PENGARUH KONFUSIANISME DALAM PENERAPAN D

PE NGA R UH K ONF USIA NISME DA L A M PE NE R A PA N DE MOK R A SI
DI V IE T NA M PA SC A K E BIJ A K A N DOI MOI

Mata K uliah Politik di Indocina (K elas A )
Ulima Umavashti – 1406542224

A BSTRA K
Nilai-nilai komunisme masuk ke V ietnam sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan yang
dibawa oleh Ho Chi Minh. Setelah tercapainya kemerdekaan, Ho Chi Minh memilih untuk
menamai V ietnam sebagai Democratic Republic of Vietnam. Namun, reunifikasi V ietnam
Utara dan V ietnam Selatan pada tahun 1976 ikut merubah nama V ietnam menjadi Socialist
Republic of Vietnam. Hal ini diiringi dengan perubahan sistem politik dan ekonomi V ietnam
menjadi bersifat terpusat. L angkah ini tadinya bertujuan untuk menyama ratakan keadaan
politik dan ekonomi di V ietnam Utara dan V ietnam Selatan. Namun, nyatanya sistem sosialis
yang terpusat ini justru membawa V ietnam kepada menurunnya performa ekonomi dan
melemahnya legitimasi masyarakat terhadap pemerintah. A khirnya pemerintah V ietnam yang
dikuasai oleh Communist Party of Vietnam (CPV ) memutuskan untuk merubah sistem
ekonomi V ietnam menjadi socialist – market oriented economy. Perubahan tersebut
diimplementasikan melalui diterapkannya kebijakan Doi Moi. Tidak hanya meningkatnya
pertumbuhan ekonomi, kebijakan Doi Moi pun turut membuka keran demokratisasi di
V ietnam. Namun, demokrasi yang diterapkan di V ietnam berbeda dengan nilai-nilai

demokrasi a la Barat. Walaupun pemilu telah dijalankan dan dibentuk organisasi-organisasi
masyarakat, demokrasi di V ietnam masih dikontrol dan diawasi penuh oleh pemerintah atau
CPV . Perbedaan penerapan demokrasi di V ietnam dan di negara Barat ini tidak terlepas dari
pengaruh nilai-nilai konfusianisme yang telah mengakar di dalam masyarakat V ietnam.

Keywords: Demokrasi, Doi Moi, K onfusianisme, V ietnam

1

L atar Belakang
Budaya, tradisi, adat, norma maupun kebiasaan adalah merupakan hal yang bersifat
shared identity. Dengan kata lain, nilai budaya merupakan identitas yang dimiliki bersama
oleh sekelompok individu, atau yang biasa disebut sebagai masyarakat. K esamaan nilai
budaya tersebut akhirnya membentuk sebuah pola tersendiri dalam kehidupan setiap
masayrakat. Pola yang khusus tersebut mencakup perilaku dan cara berpikir yang dimiliki
setiap anggota masyarakat tersebut. Dalam hal V ietnam, jauh sebelum masa kolonialisme,
masyarakat asli V ietnam telah memiliki nilai budaya tersendiri. Nilai budaya tersebut adalah
nilai konfusianisme. Nilai konfusianisme masuk ke dalam masyarakat V ietnam pada saat
terjadi okupasi wilayah oleh T iongkok pada sekitar abad ke-17, atau pada tepatnya pada masa
dinasti Nguyen.1 Nilai konfusianisme ini akhirnya mengakat di dalam masyarakat V ietnam,

dan seperti yang telah disebutkan, nilai tersebut membentuk sebuah kebiasaan, norma dan
perilaku tersendiri bagi masyarakat V ietnam.
Masuknya Perancis dan dimulainya proses kolonialisasi di V ietnam, akhirnya
memunculkan rasa kebutuhan akan nilai baru yang dapat melepaskan V ietnam dari
kolonialisasi tersebut. K arena hal tersebut, akhirnya para kaum terpelajar V ietnam bersekolah
ke J epang dan mencontoh nilai-nilai nasionalisme yang dimiliki masayrakat J epang. Dengan
semakin mapannya penanaman nilai-nilai nasionalisme, kaum terpelajar mulai membentuk
organisasi-organisasi perjuangan revolusi yang lebih bersifat radikal, seperti Liga Restorasi
V ietnam.2 Lahirnya Liga Restorasi V ietnam membawa kepada lahirnya organisasi-organisasi
serupa lainnya di V ietnam. Hingga pada tahun 1923, pemerintah kolonial Perancis
mengizinkan masuknya masyarakat V ietnam ke dalam dewan perwakilan yang ada dan hal
ini selanjutnya melahirkan partai-partai politik yang berbasis masyarakat V ietnam.3 Salah
satu partai politik yang bersifat radikal dalam memperjuangkan kemerdekaan V ietnam adalah
Viet Nam Quoc Dan Dang (V NQDD). V NQDD mulai melakukan aksi radikal seperti aksi
teror bom pada awal tahun 1930an, dan pada saat ini pula aksi radikal yang terjadi di
V ietnam menjadi semakin gencar dilakukan karena didukung oleh masuknya ideologi
komunisme.4

1


Phan ti Hong V an, “T he Interaction between Culture and Economy in V ietnam”, Paper in ERSA 2011
Conference, hlm.7
2
Ibid.
3
Douglas Pike, Viet Cong: The Organization and Technique of The NLF of South Vietnam, (New Y ork: M.I.T.
Press, 1968), hlm.17
4
Ibrahim, Op.cit., hlm.21

2

Masuknya ideologi komunisme ke V ietnam diawali dengan munculnya pemikiranpemikiran Ho Chi Minh yang terinspirasi dari pemikiran Marxism dan Leninism. Diadopsinya
nilai-nilai komunisme oleh Ho Chi Minh dan digunakannya untuk memperjuangkan revolusi
di V ietnam tidak lain karena pada saat itu Ho Chi Minh memandang ideologi komunis lah
yang dapat menjadi alat baginya dalam mencapai revolusi kemerdekaan. Nilai-nilai Marxism
dan Leninism seperti anti imperialisme, anti kolonialisme, dan berfokus pada memperkuat
kelas pekerja dipandang Ho Chi Minh akan mampu membawa V ietnam ke sebuah revolusi.5
Namun, ideologi komunisme yang diterapkan Ho Chi Minh di V ietnam sedikit banyak
berbeda dengan ideologi komunisme yang diterapkan di Eropa T imur pada saat itu. Ideologi

komunisme a la Ho Chi Minh tidak melepaskan keterlibatan nilai-nilai konfusianisme yang
telah mengakar di dalam masyarakat V ietnam. Hal ini karena komunisme di A sia, atau
khususnya V ietnam, memiliki sifat yang lebih adaptif dan fleksibel dalam upaya penerapan
dan penanaman nilainya di masyarakat. Dan akhirnya menjadikan ideologi komunisme di
A sia dapat bertahan dan tetap diterapkan sampai saat ini walaupun komunisme telah runtuh
di Eropa Timur sejak bertahun-tahun lalu.
Selain itu, Ho Chi Minh memandang ideologi komunisme hanya sebagai alat dalam
mencapai kemerdekaan V ietnam saja, bukan sebagai sebuah set of values yang akan
dijadikan panduan kehidupan masyarakat V iernam nantinya. Benar saja, pada tahun 1945
saat Ho Chi Minh pertama kali memproklamasikan kemerdekaan V ietnam, Ho Chi Minh
tidak menjadikan V ietnam sebagai negara sosialis komunis. Melainkan, Ho Chi Minh pada
saat itu mendirikan sebuah negara demokrasi, yang kemudian disebut sebagai Democratic
Republic of Vietnam (DRV ). Namun, terjadinya perang V ietnam antara V ietnam Selatan dan
V ietnam Utara (DRV ) menjadikan penerapan demokrasi di DRV pada saat itu tidak
maksimal. A khirnya saat terjadi reunifikasi DRV dengan V ietnam Selatan pada tahun 1976,
Democratic Republic of Vietnam merubah namanya menjadi Socialist Republic of Vietnam.
Tidak hanya merubah nama negara saja, V ietnam juga mengalami perubahan dalam
berbagai aspek, khususnya dalam bidang ekonomi. Sistem ekonomi V ietnam berubah
menjadi model centrally planned economy. Perubahan sistem ekonomi diharapkan nantinya
dapat memperlancar proses penyatuan antara V ietnam Utara dan V ietnam Selatan, karena

akan tercipta keadaan ekonomi yang setara di kedua wilayah tersebut. Model centrally
planned economy ini dapat dilihat salah satunya melalui kebijakan F ive Year Plan (1976-

5

Ibid.

3

1980). Tujuan utama dari dikeluarkannya F ive Year Plan (1976-1980) sendiri adalah agar
pada akhir tahun 1979 pemerintah V ietnam dapat menguasai seluruh agrikultur dan industri
yang berada di V ietnam Selatan.6 Namun, nyatanya kebijakan ini tidak sepenuhnya sukses
diterpakan. Dan justru memunculkan masalah baru dimana usaha agrikultur dan industri yang
telah di nasionalisasikan mengalami kemunduran dalam hal produksi dan menyebabkan
kerugian tersendiri bagi pemerintah V ietnam pada saat itu.7
Gagalnya penerapan sistem ekonomi yang terpusat turut menurunkan legitimasi
masyarakat terhadap pemerintah V ietnam pada saat itu. hal ini mendorong pemerintah
V ietnam untuk merubah sistem perekonomiannya. Pada tahun 1986 akhirnya pemerintah
V ietnam dalam K ongres Nasional Communist Party of Vietnam (CPV ) yang ke-6
memutuskan untuk mengganti sistem ekonomi V ietnam menjadi socialist – market oriented

economy. Penerapan sistem ekonomi baru tersebut dilakukan melalui dikeluarkannya paket
kebijakan Doi Moi. K ebijakan Doi Moi ini selanjutnya membuka pintu bagi masuknya
investasi-investasi asing ke dalam V ietnam. V ietnam juga menjadi terlibat langsung di dalam
praktik perekonomian global. Walaupun begitu, sesuai dengan namanya, sistem
perekonomian ini tidak semata-mata menghilangkan peranan pemerintah V ietnam dalam
mengontrol dan mengawasi secara penuh berjalannya perekonomian.
Selanjutnya, pasca diterapkannya kebijakan Doi Moi, keran demokratisasi pun ikut
terbuka di V ietnam. Hal ini dapat dilihat dari telah dilangsungkannya pemilihan umum yang
semua masyarakat V ietnam dapat memilih, dibolehkannya masyarakat non CPV untuk
mencalonkan diri dalam pemilu serta terdapatnya organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Walaupun secara praktik demokrasi telah diterapkan di V ietnam pasca dikeluarkannya
kebijakan Doi Moi, secara substansi demokrasi tersebut masih jauh dari kata mapan. Hal ini
selanjutnya dapat dilihat melalui beberapa hal seperti negara yang masih sangat kuat dalam
mengatur dan mengawasi setiap aspek dalam kehidupan masyarakat serta hegemoni satu
partai yaitu Communist Party of Vietnam (CPV ).
R umusan Masalah
K olonialisasi yang dilakukan oleh Perancis di V ietnam sejak tahun 1884,
memunculkan semangat nasionalisme dan revolusi, khususnya di kalangan kaum terpelajar

6


Marine.mil, The Government and Politics, hlm.4, dalam
Http://www.marines.mil/Portals/59/Publications/V ietnam%20Study_3.pdf diakses pada 12 A pril, 21.06 WIB.
7
Ibid., hlm.5

4

V ietnam. Bersekolah di J epang dan Tiongkok, kaum terpelajar ini kemudian dalam upaya
memperjuangkan kemerdekaan V ietnam mendapatkan pengaruh besar dari nilai utama di
kedua negara tersebut, yaitu K onfusianisme. K onfusianisme yang berfokus pada pentingnya
kedaulatan negara akhirnya mengakar pada setiap masyarakat V ietnam yang menginginkan
tercapainya kemerdekaan pada saat itu. Namun, dalam upaya perjuangan revolusi V ietnam,
masuk sebuah ideologi baru yaitu komunisme ke dalam masyarakat. Ho Chi Minh lah yang
pertama kali membawa ideologi ini dengan mengacu kepada pemikiran Marxist Leninist.
Namun, berbeda dengan ideologi komunisme di Eropa Timur, penerapan ideologi
komunisme di V ietnam cenderung lebih bersifat adaptif dan fleksibel. Sifat-sifat ini
menjadikan nilai komunisme diterapkan beriringan dengan nilai-nilai lain yang telah ada.
Dalam hal komunisme a la Ho Chi Minh, tetap mengandung nilai-nilai konfusianisme yang
telah terlebih dahulu mengakar di masyarakat V ietnam. Sifat adaptif dan fleksibel terhadap

nilai lain ini juga lah yang menjadikan ideologi komunisme dapat bertahan di V ietnam.
Namun, walaupun begitu setelah V ietnam merdeka tahun 1945, Ho Chi Minh justru memilih
untuk menerapkan sistem demokrasi di V ietnam. K arena Ho Chi Minh memandang ideologi
komunisme hanya sebagai alat mencapai kemerdekaan bukan sebagai sebuah sistem yang
harus diterapkan dalam masyarakat.
Selanjutnya, dalam perjalanannya, V ietnam akhirnya memilih untuk menerapkan
sistem sosialis komunis guna melancarkan upaya penyatuan V ietnam Utara dan V ietnam
Selatan mulai tahun 1976. Namun ternyata, sistem sosialis komunis yang mengedepankan
kontrol dan peran negara yang kuat di seluruh bidang mengakibatkan krisis ekonomi bagi
V ietnam pada pertengahan tahun 1980an. Semakin rendahnya legitimasi masyarakat terhadap
pemerintah V ietnam pada saat itu akhirnya mendorong V ietnam kepada perubahan sistem
ekonomi. A khirnya pada tahun 1986 V ietnam merubah sistem ekonominya menjadi socialist
– market oriented economy, yang mana V ietnam membuka diri kepada sistem perekonomian
global. Penerapan sistem ekonomi yang baru ini dilakukan melalui dikeluarkannya kebijakan
Doi Moi. Selain membawa V ietnam kepada pertumbuhan ekonomi yang signifikan,
kebijakan Doi Moi ini turut membuka keran demokratisasi di V ietnam. Dan pasca
dikeluarkannya kebijakan Doi Moi, mulai dilaksanakan beberapa elemen demokrasi seperti
pemilu di V ietnam. Namun kenyataannya sampai saat ini praktik demokrasi di V ietnam,
apabila mengacu kepada model demokrasi a la Barat, masih jauh dari kata mapan. Maka dari
itu, menarik bagi penulis untuk menganalisis lebih lanjut faktor apa yang menyebabkan

demokrasi di V ietnam pasca kebijakan Doi Moi tidak mencapai sebuah kemapanan.
5

Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis memiliki pertanyaan penelitian
sebagai berikut;
“ Bagaimana pengaruh nilai konfusianisme terhadap penerapan demokrasi di V ietnam pasca
kebijakan Doi Moi? ”
K erangka K onsep : Demokrasi, Asian values dan K onfusianisme
Pada periode tahun 1974-1990 setidaknya terdapat 30 negara yang melakuan transisi
menuju pemerintahan yang demokratis. J umlah tersebut bahkan sebanyak dua kali lipat dari
banyaknya negara demokratis yang ada pada saat itu. Menurut Samuel P. Huntington,
gelombang demokratisasi pada tahun 1974-1990 ini merupakan The Third Wave Democracy
(gelombang ketiga demokrasi). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya
gelombang ketiga demokrasi tersebut, salah satunya adalah krisis ekonomi yang melanda
sebagian besar negara otoritarian. Mulai kuatnya sistem ekonomi global membawa negara
otoritarian kepada pilihan untuk membuka sistem ekonominya terhadap hubungan dengan
negara maju lain dalam sebuah sistem yang sama. Dibukanya keran globalisasi tersebut tidak
hanya merubah sistem perekonomian negara-negara otoritarian melainkan juga turut
membawa mereka kepada sebuah proses demokratisasi.

Demokrasi sendiri memiliki akar yang berafiliasi dengan nilai-nilai Barat.8
K hususnya A merika Serikat dan Eropa Barat menjadi agen pendorong terjadinya
demokratisasi di negara-negara otoritarian pada tahun 1974-1990. Upaya A merika Serikat
dan Eropa Barat dalam mendorong demokratisasi ini dilakukan melalui pembentukan
komunitas-komunitas ekonomi dan pemberian bantuan dana seperti masuknya investasi ke
dalam negara-negara otoritarian tersebut. Upaya tersebut dilakukan juga dalam rangka
memperkuat pengaruh nilai Barat dan meredam nilai-nilai komunis sosialis. Namun, ternyata
pada akhir periode gelombang ketiga demokrasi, tidak semua negara otoritarian yang
mengalami gelombang demokrasi sepenuhnya menjadi negara yang demokrasi. Terdapat
beberapa negara yang justru kembali menjadi negara otoritarian atau justru terjebak diantara
model otoritarian dan demokrasi. Negara-negara ini kemudian menjadi negara semidemocracy, atau pseudo-democracy.

8

Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democracy in the Late Twentieth Century, (US: University of
Oklahoma Press, 1993), hlm.13

6

Salah satu hal yang menyebabkan tidak berhasilnya proses transisi demokrasi

pada beberapa negara otoritarian di gelombang ketiga demokrasi adalah lemahnya
nilai-nilai demokrasi yang dimiliki oleh elit politik maupun masyarakat.9 Selain karena
sama sekali tidak memiliki pengalaman akan demokrasi, gagalnya transisi demokrasi ini juga
dikarenakan oleh kuatnya satu nilai tertentu yang dimiliki oleh elit politik dan keseluruhan
masyarakat di suatu negara. K hususnya di A sia, berbenturannya nilai-nilai Barat dalam
demokrasi dengan nilai-nilai A sia (Asian values) menjadikan beberapa negara di A sia
menerapkan demokrasi a la mereka. Dimana ketika dilihat dari kacamata demokrasi Barat
maka demokrasi tersebut bukan lah demokrasi yang sebenarnya.
Maka, penerapan demokrasi di A sia pada umumnya mengalami penyesuaian dengan
nilai-nilai A sia (Asian values) itu sendiri. Argumen utama dari Asian values sendiri adalah
cultural relativism, yang mana dalam pandangan Asian values, norma dan nilai yang
dibangun oleh demokrasi selama ini adalah nilai-nilai berdasarkan budaya Barat dan
untuk menyiasati hal tersebut harus ada sebuah nilai baru yang sesuai dan dianggap
sebagai “nilai A sia”.10 Hal ini dikarenakan negara-negara A sia memiliki sejarah
kolonialisme oleh Barat yang mana akhirnya menguatkan prinsip state sovereignty atau
kedaulatan negara. Pembedaan budaya dengan budaya Barat tersebut selanjutnya diturunkan
menjadi 8 poin utama nilai-nilai dalam Asian Values yaitu, kekeluargaan, kehormatan
terhadap tatanan hierarkis, kerja keras, konsensus, komitmen terhadap pendidikan,
mengutamakan moralitas, mengutamakan komunitas dan keteraturan.11
8 poin utama nilai dalam Asian values tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh nilainilai konfusianisme. Nilai K onfusianisme yang mengutamakan kepentingan bersama
dibandingkan individu, menghormati status hierarkis, menghormati otoritas pemimpin
dan mengutamakan terciptanya keadaan yang harmoni ini selanjutnya membentuk model
demokrasi tersendiri di A sia, khususnya di Tiongkok, J epang, K orea Selatan dan V ietnam.12
Maka, pengaruh Asian values dan konfusianisme terhadap model demokrasi di A sia
dapat dilihat dalam beberapa karakteristik berikut, yaitu adanya pengakuan dan
penghormatan akan otoritas pemimpin, peran negara yang kuat (strong state), one
9

Ibid., hlm.17
Michael D.Barr, “Lee K uan Y ew and T he ‘A sian V alues’ Debate”, Asian Studies Review, V ol.24, No.3,
(September, 2000), hlm 310
11
Y i Huah J iang, “A sian V alues and Communitarian Democracy”, J ournal of Political Science National
Taiwan University, hlm.7
12
Shaun O’Dwyer, “Democracy and Confucian V alues”, Philosophy E ast and West, V ol.53, No.1, (J anuary,
2003), hlm.46

10

7

dominant political party, dan kuatnya nilai personalism.13 K arena hal tersebut, beberapa
pihak melihat demokrasi yang berdasarkan Asian values dan konfusianisme tersebut bukan
lah demokrasi yang liberal sebagaimana seharusnya demokrasi diterapkan. Dan karakteristikkarakteristik tersebut lah yang selanjutnya tidak hanya menjadi ciri demokrasi di A sia namun
juga membedakannya dengan demokrasi liberal a la Barat.
Demokratisasi di V ietnam pasca Doi Moi: Dampak K onfusianisme dalam Penerapan
Demokrasi di V ietnam
Menurut beberapa teori mengenai demokratisasi, pembangunan ekonomi yang tinggi
atau perekonomian yang mapan menjadi sebuah titik awal bagi berlangsungnya demokratisasi
di sebuah negara yang dulunya merupakan negara otoritarian. Hal ini pun dapat dilihat pada
V ietnam pasca diterapkannya kebijakan Doi Moi tahun 1986. Terbukanya V ietnam kepada
sistem perekonomian global dan mekanisme pasar tidak hanya menjadikan V ietnam sebagai
salah satu negara di A sia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi, namun juga turut
membawa V ietnam kepada proses demokratisasi. Salah satu hal yang menyebabkan
terjadinya proses demokratisasi di V ietnam pasca diterapkannya kebijakan Doi Moi adalah
semakin intensnya hubungan antara V ietnam dengan negara-negara Barat yang telah
memiliki nilai-nilai demokrasi sejak lama.14 Namun, bagaimana pun juga sampai saat ini
V ietnam dinilai belum menerapkan demokrasi sepenuhnya, atau bahkan masih termasuk
dalam negara otoritarian. Perdebatan ini muncul karena sampai saat ini V ietnam masih
dikuasai hanya oleh satu partai politik dominan yaitu Communist Party of Vietnam (CPV )
dan peran negara masih sangat kuat dalam mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat di
V ietnam.15
Namun, bagaimana pun juga mayoritas masyarakat V ietnam menganggap keadaan
politik dan pemerintahan yang berlangsung saat ini telah menjamin nilai-nilai demokrasi
yang ada. Seperti dalam sebuah penelitian didapatkan hasil bahwa sebanyak 56,6%
responden yang merupakan masyarakat V ietnam sangat setuju bahwa kini pemilu di V ietnam
telah memberikan kesempatan bagi pemilih untuk memilih kandidat-kandidat yang
beragam.16 Walaupun kenyataannya kandidat-kandidat yang menyalonkan diri di setiap

13

Clark D. Neher, “A sian Style Democracy”, Asian Survey, V ol.34, No.11, (November, 1994), hlm.951-958
Nhu Ngoc T.Ong, “Support for Democracy among V ietnamese Generations”, Paper presentation at the
Vietnam 2005 Conference Texas, (2004), hlm.8
15
Ibid.
16
Pham Thanh Ngi, “The State of Democratic Governance in V ietnam”, Institute of Human Studies, Asian
Barometer, hlm.10

14

8

pemilu di V ietnam mayoritas berasal dari CPV dan kandidat non-CPV hanya dapat
mencalonkan diri apabila disetujui oleh Vietnamese F atherland F ront.17 Selain itu juga,
setelah terpilihnya para anggota parlemen melalui pemilu, seringkali mereka justru menjauh
dari masyarakat atau konstituennya. Masyarakat V ietnam, khususnya organisasi-organisasi
yang berada di masyarakat justru seringkali sulit untuk mengartikulasikan kepentingan serta
menjalin hubungan dengan representasi mereka di parlemen.18
Walaupun dalam praktiknya V ietnam belum dapat dikategorikan sebagai negara yang
demokratis, namun nyatanya masyarakat V ietnam justru menganggap negara mereka telah
demokratis. Dua hal yang bersebrangan tersebut nyatanya sampai saat ini tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap keberlangsungan demokrasi di V ietnam. Hal ini tidak lain
karena dipengaruhi oleh nilai-nilai konfusianisme dalam Asian values yang telah mengakar di
dalam diri masyarakat V ietnam. Nilai-nilai yang mengutamakan kepentingan bersama,
penghormatan kepada pemimpin dan status hierarkis serta keutamaan harmoni menjadikan
masyarakat V ietnam cenderung tidak merasa perpolitikan dan pemerintahan yang berjalan
saat ini perlu dirubah. Maka, walaupun model demokrasi yang diterapkan di V ietnam tidak
mempromosikan kebebasan dan kesetaraan dalam masyarakat, model demokrasi ini tetap
bertahan untuk diterapkan sampai saat ini atas dasar kuatnya legitimasi dari masyarakat
V ietnam itu sendiri.
Melihat demokrasi di V ietnam pasca kebijakan Doi Moi masih sangat dikuasai dan
dikontrol oleh pemerintah atau dalam hal ini CPV , maka demokrasi di V ietnam selanjutnya
dapat dikategorikan sebagai centralistic democracy. Model centralistic democracy ini juga
memiliki pengaruh yang cukup kuat dari pemikiran Marxist L enninist.19 Dimana dalam
centralistic democracy, partai komunis di negara tersebut merupakan pihak yang memiliki
otoritas untuk mengarahkan dan memutuskan seluruh permasalahan politik dimana nantinya
setiap masyarakat harus menaatinya.20 Dalam konstitusi V ietnam tahun 1992 pasal 6 pun
dinyatakan bahwa prinsip pemerintahan demokrasi V ietnam adalah centralistic democracy
yang mana CPV merupakan institusi politik yang memiliki peran utama dalam menentukan

17

Ibid.
Bui T he Chuong, “Issue Oriented-Organizations in Hanoi: Some Finding from Empirical Survey” dalam
Towards Good Society: Civil Society Actors, the State, the Business Class in Southeast Asia – F acilitators of or
Impediments to a Strong, Democratic and F air Society?, (Berlin, 2004), hlm.98-99
19
Niklas A schoff, “What Role can L ocal NGOs Play to Support Grasroots Democracy in V ietnam?: The
Example of the V ietnamese NGO RCP”, Studen E uropean Studies,(J une, 2008), hlm.24
20
Minna Hakarainen, “Navigating between Ideas of Democracy and Gendered L ocal Practices in V ietnam”,
F aculty of Social Sciences University of Helsinki Dissertation, (2015), hlm.36

18

9

berjalannya pemerintahan, khususnya pembuatan kebijakan.21 Walaupun CPV menjadi aktor
politik utama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat badan yang menjadi
instrumen penerapan demokrasi di V ietnam. Badan tersebut adalah Vietnamese F atherland
F ront. Badan bentukan CPV ini bertugas untuk mengorganisir dan mengawasi aktivitas
organisasi-organisasi massa bentukan CPV seperti Vietnam Women’s Union dan Youth and
F armer’s Union.22 Selain itu, Vietnamese F atherland F ront juga berfungsi untuk menyeleksi
calon-calon kandidat dalam pemilu legislatif yang merupakan masyarakat non-CPV untuk
ditentukan apakah mereka layak untuk mencalonkan diri dalam pemilu.
Walaupun dengan adanya Vietnamese F atherland F ront hak masyarakat V ietnam
untuk berserikat, menyampaikan pendapat dan mencalonkan diri dalam pemilu sudah dapat
lebih terakomodasi, sesuai dengan paparan di atas, buktinya demokrasi di V ietnam masih
sangat dikontrol dan dikuasai oleh pemerintah atau CPV . Hal ini tentu juga tidak terlepas dari
legitimasi yang kuat dari masyarakat terhadap CPV itu sendiri. Dimana masyarakat menerima
dominasi CPV sebagai pemimpin mereka karena melihat CPV dapat mewujudkan sebuah
keadaan yang harmoni dan sejahtera. K edua hal tersebut lah yang merupakan dampak dari
mengakarnya nilai-nilai konfusianisme pada diri masyarakat V ietnam. Dan untuk lebih
memahami pengaruh tersebut, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai penerapan demokrasi di
V ietnam pasca kebijakan Doi Moi melalui analisis model demokrasi di A sia yang
dipengaruhi oleh nilai konfusianisme menurut Clark D. Neher.
Authority : Pemerintah/C PV sebagai pemimpin dengan otoritas tertinggi di V ietnam
Menurut Clark D.Neher, hal yang menjadi basis dari model demokrasi di A sia adalah
penghormatan masyarakat terhadap otoritas pemimpin. Hal ini didukung oleh nilai
konfusianisme yang tidak hanya mengakui otoritas pemimpin namun juga hubungan hierarkis
antara pemimpin dengan individu.23 Dalam konfusianisme, pemimpin harus lah merupakan
orang yang mampu memimpin dengan integritas atau dalam hal ini yang dimaksud adalah
good manner atau perilaku yang baik. Mengutip dari pernyataan konfusius, apabila seorang
pemimpin bertindak secara baik dan tepat maka semua orang akan mematuhinya tanpa harus
disuruh, sebaliknya apabila pemimpin bertindak secara tidak baik dan tepat maka semua

21

Ibid., hlm.37
Ibid.
23
Neher, Op.cit., hlm.953
22

10

orang tidak akan mematuhinya walau telah dipaksa sedemikian rupa.24 A pabila mengacu
kepada hal tersebut, maka sebenarnya masyarakat konfusianis tidak semata-mata menerima
otoritas dari seorang pemimpin. Melainkan pemimpin tersebut harus terbukti mampu untuk
bertidak secara benar dan tepat, sesuai dengan nilai-nilai konfusianis dan mampu untuk
membawa kebaikan kepada masyarakat.
Dalam hal V ietnam, walau di era demokrasi kini pemerintah V ietnam masih sangat
mendominasi dan mengontrol seluruh aspek kehidupan, masih terdapat legitimasi kuat dari
masyarakat. Berdasarkan nilai penghormatan terhadap otoritas pemimpin yang terdapat
dalam konfusianisme, maka legitimasi kuat tersebut muncul karena selama ini pemerintah
V ietnam atau CPV dipandang sebagai pemimpin yang bertindak secara benar dan tepat,
mengikuti nilai-nilai konfusianisme dan terbukti mampu membawa kesejahteraan kepada
masyarakat. K hususnya dalam hal tranisisi ekonomi pada tahun 1986 melalui kebijakan Doi
Moi, dapat dilihat bagaimana CPV akhirnya memutuskan untuk membuka ekonomi V ietnam
kepada sistem pasar global namun tetap tidak melepasnya begitu saja tanpa ada kontrol dari
CPV atau pemerintah V ietnam itu sendiri.
K eputusan untuk mengkombinasikan dua prinsip sistem ekonomi yang sebenarnya
bertolak belakang tersebut pun tidak terlepas dari upaya kompromi antar elit pemerintahan di
dalamnya. Dimana dalam proses perdebatan mengenai transisi sistem ekonomi tersebut,
tubuh CPV terbagi menjadi dua faksi, yaitu faksi konservatif dan faksi radikal. Nguyen Duy
Trinh yang merupakan tokoh utama dalam faksi yang lebih konservatif pada saat itu
mengusulkan agar V ietnam tetap berpegang pada sistem ekonomi yang centrally planned dan
centrally managed, agar keberadaan bisnis individual dan kapitalis tidak dapat berkembang
dan mengancam kestabilan ekonomi V ietnam.25 Sedangkan faksi yang lebih radikal dan lebih
pro kepada sistem ekonomi pasar, dipimpin oleh Nguyen Lam, menyatakan bahwa V ietnam
perlu membuka diri kepada pasar global dan lebih memperhatikan kebutuhan tiap wilayah
yang sebenarnya berbeda, sehingga harus diterapkan sistem perencanaan dan pengaturan
yang bertingkat di setiap daerah atau tidak terpusat di level nasional saja.26 K eputusan
tersebut menggambarkan adanya kompromi yang terjadi antara kedua faksi, konservatif dan

24

L ong K im C. Patrick dan A ng Sik L iong, “Confucian L eadership and Corporate Social Responsibility (CSR),
the Way Forward”, Asian J ournal of Business Research, V ol.2, No.1, (2012), hlm.95
25
Sujianguo, “Economic Transiition in China and V ietnam: A Comparative Perpective”, J ournal of Asian
Profile, V ol.32, No.5, (October 2004), hlm.398-399
26
Ibid., hlm.399

11

radikal, yang saling menghargai ide atau usulan satu sama lain.27 Proses kompromi tersebut
selaras dengan nilai yang ditanamkan oleh konfusianisme, yaitu kolektivis dan keharmonisan.
A gar keputusan perubahan sistem ekonomi tidak mencederai nilai-nilai tersebut maka dipilih
sistem socialis-market oriented economy yang mengakomodir keinginan antar aktor dalam
CPV .
A khirnya, kemampuan CPV untuk terus mempertahankan nilai-nilai konfusianisme
dalam pengambilan keputusan serta untuk menciptakan kesejahteraan dan harmoni di dalam
masyarakat menjadi basis legitimasi bagi pengakuan otoritas CPV sebagai pemimpin
tertinggi di V ietnam. Namun lebih dari itu, pengakuan masyarakat V ietnam atas otoritas CPV
sebagai pemimpin tertinggi selanjutnya membawa demokrasi di V ietnam kepada corak-corak
praktek lainnya. Dan hal tersebut akan lebih lanjut dijelaskan dalam subbab-subbab
berikutnya.
Strong State : Peran negara yang kuat sebagai instrumen bagi C PV dalam menciptakan
keteraturan
L egitimasi kuat dari masyarakat V ietnam terhadap otoritas pemerintah atau CPV
sebagai pemimpin tertinggi selanjutnya membawa kepada peran negara yang kuat di
dalamnya. Strong state, apabila dilihat melalui kacamata demokrasi a la Barat menjadi hal
yang tidak boleh terdapat dalam praktek demokrasi. Namun, seperti yang telah disebutkan,
karena kuatnya legitimasi masyarakat dan anggapan bahwa negara atau pemerintah adalah
pemimpin yang memiliki otoritas tertinggi, memberikan negara keleluasaan dalam
menerapkan aturan dan berperan di dalamnya. Terlebih lagi, dalam konfusianisme terdapat
kepercayaan mengenai mandate of heaven, atau pemimpin merupakan utusan Tuhan.28 Maka,
memang diperlukan sosok pemimpin yang kuat dan menjadi perpanjangan tangan Tuhan
dalam mengatur kehidupan masyarakat.
Dalam hal V ietnam, peran negara yang kuat dapat dilihat dari masih dikekangnya
keberadaan kelompok-kelompok oposisi pemerintah. Hal ini terwujud dalam beberapa
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, seperti pelarangan terbitnya kritik terhadap
pemerintah dalam media massa yang ada. Walaupun begitu, aksi protes atau kritik dari
kelompok oposisi di V ietnam memang nyatanya mampu diredam oleh pemerintah, karena

27

Ibid.
L orraine Ni A nnrachain, “T he Threat of Political Reform as a Means to Development in V ietnam: A Case
Study of INGO – Government Interaction in New Political Spaces”, L und University, hlm.30

28

12

memang hukuman bagi penyuaraan kritik terhadap pemerintah adalah pidana penjara atau
bahkan lebih buruk lagi. Melihat hal tersebut, maka kuatnya peran negara dalam mengatur
setiap aspek kehidupan masyarakat V ietnam selanjutnya menjadi alat atau instrumen bagi
CPV untuk mempertahankan kekuasaannya. Merujuk kepada slogan dari CPV itu sendiri
yaitu “The party leads, the state implements, the people inspect” maka memang negara
dijadikan instrumen implementasi ideologi maupun tindakan yang diambil oleh CPV .29
Selain itu, karena CPV mendominasi pemerintahan, maka memang struktu dari institusiinstitusi dalam negara V ietnam ditentukan oleh CPV itu sendiri. A khirnya, kuatnya peran
negara menjadikan kekuasaan dan dominasi CPV di V ietnam dapat semakin terjamin.
One Dominant Political Party : Communist Party of Vietnam (C PV )
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kuatnya peran sebuah negara dipengaruhi
oleh dominasi satu partai politik di dalamnya. Sampai saat ini, CPV masih menjadi satusatunya partai politik dominan di dalam perpolitikan dan pemerintahan V ietnam yang sudah
mulai demokratis. Bertahannya satu partai politik dominan di era demokrasi tidak terlepas
dari berbagai faktor pendukung, salah satunya adalah telah melekatnya partai politik tersebut
dalam identitas negara secara keseluruhan.30 Hal ini biasanya muncul akibat dari peranan
besar partai politik tersebut dalam hal perjuangan mencapai kemerdekaan.31 A pabila melihat
fenomena hegemoni CPV di V ietnam sampai era demokrasi saat ini, maka memang benar
bahwa CPV telah melekat menjadi identitas bagi negara V ietnam itu sendiri. CPV yang telah
memiliki peran utama atau berperan sebagai aktor kunci sejak masa perjuangan kemerdekaan
menjadikan CPV memiliki legitimasi yang sangat kuat dari masyarakat.
Selain itu juga, CPV terbukti mampu bersifat adaptif dan fleksibel dalam menjawab
berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat, khususnya dalam hal permasalahan
ekonomi. Hal ini dapat dilihat ketika CPV dalam kongres nasional ke-6 nya pada tahun 1986
memutuskan untuk melakukan perubahan sistem ekonomi menjadi lebih terbuka kepada
sistem pasar global. Melihat keadaan ekonomi dan legitimasi masyarakat yang semakin
melemah pada saat itu, langkah CPV untuk melakukan perubahan sistem ekonomi melalui
penerapan kebijakan Doi Moi merupakan langkah tepat untuk mengembalikan legitimasi

29

J onathan D. L ondon, “Politics in Contemporary V ietnam” dalam Politics in Contemporary Vietnam: Party,
State and Authority Relations, (UK : Palgrave McMillan, 2014), hlm.7
30
Neher, Op.cit., hlm.955
31
Ibid.

13

terhadap CPV itu sendiri.32 Semakin baiknya keadaan ekonomi masyarakat V ietnam akibat
diterapkannya kebijakan Doi Moi pun juga selanjutnya menciptakan keadaan yang lebih
stabil dan sejahtera di antara masyarakat V ietnam.
A pabila dikaitkan dengan nilai-nilai konfusianisme dalam masyarakat V ietnam, maka
keberadaan CPV yang menjadi partai politik dominan di era demokrasi kini tentu dapat
diterima oleh mereka. K arena, CPV telah terbukti mampu untuk menciptakan keadaan yang
stabil dan harmonis di dalam masyarakat V ietnam melalui tingginya pertumbuhan ekonomi
yang mana akhirnya menciptakan sebuah kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan nilai
konfusianisme yang selalu mengutamakan keharmonisan dan kestabilan serta kepentingan
bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, apabila merujuk kepada nilai konfusianisme
tersebut, masyarakat V ietnam akan cenderung tidak peduli terhadap kompetisi dan majority
rule dalam politik.33 Selama terdapat aktor yang mampu menciptakan keadaan yang stabil
dan harmoni, maka aktor tersebut akan mendapatkan sebuah legitimasi yang besar dari
masyarakat V ietnam.
Personalism : K etokohan sosok Ho C hi Minh bagi masyarakat V ietnam
Nilai personalism dalam konfusianisme memiliki pengertian bahwa masyarakat
konfusianis sangat mengutamakan dan menghormati sosok ketokohan seorang pemimpin.34
A tau dengan kata lain, masyarakat konfusianis sangat “menganggunkan” sosok pemimpin
yang berkharisma dan terkesan dekat serta selalu berada di pihak masyarakat. Sosok
pemimpin yang “diagungkan” ini selanjutnya menjadi aktor utama dalam menentukan
kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, hal ini didukung
dengan kepercayaan konfusianis bahwa pemimpin adalah utusan Tuhan. Masyarakat pun
menerima adanya hal tersebut, karena sosok pemimpin tersebut dianggap mampu untuk
menciptakan keharmonisan dan kestabilan dalam masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan
anggapan konfusianis bahwa pemimpin memiliki otoritas penuh untuk mengatur kehidupan
di dunia, karena dia adalah utusan Tuhan yang bertanggung jawab untuk mengatur urusan
kehidupan manusia di dunia. Maka, akan lebih mudah bagi para sosok pemimpin baru untuk
mendapatkan legitimasi kuat dari masyarakat apabila dia memiliki kedekatan atau berafiliasi
dengan pemimpin lama yang “diagungkan” tadi.

32

Le Hong Hiep, “Performance – based L egitimacy: The Case of the Communist Party of V ietnam and ‘Doi
Moi’”, J ournal of Contemporary Southeast Asia, V ol.34, No.2, (A ugust 2012), hlm.146
33
Neher, Op.cit.
34
Ibid., hlm.951

14

Hal tersebut dapat dilihat dalam tubuh CPV , dimana sejak didirikan pada tahun 1930
CPV selalu menampilkan image berafiliasi dengan Ho Chi Minh. K ekuatakan ketokohan Ho
Chi Minh dipandang CPV menjadi basis legitimasi yang kuat karena memang sosok Ho Chi
Minh selain merupakan salah satu pendiri CPV juga merupakan tokoh revolusioner
pemimpin pergerakan kemerdekaan V ietnam sampai saat ini masih “diagungkan” oleh
masyarakat V ietnam. Hal tersebut juga didukung oleh basis legitimasi CPV yang dibangun
atas tiga hal yaitu legitimasi tradisional, legal – rasional, dan kharismatik.35 Dasar legitimasi
kharismatik ini lah yang memperkuat alasan CPV terus menciptakan image yang berafiliasi
dengan Ho Chi Minh walau Ho Chi Minh telah meninggal sejak puluhan tahun lalu.
Walaupun ketokohan Ho Chi Minh sempat memudar dalam tubuh CPV kurang lebih dua
dekade setelah meninggalnya, CPV akhirnya memutuskan untuk mengadopsi “The Ho Chi
Minh Thoughts” sebagai landasan ideologi partai pada tahun 1991.36
Dengan semakin kuatnya sosok Ho Chi Minh dalam tubuh CPV , tentu menjadi faktor
pendukung tingginya legitimasi masyarakat V ietnam terhadap CPV itu sendiri. A filiasi CPV
dengan sosok Ho Chi Minh, secara tidak langsung menjadi justifikasi terhadap segala
tindakan-tindakan yang dilakukan. K arena, telah mengadopsi pemikiran-pemikiran Ho Chi
Minh sebagai ideologinya, tentu masyarakat akan berpandangan bahwa tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh CPV sesuai dan sejalan dengan pemikiran sosok pemimpin yang
“diagungkan” oleh mereka. Tindakan-tindakan tersebut pun termasuk dalam hal
mengeluarkan kebijakan, mengontrol organisasi masyarakat maupun menahan kekuatankekuatan oposisi. Sehingga, apa pun hal yang dilakukan oleh CPV , selama hal tersebut tidak
memberikan dampak negatif secara langsung bagi masyarakat, masyarakat V ietnam akan
terus memberikan kepercayaan dan legitimasi yang kuat terhadap CPV .
K esimpulan
Penerapan kebijakan Doi Moi di V ietnam pada tahun 1986 tidak hanya menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang pesat namun juga masuknya proses demokratisasi bagi V ietnam.
Setelah lebih dari dua dekade demokrasi diterapkan di V ietnam telah dilangsungkan beberapa
unsur negara demokrasi seperti penyelenggaraan pemilu dan pembentukan organisasiorganisasi masyarakat. Namun, berbeda dengan demokrasi a la Barat yang mengharuskan
adanya kebebasan penuh bagi setiap individu dan peran negara yang minimal, di V ietnam
35

Hai Hong Nguyen, “Resillience of the Communist Party of V ietnam’s A uthoritarian Regime since Doi Moi”,
J ournal of Current Southeast Asian Affairs, V ol.35, No.2, (2016), hlm.38
36
Le Hong Hiep, Op.cit., hlm.157

15

masih terdapat unsur-unsur “otoritarian” di dalam praktek demokrasinya. Hal ini tidak
terlepas dari pengaruh nilai-nilai konfusianisme yang terdapat dalam Asian Values. Asian
Values sendiri muncul sebagai respon terhadap nilai-nilai Barat dalam konsep demokrasi
yang mana dinilai tidak sesuai untuk diterapkan di negara-negara A sia.
K onfusianisme sendiri selalu menekankan kepada terciptanya keharmonisan,
mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan individu, serta penghormatan kepada
otoritas dan status hierarkis pemimpin. Dan masyarakat V ietnam yang telah memiliki nilai
konfusianisme dalam dirinya pun tentu akhirnya membentuk sebuah pola perilaku dan sikap
yang berbeda dengan masyarakat Barat. Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan penerapan
demokrasi, maka menurut Clark D.Neher, pengaruh konfusianisme dalam demokrasi di A sia
membentuk sebuah karakteristik tersendiri. K arakteristik tersebut adalah terdapat
penghormatan terhadap otoritas pemimpin, peran negara yang kuat, terdapat satu partai
politik dominan serta kuatnya ketokohan sesosok pemimpin bagi masyarakatnya. Setelah
dilakukan analisis satu persatu mengenai karakteristik-karakteristik tersebut, maka dapat
disimpulkan beberapa hal.
Pertama, nilai konfusianisme yang mengakar dalam masyarakat V ietnam menciptakan
kuatnya legitimasi masyarakat terhadap pemerintah atau dalam hal ini CPV . K uatnya
legitimasi ini juga didukung oleh performa CPV yang mampu terus membawa nilai
konfusianisme dalam merespon berbagai tuntutan masyarakat V ietnam. Maka, walaupun
CPV terus mendominasi perpolitikan dan pemerintahan, negara sangat berperan kuat dalam
mengatur kehidupan masyarakat yang akhirnya menyebabkan tidak tercapainya demokrasi
yang menjamin kebebasan individu, CPV akan terus dipercaya masyarakat V ietnam untuk
memimpin mereka di tengah era demokrasi ini. K edua, pengaruh nilai konfusianisme
terhadap kuatnya legitimasi masyarakat atas CPV pada akhirnya menciptakan sebuah model
centralistic democracy. Dengan model demokrasi tersebut, tentu CPV akan lebih mudah
mempertahankan kekuasaan dan dominasinya. Singkat kata, nilai konfusianisme menciptakan
penerapan demokrasi di V ietnam yang berbeda dengan demokrasi a la Barat, namun hal ini
tetap dapat bertahan karena dukungan dan legitimasi dari masyarakat V ietnam itu sendiri.

16

Daftar Pustaka
Ibrahim, Sukarno. 2011. “Peranan V iet Minh dalam Revolusi K emerdekaan V ietnam 19451954”. Skripsi Program Studi Sejarah F IB Universitas Indonesia. (Depok: UI)
V an, Phan ti Hong. “The Interaction between Culture and Economy in V ietnam”. Paper in
ERSA 2011 Conference.
Pike, Douglas. 1968. Viet Cong: The Organization and Technique of The NLF of South
Vietnam. (New Y ork: M.I.T. Press)
Huntington, Samuel P. 1993. The Third Wave: Democracy in the Late Twentieth Century.
(US: University of Oklahoma Press)
Barr, Michael D. 2000. “L ee K uan Y ew and The ‘A sian V alues’Debate”. Asian Studies
Review. V ol.24. No.3. hlm 310
J iang, Y i Huah. “A sian V alues and Communitarian Democracy”. J ournal of Political Science
National Taiwan University
O’Dwyer, Shaun. 2003. “Democracy and Confucian V alues”. Philosophy East and West.
V ol.53. No.1.
Neher, Clark D. 1994. “A sian Style Democracy”. Asian Survey. V ol.34. No.11.
T.Ong, Nhu Ngoc. 2004. “Support for Democracy among V ietnamese Generations”. Paper
presentation at the Vietnam 2005 Conference Texas.
Ngi, Pham Thanh. “The State of Democratic Governance in V ietnam”. Institute of Human
Studies, Asian Barometer.
Chuong, Bui The Chuong. 2004. “Issue Oriented-Organizations in Hanoi: Some Finding from
Empirical Survey” dalam Towards Good Society: Civil Society Actors, the State, the
Business Class in Southeast Asia – F acilitators of or Impediments to a Strong,
Democratic and F air Society?
A schoff, Niklas. 2008. “What Role can L ocal NGOs Play to Support Grasroots Democracy in
V ietnam?: T he Example of the V ietnamese NGO RCP”. Studen European Studies.
Hakarainen, Minna. 2015. “Navigating between Ideas of Democracy and Gendered Local
Practices in V ietnam”. F aculty of Social Sciences University of Helsinki Dissertation.
17

Patrick, L ong K im C. dan A ng Sik L iong. 2012. “Confucian Leadership and Corporate Social
Responsibility (CSR), the Way Forward”. Asian J ournal of Business Research. V ol.2,
No.1.
Sujianguo. 2004. “Economic Transiition in China and V ietnam: A Comparative Perpective”.
J ournal of Asian Profile. V ol.32. No.5.
A nnrachain, Lorraine Ni. “The T hreat of Political Reform as a Means to Development in
V ietnam: A Case Study of INGO – Government Interaction in New Political Spaces”.
L und University
L ondon, J onathan D. 2014. “Politics in Contemporary V ietnam” dalam Politics in
Contemporary Vietnam: Party, State and Authority Relations. (UK : Palgrave
McMillan)
Hiep, L e Hong. 2012. “Performance – based L egitimacy: T he Case of the Communist Party
of V ietnam and ‘Doi Moi’. J ournal of Contemporary Southeast Asia. V ol.34. No.2.
Nguyen, Hai Hong. 2016. “Resillience of the Communist Party of V ietnam’s A uthoritarian
Regime since Doi Moi”. J ournal of Current Southeast Asian Affairs. V ol.35. No.2.
Marine.mil.
The
Government
and
Politics,
hlm.4,
dalam
Http://www.marines.mil/Portals/59/Publications/V ietnam%20Study_3.pdf diakses pada 12
A pril, 21.06 WIB

18