Ekspresi Politik Dan Umat Islam

Donasi dapat disalurkan melalui rekening :

Yayasan A. Syafii Maarif BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara)

Redaksi mengundang para cendekiawan, agamawan, peneliti, dan aktivis untuk mengirimkan tulisan, baik berupa hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute for Culture and Humanity. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisan mengacu standar ilmiah yang telah ditetapkan oleh redaksi dengan panjang tulisan minimal 3000 kata (7 halaman, 1 spasi, A4) dengan batas makismal 5000 kata (13 halaman). Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa mengurangi atau menghilangkan substansi. Jurnal MAARIF terbit 2 kali setahun (Juni dan Desember).

Daftar Isi

Pengantar Redaksi

Membaca Ulang Ekspresi Politik Umat Islam; Sebuah Pengantar ............................................................. 4 Ahmad Fuad Fanani & Muhd. Abdullah Darraz

Artikel Utama

Arah Baru Politik Islam di Indonesia: Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris- Transformatif .................................................................... 14 Andar Nubowo

Masa Depan Politik Kaum Islamis di Indonesia .............. 38 Pradana Boy ZTF

Menakar Komitmen Peaceful Way Hizbut Tahrir Indonesia dalam Konsolidasi Demokrasi ........................................... 55 Mujahiduddin

Dilema Partai Politik Islam: Terpuruk dalam Kegagalan atau Menjawab Tantangan? ................................................ 72

Ahmad Fuad Fanani Kegagalan dan Prospek Kepemimpinan Politik Islam

di Indonesia ....................................................................... 96 Ahmad Norma Permata

Kelas Menengah Muslim dan Pemimpin Indonesia ......... 111 Noorhaidi Hasan

Marginalisasi dan Eksklusi dalam Masyarakat Islam: Sebuah Analisis Berbasis Ekonomi-Politik Kritis .............. 129 Airlangga Pribadi Kusman

Islam dan Transisi Demokrasi: Perbandingan Indonesia dan Mesir .................................. 144 Zuhairi Misrawi

Civil Society Islam dalam Konsolidasi Demokrasi di Indonesia .......................................................................... 165 Hurriyah

Riset

Relasi Kiai, Masyarakat, dan Negara: Konfigurasi Politik Pemilu pada Masa Orde Baru di Madura .......................... 183

Yanwar Pribadi

Khazanah Lokal

Teologi Cinta Romo Carolus ............................................ 202 Deni Muliya Barus dan Khelmy K. Pribadi

Pustaka

Membaca Islam Indonesia ................................................. 213 Ali Noer Zaman

Refleksi

Kepemimpinan Politik dan Visi Filantropi Kemanusiaan 231 Fajar Riza Ul Haq

Profil Penulis ........................................................................... 236

Profil MAARIF Institute dan Profil Media ............................ 243 Petunjuk dan Format Penulisan Artikel ................................ 252

Pengantar Redaksi

Membaca-ulang Ekspresi Politik Umat Islam; Sebuah Pengantar

Ahmad Fuad Fanani dan Muhd. Abdullah Darraz

Ekspresi Islam dalam Pergulatan Politik Indonesia

Relasi Islam dan politik di Indonesia senantiasa menarik untuk diperbincangkan dari dulu hingga sekarang. Selain karena umat Islam menjadi warga mayoritas di negeri ini, juga karena aspirasi politik umat Islam di Indonesia tidaklah bersifat homogen. Aspirasi politik umat Islam di Indonesia sangat heterogen dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan, semenjak era sebelum kemerdekaan, aspirasi politik umat Islam di pentas politik nasional tidaklah tunggal. Dan hingga hari ini, aspirasi politik umat Islam bersifat heterogen dan bahkan terus terjadi kontestasi di internal umat Islam sendiri.

Sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, sebagian kaum Muslim mendesak bahwa Islam haruslah berpartisipasi secara aktif dan mendapatkan keistimewaan di bidang politik. Ketika menjelang kemerdekaan, meskipun para pendiri bangsa ini menerima Pancasila sebagai dasar negara, namun ada sebagian dari mereka yang meminta agar posisi Islam tercantum secara eksplisit dalam Konstitusi negara ini. Aspirasi itu tercantum dalam Piagam Jakarta yang mendukung Pancasila sebagai Dasar Negara, namun dengan penambahan kata-kata “Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya” (Bahtiar Effendy,

Pengantar Redaksi

2003). Piagam Jakarta yang awalnya disetujui masuk dalam Pembukaan UUD

1945 sebagai bentuk kompromi dengan umat Islam itu, ternyata tidak diterima secara bulat oleh agggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Beberapa anggota dari kelompok sekuler dan nasionalis tidak menyetujuinya. Sehingga, pada 18 Agustus 1945, setelah para anggota BPUPKI dari kelompok Islam didekati dan dilobi oleh para anggota dari kelompok nasionalis dan non Muslim, akhirnya Piagam Jakarta ditarik dari Pembukaan UUD 1945. Kompromi politik ini dilakukan karena saat itu ada ancaman bahwa Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari Indonesia jika Piagam Jakarta itu tetap dicantumkan. Jadi, kelompok Islam menyetujui pencabutan karena demi menyelamatkan bangsa dan kepentingan nasional (Greg Fealy, 2003). Sebagai kompromi lebih lanjutnya, Sila Pertama dari Pancasila berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Meskipun para founding fathers dari kalangan Islam saat itu menyetujui tentang penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, namun tidak semua umat Islam menyetujui kompromi politik itu. Bagi sebagian tokoh dan umat Islam, penarikan Piagam Jakarta adalah awal mula kekalahan umat Islam di pentas politik nasional yang terus berlanjut hingga hari ini. Oleh karenanya, aspirasi untuk menegakkan syariat Islam terus terjadi dan dilakukan terus menerus, semenjak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Menurut mereka, aspirasi umat Islam dalam politik nasional secara formal adalah sebuah keharusan. Sebab, umat Islam adalah pemilik saham mayoritas dalam pendirian bangsa ini. Dan aspirasi itu, terus digelorakan dan diperjuangkan, baik secara formal maupun non formal.

Bagi sebagian umat Islam yang lain, penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 adalah konsekuensi logis dari konsensus nasional bahwa Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah negara multireligius dan multietnis yang tidak mengistimewakan agama dan suku tertentu. Oleh karena itu, bagi mereka Pancasila sudah berkesesuaian dengan ajaran Islam. Syariat Islam juga tidak perlu dicantumkan secara formal sebagai dasar negara maupun dalam hukum formal negara. Bagi kelompok ini, meskipun Indonesia bukan negara Islam, namun negara tidak membatasi aspirasi umat Islam

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Pengantar Redaksi

dan memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk berkembang serta menjamin hak-hak sosial dan politiknya. Berdasarkan cara pandang seperti ini, dalam beberapa hal aspirasi politik kelompok ini berbenturan atau bersinggungan dengan kelompok Islamis yang disebutkan di atas.

Dua Kutub Politik Islam di Indonesia

Dalam peta politik Islam kontemporer, terutama pasca reformasi, kontestasi antara kelompok Islam politik dan politik Islam –atau antara Islam formalis dan Islam substantif– terus terjadi dan berjalan secara dinamis. Kelompok Islamis –atau dikenal juga dengan Islam Politik atau sering pula disebut sebagai kelompok Islam Syariat dalam karya Haedar Nashir– adalah sebuah kelompok dalam umat Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam secara formal, meyakini Islam sebagai sebuah keyakinan hidup (belief system) yang sempurna, dan mencita-citakan berdirinya sebuah sistem Islam atau Islamic state, terus berusaha menyebarkan pengaruhnya di Indonesia. Kelompok Islam politik ini dalam banyak hal diwakili oleh kelompok Muslim oleh sebagian orang disebut sebagai bagian dari Islam transnasional. Kelompok ini banyak beraktivitas dalam organisasi seperti: Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan kelompok Tarbiyah yang banyak berinduk dalam PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

Dalam beberapa hal, partai politik Islam seperti PBB (Partai Bulan Bintang) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), juga dikelompokkan dalam kelompok ini. Kedua partai inilah yang ketika amandemen UUD 1945 tahun 2002 mendesak penerapan syariat Islam secara formal dalam Konstitusi Indonesia. Hingga hari ini, kelompok-kelompok itu, dengan caranya masing-masing, terus menyuarakan aspirasi politik Islam secara formal, baik di tingkat negara maupun peraturan-peraturan daerah. Berbeda dengan aspirasi umat Islam mainstream di negara ini, kelompok yang disebut sebagai Islam Syariat ini, banyak mengagendakan terwujudnya sistem Islam di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Haedar Nashir dalam disertasinya yang diterbitkan dengan judul Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Maarif Institute & Mizan, 2013), mengkaji secara mendalam tentang geneologi, konsep, metode, dan cita- cita politik kelompok Islam ini.

Di sisi lain, kelompok politik Islam substantif, cenderung menyerukan

6 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Pengantar Redaksi

pemahaman dan aspirasi politik Islam yang lebih moderat. Kelompok ini dalam banyak hal direpresentasikan oleh organisasi Islam moderat seperti Muhammadiyah dan NU. Pada bagian lain, kelompok ini juga diwakili oleh partai-partai yang berbasiskan organisasi Islam, tapi berdasarkan visi kebangsaan, seperti Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa. Hingga hari ini, organisasi Muslim terbesar di Indonesia yang diwakili oleh Muhammadiyah dan NU tidak menyetujui penerapan syariat Islam secara formal di level negara seperti pencantuman Piagam Jakarta. Kelompok ini juga menyatakan bahwa Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia yang wajib dijaga oleh seluruh komponen bangsa.

Kelompok Islam substantif ini juga diwakili oleh sebagian aktivis Islam yang aktif di berbagai organisasi masyarakat sipil (civil society) dan partai nasionalis. Di sini tampak bahwa ada pergeseran Muslim Indonesia terkait dengan aspirasi politiknya. Mereka berpikir bahwa aspirasi politik Islam bisa disalurkan lewat partai lain yang bervisi inklusif dan kebangsaan (Anies Baswedan: 2004). Jadi aspirasi politik Islam tidak identik dengan partai Islam atau Islam Politik. Fenomena sebetulnya bukanlah hal yang baru, tapi sudah dimulai di Partai Golkar semenjak era 1980-an ketika partai ini banyak merekrut para aktivis Islam sebagai pengurus dan kadernya. Jargon Cak Nur yang menyatakan: Islam Yes, Partai Islam No!, banyak menjadi inspirasi dan legitimasi dalam fenomena ini. Dan pasca reformasi, fenomena ini semakin berkembang karena banyak pimpinan inti partai-partai nasionalis yang berasal dari kaum santri. Bahkan, PDI Perjuangan dan Demokrat juga membuat sayap organisasi Islam. Kita bisa menjumpai eksistensi Baitul Muslimin di PDIP dan Majlis Dzikir Nurussalam di Partai Demokrat. Bahkan, Partai Gerindra pun melakukan hal yang sama. Dari situ tampak bahwa suara dan simbol Islam pun saat ini banyak dipakai oleh partai-partai nasionalis.

Terkait dengan partai Islam, berbagai survei terakhir yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Network, Lembaga Survey Indonesia, dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memang menunjukkan bahwa suara partai Islam diperkirakan akan semakin merosot ke bawah. Bahkan, jika Pemilu digelar pada hari ini, ada beberapa partai Islam yang kemungkinan besar tidak lolos electoral threshold (ambang batas suara). Hal itu dikarenakan performa partai Islam semakin hari semakin memudar yang dikarenakan konflik internal yang susah diselesaikan, fenomena korupsi para pimpinannnya, maupun

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Pengantar Redaksi

kekaburan visi dari partai Islam bisa dibandingkan partai nasional lainnya. Tidak heran jika suara partai Islam terus menurun dan tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Pada level calon pemimpin nasional pun, dalam banyak survey terakhir, juga tidak tampak ada pimpinan partai Islam yang popularitas dan elektabilitasnya tampil secara meyakinkan.

Namun, diskusi tentang ekpresi politik umat Islam tentu tidak bisa hanya dibatasi pada soal partai Islam saja. Banyak aspek dalam politik Islam yang menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi. Bahkan, riset yang dilakukan oleh Sunny Tanuwidjaya menunjukkan bahwa dari fenomena yang terjadi di Indonesia pasca reformasi, nampak jelas Islam telah dan terus memainkan posisi penting dalam politik Indonesia meskipun suara partai Islam terus turun secara signifikan (‘Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s Political Decline’, 2010 ). Hal itu misalnya tampak pada fenomena dukungan partai-partai nasionalis terhadap agenda perda-perda syariat di berbagai daerah. Juga pada dukungan partai-partai di parlemen terhadap undang-undang yang menjadi aspirasi umat Islam seperti RUU Sisdiknas tahun 2003, RUU Pornografi dan Pornoaksi, RUU Zakat, dan sebagainya. Meskipun warna undang-undang itu masih bisa diperdebatkan apakah mewakili suara moderat atau justru mewakili kaum Islamis, tapi jelas bahwa ada warna Islam yang dimainkan di sana.

Pada titik tertentu, kebijakan politik luar negeri Indonesia yang mengkampanyekan tentang Islam moderat, juga bentuk lain dari ekspresi politik Islam pacsa reformasi. Jika sebelumnya suara Islam nyaris absen dalam politik luar negeri Indonesia, tampaknya pergeseran geopolitik internasional dan aspirasi umat Islam di tingkat nasional turut mempengaruhi politik luar negeri itu. Faktor para tokoh Islam yang berhasil mengajak para anggotanya untuk berpartisipasi mengawal transisi demokrasi di Indonesia hingga terkonsolidasi, adalah contoh lain dari ekspresi politik Islam. Jika dibandingkan dengan fenomena politik Islam yang terjadi di Timur Tengah terutama pasca Arab Spring yang tidak jelas arahnya hingga hari ini, politik Islam di Indonesia lebih maju dan terkonsolidasi. Berbagai ekspresi politik umat Islam itu tentu sangat menarik untuk didiskusikan lebih lanjut untuk mengetahui fenomena dan masa depan politik Islam di negara ini.

8 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Pengantar Redaksi

Berdasarkan uraian dan fakta-fakta yang dikemukakan di atas, maka Jurnal MAARIF Vol. 8, No. 2, 2013 ini berusaha untuk memetakan lebih jauh tentang ekpresi politik umat Islam di Indonesia. Edisi ini bermaksud mengulas secara mendalam berbagai ekspresi politik umat Islam, kontestasi politik umat Islam, peran Islam dalam konsolidasi politik di Indonesia, aspek Islam dalam politik luar negeri Indonesia, Islam dan kepemimpinan nasional, dan masa depan Islam dalam politik nasional.

Kegagalan Politik Islam atau Islam Politik?

Bagian awal jurnal ini dibuka dengan sebuah ulasan kritis Andar Nubowo, yang menelanjangi praktek dan agenda Islam politik akhir-akhir ini. Tesis utama tulisan ini menegaskan bahwa kekuatan Islam Politik dipandang telah gagal mewujudkan cita-cita luhur keadilan dan kesejahteraan bagi umat Islam Indonesia. Apalagi dalam perjalanannya, gerakan Islam Politik tidak kebal dari cacat moral dan dosa politik sehingga memupuskan harapan dan kepercayaan publik pada umumnya, dan umat Islam khususnya. Kekuatan Islam Politik yang direpresentasikan oleh partai-partai politik Islam seperti PKS, PBB, dan PPP, semakin terdegradasi dari legitimasi dan perhatian publik. Hal ini berimbas pada semakin menyusutnya dukungan publik terhadap partai-partai yang melabeli dirinya dengan partai Islam tersebut.

Sejurus dengan tesis Andar Nubowo, tulisan Pradana Boy ZTF dalam edisi kali ini menguraikan argumen-argumen bagi kemungkinan gagalnya kekuatan Islam Politik seperti PKS dan Hizbut Tahrir Indonesia –yang sama-sama memiliki agenda politis, namun dengan strategi yang berbeda– dalam menjajakan ideologi politik mereka ke hadapan publik. Keduanya dalam pandangan Boy dikategorikan memiliki agenda politis yang sama, yakni mengubah struktur masyarakat melalui formalisasi nilai-nilai dan simbol Islam. (hal. 51). Namun dalam kenyataannya gagasan-gagasan yang telah digulirkan oleh keduanya sama sekali tidak memiliki landasan empiris yang riil di alam politik Islam Indonesia selain retorika Islamisme mengusung Syariat Islam. Sedikit demi sedikit upaya formalisasi nilai- nilai dan simbol keislaman yang mereka usung tercederai oleh perilaku politik kumuh yang mereka lakukan. Adapun ide khilafah Islamiyyah yang digulirkan HTI sama halnya tidak memiliki pijakan historis- sosiologis yang kokoh dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Beberapa

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Pengantar Redaksi

argumentasi inilah yang dipandang menguatkan tesis bagaimana proyek Islam politik di Indonesia akan mengalami kebuntuan bahkan kegagalan di masa yang akan datang.

Artikel Mujahiduddin yang secara khusus mendedah perilaku politik Hizbut Tahrir Indonesia sebagai sebuah gerakan Islam Politik terbuka, menyimpulkan secara tegas bahwa keberadaan gerakan ini tidak sesuai dengan alam demokrasi Indonesia. Meskipun agitasi politik mereka tidak secara vulgar memakai cara-cara kekerasan fisik dan tindakan terorisme. Namun dalam kenyataannya, gerakan ini telah menggunakan model kekerasan lain, yakni kekerasan struktural dan kekerasan simbolik/verbal (violent rhetoric), yang dalam batas-batas tertentu telah turut merusak sistem demokrasi yang sedang dibangun saat ini. Artikel ini menandaskan, meskipun HTI tetap diperbolehkan hidup dalam alam demokrasi Indonesia, namun keberadaannya lambat laun hanya akan menghambat proses konsolidasi demokrasi yang tengah berjalan sementara ini.

Tulisan Ahmad Fuad Fanani secara lebih khusus mempertanyakan prospek keberadaan kekuatan Politik Islam yang diwakili oleh partai- partai Islam dalam pertaruhan kontestasi Pemilu 2014 yang akan datang. Dengan melihat kecenderungan trend beberapa waktu terakhir ini, berdasarkan serangkaian survei yang dilakukan, kita mengetahui bahwa popularitas partai-partai Islam sedang mengalami penyusutan. Beberapa hasil survei ini lebih jauh seolah telah memprediksikan masa depan partai-partai Islam jelang pemilu 2014. Seperti kita ketahui bersama, suara partai Islam semakin menurun dari Pemilu ke Pemilu. Misalnya, perolehan suara partai-partai Islam di Pemilu Legislatif 2009 memang mengalami penurunan drastis. Dalam artikel ini, Fuad Fanani mencoba menawarkan sebuah jalan baru alternatif bagi partai-partai Islam agar mereka bisa melakukan reposisi politik dan menentukan orientasi politik yang lebih baik. Dengan jalan baru itu, diharapkan partai-partai Islam bisa menjadi faktor penentu dan kekuatan baru pada peta politik Indonesia ke depan

Tulisan Ahmad-Norma Permata, yang berjudul Kegagalan dan Prospek Kepemimpinan Politik Islam di Indonesia Pascareformasi , berupaya memetakan sekaligus mengevaluasi proses perjalanan kepemimpinan politik Islam di era konsolidasi demokrasi dewasa ini. Kepemimpinan Politik Islam

10 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Pengantar Redaksi

di pentas nasional di era awal Reformasi –yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, Akbar Tanjung, dan Hamzah Haz, dipandang telah gagal dalam menciptakan sistem kepemimpinan politik Islam yang berkelanjutan dan merealisasikan proyek kesejahteraan bersama umat Islam. Adapun kepemimpinan politik Islam generasi selanjutnya tidak banyak beranjak dari kegagalan generasi pertama dalam upaya pewujudan cita-cita luhur keadilan sosial dan kesejahteraan umat. Satu hal yang dipandang berhasil dari generasi ini adalah upaya efektivitas kinerja dalam membangun jaringan dan kaderisasi politik, sehingga stabilitas dan sustainibilitas sistem kepemimpinan relatif bisa lebih terjaga.

Bahasan di atas dilengkapi oleh artikel Noorhaidi Hasan terkait kepemimpinan Indonesia masa depan dan kemunculan kelas menengah Muslim yang berupaya untuk mengikis kesenjangan antara Islam dan demokrasi. Dalam pandangan Hasan, kelas menengah Muslim di Indonesia berpotensi menjadi pewaris kepemimpinan Indonesia di masa depan. Dengan menggunakan analisis Asef Bayat, kelas menengah Muslim Indonesia saat ini bisa dikategorikan sebagai kelompok ‘Post-Islamisme’ yang dikonsepsikan sebagai bagian dari upaya dan strategi melampaui Islamisme di ranah sosial, politik, dan intelektual. Lebih jauh post- islamisme dipandang sebagai upaya untuk memadukan prinsip-prinsip religiusitas dan kebebasan., sehingga mampu membuat agama menjadi realitas plural dengan banyak pemaknaan dengan turut mengakomodasi gagasan-gagasan demokrasi, pluralism, multikulturalisme, dan hak asasi manusia. Dalam konteks Indonesia kontemporer perubahan ke arah ini tengah berproses seiring mencuatnya kelompok menengah Islam dewasa ini.

Adapun artikel Airlangga Pribadi Kusman mengulas proses eksklusi dan marginalisasi kelompok-kelompok minoritas di Indonesia, dan kegagalan kelompok-kelompok Politik Islam dalam memberikan keberpihakan pada kelompok minoritas. Hal ini salah satunya disebabkan oleh landasan tafsir keislaman atas perilaku politik mereka yang cenderung bersifat sektarian, konservatif, dan intoleran. Namun lebih dari itu hal ini juga disebabkan oleh adanya kontestasi kepentingan di antara kekuatan politik yang ada, termasuk kelompok Islam Politik untuk mengkooptasi dan mempertahankan baik kekuasaan maupun sumber- sumber daya material. Secara lebih mendalam, tulisan ini menganalisis

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Pengantar Redaksi

proses marginalisasi dan eksklusi yang dilakukan oleh elit-elit politik – termasuk elit politik Islam– terhadap kelompok minoritas di Indonesia dalam perspektif politik-ekonomi dengan mengambil studi atas kasus pengusiran warga Syiah di Sampang Madura.

Tulisan Zuhairi Misrawi dengan judul Islam dan Transisi Demokrasi: Perbandingan Indonesia dan Mesir , menganalisis tantangan-tantangan konsolidasi demokrasi dalam transisi demokrasi di dua Negara Muslim, Mesir dan Indonesia. Tantangan yang paling menohok dalam transisi demokrasi kedua Negara ini tidak lain berasal dari munculnya gerakan- gerakan Islam Politik pengusung Syariat Islam dalam kehidupan demokrasi yang tengah dibangun di dalamnya. Dengan memanfaatkan kendaraan demokrasi, gerakan-gerakan ini dipandang telah mencederai proses demokratisasi untuk mencapai pada cita-cita pembentukan “Negara Islam” yang kemungkinan besar muaranya akan bertentangan dengan hakikat demokrasi itu sendiri.

Untuk melengkapi perspektif dalam artikel utama jurnal ini, redaksi menurunkan sebuah ulasan tentang kekuatan masyarakat sipil Islam dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Artikel ini ditulis oleh Hurriyah dengan menganalisis fenomena munculnya kelompok Islam politik (undemocratic civil society) sebagai tantangan bagi upaya-upaya dan kontribusi yang sedang dilakukan oleh kelompok civil society Islam dalam proses demokratisasi di Indonesia.

Dalam rubrik Riset, redaksi menurunkan sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Yanwar Pribadi dengan judul Relasi Kiai, Masyarakat, dan Negara: Konfigurasi Politik Pemilu pada Masa Orde Baru di Madura . Sedangkan pada bagian Khazanah Lokal, jurnal MAARIF edisi kali ini mencantumkan hasil reportase Deni Mulya Barus dan Khelmy K. Pribadi terkait sosok seorang teolog bernama Romo Carolus yang di tengah gegap gempita alam politik kita yang kumuh, ia berhasil meniupkan semangat perubahan di tengah-tengah masyarakat terpinggirkan di daerah Cilacap Jawa Tengah. Dengan frasa ‘Teologi Cinta’, Romo Carolus bekerja dan berkarya untuk menjaga kebhinnekaan dan nalar kemanusiaan kita dewasa ini.

Pada bagian pustaka, Ali Noer Zaman melakukan kajian analitis terhadap sebuah karya yang berjudul Islam in Indonesia, Contrasting Images and Interpretations . Karya yang diedit oleh Jajat Burhanuddin dan Kees van

12 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Pengantar Redaksi

Dijk ini lebih jauh mengulas tentang perkembangan Islam di Indonesia, terutama setelah masa keruntuhan Rezim Orde Baru. Buku ini mencoba menunjukkan pada publik tentang wajah Islam Indonesia yang warna- warni dengan model keberagamaan yang beragam. Namun demikian buku ini tidak banyak mengakomodasi kajian tentang dinamika politik Islam Indonesia, perkembangan partai-partai Islam di Indonesia, dan perkembangan ekspresi Islam dalam seni dan budaya.

Jurnal edisi kali ini diakhiri oleh sebuah catatan reflektif Fajar Riza Ul Haq mengenai isu kepemimpinan politik di Indonesia dan visi filantropi kemanusiaan. Tulisan ini mencoba memberikan paparan kritis terhadap masa depan kepemimpinan nasional di Indonesia dan pentingnya memperkuat visi kemanusiaan yang utuh dalam konteks keindonesiaan yang tengah mengalami perubahan dan transisi.

Sebagai catatan akhir, ulasan-ulasan dalam jurnal edisi Desember 2013 ini diarahkan pada upaya pembacaan ulang atas fenomena politik Islam di Indonesia, terutama prospek kekuatan-kekuatan Islam Politik yang selama 15 tahun terakhir telah menghiasi wajah politik Indonesia. Selain juga mencoba untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada kekuatan Politik Islam jelang perhelatan akbar Pemilu 2014. Kami berharap dengan mendiskusikan ekpresi politik Islam di ruang akademik dan publik yang lebih terbuka, maka masyarakat akan mempunyai wawasan yang luas dalam membaca ekpresi politik umat Islam dan memberikan kontribusi yang signifikan pada penguatan kebangsaan dan kebhinnekaan di negara ini. Selamat membaca.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Arah Baru Politik Islam di Indonesia Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

Arah Baru Politik Islam di Indonesia: Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

Andar Nubowo

Pengajar FISIP UIN Jakarta

ABSTRAK

Pascareformasi, Islam Politik di Indonesia menemukan dan mengisi ruang publik dengan serangkaian agenda dan aksi. Reproduksi mitos syariatik dilakukan secara terang dan terbuka—dengan terutama mengintroduksi sejarah kekalahan Negara Syariat pada awal Kemerdekaan Indonesia serta membangun mistifikasi syariat sebagai the one and only solution bagi persoalan kebangsaan. Nalar syariatik ini lalu secara cukup terbuka mendapatkan ruang manifestasinya di alam demokrasi Post-Soeharto. Namun, limabelas tahun Reformasi justru menelanjangi nalar dan agenda syariatik di Indonesia sebagai telah kurang berhasil –atau gagal, mewujudkan cita-cita kesejahteraan lahir dan batin bagi umat Islam. Akibatnya, partai Islam semakin tidak menarik bagi publik Muslim dan terus mengalami erosi dukungan elektoral dari pemilu ke pemilu. Hal ini disebabkan fakta menonjol bahwa Islam politik atau partai Islam tidak bisa membedakan dirinya secara ideologis, politik dan etika- spritual dengan partai-partai nasional-sekuler lainnya. Selain itu, Islam Politik atau partai Islam telah meninggalkan basis-basis komunitasnya dan terjebak pada konsep syariatik yang sempit dan anakronistik. Untuk itu, perlu upaya reorientasi paradigma dan aksi politik (umat) Islam Indonesia dari yang bernalar syariatik menuju transformasi sosial, politik

Andar Nubowo

dan ekonomi yang partisipatoris. Kata Kunci: Islam Politik, Politik Islam, Reformasi, Syariat Islam, Nalar

Syariatik, Islam Partisipatoris, Transformasi, Basis Sosial Muslim. Limabelas tahun Reformasi dan demokrasi menyajikan fakta baru

Islam Politik 1 di Indonesia. Ketika legislasi di tingkat regional sebagian

dimenangkan oleh aspirasi-aspirasi syariatik, publik Islam tampaknya mulai tidak percaya dengan Islam Politik dan gagasan-gagasannya. Erosi atau krisis kepercayaan ini terekam dalam survei-survei yang dilakukan

sejumlah lembaga survei sejak tahun 2004, 2 di mana secara politik, partai politik Islam yang mengusung syariat mengalami erosi dukungan elektoral. Survei terakhir mengunci posisi partai Islam di Indonesia pada urutan terbawah pada skala popularitas dan elektabilitas pada Pemilu

2014. 3 Pada saat bersamaan, skandal-skandal korupsi, gratifikasi uang dan

perempuan yang menimpa elite-elite partai Islam PKS semakin memperburuk partai Islam atau Islam Politik di Indonesia. Skandal korupsi dan aroma gratifikasi perempuan di baliknya mengungkap aib moral sekaligus cacat politik sebuah partai dakwah yang dikenal dengan jargonnya “bersih, peduli dan profesional”. Kepercayaan dan harapan publik (Islam) terhadap PKS jatuh. Terkuaknya skandal ini memperlemah tingkat kepercayaan dan harapan publik terhadap partai Islam. Partai-partai Islam semakin tidak diminati oleh pemilih karena gagal membedakan dirinya secara ideologis dengan partai-partai lainnya.

1 Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah Islam Politik untuk merujuk pada parFadigma dan aksi kelompok Islam yang mencita-citakan penegakan Syariat Islam atau Negara Islam, baik melalui jalur partai politik atau pun gerakan politik non parlementer. Untuk lebih jelasnya mengenai Islam politik, baca sejumlah sumber kepustakaan, antara lain; Are Knudsen, Political Islam in Middle East (Norway: Chr. Michelsen Institute, 2003), hlm. 2-3; Hirschkind, “What is political Islam?” (Middle East Report, Okt/Des 1997), hlm. 12-14; Bjørn Olav Utvik, “Islamism: Digesting Modernity the Islamic Way” (Forum for Development Studies 2), hlm. 201; Olivier Roy, l’Echec de l’Islam Politique (Paris: Collection Esprit/Seuil, 1992); Olivier Roy, Geneologie de l’islamisme (Paris: Hachette Literature, 1995). Adapun istilah Politik Islam dalam tulisan ini merefleksikan paradigma, gagasan, perilaku, aksi dan identitas politik masyarakat Muslim secara umum, yang juga memayungi ragam dan corak keagamaan dan orientasi politik umat Islam; mulai dari fundamentalisme, radikalisme, moderatisme, integrisme, dan hingga apolitisme- quetis. Baca buku Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997).

2 Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2007 mengungkapkan bahwa 57% Muslim Indonesia menolak penerapan syariat Islam. Tercatat hanya 33% saja yang setuju syariat. Hasil survei yang dilakukan pada tahun 2005 dan 2006 juga mengungkapkan degradasi dukungan terhadap partai-partai politik Islam. Lembaga Survei Indonesia, “Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis vs Nilai-Nilai Politik Sekuler dan Kekuatan Islam Politik”, Oktober 2007.

3 Survei yang dilakukan Lingkaran Survey Indonesia menunjukkan elektabilitas partai-partai Islam (PKB, PPP, PAN, PKS) di bawah 5 persen pada Pemilu 2014. Lingkaran Survei Indonesia, “Krisis Capres dan Cawapres Partai Islam: Siapakah Pasangan Capres-Cawapres Terkuat pada Pemilu 2014?”, 17 maret 2013.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Arah Baru Politik Islam di Indonesia Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

Catatan kegagalan politik Islam, dalam diskursus dan praktek politik Islam di era Reformasi, sebagaimana dicatat Remy Madinier 4 dan Vedi R Hadiz, 5 berimplikasi pada citra partai Islam di mata pemillih. Setahun menjelang Pemilu 2014, tepat 15 tahun setelah Reformasi, partai-partai Islam justru ditandai oleh eksodus elektoral pendukungnya ke partai nasionalis-sekuler. Tak pelak, hal ini menimbulkan pertanyaan dan pemikiran mendalam mengenai sebab musabab kegagalan politik Islam dan juga rute baru politik Islam (Muslim) di Indonesia.

Reproduksi Mitos Syariatik

Semenjak sebelum berdirinya Republik Indonesia, di dalam tubuh umat Islam terdapat perdebatan apakah Syariah Islam harus menjadi dasar negara atau tidak, apakah Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim akan menjadi Negara Islam atau Negara Sekular. Debat itu berkulminasi pada penghapusan tujuh kata dalam Pancasila, sila pertama, ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’. Muslim demokrat seperti Mohammad Roem dari Partai Masyumi melihat penghapusan tersebut tidak mengkhianati aspirasi Islam. Roem juga menilai Pancasila tidak bertabrakan dengan ajaran Islam. Ia juga memahami bahwa tidak ada satupun ayat Qur’an dan

Hadis Nabi yang meniscayakan sebuah Negara Islam. 6 Kisah penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta ini mempengaruhi

hubungan Islam dan negara. Hubungan keduanya berlangsung fluktuatif, pasang surut, penuh kehati-hatian, cinta dan benci. Soekarno membubarkan Partai Masyumi pada 1960, atas tuduhan PRRI. Soeharto melakukan depolitisasi atas Islam politik dan marjinalisasi terhadap politik Islam selama tiga dekade. Namun dalam fluktuasi hubungan itu, terselip hubungan mesra Soekarno dan Soeharto pada akhir masa jabatannya dengan salah satu kelompok Islam: Soekarno menjalin

4 Remy Madinier, “Kegagalan Islam Politik atau Kemenangan Instrumentalisasi Politik Islam?”. 5 Vedi R Hadiz, “Kebuntuan Politik Partai-Partai Islam di Indonesia: Perbandingan PKS dan AKP”.

6 Andrée Feillard et Rémy Madinier, La fin de l’innocence ? L’islam indonésien face à la tentation radicale de 1967 à nos jours (Irasec/Les indes savantes, Paris), 2006. hlm. 156-157.

16 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

kehangatan dengan kalangan Muslim tradisionalis NU 7 ---sebagai unsur ‘agama’ dalam NASAKOM, dan Soeharto menjalin keakraban politik dengan faksi Islam modernis, yang tergabung dalam ICMI. Sebuah pola identik dari instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik status quo.

Pada saat katup aspirasi Islam politik ditutup oleh rejim, kelompok Islamis yang hak-hak politiknya dikebiri mengalihkan energi politiknya pada dakwah Islam. Situasi inilah yang menyebabkan proses ‘pengerasan ideologis’ (raidisement ideologique) sejumlah tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Mohammad Roem yang sebelumnya dikenal sebagai Muslim demokrat sejati. Tokoh-tokoh Masyumi yang dididik di Barat dan demokrat sejati lalu mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada 1967. DI merupakan etape penting dalam pembentukan nalar syariatik di Indonesia.

Indonesianis Andree Feillard dan Remy Madinier menandai pendirian DI sebagai tidak hanya mutasi ideologis demokrat Muslim menuju gagasan politik sektarian. DI diketuai Mohammad Natsir lalu mengamplifikasi kritik atas ajaran mistik Kejawen dan kebencian terhadap

Yahud, Amerika Serikat dan Barat. 8 Elegi ‘tujuh kata’ disajikan secara dramatis sebagai sebuah ‘mihnah kubro’ umat Islam Indonesia. Akibatnya, penghadap-hadapan Pancasila versus Syariat Islam tak bisa dihindarkan. Yang pertama dipersepsikan sebagai buah karya manusia yang profan, sedang kedua diyakini kemutlakan ilahiahnya. Pemahaman dikotomik ini meluapkan emosi ‘korban’ di kalangan islamis dan menggelorakan spirit ‘balas dendam’ atas negara yang tidak syariatik.

Nalar syariatik makin menguat ketika Soeharto mewajibkan Pancasila sebagai asas tunggal 9 melalui UU Ormas No. 8 tahun 1985. Ormas dan partai politik wajib berasas Pancasila dalam AD/ART-nya sebagai

7 Pada Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia di Cipanas, Jawa Barat tahun 1953 (awal tahun 1954), NU memberi gelar kepada Presiden Soekarno sebagai “Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukah” (pemimpin berkuasa yang harus dipatuhi). Gelar ini mempertegas dukungan NU kepada Presiden Soekarno di masa-masa revolusi. Pemberian gelar ini dikecam oleh partai Islam modernis, karena Indonesia bukanlah negara Islam, Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 341-344.

8 William Liddle, “Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia”, in Mark R. Woodward (éd.), Toward a New Paradigm. Recent Development in Indonesian Islamic Thought, (Temple: Arizona State University, 1996), hlm. 323-356.

9 Kajian’“asas tunggal” dan dampaknya pada kehidupan politik Indonesia, baca Douglas Ramage, Politics in Indonesia : Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (New York : Routledge, 1995).

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Arah Baru Politik Islam di Indonesia Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

dasar organisasi/partai. Penolakan terhadapnya yang disertai opresi dan represifitas rejim terhadap umat Islam di Tanjung Priok membakar spirit syariatik dan nalar perlawanan terhadap rejim. Semenjak itu, kelompok- kelompok radikal di Indonesia tumbuh berkecambah, yang antara lain ditandai dengan diimpornya aliran Islam transnasional ke Indonesia seperti Ikhwanul Muslimin (PKS), Hizbut Tahrir, serta Salafisme Wahabi

di awal tahun 1980-an. 10 Radikalisme Islam menanamkan nalar syariatik dan elegi ‘kekalahan-penderitaan’ umat Islam secara sembunyi melalui

kaderisasi usrah. 11

Pasca tumbangnya Soeharto, nalar syariatik Islam Politik menemukan momentumnya. Jika sebelumnya, hasrat kuasa diredam dalam sekam Orde Lama dan Orde Baru, Reformasi memungkinkan mereka untuk mengaplikasikan nalar syariatiknya dalam tata kelola politik dan kenegaraan. Situasi demokrasi yang tak kunjung menyejahterakan, menihilkan konflik dan kekerasan, mengurangi ketimpangan dan kemiskinan serta patologi sosial, politik, ekonomi, dan budaya lainnya menambah keyakinan penganut Islam politik pada gagasan Negara Syariah dan berjuang untuk mengimplementasikannya.

Islam Politik benar-benar menikmati arus keterbukaan dan demokrasi. Dalam sebuah sistem dan situasi yang mereka haramkan karena ke-Baratannya itu, mereka mengorganisir diri dalam wujud partai politik atau perkumpulan sosial dakwah. Tujuannya cukup jelas, yakni menghidupkan kembali ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta, dan atau

Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Salafisme Wahabi di Indonesia. Mereka itulah 10 Pada awal tahun 1980-an, mahasiswa Indonesia yang pulang ke Indonesia dari Timur Tengah mengimpor aliran yang menyebarkan paham keagamaan dan politiknya di Nusantara. Andrée Feillard et Rémy Madinier, La fin de

l’innocence..., hlm. 101. 11 Sistem usrah (keluarga) diadopsi dari metode kaderisasi Ikhwanul Muslimin Hasan Al-Banna. Ia terdiri dari

10-14 orang yang melakukan pengkajian Islam dan siap hidup di bawah naungan Syariah. Usrah inilah cikal bakal dari kelompok pejuang Syariah atau Negara Islam Indonesia. Baca laporan International Crisis Group, Recycling Militants in Indonesia: Darul Islam and the Australian Embassy Bombing, 22 Februari 2005, hlm. 12; Salman, “The Tarbiyah Movement: Why People Join This Indonesian Contemporary Islamic Movement”, Studia Islamika, Vol. 13, No. 2, 2006; Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah Movement di Indonesia (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 321 – 337.

18 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

menggantikan Pancasila dengan sistem Islam atau khilafah. 12 Dalam cita dakwah dan politik mereka, terwujudnya ‘negara syariatik’ merupakan– meminjam teori Jacques Lacan, phallic and surplus jouissance dari sebuah jihad panjang dan melelahkan yang selama ini mereka lakukan.

Untuk mewujudkan “kesenangan surplus” itu, secara struktural kelompok Islam politik melakukan proyek politik Syariatik melalui legislasi perda- perda ‘syariatik’. Praktis, kurang lebih dalam kurun sepuluh tahun, kelompok Islam Politik –yang didukung pula oleh elite-elite partai sekuler, berhasil meratifikasi lebih dari 60 peraturan-peraturan daerah yang dikenal dengan ‘perda-perda Syariah’ di berbagai daerah kabupaten/ kota di Indonesia. Perda-perda Syariah itu lahir pasca penerapan UU Otonomi Daerah No. 10 Tahun 2004 tentang penyusunan peraturan

daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 13 yang memungkinkan daerah-daerah berbasis Islam seperti Aceh, Padang- Sumatera Barat, Banten, Cianjur, Tangerang, Jombang, Bulukumba Sulawesi Selatan dan Sumbawa untuk menerapkan peraturan daerah berbasis Syariah. Meskipun perda-perda tersebut tidak secara resmi bernama Syariah, substansi perda tersebut merujuk dan dipengaruhi oleh hukum-hukum Islam (fikih).

Kampanye Islam Politik untuk penegakan syariat Islam di Indonesia cukup mendapat respon antusias di daerah-daerah yang memiliki sejarah kuat pemberontakan Darul Islam seperti Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan ‘mitos Syariah’ masih cukup berpengaruh di daerah tersebut. Mitos Syariah dihidupkan oleh kelompok Islam Politik di parlemen atau di luar melalui penyebaran ceramah-ceramah keagamaan, pemanfaatan media konvensional ataupun media sosial, dan publikasi buku-buku kaum Islam Politik. Isinya, perlu penegakan Syariah

12 Islam Politik yang paling militan memperjuangkan penegakan Syariat Islam di Indonesia, adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dipimpin oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Sebelum pecah dari MMI dan mendirikan Jamaah Anshar wa Tauhid, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah Amirul Mu’minin MMI sejak pendiriannya tahun 2000. Kajian mengenai perjuangan penegakan Syariat Islam yang dilakukan MMI, baca antara lain Andar Nubowo, Un Mouvement islamiste post-Soeharto: Le Conseil des Moudjahidines Indonesiens et Son Combat pour l’Application de la charia (Paris: EHESS, 2008), tesis tidak dipublikasikan.

Adapun pejuang penegak khilafah Islam di Indonesia adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI adalah Islam Transnasional yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani untuk merebut kembali tanah Palestina dan menegakkan Khilafah Islamiyyah pasca keruntuhan Turki Usmani pada tahun 1924. Tulisan mengenai HTI bisa dirujuk antara lain; Greg Fealy, “Globalised Islamism: Hizbut Tahrir in Indonesia”, makalah dipresentasikan di Centre for Muslim States and Societies, The University of Western Australia (Perth), 25 februari 2006; Ken Ward, “Non-violent Extremist? Hizbut Tahrir Indonesia” (Australian Journal of International Affairs, Vol. 62, No. 2, Juni 2009), hlm. 149-164.

13 Dewi Candraningrum, Unquetioned Gender Lens in Contemporary Indonesian Sharia Ordinance (Perda Syariah), Al-Jami‘ah, Vol. 45, No. 2, 2007 M/1428 H, hlm. 296.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Arah Baru Politik Islam di Indonesia Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

dan penghapusan Pancasila. Pancasila dianggap kelompok penegak syariat Islam sebagai sebuah ideologi yang dilahirkan untuk sengaja

menghalangi penerapan Syariah Islam di Indonesia. 14 Islam Politik juga membangun ‘wacana tanding’ atas demokrasi, HAM,

gender, kebebasan dan kesetaraan, dan pluralisme. Wacana-wacana tersebut dianggap Islam Politik bertentangan dengan Islam, karena ke-Barat-annya yang dipengaruhi Judeo-Kristiani dan sekularisme- liberalisme. Islam Politik melihat kelompok yang mengusung agenda- agenda tersebut sebagai agen sekularisme, pluralisme dan liberalisme (SIPILIS), yang pada tahun 2005 diharamkan secara resmi oleh fatwa

MUI. 15 Untuk itu, mereka giat mengampanyekan antipaham SIPILIS dan proyek-proyek syariatik melalui perda-perda syariat, masjid, dan lembaga pendidikan.

Islam Politik juga bermimpi menjadikan Islam sebagai pondasi kebangsaan dan kenegaraan. Cita-cita Islam yang totalitas dan sempurna (syamil wa kamil) ini dipoles secara apik melalui serangkaian mitologisasi politik tentang keadilan, kesejahteraan, kesetaraan dan kedamaian di dunia dan akhirat---yang hanya dapat terwujud dan dirasakan secara adil dan merata dalam naungan perjuangan partai-partai Islam. Dalam bungkus mitos itu, sanggahan terhadapnya dianggap sebagai sebuah tabu, hujatan dan celaan terhadap Islam secara keseluruhan. Mitos dan tabu itulah yang ditanamkan, dilestarikan dan diwariskan secara turun temurun semenjak kaum Islam Politik gagal menjadikan Islam sebagai platform bersama pada awal Kemerdekaan.

Kegagalan Islam Politik yang berulang-ulang, malah memupuk mitos Negara Syariat. Kampanye “Islam is a solution” kian nyaring terdengar di ruang publik. Persoalan bangsa dan negara hanya dapat diselesaikan dengan Syariat Islam, karena ia adalah obat mujarab (panacea). Islam Politik meyakini kemakmuran dan kesejahteraan rakyat segera terwujud, jika ideologi Pancasila digantikan oleh Islam. Dalam frame berpikir semacam itulah, produk perundangan-undangan dan tatanan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak sempurna dianggap sebagai bukti

14 Opini Abu Bakar Ba’asyir tentang Pancasila dan Syariat Islam, Risalah Muhajidin, Shafar 1428/ Maret 2007, hlm. 31.

15 Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/Munas VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama.

20 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

nyata kegagalan ‘produk’ manusia yang harus diganti hukum Tuhan yang abadi.

Fakta sosial politik dan ekonomi yang terjadi dalam 15 tahun belakangan ini memperkuat logika mitologis Islam Politik. Islam Politik memperburuk citra demokrasi yang tengah terseok dalampraktek politik yang kumuh dengan meminggirkan cit-cita kesejahteraan umum. Korupsi, kolusi dan nepotisme, konflik dan kekerasan sosial dan agama, radikalisme dan terorisme, serta kesulitan ekonomi yang kian akut dianggap sebagai hasil nyata dari demokrasi. Kondisi kebatinan rakyat yang tak sabar dan lelah tersebut dimanfaatkan oleh Islam politik untuk mencoba memaksakan ideologi syariatiknya di Indonesia. Propaganda kaum syariatik sebagaimana kaum elite oligarki-plutokratik cukup terang: demokrasi tidak membuahkan kesejahteraan dan keteraturan, tetapi ketidakteraturan.

Mitologisasi syariat ini tampaknya cukup berhasil memengaruhi publik Muslim. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta memublikasikan sebuah survei tentang “Sikap Sosial-Keagamaan Masyarakat di Jawa” yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Agustus

2008, 16 di mana sekitar 62,4% dari responden (guru agama Islam) menolak wacana memiliki pemimpim publik non Muslim. Sekitar 68,6% dari responden menentang non Muslim menjadi Kepala Sekolah di tempat mereka mengajar. Sekitar 33,8% dari responden menentang mempunyai guru non-Muslim di sekolah tempat mereka mengajar. Sekitar 73,1% dari responden tidak menginginkan pemeluk agama lain mendirikan rumah ibadah di sekitar tempat tinggal mereka. Sekitar 85,6% dari responden melarang siswa-siswinya merayakan peristiwa besar yang jelas-jelas merupakan bagian dari tradisi Barat.

Survei ini juga mengungkap, sekitar 87% dari responden melarang siswa- siswinya mempelajari agama-agama lain. Sekitar 48% dari responden lebih memilih adanya pemisahan kelas antara pelajar putra dan putri. Sekitar 75,4% dari responden meminta siswa-siswinya untuk mengajak guru yang beragama bukan Islam untuk memeluk agama Islam. Sekitar 61,1% dari responden menolak sekte baru dalam Islam. Sekitar 67,4% dari responden mengatakan, mereka lebih merasa sebagai Muslim

16 Detik.com, 25 November 2008; The Jakarta Post online, 26 November 2008.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Arah Baru Politik Islam di Indonesia Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

dibanding sebagai orang Indonesia. Sekitar 58,9% dari responden mendukung rajam sebagai hukuman bagi berbagai jenis tindakan kriminal. Sekitar 47,5% dari responden mengatakan, hukuman bagi pencuri adalah dengan dipotong tangannya. Sekitar 21,3% dari responden menginginkan hukuman mati bagi mereka yang murtad dari Islam. Sekitar 51% dari responden lebih mementingkan mengajarkan akhlak mulia. Hanya sekitar 3% dari responden mengatakan merupakan tugas mereka menghasilkan pelajar yang toleran, dan hanya sekitar 0,3% dari responden yang mengajarkan menjadi warga negara yang baik.

Fakta di atas makin mengukuhkan ambisi dan hasrat elite politik untuk menjadikan Islam dan syariat sebagai instrumen politik. Elite politik melihat peluang elektabilitas jika dirinya dapat meraih simpati pemilih Muslim dengan berpihak pada isu dan kepentingan kelompok Islam, meski secara simbolik. Sekarang, kurang lebih 60 propinsi dan kabupaten telah menerapkan peraturan berbasis Syariah. Keberhasilan ini bukan hanya disebabkan oleh dukungan partai Islam saja tetapi juga partai nasional sekuler seperti Partai Golkar dan PDIP. Hal ini sekaligus memberitahukan instrumentalisasi Islam oleh partai-partai sekuler nasionalis dan partai Islam membuktikan bahwa nalar syariatik diterima secara luas oleh publik.

Kritik Nalar Syariatik

Semarak Reformasi dan demokrasi yang dikecap bangsa Indonesia memungkinkan kontestasi ideologi dan politik berlangsung secara terbuka. Gagasan dan tuntutan penerapan syariat Islam bukan hanya diwadahi, tetapi juga telah menginspirasi perda-perda ‘Syariah’ di berbagai daerah. Dalam ruang demokratik itulah, warga memperoleh kesempatan untuk merasakan, mengalami dan menilai sejauhmana otentisitas dan efektifitas produk hukum Syariah bagi kemaslahatan publik. Seruan-seruan penerapan syariat tidak lagi berada di ruang mitos, tetapi telah mewujud dalam bangunan empirisme politik, sosial, hukum dan kebudayaan: apakah klaim keunggulan, kemenyeluruhan dan kemampuannya mengabdi dan menyejahterakan urusan publik terbukti ataukah sekedar mitos dan tabu yang dipelihara secara paksa.

Perda-perda yang terinspirasi aspirasi syariatik sebenarnya tidak memiliki argumen keunggulan atas produk hukum lainnya. Hal ini disebabkan

22 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

konsepsi hukum syariat (qanun) masih terjebak pada konsepsi syariat Abad Pertengahan Islam, di mana hukum-hukum fikih yang ditawarkan tampak tidak mampu mencakup persoalan baru abad ke-21. Perda- perda syariat tersebut, secara umum, mengatur tiga aspek kehidupan publik ; (1) pemberantasan kejahatan sosial, terutama prostitusi dan perjudian, (2) penghormatan pada ibadah wajib umat Islam seperti membaca Al-Quran, shalat berjamaah hari Jumat dan puasa Ramadhan, dan (3) peraturan cara berpakaian di ruang publik, terutama jilbab bagi

perempuan. 17 Sementara, urusan publik yang lebih luas hampir tidak

mendapatkan perhatian, seperti isu lingkungan hidup dan kerusakan alam, kemiskinan, dan perburuhan, isu HAM, korupsi, kolusi dan nepotisme dan sebagainya. Karena itulah, dapat dipahami, penerapan perda-perda Syariah di berbagai daerah di Indonesia lebih banyak membangun kesalihan individual, yang seringkali bersifat dangkal dan terjebak pada banalitas simbolisme relijius yang tidak substantif dan esensial.