Memperhatikan tujuan akreditasi, manfaat akreditasi, dan semangat reformasi birokrasi,
yang salah satu wujudnya adalah akreditasi, maka akreditasi adalah bagian yang tak
terpisahkan dari praktik manajemen pendidikan. Fokus aktivitasnya merupakan evaluasi
internal dan eksternal bagi sekolah mulai dari perencanaan sampai dengan pengendalian.
Tujuan dari akreditasi adalah penjaminan mutu atas proses dan output pendidikan. Kata


kunci akreditasi, adalah akuntabilitas dan performansi sekolah. Akuntabilitas sekolah
dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban sekolah kepada pihak pemerintah,
masyarakat, orang tua siswa, dan kepada siswa itu sendiri. Sedangkan performansi sekolah
sebagai wujud penjaminan mutu atas kinerja sekolah yang didukung oleh berbagai sumber
daya sekolah seperti kurikulum, sumber daya manusia, sarana prasarana, anggaran,
hubungan masyarakat (stakeholder), melalui suatu mekanisme sesuai dengan “basis
requirement.”
Kenyataannya

bahwa

penyelenggaraan

akreditasi

sekolah/madrasah

saat


ini

menghadapi beberapa persoalan yang cenderung tidak sejalan dengan tujuan, manfaat, dan
semangat reformasi birokrasi untuk mewujudkan layanan prima kepada publik yang
dikembangkan Kemendikbud.
Beberapa persoalan tersebut antara lain: pertama, hasil akreditasi sekolah/madrasah
cenderung belum menggambarkan kondisi objektif sekolah. Sebagaimana dikemukakan
Saputra (2010) kebijakan tentang akreditasi sejatinya untuk mendorong sekolah dapat
memenuhi standar minimal kualitas. Sayangnya status akreditasi diperlakukan sebagai
tujuan oleh beberapa sekolah. Akibatnya, hasil akreditasi yang dimaksud tidak seutuhnya
dapat menggambarkan kondisi objektif sebuah sekolah. Hal ini dipertegas oleh kesimpulan
penelitian Hartini (2011: 420) bahwa hasil akreditasi secara kuantitatif mengalami
kenaikan, tetapi kenaikan kuantitatif tidak tercermin dari kualitas secara aktual.
Kedua, hasil akreditasi belum menunjukkan indikator akuntabilitas satuan pendidikan
secara maksimal, baik kepada pemerintah, masyarakat, orang tua siswa, maupun siswa,
seperti yang dikemukakan Roto (2010), bahwa komponen persiapan sangat menguras
energi dari para karyawan, guru, kepala sekolah, bahkan sampai dengan pengurus komite

sekolah guna melengkapi hal-hal yang belum ada. Hal ini juga dikemukakan oleh Suharsih
(2010), beberapa trik agar akreditasi sukses, diantaranya: (1) mempersiapkan administrasi

mengajar guru minimal 2 bulan sebelumnya, sehingga maksimal 1 minggu sebelum
akreditasi, perangkat sudah terkumpul; (2) mempersiapkan bukti fisik untuk 8 standar
pendidikan, dan persiapan semua bukti fisik yang memungkinkan; (3) membuat tim
akreditasi sekolah, untuk tiap standar penilaian sebaiknya minimal 2 orang guru yang
menangani, memilih guru yang mampu menjawab dengan telaten, dan mau kerja keras
sehingga bisa mengumpulkan bukti fisik lebih banyak.
Ketiga,

hasil

akreditasi

sekolah

belum

dijadikan

sebagai


alat

pembinaan,

pengembangan, dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Hal tersebut seperti yang
dikemukakan Mordiadi (2010), seharusnya pembinaan pemerintah terhadap sekolahsekolah diorientasikan pada sekolah yang hasil akreditasinya kurang. Ironisnya, kondisi
saat ini justru terbalik, pembinaan terus dilakukan, tetapi tidak jelas arah pembinaannya
sehingga akreditasi sekolah tidak lebih baik.
Keempat, peringkat hasil akreditasi belum mampu menggambarkan kelayakan sekolah.
Hal tersebut seperti yang ditemukan oleh Umam Nur (2012), bahwa hasil akreditasi yang
diperoleh dengan persiapan yang cenderung mengupayakan seperti yang diminta borang
akreditasi, alat ukur yang cenderung kuantitatif, dan diukur dalam kurun waktu yang
pendek belum dapat menggambarkan kelayakan sekolah.
Kelima, hasil akreditasi belum mampu memberikan rekomendasi tentang penjaminan
mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang di akreditasi. Hal
tersebut dipertegas lagi oleh Muslim (2011) yang menjelaskan mengenai beberapa temuan
akreditasi antara lain hasil akreditasi dijadikan sales point, dan seakan-akan itu merupakan

mutiara. Secara legal formal, hal ini dapat menjadi jaminan, tetapi secara faktual, jika
pemenuhan persyaratan akreditasi dilakukan secara instan, maka hasilnya tentu jauh dari

harapan. Selain hal tersebut kenyataan yang terjadi di lapangan masih ditemukan asesor
yang kompetensinya belum memadai, sehingga dalam menjalankan tugas membuat
pertanyaan yang menyimpang, akhirnya sekolah mengantisipasi dengan jalan pintas yang
tidak sesuai norma akreditasi.
Berdasarkan hasil pra-survei, diperoleh data awal yang menggambarkan kondisi
penyelenggaraan akreditasi sekolah/madrasah, utamanya Sekolah Menengah Atas (SMA)
di wilayah Kota Semarang, adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Rekapitulasi Kinerja Beberapa Sekolah Kaitannya dengan Hasil
Akreditasi
No

1
2
3
4
5

Nama
Sekolah


SMA Negeri
5 Smg
SMA Negeri
10 Smg
SMA Alfatah
Terboyo
SMA Masehi
3 PSAK
SMA
Pancasila

Akreditasi
EDS
Hasil

100

95/A

100

97/A

95

81/B

76,21

73/B

80

69/C

Output (Hasil UN)

Kinerja Sekolah
(Keterserapan
Input
PT)

Peminat

Daya
Tampung

2008/09

2009/10

08/09

09/ 10

09/ 10

10/ 11

09/ 10

10/11

09/1
0

10/11

7,83/IPA
7,27/IPS
7,35/IPA
7,42/IPS
6,37/IPA
6,03/IPS
7,18/IPA
5,91/IPS
6,62/IPS

8,25/IPA
7,85/IPS
7,85/IPA
7,69/IPS
6,04/IPA
6,18/IPS
6,20/IPA
5,89/IPS
7,05/IPS

85 %

90 %

37,09

40,4

564

796

324

396

13,4%

22,2%

32,24

32,91

515

483

214

250

12,3%

42,3%

22,01

22,54

38

40

40

40

33,7%

64,5%

17,33

18,00

82

64

80

80

33,3%

25%

22,00

23,00

20

15

40

40

Sumber: Bagian Data Dikdasmen, Perencanaan Dinas Pendidikan Kota Semarang, 2010

Dari data tersebut terdapat contoh sekolah yang nilai akreditasinya A tetapi animo
masyarakat untuk masuk ke sekolah tersebut pada tahun berikutnya justru berkurang,
sebaliknya ada sekolah yang hasil akreditasinya sama-sama mendapat A tetapi lebih rendah
justru animo masyarakat untuk masuk sekolah tersebut pada tahun berikutnya secara
signifikan makin tinggi. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa akreditasi: (1) belum
mengarah pada peningkatan kualitas sekolah; (2) belum mencerminkan akuntabilitas
kinerja; (3) belum menggambarkan adanya penjaminan mutu pendidikan di sekolah; (4)

belum dapat memberi informasi tentang kinerja manajemen sekolah; dan (5) belum mampu
merekomendasi kelayakan mutu suatu sekolah.
Data pra-survei di atas memberi gambaran awal tentang permasalahan penyelenggaraan
akreditasi sekolah, mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut akreditasi.
Pertama, dari sisi persiapan diperoleh gambaran awal bahwa SMA di wilayah Semarang
terkendala oleh informasi dari Dinas Pendidikan terkait dengan kuota akreditasi di Kota
Semarang sampai ke sekolah relatif sangat pendek dengan waktu visitasi ke sekolah. Hal
tersebut seperti yang dikemukakan oleh Kepala SMA Al-Fatah Terboyo, yang diberi waktu
hanya 1 minggu dari persiapan sampai visitasi (wawancara tanggal 15 April 2011).
Permasalahan lain yang ditemukan di sekolah adalah dalam pengisian evaluasi diri, sekolah
melakukan beberapa upaya yang tidak sesuai kondisi senyatanya, dengan cara mengisi
borang di atas kondisi faktualnya, agar lolos layak untuk di visitasi. Hal tersebut dapat
dilihat pada tabel 1.1. Dari ke dua permasalahan di atas, kesimpulan sementara yang dapat
diambil, bahwa persiapan akreditasi belum semuanya menyatu dengan proses manajemen
yang sehari-hari dilaksanakan di sekolah.
Kedua, pada pelaksanaan akreditasi, permasalahan yang muncul pada penyelenggaraan
akreditasi, bahwa sikap asesor dan adanya upaya-upaya yang dilakukan sekolah untuk
mendapatkan nilai minimal seperti yang ditulis dalam evaluasi diri sekolah menyebabkan
proses visitasi belum dapat dikerjakan secara maksimal. Hal tersebut menggambarkan
bahwa hasil akreditasi belum mampu merepresentasikan kinerja sekolah bahkan belum
dapat dijadikan acuan untuk mengukur kualitas sekolah.

Sebagai gambaran kita lihat

kembali tabel 1.1. Perolehan akreditasi SMA Masehi 3 PSAK mendapat nilai akreditasi B,
SMA Negeri 5 dan SMA Negeri 10 mendapat nilai akreditasi A, tetapi nilai rata-rata hasil

UN pada tahun 2008/2009 jurusan IPA SMA Masehi 3 hampir sama dengan SMA Negeri 5
dan SMA Negeri 10. Lebih fokus kita bandingkan SMA Negeri 5 dan SMA Negeri 10,
walaupun sama-sama mendapat A, tetapi SMA Negeri 10 memperoleh nilai akreditasi lebih
tinggi dari pada SMA Negeri 5. Apakah kinerja SMA Negeri 10 lebih baik dibandingkan
dengan SMA Negeri 5? Untuk membandingkan, kita pakai beberapa indikator yang banyak
dipakai masyarakat untuk menilai sekolah yaitu: (1) indikator input siswa, (2) status
sekolah, (3) output siswa, dan (4) outcome (keterserapan pada perguruan tinggi). Indikator
input walaupun nilai hasil akreditasi SMA Negeri 5 adalah 95, sedangkan SMA negeri 10
adalah 97, ternyata nilai tersebut tidak menjadi acuan masyarakat (calon siswa) untuk
mendaftar pada sekolah yang memperoleh hasil akreditasi lebih tinggi. Jumlah pendaftar
SMA Negeri 5 lebih banyak dibandingkan dengan SMA Negeri 10. Status sekolah, SMA
Negeri 5 mendapat status Rintisan Sekolah Kategori Mandiri (RSKM) yang mendapat
bimbingan teknis langsung dari direktorat pembinaan SMA, sedangkan SMA Negeri 10
belum mendapatkannya. Output, rata-rata nilai hasil Ujian Nasional SMA Negeri 5 ternyata
lebih baik dibanding dengan SMA Negeri 10. Outcome, keterserapan lulusan SMA Negeri
5 jauh lebih tinggi dari SMA Negeri 10.
Ketiga, tindak lanjut, permasalahan yang muncul pada tindak lanjut hasil akreditasi,
bahwa hasil akreditasi belum dimanfaatkan secara optimal dalam pembinaan sekolah. Salah
satu indikator tindak lanjut yang paling mudah dicermati adalah besarnya bantuan yang
diberikan kepada sekolah pasca akreditasi. Untuk membahas hal tersebut lihat tabel
berikut:
Tabel 1.2 Perbandingan Bantuan Sekolah Pasca Akreditasi
No
1

Nama Sekolah
SMA Negeri 5 Semarang

Anggaran 2011
APBD Kota Semarang
52.600.000

2

SMA Negeri 10 Semarang

94.850.000

Sumber: Bag Data Perencanaan Dinas Pendidikan Kota Semarang, 2011

Tabel di atas merepresentasikan tingkat perhatian Dinas Pendidikan Kota Semarang
merespon hasil akreditasi. SMA Negeri 5 yang nilai akreditasinya 95 mendapat bantuan
sebesar Rp 52.600.000,00, sementara SMA Negeri 10 yang nilai akreditasinya lebih tinggi
justru bantuan yang diperoleh jauh lebih tinggi, yaitu sebesar Rp 94.850.000,00 atau
hampir separuh lebih tinggi dari yang diterima SMA Negeri 5. Terkait dengan bantuan
tersebut SMA-SMA yang nilai akreditasinya lebih rendah juga belum mendapat bantuan
sebagai bentuk pembinaan dari pemerintah, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kota.
Seharusnya hasil akreditasi itu: (1) mengarah pada peningkatan kualitas sekolah; (2)
mencerminkan akuntabilitas kinerja; (3) mampu memberikan informasi tentang kinerja
manajemen sekolah; (4) menggambarkan adanya penjaminan mutu pendidikan di sekolah;
dan (5) merekomendasi kelayakan mutu suatu sekolah. Hasil yang demikian dapat
diwujudkan apabila dalam penyelenggaraan akreditasi: (1) penilaiannya berbasis kinerja;
(2) tersedia cukup waktu mulai persiapan sampai dengan visitasi; (3) mengedepankan
penggalian data kualitatif; (4) adanya tagihan dari Badan Akreditasi Provinsi
Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) kepada sekolah yang nilai akreditasinya belum maksimal
sebagai tindak lanjut akreditasi; (5) intensitas kunjungan ke sekolah yang hasil
akreditasinya belum mencapai angka maksimal.
Beberapa hasil penelitian memberikan dukungan pentingnya penyelenggaraan
akreditasi sekolah yang mampu menggambarkan tingkat akuntabilitas kinerja sekolah,
antara lain seperti yang dikemukakan oleh Rothstein (2009: 625).
The U.S. has adopted accountability policies based almost exclusively on standardized
test scores. A diverse and bipartisan coalition of Americans has bemoaned this policy,
because narrow test-based accountability plans can’t possibly accomplish their stated
intent to tell the states and nation whether schools and related public institutions are

performing satisfactorily and to indicate where improvements are required. Indeed, by
creating incentives for educators to shift effort and resources away from other goal
areas and toward instruction in reading and math exclusively, such accountability has
undermined schools’ mission to also raise achievement achievement in other academic
areas and in the social, behavioral, and civic goals.
Hal tersebut ditegaskan pula oleh Bernasconi (2006: 80).
The cases considered here represent a range of possibilities for accreditation: from
systems in which accreditation depends on the results of standardized tests to models
that emphasize the accountability of districts for the performance of their schools and
rely upon mechanisms oriented to continuous improvement and devices to identify' and
improve poorly performing schools.
Selanjutnya tentang tujuh penjaminan mutu, Rothstein (2009: 626) menyatakan sebagai
berikut:
The regional associations propose a few broad categories of quality standards — the
North Central and Southern associations, have seven categories: vision and purpose,
governance and leadership, teaching and learning, documenting and using results,
resource and support systems, stakeholder communications and relationships, and
commitment to continuous improvement.
Konsekuensi tuntutan akuntabilitas, penilaian pendidikan diharapkan tidak hanya oleh
pihak eksternal, tetapi penilaian internal wajib hukumnya sebagai penjaminan mutu
pendidikan, dan evaluasi internal sebagai bagian dari proses manajemen di sekolah
dikemukakan oleh Newby (2006: 54),
“It is clear that this paper deals with what are, for teacher educators
and also for the society which needs their work, some fundamentally
important issues. Assessment (evaluation, quality assurance, inspection,
audit) has become a permanent feature in professional life.”
Bahwa guru sebagai tenaga profesional, assessment (evaluasi, penjaminan

mutu, pengawasan/pemeriksaan, audit) telah menjadi bentuk permanen dalam kehidupan
profesional, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam manajemen.
Selain hal diatas, masa penilaian juga menjadi perhatian agar kontinyuitas mutu pasca
akreditasi dapat dijaga, Rothstein (2009: 625 - 627) menyatakan:

In most regions, schools undergo a year or two of preparation (called a self-study)
before they are visited by a team of educators. Although some states require schools to
undergo the process, in others, the regional associations are voluntary.
Typically, schools that choose to apply for accreditation undergo comprehensive review
from once every three years (in the Western states association) to a maximum of once
every 10 years (in New England).
An accreditation visit typically lasts three days, during which team members visit
classrooms, interview teachers, meet with administrators, look at portfolios of student
work, and talk with students and parents. Because these visits are scheduled far in
advance, little is random about the observations. Teachers may take care to present
their best lessons during the visit; some school administrators may carefully select
students and parents to be interviewed; and teachers may select unrepresentative work
to include in the portfolios examined by team members. Nonetheless, trained visitors
can get accurate insights into school quality. Teachers who aren’t in the practice of
inviting student inquiry during a lesson cannot suddenly expect students to ask
questions, and students accustomed to direct instruction can’t suddenly learn to work in
problem-solving groups during an accreditation visit.
Tentang akuntabilitas ini dipertegas oleh Lawrence (2006: 48), yang mengemukakan
bahwa indikator akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan dapat ditunjukkan dengan
hubungan baik antara seluruh warga sekolah.
“This kind of accountability, among teachers, students, administrators, parents,
members of school boards, and those in the larger community, is only possible in
schools small enough to promote good relationships.”
Masa kunjungan pasca akreditasi dilakukan oleh pengawas yang ada di daerah masingmasing, seperti yang dikemukakan Rothstein, (2009: 625)
“In some cases, associations may require follow-up reports between school visits, while
in others, schools in danger of losing accreditation may be visited more frequently.”
Berangkat dari permasalahan-permasalahan akreditasi yang terjadi selama ini, bahwa:
(1) hasil akreditasi sekolah cenderung belum menggambarkan kondisi objektif sekolah; (2)
hasil akreditasi belum menunjukkan indikator akuntabilitas sekolah secara maksimal; (3)
hasil akreditasi sekolah belum dijadikan sebagai alat pembinaan, pengembangan, dan
peningkatan mutu pendidikan di sekolah; (4) peringkat hasil akreditasi belum mampu

menggambarkan kelayakan sekolah; dan (5) hasil akreditasi belum mampu memberikan
rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan; dan hasil simpulan yang diangkat oleh
peneliti-peneliti terdahulu yang termuat dalam jurnal-jurnal internasional, maka perlu
dikembangkan model penyelenggaraan akreditasi yang mampu menjawab permasalahanpermasalahan yang terjadi pada penyelenggaraan akreditasi sekolah.
1.2

Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan yang terkait dengan pengembangan model penyelenggaraan akreditasi
sekolah menengah atas, adalah sebagai berikut:
1) Pemaknaan sekolah terhadap penyelenggaraan akreditasi cenderung memenuhi aspek
legal-formal, hal tersebut dikarenakan beberapa pihak yang terlibat dalam akreditasi
membiarkan proses berjalan seperti kondisi saat ini, sehingga hasil akreditasi tanpa
makna.
2) Belum menyatunya persiapan akreditasi dengan proses manajemen yang berjalan di
sekolah, hal tersebut dikarenakan pemahaman warga sekolah bahwa menyiapkan
akreditasi identik dengan pengisian borang dan mengupayakan bukti-bukti yang
diminta, dampaknya bahwa hasil akreditasi belum mencerminkan kinerja suatu sekolah.
3) Tahapan yang ditempuh sekolah pada proses persiapan akreditasi sekolah yang selalu
sama, yaitu mulai melakukan sosialisasi, dilanjutkan dengan pembentukan panitia,
mengupayakan bukti-bukti yang diminta, yang semuanya dilaksanakan menjelang
penyelenggaraan akreditasi, hal tersebut meligitimasi bahwa proses persiapan akreditasi
itulah yang benar, sehingga mindset yang dibangun bahwa akreditasi adalah proyek
sesaat, bukan akumulasi proses yang siklusnya panjang.

4) Hasil akreditasi dijadikan sales point, hal tersebut mendorong sekolah untuk memasang
target perolehan nilai hasil akreditasi yang sangat tinggi, tidak sesuai dengan kondisi
faktual di sekolah, dampaknya terjadi pengkondisian pelaksanaan akreditasi.
5) Kecenderungan sebagian asesor yang bersikap berlebihan, memerankan diri seolah-olah
sebagai penentu baik buruknya sekolah, kecenderungan tersebut membuat sekolah
memperlakukan asesor menjadi berlebihan dan tidak wajar, akibatnya objektifitas
pelaksanaan visitasi sangat kurang.
6) Waktu pelaksanaan yang pendek, menyebabkan penggalian data hanya secara
kuantitatif, sehingga hasilnya belum mencerminkan keterkaitan antar standar dalam
pencapaian standar nasional pendidikan.
7) Rekomendasi hasil akreditasi belum ditindaklanjuti maupun dimanfaatkan, baik oleh
sekolah, instansi vertikal dan maupun institusi horisontal dalam pengembangan dan
pembinaan sekolah.
8) Rekomendasi belum dimanfaatkan oleh institusi horisontal untuk mendorong sekolah
maupun stakeholder untuk berperan serta dalam percepatan pemenuhan kualitas
pendidikan.
9) Rekomendasi hasil akreditasi belum dapat mencerminkan kinerja sekolah dan belum
dapat memberi informasi yang akurat tentang profil sekolah kepada masyarakat,
sehingga belum dapat dijadikan acuan masyarakat untuk penduan memilih sekolah.
Identifikasi permasalahan di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan akreditasi
sekolah yang selama ini berjalan masih belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Untuk itu diperlukan model yang dapat menjadi solusi agar penyelenggaraan akreditasi
sekolah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Bagaimana model penyelenggaraan

akreditasi sekolah yang dapat memberi solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang
selama ini terjadi sehingga penyelenggaraan akreditasi sesuai dengan tujuan yang
1.3

diharapkan?
Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan

peneliti

dalam

mengungkap

seluruh

aspek

dalam

penyelenggaraan akreditasi sekolah, maka dalam penelitian ini dibatasi pada hal-hal
sebagai berikut.
1) Model penyelenggaraan akreditasi yang dikembangkan hanyalah untuk sekolah
menengah atas.
2) Model penyelenggaraan akreditasi ini hanya

mengambil lokasi penelitian di kota

Semarang.
3) Model penyelenggaraan akreditasi tidak membahas tentang substansi alat yang
dihasilkan oleh BAN-S/M, dan dimanfaatkan oleh BAP-S/M dalam melaksanakan
proses akreditasi di sekolah.
4) Model penyelenggaraan akreditasi ini tidak membahas substansi bobot antar standard
yang telah digunakan untuk menentukan hasil akreditasi sekolah.
5) Model penyelenggaraan akreditasi ini tidak membahas substansi cara penilaian yang
1.4

telah digunakan untuk menentukan hasil akreditasi sekolah.
Rumusan Masalah
Berdasar pada hasil identifikasi permasalahan belum sesuainya penyelenggaraan
akreditasi sekolah menengah atas di Kota Semarang dengan tujuan penyelenggaraan
akreditasi, maka dirumuskan masalah dalam studi ini adalah sebagai berikut:
1) Seperti apakah model faktual penyelenggaraan akreditasi yang terdiri dari sub model
persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut di sekolah menengah atas yang selama ini
dilaksanakan?
2) Seperti apakah desain model hipotetik penyelenggaraan akreditasi yang terdiri dari sub
model persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut di sekolah menengah atas yang mampu
memperbaiki model yang selama ini dilaksanakan?

3) Bagaimana model final penyelenggaraan akreditasi yang terdiri dari sub model
persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut di sekolah menengah atas yang dapat
mengembangkan komitmen internal secara inheren pengelola sekolah, menggambarkan
hasil kinerja sekolah secara utuh, sekaligus dapat dijadikan acuan dalam pembinaan
sekolah?
1.5

Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengembangkan model penyelenggaraan akreditasi, dengan:
1)

mendeskripsikan dan menganalisis model faktual penyelenggaraan akreditasi sekolah
menengah atas yang mencakup: (a) persiapan sekolah dalam menyelenggarakan
akreditasi; (b) mekanisme pelaksanaan akreditasi sekolah; dan (c) tindak lanjut hasil

akreditasi sekolah
2) menghasilkan desain model hipotetik penyelenggaraan akreditasi di sekolah menengah
atas yang dapat mengembangkan komitmen internal secara inheren pengelola sekolah,
menggambarkan hasil kinerja sekolah secara utuh, sekaligus dapat dijadikan acuan
3)

dalam pembinaan sekolah
menghasilkan model final penyelenggaraan akreditasi sekolah di sekolah menengah
atas yang dapat mengembangkan komitmen internal secara inheren pengelola sekolah,
menggambarkan hasil kinerja sekolah secara utuh, sekaligus dapat dijadikan acuan
dalam pembinaan sekolah.

1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1) bagi perkembangan dunia pendidikan, utamanya yang terkait dengan upaya
peningkatan mutu, ditinjau dari aspek akreditasi

2) bagi peneliti sejenis yang ingin mengembangkan penelitian dengan tema peningkatan
kualitas pendidikan, tema ini tidak mungkin stagnant, karena dinamika masyarakat
selalu berkembang, sehingga ukuran kualitas pendidikanpun juga terus-menerus selalu
mengalami penyempurnaan.
Selain manfaat di atas, penelitian ini juga mengembangkan suatu model
penyelenggaraan akreditasi pada pendidikan menengah, diharapkan model ini dapat:
a.

menyempurnakan model akreditasi yang sudah ada, dan mengurangi kendala
penyelenggaraan akreditasi sehingga hasil akreditasi mampu memberi motivasi warga
sekolah

b. digunakan sebagai bentuk akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat dan stakeholder
pendidikan
c.

menggambarkan kinerja manajemen sekolah dalam upaya menciptakan budaya mutu.

d. digunakan oleh masyarakat dalam acuan memilih sekolah
e.

dipakai oleh instansi baik vertikal (LPMP, dinas pendidikan Kab/Kota, dinas
pendidikan Provinsi, dan Direktorat Pembinaan SMA, yayasan sekolah yang didirikan
masyarakat), maupun horisontal (dewan pendidikan, organisasi profesi), dalam
membuat kebijakan pembinaan sekolah-sekolah, serta lembaga swadaya masyarakat
peduli pendidikan turut berpartisipasi aktif dalam rangka mengawal penyelenggaraan
akreditasi sekolah.

1.7

Spesifikasi Produk yang Dikembangkan
Bentuk produk yang dihasilkan adalah model penyelenggaraan akreditasi sekolah mulai
dari persiapan akreditasi, pelaksanaan akreditasi, dan tindak lanjut akreditasi. Diharapkan
produk yang dihasilkan dapat memberi gambaran yang utuh bagi sekolah dalam

penyelenggaraan akreditasi di sekolah. Bagi instansi vertikal, maupun horisontal dapat
memanfaatkan produk ini dalam upaya berperan aktif untuk mengembangkan dan membina
sekolah.
Agar model produk yang dihasilkan dapat diimplementasikan, maka model produk
dilengkapi dengan pedoman penyelenggraaan akreditasi sekolah, yang terdiri dari pedoman
persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut penyelenggaraan akreditasi sekolah menengah
atas.
1.8

Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan
Model penyelenggaraan akreditasi sekolah ini dapat dilaksanakan, bila seluruh warga
sekolah diasumsikan:
1) mempunyai motivasi yang tinggi untuk melakukan perubahan berkesinambungan
(Continuous improvement)
2) mempunyai komitmen yang tinggi untuk menjalankan sistem yang telah disepakati
3) menghargai kinerja tim pengendali internal, karena model ini sangat dipengaruhi oleh
kinerja tim pengendali internal yang berperan sebagai pengewal terhadap audit
ketaatan, audit operasional, penjaminan kualitas, untuk menjamin kredibilitas informasi
yang dihasilkan
4) memiliki kedisiplinan yang tinggi dalam menjalankan tugas sesuai tugas pokok dan
fungsi masing-masing bagian
5) melaksanakan tugas dengan suasana batin yang ikhlas dan menjiwai tugasnya tidak
hanya sekedar memenuhi aspek formal.
Keterbatasan pengembangan model penyelenggaraan akreditasi sekolah menengah atas
ini diantaranya:

1) Penelitian ini mengambil lokasi di kota Semarang, yang rata-rata sekolah menengah
atas baik negeri maupun swasta hampir memenuhi standar nasional pendidikan,
sehingga dengan karakteristik yang seperti itu, penelitian ini belum tentu dapat
dimanfaatkan untuk penyelenggaraan akreditasi sekolah menengah atas di luar kota
Semarang.
2) Penelitian ini terbatas pada penyelenggaraan akreditasi sekolah menengah atas,
sehingga penelitian ini belum tentu dapat dimanfaatkan untuk penyelenggaraan
akreditasi di jenjang sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, sekolah menengah pertama
dan madrasah tsanawiyah, dan sekolah menengah kejuruan.
Penelitian ini terbatas pada penyelenggaraan akreditasi sekolah menengah atas jenjang formal,
sehingga penelitian ini tidak dapat dimanfaatkan untuk penyelenggaraan akreditasi pada jenis
sekolah non formal.