TWITTER DAN KAPITALISME negara INFORMASIONAL

TWITTER DAN KAPITALISME INFORMASIONAL
Syaifa Tania, Mashita Phitaloka Fandia P.,
Maulin Ni’am, Massageng Widagdhaprasana
Perubahan lanskap teknologi komunikasi memberi warna dalam praktik berbagi
informasi di media baru. Batasan antara produsen dan konsumen konten media
menjadi kabur seiring lahirnya konsep prosumer yang memungkinkan siapa pun
dapat menjalankan peran sebagai penyedia informasi. Twitter sebagai platform
media sosial populer turut melahirkan fenomena baru dalam konteks ini.
Kehadiran akun-akun yang secara khusus menyampaikan informasi tentang tema
tertentu melahirkan fenomena subject based informational accounts. Informasi
yang mulanya hanya berfungsi sebagai konten yang dikonsumsi audiens kini telah
bertransformasi menjadi komoditas ekonomi. Kapitalisme informasional menjadi
fokus paparan yang disampaikan dalam bagian ini. Dengan menggunakan
pendekatan ekonomi politik sebagai kerangka analisis, kapitalisme informasional
yang terjadi dalam akun-akun informasional di Twitter akan dikaji menggunakan
tiga pintu masuk; strukturasi, komodifikasi, dan spasialisasi.

A.

Dualitas Media Sosial: Antara Teknologi dan Pengguna


Pemahaman terhadap masyarakat jaringan (network society) tidak lepas dari
gagasan tentang infrastruktur sosial. Dalam masyarakat jaringan, dualitas antara
teknologi dan masyarakat menjadi inti argumen yang dikembangkan (van Dijk,
2006). Pada satu sisi, infrastruktur terus berubah seiring perkembangan jaringan
komunikasi. Di sisi lain, perubahan infrastruktur sosial yang terjadi turut
membentuk teknologi komunikasi. Kondisi ini kemudian merujuk pada proses
pembentukan bersama (mutual shaping) masyarakat jaringan.
Pintu masuk untuk memahami dualitas antara teknologi dan masyarakat
dalam konteks kapitalisme informasional di media baru dapat dikaji dengan
menggunakan prinsip strukturasi (Mosco, 2009). Proses strukturasi didasarkan
1

pada gagasan bahwa aksi sosial terjadi dalam dua kondisi yaitu hambatan dan
kesempatan yang disediakan oleh struktur. Dalam gagasan ini, perubahan sosial
dianggap hanya dapat dilakukan apabila struktur yang ada memungkinkan
terjadinya perubahan tersebut.
1.

Strukturasi dalam komunikasi termediasi


Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi membawa manusia pada
bentuk komunikasi termediasi. Komunikasi termediasi diartikan sebagai bentuk
komunikasi atau interaksi antara dua atau lebih manusia melalui perangkat
teknologi yang terhubung dalam jaringan. Secara ringkas, komunikasi termediasi
dapat pula disampaikan sebagai interaksi atau komunikasi manusia yang terjalin
melalui perangkat teknologi.
Praktik komunikasi termediasi dalam konteks organisasional dapat dipahami
melalui paparan tentang perbedaan pandangan terhadap sifat (nature) dan peran
teknologi dalam organisasi (Orlinowski, 1992). Perbedaan tersebut meliputi
perbedaan lingkup (different in scope) dan perbedaan peran (different roles).
Secara nature, di satu sisi peneliti melihat teknologi dari sisi perangkat keras
material (hardware). Di sisi lain peneliti memfokuskan pada bagaimana manusia
sebagai operator berinteraksi dengan teknologi. Sementara itu terkait peran, para
peneliti juga memiliki perbedaan pandangan. Pertama, model technological
imperative, teknologi dilihat sebagai faktor eksternal secara objektif dan
berdampak kuat. Kedua, model strategic choice, yang menitikberatkan aspek
manusia atas teknologi dimana teknologi merupakan hasil rancangan, penyesuaian,
dan tindakan manusia yang sedang berlangsung.
Model strukturasional dalam kajian teknologi turut disampaikan dalam
kajian Orlinowski (1992). Meskipun tidak mampu menjelaskan secara sederhana,

namun teori strukturasi dianggap mampu menjelaskan dengan lebih adil tentang
dialektika peran antara teknologi dan manusia sebagai pengguna dalam sebuah
sistem komunikasi. Dengan menggunakan teori strukturasi Giddens, Orlinowski
melihat teknologi sebagai sebuah dualitas dimana teknologi dan manusia sebagai
struktur dan agen senantiasa berinteraksi secara dinamis.
2

Terdapat dua premis dalam model strukturasional teknologi. Pertama,
dualitas teknologi yang meyakini bahwa teknologi merupakan produk yang
diciptakan dan diubah melalui tindakan manusia. Sebaliknya, teknologi digunakan
oleh manusia untuk melakukan tindakan dengan seperangkat struktur untuk
menggunakannya. Kedua, makna teknologi bersifat fleksibel. Interaksi terhadap
teknologi dan organisasi merupakan produk dari tindakan aktor dan konteks
sosiohistoris yang berbeda. Berangkat dari kedua premis tersebut, Orlinowski
menyusun model strukturasional teknologi yang terdiri dari tiga komponen yaitu
(i) agen manusia (desainer teknologi, pengguna, dan pengambil keputusan); (ii)
artefak teknologi; (iii) perangkat institusi (Orlinowski, 1992:409).
Platform teknologi komunikasi dalam konteks media sosial merupakan
struktur yang memengaruhi cara kita berinteraksi. Salah satu cara memahami
teknologi komunikasi sebagai struktur adalah dengan melihat karakter materialnya.

Materi teknologi tidak hanya berkaitan tentang tampilan materi fisik dan digital
melainkan juga fitur atau fungsi yang disediakan bagi para penggunanya
(Leonardi, 2012). Ragam karakter material media sosial memiliki konsekuensi
terhadap cara dan efek penggunaannya (Cho et al., 2013). Secara umum, karakter
material media sosial meliputi jenis/format pesan, panjang tulisan, jenis dan cara
interaksi sesama pengguna, serta otoritas privasi. Refleksi atas konsep ini dapat
ditemukan misalnya melalui Instagram yang memiliki konten utama berupa visual
(gambar), sedangkan Twitter berupa teks pendek sepanjang 140 karakter.
Pemahaman tentang struktur teknologi komunikasi tidak berhenti hanya
sebatas pada karakter material tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan
dengan teknologi tersebut. Lebih lanjut, persepsi pengguna terhadap norma atau
aturan baik secara teknologi maupun sosial juga merupakan struktur yang
menentukan bagaimana media sosial digunakan. Pada titik ini, persepsi terhadap
norma dan aturan terjadi dalam dua ranah yaitu teknologi dan sosial. Pada ranah
teknologi, pengguna memiliki persepsi tentang apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan perangkat teknologi. Persepsi ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kompetensi pengguna terhadap

3


penggunaan segala fungsi dan fitur yang disediakan oleh perangkat. Di sisi lain,
persepsi pengguna atas norma-norma komunikasi yang diperoleh dari kehidupan
sosial sehari-hari kerap kali turut terbawa dalam penggunaan media sosial.
Sebagai contoh, seorang dosen mungkin menganggap mahasiswanya bertindak
kurang sopan kala menanyakan urusan perkuliahan di laman Facebook atau
Twitter. Pada tataran ini, dapat ditarik satu simpulan bahwa literasi media,
khususnya literasi teknologi membentuk persepsi pengguna tentang aturan (rules)
dan sumber daya (resources) sehingga menjadi struktur yang mewujud dalam
praktik penggunaan media sosial.
2.

Dualitas media sosial: tarian ganda agen di dunia maya

Perkembangan aplikasi media sosial telah mengubah paradigma produksi dan
distribusi konten media. Berbagai fitur yang disediakan oleh media sosial
mendorong terjadinya pergeseran budaya audiens dari penerima menjadi
partisipatif (van Dijck, 2009). Van Dijck (2009) mendasarkan pemahamannya
dengan merujuk pendapat Jenkins (2006:24), “Audiences, empowered by these
new technologies, occupying a space at the intersection between old and new
media are demanding the right to participate within the culture”. Budaya

partisipatif ini tampak pada maraknya user generated content dimana institusi
media konvensional memberikan ruang bagi audiens untuk memproduksi dan
mendistribusikan informasi melalui platform yang disediakan oleh instansi media
tersebut. Cermin budaya partisipatif dalam wajah industri media konvensional
misalnya ditunjukkan melalui berbagai stasiun televisi yang memberikan ruang
khusus bagi liputan video jurnalistik warga atau menayangkan video yang
diunggah oleh pengguna YouTube.
Peran partisipatif pengguna tidak saja berlaku pada media konvensional
(yang telah mengadopsi media sosial) tetapi juga terhadap fungsi dan fitur media
sosial itu sendiri. Pengguna media sosial memiliki preferensi yang berbeda
tentang apa dan bagaimana mereka menggunakan media sosial. Sebagai contoh,
Twitter mulanya digunakan hanya sebagai medium berbagi informasi personal di
antara teman dan follower saja. Akan tetapi, fungsi Twitter kini telah berkembang

4

sebagai medium untuk membangun wacana dan menggalang aksi sosial. Contoh
lain ditemukan pula dalam Facebook yang memiliki fungsi awal sebagai medium
jejaring pertemanan namun kemudian berkembang menjadi online shop.
Budaya partisipatif yang melekat pada pengguna media sosial menguatkan

kesadaran masyarakat akan prinsip kesetaraan, kebebasan berekspresi, dan
keterlibatan sebagai warga negara. Melalui media sosial, warga melakukan
konsolidasi dan advokasi terhadap pemenuhan hak-hak warga negara, transparansi
pemerintahan, dan penegakan supremasi hukum. Dengan kata lain, pengguna
media sosial sebagai agen cenderung memiliki peran yang lebih kuat terhadap
struktur.
Kekuatan pengguna sebagai agen dalam menggunakan fitur dan fungsi
media sosial turut menjanjikan manfaat ekonomi. Luenberger (1991) mengkaji
dualitas benefit function sebagai representasi preferensi individu terhadap produk.
Dalam konteks paparan ini, pengertian manfaat mengacu pada fungsi media sosial
(benefit of duality function). Pertama, fungsi utilitas yaitu manfaat yang diperoleh
dari penggunaan media sosial sebagaimana tujuan awal pembuatannya. Dalam hal
ini, kesediaan untuk menggunakan media sosial didasarkan pada fitur dan fungsi
yang ditawarkan.
Kedua, fungsi nilai atau manfaat penggunaan fitur dan fungsi teknologi
sesuai dengan preferensi pengguna. Sebagai contoh, pengguna Twitter memiliki
kuasa untuk mengelola akun personalnya sedemikian rupa dengan konten yang
bersifat lucu atau informatif sehingga memeroleh banyak followers. Hal ini
merupakan cermin atas fungsi utilitas. Setelah pengguna memiliki banyak
followers maka pemilik akun twitter tersebut dapat memeroleh keuntungan

finansial misalnya dengan menjadi buzzer atau menjual akunnya. Kondisi ini turut
mencerminkan fungsi nilai dari penggunaan media sosial. Keleluasaan untuk
menggunakan fitur dan fungsi sesuai preferensi pengguna akan menjadi insight
bagi pengembang platform media sosial untuk meningkatkan jumlah penggunanya
dan mengembangkan fitur-fitur baru.

5

Di tengah kelesuan industri manufaktur dan kejumudan media konvensional,
sosial media memberikan angin segar bagi tumbuhnya ekonomi baru. Pengguna
media sosial yang secara aktif dan kreatif menyuplai konten berkontribusi
menambah nilai ekonomi secara substansial. Seperti disinggung Dijck (ibid)
ketika mengisahkan bagaimana majalah Time menetapkan “You” sebagai ‘Person
of the Year’.1 Praktik ekonomi di media baru dikesankan sebagai playful work
karena batas yang semakin kabur antara pekerjaan dengan hobi yang
menyenangkan.
Meskipun pasar media digital terus berkembang dan tampak kian
menjanjikan, Webster (2011) mencatat tiga hal penting dari pasar ekonomi baru
tersebut. Pertama, konten media dan jasa di dunia digital meningkat dengan
sangat cepat dan volume materi baru nyaris tidak terbatas jumlahnya. Kedua, baik

media konvensional maupun media baru semakin memudahkan pengguna untuk
mengakses sesuai permintaan (on-demand) melalui jaringan digital. Hal ini
memiliki konsekuensi atas adanya kemungkinan pengguna beralih dari satu
produk ke produk lainnya dengan mudah. Ketiga, keseluruhan informasi atau
konten media yang ada jauh melampaui kemampuan pengguna untuk
mengonsumsinya. Kesenjangan antara jumlah informasi yang tak terbatas dengan
keterbatasan perhatian manusia membuat semakin sulit menawarkan sesuatu yang
signifikan untuk mendapatkan perhatian.
Dari kacamata ekonomi politik, penguatan user agency mungkin belum
mampu menjawab persoalan lama dari industri media konvensional seperti relasi
kuasa, konflik kelas (amatir versus profesional), maupun pekerja. Akan tetapi,
Dijck (2009:55) akhirnya sampai pada satu simpulan bahwa user agency
merupakan konsep kompleks, tidak saja hanya dari peran sosialnya sebagai
fasilitator bagi partisipasi publik dan keterlibatan warga negara, namun juga peran
ekonominya sebagai produsen, konsumen, penyedia data, dan ketidakjelasan
posisi sebagai pekerja media.
Majalah Time menetapkan “You” sebagai Person of the Year sebagai bentuk penghargaan
kepada jutaan kontributor melalui media sosial. You merujuk pada pengguna media sosial yang
sebagian besar anonymous atau bukan siapa-siapa.
1


6

B.

Twitter: Alternatif Sumber Informasi Kredibel

Budaya partisipasi yang melekat pada para pengguna media baru turut mengubah
cara khalayak mengakses informasi di dunia digital. Peran media sosial yang
mulanya hanya berfungsi sebagai platform jejaring pertemanan berkembang
sebagai ruang untuk mendapatkan rujukan informasi terkini. Prinsip user
generated content memberikan ruang bagi para pengguna untuk memproduksi
pesan. Hanya dengan menggunakan perangkat digitalnya, setiap pengguna media
baru dapat menyampaikan informasi atas setiap peristiwa yang dialami atau
diketahuinya.
Teknologi digital telah merevolusi cara khalayak dalam mengonsumsi
media serta menciptakan peluang komunikasi interaktif dua arah yang lebih besar
(Young dan Coffey, 2014). Melalui akun media sosialnya, setiap pengguna dapat
menyampaikan informasi secara langsung atas setiap peristiwa yang dialaminya
dalam konteks real-time sehingga memungkinkan pengguna media sosial lain

dapat memeroleh informasi tersebut secara cepat. Secara konseptual, fenomena ini
dipahami sebagai bentuk mass self-communication (Castells, 2009). Mass-self
communication merujuk pada proses dimana individu menghasilkan kontennya
sendiri, menentukan siapa target audiens yang mengakses kontennya, dan secara
langsung menyebarkan konten tersebut kepada audiens yang sejatinya juga
memiliki kuasa untuk memilih atau tidak memilih mengakses konten tersebut.
Mengacu pada Howard (2011) karakteristik ini membuat media sosial mampu
menjadi media yang atraktif bagi khalayak.
Penggunaan media sosial untuk menyampaikan berbagai jenis informasi
menjadi fenomena yang marak dilakukan. Catatan khusus diberikan kepada
informasi tentang isu krisis dan resiko sebagai bentuk informasi yang paling
banyak disampaikan oleh para pengguna media sosial (Westerman, Spence, dan
Heide, 2012). Akibatnya, media sosial kini telah menjadi rujukan alternatif
sumber informasi yang kredibel bagi khalayak.

7

Gagasan tentang peran media sosial sebagai sumber informasi alternatif
diperkuat pula oleh kajian PEW Research Centre (2015) yang menemukan bahwa
63% dari pengguna Facebook dan Twitter saat ini menggunakan media sosial
sebagai sumber informasi tentang kejadian dan isu-isu terkini. Membandingkan
kedua platform media sosial, Facebook dan Twitter, ditemukan pula bahwa para
pengguna media sosial cenderung lebih sering mengikuti informasi tentang
breaking news di Twitter dibandingkan Facebook (PEW, 2015). Kemudahan
pengguna media sosial untuk mengakses breaking news di Twitter memungkinkan
mereka untuk terlibat dalam diskusi tentang informasi tersebut. Akibatnya,
fenomena trending topic berhasil mencuri perhatian instansi kantor berita
konvensional.

Trending

topic

merupakan

isu-isu

yang

paling

banyak

diperbincangkan oleh para pengguna Twitter. Liputan berita dari fenomena yang
muncul dan populer di Twitter kemudian menjadi sangat penting mengingat berita
yang muncul di media sosial tersebut merupakan hasil resepsi audiens terhadap
topik atau isu tertentu.
Fenomena Twitter sebagai sumber informasi alternatif di satu sisi
memungkinkan khalayak dapat mengakses informasi secara lebih bervariasi. Alihalih mengakses informasi yang telah “disiapkan” oleh kantor berita konvensional,
khalayak dapat secara aktif mencari akun-akun yang dianggap memiliki keahlian,
pengetahuan, dan sudut pandang terkait suatu isu. Meskipun demikian, secara
kritis kehadiran Twitter sebagai sumber informasi alternatif mengantarkan kita
pada pertanyaan tentang peran dan fungsinya sebagai media komunikasi (Farhi,
2009). Pertanyaan tentang apakah Twitter berguna sebagai saluran penyebaran
informasi, alat bagi satu sumber informasi, atau semata hanya sebagai platform
pendukung aktivitas promosi menjadi tantangan yang harus dipecahkan. Di satu
sisi, literatur yang secara khusus mengkaji tentang Twitter menyatakan
signifikansinya sebagai sumber informasi yang dapat digunakan secara efektif
sebagai saluran komunikasi warga (Stelter dan Cohen, 2008; Sutton, Palen, dan
Shlovski, 2008; The Huffington Post, 2011). Di sisi lain, efektivitas Twitter
sebagai sumber informasi kembali dihadapkan pada tantangan lain terkait
kredibilitas informasi yang disampaikan.
8

Dalam konteks Indonesia, potensi penggunaan Twitter sebagai sumber
informasi telah disadari oleh Country Business Head Twitter, Roy Simangunsong,
yang menyebutkan bahwa Twitter bahkan telah menjadi social soundtrack bagi
masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara berbagi informasi secara real-time,
keterhubungan antarpengguna tanpa batas ruang fisik, hingga ekspresi-ekspresi
pendapat tentang apa yang terjadi di sekitar mereka. Mengutip pendapat Shirky
(2011) tentang peluang keterlibatan setiap pengguna media baru dalam diskusi
publik dan mendorong terjadinya tindakan kolektif dapat diamati dari beberapa
peristiwa di Indonesia. Sebagai contoh, momen Idul Fitri tahun 2015 telah
menghasilkan 8,4 miliar tweets secara global dan Indonesia menyumbangkan 20%
dari jumlah keseluruhan tersebut. Selain itu, penggunaan tagar #RI70 yang
diinisiasi oleh pengguna Twitter Indonesia dalam momen hari kemerdekaan
Indonesia ke-70 berhasil menghasilkan hampir 500 juta tweets (Simangunsong,
2015).
Hingga tahun 2015 jumlah pengguna Twitter di Indonesia tercatat telah
mencapai 50 juta pengguna. Para pengguna Twitter di Indonesia terbilang cukup
aktif untuk menyampaikan berbagai jenis informasi, hingga informasi tentang
potensi banjir dan arus lalu lintas dapat dengan mudah ditemukan di Twitter.
Menariknya, penggunaan Twitter sebagai sumber informasi diaktualisasikan pada
tahap lanjut dengan pelibatan Twitter dalam pengembangan situs web
www.PetaJakarta.org untuk menyediakan informasi tentang banjir berdasarkan
laporan warga yang disampaikan melalui Twitter (Hasibuan, 2015). Lebih lanjut,
kecenderungan berbagi informasi melalui Twitter agaknya tidak hanya dilakukan
oleh warga masyarakat secara umum, melainkan juga oleh sejumlah figur publik
dari berbagai kalangan seperti politikus, negarawan, olahragawan, peneliti,
bahkan kantor-kantor media yang mulai memerluas aktivitas jurnalistiknya
melalui media sosial ini.
Kredibilitas Twitter sebagai sumber informasi diperkuat pula oleh praktik
pengutipan yang banyak dilakukan oleh para jurnalis dalam menyusun materi
berita. Boersma dan Graham (2013) menemukan adanya kecenderungan kenaikan

9

jumlah informasi yang mulanya berasal dari tweet dan diolah dalam narasi artikel
berita di Inggris dan Belanda. Melalui Twitter, jurnalis dapat mendekati
narasumber yang dianggap memiliki pengetahuan tentang suatu peristiwa. Selain
itu, praktik pengutipan informasi dari Twitter diyakini pula dapat menjadi solusi
atas keterbatasan sumber dan waktu yang dimiliki oleh jurnalis dalam
memproduksi berita. Dengan adanya Twitter, jurnalis dapat menghemat waktu
dengan menyelidiki cerita dan memeriksa informasi yang berasal dari sumber
tangan kedua (second-hand report) yang tersedia di media baru tanpa harus
bersusah payah mencari informasi langsung dari tangan pertama.
Saat partisipasi dalam proses pembuatan dan penyebaran informasi menjadi
lebih mudah untuk dilakukan, Twitter menjadi aplikasi yang penting bagi para
pengguna untuk menyebarkan berita dan informasi tentang topik-topik yang
penting bagi khalayak. Perubahan yang dilakukan oleh Twitter dalam narasi di
kolom tweet dari “Apa yang sedang Anda lakukan” (What are you doing?),
menjadi “Apa yang sedang terjadi?” (What’s happening), dan terakhir menjadi
“Ikuti yang menarik perhatian Anda” (Follow Your Interests) mengindikasikan
kesadaran Twitter akan perubahan fungsinya sebagai media komunikasi. Twitter
kini telah menyadari eksistensinya sebagai media “jaringan komunikasi”. Sebagai
sebuah sumber informasi alternatif, Twitter memungkinkan arus informasi
mengalir secara cepat melalui perilaku berbagi informasi berbasis subjek.

C.

Perilaku Berbagi Informasi dan Subject Based Informational Accounts

Kehadiran Twitter sebagai bagian dari pola masyarakat mengakses informasi telah
mengalami perkembangan fungsi yang signifikan. Saat ini, Twitter seolah menjadi
standar de facto atas setiap peristiwa yang terjadi (Becker, Naaman, dan Gravano,
2011; Weng et al., 2011). Karakteristik real-time yang dimiliki Twitter
memungkinkan para penggunanya dapat mengumpulkan informasi terkini tentang
peristiwa apapun yang terjadi di berbagai belahan dunia. Sejumlah literatur
menunjukkan bahwa Twitter telah banyak digunakan sebagai medium informasi
sekaligus peringatan dini atas peristiwa atau musibah yang mengancam suatu
10

daerah (Sakaki, Okazaki, dan Matsuo, 2010; Demirbas et al., 2010). Dalam
konteks Indonesia, kondisi serupa dapat dijumpai misalnya melalui akun Twitter
resmi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (@infoBMKG) yang
memeringatkan ancaman potensi bahaya tsunami di pesisir wilayah Indonesia
Timur pada tahun 2014 sehingga masyarakat setempat dapat melakukan evakuasi
dini sebelum peristiwa tersebut terjadi.
Karakteristik informasi yang disampaikan dalam konteks real-time
memungkinkan Twitter menjadi medium ideal untuk menyampaikan informasi
terkini (breaking news) langsung dari sumber berita atau lokasi kejadian (Castillo,
Mendoza, Poblete, 2011). Kondisi ini memungkinkan pengguna Twitter dapat
memeroleh informasi dari observasi atau keterangan langsung pihak yang
mengalami kejadian (first-person observation) atau dari pihak-pihak yang
dianggap memiliki pengetahuan terkait kejadian tersebut. Akibatnya, informasi
dari sumber yang kredibel dan terpercaya dianggap penting dan terus dicari oleh
publik (Vieweg et al., 2010). Pada tataran ini, Twitter kian meneguhkan
eksistensinya sebagai sumber informasi alternatif yang kredibel.
Konsekuensi atas peran Twitter sebagai sumber informasi melahirkan
fenomena baru dalam industri media. Sebelum kehadiran media baru, media
konvensional merupakan sumber informasi utama yang diakses masyarakat. Akan
tetapi, seiring dengan berkembangnya peran Twitter sebagai medium diseminasi
informasi langsung dari pihak pertama dalam konteks real-time, maka Twitter
kini hadir sebagai sumber berita terkini yang melampaui kecepatan instansi kantor
berita konvensional dalam menyampaikan informasi breaking news. Di satu sisi,
potensi ini disadari penuh oleh Twitter antara lain diindikasikan dengan rencana
peluncuran fitur berita “Project Lightning” yang memungkinkan seluruh
pengguna media baru untuk melihat feed of tweets, gambar, dan video tentang
berbagai peristiwa secara langsung (live). Meskipun demikian, kondisi ini tentu
membawa konsekuensi bagi praktik jurnalisme profesional (Alejandro, 2010).
Praktik jurnalisme sebelumnya berpusat pada aktivitas wawancara dan peliputan
berita yang harus dicari oleh jurnalis. Akan tetapi, saat ini informasi tersebut dapat

11

dengan mudah diterima dari tweet pengguna Twitter sehingga jurnalis hanya perlu
memberikan bingkai pada narasi berita yang akan disampaikan. Secara ringkas,
Twitter kini bahkan mampu menjadi rujukan informasi bagi media konvensional.
Peran Twitter sebagai rujukan sumber informasi media konvensional di sisi
lain justru menunjukkan anomali. Niat awal media konvensional yang berupaya
menangkap informasi terkini di Twitter untuk disampaikan kepada audiens di sisi
lain justru direspon berbeda. Para pengguna media baru cenderung lebih sering
mencari informasi secara mandiri di Twitter dengan cara mengikuti (following)
akun-akun yang dianggap memiliki kredibilitas, pengetahuan, dan keahlian terkait
suatu isu (McFedries, 2007). Eksposur atas akun-akun yang dianggap memenuhi
karakteristik tersebut kemudian mendorong para pengguna Twitter untuk memfollow akun-akun di atas sehingga meningkatkan popularitas akun. Kehadiran
buzzer dan selebtwit (selebritas mikro) menjadi dua contoh aktualisasi fenomena
ini. Individu yang mulanya tidak cukup dikenal dalam realitas offline dapat
menjadi sangat populer dan terkenal dalam realitas online. Popularitas yang
mereka raih terjadi karena adanya guliran pesan yang berkembang secara viral
dalam Twittersphere tentang tweet yang mereka sampaikan. Ketertarikan
pengguan Twitter terhadap informasi yang disampaikan dalam tweet tersebut
mendorong mereka untuk terus bersedia menerima update dari akun tersebut.
Ketertarikan pengguna Twitter terhadap konten informasi yang disampaikan
dalam tweet merujuk pada konsep subject based information (akun informasional
berbasis subjek). Konsistensi tema dalam tweet yang disampaikan oleh suatu akun
memungkinkan akun tersebut dikenal sebagai sosok yang memiliki keahlian dan
kredibilitas dalam menyampaikan informasi di satu domain isu. Secara umum,
peta akun informasional berbasis subjek dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
tema utama. Pertama, akun yang menyampaikan tweet tentang pertukaran
informasi secara umum. Informasi yang disampaikan oleh akun-akun ini
cenderung bersifat umum dan tidak memuat isu spesifik. Interaksi antarpengguna
menjadi salah satu unsur yang ditekankan mengingat sumber informasi dapat
berasal dari pihak mana pun. Akibatnya, akun informasional dalam jenis ini

12

cenderung hanya berperan sebagai mediator interaksi antarakun. Kedua, akun
yang menyampaikan tweet tentang minat khusus. Minat khusus merujuk pada
aneka ragam hobi yang dimiliki oleh para pengguna Twitter seperti kuliner dan
pariwisata. Ketiga, akun yang menyampaikan tweet tentang isu ekonomi dan
bisnis. Akun informasional dalam jenis ini dapat dengan mudah ditemukan
khususnya dalam bentuk akun online shopping atau pelaku e-commerce baik dari
skala mikro hingga makro yang menyampaikan informasi komersial.
Kehadiran akun informasional di Twitter cenderung diawali dari
ketertarikan individu pemilik akun terhadap isu tertentu (Zhao dan Rosson, 2009).
Kerap kali, informasi disampaikan melalui tweet yang dikirimkan oleh akun
Twitter personal individu. Konsistensi individu untuk menyampaikan tweet dalam
tema yang sama memicu pengguna Twitter lain yang memiliki ketertarikan isu
serupa untuk mengikuti akun tersebut. Pada tataran ini, homofili menjadi
fenomena yang jamak dijumpai. Homofili merupakan tendensi akan lebih
besarnya peluang hubungan yang dapat dijalin oleh orang-orang yang memiliki
kesamaan karakter dibandingkan dengan orang-orang dengan karakter berbeda
(McPherson, Smith-Lovin, dan Cook, 2001). Dua pengguna yang saling memfollow cenderung menyampaikan tweet dengan ketertarikan topik yang sama
(Wang et al., 2010). Fitur retweet yang memungkinkan tweet berkembang secara
viral memicu lebih banyak pengguna Twitter lain mengikuti akun.
Arus informasi yang besar terkait suatu isu kerap mendorong beberapa
individu untuk memisahkan tweet bermuatan informasional dan personal dalam
dua akun berbeda. Ketika individu akhirnya membuat akun yang secara khusus
berperan sebagai penyedia informasi tentang satu isu spesifik maka akun tersebut
telah menciptakan akun informasional berbasis subjek. Fenomena ini dapat
dipahami dengan baik melalui prinsip spasialisasi dalam pendekatan ekonomi
politik (Mosco, 2009). Spasialisasi secara sederhana dimaknai sebagai proses
mengatasi hambatan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial (Lefebvre, 1979).
Cara akun informasional untuk mempersingkat waktu para followers dalam
mengakses informasi tentang topik tertentu dipersingkat dengan menyediakan satu

13

akun khusus. Untuk memeroleh informasi tentang suatu topik, followers tidak lagi
perlu memilah tweet personal dan informasional yang disampaikan oleh pemilik
akun melalui akun Twitter pribadinya. Mereka dapat langsung mengakses akun
Twitter yang secara khusus ditujukan bagi kepentingan informasional.
Dalam konteks Twitter, spasialisasi dapat diwujudkan pula melalui
penggunaan simbol tagar. Simbol tagar memungkinkan terbentuknya hubungan
antara pengguna Twitter dan teks, baik berupa satu tweet tunggal maupun seluruh
diskusi yang berkaitan (Schmidt, 2014). Spasialisasi dalam tataran ini mewujud
pada reduksi jarak ruang dan waktu antara pengguna Twitter dengan tweet yang
disampaikan oleh pengguna-pengguna Twitter lainnya dari seluruh penjuru dunia.
Alih-alih harus menelusuri satu per satu akun Twitter yang ada, pengguna dapat
mencari tweet yang memperbincangkan isu tertentu melalui fitur tagar. Sifat tagar
yang mudah dicari (searchable) memungkinkan pengguna terhubung dengan
tweets dari pengguna-pengguna Twitter lain meski sebelumnya tidak terdapat
hubungan follower-followee di antara mereka.

D.

Kapitalisme Informasional: Media Baru, Komoditas Baru

Kehadiran akun-akun informasional dan tingginya jumlah pengguna Twitter yang
mengikuti serta mencari informasi dari akun-akun tersebut menunjukkan
terjadinya fenomena kapitalisme informasional. Kapitalisme informasional
merujuk pada meningkatnya arti penting informasi dalam kapitalisme di tengah
globalisasi dan perkembangan teknologi (Ignatow, 2012). Secara khusus, konsep
ini berkaitan erat dengan gagasan Castells (2000) tentang masyarakat jaringan
(network society). Castells (2000:14) meyakini bahwa ekonomi terdiri dari interrelasi

antara

mode

produksi

(kapitalisme)

dan

mode

pengembangan

(informasionalisme). Kapitalisme informasional didasarkan pada model organisasi
transnasional. Aspek kebaruannya terletak pada distribusi jaringan yang menyebar
secara global, aktor dan substruktur yang berubah secara dinamis, serta aliran
kapital, komoditas, masyarakat, dan informasi yang diproses secara cepat (Fuchs,
2010). Lebih lanjut, kapitalisme informasional merupakan terma yang digunakan
14

untuk

mendeskripsikan

berbagai

bagian

masyarakat

kontemporer

yang

mendasarkan aktivitas operasionalnya pada informasi (Fuchs, 2009).
Dalam konteks akun informasional di Twitter, mode produksi mengolah
informasi sebagai sebuah komoditas. Informasi tidak lagi dianggap hanya sebagai
berita yang diakses oleh audiens melainkan memiliki nilai tukar ekonomi. Prinsip
komodifikasi dapat digunakan sebagai pintu masuk dalam memahami fenomena
ini. Komodifikasi secara sederhana dimaknai sebagai proses mengubah nilai guna
suatu produk menjadi nilai tukar (Mosco, 2009).
Komodifikasi dalam ekonomi politik komunikasi utamanya mewujud dalam
tiga bentuk yaitu komodifikasi terhadap konten, audiens, dan pekerja (labour).
Komodifikasi terhadap konten merupakan proses yang melibatkan transformasi
pesan menjadi produk komoditas yang memiliki nilai ekonomi. Dalam konteks
akun informasional di Twitter, informasi yang disampaikan dalam tweet
merupakan komoditas yang berharga. Informasi tersebut dianalogikan sebagai
modal utama yang mendorong ketertarikan pengguna Twitter lain untuk
mengikuti akun. Dalam konteks profesi jurnalis, kinerja media konvensional yang
kerap merujuk kepada akun informasional di Twitter sebagai sumber informasi
beritanya turut mendorong komodifikasi konten terjadi dalam tataran yang lebih
tinggi. Aktualitas dan faktualitas informasi dalam tweet menjadi komoditas
pemilik akun dalam “menjual” berita kepada media.
Praktik komodifikasi terjadi pula pada tataran audiens. Dalam pendekatan
ekonomi politik, audiens dianggap sebagai komoditas primer bagi industri media
(Smythe, 1977). Audiens yang mulanya hanya menjadi konsumen produk media
berubah peran menjadi komoditas yang “dijual” oleh korporasi media kepada
pengiklan. Kehadiran media baru turut mengubah lanskap praktik komodifikasi
audiens (Shimpach, 2005). Dalam konteks Twitter, peran audiens dijalankan oleh
followers yang mengikuti akun. Jumlah followers menjadi komoditas bagi pemilik
akun untuk “memasarkan” akunnya kepada pengiklan, kantor berita, atau pihak
lain yang berkepentingan. Bagi pengiklan, akun yang memiliki banyak followers
dapat membantu menyampaikan pesan komersial secara cepat dan efektif melalui

15

buzzing. Jumlah followers juga dianggap mampu meningkatkan kredibilitas dan
reputasi akun (Marwick dan Boyd, 2010) sehingga memperbesar peluang pemilik
akun untuk memeroleh keuntungan ekonomi dari pengiklan atau pihak lain.
Komodifikasi dalam tataran pekerja berpusat pada gagasan tentang proses
transformasi peran pekerja dalam kapitalisme (Mosco, 2009). Dalam konteks
akun informasional di Twitter, pemilik akun merupakan pekerja yang menjadi
komoditas industri media. Tanggung jawab peliputan berita dan mencari
informasi semestinya berada di tangan jurnalis. Meskipun demikian, kehadiran
akun-akun informasional yang secara aktif memberikan asupan informasi kepada
jurnalis melalui tweet menempatkan pemilik akun sebagai pihak yang
menjalankan peran pekerja bagi mereka. Terlepas dari konteks akun informasional,
dalam industri media konvensional secara umum komodifikasi pekerja ditemukan
pula melalui akun Twitter individual jurnalis yang muncul sebagai representasi
instansi kantor beritanya (Bruns, n.d.). Melalui akun Twitternya, jurnalis
menyampaikan dan mendiskusikan berbagai informasi terkini dengan para
followers sebagai perpanjangan tangan dari kantor beritanya alih-alih sebagai
individu dengan perspektif personalnya. Tidak jarang, jurnalis yang memiliki
banyak followers menggunakan akun Twitter personalnya sebagai media promosi
program berita yang dikelola.

E.

Ekonomi Politik Informasi Berbasis Subyek Yogyakarta di Twitter:
Studi Kasus terhadap Akun Informasional @JogjaUpdate, @InfoJogja,
dan @LalinJogja

Yogyakarta adalah kota yang penuh dinamika. Atmosfer masyarakatnya yang
aktif secara sosial turut mewujud dalam praktik bermedia baru, khususnya media
sosial. Dalam jejaring sosial Twitter, dapat ditemukan banyak akun yang memuat
konten khusus tentang Yogyakarta, yang tentunya dikelola oleh warga atau
penduduk kota pelajar dan pendidikan tersebut. Praktik penggunaan media sosial
oleh sejumlah akun di Twitter yang memusatkan kontennya tentang Yogyakarta
menunjukkan pola menarik. Pertama, muatan isu yang disampaikan dalam konten
16

posting mereka hampir sepenuhnya merupakan informasi positif tentang
Yogyakarta. Kedua, kepemilikan dan pengelolaan akun media sosial cenderung
dilakukan oleh individu atau lembaga non-Pemerintah. Ketiga, berkaitan dengan
perilaku berbagi informasi, terdapat kecenderungan untuk melakukan spesifikasi
berdasarkan jenis informasi (subject-based social network). Keempat, terdapat
kecenderungan akun media sosial yang melembaga.
Gejala ini menunjukkan adanya proses strukturasi seiring meningkatnya
interaksi antarpengguna Twitter. Interaksi antarpengguna Twitter sebagai agen
melahirkan aturan, norma, rutinitas, maupun kode bahasa tertentu dalam perilaku
berbagi informasi berbasis subyek, dalam hal ini Yogyakarta. Mayoritas pemilik
akun media sosial tidak menganggap bahwa informasi-informasi dasar seperti
profil, foto, status atau tweet, bahkan interaksi melalui tombol ‘like’ atau ‘retweet’
yang mereka produksi adalah informasi yang bernilai ekonomi. Hanya sedikit
pihak yang telah menyadari potensi ekonomi yang dimiliki oleh informasi dan
interaksi tersebut. Kesadaran pihak-pihak tersebut untuk melakukan monetisasi
dan memeroleh keuntungan finansial dari Twitter utamanya mewujud dalam
empat cara. Pertama, melalui jasa buzzing informasi atau pesan komersial. Kedua,
melalui jasa manajemen media sosial dengan menyediakan sumber daya manusia
untuk mengelola akun milik klien. Ketiga, dengan melakukan jual beli akun.
Keempat, dengan cara menjual data.
Pola perilaku berbagi informasi berbasis subyek Yogyakarta di kalangan
pengguna Twitter dapat dipahami dengan baik melalui pendekatan ekonomi
politik dengan tiga pintu masuknya: strukturasi, komodifikasi, dan spasialisasi.
Aspek strukturasi akan memusatkan perhatiannya pada aspek agen dan struktur
yang bekerja dalam akun informasional berbasis subyek Yogyakarta. Agen dalam
hal ini merupakan format kepemilikan akun, serta pemegang kendali atas konten,
yaitu administrator (admin). Struktur akan melihat pada konten tweet, seperti
bahasa, rutinitas, dan interaksi yang terjadi antara akun dan netizen baik yang
merupakan follower maupun yang bukan. Memahami praktik ekonomi politik
dalam perilaku berbagi informasi di kalangan pengguna Twitter berbasis subyek

17

Yogyakarta ini juga akan melihat aspek komodifikasi, dimana informasi menjadi
komoditas utama yang dimanfaatkan sebagai mode ekonomi baru, dengan
followers, konten tweet, reputasi dan popularitas, serta transaksi jual-beli akun
sebagai unsur di dalamnya. Terakhir, akan dilihat aspek spasialisasi melalui
sinkronisasi multiplatform, diferensiasi informasi, dan praktik multi-accounts.
Akun informasional berbasis subyek Yogyakarta yang ada di jejaring sosial
Twitter banyak diinisiasi oleh kalangan masyarakat, pada umumnya golongan
dewasa muda, yang memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap lingkungan sosial
masyarakat di sekitar mereka. Hal ini terbukti dari latar belakang kemunculan
akun-akun informasional yang mayoritas didasari atas rasa sukarela (voluntary)
untuk berbagi informasi seputar kota Yogyakarta. Cerminan inisiatif kesukarelaan
ini diungkapkan oleh Pakdhe Senggol, pemilik akun @JogjaUpdate sekaligus
sosok yang “dituakan” dalam komunitas admin akun Twitter informasional di
Yogyakarta, serta akun @InfoJogja yang merupakan akun informasional berbasis
subyek Yogyakarta pertama yang ada, yaitu pada bulan Januari 2010. Daru, admin
dari akun @InfoJogja sendiri menyatakan bahwa motivasi awal pembuatan akun
tersebut adalah peristiwa bencana alam di Yogyakarta, yang mendorong Daru dan
beberapa rekannya untuk menyalurkan informasi terkait bencana alam tersebut.
Akun @JogjaUpdate pertama kali muncul pada bulan Maret 2010, hanya
dua bulan berselang setelah munculnya @InfoJogja. Motivasi awal ia membuat
akun @JogjaUpdate tersebut adalah sebagai media penyimpanan agenda acara,
kegiatan, dan event yang ada di Yogyakarta. Pakdhe Senggol mengakui bahwa
pada awalnya kegiatan menjadi admin tersebut berangkat dari luangnya waktu
yang ia miliki, karena pada waktu itu ia baru saja pindah ke Yogyakarta dari Bali
sehingga ia belum memiliki pekerjaan tetap selama hampir empat bulan pertama
sejak kepindahannya. Sebagai pendatang baru, ia merasa perlu untuk berbagi
informasi seputar event kepada baik sesama pendatang baru maupun masyarakat
Yogyakarta secara umum. Berangkat dari waktu luang berlimpah yang ia miliki,
Pakdhe Senggol menjalankan akun @JogjaUpdate, yang ternyata kemudian
banyak diketahui orang dan sukses menjadi salah satu akun informasional andalan

18

berbasis subyek Yogyakarta dengan total followers berjumlah sekitar 466.000
akun. Dengan demikian, ia terus mengelola @JogjaUpdate hingga sekarang ini.
Ketika akun @InfoJogja muncul karena adanya suatu peristiwa, kemudian
akun @JogjaUpdate muncul karena adanya kebutuhan untuk berbagi info
mengenai event, maka serupa tapi tak sama halnya dengan akun @LalinJogja.
Masih didasari atas keinginan untuk berbagi info, akun @LalinJogja muncul dari
keprihatinan atas kondisi lalu lintas Yogyakarta yang dirasa berubah semakin
padat. @LalinJogja membagi informasi seputar lalu lintas, seperti kepadatan,
kemacetan, kecelakaan, bahkan informasi soal razia. Hanya saja, dalam waktu dua
tahun terakhir ini akun tersebut tidak lagi memberi informasi mengenai razia
kendaraan bermotor yang dilakukan oleh polisi, karena sebelumnya mereka telah
melakukan kontak dengan pihak kepolisian yang pada akhirnya menghasilkan
kesepakatan untuk tidak menayangkan info razia tersebut. Selain itu, @LalinJogja
juga sering mengunggah tweet yang berisi edukasi seputar lalu lintas.
Praktik strukturasi agen dengan format kepemilikan single owner – single
account terjadi ketika Pakdhe Senggol mengelola akun @JogjaUpdate. Namun,
setelah akun @JogjaUpdate memiliki semakin banyak follower bahkan pesanan
konten untuk ditayangkan, terdapat beberapa admin yang kemudian membantu
Pakdhe Senggol dalam mengelola akun tersebut. Melalui beberapa praktik yang
ditemukan, dapat dilihat bahwa praktik strukturasi agen, dalam hal ini lebih
kepada admin, dalam akun informasional Twitter berbasis subyek Yogyakarta ini
bersifat cair dan tidak stagnan. Seorang admin dapat mengelola lebih dari satu
akun. Di sisi lain, satu akun dapat dikelola oleh lebih dari seorang admin, yaitu
format multi owner – single account. Bentuk pengelolaan akun yang demikian
terjadi pada akun @LalinJogja. Pada awalnya, akun @LalinJogja hanya dikelola
oleh Arga dengan format single owner – single account. Namun pada saat ini,
Arga dibantu oleh Ardi, sehingga @LalinJogja sekarang ini dikelola oleh dua
orang admin.
Praktik strukturasi dalam struktur akun informasional berbasis subyek
Yogyakarta terbagi dalam tiga aspek, yaitu bahasa yang digunakan dalam tweet,

19

rutinitas tweet, dan interaksi antara admin akun tersebut dan para followers-nya.
Aspek bahasa yang digunakan dalam tweet salah satunya terlihat dari hashtag atau
tagar yang digunakan. Pakdhe Senggol sebagai admin dari akun @JogjaUpdate
mengakui bahwa ia mengetahui fungsi tagar dalam Twitter sebagai salah satu kata
kunci setelah menggunakan #jogjaupdate sebagai tagar untuk akun tersebut. Pada
awalnya, ia menambahkan tagar #jogja untuk menarik lebih banyak follower
sekaligus menjaring awareness para netizen terkait @JogjaUpdate. Ia kemudian
menanggalkan tagar #jogjaupdate ketika konten yang harus ditayangkan terlalu
panjang sehingga 140 karakter tidak mencukupi. Sekarang ini, tagar resmi
@JogjaUpdate adalah #jogja saja. Pakdhe Senggol mengungkapkan bahwa
apabila tidak terdapat tagar #jogja dalam tweet @JogjaUpdate, maka konten tweet
tersebut merupakan iklan atau konten promosi.
Terkait dengan aspek bahasa yang digunakan, akun @JogjaUpdate
menggunakan news-pack di mayoritas konten tweet-nya, dengan dilengkapi
penggunaan tagar #jogja. Seperti diungkapkan oleh Pakdhe Senggol, konten
promosi akan terlihat melalui tidak adanya tagar #jogja. Sementara itu,
penggunaan bahasa pada akun @LalinJogja lebih menyesuaikan konteks pesan
yang akan disampaikan. Format news-pack akan muncul ketika mereka
menyampaikan berita penting mengenai kecelakaan, sedangkan bahasa yang lebih
menyerupai percakapan sehari-hari akan lebih banyak muncul untuk konten yang
bersifat pengumuman, seperti informasi soal kepadatan lalu lintas, atau sekadar
pesan untuk berhati-hati dalam berkendara di jalan raya. Hal ini terlihat pula
dalam bentuk interaksi @LalinJogja dengan para follower-nya, sebagai salah satu
aspek praktik strukturasi dalam struktur akun informasional.
Dalam melakukan interaksi dengan para follower, akun @LalinJogja selalu
menggunakan

gaya

percakapan

sehari-hari.

Arga,

salah

satu

admin,

mengungkapkan bahwa hal tersebut bertujuan untuk menjalin relasi yang bersifat
santai dan cair, sesuai dengan kultur masyarakat Yogyakarta yang “guyub”.
Penggunaan bahasa dengan sistem yang sama juga diterapkan oleh akun
@InfoJogja. Dalam melakukan interaksi dengan para follower, akun @InfoJogja

20

menggunakan bahasa dengan gaya percakapan sehari-hari yang cenderung ringan
dan santai. Sementara itu, untuk memberi pengumuman yang bersifat berita atau
informasi, @InfoJogja menggunakan format news-pack. Baik akun @InfoJogja,
@LalinJogja, maupun @JogjaUpdate merupakan tiga akun informasional berbasis
subyek Yogyakarta dengan tingkat rutinitas pengunggahan informasi yang
tergolong tinggi. Hal ini membuktikan konsistensi akun-akun tersebut dalam
melayani netizen dengan informasi seputar kota Yogyakarta.
Praktik komodifikasi merupakan salah satu aspek yang paling terlihat dalam
akun informasional berbasis subyek Yogyakarta. Hal ini terbukti melalui hadirnya
peluang karir yang menghasilkan jenis pekerjaan baru, yaitu sebagai administrator
akun Twitter. Banyaknya jumlah follower yang dimiliki oleh suatu akun turut
menentukan jumlah harga konten berbayar yang dapat diunggah oleh akun
tersebut. Selain itu, reputasi dan popularitas dari suatu akun juga menjadi penentu
apakah akun tersebut dapat dipercaya dalam mempromosikan konten berbayar
oleh baik para sponsor maupun pihak penyelenggara kegiatan yang ingin
dipromosikan. Dalam hal ini, pemanfaatan informasi sebagai modal ekonomi
telah menjadi pilar penggerak dalam dinamika akun informasional berbasis
subyek Yogyakarta di Twitter.
Melihat dari tiga akun informasional yang telah disebutkan sebelumnya,
yaitu

@InfoJogja,

@JogjaUpdate,

dan

@LalinJogja,

dapat

ditemukan

kecenderungan bahwa reputasi dan popularitas akun berbanding lurus dengan
jumlah followers yang dimiliki oleh akun tersebut. Suatu akun yang memiliki
banyak followers maka akan memiliki reputasi yang baik serta popularitas yang
tinggi pula. Begitu juga dengan akun yang memiliki reputasi yang baik serta
popularitas yang tinggi akan memiliki banyak followers. Hanya saja, ketika
sebuah akun tidak sanggup menjaga reputasi baik yang telah diraih, maka secara
otomatis jumlah followers akan berkurang. Demikian yang diungkapkan oleh
Arga, admin akun @LalinJogja. Maka sesungguhnya, followers menjadi penentu
yang signifikan dalam melihat tingkat produktivitas dan efektivitas suatu akun
informasional. @JogjaUpdate, sebagai garda depan akun informasional berbasis

21

subyek Yogyakarta, memiliki kurang lebih 466.000 followers. @InfoJogja
memiliki kurang lebih 296.000 followers dan @LalinJogja memiliki kurang lebih
88.700 followers.
Seiring dengan jumlah followers yang dimiliki, konten tweet menjadi
komoditas utama sebuah akun informasional. Seperti yang telah disinggung
sebelumnya, akun @JogjaUpdate mengunggah konten berbayar dengan tujuan
promosi dan komersil. Di sisi lain, akun @LalinJogja lebih banyak melakukan
unggah konten dengan sistem barter berupa produk seperti tiket masuk ke suatu
event tertentu alih-alih berbayar. Sementara itu, untuk aktivitas jual-beli akun
sendiri, baik @InfoJogja, @LalinJogja, maupun @JogjaUpdate selama ini belum
pernah melakukan jual-beli akun.
Praktik spasialisasi dalam akun informasional berbasis subyek Yogyakarta
di Twitter terlihat melalui adanya sinkronisasi multiplatform yang dilakukan oleh
beberapa akun. Yang dimaksud dengan sinkronisasi multiplatform di sini adalah
saling menghubungkan proses penyebaran informasi yang serupa melalui satu
platform ke beberapa platform lain. Praktik ini dilakukan oleh akun
@JogjaUpdate dan @InfoJogja. @JogjaUpdate melakukan sinkronisasi dengan
media sosial Facebook, Instagram, dan Path. Di sisi lain, akun @InfoJogja
melakukan sinkronisasi dengan media sosial Instagram.
Diferensiasi informasi, atau proses pembagian kategori atas jenis-jenis
informasi tertentu tidak terlalu kentara dipraktikkan oleh akun @JogjaUpdate,
@InfoJogja, dan @LalinJogja. Namun, karena admin dari ketiga akun tersebut
tergabung dalam satu komunitas yang sama, mereka kerap saling melakukan
retweet atas informasi tertentu yang dinilai penting dan memiliki tingkat urgensi
yang tinggi untuk disampaikan kepada para netizen. Di sisi lain, praktik multiaccounts sendiri tidak ditemukan dalam ketiga akun informasional tersebut.
Dengan demikian, praktik ekonomi politik informasi berbasis subyek
Yogyakarta di Twitter, ditinjau dari tiga akun informasional @JogjaUpdate,
@InfoJogja, dan @LalinJogja, melingkupi tiga pintu masuk, yaitu strukturasi,
komodifikasi, dan spasialisasi, dapat ditemukan secara umum. Melalui
22

pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada era media baru dengan media
sosial sebagai fiturnya telah mendukung pemanfaatan informasi yang beredar di
jejaring sosial sebagai bentuk komoditas baru. Fenomena ini memperlihatkan
adanya pergeseran pola pertukaran informasi yang terjadi dalam media baru, yang
pada awalnya hanya sebatas alat komunikasi menjadi satu bentuk kapitalisme
informasional.

Referensi:
Alejandro, Jennifer. (2010). Journalism in the Age of Social Media. Reuters
Institute Fellowship Paper. University of Oxford.
Becker, H., Naaman, M., dan Gravano, L. (2011). “Beyond trending topics: Realworld event identification on Twitter”. Dalam Proceedings of WSM.
Broersma, M., dan Graham, T. (2012). “Twitter as a news source”. Journalism
Practice, 4446-464. DOI: 10.1080/17512786.2013.802481.
Bruns, Axel. (n.d.). Journalists and Twitter: How Australian News Organisations
Adapt to a New Medium. Terarsip di
Castells, Manuel. (2009). Communication Power. Oxford, New York: Oxford
University Press.
Castells, Manuel. (2000). The Rise of the Network Society. Malden, MA:
Blackwell.
Castillo, Carlos., Marcelo Mendoza, Barbara Poblete. (2011). “Information
credibility on Twitter”. WWW 2011, 28 Maret-1 April.
Cho, Vincent, Jina Ro, and Josh Littenberg-Tobias. (2013). What Twitter will and
will

not

communities.

do:

Theorizing

LEARNing

about

landscapes

teachers'
6(2),

online
45-62.

professional
Diakses

dari

http://hdl.handle.net/2345/bc-ir:104622.

23

Demirbas, M., Bayir, M.A., Akcora, C.G., Yilmaz, Y.S., dan Ferhatosmanoglu, H.
(2010). “Crowd-sourced sensing and collaboration using Twitter”. Dalam
Proceedings of WWW.
Farhi, P. (2009). “The Twitter explosion”. American Journalism Review. Terarsip
di .
Fuchs, Christian. (2010). “Labor in informational capitalism and on the internet”.
The Information Society, 26:179-196. DOI: 10.1080/0972241003712215.
Fuchs, Christian. (2009). “Social software and web 2.0: Their sociological
foundations and implications”. Dalam Handbook of Research on Web 2.0,
3.0, and x.0: Technologies, Business, and Social Applications, ed. S.
Murugesan, 764-89. Hershey, PA: IGI-Global.
Hasibuan, Noor Asapia. 26 Maret 2015. Jumlah