Sistem Multi Sensor Sebagai Metode Alter

Jurnal Elektrika Borneo Vol. 2 No. 1 Mei 2016

ISSN : 2443-0986

Sistem Multi Sensor Sebagai Metode Alternatif
Identifikasi Diabetes Mellitus Melalui Gugus Sensor Gas
Mulyadi1, Yuni Retnowati2, Joko Harianto3
1

Program Studi Teknik Elektro, Universitas Borneo Tarakan
2
Program Studi Kebidanan, Universitas Borneo Tarakan
3
Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Tarakan
mulyadi@borneo.ac.id

Abstract—Todayblood glucose monitoring device performed
invasive method with a needle on the patients finger or blood
vessels, this causes trauma especially if the frequency very often.
It causes the needfor more comfortable and effective device for
early

identificationof
diabetes
symptoms
becoming
urgent.Identification of the symptoms of diabetes can be done by
bloods or urine test. Odor of urine in diabetics containing
acetone is very high aroma than normal people. Diabetics
distinctive smell of urine is used as input for identification using
Principal Component Analysis and gas sensor system. To
visualize the results of the gas sensors used electronic nose
consisting of a series of gas sensors, digital acquisition system
and signal processing method. The result showed that the
olfactory system and Principal Component Analysis capable of
identifying odor diabetic patients with 86,42% accuracy.
Intisari— Saat ini, perangkat pemantauan glukosa darah
dilakukan secara invasif dengan menusukkan jarum pada jari
atau pembuluh darah klien. Hal ini menyebabkan trauma bagi
pasien terutama jika frekuensi pemeriksaan sangat sering.
Kondisi tersebut serta komplikasi dari penggunaan strip dan
komponen lainnya menunjukkan kebutuhan untuk perangkat

baru yang lebih nyaman dan efektif untuk pengenalan tandatanda diabetes sejak dini pada diri seseorang, untuk memastikan
apakah anda mengidap diabetes atau tidak dapat diketahui
dengan melakukan pengecekan yang terdiri dari pengecekan
darah dan urine. Odor urin pada penderita diabetes mellitus
mengandung kadar gas Aseton (C3H6O) yang sangat tinggi jika
dibandingkan dengan orang sehat. Bau khas urin penderita
diabetes inilah yang kemudian digunakan sebagai input untuk
identifikasi dengan menggunakan Principal Component Analysis
dan sensor gas. Untuk memvisualkan tanggapan sensor gas
tersebut dilakukan dengan menggunakan hidung elektronik
yang terdiri dari deret sensor gas, akuisisi digital dan metode
pengolahan sinyal. Studi ini menunjukkan bahwa sistem
penciuman elektronik
dan kombinasi perangkat lunak
pengolahan data mampu mengidentifikasi odor tertentu dengan
cepat dengan keakurasianmencapai 86,42%.

jiwa di tahun 2025 mendatang, dan setengah dari angka
tersebut terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Angka kejadian diabetes mellitus di Indonesia menempati

urutan keempat tertinggi di dunia yaitu 8,4 juta jiwa
(Kemenkes, 2011).
Fenomena yang terjadi di Tarakan dan daerah sekitarnya,
mayoritas pasien diabetes mellitus menemui paramedis setelah
kondisinya berada pada stadium kronik. Diabetes mellitus
yang kronik terkadang tidak menunjukkan suatu gejala sampai
tingkatan penyakit semakin parah. Sehingga penderita baru
menyadari setelah berada pada stadium tinggi. Kendala yang
dihadapi masyarakat tersebut seyogyanya tidak dibiarkan
berlarut-larut. Keterbatasan sarana untuk memantau kondisi
kesehatan, khususnya pendeteksian diabetes mellitus dapat
diupayakan melalui sebuah perangkat elektronik yang relatif
sederhana namun memiliki hasil analisa yang secara keilmuan
dapat dijadikan dasar acuan tentang kondisi kesehatan pasien
(Guo, 2010). Gejala penyakit diabetes mellitus dapat dideteksi
melalui sampel urin. Salah satu unsur yang diuji pada
makroskopik urin adalah bau (odor). Odor urin pada penderita
diabetes mellitus mengandung kadar gas aseton (C3H6O), NH3
dan H2S yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan orang
normal (Kodogiannis,2008). Pada laboratorium klinis,

pemeriksaan urin dilakukan untuk mendeteksi suatu penyakit,
tetapi dari pantauan yang kami lakukan hingga saat ini tidak
ada laboratorium klinis di wilayah perbatasan yang memiliki
alat penganalisa odor urin untuk mendeteksi suatu penyakit.
Hal ini menjadi dasar dalam melakukan penelitian tentang
aplikasi teknologi sistem penciuman elektronik. Teknologi
sistem penciuman elektronik dengan memanfaatkan sensor
gas dapat digunakan untuk mendeteksi perbedaan odor pada
urin yang disebabkan oleh suatu bakteri (Ida, 2006).

II. TINJAUAN PUSTAKA
A.

Kata Kunci— odor, diabetes, electronic nose

I. PENDAHULUAN
Kecenderungan kenaikan penderita diabetes mellitusterlihat
dari meningkatnya jumlahpenderita diabetes mellitus di dunia
dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia
pada tahun 2003, jumlah penderita diabetes mellitus mencapai

194 juta jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 333 juta

1

Diabetes Mellitus
Ukuran Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan
metabolik yang dicirikan oleh hiperglikemia dan relatif
kekurangan, atau ketiadaan lengkap insulin. Ini adalah
penyakit,
yang
berdasarkan
komplikasinya
dapat
mempengaruhi semua sistem organ dalam tubuh. Pencegahan,
diagnosis yang tepat waktu, dan pengobatan adalah penting
dalam pasien diabetes mellitus. Banyak dari komplikasi yang

Jurnal Elektrika Borneo Vol. 2 No. 1 Mei 2016

ISSN : 2443-0986


terkait dengan diabetes, seperti nefropati, retinopati, neuropati,
penyakit jantung, stroke, dan kematian, dapat tertunda atau
dicegah dengan perawatan yang tepat dari tekanan darah
tinggi, lipid dan glukosa darah. Tubuh biasanya mampu
menjaga kadar gula tetap stabil. Gula darah puasa normal
yang biasanya antara 3.5-6.7mmol/l. Setelah makan itu akan
jarang melebihi 8mmol l. Tidak biasanya tidak glukosa dalam
urin karena ambang normal di atas glukosa yang akan muncul
dalam urin akan 10mmol/l. di bawah konsentrasi 10mmol/l
ginjal mengendur glukosa kembali ke dalam aliran darah dan
jadi glukosa tidak muncul dalam urin kecuali konsentrasi
glukosa darah tinggi.

error (mse). Dalam standar JST-BP, laju pemahaman berupa
suatu konstanta yang nilainya tetap selama iterasi. Akibatnya
unjuk kerja algoritma sangat dipengaruhi oleh besarnya laju
pemahaman yang dipakai. Secara praktis sulit menentukan
laju pemahaman yang paling optimal sebelum pelatihan
dilakukan. Laju pemahaman yang terlalu besar maupun terlalu

kecil akanmenyebabkan pelatihan menjadi lambat. Metode
standar JST-BP ini seringkali terlalu lambat untuk keperluan
praktis sehingga fungsi pelatihannya diganti untuk
mempercepatnya. Metode yang dipakai menggunakan teknik
heuristic yang dikembangkan dari metode penurunan tercepat
yang dipakai dalam standar JST-BP dengan metode variable
laju pemahaman (learningrate) dengan menambahkan faktor
momentum. Laju pemahaman bukan merupakan konstanta
yang tetap tetapi dapat berubah-ubah selama iterasi (Mauridhi
dkk, 2006). Perubahan bobot dengan menambahkan
momentum memperhatikan perubahan bobot pada iterasi
sebelumnya. Perhitungan unjuk kerja dalam JST-BP
dilakukan berdasarkan mse. Umumnya pelatihan JST-BP
dalam matlab dilakukan secara berkelompok (batch training)
dimana semua pola dimasukkan dalam sebuah matriks dahulu
kemudian bobot diubah tiap epoch.

B.

Sistem Hidung Elektronik

Sistem olfaktori elektronik atau Hidung Elektronik
(eNose) telah dikembangkan dan diterapkan dalam berbagai
bidang. Instrumen Hidung Elektronik
adalah sebuah
instrumen yang dimaksudkan untuk mendeteksi bau atau
aroma. Sistem olfaktori elektronik adalah sistem pengindera
elektronik yang mempunyai kemampuan meniru cara kerja
indera penciuman manusia. Hidung Elektronik terdiri dari
beberapa sensor gas yang mempunyai selektivitas dan
sensitifitas beragam sebagaimana sistem struktur syaraf
penciuman dalam olfaktori manusia (Witt, dkk 2009). Hal
tersebut menyebakan data luaran sebuah system Hidung
Elektronik berupa pola-pola yang merupakan perwakilan dari
masing-masing aroma sehingga dapat dimanfaatkan untuk
sistem identifikasi, perbandingan, kuantifikasi dan klasifikasi
berdasarkan aroma.
C.

Jaringan Saraf Tiruan-Backpropagation
Algoritma Backpropagation termasuk metode pelatihan

terbimbing (supervised) dan didesain untuk operasi pada JST
feed forward lapis jamak (multi layer ). Algoritma
Backpropagation dipakai pada penelitian ini karena proses
pelatihannya didasarkan pada interkoneksi yang sangat
sederhana dimana bila keluarannya memberikan hasil yang
salah, maka bobot dikoreksi sehingga error dapat diperkecil
dan tanggapan JST selanjutnya akan diharapkan akan
mendekati nilai yang benar. Ketika JST diberikan pola
masukan sebagai pola pelatihan maka pola tersebut menuju ke
unit-unit pada lapis tersembunyi untuk diteruskan keunit-unit
pada lapis keluaran. Kemudian unit-unit lapis keluaran
memberikan tanggapan yang disebut sebagai keluaran JST.
Saat keluaran JST tidak sama dengan keluaran yang
diharapkan maka keluaran akan disebarkan mundur pada lapis
tersembunyi diteruskan ke unit pada lapis masukan. Algoritma
Backpropagation melatih jaring untuk mendapatkan
keseimbangan antara kemampuan jaring untuk mengenali pola
yang digunakan selama pelatihan serta kemampuan jaring
untuk memberikan respon yang benar terhadap pola masukan
yang serupa (tapi tidak sama) dengan pola yang dipakai

selama pelatihan. (Siang, 2005). Pelatihan dilakukan untuk
meminimumkan kuadrat kesalahan rata-rata atau mean square

Gambar. 1 Arsitektur Backpropagation

Algoritma Backpropagation :
a.
b.

Inisialisasi bobot (ambil bobot awal dengan nilai
random yang cukup kecil)
Kerjakan langkah-langkah berikut selama kondisi
bernilai FALSE. Langkah-langkahnya sebagai
berikut :

Feedforward :

a.

2


Tiap-tiap unit input (Xi,i=1,2,3,….,n) menerima
sinyal xi dan meneruskan sinyal tersebut ke semua
unit pada lapisan yang ada diatasnya (lapisan
tersembunyi).

Jurnal Elektrika Borneo Vol. 2 No. 1 Mei 2016
b.

ISSN : 2443-0986

Tiap-tiap unit tersembunyi (Zj,j=1,2,3,….,p)
menjumlahkah sinyal-sinyal dengan bobot :
_

=

0

+
f.

=1

Gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal
outputnya :
= �(
)

=

0





+

Tes kondisi berhenti

=

+∆

Penelitian dilakukan di Kota Tarakan selama 5 bulan.Pada
penelitian ini dilakukan eksperimental untuk pengujian sistem
penciuman
elektronik
cerdas
menggunakan
bahan
semikonduktor dan jaringan syaraf tiruan. Implementasi
jaringan saraf tiruan dengan algoritma Backpropagation
berfungsi sebagai sistem identifikasi penyakit Diabetes
Mellitus non invasif.
Eksperimen ini menggunakan deret sensor gas
semikonduktor produksi Figaro. Setiap sensor gas dipanaskan
dengan menerapkan tegangan 5 Volt pada elemen
pemanasnya dan konduktansinya diukur pada konfigurasi
setengah jembatan menggunakan tegangan catu sebesar 12
Volt. Suhu dan kelembaban ruang pengujian dijaga konstan
pada 25±2ºC, kelembaban 60±3% serta tekanan 1 atmosfir
dan diamati dengan sistem berbasis bahasa pemrograman
yang dibuat sendiri. Untuk setiap pengukuran uap sampel
alirkan ke ruang uji tanpa tambahan zat kimiawi lainya.
Masing-masing sampel dilakukan pengukuran sebanyak
sepuluh kali pengukuran. Nilai perubahan tegangan sensor
selama 10 detik ditentukan sebagai nilai tegangan awal untuk
masing-masing sensor. Saat perubahan tegangan mendekati
kestabilan, nilai rata-rata perubahan tegangan untuk 30 detik
dicatat sebagai nilai tegangan akhir untuk masing-masing
sensor.

Gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal
outputnya :
= �( _ )

Dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit
dilapisan atasnya (unit-unit output).

Backpropagation
Tiap-tiap unit output ( , = 1,2,3, … , )
menerima target pola yang berhubungan dengan
pola input dari pembelajaran, hitung informasi
errornya :
�′
� =

Kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya
digunakan untuk memperbaiki nilai wjk):

= ��

Hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan
digunakan untuk memperbaiki nilai w0k):
∆ 0 = ��

Kirimkan � ini ke unit-unit yang ada dilapisan
bawahnya.
e.



metode penelitian

=1

d.

, = 1,2,3, … , �

memperbaiki bias dan bobotnya = 0,1,2, … . , ):

Tiap-tiap unit output ( , = 1,2,3, … , )
menjumlahkan sinyal sinyal input dengan bobot :
_

Tiap-tiap unit output ( , = 1,2,3, … , )
memperbaiki bias dan bobotnya ( = 0,1,2, … . , �):
+∆
� =
Tiap-tiap unit tersembunyi

Dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit
dilapisan atasnya (unit-unit output).

c.

Hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan
digunakan untuk memperbaiki nilai 0 ):
∆ 0 = ��

Tiap-tiap unit tersembunyi ( , = 1,2,3, … , �)
menjumlahkan delta input (dari unit-unit yang
berada pada lapisan atasnya):


=
=1



Kalikan nilai ini dengan turunan dari fungsi
aktivitasnya untuk menghitung informasi error :
� = �_ � ′ �_

Kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya
akan digunakan untuk memperbaiki nilai ):
∆ = ��

Gambar. 2 Rangkaian Sensor

Sensor semikonduktor yang dipakai sebanyak tiga jenis
yaitu: TGS 825, TGS 2602, dan TGS 2444. Untuk rangkaian
yang dipakai mengacu pada rangkaian dasar pengukuran

3

Jurnal Elektrika Borneo Vol. 2 No. 1 Mei 2016

ISSN : 2443-0986

sensor TGS.Sensor membutuhkan dua input tegangan yaitu
tegangan pemanas (VH) dan tegangan sirkuit (VC). tegangan
pemanas (VH) diterapkan dengan pemanas terpadu untuk
mempertahankan elemen pendeteksian pada suhu spesifik
yang optimal. Tegangan sirkuit (VC) diterapkan untuk
melakukan pengukuran tegangan (VOUT) di resistor beban (RL)
yang dihubungkan secara seri dengan sensor. Tegangan DC
diperlukan untuk tegangan rangkaian setelah sensor ini
memiliki polaritas. Suatu rangkaian pencatu daya digunakan
untuk kedua VC dan VH untuk seluruh kebutuhan catudaya
sensor. Nilai dari resistor beban (R L) harus dipilih untuk
mengoptimalkan nilai ambang batas, agar konsumsi daya (PS)
semikonduktor dibawah 15 mW. Konsumsi daya (P S) tertinggi
dicapai ketika nilai RS sama dengan RL setelah terkena paparan
gas.

Gambar. 5 Data Sampel Urin Positif DM

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksperimen dimulai dengan mengalirkan gas N2 ke dalam
ruang pengujian sampel urin dan nilai tegangan sensor diamati
hingga dicapai nilai tegangan keluaran sensor yang stabil
kemudian dilanjutkan dengan mengalirkan uap sampel urin ke
ruang pengujian. Tanggapan waktu untuk tiap sensor
ditunjukkan pada Gambar 3

A. Analisa Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan
Data pengujian sampel selanjutnya diproses dengan
menggunakan Jaringan Saraf Tiruan yang bertujuan untuk
mengklasifikasi data keluaran sensor TGS dari setiap
pengukuran sampel yang dilakukan. Pada Jaringan Saraf
Tiruan dikenal istilah proses pelatihan, proses pelatihan ini
bertujuan untuk melatih jaringan hingga diproleh bobot yang
diinginkan. Pada proses pelatihan, data sample kemudian
diubah formatnya serta diberikan target untuk tiap jenis data
(Data Urine Positif DM = 100, Data Urine Sehat = 010)
Dari proses pelatihan menggunakan program antar muka yang
dibuat sendiri dengan bahasa pemrograman diperolehlah data
hasil pelatihan seperti gambar berikut ini:

Gambar. 3Akuisisi Data Sampel

Dari proses akusisi sampel urine diproleh data seperti berikut :

Gambar. 4 Data Sampel Urin Sehat
Gambar. 5 Data Pelatihan JST

4

Jurnal Elektrika Borneo Vol. 2 No. 1 Mei 2016

ISSN : 2443-0986

Kemudian data tersebut diinput ke program, sehingga
menghasilkan nilai Bobot, sebagai berikut:
input=8,output=2, node1= 5, node2 = 5, ∑ iterasi = 578,
α= 0,5 ; β = 0,001 ;
TABEL I
Data Bobot Akhir dan Bias Akhir pada JST
Nilai Weight

Nilai Bias

1.45E-01

-1.05E-01

-4.88E-01

2.65E-01

4.40E+00

-2.30E-01

-1.57E+00

4.23E-01

-5.46E-01

-1.40E-01

-2.87E+00

-1.49E-01

-8.23E-01

-2.09E-01

2.61E-01

4.62E-01

5.10E-03

1.36E-01

-1.16E-01

-3.80E-01

-1.56E+00

-4.68E-01

3.42E+00

3.33E-01

4.43E+00

-2.65E-01

Gambar. 7 Hasil Identifikasi Urin Negatif DM

Berdasarkan gambar. 7 Setelah proses pembacaan
sensor terjadi perubahan grafik dimana respon gas sudah stabil.
Perubahan grafik tersebut merupakan pola sampel yang
kemudian disesuaikan dengan target. Untuk pola diatas
merupakan pola Urin Normal.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan, maka diambil
kesimpulan bahwa sensor gas yang digunakan pada penelitian
ini yaitu TGS 2602, TGS 2444 dan TGS 825 telah bekerja
sesuai dengan perencanaan namun terdapat kecenderungan
nilai tegangan keluaran dari sensor relatif tidak berubah jika
terpapar odor sejenis selama lebih dari 60 detik. Hal ini
diasumsikan merupakan karakteristik bahan SnO 2 yang
merupakan elemen utama bahan sensor sensitif. Waktu 5 detik
yang digunakan untuk pengambilan data dinilai baik, karena
telah dapat dijadikan acuan untuk merekam respon tegangan
yang stabil. Proses identifikasi pola sampel urin pasien yang
telah berhasil dicapai adalah 86,42% sehingga disimpulkan
sistem yang dibangun telah mampu mengkarakterisasi pola
sampel air seni responden positif diabetes mellitus dan air seni
responden bukan penderita diabetes mellitus.

Data nilai bobot inilah kemudian di input ke program untuk
proses identifikasi seperti berikut ini

REFERENSI
[1]
[2]

[3]
Gambar. 6 Hasil Identifikasi Urin Positif DM

Berdasarkan gambar 6 untuk hasil identifikasi Urine
Positif DM terlihat pada grafik data sensor untuk axis Y
(Bilangan heksa hasil keluaran sensor) dan axis X (waktu
dalam detik), dibutuhkan waktu 5 detik untuk proses
pembacaan sensor. Untuk masing-masing jenis sensor
ditunjukan oleh garis berwarna. Setelah proses pembacaan
sensor terjadi perubahan grafik dimana respon gas sudah stabil.
Perubahan grafik tersebut merupakan pola sampel yang
kemudian disesuaikan dengan target. Untuk pola diatas
merupakan pola Urin Positif DM.

[4]

[5]

[6]
[7]

5

Kemenkes, Article Diabetes Mellitus Penyebab Kematian Nomor 6 di
dunia , http://www.depkes.go.id, 2011.
D. Guo, D. Zhang, N. Li, L. Zhang, J. Yang, “A Novel Breath Analysis
System Based on Electronic Olfaction”, IEEE Trans. Biomed. Eng. 57,
1-11. 2010.
V. S. Kodogiannis, N. John, T. Andrzej, and S. C. Hardial, “Artificial
Odour Discrimination System Using Electronic Nose and Neural
Networks for the Identification of Urinary Tract Infection ,” EEE Trans.
Information Technology in Biomedicine., vol. 12(6): 707–713, 2008.
A. C. Ida, D.di. Piero, C. Massimilano. and D.Paulo, “Application of
Electronic Nose for Disease Diagnosis and Food Spoilage Detection”
S e n s o r . 6: 1428–1439, 2006.
K. Witt, T. Jochum, W. Poitz, K. J. Bär, and Voss, “An Application of
an Electronic Nose to Diagnose Liver Cirrhosis from The Skin Surface ”
Proceedings of World Congress on Medical Physics and Biomedical
Engineering, Munich, Germany, 7–12 September 2009; In IFMBE
Proceedings 25/VIII, Dössel, O., Schlegel, W.C. Eds., pp. 150-152.,
2009.
Jong Sek Siang, “Jaringan Syaraf Tiruan dan pemprogramannya
Menggunakan MATLAB” Andi Press ,Yogyakarta, 2006
Purnomo Hery Mauridhi, "Supervised Neural Networks dan
Aplikasinya" Edisi I. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006.