GLOBALISASI DAN KEMUNCULAN KONFLIK ETNIS

Globalisasi dan Kemunculan Konflik Etnis Pasca Perang Dingin : Suatu Kerangka Konseptual
(Windy Dermawan, S.IP., M.Si)
GLOBALISASI DAN KONFLIK ETNIS PASCA REFORMASI DI INDONESIA : SUATU
ISU DAN KERANGKA KONSEPTUAL
Oleh: Windy Dermawan, S.IP., M.Si.1
ABSTRACT
Globalization has now become an issue that is often discussed as to strengthen the development of
information and communication technology. An event at a particular place in the corner of the world will
spread and be known by the people in the other place through globalization. So it is the struggle of a
certain group increasingly apparent strengthening solidarity and consolidation when they rise up and
spread around the world.
The issue of ethnic conflict into an issue that appears when this post-Cold War. Focus to this issue
more prominent when the growing issues of human rights and democratic development around the
world. Ethnic conflicts often occur in a country through civil war caused by various factors such as the
imbalance in power, economic injustice, discrimination issues, social and cultural. Ethnicity becomes a
concept that is used as the basis for the movement of a particular struggle that has a network beyond
the boundaries of the country in which they reside. Melalaui globalization that is currently rife, ethnicity
becomes a research paper when the development of information and communication strengthen their
struggle to obtain decent life and the support of other fellow ethnic communities.
This study aimed to examine the conceptual basis of the development of globalization that reinforces
ethnic conflict. The issues raised are ethnic conflicts that occurred in Indonesia after the reform era by

photographing in general on matters which are the causes and effects of ethnic conflict in Indonesia.
Keywords: Globalization, Ethnic Conflict, International Relations

1 Windy Dermawan adalah dosen Mata Kuliah Resolusi Konflik dan Mata Kuliah Konflik Etnis dalam Hubungan
Internasional FISIP Unpad. Sekarang sedang mengikuti pendidikan Doktor di Bidang Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Padjadjaran.

CREDIBLE VOL. 1 NO. 3 MARCH-2013

Page 73

Globalisasi dan Kemunculan Konflik Etnis Pasca Perang Dingin : Suatu Kerangka Konseptual
(Windy Dermawan, S.IP., M.Si)
Pendahuluan
Pada dasawarsa terakhir ini, interaksi
antaraktor dalam hubungan internasional telah
menunjukkan ke arah perkembangan yang pesat
dibandingkan
pada
masa

sebelumnya.
Berakhirnya Perang Dingin telah memberikan
arah baru bagi bagi isu-isu di luar politik dan
keamanan. Munculnya isu-isu baru di luar isu
mainstream telah memberikan gambaran
bahwa hubungan internasional tidak hanya
didominasi oleh aktor-aktor negara tetapi juga
adanya peran dari aktor-aktor nonnegara yang
turut memberikan warna di dalam hubungan
internasional. Fenomena ini sudah tentu telah
membawa konsekuensi bagu di dalam interaksi
politik dunia, sehingga tidak lah mengherankan
apabila Stanley Hoffman mengatakan bahwa
dunia saat ini tengah memasuki era yang
kompleks (Hoffman, 1981: 25).
Globalisasi telah membawa peluang
bagi munculnya interaksi-interaksi yang
melintasi batas negara. Identitas-identitas
politik dapat lebih menonjol dan berinteraksi
tanpa adanya pembatasan ruang dan waktu.

Konsekuensi dari hal ini yaitu munculnya
identitas-identitas politik yang semakin kuat
sehingga
membawa
pada
menguatnya
solidaritas akan kelompoknya dan menguatnya
perbedaan identitas dengan kelompok lain. Bagi
negara yang memiliki keragaman etnis dan
kultur maka gejala ini akan memberikan peluang
bagi ancaman keamanan bagi negara tersebut.
Bahkan, apabila konflik etnis ini terjadi
antarnegara dengan keragaman etnisnya maka
akan memberikan pengaruh pada stabilitas
sistem intenasional. Di satu sisi, munculnya
konflik etnis dapat memberikan dampak buruk
terhadap keamanan di negara-negara tetangga,
di sisi lain hal ini dapat mengundang campur
tangan pihak asing dengan kepentingannya
sendiri yang dapat memperparah terjadinya

konflik.
Fenomena yang menarik adalah bahwa
dewasa ini dengan semakin kompleksnya
perkembangan dunia, kelompok identitas yang
dilandasi oleh etnis, agama dan identitas lainnya
dimungkinkan untuk saling berinteraksi

CREDIBLE VOL. 1 NO. 3 MARCH-2013

melewati batas wilayah teritorial negaranya.
Pada waktu yang bersamaan inilah, mereka
dapat berkonsolidasi dan memperkuat keeratan
masing-masing kelompoknya. pada titik ini,
negara dihadapkan pada masalah loyalitas
individu warga negara yang menyebar ke arah
keterikatan global dan subnasional dalam waktu
yang sama. Loyalitas tertinggi hanya pada
negara pun akhirnya dipertanyakan dan
diragukan keabsahannya (Prasetyono, 1995).
Sebelum berakhirnya Perang Dingin,

konflik etnis bukan merupakan bahasan yang
menarik bagi penstudi hubungan internasional.
Hal ini disebabkan karena pada pasa Perang
Dingin, perhatian dunia banyak tercurahkan
pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
perebutan kekuasaan dan hegemoni. Banyak hal
yang menjadi penyebab konflik etnis tidak
banyak mendapatkan perhatian bagi penstudi HI
pada waktu itu, diantaranya adalah kuatnya
paradimgma realisme yang memberikan
pembatasan terhadap studi mengenai konflik
etnis.
Paradigma ini telah menempatkan
peran negara dalam hubungan internasional.
Keamanan negara menjadi isu utama pada masa
Perang Dingin, dengan menekankan pada aspek
keamanan dari serangan negara lainnya dan
keamanan dalam menghadapi perang nuklir
(Morgenthau, 1993). Fokus perhatiannya adalah
keamanan eksternal, sehingga aspek-aspek lain

di dalam negeri yang dapat menjadi sumber
bagi munculnya konflik antarbangsa menjadi
terabaikan. Padahal, banyak sekali sumber
konflik internal yang dapat mengganggu
stabilitas internasional yang diakibatkan oleh
ketidakmampuan suatu negara di dalam
mengelola konflik yang muncul di dalam
negerinya (Giddens, 1985: 288).
Alasan lainnya yang menjadi penyebab
kurang diminatinya bahasan mengenai konflik
etnis adalah karena sebagian penstudi meyakini
bahwa konflik etnis akan hilang dengan
sendirinya seiring dengan kemajuan teknologi,
proses industrialisasi dan modernisasi di segala
bidang. Mereka mempercayai bahwa konflik
etnis akan dapat dihindari apabila interaksi

Page 74

Globalisasi dan Kemunculan Konflik Etnis Pasca Perang Dingin : Suatu Kerangka Konseptual

(Windy Dermawan, S.IP., M.Si)
antarmanusia semakin intensif sebagai akibat
dari kemajuan teknologi dan industrialisasi
(Ryan, 1990: xx). Sebagian orang percaya bahwa
dengan adanya perbaikan ekonomi yang
disebabkan oleh proses-proses tadi, maka hal
itu akan mengikis keinginan antaretnis untuk
saling bermusuhan. Bertemunya etnis-etnis
yang berbeda menyebabkan benturan-benturan
yang bersumber pada perbedaan identitas etnis,
meskipun hal ini dimungkinkan untuk
terciptanya asimilasi sebagai dampak positif dari
pertemuan tersebut.
Konflik etnis menjadi sorotan isu dalam
studi Hubungan Internasional pasca Perang
Dingin ketika ancaman keamanan tidak lagi
dilihat hanya munculnya serangan militer dari
luar negaranya, tetapi ancaman keamanan yang
timbul dari dalam negara yang dapat
mengganggu stabilitas politik dan ekonomi

negara tersebut. Konflik etnis menjadi salah satu
penyebab ancaman keamanan di dalam negara
karena dapat mengakibatkan instabilitas sosial,
ekonomi dan politik yang merugikan negara
tersebut.
Isu etnisitas dalam studi Hubungan
Internasional mulai mendapat perhatian ketika
munculnya disintegrasi Uni Soviet dan
Yugoslavia, sengketa Slovenia dengan Slovakia,
konflik Bosnia dan Serbia menjadi faktor yang
memicu kembali etno-politik dalam konteks
hubungan
antarnegara
(Breacher
dan
Winkenfeld, 1997: 164). Hal ini juga sejalan
dengan berkembangnya paradigma pluralisme
yang
menentang
pandangan

realisme.
Pluralisme dengan asumsi yang melekat
padanya memandang bahwa aktor dalam
hubungan internasional tidak hanya negara,
tetapi juga nonnegara yang dapat memainkan
peranan penting dalam politik dunia. Pluralisme
memandang terdapatnya keragaman isu dan
aktor dalam politik internasional yang salah
satunya adalah etnis. Para pemikir Pluralisme
melihat bahwa terdapat ketegangan antara
negara dengan rakyatnya, antaretnis di
dalamnya yang diakibatkan oleh kehadiran
perusahaan multinasional di suatu tempat.
Kehadiran perusahaan ini selain membawa

CREDIBLE VOL. 1 NO. 3 MARCH-2013

dampak positif berupa kesejahteraan ekonomi
di daerah itu juga membawa potensi untuk
memperkuat pembentukan identitas etnis.

Di Indonesia, konflik etnis seringkali
terjadi khususnya di daerah-daerah yang masih
kuat sifat fanatisme atau chauvinismenya.
Konflik etnis di Indonesia dapat beragam
penyebabnya yang salah satunya tidak dapat
dilepaskan dari peran suatu negara dalam
memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi
warganya.
Dengan
semakin
kuatnya
keterhubungan antara aktor domestik dengan
aktor global di era globalisasi dewasa ini, maka
Indonesia merupakan negara yang pernah
menginternasionalisasikan penyelesaian konflik
etnik. Pada konteks inilah, permasalahan
menjadi semakin luas ketika aktor-aktor asing
ikut campur terhadap konflik etnis yang muncul
di Indonesia. Terlebih lagi apabila kebangkitan
etnis yang mendorong terciptanya etnopolitik di

Indonesia dibantu oleh kekuatan asing yang
ingin meraih keuntungan dari gejolak konflik
internal di Indonesia. Sehingga dapat dikatakan
bahwa globalisasi memberikan kesempatan
kepada kelompok-kelompok identitas untuk
menemukan akar identitasnya ketika kelompokkelompok identitas tadi menjalin hubungan dan
interaksi dengan kelompok identitas yang sama
di wilayah teritorial lain.
Bagi Indonesia, konflik etnik menjadi
penting untuk dibicarakan karena berdasarkan
pengalaman
dalam
beberapa
tahun
sebelumnya, setiap konflik yang terjadi di
berbagai daerah di Indonesia melibatkan etnis.
Seperti halnya konflik etnis di Kalimantan Barat
yang melibatkan etnis Dayak, Melayu dan
Madura. Di Sampit, Kalimantan Tengah, konflik
terjadi antara etnis Dayak dengan etnis Madura.
Begitupun konflik terjadi di Ambon yang
melibatkan etnis setempat dengan etnis
pendatang dari suku Bugis, Butan, dan
Makassar. Sementara itu, konflik di Poso terjadi
antara etnis Tentena dan Galela, sedangkan di
Batam, konflik terjadi antara etnis Flores dan
etnis Batak.
Merujuk pada pernyataan Huntington
bahwa pada era globalisasi, budaya-budaya

Page 75

Globalisasi dan Kemunculan Konflik Etnis Pasca Perang Dingin : Suatu Kerangka Konseptual
(Windy Dermawan, S.IP., M.Si)
lokal yang bersifat keetnisan menguat, dan
penguatan budaya lokal ini dapat memunculkan
petaka konflik antarbudaya
yang tak
terselesaikan (Huntington, 2002: 227). Dia
menyatakan pula bahwa: "Umumnya orang
curiga terhadap mereka yang dipandang seabgai
'bukan kita' dan menganggap hal itu sebagai
ancaman". Pernyataan ini seakan menjadi
penolakan hipotesis bagi penganut modernisasi
dan industrialisasi yang menurut mereka bahwa
dengan
munculnya
industrialisasi
dan
modernisasi maka identitas keetnisan dan
budaya yang berbeda dan eksklusif pada
akhirnya akan menurun peranannya. Perbedaan
ini akan menghilang karena telah menjurus ke
arah proses asimilasi budaya dengan
mempersempit kesenjangan ekonomi dan
budaya antarmasyarakat (penduduk setempat
atau pendatang).
Tidak hanya itu, globalisasi telah
mengubah pola-pola ekonomi yang tidak lagi
disekat oleh interaksi di dalam batas wilayah
teritorial suatu negara. Pergerakan barang dan
jasa semakin masif terjadi sehingga di satu sisi
membawa dampak positif bagi pemenuhan
kebutuhan warga negara namun pula membawa
dampak negatif bagi negara-negara berkembang
dalam hal daya kompetisi produk di dalam
negerinya. Proteksi seakan menjadi hal yang
kontraproduktif dengan arus globalisasi itu
sendiri yang menafikan pembatasan arus barang
dan jasa yang keluar dan masuk ke dalam suatu
negara. Hal inilah yang menarik minat Peneliti
untuk menuangkan permasalahan tersebut ke
dalam makalah ini, sehingga Peneliti dapat
memahami munculnya konflik etnis yang tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi
dengan segala bentuk varian isu yang terdapat
di dalamnya. Globalisasi telah memberikan
dorongan bagi terbentuknya identitas dan
kesadaran etnis dan sebaliknya kelompok
etnis bereaksi merespon melalui perlawanan
terhadap globalisasi sehingga terjadi benturan
konflik di antara keduanya.
Tulisan ini akan berupaya untuk
mendalami keterkaitan antara globalisasi dan
fenomena munculnya konflik etnis di suatu

CREDIBLE VOL. 1 NO. 3 MARCH-2013

negara, di Indonesia sebagai negara yang
multietnik dan multikultur. Makalah ini juga
akan menyoroti bagaimana globalisasi dalam
aspek budaya dan ekonomi memberikan
dampak bagi terjadinya konflik etnik di
Indonesia.
Kerangka Konseptual
Dewasa ini hampir tidak ada peristiwa di
sudut kota suatu negara tertentu yang tidak
diketahui oleh penduduk di wilayah negara
lainnya. Proses pertukaran informasi dan
komunikasi semakin massif terjadi dengan
berkembangnya teknologi informasi dan
komunikasi. Hal ini telah membawa dunia pada
satu
keadaan
yang
menyatu
tanpa
mengindahkan batas-batas negara (borderless).
Kondisi di atas telah menunjukkan bahwa
globalisasi merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari dan terjadi secara massif ke seluruh
penjuru dunia.
Globalisasi
merupakan
proses
multiaspek dimana negara dan masyarakat
dunia semakin tersatukan menjadi suatu
masyarakat dan ekonomi global (Shimko, 2005:
196). Globalisasi dapat dikatakan pula sebagai
intensifikasi hubungan sosial di seluruh dunia
yang menghubungkan wilayah-wilayah lokal
sehingga kejadian yang terjadi di wilayah lokal
dibentuk oleh peristiwa yang terjadi di tempat
yang jauh dan sebaliknya (Giddens dalam
McGrew, 2008: 17). Pendapat lain menyebutkan
bahwa globalisasi dicirikan oleh penghapusan
batas-batas
untuk
melakukan
kegiatan
perdagangan, komunikasi dan pertukaran
budaya (Jones, 2011). Globalisasi dapat
diartikan sebagai perluasan, pendalaman, serta
pergerakan yang cepat dalam keterhubungan
secara luas dan mendunia atas semua aspek
kehidupan social dalam dunia kontemporer
(Held and McGrew, 1992).
Dari pengertian di atas, globalisasi
dicirikan melalui tiga aspek, yaitu perdagangan,
komunikasi dan pertukaran budaya. Globalisasi
perdagangan mengedepankan keuangan yang
transparan serta berlangsungnya sistem
ekonomi pasar bebas. Globalisasi ini diwujudkan

Page 76

Globalisasi dan Kemunculan Konflik Etnis Pasca Perang Dingin : Suatu Kerangka Konseptual
(Windy Dermawan, S.IP., M.Si)
melalui berkembangnya organisasi-organisai
internasional yang bergerak di bidang
perdagangan
dan
mengatur
kegiatan
perdagangan negara anggotanya. Globalisasi
komunikasi
berintikan
pada
mudahnya
komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang di
dunia sehingga jarang menjadi tidak berarti lagi.
Globalisasi ini diwujudkan melalui terciptanya
jejaring sosial yang dapat dipergunakan oleh
setiap individu dari negara mana saja untuk
berkomunikasi. Sementara itu, globalisasi
pertukaran budaya mengedepankan terciptanya
suatu kebudayaan global di antara seluruh
masyarakat di dunia.
Senada dengan pendapatnya Jones,
globalisasi menurut Jan Art Scholte melingkupi
lima
aspek
yang
masing-masing
mempengaruhhi karakteristik interaksi aktoraktor dalam ekonomi politik internasional.
Pertama, globalisasi mencakup internalization,
yaitu meningkatnya hubungan lintas batas
antara aktor-aktor internasional dengan
terwujudnya aliran barang, jasa, modal,
teknologi dan manusia. Kedua, globalisasi
mencakup
liberalization,
mencakup
pengurangan atau peniadaan hambatan
perdagangan
sehingga
menciptakan
perekonomian yang terbuka dan dikendalikan
oleh mekanisme pasar. Ketiga, globalisasi
mencakup universalization dalam bentuk
penyebaran
nilai-nilai
universal
seperti
demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Keempat,
westernization, bahwa globalisasi sebagai
kelanjutan dari proses modernisasi melalui
penyebaran
kapitalisme,
rasionalisme,
industrialism, dan konsumerisme ke negaranegara berkembang yang sulit dibantah
penyebarannya. Kelima, globalisasi menciptakan
proses deterriorialization atau disebut juga
sebagai a spread of supraterritoriality. dengan
munculnya regulasi atau institusi yang
melampaui territorial negara bangsa, dan
territorial suatu negara kehilangan maknanya
(Scholte, 2000: 16).
Globalisasi memberikan pengaruh besar
bagi terciptanya konflik etnis. Pada konteks ini,
isu konflik etnis lebih bersifat kultural, ekonomi

CREDIBLE VOL. 1 NO. 3 MARCH-2013

dan politik. Globalisasi telah menimbulkan krisis
identitas bagi berbagai komunitas etnis, yang
diakibatkan oleh modernisasi budaya dan
perkembangan
kapitalisme.
Gelombang
modernisasi dan kapitalisme di dalam teritorial
suatu negara telah menciptakan ketimpangan
pembangunan antar daerah dan komunitas
etnis. Respon terhadap krisis identitas dan
ketimpangan sosial ekonomi ini seringkali
menimbulkan berkembangnya gerakan-gerakan
sosial anti globalisasi berbasi pada etnis dan
agama (Pieterse, 1996; Giddens, 1994).
Ketegangan etnis yang timbul akibat
globalisasi ini juga muncul akibat pergesekan
antara kaum migran dan diaspora ke berbagai
negara. Globalisasi mendorong perpindahan
penduduk dari satu negara ke negara lainnya
secara fleksibel dan mudah. Hal ini berakibat
pada munculnya komunitas migran di berbagai
wilayah yang menimbulkan pergesekan dengan
komunitas etnis yang telah ada sebelumnya.
Permasalahan lain yang muncul adalah
komunitas migran tadi cenderung mengalami
disilusi di tengah-tengah komuinitas baru. Hal
ini menyebabkan munculnya fundamentalisme
tradisi-agama
dengan
memunculkannya
kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang mereka
miliki di tanah kelahirannya. Berkembangnya
komunitas ini seringkali menimbulkan reaksi
negatif disertai dengan munculnya rasisme
terhadap komunitas asli dimana mereka tinggal.
Sikap rasisme dan fundamentalisme inilah yang
menimbulkan pergesekan atau konflik etnis
diantara mereka.
Kaldor menyatakan bahwa globalisasi
telah menyebabkan komunitas masyarakat
terpecah ke dalam identitas sosial dan politik
yang berbeda. Globalisasi merupakan proses
yang kompleks yang melibatkan lokalisasi,
integrasi dan fragmentasi, homogenisasi dan
heterogenisasi.
Proses
ini
ternyata
memunculkan kelompok masyarakat yang
inklusif dalam penggunaan bahasa dan budaya.
Proses ini pun telah menyingkirkan sejumlah
orang yang tidak sejalan dengan universalisasi,
homogenisasi dan integrasi yang dibawa oleh
kemajuan pesat teknologi informasi dan

Page 77

Globalisasi dan Kemunculan Konflik Etnis Pasca Perang Dingin : Suatu Kerangka Konseptual
(Windy Dermawan, S.IP., M.Si)
komunikasi. Kelompok ini tidak menganggap
bahwa mereka bagian dari komunitas global
(Kaldor, 2006: 73).
Pada titik inilah, politik identitas yang
bersumber pada etnis, agama dan ras dijadikan
instrumen bagi perlawanan. Konflik ini kian
meluas hingga menimbulkan perang baru (new
war) yang melibatkan identitas-identitas baru
yang muncul akibat globalisasi. New war
berlangsung
secara
tidak
terorganisasi,
menggunakan simbol-simbol identitas dan
berkeinginan untuk memecahkan integrasi yang
telah terbentuk. Globalisasi memberikan
kontribusi besar bagi terciptanya perang model
baru ini (Kaldor, 2006: 80).
Uraian kerangka konseptual di atas akan
menjadi bingkai bagi pembahasan di dalam
makalah ini, yaitu bahwa Penulis akan
menyoroti keterkaitan antara globalisasi dengan
timbulnya konflik etnis sebagai bagian dari
konflik internal yang terjadi di Indonesia sebagai
negara yang multietnik dan menjadi bagian
dalam percaturan politik dunia.
Pembahasan
Indonesia dapat dijadikan ilustrasi
bagaimana globalisasi ekonomi menciptakan
ketimpangan ekonomi yang melahirkan konflik
etnik di dalam negeri. Kebijakan pasar bebas
pada tahn 1980 hingga 1990an telah
menyebabkan suatu situasi dimana mayoritas
kecil etnis Tionghoa yang hanya sebesar 3%
penduduk Indonesia mampu mengendalikan
70% sektor ekonomi swasta. Secara absolut,
pendapatan rata-rata mayoritas pribumi
sebenarnya meningkat sebagai bagian dari
terbentuknya pasar yang mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan ini
tidak menimbulkan pemerataan kesejahteraan
sehingga terjadi ketimpangan pendapatan yang
akhirnya minoritas etnis Tionghoa dibenci di
setiap
lapisan
masyarakat.
Lahirnya
demokratisasi pada tahun 1998 yang dipuji oleh
Amerika Serikat, ternyata menimbulkan
kekerasan. Sekitar 5000 toko dan rumah-rumah
etnis Tionghoa dibakar dan dijarah, 2000 Orang
meninggal dan sekitar 150 Orang perempuan

CREDIBLE VOL. 1 NO. 3 MARCH-2013

dari etnis Tionghoa menjadi korban pelecehan
seksual. Saat ini, konglomerat dari etnis
Tionghoa masih menguasai kepemilikan saham
dari perusahaan-perusahaan besar di Indonesia.
Demokrasi memang merupakan bentuk
sistem politik yang ideal saat ini, namun
kelompok minoritas akan mengalami kesulitan
saat demokrasi terlibat di dalam ekonomi pasar
bebas. Dalam konteks ini, kelompok minoritas
Tionghoa yang berada pada level ekonomi
menengah ke atas dan dominan di bidang
ekonomi tengah menikmati keuntungan besar
dari diterapkannya sistem ekonomi pasar bebas
sebagai bagian dari wujud globalisasi ekonomi.
Sistem ini telah membiarkan orang kuat (the
have) berkompetisi dan mengalahkan orang
lemah (the have not). Ketidakadilan ini justru
dibalas oleh kelompok masyoritas pribumi
dengan menggunakan sistem demokrasi yang
didasarkan pada sistem voting. Dalam sistem ini,
maka jelas minoritas etnis tidak memiliki
peluang besar untuk duduk di dalam sistem
pemerintahan.
Pada pembahasan ini akan dipaparkan
mengenai efek dari globalisasi terhadap
kemunculan konflik etnis di Indonesia yang
pembahasannya akan dilihat dari sisi globalisasi
politik,
ekonomi
dan
sosial
yang
perkembangannya memicu konflik horizontal
maupun vertical di Indonesia.
Globalisasi Ekonomi dan Kemunculan MarketDominant Minorities
Perkembangan globalisasi ekonomi di
Indonesia semakin massif seiring dengan
berkembangnya kerjasama internasional di
bidang ekonomi dan regionalisme yang telah
meminimalisir berbagai hambatan tariff dan non
tariff dalam perdagangan. Di satu sisi, kondisi ini
memberikan peluang bagi para pengusaha di
Indonesia untuk berkompetisi secara global dan
memanfaatkan keuntungan dari praktek
perdagangan internasional, namun di sisi lain
kondisi ini menjadi ancaman bagi pengusaha
yang tidak siap untuk berkompetisi karena
produknya belum siap untuk bersaing dengan
produk sejenis dari luar negeri. Bagi pengusaha

Page 78

Globalisasi dan Kemunculan Konflik Etnis Pasca Perang Dingin : Suatu Kerangka Konseptual
(Windy Dermawan, S.IP., M.Si)
dengan modal besar, maka perkembangan
globalisasi ekonomi dengan bertumpu pada
pasar bebas ini memberikan keuntungan
tersendiri untuk memperluas pasarnya, baik di
dalam maupun di luar negeri. Amy Chua, dalam
bukunya World on Fire menguraikan secara
gambling
bagaimana
diterapkannya
demokratisasi free-market democracy di negaranegara berkembang memunculkan kebencian
etnis
dan
ketidakstabilan
global.
Dia
mengungkapkan bahwa kapitalisme pasar bebas
telah memicu munculnya market-dominant
minorities, yaitu kelompok minoritas kaya yang
mendapatkan kekayaannya karena sistem
ekonomi pasar, mereka memiliki akses ekonomi
yang besar, mampu dan berhasil menguasai
ekonomi secara keseluruhan. secara alamiah
sudah menjadi suatu “hukum” sistem ekonomi,
bahkan secara internasional. Dalam konteks
Indonesia, kelompok minoritas kaya dalam hal
ini adalah etnis Cina. Di beberapa negara di Asia
Tenggara pun, etnis Cina menonjol dari segi
ekonomi dan menguasai pasar secara dominan
dibandingkan etnis lainnya.
Dominasi ekonomi oleh etnis minoritas
ini secara kondusif terjadi karena dukungan
sistem ekonomi pasar bebas, mereka mampu
berkompetisi dengan etnis lainnya (termasuk
dalam hal ini adalah etnis pribumi) dikarenakan
kepemilikan modal dan akses mereka terhadap
pasar. Sementara itu, mayoritas yang tidak
memiliki pasar, semakin terpuruk dalam hal
ekonomi dan kehidupan yang berada di bawah
garis kemiskinan. Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa terdapat etnis pribumi yang
mempu menembus pasar dan memiliki akses
terhadap perekonomian nasional, namun
mereka hanyalah segelintir orang dan sedikit
jumlahnya sehingga tidak menonjol. Bahkan,
Chua menyatakan bahwa etnis Cina dengan
populasi 3% di Indonesia dapat menguasai 70%
perekonomian
Indonesia.
Hal
ini
menggambarkan bagaimana dampak dari sistem
ekonomi pasar bebas yang akan membuka
peluang bagi kebencian etnis sehingga
melahirkan konflik etnis di antara pihak-pihak
yang terlibat.

CREDIBLE VOL. 1 NO. 3 MARCH-2013

Kepemilikan terhadap pasar yang
mendominasi tentunya membawa dampak pada
munculnya gap antara etnis yang memiliki akses
terhadap perekonomian pada posisi di kalangan
menengah ke atas, dengan etnis mayoritas yang
tidak memiliki akses dan berada di ekonomi
menengah ke bawah. Kebencian ini semakin
memuncak
ketika
terdapat
momen
demokratisasi, dimana kelompok mayoritas
dapat
menang
menghadapi
kelompok
minoritas. Demokrasi lah sebagai penawar bagi
kelompok mayoritas yang benci terhadap
kelompok minoritas yang menguasasi pasar dan
memunculkan ketimpangan ekonomi yang
besar. Pada kondisi ini, kelompok mayoritas
yang dapat menang lewat pemilu akan
memanfaatkan kemenangan mereka dengan
membuat produk hukum atau kebijakan yang
membatasi bahkan memangkas hak dari market
dominant minorities. Diskriminasi ini secara
umum dilakukan melalui bidang politik dan
pemerintahan. Kerusuhan yang terjadi pada
awal lahirnya era reformasi dan demokratisasi
pada tahun 1998 yang diawali oleh jatuhnya
Rezim Orde Baru telah memperlihatkan kepada
kita bagaimana kebencian dari etnis mayoritas
terhadap minoritas Cina. Kerusuhan tersebut
telah memakan korban bagi etnis minoritas di
Indonesia, baik pembunuhan, penjarahan,
pemerkosaan maupun diskriminasi pasca
kerusuhan terjadi.
Kebencian terhadap etnis minoritas
yang menguasai pasar pun muncul tatkala etnis
minoritas dekat dan menjalin hubungan yang
erat
dengan
sebagian
kecil
politisi
pemerintahan. Dalam kondisi ini, etnis minoritas
menjalin kedekatan untuk mengamankan
kepentingan bisnisnya di Indonesia. Kedekatan
ini membawa keuntungan bagi kedua belah
pihak. Di satu sisi para politisi membutuhkan
sokongan yang kuat dari sisi ekonomi dan
financial untuk melanggengkan kekuasaannya,
namun di sisi lain etnis minoritas membutuhkan
kondusifitas politik dan perlindungan keamanan
dalam menjalankan gurita ekonominya.
Globalisasi ekonomi pun memicu
berkembangnya
perusahaan-perusahaan

Page 79

Globalisasi dan Kemunculan Konflik Etnis Pasca Perang Dingin : Suatu Kerangka Konseptual
(Windy Dermawan, S.IP., M.Si)
transnasional
dan
multinasional
(transnational/multinational
corporations).
Perusahaan ini berkembang dengan membuka
anak cabang di tiap-tiap negara. Perkembangan
dari perusahaan-perusahaan ini memang
membawa dampak positif bagi devisa negara,
namun terkadang membawa dampak negative
ketika perusahaan tersebut tidak menyertakan
tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan
lingkungan dimana dia berada. Pola rekruitmen
yang tidak memperhatikan etnis pribumi akan
memicu konflik antara masyarakat dengan
perusahaan dimana ia berada. Seringkali hal ini
terjadi ketika kalangan eksekutif di suatu
perusahaan
multinasional
(MNC)
tadi
memanfaatkan tenaga-tenaga asing atau tenaga
ahli yang berasal dari wilayah lain, hal ini
memunculkan
kecemburuan
etnis
dari
masyarakat setempat, sehingga tidak dapat
dihindari akan memunculkan konflik yang
melibatkan etnis setempat. Selain itu pula,
pembangunan dan eksplorasi sumber daya alam
yang dilakukan oleh MNC yang tidak
memperhatikan dampak terhadap lingkungan
dalam jangka panjang juga bagaimana fungsi
hutan bagi masyarakat sekitarnya, maka hal ini
pun dapat memicu konflik etnis.
Salah satu contoh kasus dalam hal ini
adalah PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang
merupakan salah satu MNC di Amerika Serikat
yang ada di Indonesia di sektor pertambangan.
Keberadaan PTFI di Indonesia diharapkan dapat
membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Manfaat adanya PTFI ini adalah tersedianya
lapangan kerja bagi masyarakat dan penduduk
sekitarnya. Namun selain manfaat, ternyata
keberadaan PTFI ini seringkali menjadi sorotan
tatkala terdapat eksploitasi pekerja lokal oleh
MNC. Gaji para pekerja lokal yang direkrut dari
etnis Papua sangatlah rendah bila dibandingkan
dengan gaji para pekerja asing atau luar Papua
atau pun gaji yang diberikan Freeport terhadap
pekerja lokal di negara lainnya. Upah buruh
yang rendah sementara harga produk yang
tinggi menimbulkan ketimpangan yang besar
dan kecemburuan sosial bagi para pekerja etnis
Papua. Kerapkali terjadi kecemburuan etnis

CREDIBLE VOL. 1 NO. 3 MARCH-2013

yang diungkapkan melalui aksi sporadis dan
anarkisme antara kelompok etnis Papua dengan
perusahaan yang bersangkutan.
Globalisasi
Politik
dan
Munculnya
Internationalized Ethnic Conflict
Globalisasi di bidang politik telah
membawa konsekuensi bagi keterbukaan politik
dan demokratisasi di segala bidang. Gelombang
demokratisasi yang melanda Dunia Ketiga
menjadi suatu momentum besar dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
yang
partisipatif,
transparan
dan
akuntabel.
Globalisasi telah membawa dampak yang besar
bagi negara-negara berkembang, terutama lagi
Indonesia.
Peningkatan
kualitas
kinerja
pemerintahan menjadi pilar bagi terwujudnya
tata pemerintahan yang baik dan pemerintah
yang bersih atau “Good Governance and Clean
Government” sebagaimana yang dipromosikan
oleh World Bank, UNDP, United Nations dan
beberapa agen internasional lainnya (Edralin,
1997:4). Visi instiusi pemerintahan yang jelas,
bekerja efisien dan efektif, transparan dalam
pengambilan keputusan, akuntabel dalam
berbagai tindakan dan keputusan, menghormati
hak asasi manusia, dan sebagainya, merupakan
nilai-nilai utama yang perlu mendapatkan
perhatian yang serius. Dengan demikian,
melalui keran demokrasi ini lah dapat menjadi
jembatan bagi partisipasi politik warga negara
dalam mewujudkan prinsip-prinsip Good
Governance and Clean Government di
Indonesia.
Dalam upaya mewujudkan prinsipprinsip demikian, maka partisipasi warga dan
keterwakilan politik mereka patut diperhatikan.
Prinsip ini tentunya bertentangan dengan
karakteristik pemerintahan yang otoriter dan
mengabaikan
aspirasi
dari
masyarakat.
Penekanan terhadap stabilitas politik dan
keamanan yang secara kaku dilakukan telah
mengabaikan hak sipil dan politik dari kelompok
etnis tertentu sehingga mereka memendam
rasa tidak puas dan frustrasi yang mendalam.
Pada masa Era Orde Baru, pemerintah meyakini
bahwa melalui kekuasaan yang terpusat, hal ini

Page 80

Globalisasi dan Kemunculan Konflik Etnis Pasca Perang Dingin : Suatu Kerangka Konseptual
(Windy Dermawan, S.IP., M.Si)
akan menjamin kontrol yang efektif atas
rakyatnya. Bahkan, kekuatan militer digunakan
untuk besifat opresif dan menindas setiap
bentuk protes dan perlawanan terhadap
kekuasaan yang otoriter pada saat itu. Pada titik
inilah, maka muncul benih-benih kebencian dari
etnis yang merasa tertindas dan tidak memiliki
hak yang sama dalam pemerintahan. Pada masa
Orde Baru, hal ini diperparah dengan
mendominasinya etnis Jawa dibandingkan
dengan etnis-etnis lainnya. Sistem politik
otoriter ini akhirnya tumbang melalui suatu
gerakan revolusioner yang tentunya banyak
pihak yang tidak merasa kuat lagi memendam
kemarahan terhadap rezim Orde Baru yang
berkuasa secara otoriter.
Keran reformasi dan demokratisasi
dimulai pasca tumbangnya rezim Orde Baru.
Pada masa ini, proses transisi dimulai untuk
menegakkan
demokrasi.
Pemilu
yang
diselenggarakan merupakan upaya untuk
mengkonfigurasikan keterwakilan politik dari
tiap-tiap kelompok identitas dalam masyarakat,
termasuk dalam hal ini adalah kelompok etnis.
Bagi Aceh dan Papua, demokratisasi ini
membawa peluang untuk mengelola kekayaan
potensial di daerahnya oleh etnis pribumi dan
memberikan kesempatan bagi kelompok asli
daerah untuk memiliki peluang dalam meraih
kepemimpinan di daerahnya. Namun demikian,
situasi ini pun tidak dapat terlepas dari konflik
etnis. Justru dengan menguatnya globalisasi di
bidang politik, primordialisme dan sentimen
etnis mudah dibangkitkan melalui beragam isu
yang didukung oleh kecanggihan teknologi
informasi dan komunikasi. Propaganda asing
melalui media massa dapat dengan mudah
menyulut sentimen etnis dan membangkitkan
primordialisme. Sebagai contoh, konflik yang
terjadi secara internal di Indonesia dapat
dengan mudah dicampuri oleh kepentingan
asing dan agenda politik mereka. Gerakan Aceh
Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka
merupakan dua organisasi yang dalam
melaksanakan kepentingannya tidak terlepas
dari bantuan atau dukungan asing yang memiliki
kepentingan terhadap Indonesia. Suatu konflik

CREDIBLE VOL. 1 NO. 3 MARCH-2013

yang terjadi secara internal dapat berubah
menjadi konflik internasional (internationalized
ethnic conflict) karena adanya muatan dan
campur tangan asing di dalam konflik tersebut.
Pada saat menguatnya peran aktor
nonnegara (nonstate actor) di tingkat regional
dan internasional sebagai dampak dari
globalisasi, maka pada saat yang sama
globalisasi telah membawa konsekuensi pada
melemahnya
kedaulatan
negara
dan
memperkuat aktor domestik. Di titik inilah aktor
nonnegara yang dalam bentuk kelompok etnis
dapat memicu gejala disintegrasi bangsa. Pada
dua contoh kasus GAM dan OPM hal ini menjadi
pelajaran berharga bagi Indonesia bagaimana
mengelola kesejahteraan ekonomi yang merata
dengan tetap memperhatikan keterwakilan
politik sehingga gejala disintegrasi yang dipicu
oleh pengaruh asing dapat dihindari.
Kesimpulan
Indonesia yang sarat dengan keragaman
etnis dan kultur, menjadi rentan terhadap segala
bentuk provokasi yang dapat memecah belah
persatuan dan kesatuan bangsa. Globalisasi
dapat menjadi salah satu pemicu bagi keretakan
sosial dan ketidakstabilan politik, terlebih
terdapatnya campur tangan asing yang memiliki
kepentingan di Indonesia. Konflik etnis menjadi
fenomena yang mudah untuk disulut
sebagaimana pengalaman-pengalaman masa
lalu yang pernah terjadi di negeri ini. Bagi negeri
ini, sudah selayaknya terdapat mekanisme yang
dapat mempertemukan dan mempersatukan
segala aspirasi yang muncul dari tiap-tiap
kelompok etnis di Indonesia. Mekanisme ini
dapat melalui pemilu yang transparan, jujur dan
adil dengan memperhatikan konfigurasi yang
adil bagi kelompok-kelompok identitas yang
ada. Lembaga yang demokratis dan pembagian
kekuasaan merupakan cara terbaik untuk
melindungi
hak-hak
kelompok
dalam
masyarakat. Penerapan prinsip Otonomi Daerah
menjadi salah satu bentuk mekanisme dalam
membentuk
lembaga
demokratis
dan
pembagian kekuasaan ini. Ataupun juga melalui
mekanisme ruang public nonformal untuk dapat

Page 81

Globalisasi dan Kemunculan Konflik Etnis Pasca Perang Dingin : Suatu Kerangka Konseptual
(Windy Dermawan, S.IP., M.Si)
menjadi sarana bagi penguasa dengan rakyatnya
dalam berdialog, mengemukakan kritik dan
autokritik guna membangun bangsa secara
bersama.
Sudah sepatutnya pula Indonesia
memajukan konsep multikulturalisme dalam
pendidikan dan pengajaran sebagai upaya untuk
memahami dan mengagungkan perbedaan
dalam kesederajatan di antara kelompokkelompok masyarakat yang ada. Melalui
pendidikan lah menjadi cara yang efektif untuk
mendewasakan bangsa ini dan menjauhkannya
dari sentiment –sentimen etnis yang mengarah
pada disintegrasi bangsa. Selain itu pula, ikatan
nasionalisme harus menjadi code of conduct
dan common culture dalam pelaksanaan
pembangunan nasional. Melalui ikatan ini,
keragaman kelompok identitas atas dasar
agama, etnis, bahasa dan sebagainya dapat
diikat untuk sama-sama membangun bangsa
guna mencapai kesejahteraan bersama.
Indonesia sudah sepatutnya pula
mengakui dan menghormati hak-hak sipil dan

CREDIBLE VOL. 1 NO. 3 MARCH-2013

politik kaum minoritas etnis maupun
keagamaan. Dalam demokrasi setiap orang pada
prinsipnya boleh menganut ideologi apapun
sepanjang tidak menggunakan ideologinya
untuk merugikan pihak lain. hak-hak sipil dan
politik kaum minoritas etnis mutlak dilindungi
dan memiliki tempat dalam negara ini untuk
bersama-sama dalam membangun bangsa.
Keadilan dicapai tidak hanya bagi kaum
minoritas, tetapi juga kaum mayoritas, sehingga
kemunculan market dominant minorities di
Indonesia tidak membawa dampak yang besar
bagi keretakan kehidupan sosial dan politik,
karena masing-masing kelompok memiliki
kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Konflik memang tidak dapat dihindari,
tetapi konflik dapat diselesaikan dengan cara
yang bijak sehingga tidak akan melahirkan
konflik baru yang lebih besar. Melalui
pendekatan humanisme dan resolusi konflik
yang menekankan pada proses penciptaan
perdamaian yang langgeng dapat tercapai.

Page 82

DAFTAR PUSTAKA

Scholte, Jan Aart. 2001. Globalization: a Critical Introduction. New York: Palgrave.
Prasetyono, Edy. 1995. Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Informasi terhadap Hubungan Internasional. Makalah
seminar. Tidak Dipublikasikan.
Ryan, Stephen. 1990. Ethnic Conflict and International Relations. London: Dartmouth Publiching Co.
Morgenthau, Hans J. 1993. Politics Among Nations : The Struggle for Power and Peace. United States : McGraw-Hill.

Giddens, Anthony. 1985. Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics. Polity Press.
Breacher, Michael and Jonathan Wilkenfeld. 1997. A Study of Crisis. Ann Arbor: University of Michigan Press.
Chua, Amy. 2004. World on Fire: How Exporting Free-Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability.
London : Arrow Books.
Huntington, Samuel. 2002. The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster.
Shimko, Keith L. 2005. International Relations: Perspectives and Controversies. Boston: Houghton Mifflin Company.
McGrew, Anthony. 2008. Globalization and Global Politics, dalam dalam Baylis, John & Smith, Steve (eds.). The
Globalization of World Politics. 2nd edition, Oxford University Press.
Jones, Steve. What is Globalization, diakses dari http://usforeignpolicy.about.com/od/introtoforeign policy/a/What-IsGlobalization.htm. pada Desember 2012 pukul 10.06 WIB.
Held, David and Anthony McGrew. 2003. The Global Transformations Reader An Introduction to The Globalization
Debat. 2nd ed. Cambridge: Polity Press.
Kaldor, Mary. 2006. New & Old Wars: Organized Violence in a Globalized Era. Stanford: Stanford University Press.