1.1 Isi Buku Tuhan Maha Asyik - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, penulis akan melakukan analisis wacana kritis Norman Fairclough terhadap buku Tuhan Maha Asyik karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba, mengkaji hasil interview dengan kedua penulis (Sujiwo Tejo dan MN Kamba) serta mengolah semua data yang ada.

1.1 Isi Buku Tuhan Maha Asyik

Peneliti mengelompokkan tulisan dalam buku Tuhan Maha Asyik yang berisi kritik tentang fenomena sosial penggunaan agama untuk berbagai kepentingan. Teks yang dianalisis mulai dari halaman 1-230. Tidak semua bab dalam buku ini akan dianalisis karena tidak semuanya memuat pesan kritik terhadap praktik penggunaan agama untuk berbagai kepentingan. Ada 47 kalimat dalam buku ini yang akan dianalisis dan untuk memudahkan pemahaman, peneliti membagi kalimat-kalimat tersebut sebagai berikut.

Tabel 5.1 Pembagian Kalimat

Kalimat

Bab/Halaman No

Agama memberikan dasar teologis bagi perilaku kebudayaan, sedangkan kebudayaan menjadi

1 dinamisator agama. Dengan cara akulturasi demikianlah agama

Cacing/hal. 42

2 bertahan hidup dan membangun peradaban.

Cacing/hal. 42

Keterbukaan agama pada proses akulturasi Cacing/hal. 43

3 memungkinkannya untuk lebih elastis dan fleksibel.

Agama sesungguhnya mengajarkan bahwa wujud merupakan manifestasi Tuhan belaka, maka umat

4 manusia harus menyadari batas-batas perannya

Gincu/hal 60

hanya sebagai manusia.

Jangan sampai seseorang atau sekelompok orang melampaui batas dengan adanya otoritas keagamaan membangun interaksi sosial yang

5 mengasumsikan superioritas atas orang-orang yang di luar kelompoknya. Dengan dalih melancarkan misi ketuhanan mereka lantas mengabaikan kebijaksanaan dan lebih mementingkan logika kelompok sehingga yang

Gincu/hal. 60

6 penting adalah merekrut sebanyak mungkin pengikut. Tapi, bukan berarti bahwa seseorang berhak

Gincu/hal. 60

7 mengklaim diri sebagai gembala bagi orang lain.

Gincu/hal. 60

Sepertinya ada kesalahan memahami pesan Tuhan terkait kehidupan bersama, baik secara individual

8 maupun sosial. Ini berarti bahwa ajaran dalam kitab suci yang kemudian diformulasikan dalam bentuk agama tidak dimaksudkan untuk mengotak-kotakkan

Gincu/hal. 61

9 manusia kedalam kelompok-kelompok yang saling bermusuhan. Teguran lebih khusus ditujukan kepada para pemangku otoritas keagamaan ketika mereka

Gincu/hal. 61

10 mengklaim diri sebagai hakim penentu kesucian. Maka, gagasan sertifikasi halal sesungguhnya juga keliru, sebab sangat sulit mengidentifikasikan

Antareja/hal 69

11 kesucian objeknya. Mungkin karenaalasan kesulitan inilah, Tuhan

Antareja/hal 69

12 hanya melarang makanan dan minuman tertentu.

Antareja/hal 69

Tetapi anehnya otoritas keagamaan malah memberi Antareja/hal 69

13 label halal pada barang dan jasa selain yang 13 label halal pada barang dan jasa selain yang

14 alkohol. Untuk diketahui, Tuhan hanya melarang secara eksplisit memakan daging babi, tapi otoritas keagamaan malah mengharamkan semua yang terkait dengan babi walau sudah dalam bentuk

15 produk olahan seperti kosmetik dan obat-obatan, termasuk kulitnya yang diolah menjadi produk fashion. Para pemangku otoritas keagamaan merasa telah memiliki sudut pandang berketuhanan, ketika

Antareja/hal 69

16 mampu dengan fasih menguraikan makna firman

Ketombe/hal.89

Tuhan dalam kitab suci. Padahal, mereka hanya menjadikannya sebagai alat untuk memperoleh kepentingan pribadi atau

17 kelompok. Sejarah perkembangan agama-agama menjelaskan proses peralihan dari kesederhanaan ajaran agama

Ketombe/hal.89

Komat-kamit/hal

18 menjadi kompleks ketika dari dalam komunitas

agama muncul otoritas keagamaan. Sistem keberagamaan tersebut diklaim sebagai

Komat-kamit/hal

19 representasi ajaran Tuhan.

Padahal, sistem keberagaman yang diciptakan Komat-kamit/hal manusia sama-sekali tidak bisa dibuktikan, apakah

betul merupakan kehendak Tuhan. Banyaknya institusi keagamaan dalam suatu

Komat-kamit/hal masyarakat hanya akan menghalangi umat manusia

mendekatkan diri kepada Tuhan.

Ini menafsirkan kenyataan bahwa apresiasi terhadap kreativitas dan inovasi jarang ditemukan di

Komat-kamit/hal

22 kalangan masyarakat yang terkungkung oleh

otoritas keagamaan. Problem utama mainstream adalah asumsinya yng menafikkan adanya kemungkinan lain diluar diri

23 yang lazim.

Tersesat/hal. 105

Oleh karena itu, amat gampang menilai hal diluar Tersesat/hal. 105

24 mainstream sebagai sebuah kesesatan.

Tapi, lebih tidak waras jika agama dan atas nama Tuhan menjadi alasan bagi manusia untuk saling

25 membenci dan menyakiti. Gagasan inilah yang hendak ditanakan oleh para

Diri (1)/110

26 pendiri bangsa dalam sila pertama.

Diri (2)/120

Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti yang absolut, yang harus menjadi asas tunggal berbangsa Diri (2)/120

27 dan bernegara.

Dalam negara yang berketuhanan tidak ada tempat bagi mereka yang tidak memiliki rasa cinta, tidak

28 berperilaku memberi, tidak memiliki semangat

Diri (2)/121

pengorbanan. Dalam negara yang berketuhanan tidak ada tempat bagi mereka yang mementingkan kepentingan

29 kelompok dan individu. Tidak seperti kelakuan para penganut agama yang suka mencitrakan diri sebagai orang saleh, taat beragama, dan rajin mengunjungi rumah ibadah tapi Sombong/hal141

Diri (2)/121

30 hatinya masih menyimpan kesombongan tatkala merasa bangga dengan esalehan dan ketaatannya. Lalu tiba-tiba mencampuri urusan Tuhan, sehingga Sombong/hal141

Bahkan menjadikan dirinya Tuhan ketika mencap Sombong/hal141

32 orang lain sesat.

Bahwa penampilan dan pencitraan iri dengan kesalehan dan ketaatan beragama sering kali

33 menipu dan palsu. Jika demikian halnya maka otoritas keagamaan keliru jika melarang atau mengharamkan

Sombong/hal143

Main-main/hal 159 34 permainan.

Kelemahan argumentasi yang diajukan oleh mereka yang melarang jenis permainan tertentu atau melarang permainan secara umum atas nama agama Main-main/hal 159 35 adalah asumsinya bahwa permainan menjauhkan dari Tuhan.

Asumsi ini muncul semata-mata karena memahami hubungan dengan Tuhan hanya dapat dibangun

Main-main/hal 159 36 melalui ritual-ritual formal. Institusi-institusi dan otoritas keagamaan pada umumnya gagal membumikan nilai-nilai kebaikan

Bahasa (1)/

37 dari firman Tuhan karena mengabaikan proses

hal.194 internalisasi.

Alih-alih mendorong kesadaran diri, malah melakukan proses indoktrinasi yang hanya bertujuan membentuk komunitas-komunitas

Bahasa (1)/hal.

38 kegamaan yang mengeksploitasi dan memanipulasi 195

firman-firman Tuhan untuk kepentingan golongan sendiri. Para pemegang kepentingan dalam institusi

Bahasa (1)/hal.

39 keagamaan mengajarkan pemahamannya terhadap

Sementara di sisi lain mengajarkan pula bahwa Bahasa (1)/hal.

40 Tuhan tidak membutuhkan pengabdian hamba-Nya. 195

Ini adalah inkonsistensi yang diakibatkan oleh Bahasa (1)/hal.

41 pemahaman teks kitab suci berdasarkan tata bahasa. 195

Tidak hadirnya agama dalam pranata sosial modern, tidak lain karena matinya daya kreativitas sang

Bahasa (2)/hal 204 42 penafsir Firman Tuhan lam]ntaran terpasung oleh

pendekatan tata bahasa. Kehadiran agama malah sering dinilai sebagai

penghambat kemajuan, karena penafsiran an Bahasa (2)/ hal pemahaman firman Tuhan tidak mengalami

perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman.

Akibatnya, berbagai ajaran agama tidak Bahasa (2)/ hal

44 menemukan relevansinya dalam kehidupan.

Dengan demikian, jihad tidak lagi dijadikan sekadar bahan pidato oleh mereka yang memburu

Bahasa (2)/ hal

45 kekuasaan dengan memprovokasi umatnya agar

menyerang golongan lain. Inilah antara lain fungsi agama yang paling esensial yaitu membimbing umat manusia mengalami transformasi spiritual agar bisa menjadi asisten

46 Tuhan dalam menebarkan kebaikan dan perdamaian di muka bumi. Agama bukanlah paguyuban tempat berkumpul- kumpul membentuk jamaah eksklusif, alapagi

Nama/hal 223

47 melakukan pameran ritual untuk menyombongkan

Mengingat/230

diri.

1.2 Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough

Ada tiga dimensi dalam analisis wacana kritis Norman Fairclough yang melibatkan tiga dimensi analisis yaitu analisis teks (mikro) atau pendeskripsian teks, analisis wacana yang menginterpretasi hubungan antara proses wacana dan teks, serta analisis sosial budaya yang menjelaskan hubungan antara proses wacana dengan proses sosial (Eriyanto, 2001:286-288; Titscher, 2000:244-247).

1.2.1 Analisis Teks, Wacana dan Sosial Budaya

1. Representasi teks pada masing-masing kalimat

Agama memberikan dasar teologis bagi perilaku kebudayaan, sedangkan kebudayaan menjadi dinamisator agama.

(Terdapat pada bab Cacing di halaman 42) Kalimat ini menyatakan bahwa agama dan kebudayaan memiliki keterkaitan satu sama lain yang saling menguntungkan jika digunakan dengan cara yang benar. Artinya, agama dan kebudayaan bukanlah dua hal yang saling bertolak belakang. Kebudayaan adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan terus berkembang. Sedangkan agama dengan ajaran kitab sucinya adalah hal paten yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam arti yang lebih luas, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan diperoleh dari proses belajar (Koentjaraningrat, 2009: 144).

Dari pengertian tersebut, baik kebudayaan maupun agama, keduanya tidak serta merta diperoleh secara instan tetapi harus melalui proses. Dalam mendalami kitab suci agama, seseorang tidak bisa serta merta mengerti maksudnya. Hal ini tergantung bagaimana kitab suci tersebut ditafsirkan dan penafsiran kitab suci pun dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan sosial masyarakat. Bagaimana kitab suci dan ajaran agama dipahami, sangat Dari pengertian tersebut, baik kebudayaan maupun agama, keduanya tidak serta merta diperoleh secara instan tetapi harus melalui proses. Dalam mendalami kitab suci agama, seseorang tidak bisa serta merta mengerti maksudnya. Hal ini tergantung bagaimana kitab suci tersebut ditafsirkan dan penafsiran kitab suci pun dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan sosial masyarakat. Bagaimana kitab suci dan ajaran agama dipahami, sangat

Kalimat kebudayaan menjadi dinamisator agama bisa diartikan bahwa salah satu cara agar ajaran agama bisa tetap diterima oleh masyarakat adalah dengan memanfaatkan perkembangan kebudayaan. Karena kebudayaan terus berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi manusia. Oleh karena itu, supaya ajaran agama tetap dapat diterima oleh masyarakat, ia bisa memanfaatkan kebudayaan untuk membantu menyampaikan pesan pada masyarakat. Seperti buku Tuhan Maha Asyik ini yang menyampaikan ajaran agama dalam balutan karya sastra. Secara tidak langsung, Sujiwo Tejo dan MN Kamba menyampaikan pesan-pesan keagamaan melalui buku agar dibaca oleh masyarakat luas.

Dengan cara akulturasi demikianlah agama bertahan hidup dan

membangun peradaban.

(Terdapat pada bab Cacing, halaman 42) Akulturasi berasal dari bahasa latin aculturate yang berarti tumbuh dan berkembang bersama-sama. Penulis buku ini menggunakan kalimat tersebut untuk menegaskan bahwa ajaran agama memerlukan proses untuk bisa diterima ditengah-tengah masyarakat. Proses tersebut memerlukan penyesuaian karena terdapat perbedaan antara ajaran agama yang datang dengan kultur masyarakat yang lebih dulu ada. Proses penyesuaian ini tidak berarti lantas menghilangkan apa yang sudah ada dalam masyarakat. Justru sebaliknya, agama melalui akulturasi akan memperkaya apa yang sudah ada karena agama dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dan bertahan dalam masyarakat.

Keberhasilan penyesuaian agama di tengah kehidupan masyarakat pernah terjadi di Indonesia yaitu ketika ajaran Islam masuk ditengah masyarakat Jawa yang sangat menggemari kesenian wayang kulit. Oleh Walisongo, kesenian wayang kulit dijadikan media untuk menyebarkan ajaran Islam. Hingga pada akhirnya wayang kulit memiliki fungsi lain selain hiburan yaitu sebagai media dakwah. Proses akultutasi terjadi dalam kurun waktu yang lama karena kebudayaan baru dan lama masih memiliki tarik menarik yang kuat. Hingga akhirnya tercipta kebudayaan baru yang disepakati bersama.

Keterbukaan agama pada proses akulturasi memungkinkannya untuk lebih elastis dan fleksibel.

(Terdapat pada bab Cacing, halaman 43) Kalimat ini merupakan penegasan dari kalimat sebelumnya yang membahas tentang akulturasi agama dan kebudayaan. Agama seolah dituntut untuk semakin terbuka. Elastis bisa berarti lentur atau tidak kaku. Sedangkan fleksibel dapat diartikan mudah dan cepat menyesuaikan diri. Maksudnya adalah sangat mungkin bagi ajaran agama untuk masuk ke dalam masyarakat jika ia hadir dengan cara yang sesuai dengan kultur masyarakat tersebut. Bukan dengan cara kaku sehingga ajaran agama menjadi lebih mudah diterima dan dipahami.

Agama sesungguhnya mengajarkan bahwa wujud merupakan manifestasi Tuhan belaka, maka umat manusia harus menyadari batas-batas perannya hanya sebagai

manusia.

(Terdapat pada bab Gincu, halaman 60) Kata manifestasi berarti perwujudan dari sesuatu yang tidak terlihat. Yang dimaksud tidak terlihat dalam kalimat ini adalah Tuhan. Manifestasi Tuhan berarti manusia merupakan perwujudan dari bentuk yang tidak terlihat, ini juga berarti manusia bukanlah Tuhan. Manusia hanya bentuk perwujudan Tuhan. Ini dipertegas dengan kalimat berikutnya yaitu manusia harus menyadari batas- batas perannya hanya sebagai manusia yang berarti manusia harus menyadari perannya sebagai manusia dan tidak mengambil alih peran Tuhan.

Jangan sampai seseorang atau sekelompok orang melampaui batas dengan adanya otoritas keagamaan dengan membangun interaksi sosial yang mengasumsikan superioritas atas orang-orang yang di luar kelompoknya.

(Terdapat pada bab Gincu, halaman 60) Yang dimaksud batas dari kalimat ini mengacu pada kalimat sebelumnya yaitu batas peran manusia yaitu sebagai manusia, bukan Tuhan. Sujiwo Tejo dan MN Kamba memilih kata seseorang dan sekelompok orang untuk menunjukkan beberapa kasus pelanggaran oleh seseorang atau sekelompok orang yang melampaui batasannya sebagai manusia. Yang dilanggar batasnya tentu saja manusia lain, dimana seseorang atau sekelompok orang merasa memiliki hak untuk menghakimi orang lain karena perbedaan agama misalnya. Kata mengasumsikan dalam kalimat (Terdapat pada bab Gincu, halaman 60) Yang dimaksud batas dari kalimat ini mengacu pada kalimat sebelumnya yaitu batas peran manusia yaitu sebagai manusia, bukan Tuhan. Sujiwo Tejo dan MN Kamba memilih kata seseorang dan sekelompok orang untuk menunjukkan beberapa kasus pelanggaran oleh seseorang atau sekelompok orang yang melampaui batasannya sebagai manusia. Yang dilanggar batasnya tentu saja manusia lain, dimana seseorang atau sekelompok orang merasa memiliki hak untuk menghakimi orang lain karena perbedaan agama misalnya. Kata mengasumsikan dalam kalimat

Jumlah kasus intoleransi agama di Indonesia bahkan meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Komnas HAM mencatat ada peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun terutama pada 2014 hingga 2016. Tahun 2014 tercatat ada 74 pengaduan, dan meningkat menjadi 89 pengaduan pada 2015. Bakan pada semester pertama tahun 2016 sudah ada 34 kasus pelanggaran kebebasan

beragama dan berkeyakinan (KKB). 9

Dengan dalih melancarkan misi ketuhanan mereka lantas mengabaikan kebijaksanaan dan lebih mementingkan logika kelompok sehingga yang penting adalah merekrut sebanyak

mungkin pengikut.

(Terdapat pada bab Gincu, halaman 60) Penggunaan kata dalih dalam kalimat ini berarti alasan yang dicari-cari atau alasan yang tidak sesungguhnya untuk membenarkan suatu perbuatan. Yang digunakan sebagai dalih dalam kalimat ini adalah misi ketuhanan. Sehingga yang dimaksud Sujiwo Tejo dan MN Kamba kalimat ini adalah adanya penyalahgunaan agama untuk kepentingan kelompok tertentu.

Tujuan ajaran agama adalah kebijaksanaan, tetapi oleh kelompok ini justru agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan kelompok. Namun kedua penulis tidak menyebutkan secara spesifik mengenai kelompok mana yang dimaksud dalam buku ini.

9 http://www.rappler.com/indonesia/1383135-kasus-intoleransi-agama-indonesia-menigkat

Indonesia memiliki catatan buruk untuk kasus intoleransi beragama sejak belasan tahun lalu. Mulai dari kerusuhan Mei 1998 yang meninggalkan trauma mendalam bagi para korbanya, bahkan pada tahun 2017 muncul tuduhan kasus penistaan agama oleh salah satu tokoh politik. Pelanggaran HAM terkait kebebasan beragama sangat beragam bentuknya. Mengutip pernyataan Kabid Humas Polri, Kombes Pol Awi Setiyono yang mengatakan jika dalam dua tahun terakhir (2015-2016) terjadi peningkatan kasus pelanggaran HAM terkait kebebasn beragama. Mulai dari pelarangan aktivitas keagamaan, perusakan rumah ibadah, diskriminasi atas dasar

keyakinan dan agama, intmidasi hingga pemaksaan keyakinan. 10 Ketika dikonfirmasi dalam sebuah wawancara, keduanya

penulis menyatakan jika di Indonesia banyak kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama untuk mencapai misi mereka. Sebut saja organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan di Indonesia yang sering mendapat sorotan media karena aksinya yang tidak jarang berujung pada vandalisme, Front Pembela Islam (FPI). Ormas yang mengusung pandangan Islam konservatif ini menjadi sangat terkenal dibandingkan dengan ormas-ormas lain yang serupa karena aksi mereka yang kontroversi. Kritikan atas aksi mereka yang sering main hakim sendiri juga mendapat sorotan dari masyarakat. Namun mereka tidak mempedulikannya, bagi FPI yang terpenting adalah kelompok mereka.

10 http://www.kompas.com/nasional/read/2017/18280081

Tapi, bukan berarti bahwa seseorang berhak mengklaim diri sebagai gembala bagi orang lain.

(Terdapat pada bab Gincu, halaman 60) Kata mengklaim dalam kalimat ini menyiratkan adanya tuntutan atas kebenaran. Dalam kalimat ini, yang dituntut untuk dianggap benar adalah pandangan bahwa seseorang tertentu adalah gembala bagi orang lainnya. Sujiwo Tejo dan MN Kamba memilih kata mengklaim karena klaim berarti menuntut adanya pengakuan hak atas sesuatu yang berasal dari satu pihak dan bukan dilakukan oleh kedua belah pihak secara sukarela.

Gembala yang dimaksud dalam dalam kalimat ini mengacu pada pengertian bahwa sesorang adalah penjaga keselamatan orang banyak. Padahal seharusnya semua manusia memiliki hak yang setara dan tidak ada superioritas atas manusia yang lain dalam hal apapun termasuk dalam beragama.

Setiap pemeluk agama megklaim dirinya yang paling benar dan yang lain sesat. Klaim inilah yang kemudian melahiran keyakinan yang bisa disebut sebagai doktrin keselamatan. Yang menyatakan bahwa surga hanya milik pemeluk agama tertentu dan agama lain tidak berhak masuk ke surga mereka. Sejatinya, realitas semacam ini telah menantarkan pluralisme kepada diskursus yang

semakin luas dan kompleks. 11 Doktrin benar dan salah mengenai konsep beragama dan Ketuhanan menjadi semakin panas ketika

dibenturkan dengan kenyataan bahwa keduanya digunakan untuk kepentingan berbagai pihak. Konsep Ketuhanan yang sejatinya digunakan sebagai tuntunan pemeluknya agar mencapai pemahaman yang lebih bijak justru digunakan sebagai alat untuk menguasai atau memaksakan kehendak.

11 Anis Malik Toha. 2005. Tren Plurarisme Agama. Jakarta: Perspektif. hal 1

Sepertinya ada kesalahan memahami pesan Tuhan terkait kehidupan bersama, baik secara individual maupun sosial.

(Terdapat pada bab Gincu, halaman 61) Penggunaan kata sepertinya dalam kalimat ini berarti adanya keraguan dari penulis (Sujiwo Tejo dan MN Kamba) yaitu keraguan jika pesan Tuhan mampu dipahami dengan baik oleh seseorang atau sekelompok orang. Tujuan dari ajaran agama adalah agar tercipta harmoni dalam kehidupan manusia. Hal ini dipertegas melalui kalimat selanjutnya yaitu secara individual maupun sosial. Kedua berharap jika kehidupan beragama membawa dampak yang baik bagi individu sehingga akan membawa dampak yang baik pula bagi kehidupan bermasyarakatnya.

Ini berarti bahwa ajaran dalam kitab suci yang kemudian diformulasikan dalam bentuk agama tidak dimaksudkan untuk mengotak-kotakkan manusia kedalam kelompok-

kelompok yang saling bermusuhan.

(Terdapat pada bab Gincu, halaman 61) Kata diformulasikan berarti dirumuskan. Dalam kalimat ini, agama berasal dari hasil perumusan ajaran dalam kitab suci. Namun siapa yang merumuskan ajaran dalam kitab suci tidak disebutkan secara rinci dalam kalimat ini. Ketika perumusan ajaran kitab suci tidak dimaksudkan untuk mengotak-kotakkan manusia, yang terjadi adalah tercipta harmoni dalam kehidupan manusia. Kata mengotak-kotakkan dalam kalimat ini diartikan membeda- bedakan. Hal ini akan menimbulkan terciptanya kelompok- kelompok yang saling bermusuhan seperti disebutkan dalam kalimat ini.

Teguran lebih khusus ditujukan kepada para pemangku otoritas keagamaan ketika mereka mengklaim diri sebagai hakim penentu kesucian.

(Terdapat pada bab Antareja,halaman 69) Pemangku otoritas keagamaan yang dimaksud dalam kalimat ini adalah pihak-pihak berwenang yang memiliki kekuasaan sah untuk menjalankan tugas tertentu berkaitan dengan hal-hal keagamaan. Otoritas juga berarti kuasa untuk memerintah dan menentukan kebijakan. DI Indonesia, orotitas keagamaan salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesia atau MUI. Indonesia memiliki penduduk dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar

12 di dunia. Sehingga sekelompok orang merasa perlu mengambil alih wewenang untuk mengatur urusan keagamaan. Dalam hal ini

keberadaan MUI di Indonesia berfungsi sebagai pembuat kebijakan yang berkaitan dengan hal-hal keagamaan khususnya agama Islam. Cara MUI mengatur urusan keagamaan penganut Islam di Indonesia melalui fatwa yaitu pendapat yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga tersebut.

Fatwa tersebut kemudian disampaikan secara resmi juga kepada masyarakat Indonesia sebagai saran yang secara tidak langsung menuntut harus diikuti. Ketika mengeluarkan fatwa, MUI seolah-olah menjadi penentu kesucian seperti yang dimaksud dalam kalimat ini.

12 http://www.worldatlas.com/articles/countries-with-the-largest-muslim-population

Maka, gagasan sertifikasi halal sesungguhnya juga keliru, sebab sangat sulit mengidentifikasikan kesucian objeknya.

(Terdapat pada bab Antareja, halaman 69) Kalimat ini menyiratkan kritikan terhadap otoritas keagamaan yang meneluarkan sertifikasi halal. Di Indonesia, sertifikasi halal hanya bisa dikeluarkan oleh MUI. Kondisi ini dikritisi oleh Sujiwo Tejo dan MN Kamba karena mereka menganggap jika klaim kesucian itu bukan wewenang manusia. Dalam wawancara dengan MN Kamba, ia menyampaikan jika apa yang dilakukan oleh MUI merupakan bentuk penafsiran oleh mereka. Kata sangat dalam kalimat ini merupakan penegasan jika dalam menentukan kesucian sebuah objek bukan hal yang mudah dan harus dilakukan secara detail. Oleh karena itu, Tuhan dalam kitab sucinya menyebutkan hal-hal apa saja yang dihalalkan dan diharamkan oleh agama.

Sertifikasi yang dimaksud dalam kalimat ini adalah pernyataan tertulis. Jika halal yang dimaksud dalam kitab suci dinyatakan dalam bentuk tertulis maka secara tidak langsung ini merupakan pengambil alih penentu kesucian oleh otoritas keagamaan. Gagasan sertifikasi halal inilah yang dikritik oleh Sujiwo Tejo dan MN Kamba dalam buku Tuhan Maha Asyik.

Mungkin karena alasan kesulitan inilah, Tuhan hanya melarang makanan dan minuman tertentu.

(Terdapat pada bab Antareja/hal 69) Keseluruhan kalimat ini mengacu pada kalimat sebelumnya yang membahas mengenai sertifikasi halal oleh MUI. Kalimat ini mengacu pada sesuatu yang dianggap halal dan haram dalam agama Islam. Kata kesulitan memperlihatkan jika penentuan halal dan haram bukan perkara mudah yang bisa begitu saja dilakukan (Terdapat pada bab Antareja/hal 69) Keseluruhan kalimat ini mengacu pada kalimat sebelumnya yang membahas mengenai sertifikasi halal oleh MUI. Kalimat ini mengacu pada sesuatu yang dianggap halal dan haram dalam agama Islam. Kata kesulitan memperlihatkan jika penentuan halal dan haram bukan perkara mudah yang bisa begitu saja dilakukan

MN Kamba ketika dikonfirmasi menegaskan jika larangan pada makanan dan minuman dalam kitab suci tersebut sebenarnya memudahkan manusia. Karena Tuhan paham hal ini bukanlah perkara mudah sehingga dibuatlah larangan yang memudahkan manusia.

Tetapi anehnya otoritas keagamaan malah memberi label halal pada barang dan jasa selain yang dilarang.

(Terdapat pada bab Antareja, halaman 69) Penggunaan kata aneh mengesankan jika ada hal yang tidak lazim dalam pemberian label halal pada barang selain yang disebutkan dalam kitab suci agama Islam. Dalam kitab suci agama Islam, yang dilarang adalah mengkonsumsi daging babi dan alkohol. Maka jika mengacu pada ajaran dalam kitab suci, yang diharamkan adalah mengonsumsi daging babi dan alkohol. Bukan segala sesuatu yang mengandung babi dan alkohol disebut haram.

Otoritas keagamaan dianggap tidak lazim karena pemberian label halal seolah menyatakan jika barang yang tidak berlabel halal adalah haram. MN Kamba menyebut hal ini aneh karena ini bukanlah wewenang manusia bahkan otoritas keagamaan untuk menyatakan halal dan haramnya suatu barang dan jasa. Praktik pemberian label halal ini seolah menjadikan agama sebagai komoditas. Karena telah memberi nilai ekonomi pada sesuatu yang tidak memiliki nilai ekonomi seperti agama. Maka oleh MN Kamba dan Sujiwo Tejo hal ini dianggap sebagai sesuatu yang aneh.

Misalnya suatu produk makanan dan minuman menjadi haram karena mengandung unsur babi dan alkohol.

(Terdapat pada bab Antareja, halaman 69) Kata unsur berarti bagian terkecil dari suatu benda. Jika yang dimaksud disini adalah babi dan alkohol, maka segala unsur dari babi dan alkohol adalah haram bagi orang Islam. Secara keseluruhan, alimat ini menyatakan jika semua produk yang mengandung unsur babi dan alkohol adalah haram dan tidak boleh dikonsumsi. Padahal dalam kitab suci agama Islam, yang diharamkan adalah memakan daging babi dan meminum alkohol.

Untuk diketahui, Tuhan hanya melarang secara eksplisit memakan daging babi, tapi otoritas keagamaan malah mengharamkan semua yang terkait dengan babi walau sudah dalam bentuk produk olahan seperti kosmetik dan obat- obatan, termasuk kulitnya yang diolah menjadi produk

fashion.

(Terdapat pada bab Antareja, halaman 69) Kalimat ini memperlihatkan adanya ketidakselarasan antara ajaran agama dengan pengharaman yang dilakukan oleh otoritas keagamaan. Kata hanya menegaskan bahwa memakan daging babi adalah satu-satunya hal yang dilarang oleh Tuhan. Tetapi oleh otoritas keagamaan yang dalam hal ini ditegaskan oleh MN Kamba adalah MUI, justru mengharamkan semua yang terkait babi meskipun tidak dimakan. Termasuk ketika sudah dalam bentuk olahan seperti kosmetik, obat-obatan, dan fashion.

Pada 2013 lalu MUI pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap beberapa merk kosmetik di Indonesia. Hal ini kemudian memicu kontroversi di kalangan masyarakat yang mungkin sudah terlanjur menggunakan produk tersebut. Produsen kosmetik Pada 2013 lalu MUI pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap beberapa merk kosmetik di Indonesia. Hal ini kemudian memicu kontroversi di kalangan masyarakat yang mungkin sudah terlanjur menggunakan produk tersebut. Produsen kosmetik

kaprah dalam masyarakat yang disebabkan oleh fatwa MUI tersebut karena unsur haram yang diduga mengandung babi itu tidak dikonsumsi, tetapi digunakan sebagai salah satu bahan pembuat kosmetik. Tidak adanya sertifikasi halal dari MUI dalam suatu produk, maka akan berdampak pada produk tersebut karena masyarakat menganggapnya haram.

Fatwa MUI terkait dengan dunia medis terjadi pada 2016 saat ditemukan kandungan babi pada vaksin meningitis. Temuan tersebut menjadi kontroversi di kalangan masyarakat karena vaksin meningitis adalah salah satu syarat jamaah haji. Hingga fatwa diturunkan, MUI masih mencari alternatif lain dan baru

ditemukan pada 2017 yaitu vaksin dari Cina. 14

Para pemangku otoritas keagamaan merasa telah memiliki sudut pandang berketuhanan, ketika mampu dengan fasih menguraikan makna firman Tuhan dalam kitab suci.

(Terdapat pada bab Ketombe, halaman.89) Kalimat ini memperlihatkan kesan jika otoritas keagamaan berisi sekumpulan orang yang bisa menerjemahkan firman Tuhan dalam kitab suci. Kata merasa dalam kalimat tersebut memberikan kesan bahwa otoritas keagmaan sebenarnya belum memiliki sudut pandang ketuhanan seperti yang mereka maksud. Karena merasa bisa menjadi sangat subyektif. Kemampuan otoritas keagamaan daam menafsirkan firman Tuhan tidak dimiliki oleh semua orang. Dengan alasan inilah mereka merasa lebih berketuhanan dibandingkan orang lain.

13 https://detik.com//news/berita/23wewr5454/bagaimana-produk-kosmetik-yang-dihalalkan-mui 14 https://republika.co.id/imunisasi-dan-vaksin-halal-atau-haram-ini=fakta-mui

Padahal, mereka hanya menjadikannya sebagai alat untuk memperoleh kepentingan pribadi atau kelompok.

(Terdapat pada bab Ketombe/hal.89) Kata mereka dalam kalimat ini mengacu pada otoritas keagamaan. Tetapi tidak dijelaskan secara rinci otoritas keagamaan apa yang dimaksud dalam kalimat ini. Kata menjadikannya mengacu pada kalimat sebelumnya yaitu firman Tuhan. Kalimat ini menggambarkan jika firman Tuhan hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kata padahal pada awal kalimat mengesankan jika kalimat ini merupakan penegasan dari kalimat sebelumnya. Otoritas keagamaan seolah-olah menggunakan firman Tuhan untuk tujuan yang bersifat keagamaan juga, tetapi faktanya tidak demikian karena mereka menggunakannya untuk kepentingan kelompok atau pribadi. Meskipun tidak dijelaskan kepentingan apa.

Dalam wawancara dengan MN Kamba dan Sujiwo Tejo, keduanya menyatakan jika agama sering dijadikan kendaraan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Agama hanya dijadikan alat untuk kepentingan pribadi tidak terkecuali pada otoritas keagamaan. MN Kamba memberikan contoh ketika agama dibawa ke ranah politik dan ekonomi. Agama kemudian menjadi alat bagi mereka untuk menarik simpati, tetapi publik tidak sadar jika mereka dimanfaatkan agar kepentingan para pemangku tercapai.

Sejarah perkembangan agama-agama menjelaskan proses peralihan dari kesederhanaan ajaran agama menjadi kompleks ketika dari dalam komunitas agama muncul

otoritas keagamaan.

(Terdapat pada bab Komat-kamit, halaman 99)

Kalimat ini menjelaskan proses peralihan ajaran agama yang sederhana menjadi kompleks ketika muncul otoritas keagamaan. Kata agama-agama dipakai untuk menunjukkan jumlah yang lebih dari satu. Tetapi tidak dijelaskan agama apa saja yang dimaksud dalam kalimat ini. Secara tidak langsung, kalimat ini menyatakan jika otoritas keagamaan justru membuat ajaran yang sederhana menjadi tidak sederhana lagi.

Sistem keberagamaan tersebut diklaim sebagai representasi

ajaran Tuhan.

(Terdapat pada bab Komat-kamit, halaman 99) Kata klaim dalam kalimat ini memberikan kesan pengakuan sepihak. Yang dimaksud bisa saja adalah otoritas keagamaan yang mengklaim atau mengaku bahwa mereka memiliki hak untuk menerjemahkan firman Tuhan. Namun tidak jelas siapa yang mengakui hak otoritas tersebut.

MN Kamba menjelaskan jika hak tersebut diperoleh dari pengakuan otoritas keagamaan secara sepihak. Mereka merasa sah untuk mengambil alih penafsiran ajaran Tuhan dalam kitab suci agama.

Padahal, sistem keberagaman yang diciptakan manusia sama sekali tidak bisa dibuktikan, apakah betul merupakan

kehendak Tuhan.

(Terdapat pada bab Komat-kamit, halaman 99) Kalimat ini merupakan sanggahan atas gagasan jika sistem keberagamaan yang diciptakan oleh manusia adalah benar kehendak Tuhan. Karena kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Kata diciptakan menegaskan jika apa yang diterjemahkan tersebut (Terdapat pada bab Komat-kamit, halaman 99) Kalimat ini merupakan sanggahan atas gagasan jika sistem keberagamaan yang diciptakan oleh manusia adalah benar kehendak Tuhan. Karena kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Kata diciptakan menegaskan jika apa yang diterjemahkan tersebut

Banyaknya institusi keagamaan dalam suatu masyarakat hanya akan menghalangi umat manusia mendekatkan diri

kepada Tuhan.

(Terdapat pada bab Komat-kamit/hal 101) Kalimat ini mengesankan jika kedekatan manusia dengan Tuhan bisa diraih secara personal atau pribadi. Keberadaan institusi keagamaan yang terdiri dari beberapa kelompok dianggap membuat proses kedekatan manusia dengan Tuhan jadi terhalang. Namun apa yang menghalangi tidak dijelaskan secara detail. Setiap institusi keagamaan mengusung misi kelompok masing-masing. Bisa jadi misi kelompok inilah yang menghalangi misi individu dalam mendekatkan diri dengan Tuhan.

Ini menafsirkan kenyataan bahwa apresiasi terhadap kreativitas dan inovasi jarang ditemukan di kalangan masyarakat yang terkungkung oleh otoritas keagamaan.

(Terdapat pada bab Komat-kamit/hal 101) Apresiasi berarti penghargaan. Dalam kalimat ini apresiasi kreativitas dan inovasi yang dimaksud berkaitan dengan aktivitas keagamaan. Kreativitas dan inovasi biasanya akan menciptakan hal baru dan menunjukkan sebuah pembaruan. Jika yang dimaksud adalah pembaruan yang berkaitan dengan hal-hal keagamaan, maka para pemangku otoritas keagamaan akan menganggapnya sebagai sebuah pembangkangan.

Pemakaian kata jarang bisa diartikan sebagai sesuatu yang hampir tidak mungkin terjadi karena inovasi dan kreativitas adalah hal yang tidak lazim dan biasanya dilakukan diluar pakem yang sudah ada. Kata terkungkung pada kalimat ini menyiratkan adanya pemaksaan terhadap masyarakat untuk mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh pemangku otoritas yaitu aturan yang sudah berjalan. Sehingga siapapun yang keluar dari jalur tersebut bisa saja dianggap tidak wajar atau tidak taat. MN Kamba dan Sujiwo Tejo dalam wawancara menjelaskan jika kedekatan manusia dengan Tuhan tidak hanya ditentukan oleh ritual formal keagamaan. Kedekatan dengan Tuhan bisa saja terjadi dan tercipta dari hal-hal yang ada diluar ritual keagamaan.

Problem utama mainstream adalah asumsinya yang menafikkan adanya kemungkinan lain diluar diri yang lazim.

(Terdapat pada bab Tersesat/hal. 105) Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, mainstream berarti hal yang dilakukan banyak orang. Ketika ada hal-hal yang ada diluar kebiasaan, maka itu dianggap sebagai masalah atau dianggap tidak lazim. Padahal bisa saja hal yang baru itu lebih baik atau lebih buruk. Anggapan tidak lazim itu berasal dari kelompok orang yang menganggapnya lazim. Tetapi dalam kalimat ini tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai apa saja yang dianggap lazim dan tidak.

Hal ini semakin ditegaskan dengan penggunaan kata asumsinya yang berarti masih sebatas dugaan dan belum terbukti kebenarannya. Meskipun masih sebatas dugaan, kemungkinan akan adanya hal lain diluar mainstream sudah dicegah dengan cara menganggapnya tidak lazim. Apa yang sudah ada dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dan harus diikuti.

Oleh karena itu, amat gampang menilai hal diluar mainstream

sebagai sebuah kesesatan.

(Terdapat pada bab Tersesat/hal. 105) Dalam kalimat ini Sujiwo Tejo dan MN Kamba menekankan penilaian tidak lazim pasti akan muncul ketika seseorang melakukan hal yang di luar mainstream. Kata amat gampang menunjukkan tidak adanya pertimbangan dari orang atau kelompok yang menilai hal tersebut sebagai ketidaklaziman. Penilaian sesat yang begitu mudah diberikan kepada orang lain menunjukkan adanya anggapan diri lebih baik dari orang yang dinilai meskipun penilaian tersebut jelas sangat subjektif. Penilain yang begitu mudah diberikan bisajuga terjadi karena si penilai sudah terbiasa dengan aturan tertentu dalam waktu lama, sehingga amat mudah baginya mengenali jika ada sesuatu yang berbeda dari ajaran yang diterimanya selama ini.

Tapi, lebih tidak waras jika agama dan atas nama Tuhan menjadi alasan bagi manusia untuk saling membenci dan

menyakiti.

(Terdapat pada bab Diri (1)/110) Kata tidak waras dalam kalimat ini tidak berarti gila atau disorientas mental seseorang. Penggunaan frasa tidak waras dalam kalimat dimaksudkan sebagai kiasan bagi manusia yang menggunakan agama dan Tuhan untuk saling membenci dan menyakiti. Karena agama apapun tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk saling membenci dan menyakiti. Kalimat ini juga bisa diartikan sebagai bentuk lain dari pernyataan jika memang ada manusia yang menggunakan agama dan Tuhan untuk menebar kebencian dan menyakiti orang lain.

Gagasan inilah yang hendak ditanakan oleh para pendiri bangsa

dalam sila pertama.

(Terdapat pada bab Diri (2)/120) Gagasan yang dimaksud dalam kalimat ini mengacu pada peniadaan diri seseorang. Ketika seseorang sudah meletakkan kepentingan diri diatas kepentingan yang lain maka muncullah sikap egois. Seorang yang egois tidak mudah memberi dan berbagi kecuali untuk kepentingannya sendiri. Gagasan dalam ajaran agama mengenai peniadaan diri ini kemudian oleh penulis diterjemahkan kedalam kehidupan berbangsa karena ketika manusia tidak egois, ia akan mudah memberi untuk kepentingan bersama. Ia akan mudah berbagi dengan sesama tanpa pamrih.

Kalimat ini menunjukkan adanya korelasi antara Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dengan gagasan peniadaan diri dalam ajaran agama. Ketika seorang warga negara tidak mengenal pamrih, maka akan sangat mudah buatnya untuk membela

Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti yang absolut, yang harus menjadi asas tunggal berbangsa dan bernegara.

(Terdapat pada bab Diri (2)/120) Penggunaan kata absolut dalam kalimat ini berarti mutlak. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila pertama Pancasila dan diartikan sebagai sesuatu yang absolut. Kata harus memperlihatkan penegasan jika Pancasila adalah satu-satunya asas tunggal bangsa Indonesia dan tidak memberikan tempat bagi ideologi lain untuk menjadi dasar bangsa Indonesia. Kalimat ini secara tidak langsung mengatakan jika ajaran ketuhanan dalam setiap agama di Indonesia adalah landasan bagi individu atau masih dalam tataran mikro. Karena hubungan Tuhan dnegan manusia adalah hal personal.

Sedangkan dasar pada tataran berbangsa atau makro adalah Pancasila. Khususnya pada sila pertama.

Dalam negara yang berketuhanan tidak ada tempat bagi mereka yang tidak memiliki rasa cinta, tidak berperilaku memberi, tidak

memiliki semangat pengorbanan.

(Terdapat pada bab Diri (2)/121) Kata negara yang berketuhanan dalam kalimat ini tidak bermakna negara menganut agama tertentu, tetapi negara meyakini adanya Tuhan melalui pengesahan agama di negara tersebut. Indonesia mengakui adanya Tuhan dan mengesahkan agama- agama yang dianut oleh rakyatnya. Tetapi dasar negara Indonesia bukanlah salah satu agama. Sehingga maksud dari frasa tersebut adalah Indonesia merupakan negara yang mengakui adanya Tuhan dan menggunakan nilai-nilai ketuhanan sebagai dasar salah satu silanya namun tetap memiliki dasar negara yang berbeda.

Ketuhanan berarti mengakui adanya Tuhan dan beberapa cerminan dari sikap berketuhanan adalah lunturnya egoisme diri. Dalam kalimat ini disebutkan mengenai beberapa sikap yang tidak mencerminkan perilaku berketuhanan seperti tidak memiliki rasa cinta, tidak berperilaku memberi dan tidak memiliki semangat berkorban. Maka otomatis dalam negara berketuhanan, masyarakatnya tidak akan memberikan ruang bagi mereka yang tidak berketuhanan.

Dalam negara yang berketuhanan tidak ada tempat bagi mereka yang mementingkan kepentingan kelompok dan individu.

(Terdapat pada bab Diri (2)/121) Kalimat ini memperlihatkan penegasan jika Indonesia merupakan negara yang menggunakan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan berbangsanya meskipun Indonesia bukan negara agama. Kalimat ini juga memberikan kesan bahwa sikap berketuhanan yang sebenarnya berasal dari diri sendiri bisa diterapkan dalam tataran yang lebih luas yaitu berbangsa. Namun dalam kalimat ini tidak dijelaskan kepentingan apa dan siapa.

Tidak seperti kelakuan para penganut agama yang suka mencitrakan diri sebagai orang saleh, taat beragama, dan rajin mengunjungi rumah ibadah tapi hatinya masih menyimpan kesombongan tatkala merasa bangga dengan kesalehan dan

ketaatannya.

(Terdapat pada bab Sombong/hal141) Kalimat ini berisi kritik penulis terhadap para penganut agama atas ketidaksesuain antara ajaran yang dipelajari dengan sikap yang ditunjukkan. Kata pencitraan berarti adanya rekayasa sikap. Dalam kalimat ini yang dimaksud adalah rekayasa sikap atau sikap yang dibuat-buat untuk menggiring opini orang lain kepada penilaian tertentu. Penganut agama yang mencitrakan diri seperti dimaksud oleh kalimat ini secara tidak langsung telah melakukan kebohongan publik dengan berpura-pura saleh. Tetapi kesalehan yang ia tunjukkan didepan umum bukan dipersembahkan untuk Tuhan melainkan untuk membuat publik terkesan. Sikap penganut agama tersebut mendapat kritikan cukup keras dari penulis dan ditunjukkan dengan pemilihan kata kelakuan. Pemilihan kata ini mengasumsikan tindakan yang kurang baik.

Lalu tiba-tiba mencampuri urusan Tuhan, sehingga ada perasaan bahwa dirinyalah yang paling merasa disayangi

Tuhan.

(Terdapat pada bab Sombong/hal141) Kata tiba-tiba dipakai untuk menggambarkan spontanitas. Yaitu spontan mencampuri urusan Tuhan. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai urusan apa yang dimaksud. Tingkatan superlatif ditunjukkan melalui pemilihan kata paling yaitu paling disayangi. Tetapi kalimat ini menunjukkan sindiran pada sikap merasa paling eksklusif dan klaim Tuhan oleh salah satu kelompok atau individu. Kata perasaan dalam kalimat ini dipakai untuk menegaskan jika ini hanya sebatas asumsi pribadi dan tidak ada bukti bahwa Tuhan lebih menyayanginya dibanding yang lain.

Bahkan menjadikan dirinya Tuhan ketika mencap orang lain

sesat.

(Terdapat pada bab Sombong/hal 141) Kata menjadikan dalam kalimat ini mengesankan pengakuan secara sepihak yang tidak berdasar. Dikatakan tidak berdasar karena tidak ada pengakuan dari Tuhan bahwa orang tersebut adalah Tuhan. Kata mencap menunjukkan penghakiman atas orang lain yang tidak sepaham dengannya. Merasa lebih tinggi dari yang lain. Merasa menjadi Tuhan berarti merasa memiliki kuasa atas orang lain.

Kasus intoleransi pernah terjadi di Indonesia ketika sekelompok orang mengklaim mereka memiliki hak untuk mengatur sikap orang lain. Mengatur dalam hal ini mengatur apa yang tidak sesuai dengan ideologi mereka, tetapi sejatinya kelompok ini lupa jika Indonesia merupakan negara yang Kasus intoleransi pernah terjadi di Indonesia ketika sekelompok orang mengklaim mereka memiliki hak untuk mengatur sikap orang lain. Mengatur dalam hal ini mengatur apa yang tidak sesuai dengan ideologi mereka, tetapi sejatinya kelompok ini lupa jika Indonesia merupakan negara yang

Pada (berita FPI sweeping puasa)

Bahwa penampilan dan pencitraan diri dengan kesalehan dan ketaatan beragama sering kali menipu dan palsu.

(Terdapat pada bab Sombong/hal 143) Kalimat ini menunjukkan jika kesalehan dan ketaatan beragama yang ditunjukkan adalah sebuah kepura-puraan belaka. Kepura-puraan tersebut ditunjukkan melalui kata pencitraan yang berarti dengan sengaja membentuk citra diri sebagai seorang yang taat dan saleh. Tetapi dalam kalimat ini tidak disebutkan secara detail mengenai siapa dan apa tujuan pencitraan.

Taat dalam konteks keagamaan berarti patuh pada ajaran agama yang dianut. Patuh dan mengikuti nilai-nilai agama yang dianut dalam kehidupannya. Apa yang dinilai oleh publik adalah apa yang terlihat oleh mereka. Tetapi sejatinya publik juga tidak mengetahui tujuan dari kepura-puraan tersebut. Penggunaan kata sering kali artinya telah terjadi beberapa kali dan berulang-ulang.

MN Kamba menegaskan jika kesalehan dan ketaatan sebenarnya adalah urusan personal individu dengan Tuhan dan bukan hak siapapun untuk mencampurinya. Tujuan ajaran agama adalah kebijaksanaan, tetapi oleh kelompok atau individu tertentu justru digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka.

Jika demikian halnya maka otoritas keagamaan keliru jika melarang atau mengharamkan permainan.

(Terdapat pada bab Main-main/hal 159) Kalimat ini menunjukkan jika otoritas keagamaan memiliki kewenangan yang tidak hanya terbatas pada ranah keagamaan saja tetapi juga terkait dengan hal-hal diluar agama seperti permainan misalnya. Ketika dikonfirmasi mengenai otoritas keagamaan mana yang dimaksud, MN Kamba tidak menyebutkan secara spesifik mengenai hal tersebut. Namun pernah terjadi pencekalan game di Indonesia yang berasal dari rekomendasi otoritas keagamaan di Indonesia MUI. Salah satu game yang pernah diblokir dan dicekal oleh Kominfo dan Kepolisian adalah game Fight of Gods. Menurut MUI, permainan tersebut tidak layak bagi masyarakat Indonesia yang beragama karena dinilai bisa merusak keimanan masyarakat. Fight of Gods adalah sebuah permainan pertarungan yang menggunakan karakter nabi-nabi. Penggunaan karakter inilah yang dipersoalkan oleh MUI hingga akhirnya mengajukan pencekalan dan pemblokiran pada Kominfo dan Kepolisian terhadap

permainan ini. 15

Kelemahan argumentasi yang diajukan oleh mereka yang melarang jenis permainan tertentu atau melarang permainan secara umum atas nama agama adalah asumsinya bahwa permainan menjauhkan dari Tuhan.

(Terdapat pada bab Main-main/hal 159) Kalimat ini menunjukkan kelemahan argumentasi otoritas keagamaan karena melarang jenis permainan tertentu. Kelemahan yang dimaksud adalah pada dasar asumsi jika permainan tersebut

15 https://liputan6.com/mui-game-fight-of-gods-dinilai-tidak-layak-untuk-masyarakat-indonesia 15 https://liputan6.com/mui-game-fight-of-gods-dinilai-tidak-layak-untuk-masyarakat-indonesia

Asumsi ini muncul semata-mata karena memahami hubungan dengan Tuhan hanya dapat dibangun melalui ritual-ritual

formal.

(Terdapat pada bab Main-main/hal 159) Kalimat ini menunjukkan adanya keterbatasan cara dalam mengenal Tuhan. Kata hanya dalam kalimat ini menegaskan jika ritual-ritual formal merupakan satu-satunya cara untuk mengenal Tuhan sehingga menutup kemungkinan lain dalam mengenal Tuhan. Selain itu, cara-cara tidak formal juga dianggap tidak bisa digunakan sebagai media dalam mengenal Tuhan. Ritual formal yang dimaksud dalam kalimat ini adalah cara yang ditetapkan oleh agama untuk beribadah.

Institusi-institusi dan otoritas keagamaan pada umumnya gagal membumikan nilai-nilai kebaikan dari firman Tuhan karena mengabaikan proses internalisasi.

(Terdapat pada bab Bahasa (1)/ hal.194) Kalimat ini menekankan kritik Sujiwo Tejo dan MN Kamba terhadap otoritas dan institusi keagamaan di Indonesia. Kata membumikan adalah kiasan dari memasyarakat. Kedua penulis menganggap jika nilai-nilai kebaikan dari firman Tuhan (Terdapat pada bab Bahasa (1)/ hal.194) Kalimat ini menekankan kritik Sujiwo Tejo dan MN Kamba terhadap otoritas dan institusi keagamaan di Indonesia. Kata membumikan adalah kiasan dari memasyarakat. Kedua penulis menganggap jika nilai-nilai kebaikan dari firman Tuhan

Alih-alih mendorong kesadaran diri, malah melakukan proses indoktrinasi yang hanya bertujuan membentuk komunitas- komunitas kegamaan yang mengeksploitasi dan memanipulasi firman-firman Tuhan untuk kepentingan golongan sendiri.

(Terdapat pada bab Bahasa (1)/hal. 195) Kalimat ini menegaskan adanya eksploitasi yang dilakukan oleh kelompok atau komunitas keagamaan untuk kepentingan mereka. Salah satu praktik manipulasi dan pembelokan firman Tuhan demi kepentingan kelompok di Indonesia adalah ketika Ormas Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan paksa oleh pemerintah karena dianggap dan terbukti berusaha mendirikan negara Islam di Indonesia. Ormas ini dianggap bertentangan oleh pemerintah sehingga harus dibubarkan dan secara sah telah dilakukan pada Juli

2017 lalu. 16 Kepentingan golongan yang dimaksud dalam kalimat ini mengacu pada kenyataan bahwa firman Tuhan sengaja

dibelokkan demi tujuan kelompok.

16 https://kompas.com/hti-resmi-dibubarkan-pemerintah/23d682gf397dc9=30/w24c342fre5

Para pemegang kepentingan dalam institusi keagamaan mengajarkan pemahamannya terhadap firman Tuhan sebagai representasi kehendak Tuhan pada umat manusia agar

menyembah-Nya.

(Terdapat pada bab Bahasa (1)/hal. 195) Kalimat ini menjelaskan jika pemahaman firman adalah representasi kehendak Tuhan berasal dari para pemegang kepentingan institusi keagamaan. Namun apa yang diajarkan oleh para pemegang kepentingan juga tidak bisa diastikan kebenarannya karena tidak ada cara yang bisa membuktikan apakah itu kehendak Tuhan atau agenda lain pemimpin keagaman.

Sementara di sisi lain mengajarkan pula bahwa Tuhan tidak membutuhkan pengabdian hamba-Nya.

(Terdapat pada bab Bahasa (1)/hal. 195) Kalimat ini bisa diartikan sebagai bentuk sindiran terhadap pemahaman yang diajarkan oleh ajaran agama. Tuhan dalam kalimat ini digambarkan tidak membutuhkan pengabdian, teapi justru sebaliknya manusialah yang membutuhkan Tuhan.

Kata pengabdian berarti menghambakan dan menyerahkan diri. Dalam kehidupan beragama, pengabdian diajarkan sebagai wujud kepatuhan hamba papa Tuhannya. Namun sebenarnya, tanpa pengabdian dari hamba-Nya pun, Tuhan tidak ada masalah.

Ini adalah inkonsistensi yang diakibatkan oleh pemahaman teks kitab suci berdasarkan tata bahasa.

(Terdapat pada bab Bahasa (1)/hal. 195) Kalimat ini adalah bentuk ketidaksetujuan penulis mengenai pemahaman kitab suci berdasarkan tata bahasa.

Perbedaan bahasa asli kitab suci dengan bahasa terjemahan bisa berpotensi menimbulkan kekeliruan pemahaman. Terlebih jika pemahahaman dilakukan berdasarkan aturan-aturan bahasa tanpa mengupas makna bahasa dalam kitab suci tersebut. Inkonsistensi adalah tidak adanya konsistensi atau ketetapan. Ketika tidak ada ketetapan pemahaman terhadap teks kitab suci, maka sangat mungkin terjadi perbedaan pesan yang dibawa firman tersebut. Apalagi jika sudah terkontaminasi dengan kecenderungan subjektif penerjemahnya.

Tidak hadirnya agama dalam pranata sosial modern, tidak lain karena matinya daya kreativitas sang penafsir firman Tuhan lantaran terpasung oleh pendekatan tata bahasa.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Pendekatan Inkuiri dan Model Pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD) Siswa Kelas IV SDN Jetak 03 Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang S

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Pendekatan Inkuiri dan Model Pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD) Siswa Kelas IV SDN Jetak 03 Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang S

0 0 115

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: A Study of Firdaus’ Identity in Nawal El Saadawi’s Woman at Point Zero Through Freud’ Psychoanalytic Criticism.

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 1 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 20

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 3 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 2 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 17

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 11

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12