KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT KERAJAAN MAJ (1)

KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT KERAJAAN MAJAPAHIT
PADA MASA KEJAYAAN RAJA HAYAM WURUK
Ida Fitriana
Luluk Nura Yusfita
Rica Filasari
Yuan Erinda Santi
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

ABSTRACT
Majapahit Kingdom is a big kingdom that respected and its
remit influence until the other country of Indonesia. This kingdom
is continuity from Singhasari Kingdom, because it’s built after the
Singhasari Kingdom was felt out. So that, Majapahit get a culture
political unsure and economic social from Singhasari. Majapahit
reach a peak of glory by Hayam Wuruk King govermental. This
glory period marked by the posperous of civilization life and
produce much of high quality of creation that leaved.
Keywords:Majapahit Kingdom, peak of glory, Hayam Wuruk King,
civilization life.

Periode Majapahit merupakan periode yang paling mengesankan, karena

periode ini di Indonesia terdapat suatu kerajaan besar yang disegani oleh banyak
negara asing dan membawa keharuman nama Indonesia sampai jauh keluar
wilayah Indonesia. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan agung masa lampau,
secara historis dimulai dari munculnya Kerajaan Singhasari (Riana, 2009:ix).
Pada

dasarnya

sejarah

Majapahit

menerima

unsur-unsur

politis,

kebudayaan dan sosial-ekonomis dari Kerajaan Singhasari. Dengan jatuhnya
Kerajaan Singhasari, muncul pusat kerajaan baru yaitu Majapahit. Kebesaran

Kerajaan Majapahit tidak kalah dengan Kerajaan Singhasari (Asmito, 1988:105).
Ada beberapa sumber-sumber yang bisa dijadikan referensi untuk mengetahui
lebih jelasnya tentang Kerajaan Majapahit seperti kitab Pararaton dan
Nagarakrtagama serta prasasti-prasasti peninggalan Majapahit lainnya. Dalam

2

suatu prasasti disebutkan bahwa pendiri pertama Kerajaan Majapahit ialah Raden
Wijaya, menantu dari Prabu Kertanegara dari Kerajaan Singhasari.
Majapahit memperoleh masa keemasan atau kejayaannya pada masa
pemerintahan Raja Hayam Wuruk, dengan dibantu Mahapati Gajah Mada serta
Laksamana Nala. Pada masa Raja Hayam Wuruk, kehidupan sosial masyarakat
Majapahit sangat damai, rukun, aman, tentram, dan sentosa. Strata sosial hanya
sebagai teoretis istana saja. Keadilan dan kemakmuran yang menjadi sebuah
tujuan utama. Pada masa Raja Hayam Wuruk inilah sebuah karya-karya budaya
yang bermutu tercipta. Beberapa pujangga yang cakap memberikan sumbangansumbangan dalam bidang sastra seperti Mpu Tantular, Mpu Rusadansanta,
pengarang kitab-kitab Arjunawiwaha dan Sutasoma. Selain itu dari segi bangunan
berupa candi-candi seperti Candi Sumberjati, Candi Rimbi, Candi Panataran,
Candi Surawana, Candi Nangkal, Candi Ngetos, Candi Sawentar, dan lain-lain.
Pada artikel ini penulis mengambil salah satu masa pada Kerajaan

Majapahit, yakni masa kejayaan Kerajaan Majapahit ketika dipimpin oleh Raja
Hayam Wuruk. Pada masa ini kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Majapahit
sangat damai, rukun, aman, tentram, dan sentosa. Masyarakat pada masa Raja
Hayam Wuruk memperoleh kemakmuran dan keadilan yang merata. Pada masa
Raja Hayam Wuruk, tidak bisa dipungkiri bahwa keadaan sosial masyarakatnya
pada saat itu beragam terutama dalam kasta dan agama. Namun, semua itu bisa
disatukan melalui sebuah perpaduan tradisi budaya. Karena itulah penulis artikel
ini akan membahas tentang kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Majapahit pada
masa kejayaan Raja Hayam Wuruk.
TUJUAN
Tulisan ini bermaksud untuk menelaah tentang sejarah awal berdirinya
Kerajaan Majapahit. Selanjutnya tentang letak dan wilayah Kerajaan Majapahit
pada masa kejayaan Raja Hayam Wuruk dan yang terakhir tentang kehidupan
sosial masyarakat Kerajaan Majapahit pada masa kejayaan Raja Hayam Wuruk.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Berdirinya Kerajaan Majapahit

3

Sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit, tidak lepas dari Kerajaan

Singhasari, setelah Kertanagara gugur, Kerajaan Singhasari berada di bawah
kekuasan Raja Kadiri Jayakatwang yang mengakiri riwayat Kerajaan Singhasari.
Salah seorang keturunan penguasa Singhasari yaitu Wijaya berusaha merebut
kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan Raja Jayakatwang. Dari
genealoginya ia masih keponakan Raja Kertanegara, bahkan ia diambil menantu
oleh Raja Kertanegara dan dikawinkan dengan putrinya. Dalam kitab kesustraan
yaitu kitab Pararaton dan beberapa kitab kidung, menyebutkan ia kawin dengan
dua orang putri raja, sedangkan sumber-sumber prasasti dan kakawin
Nagarakrtagama menyebutkan ia kawin dengan empat orang putri Kertanegara.
Pada awalnya, Wijaya adalah seorang utusan Kertanegara yang ditunjuk
untuk memimpin pasukan Singhasari melawan pasukan Kadiri yang bergerak dari
arah utara. Wijaya sangatlah taat kepada Sri Kertanegara. Dalam Prasasti Kudadu,
diceritakan pada saat memimpin perang, pasukan Wijaya hampir habis, lalu ia
berunding dengan pengikutnya agar menemukan cara lain untuk mengatasi hal ini.
Wijaya dan pengikutnya akhirnya memutuskan untuk singgah di Desa Kamadadu,
lalu ia diterima dengan baik dan warga desa tersebut menyembunyikan Wijaya
dari pencarian musuh. Kemudian Wijaya berniat untuk melarikan diri ke Madura
seperti yang telah dijelaskan pada Prasasti Sukamrta (Hardiati, dkk, 2010:447450).
Dalam Prasasti Sukamerta lihat di gambar 1, disebutkan bahwa Wijaya
menyeberangi lautan. Lautan yang dimaksud adalah Madura dan di sana ia

diterima dengan baik oleh Arya Wiraraja (Ahmad, 2015:93). Yang kemudian
mengusahakan agar Wijaya dapat diterima menyerahkan diri kepada Jayakatwang
di Kadiri. Wijaya akhirnya mendapatkan kesempatan penuh untuk dari Raja
Jayakatwang, sehingga pada waktu Wijaya meminta daerah hutan Terik untuk
dibuka menjadi desa dengan dalih akan dijadikan pertahanan terdepan dalam
menghadapi musuh yang menyerang lewat Sungai Brantas, permintaan itu
dikabulkan. Daerah Terik tersebut kemudian dijadikan Wijaya dengan bantuan
Wiraraja menjadi desa dengan nama Majapahit. Diam-diam Wijaya memperkuat
diri untuk menyerang Kadiri dan di Madura adipati Wiraraja telah siap pula
dengan pasukannya untuk membantu Majapahit (Hardiati, dkk, 2010:451).

4

Gambar 1. Prasasti Sukamerta
(https://www.google.com/search?q=gambar+prasasti+sukamerta)
Pada awal tahun 1293 Masehi, datanglah tentara Kubilai Khan yang
sebenarnya dikirim untuk menyerang Singhasari. Kedatangan pasukan Cina
tersebut terdengar oleh Wijaya dan ia mau menggabungkan diri dengan pasukan
Cina untuk menggempur Daha. Keputusan Wijaya itu diterima dengan baik oleh
panglima pasukan Cina. Pada saat pertempuran, Daha dapat ditaklukan. Dengan

runtuhnya Daha yang menjadi cita-cita Wijaya dan ia berhasil pula menyingkirkan
pasukan Mongol itu dari ke luar Jawa, maka Wijaya menobatkan dirinya sebagai
raja Majapahit. Penobatan ini berlangsung pada tanggal 15 Kartika 1215 Saka
(Hardiati, dkk, 2010:451-456).
Raden Wijaya adalah raja pertama Kerajaan Majapahit. Sebelumnya nama
Raden Wijaya banyak disebut dalam kitab Pararaton yang ditulis sekitar akhir
abad ke-15. Kitab tersebut menyebutkan nama Raden Wijaya secara lengkap,
yakni Raden Harsawijaya. Pada waktu itu, gelar Raden belum populer dikalangan
bangsawan. Raja pertama Kerajaan Majapahit adalah Nararya Sanggramawijaya
dengan

nama

Abhiseka

Kertarajasa

Jayawardana.

Nama


Nararya

Sanggramawijaya biasa disingkat Wijaya saja. Demikianlah namanya yang
banyak dikenal ialah Raden Wijaya. Dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda,
Raja Majapahit itu disebut Brawijaya. Sudah pasti bahwa nama Brawijaya itu
perpanjangan dari nama Wijaya (Muljana, 2013:1).
Selama memerintah Majapahit, Raden Wijaya tidak pernah lupa atas jasa
para pengikutnya yang setia. Karena itulah, ia memberikan kesempatan kepada
para pengikutnya yang setia untuk menikmati semua hasil perjuangan. Ia juga
mengangkat para pengikutnya yang setia sebagai petinggi kerajaan di beberapa
daerah. Pengangkatan itu tentunya atas pertimbangan dan kebijaksanaan Raden

5

wijaya, karena mereka jelas bersedia atalang jiwa atau mempertaruhkan jiwanya
demi sang raja. Tidak ketinggalan juga, Lembu Sora dan Arya Wiraraja. Mereka
diberikan kedudukan yang sangat tinggi sesuai dengan jasa mereka. Menurut
kidung Sorandaka, Lembu Sora atau Ken Sora diangkat menjadi rakrian demang.
Sementara itu, Arya Wiraraja diberikan kedudukan yang tinggi untuk memerintah

daerah di bagian timur, yakni Lumajang. Arya Wiraraja ternyata tidak kembali ke
Madura setelah Majapahit resmi berdiri (Panji, 2015:95).
Raden wijaya ingin membalas budi baik semua pengikutnya yang setia
tanpa terkecuali. Dalam Prasasti Gunung Butak lihat gambar 2, yang bertarik Saka
1216 atau tahun 1294 Masehi, merupakan prasasti yang berkaitan dengan
pendirian kerajaan Majapahit tahun 1293 Masehi oleh Nararya Sanggramawijaya.
Prasasti ini ditemukan di jajaran Pegunungan Puteri Tidur yang termasuk
Kabupaten Malang dan Blitar. Prasasti ini dibuat oleh Nararya Sanggramawijaya
(Raden Wijaya) pada tanggal 11 September 1294. Prasasti ini berisikan anugrah
dan penetapan sima (tanah perdikan) kepada petinggi Desa Kudadu yang bernama
Macan Kuping. Karena toko ini telah berjasa terhadap Sanggramawijaya yang
kala itu masih menempuh perjuangan melawan pasukan Jayakatwang dari GelangGelang dan invasi tentara Mongol (Ahmad, 2015:91).

Gambar 2. Prasasti Gunung Butak
(https://www.google.com/search?q= gambar+Prasasti+Gunung+Butak)
Letak dan Wilayah Kerajaan Majapahit pada Masa Kejayaan Raja Hayam
Wuruk
Menurut Hadi Sidomulyo, hingga sekarang belum pernah ditemukan bukti
konkrit tentang letak persis Kota Majapahit, kiranya posisinya berada di sekitar
Desa Trowulan sekarang, 12 km di sebelah Barat Daya Kota Mojokerto di


6

Provinsi Jawa Timur dan menjadi pusat Kerajaan Majapahit, lihat gambar 3.
Kenyakinan identitas tersebut ternyata didukung oleh sumber sejarah, karya
sastra, dan laporan dari orang asing. Ia juga membuat sebuah hipotesis lain
yaitu:istana Majapahit ada dua. Istana lama Raja Rajasanagara yang dilukiskan
Prapanca di Sentonorejo, dan istana baru Majapahit yang merupakan pemindahan
dari istana lama ke Trowulan. Pemindahan karena Perang Paregreg tahun 1406
Masehi atau karena bencana alam. Trowulan pada masa Prapanca adalah dharma
Antarasasi dan berada di pinggir kota.

Gambar 3. Peta Letak Kerajaan Majapahit
(https://www.google.com/search?q=gambar+Peta+Letak+Kerajaan+Majapahit)
Tafsiran Hadi Sidomulyo sekalipun didasarkan pada berbagai data tetapi
data utamanya adalah informasi buku Ying-yai Sheng-lan karya Ma Huan tahun
1413 Masehi. Dalam buku itu Ma Huan menyebutkan raja Jawa tinggal di Manche-po-i (Majapahit), sebuah kota tanpa tembok yang dapat dicapai melalui sungai
dari Su-lu-ma-i (Surabaya) sampai ke Chang-ku (Canggu), kemudian dengan
berjalan ke arah barat laut selama satu setengah hari. Dari hal itu semua dapat
dikatakan bila informasi Ma Huan tentang Majapahit tidak dapat dijadikan dasar

untuk merekonstruksi letak istana Majapahit. Posisi Canggu pada masa itu, kini
diidentifikasikan tidak jauh dengan Desa Canggu sekarang, di sebelah Timur Laut
Kota Mojokerto di pinggir Sungai Kalimas (Nugroho, 2009:101-104).
Waluyo (2015:28) menyatakan bahwa peninggalan Kerajaan Majapahit
terbenam dalam tanah selama ratusan tahun. Ibu kota Negara Majapahit yang
terletak di daerah Trowulan-Mojokerto dan luas sekitar 10 x 11 km2 tertutup rata
dengan tanah. Sampai sekarang lokasi ibu kota Kerajaan Majapahit belum

7

ditemukan dengan pasti. Situs peninggalan yang selama ini ditemukan, berada dua
atau tiga meter di bawah.
Struktur Kerajaan Majapahit sendiri terdiri atas ibu kota dan negara
daerah. Ibu kota merupakan daerah pusat pemerintahan. Di ibu kota inilah, raja
beserta para menteri dan petinggi istana bertempat tinggal. Di kota ini juga,
seluruh kegiatan politik yang mengatur jalannya pemerintahan digerakkan.
Kedudukan ibu kota tersebut bagi Majapahit tak ubahnya seperti jantung. Jika ibu
kota ini aman maka negara-negara daerah dapat dengan mudah dikendalikan. Ibu
Kota Majapahit juga merupakan pusat pengendalian seluruh kegiatan baik yang
bersifat yang politis maupun kultural (Panji, 2015:174).

Candrasengkala ri purneng kartikamasa pancadasi sukleng catur yang
berarti kerajaan itu berdiri pada 13 November 1293 Masehi dan berakhir pada
1478 Masehi (185 tahun) menandai proklamasi berdirinya Kerajaan Majapahit.
Wilayah

Kerajaan

Majapahit

meliputi

kepulauan

Nusantara

ditambah

Semenanjung Malaka, Tumese (Singapura) sampai Madagaskar. Kerajaan
Majapahit mengausai wilayah yang sangat luas, meskipun komunikasi saat itu
belum lancar. Belum ada telepon seluler, satelit ataupun pesawat udara. Dengan
demikian jarak dan waktu tidak menjadi kendala bagi tokoh-tokoh Majapahit
untuk mengendalikan pemerintahannya karena mereka adalah ahli bertapa dan
ilmu laduni. Semua kerajaan di Nusantara dipimpin oleh raja yang ada hubungan
pertalian darah (Waluyo, 2015:26-27).
Majapahit

mencapai

zaman

kebesaran

atau

keemasannya

pada

pemeritahan Raja Hayam Wuruk. Pada pemerintahan ini, diberitakan didalam
kitab Nagarakrtagama bahwa wilayah kekuasaan Majapahit sudah sangat luas.
Negara yang dimiliki Majapahit meliputi luas wilayah Nusantara sekarang,
bahkan lebih luas lagi sampai ke Semenanjung Malaya dan Singapura (Panji,
2015:175). Kerajaan Majapahit memiliki banyak wilayah jajahan pertama Melayu
meliputi: Jambi, Palembang, Toba, Darmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau,
Siak, Rokan, serta lainnya. Daerah pulau meliputi: Tanjung, Kapuas, Katingan,
Sampit, Kutalingga, Kutawaringgin, Sambas, dan Lawai, serta nbanyak lagi.
Bagian timur Majapahit tercatat Bali, Sang Hyang Api, Bima, Seram, dan yang
lainnya. Pulau besar seperti Makassar, Buton, Banggawi, Selayar, dan sebaganya,

8

termasuk juga Madura yang semula menyatu dengan Jawa. Selain itu tercatat pula
daerah di luar Nusantara juga bersahabat dengan Majapahit seperti: Siam, Ayodya
Pura, Darmai Nagari, Marutma, Kamboja, Yawana (Riana, 2009:36).
Sebagai kerajaan yang besar, Majapahit memiliki struktur pemerintahan
yang lengkap. Struktur pemerintahan meliputi beberapa hal berikut.
1) Raja, pemegang puncak kepemimpinan kerajaan.
2) Yuwaraja atau Kamararaja, jabatan yang diduduki oleh putra atau putri
raja.
3) Rakryan Mahamantri Katrini, dewan yang bertugas melaksanakan politik
negara.
4) Rakryan Mahamantri ri Pakiran-kiran, dewan yang juga melaksanakan
politik negara
5) Dharmadyaksa, kepala bidang agama.
6) Dharmopapati, dewan yang juga mengurusi keagamaan (Panji, 2015:169).
Menurut Suwelo Hadiwijoyo Majapahit menjalankan politik bernegara
yang menyatu dengan konsep jagat raya melahirkan pandangan cosmoginos.
Pandangan ini menyatakan bahwa kekuasaan yang bersifat teritorial dan
desentralisasi dipegang sepenuhnya oleh raja. Raja dianggap sebagai penjelma
dewa yang tertinggi yang memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki
puncak hierarki kerajaan (Panji, 2015:180).
Kebesaran dan kemegahan masa Majapahit tidak lepas dari angkatan
perang dan Mahapatih Gajah Mada. Angkatan perang yang kuat menjadi salah
satu alasan Kerajaan Majapahit dapat bertahan hingga 185 tahun. Angkatan darat
Majapahit terdiri dari puluhan paasukan gajah, ribuan pasukan kuda, dan satuan
pasukan jalan kaki (infanteri) yang jumlahnya puluhan ribu prajurit. Angkatan
laut di bawah kepimpinanan Laksamana Nala memiliki 6.000 lebih kapal tersebar
di seluruh kepulauan Nusantara (Waluyo, 2015:27).
Majapahit memiliki Mahapatih Gajah Mada, seorang pemimpin sekaligus
seorang prajurit yang mempunyai kesaktian yang tinggi. seorang patih yang
tanggap, tanggon, trengginas, teges, dan tegel. Dalam kepemimpinannya
mempunyai kemauan yang keras, selalu memegang teguh tujuan, etos kerja
pantang menyerah. Patih Gajah Mada juga terkenal dengan Sumpah Palapa yang

9

diikrarkannya. Gajah Mada adalah seorang mahapatih sekaligus panglima
angakatan perang yang sangat disegani kawan maupun lawan. Tidak hanya itu,
kesaktian Gajah Mada pilih tanding dan mumpuni sebagai hasil dari ilmu bertapa
dan ilmu landuni yang dijalaninya. Raja Hayam Wuruk ketika masih muda setelah
melakukan upacara-upacara di istana, urusan-urusan resmi akan diserahkan
kepada Mahapatih Gajah Mada. Meskipun itulah yang membuat ibunya Tribuana
khawatir tentang Hayam Wuruk (Drake, 2012:139).
Kehidupan Sosial Masyarakat Kerajaan Majapahit pada Masa Kejayaan
Raja Hayam Wuruk
Pada tahun 1293 Masehi berdirilah Kerajaan Majapahit, dan mencapai
zaman keemasannya pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih
Gajah Mada yang dibantu oleh Laksamana Nala dalam memimpin armadanya
untuk menguasai Nusantara. Pada waktu itu agama Hindu dan Buddha hidup
berdampingan dengan damai dalam satu kerajaan. Pada zaman Kerajaan
Majapahit tersebut hidup berbagai agama dan aliran antara lain Hindu dengan
berbagai macam aliran sektenya, serta agama Buddha dengan berbagai aliran
sektenya, serta berbagai macam tradisi yang tampak dalam Tantrayana dan
upacara Crada (yaitu upacara dalam menghormati nenek moyang yang telah
meninggal) kemudian bercampur yang disebut dengan ‘syncritisme’.
Berbagai unsur agama yang berbeda tersebut hidup dalam suatu kerajaan
di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit dan di bawah hukum negara (dharma)
dan hidup rukun dan damai dengan penuh toleransi antara umat berbagai agama.
Dalam hal lain Raja Hayam Wuruk senantiasa mengadakan hubungan
bertentangga dengan baik dengan kerajaan-kerajaan Tiongkok, Ayodya, Champa
dan Kamboja. Menurut Prasati Brumbung, dalam tata pemerintahan kerajaan
Majapahit terdapat semacam penasehat kepada Rakyan I Hino, I Sirikan, dan I
Halu yang bertugas memberikan nasehat kepada raja, hal ini sebagai nilai-nilai
musyawarah mufakat yang dilakukan oleh sistem Kerajaan Majapahit (Kaelan,
2014:22-24).
Hayam Wuruk tampil memegang pemerintahan Majapahit (1350-1389
Masehi) dalam semasa perintahan Raja Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit

10

mencapai puncak kejayaan. Politik Hayam Wuruk sesuai dengan politik Gajah
Mada ialah politik Persatuan Nusantara. Hal ini sesuai dengan sumpah “Palapa”
yang diucapkan Gajah Mada pada tahun 1331, maka dasar politik luar negeri
Gajah Mada ialah Persatuan Nusantara. Usaha-usaha Majapahit yang berhasil
dalam bidang politik kemiliteran, hingga membawa kemasyuran nama Majapahit
dan mengakibatkan pula keadaan aman tentram dan teraturnya masyarakat.
Pancaran dari keadaan ini tampak antara lain dalam bidang kebudayaan,
sebab hanya masyarakat yang keadannya teratur aman pada umumnya mampu
menciptakan karya-karya budaya yang bermutu. Bukti dari kemajuan dalam
bidang kebudayaan ini, antara lain kesusasteraan. Diantaranya yang terpenting
ialah Mpu Tantular, pengarang kitab-kitab Arjunawiwaha dan Sutasoma (Mpu
Rusadansanta). Kitab Sutasoma ini penting karena berisikaan ajaran-ajaran
tentang agama Buddha dan Siwa karena iti bersifat “syncretisme” dalam bidang
agama. Dari buku Sutasoma itu semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang terkenal
itu diambil. Candi-candi zaman Majapahit antara lain: Candi Sumberjati, Candi
Rimbi, Candi Panataran, Candi Surawana, Candi Nangkal (dekat Majakerta),
Candi Ngetos, Candi Sawentar dan Candi Tikus (Trowulan) (Asmito, 1988:107108).

Gambar 4. Candi Tikus di Trowulan
(https://www.google.com/search?q=gambar+Candi+Tikus+di+Trowulan)
Tak diragukan lagi bahwa kebasaran Majapahit didukung oleh
perekonomian yang kuat. Perekonomian itu berbasis pada sektor pertanian yang
produktif. Mayoritas penduduk Majapahit bekerja sebagai petani. Dari beberapa
peninggalan arkeologis yang ditemukan, komoditi hasil pertanian adalah beras

11

dan jagung. Kemudian hasil pertaniaan tersebut diperdagangkann di pelabukanpelabuhan yang berada di Tuban, Gresik, dan Surabaya. Selain dari pertanian,
perekonomian Majapahit juga didorong oleh kegiatan terbentuknya jejaring
perniagaan yang baik. Jejaring ini dihuni oleh kelompok-kelompok pedagang
yang berdagang di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai oleh Majapahit. Dari
pelabuhan itulah, mereka bertemu dengan para pedagang asing dari Tiongkok,
Arab, India, Turki dan Persia. Mereka tidak hanya menjual hasil pertaniaan, tetapi
juga menukar hasil pertanian itu dengan barang-barang lain, seperti keramik dan
tekstil (Panji, 2015:180).
Strata sosial masyarakat Majapahit mirip seperti empat kasta yang terdapat
di India, yakni brahmana, kesatria, waisya dan sudra. Namun diluar itu, terdapat
pula strata sosial yang tingkatannya berada di bawah empat strata sosial tersebut,
yakni candala, mieccha, dan tuccha. Walaupun di Majapahit terdapat strata sosial
seperti itu, akan tetapi itu hanya bersifat toeretis dalam literatur istana (Panji,
2015:186)
Masyarakat yang menghuni strata sosial brahmana (kaum pendeta)
mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma yaitu mengajar, belajar,
melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain, membagi dan menerima
derma (sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup, dan bersatu dengan
brahman (dewa). Mereka mempunyai pengaruh dalam sistem pemerintahan.
Mereka juga berkesempatan dekat dengan raja dan bekerja dalam bidang birokrasi
Dharmadyaksa dan Dharmopapati. Selama itu pula mereka berkesempatan untuk
menjadi pendeta tinggi dari gama Siwa dan Buddha, yang disebut sebagai
Saiwadharmadhyaksa

dan

Buddhadharmadyaksa.

Saiwadharmadhyaksa

memimpin tempat pemukiman empu (kalagyan) dan tempat suci (pahyangan).
Sementara itu, Buddhadharmadyaksa memimpin tempat sembahyang (kuti) dan
bihara (wiraha). Masyarakat yang menghuni strata sosial brahmana semuanya
menjadi rohaniawan yang menghambahkan hidupnya pada raja. Mereka biasanya
tinggal di sekitar bangunan agama, yaitu mandala, sima, dharma, dan wihara
sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.
Masyarakat yang menghuni strata sosial kesatria merupakan keturunan
raja. Mereka bisa berasal dari kerajaan terdulu yang masih memiliki hubungan

12

dekat dengan kerajaan sekarang. Mereka juga bisa berasal dari keturunan raja
yang memimpin sekarang dari para istri, baik yang permaisuri maupun selir. Pada
masa pemerintahan Majapahit, banyak dari keturunan Singhasari yang masih
hidup. Karena itu, mereka diberikan hak menghuni strata sosial kesatria dan
diberikan tugas memimpin negara daerah (Panji, 2015:187).
Masyarakat yang menghuni strata sosial waisya merupakan masyarakat
yang menekuni bidang pertanian dan perdagangan. Mereka bekerja sebagai petani,
penggarap sawah, peternak dan pedagang. Sementara itu, masyarakat yang
menghuni strata sosial sudra adalah mereka yang memiliki kewajiban untuk
mengabdi kepada masyarakat yang memiliki strata sosial yang lebih tinggi.
Mereka yang menghuni strata sosial ini biasanya adalah para pekerja kasar dan
budak.
Strata sosial yang kedudukannya berada di bawah atau diluar empat strata
sosial yang telah disebut adalah candala, mleccha, dan tuccha. Strata sosial
candala dihuni oleh masyarakat yang merupakan keturunan dari perkawinan
campuran antara laki-laki golongan sudra dengan wanita golongan lain
(brahmana, kesatria, waisya), sehingga anak mereka memiliki strata sosial yang
lebih rendah dari ayahnya. Strata sosial mleccha

dihuni oleh masyarakat

pendatang dari luar negara Majapahit tanpa memandang bahasa dan warna kulit,
seperti para pedagang asing yang berasal dari India, Arab, Tiongkok, Siam, Persia
dan sebagainya yang tidak menganut agama Hindu. Strata sosial tuccha dihuni
oleh masyarakat yang merugikan masyarakat lainnya, seperti para perampok,
pencuri, dan penjahat. Masyarakat yang menghuni strata sosial tuccha biasanya
akan dijatuhi hukuman mati oleh raja setelah mereka terbukti melakukan tatayi
atau perbuatan jahat (Panji, 2015:188).
Dari aspek kedudukan antara kaum wanita dengan kaum laki-laiki dalam
masyarakat Majapahit, kaum wanita lebih rendah daripada kaum laki-laki. Hal ini
dapat dilihat pada kewajiban yang menempel dalam diri mereka untuk melayani
dan memuaskan hati suami mereka. Juga pula dilihat dari tugas mereka yang
manya mengurusi dapur, rumah tangga dan tidak boleh ikut campur dalam urusan
apapun yang dilakukan oleh suami mereka. Dalam perundang-undangan

13

Majapahit, kaum wanita yang sudah menikah juga tidak boleh bercakap-cakap
dengan kaum laki-laki yang bukan suami atau keluarganya (Panji, 2015:189).
KESIMPULAN
Berakhirnya Kerajaan Singhasari merupakan tonggak awal dari lahirnya
kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara yaitu Kerajaan Majapahit. Berawal
diri salah seorang keturunan penguasa Singhasari yaitu Wijaya berusaha merebut
kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan Raja Jayakatwang. Dalam kitab
kesustraan seperti kitab Pararaton, sumber-sumber prasasti dan kakawin
Nagarakrtagama menyebutkan ia kawin dengan putri Kertanegara dari Kerajaan
Singhasari. Raden Wijaya dalam sebuah prasasti digambarkan sebagai orang yang
taat dan setia kepada Raja Kertanegara. Kisah tentang Raden Wijaya sebagai
pendiri Kerajaan Majapahit dapat dijelaskan melalui beberapa prasasti diantaranya
Prasasti Kudadu, Prasasti Sukamrta, dan Prasasti Gunung Butak.
Letak persis Kota Majapahit hingga sekarang belum pernah ditemukan
bukti konkrit, kiranya posisinya berada di sekitar Desa Trowulan sekarang, 12 km
di sebelah Barat Daya Kota Mojokerto di Provinsi Jawa Timur dan menjadi pusat
Kerajaan Majapahit. Kenyakinan identitas tersebut ternyata didukung oleh sumber
sejarah, karya sastra, dan laporan dari orang asing. Struktur Kerajaan Majapahit
sendiri terdiri atas ibu kota dan negara daerah. Ibu kota merupakan daerah pusat
pemerintahan. Majapahit mencapai zaman kebesaran atau keemasannya pada
pemeritahan Raja Hayam Wuruk.
Kehidupan sosial masyarakat Majapahit pada pemerintahan Raja Hayam
Wuruk, sangatlah rukun damai dan penuh dengan toleransi antara agama Hindu
dan Buddha yang hidup berdampingan dalam satu kerajaan. Usaha-usaha
Majapahit yang berhasil dalam bidang politik kemiliteran, hingga membawa
kemasyuran nama Majapahit dan mengakibatkan pula keadaan aman tenteram
masyarakat teratur. Keadaan yang teratur aman inilah pada umumnya mampu
menciptakan karya-karya budaya yang bermutu. Selain itu strata sosial
masyarakat Majapahit mirip seperti empat kasta yang terdapat di India, yakni
brahmana, kesatria, waisya dan sudra. Namun diluar itu, terdapat pula strata sosial
yang tingkatannya berada di bawah empat strata sosial tersebut, yakni candala,

14

mieccha, dan tuccha. Walaupun di Majapahit terdapat strata sosial seperti itu,
akan tetapi itu hanya bersifat toeretis dalam literatur istana. Dari aspek kedudukan
antara kaum wanita dengan laki-laiki dalam masyarakat Majapahit, kaum wanita
lebih rendah daripada laki-laki.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, Z. 2015. Menelusuri Jejak Sejarah Jember Kuno. Jogyakarta: Araska.
Asmito. 1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Drake, E. 2012. Gayatri Rajapatni. Yogyakarta: Ombak.
Hardiati, E.S., Djafar, H., Soeroso, Ferdinandus, P.E.J., & Nastiti, T.S. 2010.
Zaman Kuno. Dalam R.P. Seojono & R.Z. Leirissa Sejarah Nasional
Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Kaelan. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Muljono, S. 2013. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negaranegara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Nugroho, I.D. 2009. Meluruskan Sejarah Majapahit. Jakarta: Ragam Media.
Panji, T. 2015. Kitab Sejarah Terlengkap Majapahit. Jakarta: Laksana.
Riana, I.K. 2009. Kakawin Desa Warnnana Uthawi NagaraKrtagama Masa
Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas.
Waluyo, H.M.L. 2015. Wasiat Dari Tanah Surga Yang Hilang. Jakarta: Zaytuna
Ufuk Abadi.