HUKUM BALAS DENDAM DAN SANDAL JEPIT

HUKUM, BALAS DENDAM DAN SANDAL JEPIT
kabela-kabela.blogspot.co.id /2016/03/hukum-balas-dendam-dan-sandal-jepit.html
Adagium latin Fiat justisia ruat coelum, yang kurang lebih berarti
meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan” begitu sangat top
dan populer karena sering digunakan secara nakal untuk
membangun konstruksi berpikir membenarkan pelaksanaan
sebuah penegakan hukum. Celakanya kebiasaan nakal itu
menjadi topeng untuk dalih penegakan hukum sehingga
menggerus, melunturkan dan mengoyak-ngoyak tujuan
penegakan hukum itu sendiri “ketertiban dan perdamaian”.
Parahnya juga hukum dijadikan ladang mata pencarian oknum
penegak hukum sebagaimana pernah saya ulas sebelumnya
bertajuk "kasih uang habis perkara".
Memang sejauh ini hukum acara pidana di Indonesia telah banyak mengatur tetek bengek prosedur formal dalam
penyelesaian sebuah perkara pidana. Namun sayangnya akibat adanya prosedur hukum tersebut justru dijadikan
alat represif bagi oknum penegak hukum untuk menzalimi pihak-pihak tertentu. Jika disebut sebuah kegemaran
oknum penegak hukum ada benarnya juga, atas nama hukum semua peristiwa pidana harus berakhir di pengadilan
tanpa terkecuali.
Korban dan Pelaku
Sebenarnya apa yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah proses pidana? Sekedar untuk menciptakan efek jera
kah? Menciptakan keteraturan dan keamanan kah?. Jawabannya sangat banyak, namun satu hal yang pasti

keberhasilan sebuah proses pidana bukan ditentukan dari banyak sedkitnya jumlah tahanan maupun narapidana
yang dijebloskan ke rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (Lapas). Lapas sebenarnya bukanlah
tempat yang cocok dan tepat dalam me-masyarakat-kan kembali para narapidana atau warga binaan. Bahkan
berkembang pemikiran belakangan bahwa lapas telah beralih fungsi juga sebagai academy of crime, tempat
dimana para narapidana lebih “diasah” kemampuannya dalam melakukan tindak pidana. Untuk yang terakhir ini
tidak akan saya bahas lebih lanjut.
Kembali lagi, maka seyogyanya penanganan sebuah perkara pidana harus di lihat dalam perspektif yang luas dan
tidak menggunakan kaca mata kuda, hanya terpusat pada kepentingan antara korban dan pelaku namun cara
pandang aparat penegak hukum perlu menelusuri sisi kemaslahatan yang di timbulkan di tengah-tengah
masyarakat. Jangan karena sebuah peristiwa pidana yang lagi diproses aparat penegak hukum akan berbalik
menimbulkan konflik luas di tengah-tengah khalayak masyarakat seperti peristiwa antara dewan adat dayak dan
kerukunan keluarga Madura di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Jadi akan sangat baik jika korban dan pelaku
telah mencapai kesepakatan perdamaian dan itu berarti tidak ada kepentingan korban yang di langgar,
kemaslahatan publik tercipta.
Di titik inilah maka atas nama keadilan proses pidana tidak di lanjutkan sebagaimana marwah dari revisi Kitab
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah di bahas di komisi III DPR RI. Dalam satu garis lurus seorang ahli
hukum Jerman Gustav Radbruch (1878-1949) pun mengatakan hal serupa, “Hukum adalah kehendak untuk
bersikap adil.” (Recht ist Wille zur Gerechtigkeit). Inilah konsep hukum yang memberi perlindungan dan
penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Bahwa sudah saatnya pendekatan humanis dalam
proses penegakan hukum lebih ditonjolkan ketimbang pendekatan legal formal yang cenderung kaku bak robot.

Lantas mengapa praktek acara pidana konvensional yang berlaku masih menggunakan cara-cara barbar, seolaholah setiap peristiwa pidana yang terjadi dan dilaporkan ke aparat penegak hukum harus selalu ada tumbal kendati

1/2

di antara pelaku dan korban sudah kata sepakat perdamaian. Sang korban telah bersepakat berdamai dengan
pelaku, artinya sudah tidak ada lagi kepentingan korban yang di langgar oleh pelaku maka semestinya hal ini
mutlak di pertimbangkan penegak hukum untuk tidak meneruskan perkara tersebut ke jenjang berikutnya.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL mengatakan hambatan dalam melaksanakan
perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik
dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum
tidak akan hapus karena perdamaian. Pertanyaan kritisnya, masih adakah tujuan pemidanaan yang belum tercapai
jika para pihak telah berdamai satu sama lain?
Jikalau sebuah proses pidana tetap di lanjutkan beralaskan sebuah perdamaian yang telah di buat pelaku dan dan
korban maka boleh jadi ada dua kesimpulan yang bisa di hasilkan dari peristiwa tersebut :
1. oknum aparat penegak hukum memiliki kadar pengetahuan yang kurang memadai dan cukup landai untuk
memahami konsep etika penegakan hukum yang berkeadilan.
2. Ada motif tertentu di balik proses penegakan hukum itu sendiri semisal “balas dendam” yang disisipkan
dalam atribut proses pemidanaan.

Dua point penting ini dikatakan oleh Imam Prasodjo (sosiolog dari Universitas Indonesia) menggambarkan proses

hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum hanya mengikuti aturan formal dan tidak mempertimbangkan
substansi dan hati nurani. Senada dari pendapat imam, juga di kemukakan oleh Sosiolog Soetandyo
Wignjosoebroto bahwa hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati.
Ingat tujuan penegakan hukum bukanlah sebatas untuk menerapkan hukum semata, namun bertujuan yang hakiki
untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil (Prof. Dr.
H. Bagir Manan, SH, MCL), clear. Jika di amati secara tajam, tampaknya model penegakan hukum yang berlaku di
Indonesia tidak diarahkan pada dimensi pemulihan antara korban dan pelaku, namun condong pada punishment
(hukuman).
Penegakan hukum model seperti ini sangat mencemaskan dan lebih mirip episode keadilan sandal jepit yang
khusus berlaku untuk menjepit rakyat kecil. Ini memperkukuh stigma bahwa hukum akan keras dan tegas untuk
kalangan bawah tapi loyo bagai agar-agar bagi kalangan yang mempunyai uang. Apalagi jika sudah dibubuhi motif
tertentu semisal balas “dendam”, maka oknum aparat penengak hukum tak terbantahkan lagi akan melakukan
aborsi terhadap tujuan hukum sendiri itu sendiri.
Akhirnya, sudah selayaknya, semestinya, seharusnya, dan sepantasnya penanganan perkara pidana mengusung
pendekatan humanis. Karena sejatinya yang dicari dalam sebuah proses pidana pun adalah rasa keadilan, dan
bukan berdasarkan hukum.

Artikel Yang Berhubungan

2/2