PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KESEH

NAMA
NIM
PRODI
MINAT

:
:
:
:

FELIX F. MAILOA
16/403238/PKU/16056
PASCASARJANA IKM
SIMKES

PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KESEHATAN
PADA FASILITAS KESEHATAN DALAM KONTEKS HUKUM PERDATA
A. Latar Belakang
Tenaga kesehatan adalah garda terdepan dalam hal pelayanan kesehatan
bagi masyarakat sesuai dengan visi pembangunan Indonesia yang tertuang
dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945. Sebagai health provider, tenaga

kesehatan merupakan bagian dari satu ekosistem pelayanan kesehatan yang
selalu dituntut untuk bekerja sesuai dengan standar profesi dan terorganisir
dengan baik. Profesionalisme petugas kesehatan yang optimal sesungguhnya
akan tergambar dari kinerja mereka terutama dalam hubungan dengan
keselamatan pasien yang berorientasi pada patient-centered care termasuk
seluruh upaya-upaya kesehatan yang diperlukan oleh pasien terkait masalah
kesehatan yang sedang dihadapinya.
Dalam melakukan upaya-upaya kesehatan yang ada, tenaga kesehatan
diberikan pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan tindakan sesuai dengan
Standard Operating Procedures (SOP). Kewenangan untuk melaksanakan upaya
kesehatan itulah yang memerlukan peraturan hukum sebagai dasar pembenaran
hukum atas wewenang kesehatan tersebut. Peraturan hukum tentang upaya
pelayanan

kesehatan

saja

belum


cukup

karena

upaya

kesehatan,

penyelenggaraannya disertai pendukung berupa sumber daya kesehatan
termasuk yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Untuk
mencapai peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat
Indonesia yang jumlah penduduknya amat besar, bukan pekerjaan mudah, oleh
sebab itu diperlukan juga peraturan perlindungan hukum untuk melindungi
“pemberi” dan “penerima” jasa pelayanan kesehatan (Hendrik, 2016).
Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya
kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara
upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Perangkat
hukum ini juga memastikan adanya perlindungan hukum bagi petugas kesehatan
sesuai dengan hal dan kewajiban selain itu disisi lain memberikan kepastian
hukum serta perlindungan kepada pasien dari kemungkinan kejadian tidak

diinginkan dalam setiap tindakan terkait kesehatan yang dilakukan.
1

Selain

itu

perlindungan

bagi

profesi

kesehatan

beserta

sarana

kesehatannya agar tidak muncul “defensive medicine” yang dapat merugikan

masyarakat dari akibat kelemahan hukum yang kurang memadai terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Oleh karena itu setiap
perbuatan yang dilakukan yang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku
harus mendapatkan perlindungan hukum. Apabila tenaga kesehatan dirugikan
oleh suatu perbuatan pihak lain baik sengaja atau lalai maka tenaga
kesehatanpun dapat meminta tanggung jawab hukum kepada pihak-pihak
tersebut baik secara perdata, pidana, maupun administratif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut: bagaimana pengawasan dan perlindungan hukum terhadap tenaga
kesehatan dalam melaksanakan tugas dan profesinya di fasilitas kesehatan
dalam konteks hukum perdata ?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisa pengawasan dan
perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas dan
profesinya di fasilitas kesehatan dalam konteks hukum perdata.
D. Tinjauan Pustaka
Dewasa

ini


kemajuan

iptek

dibidang

kesehatan

telah

sangat

berkembang pesat dengan didukung oleh sarana kesehatan yang semakin
canggih. Perkembangan ini turut mempengaruhi jasa profesionalisme di bidang
kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula. Munculnya
kasus-kasus pelayanan kesehatan yang terjadi di tengah-tengah lapisan
masyarakat dan banyaknya kritikan-kritikan yang muncul terhadap pelayanan
kesehatan, merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum oleh masyarakat dalam
hal pelayanan kesehatan semakin meningkat pula termasuk tenaga kesehatan.

Dalam subsistem SDM kesehatan, tenaga kesehatan merupakan unsur
utama yang mendukung subsistem kesehatan lainnya yang didalamnya
memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Serangkaian
kewenangan yang diberikan memerlukan pengawasan serta perlindungan dimata
2

hukum yang jelas dan tegas untuk memberi batasan menyangkut hak dan
kewajibannya dalam hubungan dengan pasien lebih khusus mengenai aspek
hukum perdata. Dalam ruang llingkup peraturan hukum perdata meliputi hak dan
kewajiban yang timbul dari hubungan pelayanan kesehatan, persetujuan antara
dokter-pasien serta keluarganya, akibat kelalaian perdata serta tuntutannya
dalam pelayanan kesehatan (Sadi Is, 2015).
Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dalam
menjalankan profesinya, yaitu sebagai berikut :
1. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
Undang-Undang ini secara sistematika terdiri dari 12 Bab 88 Pasal.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 ini secara khusus mengatur tentang
Praktek Kedokteran. Undang-Undang ini merupakan petunjuk atau pedoman
yang


harus

ditaati

oleh

tenaga

kesehatan

dalam

melakukan

atau

melaksanakan tugas sesuai profesinya. serta bertujuan untuk memberikan
perlindungan bagi tenaga kesehatan yang terdapat dalam bab VI tentang
penyelenggara


praktik

kedokteran.

Dokter

atau

dokter

gigi

dalam

melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak diatur dalam pasal sebagai
berikut (Kemenkumham RI, 2004) :
Pasal 50 (point a)
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.

Penjelasan pasal 50 yang dimaksud dengan “standar profesi” adalah
batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang
harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi
profesi sedangkan yang dimaksud dengan “standar prosedur operasional”
adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 terdiri dari 22 bab dan 205
pasal. Dari 22 bab tersebut yang langsung berkaitan dengan perlindungan
terhadap Tenaga kesehatan terdapat pada bab V tentang sumber daya bidang

3

kesehatan yang terdapat dalam pasal 27 ayat (1) (Kemenkumham RI, 2009a)
yang berbunyi :
Pasal 27 (ayat 1)
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum
dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
Penjelasan dari pasal 27 diatas, tenaga kesehatan berhak mendapatkan

perlindungan

hukum

apabila

pasien

sebagai

konsumen

kesehatan

menuduh/merugikan tenaga kesehatan dimana tenaga kesehatan sudah
melakukan tugas sesuai ke ahliannya serta kewajiban mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dimaksudkan agar tenaga
kesehatan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang bermutu
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Dalam konsep politik hukum kesehatan bila dihubungkan dengan

Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maka
terdapat asas perlindungan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan
harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi
dan penerima pelayanan kesehatan (Sadi Is, 2015).
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Secara sistematis Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit terdiri 15 bab dan 66 pasal. Ketentuan yang terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 sebagian besar berkaitan erat dengan
pelayanan kesehatan serta tanggung jawab tenaga kesehatan terhadap rumah
sakit dan sebagai berikut (Kemenkumham RI, 2009b) :
Pasal 29 (pasal 1 point s)
(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban :
s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah
Sakit dalam melaksanakan tugas; dan.
Dalam hal ini, rumah sakit harus dapat memberikan perlindungan dan
kepastian hukum bagi seluruh tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan di rumah sakit melalui pembentukan berbagai perangkat aturan di
rumah sakit meliputi, peraturan internal staf medis, standar prosedur
operasional dan berbagai pedoman pelayanan kesehatan serta melalui
penyediaan SDM (Sumber Daya Manusia) yang memiliki kompetensi dalam
bidang medikolegal.

4

4. Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Undang-Undang No.36 Tahun 2014 secara sistematis, terdapat 16 Bab
dan 96 Pasal. Terkait dengan pengawasan dan perlindungan, undang-undang
ini berisi tentang pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan
terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan sesuai
dengan kompetensi yang diharapkan dalam mendukung penyelenggaraan
pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Pembinaan dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan dilakukan melalui peningkatan komitmen
dan koordinasi semua pemangku kepentingan dalam pengembangan tenaga
kesehatan serta legislasi yang antara lain meliputi sertifikasi melalui uji
kompetensi, registrasi, perizinan, dan hak-hak tenaga kesehatan.
Dalam rangka memberikan pelindungan hukum dan kepastian hukum
kepada tenaga kesehatan, baik yang melakukan pelayanan langsung kepada
masyarakat maupun yang tidak langsung, dan kepada masyarakat penerima
pelayanan itu sendiri, diperlukan adanya landasan hukum yang kuat yang
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan serta sosial ekonomi dan budaya. Pengawasan dan perlindungan
kepada tenaga kesehatan termuat dalam beberapa pasal berikut ini
(Kemenkumham RI, 2014a) :
Pasal 3 (point e)
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
e. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
Pasal 4 (point a dan c)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap:
a. pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan peningkatan mutu Tenaga
Kesehatan;
c. pelindungan kepada Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik.
Pasal 27 (ayat 2)
(2) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan
kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan memperoleh hak kenaikan
pangkat istimewa dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas.
Pasal 57 (point a, point d dan point f)
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional;

5

b. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta
nilai-nilai agama;
c. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan,
Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundangundangan; dan
Pasal 75
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan
pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Pasal 80
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan
kepada Tenaga Kesehatan dengan melibatkan konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 81 (ayat 1 point c)
(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80
diarahkan untuk:
c. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
5. Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
Undang-Undang tentang Keperawatan berisi 13 Bab dan 66 pasal yang
salah satunya bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan pelindungan
hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan, dan menata berbagai
perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan Keperawatan dan Praktik
Keperawatan yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Undang-Undang ini
memuat pengaturan mengenai jenis perawat, pendidikan tinggi keperawatan,
registrasi, izin praktik, dan registrasi ulang, praktik keperawatan, hak dan
kewajiban bagi perawat dan klien, kelembagaan yang terkait dengan perawat
(seperti organisasi profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan,
dan pengawasan bagi perawat, serta sanksi administratif Salah satu pasal
yang memuat tentang pengawasan dan perlindungan hukum terhadap
perawat,adalah sebagai berikut (Kemenkumham RI, 2014b) :
Pasal 55
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil Keperawatan, dan Organisasi Profesi
membina dan mengawasi Praktik Keperawatan sesuai dengan fungsi dan
tugas masing-masing.

6

Pasal 56
Pembinaan dan pengawasan Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 diarahkan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Keperawatan;
b. melindungi masyarakat atas tindakan Perawat yang tidak sesuai dengan
standar; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi Perawat dan masyarakat.
E. Pembahasan dan Analisis
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang aspek perlindungan hukum
pada tenaga kesehatan maka kita patut terlebih dahulu memahami penggolongan
“subjek hukum” tenaga kesehatan. Dalam teori hukum kesehatan, yang termasuk
dalam subjek- subjek hukum tersebut adalah (Sadi Is, 2015) :
1. Tenaga kesehatan sarjana yatu; dokter, dokter gigi, apoteker dan sarjana lain
dibidang kesehatan.
2. Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah; (a) bidang farmasi;
(b) bidang kebidanan; (c) bidang perawatan; dan (d) bidang kesehatan
masyarakat.
Jadi jelas bahwa lingkup perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan
mencakup banyak elemen dan disiplin ilmu kesehatan yang sangat bervariasi.
Seluruh aspek hukum dalam peraturan hukum dalam peraturan hukum kesehatan
menjadi

perangkat

hukum

yang

secara

khusus

menentukan

perilaku

keteraturan/perintah, keharusan/larangan perbuatan sesuatu itu berlaku bagi
pihak-pihak yang berkautan dengan usaha kesehatan.
Tentu jelas bahwa keberadaan perlindungan hukum ini bukan untuk
menghilangkan segala tanggung jawab hukum atas perbuatan yang dilakuan
tenaga kesehatan. Namun lebih kepada perimbangan pada hak dan kewajiban
dari tenaga kesehatan terkait tindakan pelayanan yang dilakukan. Jika dilihat
dalam konteks pelanggaran perdata, ada beberapa jenis pelanggaran yang sering
berhubungan dengan tenaga kesehatan. Pelanggaran perdata yang sesuai
KUHPerdata yang meliputi (Siswati, 2015) :
1. Melakukan wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata)
2. Melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata)
3. Melakukan

kelalaian

sehingga

mengakibatkan

kerugian

(Pasal

1366

KUHPerdata)

7

4. Melakukan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat (3)
KUHPerdata)
Salah satu aspek hukum perdata dalam pelayanan kesehatan antara
tenaga kesehatan dan pasien dapat dilihat dalam suatu transaksi terapeutik yang
dibuat oleh kedua belah pihak. Transaksi secara umum diatur dalam KUHPerdata,
yang untuk berlakunya secara sah transaksi tersebut secara umum harus
memenuhi 4 (empat) syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya;
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Mengenai suatu hal tertentu;
Karena suatu sebab yang halal .
Dalam transaksi terapeutik tersebut kedua belah pihak harus memenuhi

syarat-syarat tersebut di atas, dan bila transaksi sudah terjadi maka kedua belah
pihak dibebani dengan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.Seperti yang
disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu.Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik.”
Antara tenaga kesehatan dan pasien timbul hak dan kewajiban timbal balik.
Apabila hak dan kewajiban ini tidak dipenuhi oleh salah satu pihak dalam transaksi
terapeutik, maka wajarlah apabila pihak yang lain terutama pihak yang merasa
dirugikan akan menggugat
Dari hal diatas saja kita bisa memahami bahwa tindakan seorang tenaga
kesehatan tidak lepas dari risiko secara medis maupun hukum baik yang
disengaja atau tidak sengaja. Jika hal diatas dilakukan secara sengaja maka
fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan sebagai subjek hukum terlibat dalam
rangkaian proses hukum yang panjang sebagai bentuk pertanggung jawaban
didepan hukum namun jika kejadian yang terjadi tidak disengaja dan bahkan diluar
wewenang dikarenakan kelalaian pasien atau pelanggaran atas perjanjian
terpapeutik misalnya, maka perlu ada perlindungan untuk memastikan terjadi
keadilan pada petugas dan pasien.
Dari perspektif perlindungan konsumen, maraknya tuntutan pasien
terhadap cara dan hasil kerja paramedis atau tenaga kesehatan sesungguhnya

8

merupakan gejala yang positif. Hal itu menandakan semakin tumbuhnya
kesadaran hukum masyarakat, khususnya kesadaran konsumen terhadap hakhaknya, yaitu antara lain untuk memperoleh pelayanan yang baik maupun ganti
rugi, apabila tenaga kesehatan atau paramedis terbukti melakukan malpraktik
(melakukan penyimpangan dari standar profesi). Artinya, pada dewasa ini telah
muncul fenomena dimana pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan
tidak lagi bersikap pasrah seperti pada waktu-waktu yang lampau.
Terlebih lagi setelah pemerintah mengundangkan Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Satu di antara ketentuannya
adalah bahwa: Pasien sebagai konsumen pelayanan jasa kesehatan, berhak atas
keamanan, kenyamanan, dan keselamatan, informasi yang benar, jelas, dan jujur
serta menuntut ganti rugi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya selama
melakukan pelayanan kesehatan ternyata melakukan kesalahan atau kelalaian
yang merugikan pasien (Kemenkumham RI, 1999).
Namun harus dapat pula dibedakan mana perbuatan yang dilakukan
secara disengaja atau tidak disengaja dan mana pula yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan atau pasien itu sendiri. Oleh karen itu penting untuk memisahkannya
sehingga sangat diperlukan perlindungan agar tenaga kesehatan memiliki
kepercayaan diri dalam melakukan tindakan. Jika tidak maka dikhawatirkan akan
muncul proteksi dari petugas kesehatan dari tindakan yang harusnya dilakukan
menurut SOP namun tidak berani dilakukan karena takut dituntut oleh pasien jika
terjadi sesuatu.
Untuk mengantisipasi kejadian seperti yang diuraikan diatas, maka
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan pada Pasal 57
(point a) menyebutkan :
“Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak: memperoleh pelindungan
hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”
dan juga Pasal 75 menyebutkan :
“Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan
pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.
Salah satu hal misalnya yang dapat ditempuh untuk mengurangi
permasalahan terkait Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar
Prosedur Operasional adalah pelaksanaan uji kompetensi tenaga kesehatan. Hal

9

ini sedari dini dilakukan saat ada dijenjang pendidikan profesi agar menyiapkan
tenaga kesehatan yang memiliki kapabilitas dalam bekerja sehingga suatu hari
nanti dapat menghindarkan tenaga kesehatan tersebut dari permasalahan hukum.
Uji kompetensi ini telah mulai dilakukan oleh profesi-profesi kesehatan seperti
dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan kesehatan masyarakat. Uji kompetensi ini
sendiri berfungsi untuk malakukan standarisasi kompetensi tenaga kesehatan
dalam menjelaskan dan mengorganisir tugas serta pekerjaan, memutuskan
pekerjaan yang harus dilakukan dan menggunakan kemampuan yang dimiliki
untuk memecahkan masalah atau pekerjaan pada situasi tertentu (Triwibowo,
2014)
Dilain pihak dalam konteks fasilitas kesehatan seperti rumah sakit
misalnya, memiliki tanggung jawab dalam kaitan dengan perlindungan hukum
bagi tenaga kesehatan. Rumah sakit memiliki tanggung jawab hukum terhadap
kerugian yang dilakukan baik sengaja atau tidak disengaja oleh tenaga kesehatan.
Menurut UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 3 (poin b), pengaturan penyelenggaraan
rumah sakit bertujuan untuk :
“Memberikan perlindungan hukum terhaadap keselamtan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia rumah sakit”
Menurut Gunadi (2005) dalam (Triwibowo, 2014) menyebutkan bahwa
tanggung jawab terhadap personalia berdasarkan hubungan “majikan-karyawan”.
Hubungan ini dahulu bersifat universal dan negara kita sampai kini masih berlaku
berdasarkan KUH Perdata Pasal 1366 jo 1365 jo 1367. Tenaga kesehatan
merupakan pekerja di rumah sakit, maka rumah sakit bertanggung jawab atas
tindakan tenaga kesehatan yang merugikan pasien. Ketentuan Pasal 1367
KUHPerdata, dapat sebagai acuan pertanggungjawaban rumah sakit atas
tindakan tenaga kesehatan tersebut. Hal ini sesuai dengan doktrin respondeat
superior. Di dalam doktrin ini mengandung makna bahwa majikan bertanggung
atas tindakan-tindakan pelayan-pelayan yang menjadi tanggung jawabnya,
termasuk tindakan-tindakan yang menyebabkan kerugian bagi orang lain. Dengan
adanya doktrin respondeat superior, merupakan jaminan bahwa ganti rugi
diberikan/dibayarkan kepada pasien yang menderita kerugian akibat tindakan
medis. Selain itu dengan doktrin ini, secara hukum dan keadilan, menghendaki
akan sikap kehati-hatian dari para tenaga kesehatan.

10

Namun dilapangan sering pula muncul permasalahan yang terjadi adalah
kebijakan hukum dan perundang-undangan yang mengatur tentang hak dan
kewajiban tenaga kesehatan masih cenderung lemah substansinya sebab
pengaturan mengenai hak dan kewajiban masih relatif sangat terbatas, ketentuan
mengenai kewajiban-kewajiban tertentu tidak disertai (nihil) sanksi hukum
bilamana ada pelanggaran, bahkan tidak sedikit ketentuan pasal yang terkesan
overlapping, ambigu dan mengkriminalisasi tindakan tenaga kesehatan yang lain.
Salah satunya, Siregar (2015) dalam

penelitiannya mengenai perlindungan

hukum bagi perawat gigi, menemukan bahwa perbedaan peraturan mengenai
bentuk registrasi Tenaga Kesehatan berupa Sertifikat Kompetensi dan SIK
menimbulkan

ketidakpastian

dalam

pelaksanaan

maupun

orientasinya.

Disamping itu, kepastian hukum Sertifikat Kompetensi juga tidak jelas. Hal ini
terjadi akibat ketidaksinkronan peraturan mengenai penyelenggara sertifikat
kompetensi seperti yang tertlihat dalam Permenkes Nomor 161 Tahun 2010
tentang Registrasi Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Perijinan praktik mandiri perawat gigi tidak
mempunyai perlindungan hukum karena adanya ketidakpastian hukum akibat
multitafsir dan ketidaksinkronan peraturan-peraturan yang mengatur tentang
praktik mandiri tersebut.
Selain ketersediaan produk hukum yang ada untuk melindungi tenaga
kesehatan perlu juga sinkronisasi agar tidak terjadi tumpang tindih aturan dan hal
penting lainnya juga adalah proses sosialisasi kepada tenaga kesehatan dan
pasien sehingga hak dan kewajiban dapat dipahami dengan pasti untuk menjamin
tercapainya patient safety didalam pelayanan kesehtan.
Rangkaian perlindungan hukum bukan untuk memastikan tenaga
kesehatan bebas melakukan tindakan sesuai keinginannya atau menjadi resisten
terhadap hukum atau gugatan namun lebih pada kepastian hukum yang menjamin
masyarakat sebagai pasien memiliki kepastian atas setiap tindakan yang
diterimanya. Selain perlindungan, pengawasan perlu juga dilakuan kepada
petugas kesehatan sesuai dengan aturan profesi masing-masing tetapi juga lebih
daripada itu untuk menjamin pelaksanaan aturan hukum apabila terjadi
pelanggaran seperti pada pasal 1366 KUHPerdata seorang tenaga kesehatan
selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum seperti
tersebut di atas, dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan
11

kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 KUH Perdata,
berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
kelalaian atau kurang hati hatinya”
Penjelasan Pada pasal 1366 KUHPerdata menyebutkan Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya. Sedangkan pada ketentuan pasal 1367 KUHPerdata yang
menyebutkan sebagai berikut:
“Seseorang harus memberikan pertanggung-jawaban tidak hanya atas kerugian
yang ditimbulkan dan tindakannya sendiri, tapi juga atas kerugian yang
ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada dibawah pengawasannya.”
Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata
mengatur mengenai pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau yang
memerintahkan sesuatu pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain.
Seperti tertuang dalam pasal 80 dan 81 Undang-undang Tenaga
Kesehatan nomor 36 tahun 2014:
Pasal 80
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan
kepada Tenaga Kesehatan dengan melibatkan konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya”
Pasal 81 ayat 1
(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80
diarahkan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Tenaga
Kesehatan;
b. melindungi Penerima Pelayanan Kesehatan dan masyarakat atas tindakan
yang dilakukan Tenaga Kesehatan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
Maka, pengawasan dan perlindungan hukum akan senantiasa diberikan
kepada pelaku profesi apa pun sepanjang pelaku profesi tersebut bekerja dengan
mengikuti prosedur baku sebagaimana tuntutan bidang ilmunya, sesuai dengan
etika serta moral yang hidup dan berlaku dalam masyarakat

12

F. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisa diatas maka dapat dibuat
kesimpulan sebagai berikut :
a. Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan telah dilakukan oleh
pemerintah melalui berbagai produk hukum berupa undang-undang
sehingga petugas kesehatan memliki kepastian hukum dan jaminan dalam
melakukan tindakan medis yang diperlukan dalam menangani pasien
sepanjang dilakukan sesuai standar kompetensi juga SOP yang ada di
fasilitas kesehatan,
b. Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan hendaknya sinkron antara
satu dengan yang lainnya agar tidak menjadi ambigu dalam implementasi
sebab keberadaan aturan itu bukan semata-mata untuk tenaga kesehatan
namun juga bermanfaat bagi pasien dalam kaitannya dengan kemanan
pasien terhadap tindakan/ pelayanan yang diterimanya.
c. Pengawasan kepada petugas kesehatan penting untuk memastikan bahwa
terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam implementasinya
dipelayanan untuk memberi jaminan kemanan sesuai kemampuan dalam
masing-masing sebab ada perangkat hukum dalam konteks KUHPerdata
yang dapat mengikat jika melakukan pelanggaran sekecil apapun.
2. Saran
Dari kesimpulan diatas maka saran yang dapat diberikan yaitu :
a. Diperlukan adanya pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) terhadap
beberapa undang-undang yang baru untuk mengoptimalkan pelayanan
sesuai dengan amanat dalam undang-undang tersebut.
b. Mengingat tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya memiliki peran
penting dalam pelayanan kesehatan serta mendapatkan perlindungan
hukum, maka perlindungan tenaga kesehatan merupakan kewajiban bagi
pasien

sebagai

konsumen

untuk

senantiasa

menghormati

atau

memeperhatikan hak-hak dan kewajiban tenaga kesehatan.

13

Daftar Pustaka
Hendrik. (2016). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.
Kemenkumham RI. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Retrieved from
http://www.kemenkumham.go.id
Kemenkumham RI. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran. Retrieved from
http://www.kemenkumham.go.id
Kemenkumham RI. (2009a). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan. Retrieved from http://www.kemenkumham.go.id
Kemenkumham RI. (2009b). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009 Tentang Rumah Sakit. Retrieved from http://www.kemenkumham.go.id
Kemenkumham RI. (2014a). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Retrieved from
http://www.kemenkumham.go.id
Kemenkumham RI. (2014b). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2014 Tentang Keperawatan. Retrieved from http://www.kemenkumham.go.id
Sadi Is, M. (2015). Etika dan Hukum Kesehatan. Teori dan Aplikasinya di Indonesia
(Pertama (I). Jakarta: Prenadamedia Grup.
Siregar, I. H. Y. (2015). Perlindungan Hukum Bagi Perawat Gigi Dalam Melakukan
Pelayanan Asuhan Kesehatan Gigi Di Praktik Mandiri. Soepra Hukum
Kesehatan, 1(1), 87–101.
Siswati, S. (2015). Etikas dan Hukum Kesehatan. Dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan (Pertama (I). Jakarta: Rajawali Pers.
Triwibowo, C. (2014). Etika & Hukum Kesehatan (I). Yogyakarta: Nuha Medika.

14