XI Semester 2 Kisah Berbakti Kepada Oran

KISAH ISLAMI
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DAN
DURHAKA KEPADA ORANG TUA

Penyusun :
1. Wilda Nurrahmi Hapsari
(XI MIA 3/30)
2. Nur Rina Martyas Ningrum (XI MIA 3/32)

SMA NEGERI 3 SURAKARTA
TAHUN PELAJARAN 2014/2015

KISAH ALQAMAH DURHAKA KEPADA
IBUNDANYA
Sumber : http://kisahmuslim.com/alqomah-durhaka-kepada-ibu/
Konon dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah ada seorang pemuda
yang bernama Alqamah. Dia seorang pemuda yang giat beribadah, rajin shalat,
banyak puasa dan suka bersedekah. Suatu ketika dia sakit keras, maka istrinya
mengirim utusan kepada Rasulullah untuk memberitahukan kepada beliau akan
keadaan Alqamah. Maka, Rasulullah pun mengutus Ammar bin Yasir, Shuhaib
ar-Rumi dan Bilal bin Rabah untuk melihat keadaannnya. Beliau bersabda,

“Pergilah ke rumah Alqamah dan talqin-lah untuk mengucapkan La Ilaha
Illallah ”Akhirnya mereka berangkat kerumahnya, ternyata saat itu Alqamah
sudah dalam keadaan naza’, maka segeralah mereka men-talqin-nya, namun
ternyata lisan Alqamah tidak bisa mengucapkan La ilaha illallah.
Langsung saja mereka laporkan kejadian ini pada Rasulullah. Maka
Rasulullah pun bertanya, “Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua?”
Ada yang menjawab, “Ada wahai Rasulullah, dia masih mempunyai seorang
ibu yang sudah sangat tua renta.”
Maka Rasulullah mengirim utusan untuk menemuinya, dan beliau
berkata kepada utusan tersebut, “Katakan kepada ibunya Alqamah, ‘Jika dia
masih mampu untuk berjalan menemui Rasulullah maka datanglah, namun
kalau tidak, maka biarlah Rasulullah yang datang menemuimu.’”
Tatkala utusan itu telah sampai pada ibunya Alqamah dan pesan beliau
itu disampaikan, maka dia berkata, “Sayalah yang lebih berhak untuk
mendatangi Rasulullah.”
Maka, dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah.
Sesampainya di rumah Rasulullah, dia mengucapkan salam dan Rasulullah pun
menjawab salamnya.
Lalu Rasulullah bersabda kepadanya, “Wahai ibu Alqamah, jawablah
pertanyaanku dengan jujur, sebab jika engkau berbohong, maka akan datang

wahyu dari Allah yang akan memberitahukan kepadaku, bagaimana
sebenarnya keadaan putramu Alqamah?”
Sang ibu menjawab, “Wahai Rasulullah, dia rajin mengerjakan shalat,
banyak puasa dan senang bersedekah.” Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Lalu
apa perasaanmu padanya?” Dia menjawab, “Saya marah kepadanya Wahai
Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi, “Kenapa?” Dia menjawab, “Wahai
Rasulullah, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan diapun
durhaka kepadaku.”
Maka, Rasulullah bersabda, “Sesungguhny,a kemarahan sang ibu telah
menghalangi lisan Alqamah, sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”

Kemudian beliau bersabda, “Wahai Bilal, pergilah dan kumpulkan kayu bakar
yang banyak.” Si ibu berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang akan engkau
perbuat?” Beliau menjawab, “Saya akan membakarnya dihadapanmu.”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah , saya tidak tahan kalau engkau membakar
anakku dihadapanku.”
Maka, Rasulullah menjawab, “Wahai Ibu Alqamah, sesungguhnya
adzab Allah lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah
mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqamah, demi Dzat yang jiwaku
berada di Tangan-Nya, shalat, puasa dan sedekahnya tidak akan memberinya

manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,”
Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah sebagai saksi, juga para
malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini, bahwa saya telah ridha
pada anakku Alqamah”.
Rasulullah pun berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, pergilah kepadanya
dan lihatlah apakah Alqamah sudah bisa mengucapkan syahadat ataukah
belum, barangkali ibu Alqamah mengucapkan sesuatu yang bukan berasal dari
dalam hatinya, barangkali dia hanya malu kepadaku.”
Maka, Bilal pun berangkat, ternyata dia mendengar Alqamah dari
dalam rumah mengucapkan La Ilaha Illallah. Maka, Bilal pun masuk dan
berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu Alqamah
telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat, dan
ridhanya telah menjadikanya mampu mengucapkan syahadat.”
Kemudian,
Alqamah pun meninggal dunia saat itu juga.
Maka, Rasulullah melihatnya dan memerintahkan untuk dimandikan.
Lalu dikafani, kemudian beliau menshalatkannya dan menguburkannya, Lalu,
di dekat kuburan itu beliau bersabda, “Wahai sekalian kaum Muhajirin dan
Anshar, barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, dia akan
mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan sekalian manusia. Allah

tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertobat dan
berbuat baik pada ibunya serta meminta ridhanya, karena ridha Allah
tergantung pada ridhanya dan kemarahan Allaoh tergantung pada
kemarahannya.”

SIKSA KUBUR ANAK DURHAKA KEPADA
ORANG TUA
Sumber : http://beritaislam.mywapblog.com/siksa-kubur-anak-durhaka-kepadaorang-tu.xhtml
Suatu hari Rasulullah Saw bersama dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah
az-Zahra, Imam Hasan dan Imam Husain pergi melewati kuburan Baqi’. Tibatiba Rasulullah dan keluarganya mendengar teriakan dan meminta pertolongan
dari salah satu kuburan di sana.
Rasulullah Saw kemudian mendekati kuburan tersebut sambil berkata:
“Wahai hamba Allah, dengan idzin Allah, keluarkan kepalamu!”. Tiba-tiba,
kuburan tersebut terbelah dan keluarlah mayat seorang pemuda dengan muka
yang sangat hitam dan seluruh tubuhnya diikat dengan tali-tali dan rantai besi.
Rasulullah Saw kemudian bersabda: “Celaka kamu, apa yang telah
kamu perbuat di dunia dahulu?”. Pemuda itu menjawab: “Wahai Rasulullah,
ibu saya tidak meridhai saya”. Rasulullah Saw bertanya kembali: “Memangnya
apa yang telah kamu perbuat kepadanya?”. Pemuda itu menjawab: “Suatu hari
ketika masuk ke rumah, isteri saya mengadu bahwa ibu saya telah

memperlakukannya kurang baik. Saat itu ibu saya sedang duduk di depan
tungku sedang memasak roti. Tanpa berpikir panjang, tiba-tiba saya berpihak
kepada isteri saya dan akhirnya saya pegang tubuh ibu lalu saya lemparkan ke
dalam tungku. Mendengar kegaduhan di dalam rumah, para tetangga akhirnya
datang dan mencoba mengeluarkan ibu saya yang sudah berada di dalam
tungku. Akan tetapi meski tetangga dapat mengeluarkannya, namun salah satu
tangan dan buah dada ibu saya telah terbakar. Ibu saya kemudian mengangkat
buah dadanya yang sudah terbakar itu ke atas langit sambil berdoa: “Ya Allah,
Engkau adalah wakilku. Balaslah apa yang telah diperbuatnya kepadaku”.
Wahai Rasulullah, setelah ibu saya berdoa tadi, umur saya tidak lebih dari tiga
hari dan kini saya disiksa di dalam kubur. Saya selalu menunggu
kedatanganmu agar Anda mendoakan dan memohonkan ampun atas dosa saya
tadi”.
Rasulullah Saw kemudian bersabda kepada para sahabatnya: “Hadirkan
ibu pemuda ini karena doa itu tidak akan dikabulkan tanpa ada keridhaan dari
ibunya”. Para sahabat pun kemudian menghadirkan ibu pemuda tadi. Setelah
berada di hadapan, Rasulullah Saw kemudian bersabda: “Ibu, maafkanlah dosa
anakmu itu karena kini ia sedang disiksa di dalam kubur”. Ibunya berkata:
“Tidak, saya tidak akan memaafkannya”. Rasulullah Saw kemudian bersabda
kembali: “Kalau demikian, anak ibu akan terus-terusan disiksa di dalam

kuburnya. Apakah ibu tidak merasa kasihan kepadanya?”. Setelah berpikir
panjang, akhirnya sang ibu tadi memaafkan dosa anaknya itu.

Rasulullah Saw kemudian bersabda kembali: “Mengapa tadi ibu tidak
memaafkannya dan kini memaafkannya?”. Ibu itu menjawab: “Tadinya saya
tidak mau memaafkannya hanya saja saya melihat pintu-pintu langit terbuka,
kemudian saya melihat para malaikat sedang menyeret dan mencambuk putra
saya dengan pecut-pecut dan rantai yang dipenuhi dengan api. Saya tidak tega
melihat itu, dan akhirnya saya memaafkannya”.
Setelah ibunya memaafkan, kuburan pemuda itu akhirnya menjadi sepi
dan tidak terdengar teriakan lagi.

KISAH ANAK DURHAKA YANG MEMUKULI
AYAHNYA
Sumber : http://www.kisahislam.net/2012/02/20/kisah-anak-durhaka-yangmemukuli-ayahnya/
Di sebuah jalan raya, terlihat ada seorang pemuda belia, berkulit coklat,
berotot kuat, di tangannya sebuah tongkat keras, yang dia gunakan untuk
memukuli seorang laki-laki tua yang telah berusia enam puluh tahun. Orang
tua itu berbadan kurus, diam tidak mengaduhkan pukulan tersebut. Orangorang di sekitarnya berkerumun melihat mereka berdua, bermaksud hendak
membebaskannya. Salah seorang dari mereka berkata kepada pemuda itu,

“Mengapa kamu memukuli orang tua malang ini? Tidakkah kamu takut kepada
Allah?” Orang yang lain berkata, “Apa yang telah diperbuatnya sehingga kamu
memukulinya dengan keras seperti ini?”
Akan tetapi pemuda itu terus memukuli orang tua tersebut dan tidak
menoleh sedikit pun kepada mereka. Orang yang lain lagi berkata, “Tidakkah
kamu takut kalau ada seseorang yang memukuli ayahmu seperti ini?”
Kemudian orang (yang terakhir) itu menoleh kepada orang-orang di
sekitarnya dan mengatakan kepada mereka, “Kalian harus mengadukan
pemuda ini kepada ayahnya, barangkali dia akan menegur dan memarahinya.
Siapa yang mengetahui ayah dari pemuda yang kejam ini?”
Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang terlihat memiliki wibawa dan
kehormatan. Dia berkata dengan tenang, “Aku tahu pemuda ini, dan aku tahu
siapa ayahnya. Sesungguhnya pemuda itu sedang memukuli ayahnya. Orang
tua malang yang dipukulinya ini adalah ayahnya sendiri.” Mendengar hal itu
orang-orang tercengang, raut wajah mereka berubah karena keterheranan yang
amat sangat.
Sungguh aneh, bagaimana mungkin ada seorang anak yang memukuli
ayahnya sendiri dengan kejam seperti ini? Mereka pun menyerang pemuda itu
dan membebaskan sang ayah dari pukulan anaknya. Namun sambil terengahengah, ayahnya berkata, “Biarkan aku, sungguh Allah Ta’ala telah
membalasku. Dahulu ketika aku masih muda, aku pernah memukuli ayahku

sama seperti ini, hanya karena dia meminta sebagian uang dariku.” Orangorang merasa takjub karena keadilan Allah Ta’ala. Allah berfirman,artinya,
”Dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya).”
(Fushshilat: 46). ( Aqibah Uquq al-Walidain, hal. 130-131.)
Sumber : “Sungguh Merugi Siapa yang Mendapati Orang Tuanya Masih Hidup
Tapi Tidak Meraih Surga”, Ghalib bin Sulaiman bin Su’ud al-Harbi, Pustaka
Darul Haq

SAAD BIN ABI WAQQASH, LELAKI PENGHUNI SURGA
Sumber:http://www.republika.co.id/berita/duniaislam/khazanah/12/01/17/
lxy715-kisah-sahabat-nabi-saad-bin-abi-waqqash-lelaki-penghuni-surga
“Aku adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang pertama yang
melepaskan anak panah di jalan Allah,” Demikianlah Sa’ad bin Abi Waqqash
mengenalkan dirinya. Ia adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang
pertama yang melepaskan anak panah dari busurnya di jalan Allah.
Sa’ad bin Abi Waqqash bin Wuhaib bin Abdi Manaf hidup di tengahtengah Bani Zahrah yang merupakan paman Rasulullah SAW. Wuhaib adalah
kakek Sa’ad dan paman Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah. Sa’ad
dikenal orang karena ia adalah paman Rasulullah SAW. Dan beliau sangat
bangga dengan keberanian dan kekuatan, serta ketulusan iman Sa'ad. Nabi
bersabda, “Ini adalah pamanku, perlihatkan kepadaku paman kalian!”
Keislamannya termasuk cepat, karena ia mengenal baik pribadi

Rasulullah SAW. Mengenal kejujuran dan sifat amanah beliau. Ia sudah sering
bertemu Rasulullah sebelum beliau diutus menjadi nabi. Rasulullah juga
mengenal Sa’ad dengan baik. Hobinya berperang dan orangnya pemberani.
Sa’ad sangat jago memanah, dan selalu berlatih sendiri. Kisah keislamannya
sangatlah cepat, dan ia pun menjadi orang ketiga dalam deretan orang-orang
yang pertama masuk Islam, Assabiqunal Awwalun.
Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada
ibunya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah
cintanya hanya untuk sang ibu yang telah memeliharanya sejak kecil hingga
dewasa, dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan. Ibu Sa’ad
bernama Hamnah binti Sufyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita
hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan
anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan
memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek
moyangnya; penyembah berhala.
Pada suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi Sa'ad di tempat
kerjanya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad
SAW, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad menanyakan, siapakah orang-orang
yang telah beriman kepada Muhammad SAW. Abu Bakar mengatakan dirinya
sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah.

Seruan ini mengetuk kalbu Sa’ad untuk menemui Rasulullah SAW,
untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pun memeluk agama Allah pada
saat usianya baru menginjak 17 tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki
pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq
dan Zaid bin Haritsah.

Setelah memeluk Islam, keadaannya tidak jauh berbeda dengan kisah
keislaman para sahabat lainnya. Ibunya sangat marah dengan keislaman Sa'ad.
“Wahai Sa’ad, apakah engkau rela meninggalkan agamamu dan agama
bapakmu, untuk mengikuti agama baru itu? Demi Allah, aku tidak akan makan
dan minum sebelum engkau meninggalkan agama barumu itu,” ancam sang
ibu. Sa’ad menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku!”
Sang ibu tetap nekat, karena ia mengetahui persis bahwa Sa’ad sangat
menyayanginya. Hamnah mengira hati Sa'ad akan luluh jika melihatnya dalam
keadaan lemah dan sakit. Ia tetap mengancam akan terus melakukan mogok
makan.
Namun, Sa’ad lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. “Wahai Ibunda, demi
Allah, seandainya engkau memiliki 70 nyawa dan keluar satu per satu, aku
tidak akan pernah mau meninggalkan agamaku selamanya!” tegas Sa'ad.
Akhirnya, sang ibu yakin bahwa anaknya tidak mungkin kembali

seperti sedia kala. Dia hanya dirundung kesedihan dan kebencian. Allah SWT
mengekalkan peristiwa yang dialami Sa’ad dalam ayat Al-Qur’an, “Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW, sedang duduk bersama para
sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat.
Kemudian Rasulullah kembali menatap mereka dengan bersabda, "Sekarang
akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki penduduk surga."
Mendengar ucapan Rasulullah SAW, para sahabat menengok ke kanan
dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia
yang menjadi penduduk surga. Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang
ditunggu-tunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash.
Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad
bin Abi Waqqash juga terkenal karena keberaniannya dalam peperangan
membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang
kepahlawanannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan
anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula
terkena anak panah. Ia hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap
pertempuran.
Kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah
SAW dengan jaminan kedua orang tua beliau. Dalam Perang Uhud, Rasulullah
SAW bersabda, "Panahlah, wahai Sa’ad! Ayah dan ibuku menjadi jaminan
bagimu." Sa’ad bin Abi Waqqash juga dikenal sebagai seorang sahabat yang
doanya senantiasa dikabulkan Allah. Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
pernah bersabda, “Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa.” Sejarah
mencatat, hari-hari terakhir Sa’ad bin Abi Waqqash adalah ketika ia memasuki

usia 80 tahun. Dalam keadaan sakit, Sa’ad berpesan kepada para sahabatnya
agar ia dikafani dengan jubah yang digunakannya dalam Perang Badar—
perang kemenangan pertama untuk kaum Muslimin.
Pahlawan perkasa ini menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun
55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia
dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para syuhada.

KISAH SEORANG WANITA YANG BERBAKTI KEPADA
IBUNYA
Sumber : http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/berbakti-kepada-keduaorang-tua.html
Yahya bin Katsir menceritakan, “Suatu ketika Abu Musa Al-Asy’ari
dan Abu Amirradhiyallahu ‘anhuma datang menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk berbaiat kepada beliau dan masuk Islam. Ketika itu,
beliau bertanya, ‘Apa yang kamu lakukan terhadap istrimu yang kamu tuduh
ini dan itu?’ Keduanya menjawab, ‘Kami tinggalkan dia bersama keluarganya.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya mereka
telah diampuni.’
‘Mengapa wahai Rasulullah?’ tanya mereka. Beliau menjawab, ‘Karena
dia telah berbuat baik kepada ibunya.’ Kemudian beliau melanjutkan, ‘Dia
memiliki ibu yang sangat tua. Suatu ketika ada orang yang berseru, ‘Hai, ada
musuh yang hendak memporak-porandakan kalian!’ Lalu ia menggendong
ibunya yang telah tua itu. Bila kelelahan, ia turunkan ibunya kemudian ia
gendong ibunya di depan. Ia taruh telapak kaki ibunya di atas telapak kakinya
agar ibunya tidak terkena panas. Begitu seterusnya hingga akhirnya mereka
selamat dari sergapan musuh.’”
Saudariku … renungkanlah, bila kita simak kisah di atas lebih
mendalam, kita akan mengetahui bahwa berbakti kepada orang tua—terutama
ibu—menjadi sebab kebahagiaan seseorang di dunia dan di akhirat. Maka
selayaknya kita berusaha agar bisa meraih kebahagiaan itu selagi orang tua kita
masih hidup. Kemudian bandingkanlah keadaan di zaman kita dengan kisah di
atas. Alangkah jauh perbedaannya! Apakah yang memberatkan kita untuk
berbakti kepadanya sebagaimana yang telah dilakukan oleh salafush shalih?
Apa yang menghalangi kita untuk berbakti kepadanya jika hal tersebut akan
membuat kita bahagia dan menjadi orang yang kaya pahala dan tenteram
hatinya?
Sungguh merugi jika kita mengetahui dekatnya surga denganberbakti
kepada kedua orang tua, tetapi kita malah melalaikannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda,
“Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika engkau ingin
maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah ia.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dalam hadits lain beliau juga bersabda, “Celaka, celaka, celaka!” Ada yang
bertanya,”Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang
mendapati salah satu atau kedua orang tuanya telah berusia lanjut, tetapi
tidak membuatnya masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim)

KISAH TENTANG KILAB BIN UMAIYAH DAN BAKTINYA
KEPADA ORANG TUA
Sumber
:
http://kisahmuslim.com/kisah-tentang-kilab-bin-umaiyah-danbaktinya-kepada-orang-tua/
Seorang laki-laki bernama Kilab bin Umayyah bin Askar. Dia memiliki
ayah dan ibu yang sudah tua. Dia menyiapkan susu untuk keduanya tiap pagi
dan petang hari. Kemudian datanglah dua orang menemui Kilab, mereka
membujuknya untuk pergi berperang. Ternyata Kilab tertarik dengan ajakan
tersebut, lalu dia membeli seorang hamba sahaya untuk menggantikannya
mengasuh kedua orang tuanya. Setelah itu Kilab pun pergi berjihad.
Suatu malam, hamba sahaya tersebut datang dan membawa gelas jatah
susu petang hari kepada ibu dan bapak Kilab, ketika keduanya sedang tidur.
Dia menunggu sesaat dan tidak membangunkannya lalu pergi. Di tengah
malam keduanya terbangun dalam keadaan lapar, bapak Kilab berkata,“Dua
orang telah memohon kepada Kilab dengan kitabullah. Keduanya telah
bersalah dan merugi. Kamu meninggalkan bapakmu yang kedua tangannya
gemetar, dan ibumu tidak bisa minum dengan nikmat. Jika merpati itu bersuara
di lembah Waj karena telur-telurnya, kedunya mengingat Kilab. Dia didatangi
oleh dua orang yang membujuknya. Wahai hamba-hamba Allah, sungguh
keduanya telah durhaka dan merugi. Aku memanggilnya lalu dia berpaling
dengan menolak. Maka dia tidak berbuat yang benar. Sesungguhnya ketika
kamu mencari pahala selain dari berbakti kepadaku, hal itu seperti pencari air
yang memburu fatamorgana. Apakah ada kebaikan setelah menyia-nyiakan
kedua orang tua? Demi bapak Kilab, perbuatannya tidak dibenarkan.”
Jika ada orang luar Madinah yang datang ke kota Madinah, Umar bin
Khatab radhiallahu ‘anhu selalu menanyakan tentang berita-berita dan
keadaan mereka. Umar bertanya kepada salah seorang yang datang, “Dari
mana?” Orang itu menjawab, “Dari Thaif.” Umar bertanya, “Ada berita apa?”
Orang itu menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki berkata (laki-laki ini
menyebut ucapan bapak Kilab di atas).” Umar menangis dan berkata,
“Sungguh Kilab mengambil langkah yang keliru.”
Kemudian bapak Kilab, Umaiyah bin Askar dengan penuntunnya
menemui Umar yang sedang di masjid. Dia mengatakan, “Aku dicela. Kamu
telah mencelaku tiada batas, dan kamu tidak tahu penderitaan yang kurasakan.
Jika kamu mencelaku, maka kembalikanlah Kilab manakala dia berangkat ke
Irak. Pemuda mulia dalam kesulitan dan kemudahan, kokoh dan tangguh pada
hari pertempuran. Tidak, demi bapakmu, cintaku kepadamu tidaklah usang.
Begitu pula harapanku dan kerinduanku kepadamu. Seandainya kerinduan
yang mendalam membelah hati, niscaya hatiku telah terbelah karena kerinduan
kepadanya. Aku akan mengadukan al-Faruq (maksudnya Umar bin Khattab)

kepada Tuhannya yang telah menggiring jamaah haji ke tanah berbatu hitam.
Aku berdoa kepada Allah dengan berharap pahala dari-Nya di lembah
Akhsyabain sampai air hujan mengalirinya. Sesungguhnya al-Faruq tidak
memanggil Kilab untuk pulang kepada dua orang tua yang sedang
kebingungan.”
Umar menangis, lalu beliau menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari
agar memulangkan Kilab ke Madinah. Abu Musa berkata kepada Kilab,
“Temuilah Amirul Mukminin Umarbin Khattab.” Kilab menjawab, “Aku tidak
melakukan kesalahan, tidak pula melindungi orang yang bersalah.” Abu Musa
berkata, “Pergilah!”
Kilab pulang ke Madinah. Ketika Umar bertemu dengannya, beliau
mengatakan, “Sejauh mana kamu berbuat baik kepada orang tuamu?” Kilab
menjawab, “Aku mementingkannya dengan mencukupi kebutuhannya. Jika
aku hendak memerah susu untuknya, maka aku memilih onta betina yang
paling gemuk, paling sehat dan paling banyak susunya. Aku mencuci puting
susu onta itu, dan barulah aku memerah susunya lalu menghidangkannya
kepada mereka.”
Umar mengutus orang untuk menjemput bapaknya. Bapak Kilab datang
dengan tertatih-tatih dan menunduk. Umar bertanya kepadanya, “Apa kabarmu,
wahai Abu Kilab?” Dia menjawab, “Seperti yang Anda lihat wahai Amirul
Mukminin.” Umar bertanya, “Apakah kamu ada kepeluan?” Dia menjawab,
“Aku ingin melihat Kilab. Aku ingin mencium dan memeluknya sebelum aku
mati.” Umar menangis dan berkata, “Keinginanmu akan tercapai insya Allah.”
Kemudian Umar memerintahkan Kilab agar memerah susu onta untuk
bapaknya seperti yang biasa dia lakukan. Umar menyodorkan gelas susu itu
kepada bapak Kilab sambil berkata, “Minumlah ini, wahai bapak Kilab.”
Ketika bapak Kilab mendekatkan gelas ke mulutnya, dia berkata, “Demi Allah,
aku mencium bau kedua tangan Kilab.” Umar mengatakan, “Ini Kilab, dia ada
di sini. Kami yang menyuruhnya pulang.” Bapak Kilab menangis dan Umar
bersama orang-orang yang hadir juga menangis. Mereka berkata, “Wahai
Kilab, temani kedua orang tuamu.” Maka Kilab tidak pernah lagi
meninggalkan mereka sampai wafat.