PENGARUH KONSUMSI ENERGI TERHADAP PERTUM

PENGARUH KONSUMSI ENERGI TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA
PERIODE 1980-2012

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Mohammad Fariz
NIM. 115020101111030

JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL

Artikel Jurnal dengan judul :
PENGARUH KONSUMSI ENERGI TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI DI INDONESIA PERIODE 1980-2012

Yang disusun oleh :
Nama

:

Mohammad Fariz

NIM

:

115020101111030

Fakultas

:

Ekonomi dan Bisnis


Jurusan

:

S1 Ilmu Ekonomi

Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang
dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 06 Juli 2015

Malang, 06 Juli 2015
Dosen Pembimbing,

Dr. Sri Muljaningsih, SE., M.Sp.
NIP. 19610411 198601 2 001.

Pengaruh Konsumsi Energi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Periode 1980-2012
Mohammad Fariz, Sri Muljaningsih
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Email: faris.syah11@gmail.com
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh konsumsi energi terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang dilatarbelakangi oleh kondisi keenergian Indonesia yang
memiliki ketergantungan tinggi terhadap minyak, melupakan kebijakan konservasi, elektrifikasi
yang rendah dan aksesibilitas energi yang rendah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kuantitatif dengan pendekatan analisis Vector Error Corection Model (VECM)
dengan data time series periode 1980-2012. Dalam penelitian ini, energi diposisikan sebagai
input produksi sehingga harus disertakan input neoklasik berupa modal dan tenaga kerja guna
menghindari estimasi yang bias. Selain itu juga disertakan variabel eksogen berupa dummy krisis
sebagai variabel kontrol waktu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi
dipengaruhi oleh total konsumsi energi. Kenaikan total konsumsi energi akan menyebabkan
peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek meski tidak signifikan dan dalam waktu
singkat, sementara itu dalam jangka panjang total konsumsi energi menyebabkan penurunan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan adanya deminishing return pada
energi sebagai faktor produksi sehingga kebijakan harus diarahkan untuk mempengaruhi sisi
permintaan berupa efisiensi energi.
Kata kunci: Konsumsi Energi, Pertumbuhan Ekonomi, Vector Error Correction Model (VECM)


A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator atau ukuran terbaik dari kinerja
perekonomian. Para ekonom neoklasik seperti Solow-Swan (1956) ataupun para ekonom
pertumbuhan endogen, seperti model AK dari Sergio Rebelo (1991), menekankan adanya faktor
modal, tenaga kerja dan teknologi untuk merangsang ekonomi yang tinggi. Namun model
pertumbuhan neoklasik ini dikritik oleh para ekonom lingkungan, berpangkal pada masalah dasar
ekonomi yaitu keterbatasan atau kelangkaan sumberdaya ( scarcity). Stern (2003) mengungkapkan
bahwa kritik dari teori pertumbuhan neoklasik oleh ekonom lingkungan berfokus pada
keterbatasan akan konsep substitusi dan keterbatasan akan konsep kemajuan/perubahan teknologi
sebagai cara untuk mengurangi kelangkaan sumberdaya (model tersebut diandalkan oleh ekonom
neoklasik: Model Solow-Swan dan Model Pertumbuhan Endogen).
Energi sebagai salah satu bagian dari sumberdaya memiliki peran yang sangat penting bagi
penggerak pembangunan ekonomi baik dalam aktivitas produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Stern (2003) mengungkapkan bahwa pemakaian atau konsumsi energi merupakan sarana untuk
menggerakkan industrialisasi perekonomian serta menjadi sarana akumulasi modal pembangunan
baik bersifat komplementer ataupun substitusi dalam menghasilkan output-output dalam
perekonomian. Dapat dikatakan dalam istilah lain bahwa energi merupakan sumberdaya input
yang menopang dan menaikkan input-input lainnya untuk melewati berbagai macam proses yang
menghasilkan output.
Di Indonesia kebijakan dalam mengatur penggunaan energi sebenarnya di atur sejak tahun

1976 dengan membentuk Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) yang setingkat dengan
departemen (sekarang kementrian) dan bertanggung jawab memformulasikan kebijakan energi
serta mengimplementasikan kebijakan tersebut (Bappenas, 2012). Namun pada kenyataannya,
kebijakan energi Indonesia yang telah memasukkan program diversifikasi energi untuk
mengurangi konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dari total konsumsi energi di Indonesia selama
ini sukar dilihat hasilnya. Kegagalan kebijakan diversifikasi energi di Indonesia terlihat dari
lambatnya pertumbuhan energi non-BBM dan masih tingginya konsumsi BBM. Bahkan, konsumsi
BBM Indonesia naik terus setiap tahunnya, meskipun besaran persentasenya berkurang terhadap

total energi nasional. Bauran energi di Indonesia jauh lebih homogen dibanding dengan bauran
energi dunia. (Triatmojo, 2013).
Berdasarkan data dari Pusat Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE) dan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) (2014) konsumsi BBM (avtur, avgas, bensin,
minyak tanah, solar, minyak diesel, dan minyak bakar) sendiri selama kurun waktu tersebut
meningkat dari 315 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 398 juta SBM pada tahun 2012 atau
meningkat rata-rata 1,9% per tahun. Namun kondisi ketergantungan BBM ini diiringi dengan
turunnya produksi serta semakin menipisnya cadangan sumber energi BBM di Indonesia.
Berdasarkan data dari The U.S. Energy Information Administration (EIA) dapat diketahui bahwa
produksi minyak di Indonesia sejak tahun 1980-2003 mampu memenuhi kebutuhan konsumsi
dalam negeri. Tetapi pada tahun 2004 produksi minyak mentah dalam negeri tidak mampu

mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga menjadikan Indonesia sebagai net importir minyak.
Hingga saat ini rata-rata konsumsi sejak tahun 1980 meningkat sebesar 4,44% per tahun (yoy) dan
produksi menurun sebesar 1,48% per tahun (yoy) (EIA, 2015).
Selain masalah ketergantungan yang tinggi akan energi fosil terutama BBM, dilema sektor
energi yang dihadapi adalah seolah Indonesia melupakan kebijakan konservasi energi dalam
manajemen energi nasional. Seperti diungkapkan oleh Nugroho (2005), manajemen energi di tanah
air selama ini lebih memprioritaskan pada bagaimana menyediakan energi atau memperluas akses
terhadap energi kepada masyarakat. Hal ini diwujudkan antara lain melalui peningkatan eksploitasi
bahan bakar fosil atau pembangunan listrik perdesaan. Konsumsi energi di sisi yang lain masih
dibiarkan meningkat dengan cepat, lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi. Energi di
Indonesia, termasuk BBM, digunakan secara boros. Penyakit yang dilahirkan dari pola konsumsi
BBM nasional yang tidak sehatpun bermunculan seperti, “subsidi BBM”, penyelundupan,
pengoplosan, serta biaya politik yang ditimbulkannya.
Selain itu, Indonesia juga dihadapkan dengan rendahnya tingkat konsumsi listrik per
kapitanya. Dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN (minus Laos), posisi Indonesia hanya
di atas Kamboja dan Myanmar dan terpaut selisih sedikit dengan Filipina. Konsumsi listrik
Indonesia kurun waktu tahun 2007-2011 mencapai rata-rata 605,88 kwh per kapita dengan ratarata pertumbuhan 5,45% per tahun (yoy). Tak hanya itu, aksesibilitas energi di Indonesia juga
masih rendah. Berdasarkan data dari The U.S. Energy Information Administration (EIA), meskipun
total konsumsi energi di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 6,32 quadrillion British Thermal
Unit (BTU) namun total konsumsi energi per kapitanya pada tahun 2011 hanya mencapai 25,68

million BTU per kapita. Konsumsi per kapita ini jauh di bawah negara-negara ASEAN seperti
Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia dan Thailand. Angka total konsumsi energi per kapita
Indonesia di atas Myanmar, Laos, Kamboja dan Filiphina serta hanya terpaut sedikit dengan
Vietnam.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda mengenai pengaruh
konsumsi energi terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengaruh positif konsumsi energi terhadap
pertumbuhan ekonomi ditunjukkan oleh penelitian Zhixin dan Xin (2011) di Shangdong, China,
Wesseh Jr. dan Zoumara (2012) di Liberia, Esseghir dan Khouni (2014) di Negara UFM (Union
for Mediteranian), Kocaaslan (2013) di Amerika Serikat. Sementara itu pengaruh negatif
konsumsi energi terhadap pertumbuhan ekonomi ditunjukkan oleh penelitian Ghali dan El-Shakka
(2004) di Kanada, Dager dan Yacoubian (2012) di Lebanon, Odularu dan Okanwa (2009) di
Nigeria serta Noor dan Siddigi (2010) di negara-negara Asia Selatan.
Beberapa penelitian dengan hasil yang berbeda di atas membuat penulis tertarik untuk
melakukan kajian serupa dengan kasus yang berfokus pada Indonesia, selain disebabkan
perbedaan kondisi keenergian Indonesia sebagaimana telah disebutkan di atas dengan kondisi
negara lain. Untuk itulah penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh
konsumsi energi terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk melihat
bagaimana respon pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan kondisi energi (shock effect) serta
kontribusi konsumsi energi terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka waktu tertentu
dibandingkan dengan variabel lain. Dalam melakukan penelitian pengaruh energi terhadap

pertumbuhan ekonomi, energi diposisikan sebagai input produksi yang selanjutnya disertakan pula
input modal dan tenaga kerja dalam analisis. Hal ini menurut Stern (2003) adalah karena adanya
efek substitusi antar input modal, tenaga kerja, dan energi serta untuk menghindari adanya bias
dan korelasi palsu dalam estimasi apabila hanya menggunakan variabel energi dan pertumbuhan
ekonomi. Dengan kata lain, model bivariat akan menghasilkan analisis yang tidak akurat dan
menyesatkan.

B. TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan Ekonomi dan Energi

. Menurut Sukirno (1995), pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yang menyebabkan produksi barang dan jasa dalam masyarakat bertambah dan
kemakmuran masyarakat meningkat. Peningkatan ini disebabkan karena faktor-faktor produksi
akan selalu mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya.Menurut Mankiw (2007)
indikator dalam mengukur pertumbuhan ekonomi ini adalah dengan melihat perubahan Gross
Domestic Bruto (GDP)/Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dengan dibandingkan pada
periode sebelumnya. GDP sendiri bisa dipandang dalam dua hal, yaitu merupakan pendapatan total
dari setiap orang di dalam perekonomian dan sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa
perekonomian. Penghitungan GDP harus mengikuti kaidah akuntansi pembangunan di mana setiap
transaksi yang mempengaruhi pengeluaran harus mempengaruhi pendapatan dan begitu pula

sebaliknya, setiap transaksi yang mempengaruhi pendapatan harus mempengaruhi pengeluaran.
Sementara itu, energi merupakan kemampuan fisik untuk melakukan usaha. Sebagaimana
hukum termodinamika satu tentang kekekalan energi, energi tidak dapat diciptakan, dikonsumsi,
atau dihancurkan. Energi bisa ditransformasikan atau dikonversi alam bentuk lain. Dalam semesta
energi yang digunakan akan hilang dalam bentuk energi panas. Dalam energi juga dikenal istilah
entropi, yaitu energi yang tidak dapat digunakan untuk melakukan pekerjaan (Anderson, 2010).
Lebih jauh, energi sendiri terdiri dari dua komponen, yaitu exergi (exergy) yang
merupakan komponen berguna yang bisa dikonversikan untuk melakukan berbagai pekerjaan yang
berguna sementara yang tidak berguna disebut anergi (anegy). Sebagai contoh untuk exergi adalah
energi radiasi matahari, energi kimia yang tersimpan dalam batu bara, minyak, dan gas, energi
nuklir, energi potensial dan kinetik, dan energi listrik. Jadi istilah "energi" yang umumnya
digunakan ketika berbicara tentang pembawa energi ini adalah sama dengan mengatakan "exergi".
Ketika proses pembakaran atau gesekan mengonversi exergi menjadi panas, anergi diproduksi.
(Kummel, 2011).
Energi = exergi + anergi = konstan
Sehingga menurut Kummel (2011) konsumsi energi diartikan sebagai proses kehilangan
keseluruhan atau sebagian dari exergi untuk melakukan pekerjaan sehingga menimbulkan banyak
anergi yaitu pada saat energi digunakan untuk memanaskan atau menggerakkan sesuatu. Hal ini
berakibat pada “penyusutan energi” yang tak dapat dihindarkan dalam semua sistem alam untuk
menghasilkan entropi.

Menurut Reksohardiprodjo dan Pradono (1996) mengutip dari pernyataan Simon Kuznet
bahwa pertumbuhan ekonomi dibatasi oleh kekurangan absolut dari sumberdaya alam. Dari
pernyataan Simon Kuznet tersirat perkiraan bahwa negara-negara yang miskin sumberdaya alam
akan tersendat pertumbuhan ekonominya. Namun pertumbuhan-pertumbuhan negara yang miskin
sumberdaya bisa diakselerasi cepat apabila negara-negara tersebut mampu membeli sumberdaya
dari negara-negara yang kaya akan sumberdaya alam. Hubungan antara sumberdaya alam dan
pertumbuhan ekonomi di dapat melalui persamaan:
Y = F(K, L, R)
Namun ekonom energi baru-baru ini mulai memisahkan energi dari bagian sumberdaya
karena energi dalam analisisnya mengenai pengaruh energi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Brendt dan Wood (1975) merupakan yang pertama kali melihat keterkaitan energi dengan input
lain serta pada pertumbuhan ekonomi pada jangka panjang di Amerika Serikat. Penelitian ini
menghasilkan temuan bahwa terdapat kemungkinan untuk mensubstituskan input energi dengan
input non-energi walaupun dalam kondisi terbatas. Lebih spesifik dia menemukan bahwa: (1)
permintaan energi sangat responsif terhadap elastisitas dari harga energi sendiri, (2) energi dan
tenaga kerja memiliki hubungan yang sedikit subtitutif, (3) sementara energi dan modal bersifat
komplementer. Model jangka panjang yang digunakan merupakan modifikasi dari model neoklasik
dan pengembangan model sumberdaya menjadi:
Y = F(K, L, E, M)
Di mana Y merupakan GDP dai Amerika yang dipengaruhi oleh Modal (K), tenaga kerja

(L), Energi (E) dan input-input material lainnya (M). implikasi penelitian ini menunjukkan bahwa
permintaan energi bisa digunakan untuk proyeksi output pada jangka panjang.
Selain itu Stern (2003) juga melihat keterkaitan antara penggunaan energi dan aktivitas
ekonomi melalui modifikasi model neoklasik pada persamaan (2.1) yang direpresentasikan melalui
persamaan:
(Y1,…,Ym) = F(A,X1,…,Xn, E 1,…,En)

di mana Yi, merupakan berbagai output pada berbagai sektor sampai sektor ke m, seperti
barang dan jasa manufaktur, X1 merepresentasikan berbagai input seperti modal, tenaga kerja, dll,
sementara Ei merupakan input energi yang berbeda seperti batubara, BBM, dll.
Menurut Yusgiantoro (2000), di Indonesia peranan energi terhadap perekonomian
sangatlah besar. Selain penerimaan pemerintah, penerimaan dari ekspor, dan neraca pembayaran,
komponen mikro lain yang sangat mempengaruhi pembangunan ekonomi adalah konsumsi energi
secara nasional. Meningkatnya penggunaan energi mendorong proses industrialisasi. Permintaan
energi pada industri manufaktur untuk menjalankan mesin-mesin memang sangat tinggi. Di sisi
lain, hal ini didukung oleh peranan energi terutama dalam penerimaan ekspor dan penerimaan
pemerintah sebagai akumulasi modal pembangunan. Dengan menyadari bahwa konsumsi energi
sangat erat dengan berhubungan dengan PDB, maka dapat diperkirakan berapa kenaikan konsumsi
energi yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat output tertentu. Besarnya kenaikan konsumsi
energi yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dapat diketahui dengan menghitung
elastisitas konsumsi energi terhadap output nasional.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif sedangkan jenis data yang digunakan
adalah data sekunder. Masing-masing variabel dan sumber data yang digunakan yaitu
Pertumbuhan Ekonomi dengan satuan persen dari World Bank, Pembentukan Modal Tetap Bruto
(PMTB) dengan satuan rupiah dari World Bank, Tenaga Kerja dengan satuan jiwa dari
International Labour Organization (ILO), dan Total Konsumsi energi dengan satuan Gigabillion
BTU (British Thermal Unit) dari Energy Information Administration (EIA). Selain itu juga
disertakan variabel eksogen berupa dummy krisis sebagai variabel kontrol waktu akibat adanya
regime effect, yaitu adanya perubahan kondisi struktural ekonomi (struktural Economic break
change) dimana nilai 1 merupakan skor untuk tahun krisis moneter yaitu 1997 dan 1998 dan nilai
0 untuk tahun selain tahun 1997 dan 1998. Adapun data yang digunakan adalah time series yang
berbentuk tahunan selama periode 1980-2012. Hal ini didasarkan pada pertimbangan periode
tersebut dianggap mampu memberikan informasi secara tepat di mana kebijakan diversifikasi
energi baru dijalankan di Indonesia pada tahun 1981. Sementara pemilihan awal periode pada
tahun 1980 didasarkan pada dasar/permulaan titik untuk melakukan interpolasi linier pada data
yang hilang, di mana pada penelitian ini data tersebut terdapat pada variabel tenaga kerja.
Metode analisis data yang digunakan adalah Vector Auto Regressive (VAR) atau Vector
Error Correction Model (VECM). Proses analisis VAR dan VECM dilakukan melalui beberapa
tahap. Pada tahap pertama, dilakukan uji unit roots, untuk mengetahui apakah data stasioner atau
tidak. Jika data stasioner di level, maka VAR dapat digunakan untuk mengestimasi. Namun jika
data tidak stationer pada level, maka data harus diturunkan pada tingkat pertama ( first difference ).
Tahap berikutnya adalah dengan menentukan panjang lag untuk mengetahui waktu yang
dibutuhkan sebuah variabel untuk merespon perubahan variabel lainyang dipengaruhi. Lag
optimum dalam model VAR selanjutnya diuji tingkat stabilitasnya dengan melihat nilai akar
karakteristik atau nodulus serta titik inversre Roots of AR Characetristic Polynomial Selanjutnya,
jika data stasioner di tingkat first difference tahap selanjutnya dalam menentukan analisis VAR
atau VECM adalah dengan melakukan uji kointegrasi. Jika data mengandung kointegrasi maka
analisis yang digunakan adalah VECM .Setelah data diestimasi menggunakan VECM, selanjutnya
dilakukan analisis dengan metode Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition
(VD).
Adapun model dalam penelitian ini mengikuti persamaan yang digunakan fungsi:
Y = F(K,L,E)
sehingga model matriks dari fungsi tersebut mengikuti persamaan:
[

]=[

]+[

][

] +[

][

]

Berdasarkan matriks tersebut bila dijadikan persamaan maka model VAR/VECM 1 dari penelitian
ini adalah:
LE1,t-m+
LLF1,t-m+ ∑
LGCF1,t-m + ∑
LGDP1,t-m + ∑
GR1t = α10 + ∑
+
(3.3)

Di mana,
GR
= Growth (Pertumbuhan Ekonomi), dalam persen
LGCF = Gross Fixed Capital Formation, dalam logaritma natural
LLF
= Labor Force, dalam logaritma natural
LE
= Total Konsumsi Energi, dalam logaritma natural
DUM = Variabel Dummy Krisis, Krisis = 1 dan Tidak Krisis = 0
t
= Periode penelitian
m
= Kelambanan/lag
ε
= Error Corrections

D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Akar Unit
Untuk melihat kestasioneran data yang akan dianalisis, maka dilakukan uji akar unit. Uji
ini dilakukan agar regresi tidak menghasilkan spurious regression . Uji akar unit dalam hal ini yaitu
dengan membandingkan nilai statistik ADF suatu variabel dengan nilai kritisnya. Jika nilai mutlak
dari ADF suatu variabel lebih besar daripada nilai mutlak kritisnya, maka variabel tersebut
dikatakan stasioner. Namun ada juga cara lain yang dapat digunakan untuk melihat ada tidaknya
akar unit adalah melalui nilai probabilitasnya (p-value). Jika probabilitasnya di bawah α=1%,
α=5% dan α=10% maka data tidak memiliki akar unit sehingga data stasioner, sebaliknya jika
probabilitasnya lebih besar dari α=1%, α=5% dan α=10% maka data memiliki akar unit sehingga
tidak stasioner. Hasil pengujian ADF ditampilkan pada tabel 1. di bawah ini:
Tabel 1 : Hasil Uji Akar Unit
ADF Test
Variabel

Level

Crtitical value

Gr

-4,029062
(-0,0173)

LGCF

-2,498054
(0,3268)

LLF

-2,558192
(0,3004)

LE

-1,076750
(0,9175)

1%(-4,273277)
5%(-3,557759)
10%(-3,212361)
1%(-4,284580)
5%(-3,562882)
10%(-3,215267)
1%(-4,273277)
5%(-3,557759)
10%(-3,212361)
1%(-4,273277)
5%(-3,557759)
10%(-3,212361)

1st Diff

Critical Value
-7,237197
(0,0000)
-4,372201
(0,0084)
-5,678160
(0,0003)
-3,867003
(0,0301)

1%(-4,284580)
5%(-3,562882)
10%(-3,215267)
1%(-4,296729)
5%(-3,568379)
10%(-3,218382)
1%(-4,296729)
5%(-3,568379)
10%(-3,218382)
1%(-4,394309)
5%(-3,612199)
10%(-3,243079)

Keterangan: () p value
Sumber: Estimasi E-views 8 (Diolah)
Berdasarkan tabel 1. hasil uji akar unit menunjukkan bahwa hanya satu variabel yang
tidak memiliki akar unit atau stasioner pada level pada citical value 5% yaitu variabel
pertumbuhan ekonomi (GR). Semenatara itu variabel-variabel lainnya yaitu PMTB (LGCF),
tenaga kerja (LLF), dan konsumsi energi (LE) masih memiliki akar unit. Tidak adanya kesamaan
pada tingkat level, maka setiap variabel dilakukan pengujian pada derajat turunan (first difference)
agar mendapatkan hasil stasioner. Hasil derajat turunan menunjukkan bahwa seluruh variabel
memiliki t-statistic lebih besar dibandingkan critical value pada 5% dan stationer. Selain itu nilai
probabilitas dari semua variabel (p-value) menunjukkan lebih kecil dari α=5%, sehingga data
dianggap telah stasioner pada derajat turunan pertama ini ( 1st difference)

Penentuan Lag Optimal
Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau respon yang
signifikan. Penentuan lag optimal yang tepat sangat penting digunakan untuk menghasilkan
residual yang Gaussian yaitu residual yang terbebas dari masalah autokorelasi atau
heteroskedasitas. Penentuan panjang lag digunakan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan
sebuah variabel untuk merespon perubahan variabel lain yang dipengaruhi. Untuk mengetahui lag
maksimum yaitu menggunakan kriteria Akaike Information Criteria (AIC), Schwarz Information
Criterion (SIC), Likelihood Ratio Test (LR), Final Prediction Error (FPE) dan Hannan-Quinn
(HQ) di mana hasil uji ditentukan dengan jumlah bintang terbanyak yang direkomendasi dari
masing-masing kriteria uji lag length. Berdasarkan tabel 2. di atas dapat dilihat bahwa semua
kriteria yaitu LR, FPE, AIC, SC dan HQ merekomendasikan lag 1
Tabel 2. : Hasil Pemilihan Lag Optimal
Lag

LogL

LR

0
3.693471
NA
1
151.9168
239.0698*
2
167.0611
20.51811
Sumber: Estimasi E-views 8 (Diolah)

FPE

AIC

SC

HQ

1.55e-05
3.12e-09*
3.56e-09

0.277841
-8.252695*
-8.197490

0.647902
-7.142511*
-6.347184

0.398471
-7.890803*
-7.594336

Uji Stabilitas VAR
Sebuah model dikatakan mempunyai stabilitas jika inverse akar karakteristiknya
mempunyai nodulus tidak lebih dari satu dan semuanya berada dalam unit circle. Jika kebanyakan
modulusnya berada di dalam lingkaran maka bisa dikatakan model cukup stabil. Namun
sebaliknya, jika kebanyakan modulusnya berada di luar lingkaran maka bisa dikatakan model
kurang stabil. Berdasarkan tabel 3. di bawah terlihat bahwa nilai akar karakteristik atau nodulus
semua menunjukkan angka kurang dari 1. Sedangkan pada gambar 1. di bawah menunjukkan
bahwa titik inversi Roots of AR Characteristic Polynomial semuanya berada di dalam lingkaran.
Sehingga berdasarkan hasil pengujian pada tabel 4.4 dan gambar 4.11 dapat disimpulkan bahwa
model VAR telah stabil.
Tabel 3. : Hasil Uji Stabilitas VAR
Root

Modulus

0.982179

0.982179

0.708443 - 0.066320i

0.711540

0.708443 + 0.066320i

0.711540

0.069758

0.069758

Sumber: Estimasi E-views 8 (Diolah)
Gambar 1. : Hasil Uji Stabilitas VAR
Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial
1.5

1.0

0.5

0.0

-0.5

-1.0

-1.5
-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

Sumber: Estimasi E-views 8 (Diolah)

Uji Kointegrasi
Pengujian kointegrasi dengan metode Johansen dilakukan dengan membandingkan nilai
trace statistic atau Max-Eigen dengan masing-masing standar 5%. Apabila nilai trace statistic atau
Max-Eigen lebih besar dibanding nilai critical value-nya maka terdapat kointegrasi antar variabel.
Selain itu, dapat juga dilihat dari p-value atau nilai probabilitas dari t-sattistik, apabila p-value
kurang dari 5% data telah terkointegrasi. Sebaliknya jika p-value lebih besar dari 5% maka data
tidak terkointegrasi. Uji kointegrasi juga dapat digunakan untuk melihat tingkat keseimbangan.
Jika nilai trace statistic kurang dari nilai critical value maka data mengalami keseimbangan jangka
pendek. Namun jika nilai trace statistic lebih besar dari nilai critical value maka data mengalami
keseimbangan jangka panjang. Jika data terkointegrasi dan mengalami keseimbangan jangka
panjang maka dapat menggunakan VECM. Dalam penelitian ini Uji Kointegrasi Johansesn
menggunakan asumsi tidak ada intercept dan tren dalam CE atau uji VAR berdasarkan kriteria
pemilihan Schwarz Criteria. Hasil uji kointegrasi Johansen disajikan secara ringkas dalam tabel 4.
berikut:
Tabel 4. : Hasil Uji Kointegrasi
Uji Kointegasi Johansen
Trace statistic

5% Critical Value

76,87224

Max-Eigen Statistic

40,17493

5% Critical Value

47,01139

0,0000
Sumber: Estimasi E-views 8 (Diolah)

24,15921

0,0000

Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai trace statistic sebesar 76,87224 lebih besar
dibanding critical value 5% sebesar 40,17493 dengan p-value sebesar 0,0000. Hal yang sama juga
terjadi pada nilai Max-Eigen statistic sebesar 47,01139 yang lebih besar dibanding critical value
5% sebesar 24,15921 serta nilai p-value kurang dari 5% yaitu 0,0000. Hal tersebut menunjukkan
bahwa variabel-variabel penelitian telah mengalami kointegrasi atau menujukan adanya hubungan
jangka panjang dan terjadi keseimbangan pada periode tersebut. Dengan terdapatnya kointegrasi
maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Error Correction Model
(VECM).

Hasil Estimasi VECM
Tabel 5. : Hasil Estimasi VECM
Variabel

DGR

DLGCF

DLLF

DLE

ECT

DU M

-1,997204
[-6,13789]

-11,439920
[-4,94230]

Jangka Panjang
1,000000

(-1)

0,305576
[ 1,82518]
R_Squared

2,070805
[ 0,97181]
8,403957
[ 1,09950]

Adj. R-Squared
F-Statistic
Keterangan [ ] : t-statistik
Sumber: Estimasi E-views 8 (Diolah)

11,636660
[ 1,27649]

-10,126690
[-1,87311]
Jangka Pendek
11,953770 77,368150
[ 0,39249] [ 0,52462]
0,863957
0,835614
30,48286

Berdasarkan hasil estimasi VECM pada tabel 4.6, maka interpretasi atas variabel
berdasarkan pembandingan antara nilai t-statistik dengan t-tabel. Apabila nilai t-statistik lebih
besar dari pada nilai t-tabel maka pengaruh variabel tersebut dikatakan signifikan. Nilai t-tabel
pada α=5% dengan observasi 33 adalah 1,69913. Dalam jangka pendek maka dapat diketahui

bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah variabel
pertumbuhan ekonomi itu sendiri, vairiabel dummy krisis, dan ECT. Peningkatan pertumbuhan
ekonomi pada tahun sebelumnya sebesar 1% maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
pada tahun ini sebesar 0,305576%. Krisis terbukti membawa pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi, di mana terjadinya krisis akan membuat pertumbuhan ekonomi turun
11,43992%. Nilai ECT yang negatif dan signifikan menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan
ekonomi untuk kembali pada kondisi ekuilibrium jangka panjang akan dikoreksi pada tahun
sekarang sebesar 199,7204%. Nilai koefisien ECT yang bertanda negatif menggambar terjadinya
koreksi dari pergerakkan variabel menuju keseimbangan dalam jangka panjangnya. Variabel lain
seperti pembentukan modal, tenaga kerja dan energi dalam jangka pendek berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi meskipun tidak signifikan.
Dalam model jangka panjang, dapat diketahui bahwa variabel yang berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah variabel konsumsi energi. Nilai t-statistik
variabel konsumsi energi sebesar -1,87311 jauh lebih kecil dari nilai t-tabel -1,69913. Apabila
konsumsi energi dalam jangka panjang meningkat sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan
menurun sebesar 10,126690%. Sementara variabel-variabel lain sepeti pembentukan modal dan
tenaga kerja meskipun berpengaruh positif namun tidak memiliki signifikansi secara statistik.
Selain itu model VECM ini memiliki nilai F-statistik sebesar 30,48286 di mana nilai ini
jauh lebih besar dari pada nilai F-tabel, 2,93402989 sehingga dapat dikatakan bahwa nilainya
signifikan. Hal ini berarti bahwa semua variabel pembentukan modal, tenaga kerja dan konsumsi
energi secara simultan berpengaruh terhadap variabel pertumbuhan ekonomi. Nilai koefisien
determinasi R-Square 0,863957 dengan nilai penyesuaian koreksi Adj. R-Square sebesar 0,835614
menunjukkan bahwa model yang dipliih sangat baik. Seluruh variabel independen mampu
menjelaskan variabel dependen sebesar 86,3957% sementara sisanya dijelaskan oleh variabel lain.
Impulse Response Function (IRF)
Impulse Response Function (IRF) dapat memberikan gambaran respon dari suatu variabel
di masa yang akan datang terhadap gangguan atau kejutan (shock) variabel lain. Dengan demikian,
lama pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai pengaruhnya hilang atau
kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat atau diketahui.

Gambar 2.: Respon Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Perubahan Pembentukan Modal
Response of DGR to Cholesky
One S.D. DLGCF Innovation
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

Sumber: Estimasi E-views 8 (Diolah)
Dari gambar 2. dapat dilihat bahwa variabel pertumbuhan ekonomi pada periode pertama
belum dapat merespon perubahan dari pembentukan modal. Kemudian pada periode kedua,
pertumbuhan ekonomi merespon positif perubahan pada pembentukan modal. Namun pada
periode ketiga pertumbuhan ekonomi mulai merepon negatif perubahan pada pembentukan modal
serta menunjukkan titik terendahnya. Pada periode keempat, pertumbuhan ekonomi naik kembali
hampir mencapai titik positif namun turun kembali sampai pada periode keenam. Selanjutnya
pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi yang tidak terlalu besar sampai periode ke sembilan.
Pertumbuhan ekonomi selanjutnya kembali seimbang saat masuk periode ke sepuluh dan
seterusnya dengan nilai negatif yang hampir sama pada periode ke sembilan. Secara pemanen
pertumbuhan ekonomi akan merespon negatif perubahan yang terjadi pada pembentukan modal.

Gambar 3. : Respon Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Perubahan Tenaga Kerja
Response of DGR to Cholesky
One S.D. DLLF Innovation
.08
.04
.00
-.04
-.08
-.12
-.16
-.20
-.24
2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

Sumber: Estimasi E-views 8 (Diolah)
Dari gambar 3. dapat dilihat bahwa variabel pertumbuhan ekonomi pada periode pertama
belum dapat merespon perubahan dari tenaga kerja Kemudian pada periode kedua, pertumbuhan
ekonomi merespon positif perubahan pada tenaga keja. Namun pada periode ketiga pertumbuhan
ekonomi mengalami fluktuasi dengan perubahan pada periode permulaan (ketiga) negatif yang
sangat tajam dan menuju positif hingga periode keenam yang negatif kembali. Pada periode
ketujuh pertumbuhan ekonomi naik kembali meski tidak mencapai titik positif. Selanjutnya
pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi yang tidak terlalu besar sampai periode kedua belas.
Pertumbuhan ekonomi selanjutnya kembali seimbang saat masuk periode ketiga belas dan
seterusnya dengan nilai negatif. Secara pemanen pertumbuhan ekonomi akan merespon negatif
perubahan yang terjadi pada jumlah tenaga kerja.
Gambar 4. : Respon Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Perubahan Konsumsi Energi
Response of DGR to Cholesky
One S.D. DLE Innovation
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

Sumber: Estimasi E-views 8 (Diolah)
Dari gambar 4. dapat dilihat bahwa variabel pertumbuhan ekonomi pada periode pertama
belum dapat merespon perubahan dari konsumsi energi Kemudian pada periode kedua,
pertumbuhan ekonomi merespon positif dan tajam perubahan pada konsumsi energi. Namun pada
periode ketiga pertumbuhan ekonomi merespon negatif dan mencapai titik terendahnya. Pada
periode keempat hingga kelima. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi dengan
dengan awal yang turun meski tidak tajam dan naik dengan proporsi lebih rendah dai kenaikan
sebelumnya hingga periode ke delapan. Fluktuasi ini masih terjadi dalam nilai positif dan
berlangsung tidak lama.
Pada periode kesembilan pertumbuhan ekonomi menuju
keseimbangannya dengan nilai yang positif. Secara pemanen, berbeda dengan respons terhadap
perubahan modal dan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi akan merespon positif perubahan yang
terjadi pada konsumsi energi.

Variance Decomposition (VD)

Variance Decomposition menjelaskan bagaimana varian dari suatu variabel ditentukan
oleh variabel-variabel lain dan ditentukan juga dari variabel itu sendiri. Pada tabel di bawah
terlihat bahwa hasil uji VD terdiri dari enam kolom. Kolom pertama menggambarkan periodisasi
waktu, kolom kedua adalah standard of error dari prediksi terjadinya shock pada masing-masing
variabel, kolom selanjutnya adalah predictive power masing-masing variabel dalam standard of
error yang terbentuk.

Tabel 6. : Hasil Variance Decomposition (VD)
Period

S.E.

DGR

DLGCF

DLLF

DLE

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

3.136519
3.550364
3.694671
3.794980
3.821155
3.843702
3.863643
3.877929
3.894120
3.909714
3.924721
3.939876
3.955056
3.970003
3.984978
3.999894
4.014738
4.029529
4.044275
4.058959

100.0000
92.92978
86.55615
86.66704
85.71097
84.72804
84.20796
83.59959
82.91357
82.32870
81.73221
81.13108
80.55046
79.98000
79.41205
78.85607
78.30806
77.76732
77.23471
76.71008

0.000000
0.631715
6.811584
6.456759
6.703622
7.463954
7.828538
8.121035
8.634272
9.005781
9.384057
9.779258
10.16281
10.52889
10.90176
11.26413
11.62110
11.97351
12.32116
12.66291

0.000000
0.037495
0.205967
0.521765
0.549605
0.787154
0.807418
0.864247
0.905456
0.971360
1.008546
1.062946
1.108416
1.156070
1.200998
1.247411
1.291374
1.335711
1.378941
1.421779

0.000000
6.401008
6.426298
6.354433
7.035801
7.020849
7.156083
7.415131
7.546698
7.694162
7.875193
8.026716
8.178316
8.335046
8.485196
8.632389
8.779466
8.923460
9.065184
9.205232

Cholesky Ordering: DGR DLGCF DLLF DLE

Sumber: Estimasi E-views 8 (Diolah)
Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada periode pertama, variasi pertumbuhan ekonomi
yang dapat dijelaskan oleh pertumbuhan ekonomi sendiri adalah sebesar 100% sedangkan untuk
variabel pembentukan modal, tenaga kerja, dan konsumsi energi tidak dapat menjelaskan variabel
pertumbuhan ekonomi. Mulai dari periode kedua hingga kedua puluh, komposisi terus mengalami
perubahan akibat dari kontribusi variabel lain. Pada periode kedua pengaruh terbesar terdapat pada
variabel konsumsi energi sebesar 6,401008%, sedangkan variabel pembentukan modal dan tenaga
kerja berkontribusi sangat sedikit di bawah 1%. Hingga periode kelima variabel input yang
memberikan konstitusi terbesar adalah variabel konsumsi energi dengan rata-rata kontribusi
sebesar 6,554385%. Memasuki periode ketujuh, variabel pembentukan modal kontribusinya
melebihi kontribusi variabel konsumsi energi dan terus mengalami peningkatan paling cepat
dibandingkan variabel lain. Sementara itu kontribusi variabel energi relatif tumbuh stagnan dan
kontribusi variabel tenaga kerja adalah yang paling lambat dan sedikit. Di akhir periode kedua
puluh, pembentukan modal memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar
12,66291%, variabel tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 1,421779% dan variabel
konsumsi energi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 9,205232%.
Pembahasan Hasil Analisis
Dalam jangka pendek, penelitian ini membuktikan bahwa konsumsi energi memiliki
hubungan yang positif dengan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan teori. Namun secara statistik
pengaruh konsumsi energi terhadap pertumbuhan ekonomi tidaklah signifikan. Dalam jangka

pendek hubungan yang positif dan tidak signifikan ini disebabkan karena beberapa hal. To. et.al
(2013) melihatnya akibat bentuk struktur perekonomian suatu Negara ang efisien dalam
menggunakan energi, Bentuk struktur perekonomian suatu negara yang mempengaruhi
signifikansi energi sepertinya berlaku pada kasus Indonesia. Di Indonesia, struktur ekonomi saat
ini jauh lebih berada pada pada tahap negara berbasis industri-Jasa. Share PDB Industri dan Jasa
hanya terpaut selisih yang tipis. Pada tahun 1980 komposisi sektor industri terhadap PDB
mencapai 42% dan naik menjadi 47% pada tahun 2010. Sementara itu komposisi sektor jasa
terhadap PDB pada tahun 1980 sebesar 24% meningkat menjadi 38% pada tahun 2010.
Sementara itu Noor dan Siddiqi (2010) melihat akibat adanya ketergantungan energi
yang tinggi terutama terhadap minyak sehingga menyebabkan impor yang besar akibat tidak
terpenuhinya pasokan dalam negeri akibat dari tingginya permintaan dalam negeri. Hal inilah yang
menyebabkan konsumsi energi menjadi kurang, terjadi ancaman krisis energi dan terputusnya
pasokan daya energi sewaktu-waktu sehingga membuatnya hanya berimplikasi positif dalam
jangka pendek dan tidak signifikan sementara ekuilibrium jangka panjang bernilai negatif dan
signifikan. Selain itu keseimbangan jangka panjang yang bernilai negatif ini juga sejalan dengan
penelitian Dagher dan Yacobian (2012) mengenai hubungan kausalitas antara konsumsi energi dan
pertumbuhan ekonomi di Lebanon, Ghali dan El-Sakka (2004) mengenai hubungan konsumsi
energi dan pertumbuhan output di Kanada, dan Odularu dan Okanwa (2009) mengenai kontribusi
konsumsi energi terhadap performa ekonomi yang dinilai melalui pertumbuhan ekonomi di
Nigeria.
Indonesia juga mengalami ketergantungan sumberdaya energi berupa BBM. Selain
menjadikan Indonesia sebagai net importir minyak, subsidi juga menjadi permasalahan
selanjutnya. Subsidi energi (untuk bahan bakar cair dan listrik) terus membentuk komponen
tunggal terbesar dari pengeluaran negara di Indonesia, yang mana mencapai 2,5 persen dari PDB
pada tahun 2012. Selain itu pengaruh harga minyak dunia dan pelemahan rupiah menjadi ancaman
posisi neraca berjalan di Indonesia. Harga minyak internasional yang tinggi serta lemahnya nilai
tukar rupiah menyebabkan biaya impor minyak meningkat secara signifikan. (IISD, 2014).
Tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor juga turut menyumbang tingginya
tingkat konsumsi energi di sektor transportasi. BPPT dan PTPSE (2014) mencatat selama kurun
waktu 2000-2012, sektor transportasi mengalami pertumbuhan terbesar dalam konsumsi energi
yang mencapai 6,92% per tahun. Konsumsi energi di sektor transportasi umumnya didominasi
oleh kendaraan bermotor dari jenis Truk, disusul oleh sepeda motor dan mobil penumpang.
Tercatat berdasarkan analisis yang dikeluarkan oleh Kementrian ESDM (2015) truk menghabiskan
minyak dengan total 90,4 SBM di mana konsumsi paling banyak terdapat pada jenis truk sedang
dengan minyak jenis minyak solar (34,32 SBM) dan biodiesel b5 (38,62). Selanjutnya konsumsi
sepeda motor menghabiskan minyak dari jenis bensin sebanyak 73,52 SBM dan mobil penumpang
menghabiskan minyak dari jenis bensin sebanyak 66,27 SBM. Selain itu berdasarkan penelitian
Sugiyono (2012) intensitas energi yang paling besar terdapat pada kendaraan jenis truk yaitu
sebesar 15,65 SBM per unit yang disusul oleh kereta api penumpang (6,91 SBM/unit), mobil
penumpang (6,72 SBM/unit) dan bus (5,82 SBM/unit). Intensitas energi sendiri merupakan tingkat
konsumsi energi per produk domestik bruto (PDB) atau jumlah penduduk untuk waktu tertentu.
Pemasalahan kedua dalam sektor energi Indonesia adalah masalah kebijakan konservasi.
Lemahnya konservasi BBM ke sumber energi lain disebabkan karena rendahnya infrastruktur
pendukung serta biaya investasi yang mahal seperti yang terjadi pada sektor gas, batu bara dan
pembangunan instalasi energi listrik serta pemanfaatan produk olahan dari sumber baru dan
terbarukan. Selain itu juga disebabkan karena kebijakan politik masa lalu yang tidak
menguntungkan Indonesia. Ekspor gas dan batu bara yang besar misalnya, disebabkan adanya
kontrak jangka panjang dengan negara lain. Sehingga sama seperti Pakistan, meskipun Indonesia
kaya akan sumber cadangan non-BBM namun ancaman krisis energi masih terus membayangi
Indonesia. Puncaknya adalah ketidakmampuan Indonesia dalam memenuhi tingginya konsumsi
energi dalam negeri, seperti rendahnya elektrifikasi dan konsumsi energi per kapita Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Sebagai contoh, Jarman (2012) dalam laporannya mengungkapkan bahwa saat ini
infrastruktur listrik Indonesia lebih berpusat pada kawasan Jawa, Madura dan Bali (Jamali). Pada
kawasan ini telah terpasang sebesar 30.693 MW kapasitas daya listik atau mencapai 73% dari total
instalasi listrik di Indonesia. Kemudian disusul oleh wilayah Sumatra (6357 MW/16%), Sulawesi
(1731 MW/4%), Kalimantan (1632 MW/4%), Nusa Tenggara (483 MW/1,2%), Maluku (255
MW/0,7%) dan terakhir adalah wilayah Papua (hanya 241 MW/0,6%). Kondisi ini juga

menunjukkan adanya gap pembangunan pada sektor energi sehingga menghambat pertumbuhan
ekonomi wilayah yang memiliki tingkat elektrifikasi rendah, namun di sisi lain memunculkan
pemborosan energi pada kawasan dengan tingkat elektrifikasi yang tinggi.
Kualitas lingkungan akibat kegiatan pada sektor energi juga mempengaruhi aktivitas
ekonomi, dalam hal ini adalah dampak perubahan iklim akibat emisi CO2 terhadap pertumbuhan
ekonomi. Berdasarkan data dari EIA (2015) tingkat emisi CO2 di Indonesia akibat konsumsi
energi terus meningkat tiap tahunnya. Sejak tahun 1980-2012 tingkat emisi CO2 terus tumbuh
dengan rata-rata 5,55% tiap tahun, atau meningkat dari 86 million metric tons (MMTons) pada
tahun 1980 menjadi 456 MMTons pada tahun 2012. Sementara itu World Bank (2014) mencatat
intensitas CO2 (1 kg emisi CO2 yang dihasilkan dari konsumsi sumber energi energi sebesar 1 kg
SBM) dari tahun 1980-2011 mengalami peningkatan sebesar 0,91% tiap tahunnya. Pada tahun
1980 intensitas CO2 sebesar 1,70 kg/kg SBM meningkat menjadi 2,05 kg/kg SBM pada tahun
2011.
Tabel 7. : Energy Trilemma Index Indonesia
2012

2013

2014

Tren

87

68

61

Ĺ

Keamanan Energi

37

17

17

Ĺ

A

Ekuitas Energi

94

83

64

Ĺ

C

109
85

104
73

106
69

ĺ
Ĺ

D
ACD

Energy Performance

Kelestarian Lingkungan
Rangking Keseluruhan
Sumber: WEC (2015)

Skor

Kondisi-kondisi di atas didukung pula dengan nilai Energy Index Trilemma Indonesia
yang dikeluarkan oleh World Energy Council (2015). Berdasarkan tabel 4.10 pada tahun 2014 skor
yang diperoleh Indonesia adalah ACD atau peringkat 73 dari 129 negara di bawah Singapura
(peringkat 47 dengan skor BBD) dan Malaysia (peringkat 37 dengan skor BBC). Indeks ini
mengukur bagaimana suatu negara mengelola trade-off antara tiga dimensi yang bersaing dalam
aspek keberlanjutan energi, yaitu: (1) keamanan energi (energy security), (2) ekuitas energi
(energy equity) yaitu aksesibilitas dan keterjangkauan pasokan energi di seluruh populasi, dan (3)
kelestarian lingkungan (environmental sustainability). Penilaian ini berdasarkan skor terbaik A dan
terburuk D sehingga dapat disimpulkan bahwa keamanan energi dengan cadangan yang melimpah
di Indonesia yang sangat baik (skor A) tidak diimbangi dengan ekuitas energi dan kelestarian
lingkungan (masing-masing skor C dan D).
Implikasi Penelitian terhadap Kebijakan Energi di Indonesia
Penemuan penting dalam penelitian ini adalah sifat dari pengaruh konsumsi energi
terhadap pertumbuhan ekonomi yang berbeda dalam jangka pendek menuju keseimbangan jangka
panjang. Dalam jangka pendek konsumsi energi berpengaruh positif meskipun tidak signifikan dan
berlangsung sangat cepat. Namun keseimbangan jangka panjang menunjukkan pengaruh yang
negatif. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi di Indonesia sebagai faktor produksi telah
mencapai titik diminishing return . Kondisi diminishing return ini berimplikasi pada kebijakan
energi yang harus ditempuh guna menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu
mempertahankan agar positif dalam jangka pendek dan minimal tidak memberikan pengaruh
negatif dalam jangka panjang.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, permasalahan-permasalahan sektor keenergian
secara garis besar disebabkan oleh masalah subsidi, pertumbuhan transportasi yang tinggi dan
impor BBM yang tinggi yang menjadi akar permasalahan ketergantungan BBM serta infrastruktur
sektor energi non-BBM yang masih rendah dan biaya investasi yang tinggi dalam pengembangan
energi alternatif non-BBM yang menjadi akar penyebab lemahnya konservasi energi, rendahnya
elektrifikasi dan aksesibilitas energi yang masih rendah. Selain itu juga muncul masalah
lingkungan berupa tingginya emisi CO2 akibat ketergantungan BBM dan rendahnya konservasi
energi. Hal ini lah yang menyebabkan sektor energi mencapai titik diminishing return sehingga
hanya berpengaruh positif namun tidak signifikan dalam jangka pendek serta membawa pengaruh
negatif dalam jangka panjang. Selain itu, perubahan menuju keseimbangan jangka panjang yang

negatifpun juga sangat cepat. Untuk itulah diperlukan strategi-strategi kebijakan pada sektor energi
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi ke depannya.
Tverberg (2011) mengungkapkan bahwa dalam menghadapi kurva penawaran energi
yang bersifat inelastis, maka kebijakan harus diarahkan pada sisi permintaan yakni berupa efisiensi
energi guna menghindari resesi ekonomi yang ditandai dengan melemahnya pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan tersebut bisa berupa pajak karbon, penggunaan kendaraan yang lebih efisien
dan lain-lain. Berdasarkan reduksi data, strategi yang relevan dalam penelitian ini antara lain: (1)
perbaikan sektor transportasi dan infrastruktur pendukungnya; (2) pengalihan subsidi BBM ke
sektor produktif lainnya, dan (3) strategi konservasi dan diversifikasi energi.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia dipengaruhi oleh total konsumsi energi.
Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan total konsumsi energi akan menyebabkan peningkatan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek meski tidak besar dan dalam waktu singkat,
sementara itu dalam jangka panjang total konsumsi energi menyebabkan penurunan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. Negatifnya pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang sangat berkaitan
dengan kondisi keenergian Indonesia yang sangat tergantung dengan BBM yang membawa
dampak turunan berupa importir minyak, beban subsidi dan di lain pihak tingginya sektor
transportasi tumbuh sangat cepat dan boros dalam penggunaan BBM. Masalah kebijakan
konservasi, rendahnya elektrifikasi, dan rendahnya konsumsi energi per kapita didorong oleh
masalah infrastruktur rendah dan biaya investasi yang tinggi di sektor energi alternatif. Masalah
kelestarian lingkungan akibat emisi CO2 yang terus meningkat dari sektor energi juga diyakini
menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Implikasi penelitian menunjukkan bahwa
konsumsi energi di Indonesia sebagai faktor produksi telah menunjukkan diminishing return
sehingga diperlukan kebijakan yang tepat yaitu mempengaruhi sisi permintaan energi berupa
efisiensi energi.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, David A. 2010. Enviromental Economics and Natural Resource Management. 3rd
Edition. New York: Routledge.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Keselarasan Kebijakan Energi Nasional (KEN)
dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah
(RUED). Jakarta: Bappenas.
Brendt, Ernst R. and David O. Wood. Technology, Prices, and Te Derived Demand for Energy.
The Review Economics and Statistic, Vol. 57, No. 3.
Dagher, Leila dan Talar Yacoubian. 2012. The Causal Relationship between Energy Consumption
and Economic Growth in Lebanon. Energy Policy 50. 2012.795-801.
Energy Information Administration. 2015. International Energy Statistic: International Data and
Analysis. http://www.eia.gov/beta/international/data/browser/ diakses pada 1 Mei 2015
Esseghir, Asma dan Leila Haouaoui Khouni. 2014. Economic Growth, Energy Consumption and
Sustainable Development: The Case of The Union for The Mediterranean Countries.
Jornal Energy 71. 2014. 218-225.
Ghali, Khalifa H. dan M.I.T. El-Sakka. 2004. Energy Use and Output Growth In Canada: A
Multivariate Cointegration Analysis. Energy Economics 26(2004)225 –238.
ILO.

2014. Key Indicators of the Labour
Market
(KILM).
7th
Edition.
http://kilm.ilo.org/2011/WSTXLAddin/Install/KILMExcelAddinSetup.msi diakses pada 1
Mei 2015

International Institute for Sustainable Development. 2014. Tinjauan Subsidi Energi di Indonesia.
Edisi 1. Volume 1. Jenewa: IISD.

Jarman. 2012. Indonesian Electricity Infrastructure Development. Disampaikan pada Asia Pasific
Ministers and Regional Governors Conference (APM-RGC) and Indonesia International
Infrastructure Conference & Exibition (IIICE) 2012. Jakarta, 29 Agustus 2012.
Kementrian Ekonomi dan Sumberdaya Mineral. 2015. Panduan Pengguna untuk Sektor
Transportasi. Jakarta: Indonesian 2050 Pathway Calculator
Kocaaslan, Ozge Kandemir. 2013. The Causal Link between Energy and Output Growth: Evidence
from Markov Switching Granger Causality. Energy Policy 63 2013. 1196-1206.
Kummel, Reiner. 2011. The Second Law of Economics. New York: Springer.
Mankiw, N. Gregory. 2007. Makroekonomi. Edisi ke-7. Jakarta: Erlangga.
Noor, S., and M. W. Siddiqi. 2010. Energy Consumption and Economic Growth in South Asian
Countries: A Co-Integrated Panel Analysis. World Academy of Science, Engineering and
Technology Vol:4 2010-07-25.
Nugroho, Hanan. 2005. Konservasi Energi Sebagai Keharusan Yang Terlupakan Dalam
Manajemen Energi Nasional Indonesia: Belajar Dari Jepang dan Muangthai. Jakarta:
Bappenas.
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE) dan Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT). 2014. Outlook Energi Indonesia 2014. Jakarta: BPPT
Press.
Stern, David. 2003. Energy and Economics Growth. Encyclopedia of Energy, Volume 2. Elsavier
Inc.
Sugiyono, Agus. 2012. Data Historis Konsumsi Energi dan Proyeksi Permintaan-Penyediaan
Energi di Sektor Transportasi. Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi
Indonesia 2012.
Sukanto, Reksohardiprodjo. Prof., dan Pradono. 1996. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Energi.
Yogyakarta: BPFE.
Sukirno., Sudono. 1995. Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada .
To, Hong, Albert Wijeweera, and M. Charles. 2013. Energy Consumption and Economic Growth–
The Case of Australia. Australian Conference of Economists.
Toman, Michael and Barbora Jamelkova. 2003. Energy and Economic Development: An
Assesment of the State Knowledge . Washington: Resource for Future.
Triatmojo, Feri. 2013. Dinamika Kebijakan Diversifikasi Ener