TIMBAL BALIK DAN UMPAN BALIK OPINI LIGA

TIMBAL BALIK DAN UMPAN BALIK OPINI LIGA SANTRI NUSANTARA
Lalu Nurul Yaqin
Dosen Universitas Gunung Rinjani
Ph.D. Kandidate. FLL University Malaya, Malaysia
Walaupun sedang berada di negeri Jiran, mendengar dan membaca berita-berita
terbaru baik dalam bentuk opini maupun informasi lainnya yang sedang terjadi di NTB
menjadi rutinitas setiap hari. Hingga menemukan dua opini yang terbit beruntun pada
hari yang berbeda yaitu tentang Liga Santri Nusantara (LSN). Opini pertama tentang,
LIGA SANTRI UNTUK SIAPA (red.Radar Lombok) yang ditulis Mugni, Sn, Dr. dan
gayung pun bersambut dari saudara Jayadi Koordinator Regional Nusatenggara I Liga
Santri Nusantara “LIGA SANTRI DARI NEGARA UNTUK SANTRI”(red. Radar
Lombok). Dua opini yang sama tapi berbeda sudut pandang ini telah mewakili
pemikiran masing-masing konstetuennya (meminjam bahasa anggota dewan yg
terhormat). kalau dalam meja debat disebut dengan Affirmative tim (yang setuju) dan
Negative/opposition tim (tidak setuju).
Dari dua opini diatas yang pertama sesungguhnya ingin mengatakan secara tidak
langsung atau off record (bahasanya Brown dan Levinson, 1978; dalam menganalisis
kesantunan) bahwa Liga santri Nusantara (LSN) adalah milik Nahdhiyin NU yang
menggunanakan kendaraan Kemenpora untuk mengakomodir santri-santri NU atau
pesantren NU (walaupun sepegetahun penulis tidak ada satupun pondok pensantren
yang namanya pondok pesatren NU atau memakai label NU). Akhirnya sampai pada

kesimpulan LSN untuk siapa seperti lagunyanya Qasidah legendaris Nasida Ria “Wajah
Ayu Untuk Siapa?”. Akhirnya gendrang opini tersebut disambut dengan opini dalam

bentuk deklaratip oleh Jayadi (Co.liga LSN Nusa tenggara). Bahwa “LIGA SANTRI
DARI NEGARA UNTUK SANTRI”. Menurut penulis seharusnya opini pertama LSN
untuk siapa? harus dianggap sebagai otokritik terhadap penyelenggara LSN agar
melakukan pembenahan supaya tidak terjadi penstreotaipan pada salah satu organisasi
tertentu saja denga melibatkan stackholder Ponpes untuk urun rembuk bersama, tentu
dalam hal ini tidak semua Ponpes memiliki club sepak bola yang mempuni untuk
mengikuti event LSN, tapi setidaknya seperti yang sarankan oleh Mugni, Sn, Dr.
sebenarnya, karena event ini diseleggarakan oleh penyelenggara negara maka jalur
koordinasinya melalui kemenag provinsi atau kabupaten kota, sehingga tidak ada
perasangka yang membisu atau resistensi antara elit organisasi. Memang dalam
penyelenggaraannya LSN telah dilakukan secara professional sesuai standarisasi dari
federasi sepak bola dunia yaitu FIFA ungkap jayadi ditulisannya, tetapi dalam opini
publik tentu berbeda dengan hal teknis.
Mengakhiri opininya Mugni,Sn, Dr. mengulas secara pragmatik (kata tak selalu mewakili
maknanya) tentang kericuhan pada pertandingan LSN yang terjadi di zona Jawa Timur
Bayuwangi dan ketegangan di zona Lotim-sumbawa beberapa waktu lalu, seolah-olah,
mengatakan bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan ruh kesantrian yang ada pada

pondok pesantren, berarti ada yang salah dalam penyelenggaraannya, sehingga apa
bedanya dengan liga-liga lainya? dan disahut oleh Jayadi dalam opininya mengatakan
juga secara pragmatik bahwa hanya etensi penyelenggara yang harus di evaluasi
bukan malah dipertanyakan LSN untuk siapa? Karena memang LSN hajatannya untuk
santri agar menanamkan nilai kesopanan, hormat menghomati, secara tidak langsung
Jayadi

ingin

mengatakan

bahwa

hal

tersebut

jangan

didramatisir


kemudian

mempertanyakan LSN untuk siapa? Karena jelas untuk santri. Hingga pada
argumentasi definisi santri dengan menukil pendapat tokoh yang berbeda, Jayadi dalam
opininya mengacu pada Kiai Mustofa Bisri atau dikenal dengan Gusmus, sementara
Mugni, Sn. Dr. menukil definisi santri dari Zamakhsari Dhofier (2011:184 dalam Mugni,
Sn.Dr).
Terlepas dari dua sudut pandang diatas yang menarik untuk ditelisik adalah bukan opini
tentang LSN dari siapa dan untuk siapa? dan LSN dari Negara untuk santri? tetapi cara
berfikir bagaimana opini itu terbentuk atau dikonstruksi menjadi wacana, bukan pada
salah dan benar opini tersebut (baca ,Lombok post tanggal 9 dan 10, September 2016)
persis seperti alkisah bahwa memang bangsa sasak sulit disatukan fikirannya sejak
dulu, sehingga bangsa sasak hampir menjadi gulungan peta “itupun peta yang lusuh
(meminjam bahasanya WS. Rendra) karena suara tentang kesasakan tidak pernah
sama, satu yang memiliki karya tentang sasak, ramai ribut cendikiawan sasak sendiri
mencari tandingannya. Dalam hal ini sebenarnya tidak pas juga membuat analogi
seperti diatas, tetapi sedikit mewakili pandangan sebagai orang sasak dalam melihat
fenomena.
Pandangan-pandangan diatas sesungguhnya bermuara karena melihat Kemenpora

saat ini adalah kader NU, maka secara kasat mata juga melihat komposisi
penyelenggara didominasi oleh jamaah Nahdiyin. Sehingga konstruksi berfikir sebagian
orang yang berada diluar lingkaran tersebut tidak sama. Kenapa tidak ada yang
menyoal liga pelajar U16, Liga U17, dan liga-liga lainnya karena memang tidak ada
tendensius kepentingan untuk disoal. Coba lihat pada klub-klub sepak bola nasional
rata-rata mengambil pemain asing pada klub mereka dan kita hanya menjadi penonton

pada arena yang kita adakan tetapi tidak ada pertanyaan pemain bola dari mana dan
untuk siapa?. Sekarang ketika Kemenpora memberikan ruang pada pondok pesantren
agar bakat-bakat para santri khususnya dalam sepak bola bisa tersalurkan, justru
gendrang pertanyaan mengenai LSN banyak yang ditabuh oleh penggawa pesantren
pula.
Terlepas dari pandangan masing-masing, Kemenpora sebagai wakil penyelenggara
telah benar mengadakan hajatan Akbar Santri dan telah benar juga memberi nama Liga
Santri Nusantara (LSN) bukan Liga Santri NU Nusantara (LSNN). Maka tidak perlu
dilihat dari persefektif dan interpretasi yang terlalu meruncing sehingga bisa
memberikan resistensi yang kurang nyaman pada organisasi-organisasi yang ada
khususnya di NTB, karena Liga Santri Nusantara (LSN) yang digelindingkan oleh
Menpora Iman Nahrawi yang kick off pertamanya tahun 2015 lalu. Hal tersebut
seharusnya disambut dan menjadi angin segar bagi pondok pesantren yang

didalamnya ada jutaan santri yang memiliki bakat yang unik-unik bagaimana tidak jika
santri bisa menendang bola dan menjadi pemain professional maka menjadi ikon dan
kebanggaan sendiri bagi bangsa Indonesia bahwa pemain bolanya tidak hanya bisa
menjadi macan di lapangan tetapi menjadi hebat juga diatas podium/mimbar-mimbar
dakwah. Bukankan para pemain bola menjadi idola anak-anak muda masa kini, lihat
gaya cukur rambut anak muda sekarang jika ada jalur kereta api dikepala mereka bisa
dipastikan gaya tersebut datangnya dari para pemain sepak bola yang diidolakan. Saya
membayangkan jika pemain-pemain sepak bola kelak adalah alumni pesantren maka
bisa menjadi ghiroh (semangat/ kekuatan) yang luar biasa untuk dicontoh oleh anakanak muda dengan tetap menjadi pemain bola santri dimanapun mereka bertanding.

Menjadi renungan bersama dalam waktu yang tidak lama ini Ponpes Gontor telah
merayakan hari ulang tahunnya yang ke 90. Kiai sepuh mereka membuka pakaian
kebesarannya dengan memakai baju olah raga melalukan kick off bersama bupati
Ponorogo

sebagai

pertanda

dimulainya


pertandingan

sepak

bola

dengan

memperebutkan piala 90 tahun cup Gontor. Dengan ditendangnya bola oleh sang Kiai
membuat gemuruh para ribuan alumni yang berkumpul, dan mempertemukan mereka
dalam satu euporia dimana semua sekat, batas, profesi, dan jabatan melebur didalam
gemuruh sorak-sorak dalam stadion.
Memang harus diakui bahwa olah raga mampu menghubungkan segala sekat dan
membakar jiwa patriotis. Seperti pada perhelatan akbar dunia bulan Agustus lalu di Rio
Brasil dimana pasangan Liliyana dan Tontowi memberikan hadiah emas untuk bangsa
Indonesia yang akan merayakan hari kemerdekaanya, disebutkan dalam berita BBC
bahwa keduanya telah mampu mewakili keberagaman di Indonesia yang satu muslim
dan yang satunya lagi Katolik, yang satu Jawa dan yang satunya lagi keturunan
Tionghoa. Tapi mereka bahu membahu berjuang bersama, saling mendukung dan

mensupport menutupi kelemahan masing-masing. Tidak ada permusuhan dan tidak ada
kebencian diatara mereka. Dan mereka membawa emas untuk Indonesia.” Tulis
Dwityo. Hal yang sama juga terjadi di negeri jiran Malaysia ribuan warga dan Perdana
Menteri Datuk Tan Sri Najib Bin Razak melakukan nonton bersama dialun alun-alun
Putra Jaya. Yang secara kebetulan saya sedang berada di Malaysia dan menyaksikan
semua ethnic berkumul, dari India, China, Melayu tumpah ruah berkumpul mendukung
Datuk Lee chong Wai (Malaysia) Vs Chen Long (China) dalam final tunggal putra bulu
tangkis Olimpiade Rio 2016, hingga pada hari kemerdekaan Malaysia pada tanggal 31

Agustus semua yang mendapatkan mendali walaupun tidak ada yang mendapatkan
emas dielu elukan oleh perdana menterinya karena sangat bangga melihat warga
malaysia bersatupadu mendukung atlet nasionalnya. Walau ada segelintir orang
berpendapat siapapun yang menang dalam pertandingan di malaysia tetap China jadi
pemenangnya, karena sama-sama keturunan China.
Nah, kembali pada persoalan Liga santri Nusantara (LSN) yang hak patennya dipegang
oleh Kemenpora sekali lagi Kemenpora bukan organisasi Nahdatul Ulama (NU) tetapi
secara kebetulan beliau adalah kader NU. Tentu banyak perasangka positif dan negatif
muncul karenanya, dan itu sah-sah saja, karena memang kekuasaan cendrung
berpihak pada kepentingan siapa, dan apa? Sehingga wajar kalau ada reaksi dalam
bentuk opini liga santri nusantara untuk siapa?. Sama seperti hukum aksi-reaksi atau

hukum ketiga Newton. Gaya aksi sama dengan (min) Gaya reaksi atau F aksi = -F
reaksi. Itulah jawaban yang paling sering didengar dan di lontarkan jika seseorang
bertanya mengenai bunyi hukum tersebut. Tentu jawaban ini tidak hanya salah ruang
karena merupakan persamaan matematika (bukan pernyataan) akan tetapi juga dapat
menimbulkan penafsiran atau kesalahpahaman konsep (gagal paham). Ibarat
mengenal seseorang, hanya namanya saja. Begitu juga halnya pada setiap wacana
akan menimbulkan opini public, karena opini publik juga memiliki peran kontrol sosial
sebagai dasar pembagunan Negara demokrasi. Dalam melakukan interaksi dan
komunikasi

manusia

melakukan

transformasi,

pengatahuan,

sehingga


dalam

berkomunikasi pasti menimbulkan timbal balik kemudian timbul umpan balik yang
sering

disebut

menyampaikan

opini.
ide,

Opini

pendapat,

identik

dengan


kritikan,

dan

kebebasan,
saran

yang

keterbukaan

dalam

membangun

bukan

mendramatisir, mendestruksi keadaan dan juga menganggap diri pada pihak yang
selalu benar. Yang paling penting sekarang masing-masing posisikan diri sebagai aktor
bukan komentator lapangan. Sebagai aktor tentu akan memanfaatkan LSN sebagai

ajang unjuk kebolehan para santrinya dengan mempersiapkan kesebelasan yang
handal di Ponpes masing-masing. Dan penyelenggara LSN juga harus terbuka
menerima segala bentuk masukan yang membesarkan. Terakhir, Ali Bin Abi Tholib
mengatakan “Kebenaran yang dicari kemudian salah, tidaklah sama dengan kebatilan
yang dicari kemudian mendapatkannya”. Wallohuaklam Bissawab.