PENDIDIKAN KELUARGA DAN HOME SCHOOLING

PENDIDIKAN KELUARGA DAN
HOME SCHOOLING
Oleh: Muhammad Tuwah

Pendahuluan
Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yang sulit diubah dan digantikan
oleh orang atau lembaga lain tetapi karena masyarakat sekarang ini telah mengalami perubahan,
tidak menutup kemungkinan sebagian dari fungsi sosial keluarga tersebut mengalami perubahan.
Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga tersebut akan banyak dipengaruhi oleh ikatan-ikatan
dalam keluarga, hal ini sesuai dengan yang dikatakan MI Solaeman (1978:18) bahwa pada
dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi yang pokok, yaitu fungsi-fungsi yang tidak bisa
dirubah dan digantikan oleh orang lain, sedangkan fungsi-fungsi lain atau fungsi-fungsi sosial
relatif lebih mudah berubah atau mengalami perubahan.
Mengenai fungsi keluarga Abu Ahmadi (1991:247) mengemukakan bahwa tugas atau
fungsi keluarga bukan merupakan fungsi yang tunggal tetapi jamak. Secara sederhana dapat
dikemukakan bahwa fungsi kelurga adalah menstabilkan situasi keluarga dalam arti stabilisasi
situasi ekonomi keluarga. Kemudian fungsi keluarga juga mendidik dan memelihara fisik dan
psikis keluarga, termasuk kehidupan religius.
Mengenai fungsi keluarga, khususnya tanggung jawab orang tua terhadap anaknya,
Singgih P Gunarsa (1991:54) mengemukakan bahwa tanggung jawab orang tua ialah memenuhi
kebutuhan-kebutuhan si anak baik dari sudut organis-psikologis, antara lain, makanan, maupun

kebutuhan-kebutuhan psikis seperti kebutuhan-kebutuhan akan perkembangan, kebutuhan
intelektual melalui pendidikan, kebutuhan rasa dikasihi, dimengerti dan rasa aman melalui
perawatan asuhan ucapan-ucapan dan perlakuan.
Dari konsep tersebut diterangkan bahwa diantaranya peran orang tua ini sangat penting
sekali terhadap pemenuhan kebutuhan intelektual bagi anak melalui pendidikan. Hal ini
merupakan tanggung jawab orang tua harus diberikan kepada anaknya sehingga orang tua

ditekankan harus mengerti akan fungsi keluarga dan tentunya pemahaman tentang pendidikan.
Ini harus benar-benar dirasakan oleh orang tua sampai mampu berkeinginan untuk melanjutkan
sekolah anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga wawasan dan pemahaman anak bisa
lebih luas.
Dalam psikologi pendidikan, pendidikan yang paling banyak berperan penting dalam
pembentukan moral anak adalah keluarga. Keluarga yang pertama kali menanamkan moral yang
nantinya juga akan menjadi fondasi kepribadian anak. Begitu juga dengan pendidikan yang
diberikan oleh sekolah, pendidikan tersebut tidak akan berjalan apabila keluarga tidak berperan
dalam pengaplikasiannya di kehidupan sehari-hari anak. Apabila lingkungan keluarga baik, maka
baik juga anak tersebut. Namun, apabila lingkungannya buruk, buruk jugalah anak tersebut
walaupun sang anak telah mendapatkan pelajaran yang baik dari lngkungan sekolah.
Lingkungan keluarga menjadi faktor penting dalam menanamkan


dan membentuk

kepribadian anak. Peran lingkungan keluarga dalam mewujudkan kepribadian seseorang, baik
lingkungan pra kelahiran maupun lingkungan pasca kelahiran adalah masalah yang tidak bisa
dipungkiri keberadaannya. Sebab diyakini lingkungan keluarga adalah sebuah basis awal
kehidupan bagi setiap manusia. Keluarga menyiapkan sarana pertumbuhan dan pembentukan
kepribadian anak sejak dini. Dengan kata lain, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan
perlakuan kedua orang tua dan lingkungannya.
Selain pendidikan keluarga, saat ini muncul trend baru yang dinakan sekolah rumah (home
schooling). Menurut Mulyadi (2008) pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home
schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga
mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar
sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin
dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya.
Sistem ini sekolah rumah (home schooling) muncul akibat banyaknya orangtua yang tidak
puas dengan hasil sekolah formal, sehingga menjadikan home schooling sebagai alternatif proses
belajar mengajar dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Kerapkali sekolah formal
berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan
hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Selain itu, perhatian secara personal pada anak,
kurang diperhatikan.


Atas dasar inilah makalah ini berupaya membahas mengenai pendidikan keluarga dan
sekolah rumah (home schooling) sebagai salah satu pilar pendidikan dalam upaya
mengembangkan perilaku dan karakter anak.
Strategi Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga bertujuan untuk memelihara, melindungi anak sehingga dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik. Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang utama dikenal
oleh anak sehingga disebut lingkungan pendidikan utama. Proses pendidikan awal di mulai sejak
dalam kandungan. Latar belakang sosial ekonomi dan budaya keluarga, keharmonisan hubungan
antar anggota keluarga, intensitas hubungan anak dengan orang tua akan sangat mempengaruhi
sikap dan perilaku anak. Keberhasilan anak di sekolah secara empirik sangat dipengaruhi oleh
besarnya dukungan orang tua dan keluarga dalam membimbing anak.
Brean Frenbrenner dalam Syakrani (2001)mengemukakan bahwa sejak dulu keluarga
menjadi

wahana

pembentukan

karakter


dan

keterampilan

dasar

manusia.

Bahkan Brenner dan Couts menjabarkan lebih luas bahwa keluarga yang tangguh bersama
lembaga keagamaan dan politik akan menjadi pilar penyangga terbentuknya civil society. Betapa
pentingnya pendidikan keluarga bagi anak-anak yang sedang berkembang. Pentingnya
pembentukan sumber daya manusia berbasis keluarga juga bisa dilihat dari konsep investment in
children memahami perlunya penguatan keluarga sebagai wahana pengembangan sumber daya
manusia dari sudut pandang orientasi nilai dan perkembangan daya nalar anak.
Pendekatan

pendidikan

keluarga


adalah

secara

terpadu,

seimbang

antara

pendekatan endogenous (menimbulkan dari dalam) dan conditioning (pembisaan, mempengaruhi
dari luar) serta enforcement (pemaksaan). Anak-anak dalam keluarga sangat kuat proses
identifikasinya kepada orang tua dalam berbagai tingkah laku, cara berfikir dan cara menyikapi
tentang suatu keadaan. Di samping faktor keteladanan, faktor pembiasaan yang didasarkan atas
cinta kasih merupakan sarana/alat pendidikan yang besar pengaruhnya bagi pembentukan budi
pekerti dan moral.
Di dalam keluarga yang religius terjadi interaksi interpersonal yang bernilai sosial edukatif
dan religius. Dan pendidikan agama itu perlu disesuaikan dengan taraf kematangan anak, tingkat
penalaran, emosi, bakat, pengetahuan dan pengalamannya. Orang tua yang efektif dalam proses


pendidikan ditentukan oleh kemampuannya dalam membimbing dan mengarahkan serta
memecahkan persoalan-persoalan secara demokratis.
Strategi lain dalam mengembangkan pendidikan dalam keluarga adalah dengan konsep
tumbuh kembang anak yang pertumbuhan fisik dan otak serta perkembangan motorik, mental,
sosio-emosional dan perkembangan moral spiritual. Ada 3 konsep penting yang mencakup
aktivitas yakni pola suh, pola asah dan pola asih. Strategi yang dapat digunakan oleh orang untuk
mengembangkan moral dan keterampilannya, yaitu :
a) Bantulah anak untuk menemukan sendiri tujuan hidupnya.
b) Bantulah anak mengembangkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
hidupnya.
c) Jadilah figur ideal bagi anak dalam berperilaku.
d) Beri semangat dan gugah hati anak untuk berperilaku terpuji.
Menurut Popov dkk (1997) orang tua dapat berperan sebagai :
a.

Educator yaitu bisa menciptakan dan menyadari adanya teach able momentdalam
keluarga.

b.


Autority yaitu bisa mengembangkan batas-batas normatif.

c.

Guide yaitu bisa share your skills kepada anak-anak.

d.

Conselor yaitu mampu memberi dukungan pada anak ketika mengalami dilema moral.

Di sinilah keluarga sangat berperan membentuk moral anak. Keluarga yang pertama kali
menanamkan moral yang nantinya juga akan menjadi fondasi kepribadian anak. Begitu juga
dengan pendidikan yang diberikan oleh sekolah, pendidikan tersebut tidak akan berjalan apabila
keluarga tidak berperan dalam pengaplikasiannya di kehidupan sehari-hari anak. Apabila
lingkungan keluarga baik, maka baik juga anak tersebut. Namun, apabila lingkungannya buruk,
buruk jugalah anak tersebut walaupun sang anak telah mendapatkan pelajaran yang baik dari
lngkungan sekolah.
Lingkungan keluarga menjadi faktor penting dalam menanamkan


dan membentuk

kepribadian anak. Peran lingkungan keluarga dalam mewujudkan kepribadian seseorang, baik
lingkungan pra kelahiran maupun lingkungan pasca kelahiran adalah masalah yang tidak bisa

dipungkiri keberadaannya. Sebab diyakini lingkungan keluarga adalah sebuah basis awal
kehidupan bagi setiap manusia. Keluarga menyiapkan sarana pertumbuhan dan pembentukan
kepribadian anak sejak dini. Dengan kata lain, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan
perlakuan kedua orang tua dan lingkungannya,
Keluarga merupakan lembaga pendidikan bersifat informal, yang pertama dan utama
dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua bertanggung jawab
memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang dengan
baik. Di sini peranan oang tua terutama ibu sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan anak
tersebut. Pendidikan keluarga disebut pendidikan utama karena di dalam lingkungan ini segenap
potensi yang dimiliki manusia terbentuk dan sebagian dikembangkan. Bahkan ada beberapa
potensi yang telah berkembang dalam pendidikan keluarga.
Pendidikan keluarga dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, pendidikan prenatal
(pendidikan sebelum lahir) merupakan pendidikan yang berlangsung selama anak belum lahir
atau masih dalam kandungan. Pendidikan prenatal lebih dipengaruhi kepada kebudayaan
lingkungan setempat. Dalam kehidupan yang lebih modern sekarang ini, terdapat pula model

pendidikan prenatal. Seperti mendengarkan lagu-lagu klasik selama anak masih dalam
kandungan, melakukan pemerikasaan rutin ke dokter kandungan atau mengkonsumsi nutrisi
yang baik bagi si jabang bayi.
Secara sederhana pendidikan prenatal dalam keluarga bertujuan untuk menjamin agar si
jabang bayi sehat selama dalam kandungan hingga nanti pada akhirnya dapat terlahir dengan
proses yang lancar dan selamat.
Kedua,

pendidikan

postnatal

(pendidikan

setelah

lahir)

Pendidikan postnatal merupakan pendidikan manusia dalam lingkungan keluarga di mulai dari
manusia lahir hingga akhir hayatnya. Segala macam ilmu kehidupan yang diperoleh dari

keluarga merupakan hasil dari proses pendidikan keluarga postnatal. Dari manusia lahir sudah
diajari bagaimana caranya tengkurap, minum, makan, berjalan hingga tentang ilmu agama. pada
dasarnya sebuah keluarga akan banyak memberi pendidikan dibidang sosial dan moral kepada
sang anak sebab itu merupakan pondasi dari sebuah pendidikan yang sebenarnya. Dari hal
terkecil sang anak telah mewarisi sebuah pembelajaran moral dari sebuah keluarga. Misalnya,
makan dengan tangan kanan, tidak meludah disembarang tempat, dan harus menghormati tamu.

Itu adalah pelajaran awal dari sebuah keluarga. Pendidikan selalu berawal dari ruang lingkup
keluarga.
Karena itu tidak berlebihan bila dikatakan lembaga keluarga merupakan pendidikan yang
pertama yang didapat oleh anak. Lingkungan pendidikan yang pertama membawa pengaruh
terhadap anak untuk melanjutkan pendidikan yang akan dialaminya di sekolah dan di
masyarakat. Motivasi pendidikan keluarga semata-mata demi cinta kasih sayang, di mana di
dalamnya terdapat suasana cinta inilah proses pendidikan berlangsung seumur anak-anak itu
dalam tanggung jawab orang tua/keluarga. Mereka tidak hanya berkewajiban mendidik atau
menyekolahkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan. Akan tetapi mereka juga diamati Allah
SWT untuk menjadikan anak-anaknya bertaqwa serta taat beribadah sesuai dengan ketentuan
yang telah diatur dalam al-Qur‟an dan hadits.
Jadi, orang tua seharusnya tidak hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka
kepada pihak lembaga pendidika atau sekolah, akan tetapi mereka harus lebih memperhatikan

pendidikan anak-anak mereka di lingkungan keluarga mereka, karena keluarga merupakan faktor
yang utama di dalam proses pembentukan kepribadian sang anak. Orang tua merupakan pribadi
yang sering ditiru anak-anaknya. Dengan demikian keteladanan yang baik merupakan salah satu
kiat yang harus diterapkan dalam mendidik anak.
Menurut Quraish Shihab (1983) “Keluarga adalah tiang negara, jiwa masyarakat dan
tulang punggungnya kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau
sebaliknya kebodohan dan keterbelakangannya adalah cerminan dari keluarga yang hidup pada
masyarakat /lingkungan”. Pendidikan merupakan proses di mana seseorang diberi kesempatan
menyesuaikan diri terhadap aspek kehidupan. Lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan
seorang anak dalam menentukan kepribadiannya yang baik.
Seorang filsuf, Imam al-Ghazali mengatakan “orang tua sebagai pendidik adalah melatih
anak-anak sebagai amanat bagi orang tua. Hati anak suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih
dari segala yang diukirkan atasnya dan juga condong”. Kewajiban orang tua dalam keluarga
mendidik dan membimbing anak-anaknya serta memelihara dan melindungi dari gangguan baik
di luar lingkungan dan di dalam lingkungan. Dari itulah sebagai orang tua harus benar-benar
mendidik anaknya, agar mereka menjadi anak-anak yang diharapkan oleh keluarga. Tanpa
dukungan keluarga atau orang tua mereka tidak akan menjadi anak yang berakhlak mulia.

Home Schooling Model Pengembangan Sistem Pendidikan
Salah satu trend pendidikan saat ini adalah munculnya home schooling. Munculnya home
schooling merupakan reaksi orang tua karena tidak puas dengan lembaga pendidikan formal saat.
Karena itu, Mulyadi (2008) mengemukakan pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah
(home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak,
namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan
proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk
belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah
dilakukannya.
Sistem ini terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di
dunia. Belakang ini banyak orang tua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal sehingga
menjadikan home schooling sebagai alternatif proses belajar mengajar dalam perkembangan
dunia pendidikan di Indonesia. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor
(kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai
iman dan moral), selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan.
Dalam bukunya How Children Fail, John Cadlwell Holt (1964) menyatakan “manusia pada
dasarnya makhluk belajar dan senang belajar. Kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara
belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak,
mengatur, atau mengontrolnya”. Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah
perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai
guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada
siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem
sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan
Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak
lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan
anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tidak efektif, tetapi
berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan
kedewasaan mereka.

Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt
sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People
Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua
homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan
majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama Growing Without Schooling. Serupa
dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting
homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain
karena alasan keyakinan (beliefs), pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh
ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Sementara itu, perkembangan home schooling di Indonesia belum diketahui secara persis
karena belum ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling
merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun menurut Seto Mulyadi (2006) jika dilihat
dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias
otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah
Indonesia yang sudah mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar
Dewantara, dan Buya Hamka.
Di Indonesia baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan home schooling seperti
Morning Star Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan Belajar Mengajar
(PKBM). Morning Star Academy, lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002.
Selain bertujuan memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter
siswanya.
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah

yang

menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada ratusan di
Indonesia. Di Jakarta Selatan terdapat sekitar 25 lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah
siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk
setingkat SD), B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya
menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi
rumah murid. Murid harus mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum adalah PKBM
langsung mengeluarkannya dari pusat.

Saat ini perkembangan home schooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap
informasi yang semakin terbuka sehingga orang tua semakin memiliki banyak pilihan untuk
pendidikan anak-anaknya.
Home schooling merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak
berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing” (Daryono, 2008). Secara
etimologis, home schooling adalah sekolah yang diadakan di rumah. Meski disebut home
schooling, tidak berarti anak terus menerus belajar di rumah, tetapi anak-anak bisa belajar di
mana saja dan kapan saja asal situasi dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan
seperti layaknya berada dirumah.
Home schooling lebih mengacu pada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan dan
hobbi individu. Serta fleksibilitas metode belajar mengajar tidak terbelenggu oleh dimensi ruang
dan waktu secara formal dan dapat menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dalam
home schooling guru hanya sebagai pembimbing dan mengarahkan minat siswa pada mata
pelajaran yang diminati. Dalam hal ini siswalah yang menjadi subjek kurikulum bukan menjadi
objek. Jam belajar lebih lentur karena mulai dari bangun tidur sampai berangkat tidur kembali.
Pemerintah sementara ini hanya mendukung sebatas legalitas formal melalui UU Sisdiknas
yang menggolongkannya sebagai bagian dari pendidikan informal (keluarga). Home schooling
termasuk model pendidikan yang digunakan sebagai alternatif institusi sekolah yang
menempatkan anak sebagai subjek dengan pendekatan pendidikan di rumah dan berada di bawah
naungan Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah
Depdiknas RI. Bagi peserta didik homeschooling bisa memiliki sertifikat ijazah dengan
mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) paket A (kesetaraan SD), paket B
(SMP) dan paket C (SMA) sesuai dengan tingkat kemampuan pendidikannya.
Ada beberapa klasifikasi format homeschooling, yaitu:
1. Home schooling tunggal. Home schooling tunggal dilaksanakan oleh orangtua dalam satu
keluarga tanpa bergabung dengan keluarga lainnya karena hal tertentu atau lokasi yang
berjauhan.
2. Home schooling majemuk. Home schooling majemuk dilaksanakan oleh dua atau lebih
keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua
masing-masing. Alasannya: terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh

beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari
Konsorsium, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlit tennis), keahlian musik/seni, kegiatan
sosial dan kegiatan agama.
3. Komunitas home schooling. Komunitas home schooling merupakan gabungan beberapa home
schooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok
(olah raga, musik/seni dan bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran. Komitmen
penyelenggaraan pembelajaran antara orang tua dan komunitasnya kurang lebih 50:50.

Sedangkan metode homeschool adalah sebagai berikut:
1. Metode home schooling Charlotte Mason. Dalam metode Charlotte Mason, anak
membaca buku kemudian menceritakannya kembali dengan bahasanya sendiri. Hal ini
memastikan bahwa mereka mengerti apa yag dibacanya.
2. Metode home schooling klasik. Metode ini terdiri atas konsep grammar, logic dan rhetoric
atau dapat juga diartikan pengetahuan, pengertian dan kebijakan. Tahapan grammar
(sampai usia 12) adalah saat anak menerima dan mengumpulkan informasi dan
pengetahuan. Anak belajar menerima fakta walaupun belum memahaminya namun sejalan
dengan bertambahnya usia, mereka mulai mencerna fakta tersebut. Tahapan logic (usia 13
– 15) adalah saat pemahaman anak mulai matang. Mereka mulai mengerti sebab akibat
dan pengetahuan tentang logika. Tahapan rhetoric (usia 16 – 18) adalah saat anak bisa
menggunakan pengetahuan dan logika untuk berkomunikasi, menerapkan pengetahuan
dalam kehidupan sehari-hari dan berdiskusi serta berdebat tentang Komunitas
homeschooling

kebijakan.

Setiap mata pelajaran mempunyai 3 tahapan tersebut. Peserta didik menerima fakta,
belajar mengerti, dan diuji dalam pemahaman mereka.
3. Eclectic. Metode ini melakukan hal-hal yang disukai dari berbagai kurikulum yang ada
dengan menggunakan sumber-sumber informasi dari internet, perpustakaan atau
menciptakan kurikulum sendiri.
4. Metode home schooling Montessori. Maria Montessori menyatakan bahwa anak
mempunyai kemampuan untuk belajar. Orang dewasa hanya perlu mengatur lingkungan
anak agak mendukung proses anak belajar. Orang dewasa tidak perlu mengatur anak,

tetapi cukup dengan membantu anak belajar dari lingkungannya dalam situasi natural
maupun kelompok yang tidak dibatasi oleh umur.
5. Unschooling. Anak belajar materi yang mereka sukai. Unschooling sangat tidak
terstruktur tapi sering cocok untuk sebagian anak, terutama anak kecil.
6. Unit studies. Semua mata pelajaran terpadu menjadi satu tema. Sebagai contoh dari
sebuah buku anak dapat belajar sejarah, seni, ilmu pengetahuan alam, matematika, semua
melalui buku tersebut.
7. Metode home schooling Waldorf. Konsep pengajaran Waldorf bertumpu pada anak secara
keseluruhan (the whole child) yang meliputi kepala, hati dan tangan. Metode ini
menekankan

dongeng

(storytelling)

and

seni

(art).

Metode ini tidak berusaha untuk menanamkan materi intelektual kepada anak, tetapi
membangkitkan kemampuan anak untuk mencari pengetahuan dan menikmati proses
belajar.
Sebagai lembaga pendidikan alternative, home schooling memiliki kelebihan dengan
lembaga pendidikan lainnya. Huzaifah Hamid (2008) mengemukakan beberapa keunggulan
home schooling. Menurutnya, sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan,
lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih
fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak
yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di
sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga
memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti
pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual,
tematik, dan nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.
Di sisi lain, home schooling mempunyai kelemahan di antaranya, membutuhkan komitmen
dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif
rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan
kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya
interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman
berharga

untuk

belajar

hidup

di

masyarakat.

Faktor tingginya biaya homeschooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan

biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan homeschooling lebih besar dibanding jika
kita mengikuti pendidikan formal di sekolah umum.
Simpulan
Sesungguhnya prinsip dasar pendidikan keluarga dan home schooling memiliki dasar
filosofis yang sama. Baik pendidikan keluarga maupun home schooling merupakan manifestasi
ketidakpuasan orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Namun yang berbeda adalah
strategi yang diterapkan. Kalau pendidikan keluarga dimulai sejak anak dalam kandungan ibu
sudah mulai ditanamkan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, terdapat kelemahan pendidikan
keluarga ini adalah tidak terorganisasi dan tidak sistematisnya proses pembalajaran diterapkan.
Sementara home schooling muncul atas filososi John Cadlwell Holt dalam bukunya How
Children Fail (1964) karena alasan ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal yang
kemudian didukung Ray dan Dorothy Moor dengan melakukan penelitian yang menunjukkan
bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun tidak efektif.
Terlepas dari kelebihan dan kelemahan lembaga home schooling ini setidaknya telah
memberikan alternative bagi dunia pendidikan di tanah air.
Saran/Rekomendasi
Belum ada penelitian khusus tentang akar perkembangan home schooling di Indonesia.
Saat ini perkembangannya dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka
sehingga orang tua semakin memiliki banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya. Proses
pembelajaran home schooling menggunakan metode belajar mengajar tidak terbelenggu oleh
dimensi ruang dan waktu secara formal. Guru hanya sebagai pembimbing dan mengarahkan
minat siswa pada mata pelajaran yang diminati. Dalam hal ini siswalah yang menjadi subjek
kurikulum bukan menjadi objek.
Kelebihan home schooling adalah menyediakan pendidikan moral atau keagamaan,
lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik serta menyediakan waktu belajar yang
lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi
anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di
sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini
memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama.

Kelemahan home schooling antara lain membtuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi
dari orang tua; dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya
kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan dan proteksi
berlebihan dari orang tua.
Pembelajaran sekolah rumah sebaiknya menyesuaikan dengan standar kompetensi yang
telah ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini agar sejalan dengan pertumbuhan
dan kemampuan anak dan dapat diikutkan dalam evaluasi dan ujian yang diselenggarakan secara
nasional. Perlu adanya dukungan yang lebih luas dari pemerintah yang sementara ini hanya
mendukung sebatas legalitas formal melalui UU Sisdikna yang menggolongkannya sebagai
bagian dari pendidikan informal (keluarga).

Daftar Pustaka

Arifin, M. Dam Aminudin. 1992. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta.
ath-Tusi Khawajah Nasiruddin. 2003. Menyucikan hati Menyempurnakan Jiwa. Terjemahan
„Awsaf al-Ashraf. Atributes of the Noble‟. Jakarta: Pustaka Zahra.

Azra, Azyumardi. 1989. Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Berkey, Jonathan. 1992. The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo. A Social History
of Islamic Education, Princeton, NJ: Princeton University Press.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2003.Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru van Hoeve
Dweehan. Homeschooling:
Model
Pengembangan
Sistem
Pendidikan
http://www.pnfi.depdiknas.go.id/artikel/20090915092455/Homeschooling–ModelPengembangan-Sistem-Pendidikan.html1
Lubis, Syaiful Akhyar. 2009. Pendidikan Islam dalam Era Perubahan Sosial, Hadharah, Jurnal
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Berbasis Islam. Medan: Universitas al-Washliyah.
Megawangi, Ratna, 2007. “Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik Berbasis
Indonesia.
Karakter. Dalam http://keyanaku.blogspot.com/2007/09/membangun-sdmHtml.
Megawangi, Ratna. 2003, Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani, IPPK
Indonesia Heritage Foundation
Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar Pada Karakter. Jakarta: FE-UI.
My

World.
2009.
Homeschooling:
Sebuah
Alternatif
Pendidikan,
(Online),
(http://world.quisys.com/index.php?option=com_content&view=article&i
=54:home-schooling-sebuah-alternatif-pendidikan&catid=25:the project& Itemid=71/).

Nakosteen, Mehdi.1964. History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800 – 1350 With
an Introduction to Medieval Muslim Education, Boulder: University of Colorado Press.
Nurteti, Lilis. 2010. Pedagogik, Pengantar Teori dan Analisis. IAID Ciamis Jawa Barat
Papalia, DE., Old, SW., Feldman, RD. 2004. Human Development. New York-USA: McGrawHill
Rajawat, Mamta. 2003. Education in the New Millenium, New Delhi: Anmol Publication PVT.
LTD.
Simbolon,
Pormadi.
2007.
Homeschooling:
Sebuah
Pendidikan
(Online),(http://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling//).

Alternatif,

Simbolon,
Pormadi. Homeschooling:
Sebuah
Pendidikan Alternatif.
http://www.google.com/artikel/homeschooling: sebuah pendidikan alternatif
Trinanda, Andi. Pendidikan Homeschooling. Sudah Adaptifkah dengan Pendidikan di
Indonesia?http://www.garutkab.go.id/download_files/article/
PENDIDIKAN_HOME_SCHOOLING.doc..
Verdiansyah, Chris (ed). 2007. Homeschooling. Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas
Wikipedia.org,2010. Homeschooling, http://en.wikipedia.org/wiki/Homeschooling