AL QURAN DAN SAINS Temuan Sains adalah P

AL QUR’AN DAN SAINS: Temuan Sains adalah Penjelasan Bagi Ayat-Ayat Al Qur’an*

Oleh: Hamdan Hadi Kusuma
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

A. Pendahuluan

Hubungan antara agama dan sains tidak sama di segala tempat dan segala masa. Adalah suatu
fakta bahwa tak ada kitab suci agama monotheist yang menghukum Sains. Tetapi dalam
prakteknya, kita harus mengakui bahwa ahli-ahli Sains bercekcok dengan penguasa keagamaan
tertentu. Di dunia Kristen, selama beberapa abad, pembesar-pembesar menentang perkembangan
Sains atas initiatif mereka sendiri dan tidak bersandar kepada teks autentik dalam Kitab Suci.
Terhadap mereka yang memajukan Sains, mereka melancarkan tindakan-tindakan yang kita
ketahui dalam sejarah, yaitu tindakan-tindakan yang menjerumuskan para ahli Sains dalam
pembuangan, jika mereka ingin selamat daripada hukuman “mati dibakar,” atau sedikitnya
memaksa mereka untuk menebus dosa mereka dan memperbaiki sikap mereka serta memohon
maaf. Dalam hal ini, kita ingat peradilan Galile yang dituntut hanya karena ia mengikuti
penemuan Copernikus tentang peredaran bumi. Galile kemudian dihukum dengan alasan
menafsirkan Bibel secara keliru sebab tidak ada Kitab Suci yang dapat dibantah.

Bagi Islam, sikap terhadap Sains pada umumnya sangat berlainan. Tak ada yang lebih jelas

daripada hadits Nabi yang sangat masyhur. “Tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cina” atau hadits
lain yang maksudnya: mencari ilmu adalah wajib bagi seorang muslimin dan seorang muslimat.
Adalah suatu kenyataan yang penting seperti yang akan kita bahas dalam makalah ini, bahwa AlQur-an yang mengajak memperdalam Sains. Al-Qur-an itu memuat bermacam-macam pemikiran
tentang fenomena alam, dengan perinci yang menerangkan hal-hal yang secara pasti cocok
dengan Sains modern.

B. Relasi Agama dan Sains

Sampai saat ini, agama dan sains masih relevan untuk dibicarakan, hal ini tidak terlepas karena
keduanya mempunyai peranan yang sangat signifikan dan sangat penting bagi perjalanan hidup

manusia. Pengaruh agama dan sains tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan kehidupan manusia,
agama merupakan kebenaran absolut yang akan memberikan puncak kebahagian (happy ending)
pada pemeluknya. Sedangkan sains berikut produk dan turunannya berwajah ganda, artinya sains
bisa memberikan sumbangan yang positif-konstruktif bagi kehidupan manusia, namun tidak
jarang juga memberikan trend negatif dalam perjalannanya. Pada masa sekarang ini sains dengan
tekhnologi menyebabkan manusia berada dalam kondisi yang over normal (over normal
condition) sehingga menyebabkan manusia modern sering mengalami split personality
(keperibadian yang mendua, terpecah). Dalam kondisi seperti inilah manusia modern banyak
mencari ketenangan dalam dunia spritualitas atau agama.


Agama bersumber pada norma mutlak dan suci (perennial knowledge) dan bersifat deduktif
sehingga kebenarannya tak terbantah, sementara watak sains bersumber pada logika emperik
(logico-hypothetico- verifikatif) yang beranjak dari fenomena empiris dan bersifat induktif yang
dikembangkan melalui laboratorium menghasilkan kebenaran yang relatif (acquired knowledge).
Dalam perjalanan sejarahnya, agama dan sains ini saling berupaya melakukan hegemoni
kebenaran atas corak kehidupan manusia dan menjadi tidak akur meski saling berkomunikasi.

Perjalanan agama dan sains dalam bingkai historis-sosiologis, tidak bisa dilepaskan dari agama
dan filsafat karena sains dengan berbagai variannya merupakan anak kandung filsafat
sebagaimana para ilmuwan menyebut filsafat sebagai induk pengetahuan (The Mother Of
Knowledge).

Pembentukan sains yang sederhana sudah dipraktekkan oleh nabi Adam dan keturunan
pertamanya seperti yang tercatat dalam al-Qur’an. Aktualisasi pengetahuan yang sederhana juga
dipraktekkan oleh Qabil putra Adam yang sedang diliputi kebingungan ketika dia ingin
menyembunyikan jasad saudaranya yang telah dibunuh sendiri. Kemudian dia mempunyai
inisiatif untuk menguburkan mayat saudaranya tersebut setelah terinspirasi oleh seekor burung
yang sedang menggali tanah.


Namun perkembangan pengetahuan manusia banyak tercatat dimulai pada zaman Yunani kuno.
Sekitar tahun 600 sebelum masehi filosof-filosof Yunani seperti, Thales, Anaximenes,
Anaximandros Phytagoras, Democritos, Heraclitos, Plato dan Aristoteles berpikir tentang alam
dengan akal mereka, dari pikiran-pikiran akal filosof-filosof Yunani inilah ilmu pengetahuan
lahir dan berkembang.

Filsafat menjadi mistis ketika berada di tangan para kelompok gerejawan, filsafat harus tunduk
dan mengabdi pada agama. Gejolak antara agama dan sains mencapai titik klimaksnya ketika
Nicolaus Copernicus dan Galileo menemukan teori bahwa bumi bukan pusat jagat raya
(geosentris), melainkan matahari yang merupakan pusat jagat raya (heliosentris), kalangan gereja
sangat marah. Peristiwa besar yang dialami Galileo inilah yang oleh Barbour dan Haught
digambarkan sebagai tipologi konflik dalam membincang hubungan agama dan sains, di mana
antara sains dan agama saling berebut tempat dominan.

Pada sekitar kurang-lebih abad ke-15 ada juga menyebut abad ke-16, filsafat kembali
menemukan kebebasannya dengan munculnya gerakan Renaissance, yang berarti kelahiran
kembali yang disusul dengan gerakan aufklarung yang terjadi pada abad ke-18. Gerakan
aufklarung berhasil membuat filsafat tidak lagi berada dalam kungkungan agama (gerejawan).
Akibatnya, antara agama dan ilmu tidak ada persinggungan, sehingga sains di Barat tidak
mengenal agama. Dari sini muncul semboyan sains untuk sains, atau sains yang bebas nilai.

“Science without religion is lame, religion without science is blind“. Ilmu Pengetahuan tanpa
agama akan pincang, agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta (Einstein). Dalam bukunya,
Philoshopy and Science in the Islamic World, Qadir menjelaskan bahwa ilmu mempunyai dua
tujuan, yaitu: Tujuan Ilahi dan tujuan duniawi. Ilmu mempuyai tujuan Ilahi karena ilmu bisa
dijadikan landasan untuk memahami alamat-alamat tuhan (ayat-ayat kauniyah) yang ada di alam
semesta, melalui pengamatan reflektif-rasional Tuhan bisa lebih dikenal dan diImani. Sedangkan
ilmu mengandung tujuan dunia mempunyai pengertian bahwa ilmu dapat membantu seseorang
untuk menjalani kehidupannya lebih efektif-efisien sehingga mudah berhasil dengan memahami
alam baik yang fisis maupun psikis, dan juga memanfaatkan ilmu itu untuk kepentingan dan
kemaslahatan individu dan masyarakat.
Secara rinci Harun Nasution menuliskan pertentangan-pertentangan antara sains dan agama
sebagi berikut:

Kalau dalam agama terdapat sikap statis, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap dinamis.
Kalau dalam agama terdapat sikap tertutup, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap terbuka.
Kalau dalam agama terdapat sikap emosional, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap rasional.
Kalau dalam agama terdapat sikap yang sangat terikat pada tradisi, di dalam bidang ilmiah
terdapat sikap mudah melanggar sikap tardisi.
Kalau dalam agama terdapat sukar dan sulit menerima pembaharuan atau moderenisasi, di dalam
bidang ilmiah terdapat sikap mudah menrima perubahan dan moderenisasi.


Poin-poin di atas menurut Harun Nasution merupakan sebagian dari banyak hal yang membuat
agama dan sains kurang harmonis. Agama dipandang irasional sedangkan ilmu pengetahuan
dianggap rasional.

Apabila dilihat lebih jauh, sebenarnya agama dan sains mempunyai tujuan suci (sacred goal)
yang sama, yakni: Kebenaran. Ilmu dengan metodenya dan persoalan asasi yang dipertanyakan
manusia, baik yang bersifat masalah vertikal maupun horisontal. Sains dengan cara dan metode
yang dimilikinya dapat merumuskan pandangannya sendiri tentang dunia yang seringkali
pandangan-pandangan sains berbeda dengan agama maupun dengan filsafat, begitupun agama
juga mempunyai cara dan metodenya tersendiri.

Dalam Al-Quran dan Hadis, akal di tempatkan pada kedudukan yang tinggi serta mendorong
manusia untuk menggunakannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ungkapan ayat yang
menyuruh manusia menggunakan akalnya. Kata ya’qilu (memakai akal) terdapat pada 48 ayat
dalam berbagai bentuknya. Kata nadzara (melihat secara abstrak) terdapat pada 30 ayat. Kata
tafakkara (berpikir) terkandung dalam 19 ayat. Kata tadzakkara (memperhatikan, mempelajarai)
yang terkandung dalam 40 ayat. Kata faqiha (perbuatan berpikir) dikandung dalam 16 ayat.
Selain itu dalam Al-Quran terdapat pula kata-kata ulu-al albab (orang berpikir), ulu-al-‘ilmi
(orang berilmu), ulu-al-abshar (orang berpandangan), ulu-al-nuha (orang bijaksana). Semua itu

adalah sebutan yang memberi sifat berpikir yang terdapat pada manusia. Banyaknya kata dan
ungkapan tentang akal tersebut di atas mengandung pengertian bahwa potensi yang dimiliki
manusia sangat dihargai Al-Quran. Bahkan Nabi menyebutkan peranan akal sangat menentukan
dalam pengamalan beragama, sabdanya: Agama adalah akal, sabda nabi tiada beragama bagi
orang yang tidak menggunakan akalnya.
Dalam pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisik yang sama, dan tujuan
pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah mengungkapkan
ayat-ayat (signs) kebesaran dan keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat manusia.
Jadi, kita dapat mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama,
tentunya kegiatan ilmiah yang mempunyai prosedur dan metodologi yang mempunyai orientasi
“Maslahatul Ummah”.
Sains dalam pandangan Islam setidaknya mempunyai signifikansi vertikal dan horisontal. Sains
dengan metode mengamati alam semesta secara empiris dalam mengamati ayat-ayat kauniyah
Tuhan dapat mengantarkan manusia untuk lebih mengenal Tuhannya. Sains dari manapun
asalnya dan siapapun yang mengembangkannya pasti sampai pada “end point” yang Islami. Apa
yang dikatakan Einstein bahwa Tuhan tidak bermain dadu “God is subtle, but He is not
malicious” ungkapan ini penuh nilai-nilai Islam karena ia berkeyakinan bahwa alam ini diatur
oleh Master Designer (Tuhan).

Al-Qur’an, memperingatkan umat manusia bahwa kajian tentang alam hanya dapat membawa

manusia dari penciptaan kepada Sang Pencipta, jika manusia memiliki modal Iman kepada
Tuhan, firman Allah : “Katakanlah, Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah
bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang
yang tidak beriman” (QS. Yunus, ayat 101).

Dengan dasar ini, maka jika seorang ilmuwan mendekati alam dengan iman kepada Tuhan,
imannya akan diperkuat oleh kegiatan dan temuan-temuan ilmiahnya. Jika tidak demikian, maka
kajian tentang alam tidak dengan sendirinya akan membawanya kepada Tuhan. Maka, Mehdi
Golshani, mengatakan kegiatan ilmiah yang selalu disertai dengan praanggapan-praanggapan
metafisik dari si ilmuwan meskipun dia mungkin tidak menyadarinya. Jadi, kegiatan kealaman
hanya dapat membawa orang kepada Tuhan, jika kerangka kerja metafisiknya bersesuaian.

Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah hukum alam ciptaan Tuhan
yaitu sunnnatullah, sedang keduanya berasal dari sumber yang satu, yakni Allah.
Relasi agama dan ilmu pengetahuan (sains) di dalam Islam sangat erat dan berdiri berdampingan.
Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keImanan kepada Allah
Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang
diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi dalam pengertiannya yang paling universal.

Dengan demikian, sudah saatnya kita harus menghilangkan ”dikotomik” antara agama dan sains.

Sudah lama, kita merindukan sebuah harmoni yang par excellence antara ruh spiritualitas agama
dan sains. Sudah saatnya, agama dan sains harus menghadirkan kesadaran yang muncul lewat
pandangan-pandangan yang lebih harmonis.

C. Konsep Islamisasi Sains

“Alqur’an is always one step ahead of science”, Alqur’an selalu selangkah di depan penemuanpenemuan sains modern masa kini. Setiap kali ada penemuan hebat pada setiap abad, ternyata
Alqur’an sudah menjelaskannya terlebih dahulu. Di dalam Alqur’an banyak berisi tentang ayatayat mutasyabihat yang menjelaskan tentang sains, baik yang tersurat secara jelas maupun yang
tersamar di dalamnya.

Begitu banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan
alam semesta dengan menggunakan akalnya sehingga mencapai kesimpulan bahwa di balik
keteraturan alam semesta terdapat Al-Khaliq, Tuhan sang Maha Pencipta segala sesuatu, yaitu
Allah Swt. Hal ini dapat kita perhatikan dari firman-firman Allah Swt sebagai berikut :

‫بإ لبن بفي بخل لبق ال لبسبمابوا ب‬
‫ت بوال بلربض بوالخبتل ب ب‬
‫ب‬
‫ف الل ل بي لبل بوالن لببهابر لبيا ت‬
‫ت لب لأ ألوبلي الل لببا ب‬


”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS Ali Imran (3) : 190)

‫ف الل ل بي لبل بوالن لببهابر بوبما بخل ببق الل لأه بفي ال لبسبمابوا ب‬
‫بإ لبن بفي الخبتل ب ب‬
‫ت لب لبقلوتم ي بتل بأقوبن‬
‫ت بوال بلربض لبيا ت‬

“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di
langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagiorang-orang yang
bertakwa”. (QS Yunus (10) : 6)

‫بإ لبن بفي بخل لبق ال لبسبمابوا ب‬
‫ت بوال بلربض بوالخبتل ب ب‬
‫حبر بببما بينبفأع ال لبنابس بوبما بأنبزبل الل لأه بمبن‬
‫جبري بفي ال لبب ل‬
‫ف الل ل بي لبل بوالن لببهابر بوال لأفل لبك ال ل ببتي تب ل‬
‫خبر ببي لبنال لبسبماء بوال بلربض‬
‫ال لبسبماء بمن ل بماء بفأ بلحبيا بببه اللربض ببلعبد لوبتبها بوبب ل ب‬

‫حا ب‬
‫ب ال لأمبس ب ل‬
‫ث بفيبها بمن ك أ ل بل بدآبل بتة بوتبلصبريبف البلربيابح بوال لبس ب‬
‫ت لب لقبلوتم ي بلعبقألوبن‬
‫لبيا ت‬

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan
dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda tanda keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan” (QS. Al Baqarah (2) : 164)

Ide atau gagasan Islamisasi sains muncul di dunia Islam dan menjadi wacana di kalangan
intelektual muslim, sebagai hasil dari kritik sarjana muslim terhadap sifat dan waktu ilmu-ilmu
alam dan sosial yang bebas nilai. Konferensi Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di

Mekkah pada tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977, yang salah satu tujuannya adalah
untuk mendiskusikan masalah-masalah dalam Pendidikan Islam dan mencari cara-cara untuk
memasukan konsep-konsep Islami serta menciptakan metodologi Islami.


Al Attas menyifatkan islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan, sebab ia
melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaninya, dan proses ini
menimbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya. Islamisasi
juga membebaskan manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong
menzhalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniyahnya lebih condong untuk lalai terhadap
tabiatnya sehingga menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Islamisasi bukanlah proses evolusi,
tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah. Islamisasi diawali dengan isalamisasi bahasa, dan
ini dibuktikan di dalam Alqur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Bahasa, pemikiran dan
rasionalitas terkait erat dan saling bergantung dalam membayangkan world view atau visi
hakikat (reality) kepada manusia.

Menurut Al-Faruqi, islamisasi ilmu sebagai usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu
mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argument dan rasionalisasi,
menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan melakukannya secara
yang membolehkan disiplin itu memperkayakan visi dan perjuangan Islam. Sebagaimana Al
Attas, Al Faruqi menekankan kepentingan mangacu dan membangun kembali disiplin sains
sosial, sains kemanusiaan dan sain tabi’i dalam kerangka Islam dengan memadukan prinsipprinsip Islam ke dalam tubuh ilmu tersebut. Islamisasi dapat dicapai melalui integrasi ilmu baru
ke dalam khasanah warisan Islam dengan membuang, menata, menganalisa, menafsir ulang dan
menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan Islam.
Secara ontologi, Islamisasi sains memandang bahwa dalam realitas alam semesta, realitas sosial,
dan historis ada hukum ciptaan Allah Swt yang disebut dengan sunnatullah . sebagai ciptaan
Allah Swt, hukum tersebut tidak netral, tetapi mempunyai tujuan sesuai dengan tujuan Allah Swt
yang menciptakannya.

Tujuan islamisasi ilmu, sebagaimana yang dikemukakan Al Attas adalah :

untuk melindungi orang Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan
menimbulkan kekeliruan

untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang dapat membangunkan pemikiran dan rohani
pribadi muslim yang akan menambahkan keimanannya kepada Allah Swt.
Melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan keimanan.
Selanjutnya, Al Faruqi menguraikan tujuan yang mengacu kepada rencana kerja islamisasi ilmu
pengetahuan (sains) adalah sebagai berikut :

Penguasaan disiplin ilmu modern
Penguasaan khasanah Islam
Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
Pencarian sintesa kreatif antara khasanah Islam dengan ilmu modern
Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah
Swt.
D. Sains dan Islam : jangan ada dikotomi

Perkembangan sains dari masa ke masa adalah hasil upaya manusia dalam memahami
lingkungan semestanya. Karena itu, sains tak seharusnya dipisahkan dari agama. Menurut
Thomas Djamaluddin (seorang Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional) menyatakan bahwa sains harus jadi bagian dari kehidupan, sejalan dengan
Alquran. Oleh karena itu, seharusnya tak ada klaim tentang kecocokan ilmu pengetahuan tertentu
dengan ajaran agama.Temuan-temuan sains adalah penjelasan bagi ayat-ayat Alquran, bukan
pencocokan.

Peran dan kontribusi Muslim dalam sains seperti bidang astronomi dibahas sesuai dengan
kontribusi yang mereka berikan. Selain pemikiran mengenai konsep-konsep astronomi,
kontribusi tersebut juga dilihat dari karya tulis yang mereka hasilkan.

Dengan demikian, dunia mengakui kontribusi mereka sebagaimana mengakui kontribusi ilmuan
Barat atau non Muslim. Ada banyak tokoh Muslim yang menonjol dalam dunia astronomi,
seperti al-Battani yang menjelaskan tentang kemiringan poros bumi, musim di bumi, gerhana
matahari, penampakan hilal, dan juga tentang tahun matahari yang terdiri dari 365 hari. Selain
itu, ada pula al-Faraghani yang menjelaskan tentang dasar-dasar astronomi, termasuk gerakan

benda langit dan diameter bumi serta planet-planet lainnya. Juga Ibnu Hayyan yang dikenal
sebagai Bapak Kimia, menjelaskan tentang warna matahari, konsep bayangan, serta pelangi. Dan
banyak lagi astronom Muslim yang mewarnai sejarah astronomi.

Ada dua hal utama yang perlu dilakukan dan diperbaiki. pertama, umat Islam harus
menghilangkan dikotomi sains dan Islam. Selama ini, sains kerap dianggap produk Barat,
sehingga ada pemilahan mana sains Barat dan mana pengetahuan Islam. Padahal seharusnya
tidak demikian. Sains bisa dibuktikan dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah, bukan dengan
klaim bahwa ini sains milik Muslim dan ini milik non Muslim. Sains dapat dikaji ulang oleh
siapapun tanpa memandang bangsa ataupun agama. Ia harus jadi bagian dari kehidupan seharihari dan juga sejalan dengan Alquran. Maka tugas ilmuan adalah untuk terus mengembangkan
ilmu pengetahuan bagi maslahat manusia dan juga alam semesta.

Kedua, setelah menghapuskan dikotomi tersebut, senada dengan pesan Rasulullah saw, saya
berharap umat Islam terus belajar, termasuk mendalami ilmu pengetahuan. Mengapa? Karena
sains adalah bagian dari cara kita memahami alam semesta. Sains adalah kontribusi manusia
sepanjang masa.

Satu dari hal yang paling luar biasa dalam Al-Quran adalah bagaimana ia menguraikan ilmu
pengetahuan. Al-Quran yang dinyatakan kepada Muhammad (saw) pada abad ke 7 berisikan
fakta-fakta ilmiah menakjubkan yang sedang ditelusuri di abad ini. Para ahli ilmu pengetahuan
terkejut dan kerap terbungkam saat mereka diperlihatkan betapa terperinci dan akuratnya
beberapa ayat dalam Quran tentang ilmu pengetahuan modern.

1. Penjelasan sains terhadap ayat Alqur’an tentang alam semesta

“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah satu padu, kemudian Kami pisahkan antar keduanya. Dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka, mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiyaa’:
30).

Pada hampir 14 abad lalu, ayat di atas menjadi satu di antara firman-firman Allah yang turun
kepada Rasulullah saw dengan muatan sains. Ayat tersebut menjelaskan tentang asal-mula langit
dan bumi, yang mulanya satu dan kemudian dipisahkan.

Teori Big Bang atau Letupan Besar yang dikemukakan pada abad 20 menjadi bukti sekaligus
penegas kebenaran ayat Alquran di atas. Ayat tersebut menjelaskan proses awal penciptaan alam
semesta sejak 14 abad lalu, ketika teknologi belum menunjang penelitian astronomi dan bahwa
sang penerima wahyu, Rasulullah saw, bahkan tak mengenal baca-tulis. Teori tersebut
menjelaskan, semesta bermula dari sebuah benda seukuran bola tenis pada masa 0 detik atau
sebelum semuanya ada. Materi tersebut sangat padat dengan kepadatan tak terkira dan suhu yang
luar biasa. Ia meledak, dan pada detik pertama menghasilkan partikel dan energi eksotis. Lalu,
tiga menit pertama, tercipta hydrogen (unsur pembentuk air) dan helium. Proses tersebut
berlangsung sampai dengan enam tahap hingga tercipta alam semesta seperti sekarang.

Teori abad 20 tersebut sekaligus menjelaskan apa yang telah dipaparkan Alquran dalam surah
Yunus ayat 3, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan…”

Namun untuk memperdetil tahapan dalam enam hari itu, ayat 27-32 surah An-Nazi’at adalah
dalil yang paling menjelaskan. Pertama, ayat 27 yang berbunyi “Apakah kamu yang lebih sulit
penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya” menunjukkan penciptaan langit
sebagai tahap pertama pembangunan semesta, yang menurut perkembangan sains hari ini
diyakini sebgai peristiwa big bang tersebut.

Sedangkan ayat selanjutnya, Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya”,
menunjukkan ekspansi yang dilakukan Allah. Jika dikaitkan dengan Teori Big Bang, tahap ini
adalah tahap evolusi bintang. Setelah itu, pada ayat 29, firman Allah “Dan Dia menjadikan
malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang” menunjukkan proses
terbentuknya matahari dan juga tata planet, karena telah ada siang dan malam. Sementara ayat
30, “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya” mengindikasikan proses evolusi yang terjadi di
bumi, seperti pergeseran lempeng bumi.

Proses evolusi tersebut kemudian melahirkan benua-benua, hingga kemudian terjadi tahap
selanjutnya yakni evolusi kehidupan di bumi. Allah mulai memancarkan air dan menciptakan

makhluk pertama di bumi berupa tumbuh-tumbuhan. Tahap ini dijelaskan dalam ayat “Ia
memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.”

Sebagai tahap akhir, gunung dalam ayat “Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh”
menjadi simbol tahap penyempurnaan bumi oleh Allah swt, sebelum akhirnya ia menciptakan
binatang dan manusia. Tahap-tahap yang enam ini juga dijelaskan dalam beberapa ayat dan surah
lain. Salah satunya adalah Fushshilat ayat 9-11.

2. Penjelasan sains terhadap Al-Qur’an tentang embriologi

Di tahun 1982 Keith Moore, seorang profesor di Universitas Toronto, menghasilkan sebuah buku
berjudul ”The Developing Human, edisi ke 3″. Dalam buku ini Moore menyatakan
keterkejutannya mengenai bagaimana perkembangan embrio dikisahkan dalam Al-Qur’an.
Moore dan para kaum Muslim pendukungnya merujuk kepada ayat berikut ini:

“Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani dalam tempat yang kokoh; Kemudian air mani itu
Kami jadikan segumpal darah; lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging; dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging; kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain.” (Surah 23:13-14)

Al-Qur’an mengatakan bahwa gumpalan darah kemudian menjadi tulang dan kemudian Tuhan
”membungkus tulang dengan daging” (Surah 23:13-14). Adalah suatu fakta ilmiah bahwa
jaringan terbentuk lebih dulu, dan tulang tumbuh sesaat kemudian, dan terus bertambah kuat
(dengan membangun kalsium) bertahun-tahun setelah kelahiran. Oleh sebab itu, ini sudah jelas
adalah satu dari banyak ketidakcermatan ilmiah dalam al-Qur’an.

3. Penjelasan sains terhadap Al-Qur’an tentang pengiraan kecepatan cahaya

Siapa tidak kenal dengan Albert Einstein, namanya melekat dengan dunia fisika dan menjadi
ikon fisika modern. Rumus E = mc^2 dianggap sebagai rumus Einstein yang dalam pandangan
awam merupakan “rumus” untuk membuat bom atom. Albert Einstein memang pantas dianggap
sebagai tokoh utama yang memimpin revolusi di dunia fisika. Salah satu teorinya yang

menganjak paradigma fisika berbunyi “kecepatan cahaya merupakan ketetapan alam yang
besarnya bersifat tetap dan tidak bergantung kepada kecepatan sumber cahaya dan kecepatan
pengamat”.

Menurut Einstein, tidak ada yang mutlak di dunia ini (termasuk waktu ) kecuali kecepatan
cahaya. Selain itu, kecepatan cahaya adalah kecepatan tertinggi di alam ini. Pendapat Einstein ini
mendapat dukungan dari percobaan yang dilakukan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
oleh Michelson-Morley, Fizeau, dan Zeeman.

Secara umum, keberadaan Einstein ini menimbulkan banyak keanehan. Misalnya, sejak dulu
logika kita berpendapat bahwa jika kita bergerak dengan kecepan v_1 di atas kenderaan yang
berkecepatan v_2 , kecepatan total kita terhadap pengamat yang diam adalah v_1 + v_2 . Tetapi,
menurut Einstein, cara penghitungan tersebut salah kerana dapat mengakibatkan munculnya
kelajuan yang melebihi kelajuan cahaya. Oleh kerana itu, menurut Einstein, formula
penjumlahan kelajuan yang benar adalah sebagai berikut:

(v_1 + v_2) / (1+(v_1 \times v_2 / c^2 )).
Mengetahui besar kelajuan cahaya adalah sesuatu yang sangat menarik bagi manusia. Sifat unik
cahaya menurut Einstein adalah satu-satunya komponen alam yang tidak pernah berubah,
membuat sebahagian ilmuwan terobsesi untuk menghitung sendiri besarnya kecepatan cahaya
dari berbagai informasi.

Seorang ilmuwan matematik dan fisika dari Mesir, Dr. Mansour Hassab Elnaby merasa adanya
bukti-bukti dari Alquran yang membuat ia tertarik untuk menghitung kecepatan cahaya, terutama
berdasarkan data-data yang disajikan Alquran. Dalam bukunya yang berjudul A New
Astronomical Quranic Method for The Determination of the Speed C, Mansour Hassab Elnaby
menghuraikan secara jelas dan sistematik tentang cara menghitung kecepatan cahaya
berdasarkan redaksi ayat-ayat Alquran. Dalam menghitung kelajuan cahaya ini, Mansour
menggunakan sistem yang lazim dipakai oleh ahli astronomi iaitu sistem Siderial.

Ada beberapa ayat Alquran yang menjadi rujukan Dr. Mansour Hassab Elnaby.

Pertama, “Dialah (Allah) yang menciptakan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan
ditetapkannya tempat bagi perjalanan Bulan itu, agar kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan ” (Q.S. Yunus ayat 5).

Kedua, ” Dialah (Allah) yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan masing-masing
beredar dalam garis edarnya” (Q.S. Anbia ayat 33).

Ketiga, “Dia mengatur urusan dari langit ke Bumi, kemudian (urusan) itu kembali kepadaNya
dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu” (Q.S. Sajdah ayat 5).

Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahawa jarak yang dicapai “sang urusan” selama
satu hari adalah sama dengan jarak yang ditempuh Bulan selama 1.000 tahun atau 12.000 bulan.
Dalam bukunya, Dr. Mansour menyatakan bahawa “sang urusan” inilah yang diduga sebagai
sesuatu “yang bekecepatan cahaya “.

Hitungan Alquran tentang kecepatan cahaya

Dari ayat di atas dan menggunakan rumus sederhana tentang kelajuan, kita mendapatkan
persamaan sebagai berikut:

c \times t = 12.000 \times L
c = kecepatan “sang urusan” atau kecepatan cahaya
t = kala rotasi Bumi = 24 x 3600 detik = 86164,0906 detik
L = jarak yang ditempuh Bulan dalam satu pusingan = V \times T
Untuk menghitung L , kita perlu menghitung kelajuan Bulan. Jika kelajuan Bulan kita notasikan
dengan V , maka kita perolehi persamaan:
V = (2 \times \pi \times R) / T

R = jari-jari lintasan Bulan terhadap Bumi = 324264 km
T = kala Revolusi Bulan = 655,71986 jam, sehingga diperolehi
V = 3682,07 km / jam (sama dengan hasil yang diperoleh NASA)

Meskipun demikian, Einstein mengusulkan agar faktor graviti Matahari dieliminir terlebih
dahulu untuk mendapatkan hasil yang lebih tepat.

Menurut Einstein, graviti matahari membuat Bumi berputar sebesar :

a = T_m / T_e \times 360 \pi
T_m = waktu edar Bulan = 27,321661 hari
T_e = waktu edar Bumi = 365,25636 hari, didapat a= 26,92848
Besarnya putaran ini harus dieliminasi sehingga didapati kecepatan tepat Bulan adalah

V_e= V \cos a.
Jadi, L = v_e \times T , di mana T waktu peredaran Bulan = 27,321661 hari = 655,71986 jam
Sehingga L = 3682,07 \times \cos 26,92848 \times 655,71986 = 2152612,336257 km

Dari persamaan (1) kita mendapatkan bahwa c \times t = 12.000 \times L
Jadi, diperolehi c = 12.000 \times 2152612,336257 km / 86164,0906 detik

c = 299.792,4998 km /detik

Hasil hitungan yang diperolehi oleh Dr. Mansour Hassab Elnaby ternyata sangat mirip dengan
hasil hitungan lembaga lain yang menggunakan peralatan sangat canggih. Berikut hasilnya :
Hasil hitung Dr. Mansour Hassab Elnaby c = 299.792,4998 km/detik
Hasil hitung US National Bureau of Standard c = 299.792,4601 km/ detik
Hasil hitung British National Physical Labs c = 299.792,4598 km/detik
Hasil hitung General Conf on Measures c = 299.792,458 km/detik

E. Kesimpulan

Dalam pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisik yang sama, dan tujuan
pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah mengungkapkan
ayat-ayat (signs) kebesaran dan keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat manusia.
Jadi, kita dapat mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama,
tentunya kegiatan ilmiah yang mempunyai prosedur dan metodologi yang mempunyai orientasi
“Maslahatul Ummah”.

Sains dalam pandangan Islam setidaknya mempunyai signifikansi vertikal dan horisontal. Sains
dengan metode mengamati alam semesta secara empiris dalam mengamati ayat-ayat kauniyah
Tuhan dapat mengantarkan manusia untuk lebih mengenal Tuhannya.

Perkembangan sains dari masa ke masa adalah hasil upaya manusia dalam memahami
lingkungan semestanya. Karena itu, sains tak seharusnya dipisahkan dari agama. Sains harus jadi
bagian dari kehidupan, sejalan dengan Alquran. Oleh karena itu, seharusnya tak ada klaim
tentang kecocokan ilmu pengetahuan tertentu dengan ajaran agama.Temuan-temuan sains adalah
penjelasan bagi ayat-ayat Alquran, bukan pencocokan.

F. Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan terjemahannya.

Ahsin, Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains, terj. Bandung :
Mizan, 2004.
Anshari, Saifuddin, Endang, Ilmu, Filsafat, Dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2009.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
Bagir, Zainal Abidin, et al, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan,
2005.
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994.
Borgias, Fransiskus, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, terj.Bandung: Mizan,
2004.
——- Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, ter. Agus Efendi, Bandung: Mizan, 1998.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1998.
Qadir, Philoshopy and Science In The Islamic World, London: Routledge,1990.
——, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial Politik dari Zaman Kuno
hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer : sejarah Perkembangan
dan Arah Tujuan, (Islamia Thn II No.6/Juli-September, 2005), hal. 34
Republika. co.id, Minggu, 03 Juni 2012, 19:56 WIB.
Wildaiman, Alumni Matematika ITB, Guru Matematika Pontren Al Masudiyah-Cigondewah ,
Kab. Bandung.
Zubaedi, Islam dan Benturan Antar Peradaban, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.