Perbedaan Nilai PSA pada Kejadian Benign Prostat e Hyperplasia (BPH) dengan Nilai PSA pada Kejadian Adenokarsinoma Prostat
PERBEDAAN NILAI PSA PADA KEJADIAN
BENIGN
PROSTATIC HYPERPLASIA
(BPH) DENGAN NILAI PSA
PADA KEJADIAN ADENOKARSINOMA PROSTAT DI RSUP
H. ADAM MALIK-MEDAN TAHUN 2012
Oleh : IVO ANJANI
100100252
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(2)
PERBEDAAN NILAI PSA PADA KEJADIAN
BENIGN
PROSTATIC HYPERPLASIA
(BPH) DENGAN NILAI PSA
PADA KEJADIAN ADENOKARSINOMA PROSTAT DI RSUP
H. ADAM MALIK-MEDAN TAHUN 2012
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh : IVO ANJANI
100100252
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(3)
(4)
ABSTRAK
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan tumor jinak yang sering ditemukan pada pria yang insidennya meningkat sesuai pertambahan usia. Adenokarsinoma prostat merupakan permasalahan kesehatan di seluruh dunia, baik dari segi insiden maupun mortalitasnya. Prostate Specific Antigen (PSA) adalah petanda tumor yang perlu diperiksa pada semua pembesaran prostat. Lokasi penelitian adalah di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Untuk mengetahui adanya perbedaan nil ai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma prostat.
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif -analitik dengan desain Cross Sectional.Populasi penelitian adalah pasien rawat inap laki -laki yang didiagnosa sebagai penderita BPH dengan Adenokarsinoma Prostat di RSUP Haji Adam Malik-Medan periode tahun 2012.
Berdasarkan uji hipotesis dengan uji T diperoleh nilai p sebesar 0,065 yang berarti tidak ada perbedaan bermakna antara nilai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian adenokarsinoma prostat.
Dari hasil analisi data tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara nilai PSA pada kejadian BPH dengan adenokarsinoma prostat.
(5)
ABSTRACT
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) is a benign tumor frequently found in men and its incidence increases with age. Adenocarsinoma of prostate is a health problem in worldwide, well of incident and also mortality. Prostate Specific Antigen (PSA) is a tumor marker and applied to patients with prostate enlargement.
Location of the study is at Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik,Medan. It is choosen due to the number of cases available and to take account that this hospital is one of the cent re of referencefromparts of Sumatera Utara on several diseases.
The purpose of study is to know the difference of PSA Score between BPH Patient and adenocarcinoma of prostate patient at RSUP H. Adam Malik in the year 2012.
The study design was analyt ical descriptive with cross -sectional approach which shows data of BPH and adenocarcinoma of prostate patients in the year 2012 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.
Based on the hypothesis test with the independent T Test p values obtained for 0,065, which means there is no difference between the PSA value of BPH and adenocarcinoma of prostate.
From the result of data analysis, we can conclude that there is no difference between the PSA value of BPH and adenocarcinoma of prostat.
(6)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang melimpahkan rahmat dan hidayah -Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian K arya Tulis Ilmiah yang
berjudul “ Perbedaan Nilai PSA pada Kejadian Benign Prostate Hyperplasia
(BPH) dengan Nilai PSA pada Kejadian Adenokarsinoma Prostat”. Sebagai salah satu dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, penelitian ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan, bimbingan dan pengarahan dari :
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD, KGEH at as izin penelitiannya.
2. dr. Alya Amila Fitri, M.Kes, Sp.PA untuk segenap bimbingan, saran-saran cerdas, serta pengorbanan waktunya.
3. Ayahanda (Amirlan Ritonga) dan Ibunda (Misni Robiati), serta Adinda Adelina Ritonga terimakasih telah melipatgandakan kekuatan penulis selama ini.
4. Pihak RSUP H.Adam Malik -Medan yang telah memberikan izin untuk penelitian ini.
5. Terakhir ucapan terimakasih kepada teman -teman seperjuangan Anne, Asri, Hera dan Icha yang banyak memberikan masukan terhadap penelitian ini.
(7)
Penulis menyadari masih banyak kekurangan pada hasil penelitian karya tulis ilmiah ini , untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian Karya Tulis Ilmiah ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pe rkembangan ilmu pengetahuan,khususnya dibidang ilmu kedokteran dan bermanfaat bagi pelaksanaan kegiatan penelitian sebelumnya.
Medan Juni 2013
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN………... ... i
ABSTRAK……… ii
ABSTRACT……… iii
KATA PENGANTAR……… iv
DAFTAR ISI……….. . vi
DAFTAR TABEL………... viii
DAFTARGAMBAR……….. ix
DAFTAR LAMPIRAN……… x
BAB 1. PENDAHULUAN ... ... ... 1
1.1. Latar Belakang... ... ... 1
1.2. Rumusan Masalah... ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... ... . 3
1.4. Manfaat Penelitian ... ... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... ... 4
2.1. Prostat ... ... ... 4
2.1.1. Embriologi Prostat………... 4
2.1.2. Anatomi Kelenjar Prostat……….... 4
2.1.3. Histologi Kelenjar Prostat………... 6
2.1.4. Fisiologi Kelenjar Prostat……….... 7
2.2. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) ... .... 8
2.2.1. Etiologi………. 8
2.2.2. Gejala Klinis………. 10
2.2.3. Faktor Resiko……… 11
2.2.4. Patofisiologi ………. 13
2.2.5. Patogenesis……… 14
2.2.6. Diagnosa ……….. 14
2.2.7. Patologi Anatomi……….. 16
2.3. Adenokarsinoma Prostat ... ... 17
2.3.1. Etiologi ………. 18
2.3.2. Gejala Klinis……….. 18
2.3.3. Faktor Resiko………. 19
2.3.4. Patogenesis………. 20
2.3.5. Diagnosa………. 20
2.3.6. Patologi Anatomi……… 22
2.4. PSA(Prostate–specific Antigen)……….. 23
(9)
BAB 3. KERANGKA KONSEP PENELITIAN ... ... 25
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... ... 25
3.2. Defenisi Operasional... ... 25
3.3. Hipotesis... ... ... 26
BAB 4. METODE PENELITIAN ... ... 27
4.1. Jenis Penelitian ... ... .... 27
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... ... 27
4.3. Populasi dan Sampel ... ... 27
4.3.1. Populasi ………... 27
4.3.2. Sampel ………. 27
4.4. Metode Pengumpulan Data ... ... 29
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis D ata ... . 29
BAB .5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... ... 30
5.1. Hasil... ... ... 30
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………... 30
5.1.2. Deskripsi Data Penelitian……….. 30
5.1.2.1. Distribusi Kelompok Usia Responden……… 30
5.1.2.2. Distribus Nilai PSA………. 31
5.1.2.3. Distribusi Kelompok Usia BPH dan Adenokarsinoma Prostat………. 32
5.1.2.4. Gambaran Nilai PSA Responden……… 33
5.1.2.5. Distribusi Nilai Rerata PSA……… 33
5.1.2.6. Analisa Perbedaan Nilai PSA Pada Penderita BPH dan Adenokarsinoma Prostat…………. 34
5.2. Pembahasan………. 34
5.2.1. Analisis Gambaran Usia Pada Pen derita BPH dan Adenokarsinoma Prostat………... 34
5.2.2. Analisis Gambaran Nilai PSA Pada Penderita BPH dan Adenokarsinoma Prostat………... 36
5.2.3. Analisis Uji T……… 37
BAB .6 KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 38
6.1. Kesimpulan……… 38
6.2. Saran……….. 38
DAFTAR PUSTAKA ... ... ... 39 LAMPIRAN
(10)
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Halaman
5.1. Distribusi Penderita BPH dan Adenokarsinoma Prostat Berdasarkan Kelompok Usia Tahun 2012
5.2. Distribusi Penderita BPH dan Adenokarsinoma Prostat Tahun 2012
5.3. Gambaran Kelompok Usia Pasien Penderita BPH dan Adenokarsinoma Prostat
5.4. Pengelompokan Nilai PSA Pada Penderita BPH dan Adenokarsinoma Prostat
5.5. Distribusi Nilai Rerata Berdasarkan Kelompok Usia Responden
(11)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Halaman
2.1. Organ Prostat pada Pria 6
2.2. Kelenjar Prostat 7
2.3. Menunjukkan korpora Amilase di dalam Salah Satu Kelenjar Prostat
15 2.4. Adenocarcinoma with Amphophilic Cytoplasm and
Enlarged Nuclei Containin g Prominent Nucleoli
19 3.1. Kerangka Konsep dan Definisi Operasional 21
(12)
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 : Data Induk
Lampiran 3 : Output Data Penelitian Lampiran 4 : Lembar Etika Clereance Lampiran 5 : Surat Izin Penelitian
(13)
ABSTRAK
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan tumor jinak yang sering ditemukan pada pria yang insidennya meningkat sesuai pertambahan usia. Adenokarsinoma prostat merupakan permasalahan kesehatan di seluruh dunia, baik dari segi insiden maupun mortalitasnya. Prostate Specific Antigen (PSA) adalah petanda tumor yang perlu diperiksa pada semua pembesaran prostat. Lokasi penelitian adalah di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Untuk mengetahui adanya perbedaan nil ai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma prostat.
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif -analitik dengan desain Cross Sectional.Populasi penelitian adalah pasien rawat inap laki -laki yang didiagnosa sebagai penderita BPH dengan Adenokarsinoma Prostat di RSUP Haji Adam Malik-Medan periode tahun 2012.
Berdasarkan uji hipotesis dengan uji T diperoleh nilai p sebesar 0,065 yang berarti tidak ada perbedaan bermakna antara nilai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian adenokarsinoma prostat.
Dari hasil analisi data tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara nilai PSA pada kejadian BPH dengan adenokarsinoma prostat.
(14)
ABSTRACT
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) is a benign tumor frequently found in men and its incidence increases with age. Adenocarsinoma of prostate is a health problem in worldwide, well of incident and also mortality. Prostate Specific Antigen (PSA) is a tumor marker and applied to patients with prostate enlargement.
Location of the study is at Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik,Medan. It is choosen due to the number of cases available and to take account that this hospital is one of the cent re of referencefromparts of Sumatera Utara on several diseases.
The purpose of study is to know the difference of PSA Score between BPH Patient and adenocarcinoma of prostate patient at RSUP H. Adam Malik in the year 2012.
The study design was analyt ical descriptive with cross -sectional approach which shows data of BPH and adenocarcinoma of prostate patients in the year 2012 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.
Based on the hypothesis test with the independent T Test p values obtained for 0,065, which means there is no difference between the PSA value of BPH and adenocarcinoma of prostate.
From the result of data analysis, we can conclude that there is no difference between the PSA value of BPH and adenocarcinoma of prostat.
(15)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang paling bermakna pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluh an yang umum dalam bidang bedah urologi. Lanjut usia (Lansia), pada umumnya mengalami perubahan-perubahan pada jaringan tubuh yang disebabkan proses degenerasi. Gejala umum yang paling sering ditemukan seperti sering kencing, sulit kencing, nyeri saat berkemih, urin berdarah, nyeri saat ejakulasi, cairan ejakulasi berdarah, gangguan ereksi dan nyeri pinggul atau punggung . Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran,baik jinak maupun ganas. Pembesaran prostat jina k lebih sering dikenal dengan sebutan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) sedangkan adenokarsinoma prostat menunjukkan suatu tumor ganas yang tumbuh di dalam kelenjar prostat (Badan POM RI, 2012).
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan tumor jinak yang sering ditemukan pada pria yang berumur lebih dari 50 t ahun dan insiden yang terjadi pada tahun 2003 semakin men ingkat dengan bertambahnya umur (Palinrungi, 2001). Di United States, sekitar 14 juta laki -laki memiliki keluhan BPH. Insidennya akan meningkat sesuai dengan pertambahan usia, hanya beberapa persen menyerang usia dibawah 40 tahun, tapi sekitar 88% mengenai usia di atas 80 tahun (Bostwick dan Meiers, 2008).
Penelitian secara histopatologi di negara Barat menunjukkan sekitar 20% kasus BPH pada umur 41-50 tahun, 50% pada umur 51-60 tahun dan lebih dari 90% pada umur lebih dari 80 tahun (Presti, 2004). Di Indonesia BPH merupakan kelainan urologi kedua setelah batu saluran kemih yang dijumpai di klinik Urologi dan diperkirakan 50% pada pria berusia di atas 50 tahun. Angka harapan hidup di Indonesia, rata-rata mencapai 65 tahun sehingga diperkirakan 2,5 juta laki -laki di Indonesia menderita BPH (Palinrungi, 2001). BPH merupakan kasus terbanyak di bagian urologi, keadaan ini ditandai dengan pembesaran kelenjar prostat yang
(16)
disebabkan oleh pertambahan jumlah sel, dengan keluhan sering miksi, nocturia, kesulitan memulai dan mengakhiri miksi, dysuriadan retensi urin (Kumar, 2005).
Adenokarsinoma prostat merupakan tumor ganas pada prostat. Karsinoma prostat merupakan keganasan paling sering diantara keganasan sistem urogenital pria dan biasanya ditemukan pada umur >50 tahun dan merupakan penyebab kematian kedua setelah kanker paru (Stephan, 2004). Di United States karsinoma terbanyak adalah karsinoma paru diikuti karsinoma prostat dan kolorektal. Pada tahun 2008, 28660 penduduk Amerika meninggal disebabkan karsinoma prostat, sementara akan dijumpai 186.320 kasus prostat yang baru terdiagnosa (Jemal, 2008). Sekitar satu dari setiap lima laki -laki Amerika didiagnosa kanker prostat dan 3% diantaranya meninggal dunia (Adshead, 2005). Di Indonesia dijumpai di provinsi Makassar dan sekitarnya periode Januari 1994 sampai Juli 1998, dari 421 penderita pembesaran prostat yang di rawat, 19% diantaranya adalah adenokarsinoma prostat (Malawat, 2000).
Menurut Kirby (2004) Prostate Specific Antigen (PSA) adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh sel epitel pada as ini dan duktus dari kelenjar prostat. Test nilai PSA telah merevolusi dalam mendeteksi serta pemantauan pengobatan kanker prostat. Peningkatan nilai PSA serum dijadikan sebagai penanda penting pada beberapa penyakit prostat antara lain BPH, prostatitis dan kanker prostat. Keuntungan pada penggunaan PSA telah dilakukan oleh penelitian terdahulu untuk meningkatkan manfaat klinis pada deteksi dini kanker prostat . Penemuan keberadaan PSA dalam bentuk molekuler menambah manfaat klinik dalam test PSA.
Dalam mendiagnosa BPH dan adenokarsinoma prostat diperlukan pemeriksaan colok dubur serta nilai Prostate Specific Antigen (PSA) serta pemeriksaan volume prostat dan biopsi prostat. Pada pasien karsinoma prostat memiliki nilai PSA yang lebih tinggi. Serum PSA lebih dari 4ng/mL merupakan suatu keadaan abnormal dan ini indikasi untuk dilakukan biopsi prostat. Tindakan ini dilakukan untuk mendeteksi kanker prostat sedini mungkin (Zhou, 2007). Pada kesempatan ini peneliti merasa tertarik untuk mengetahui perbedaan nilai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian adenokarsinoma prostat.
(17)
1.2. Rumusan Masalah
1. Adakah perbedaan nilai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma Prostat di RSUP H.AdamMalik-Medan tahun 2012?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya perbedaan nilai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma prostat.
1.3.2. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus pada penelitian ini adalah :
1. Untuk membuktikan apakah ditemukan perbedaan nilai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma Prostat.
2. Untuk menilai apakah nilai PSA cukup bermakna untuk dijadikan sebagai penanda tumor baik lesi jinak maupun ganas.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perbedaan nilai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma prostat.
2. Untuk mengetahui manfaat nilai PSA dalam memprediksi kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma prostat.
3. Sebagai diagnosa penunjang yang lebih akurat dalam menegakkan BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma Prostat, sehingga dapat dilakukan penangan an lebih awal.
4. Sebagai bahan informasi tambahan bagi instit usi rumah sakit dalam perencanaan pengobatan dan pencegahan.
(18)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Prostat
2.1.1. Embriologi Prostat
Sistem organ genitalia atau reproduksi pria terdiri atas testis, epididimis, vas deferens, vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan penis. Pada umumnya organ urogenitalia terletak di rongga retroperitonial dan terlindung oleh organ lain yang berada disekitarnya, kecuali testis, epididimis, vas deferens, penis, dan uretra (Purnomo, 2011). Pada masa kehamilan bulan ketiga, kelenjar prostat mulai berkembang dari invaginasi epithelial dari sinus urogenital posterior di bawah pengaruh mesenkim. Pembentukan normal dari kelenjar prostat membutuhkan
pengaruh 5α-dihidrotestoteron yang disintesa dari testoteron fetal oleh 5α -reduktase. Enzim ini dijumpai pada sinus urogenital dan genitalia eksternal. Konsekuensinya, defisiensi 5£-reduktase akan menye babkan prostat yang mengecil atau sama sekali tidak ada, walaupun epididimis, vasa deferentia dan vesikel seminal tetap normal (Hammerich et al, 2009). Pada waktu lahir, kelenjar tersebut kecil dan tumbuh bersamaan dengan semakin tingginya produksi androgen meningkat pada masa puber. Pada saat dewasa, kelenjar prostat masih stabil sampai umur 50 tahun yang selanjutnya mulai terjadi pembesaran (Badan POM RI, 2012).
2.1.2. Anatomi Kelenjar Prostat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah infe rior buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulasi. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat
(19)
ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan ±25% dari seluruh volume ejakulasi (Purnomo, 2011).
Prostat dibagi menjadi lima buah lobus yaitu lobus anterior, lobus medius, lobus posterior, dan lobus lateralis. Lobus anterior yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus dexter dan lobus sinister. Bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos. L obus medius yang terletak di antara uretra dan duktus ejakulatorius. Lobus ini banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula vesikae yang menonjol ke dalam vesika urinari bilalobus medius ini membesar. Sebagai akibatny a dapat terjadi bendungan aliran urin pada waktu buang air kecil. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan di bawah duktus ejakulatorius . Lobus lateralis terletak di sisi kiri dan kanan uretra (Wibowo dan Paryana, 2009).
Prostat merupakan organ yang mendapat persarafan yang luar biasa. Dua bundle neurovaskular terdapat pada posterolateral kelenjar dan membentuk pedicle superior dan inferior pada masing -masing sisi. Saraf-saraf ini penting untuk pengaturan fisiologi, morfologi dan pematangan k elenjar. Prostat mendapat inervasi saraf simpatetik dan parasimpatetik dari saraf hipogastrik dan pelvis. Saraf ini penting untuk fungsi ereksi, sehingga mendapat perhatian khusus pada operasi kanker prostat (Hammerich et al, 2009). Prostat mendapatkan ine rvasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis dua sampai empat dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10 -L2) (Purnomo, 2011). Pembuluh darah prostat berasal dari arteri vesikalis inferior dan arteri rektalis media atau arteri rektalis inferior. Pembuluh vena membentuk plexus yang terletak di antara kapsul dan faskia di sisi prostat. Vena ini bermuara pada vena iliaka interna dan juga pada plexus venosu s vertebra, sehingga dapat menerangkan terjadinya metastasis dari karsinoma prostat ke vertebra dan otak (Wibowo dan Paryana, 2009).
(20)
Gambar 2.1. Organ Prostat Pada Pria ( K . OH, William,2000) 2.1.3. Histologi Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona prepostatik sfingter, dan zona anterior. Secara histopatologik, kelenjar prostat terdiri atas komponen ke lenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblas, saraf, dan jaringan penyanggah yang lain (Purnomo, 2011).
Gambaran histologi dari kelenjar prostat terdiri dari duktus kelenjar yang bercabang –cabang. Kelenjar dan duktus terdiri dari dua lapisan sel yaitu lapisan sel kolumnar sekresi luminal dan lapisan sel basal (Eroschenko, 2001). Selain sel-sel epitel luminal dan sel-sel-sel-sel neuroendokrin pada duktus prostat. Sel stem tersebut samadengan stem yang dijumpai padasemua jaringan di tub uh. Sel stem berperan untuk regenerasi jaringan setelah jejas dan kematian sel (Cramer, 2007).
Zona perifer terdiri dari seluruh jaringan kelenjar prostat pada bagian apeks dan bagian posterior dekat kapsul. Pada zona ini lebih sering dijumpai karsinoma, prostatitis kronik dan atrofi post inflamatory. Zona sentral merupakan suatu daerah yang berbentuk kerucut dengan bagian apeks meliputi duktus ejakulasi dan uretra prostatitik pada verumontanum. Zona transisi terdiri dari dua
(21)
bagian jaringan kelenjar pada bagian lateral uretra dari bagian tengah kelenjar.
Pada zona ini sering terjadi BPH. Bagian apeks dari area ini kaya dengan otot
lurik yang bercampur dengan kelenjar dan otot dari diafragma pelvis (Hammerich
et al, 2009).
Gambar 2.2. Kalenjar Prostat
(Dikutip dari:
Wheather's Functional Histology: A text and Colour Atlas 5th
Edition
)
2.1.4. Fisiologi Kelenjar Prostat
Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel
prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat
ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik
memberikan inervasi pada otot polos prostat , kapsula prostat, dan leher buli
-buli. Di tempat itu banyak terdapat reseptor adrenergic -£. Rangsangan simpatik
menyebabkan dipertahankan tonus otot polos prostat tersebut. Pada usia lanjut
sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasia
jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saluran kemih (Purnomo , 2011).
(22)
2.2. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Pembesaran prostat jinak atau Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua pada penyakit kelenjar prostat di klinik urologi di Indonesia. Berdasarkan data yang ada, prevalensi BPH adalah u mur 41-50 tahun sebanyak 20%, 51-60 tahun 41-50%, >80 tahun sekitar 90%. Angka di Indonesia, bervariasi antara 24-30% dari kasus urologi yang dirawat di beberapa rumah sakit (Badan POM RI, 2012).
BPH adalah pertumbuhan berlebihan sel -sel prostat yang tidak ganas. BPH kadang tidak menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus berkembang, pada akhirnya akan mendesak uretra yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada penderita. Kelenjar prostat yang membesar akan menyumbat uretra prostat tersebut seakan-akan menyumbat saluran kemih sehingga menghambat aliran urin. Urin yang tertahan ini dapat berbalik lagi ke ginjal dan pada kasus -kasus tertentu dapat mengakibatkan infeksi pada kandung kemih (Badan POM RI, 2012).
BPH merupakan kasus terbanyak di bagian urologi, keadaan ini ditandai dengan pembesaran kelenjar prostat yang disebabkan oleh pertambahan jumlah sel dengan keluhan sering miksi, nocturia, kesulitan memulai dan mengakhiri miksi, dysuriadan retensi urin (Laksmi, 2012).
2.2.1. Etiologi
Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, tetapi sampai saat ini berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Hormon testosteron dalam kelenjar prostat akan diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT ). DHT inilah yang kemudian secara kronis merangsang kelenjar prostat sehingga membesar. Pembentukan nodul pembesaran prostat ini sudah mulai tampak pada usia 25 tahun pada sekitar 25% pria. Faktor lain yang mempengaruhi BPH adalah latar belakang kondisi penderita misalnya usia, riwayat keluarga, obesitas, meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan tinggi lemak hewani, olah raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes Mellitus, dan aktifitas seksual (Badan POM RI, 2012).
(23)
Menurut Birowo (2002) dalam Amalia (2007) ada beberapa teori yang dikemukakan berdasarkan faktor histologi, ho rmon, dan faktor perubahan usia di antaranya :
a. Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5-α reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
b. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer BPH adalah penonjolan kele njar yang kemudian bercabang menghasilkan kelenjar -kelenjar baru di sekitar prostat. Ia menyimpulkan bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang terjadi pada usia dewasa.
c. Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel amplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
d. Teorigrowth factors. Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel -sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor - α (TGF - α), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
(24)
Namun demikian, diyakini ada 2 fakto r penting untuk terjadinya BPH, yaitu adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan kelainan kongenital berupa defisiensi 5- α reduktase, yaitu enzim yang mengkonversi testosteron ke DHT, kadar serum DHT -nya rendah, sehingga prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosteron serum menurun disertai meningkatnya konversi testosterone menjadi estrogen pada jaringan periperal. Pada anjing, estrogen menginduksi reseptor androgen. Peran androgen dan estrogen dalam pembesaran prostat adalah kompleks dan belum jelas. Tindakan kastrasi sebelum masa pubertas dapat mencegah pembesaran . Penderita dengan kelainan genetik pada fungsi androgen juga mempunyai gangguan pertumbuhan prostat. Dalam hal ini, barangkali androgen diperlukan untuk memulai proses BPH, tetapi tidak dalam hal proses pemeliharaan. Estrogen berperan dalam proses pembesaran stroma yang selanjutnya merangsang pembesaran epitel.
2.2.2. Gejala Klinis a. Gejala BPH
Gejala klinis yang dijumpai pada pasien yang menderita BPH ditan dai dengan sering kencing, sulit kencing, nyeri saat berkemih, urin berdarah, nyeri saat ejakulasi, cairan ejakulasi berdarah, gangguan ereksi, dan nyeri pinggul atau punggung (Kirby, 1997).
b. Tanda Klinis
Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya p embesaran konsistensi kenyal pada pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination (DRE). Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2 (Roehborn dan McConnell, 2002).
(25)
2.2.3. Faktor Resiko
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah : 1. Kadar Hormon
Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih poten yaitu dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-reductase, yang memegang peran penting dalam pro ses pertumbuhan sel-sel prostat (Guess, 1995).
2. Usia
Menurut Birowo dan Raharjo (2002) dalam Amalia (2007) p ada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli -buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses a daptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala. Testis menghasilkan beberapa hor mon seks pria, yang secara keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron,dihidrotestosteron dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5-alfa-reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas lain testosteron adalah pemacu libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium di tulang. Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas.
3. Ras
Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi BPH dibanding ras lain. Orang -orang Asia memiliki insidensi BPH paling rendah (Roehborn et al, 2002).
(26)
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat t erkena BPH. Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-5 kali (Roehborn et al, 2002).
5. Obesitas
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estroge n yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel -sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada laki -laki biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen (Yatim , 2004).
6. Pola Diet
Makanan tinggi lemak dan rendah serat juga membuat penurunan kadar testosterone. Walaupun kolesterol merupakan bahan dasar untuk sintesis zat pregnolone yang merupakan bahan baku DHEA (dehidroepianandrosteron) yang dapat memproduksi testosteron, t etapi bila berlebihan tentunya akan terjadi penumpukan lemak pada perut yang akan menekan otot-otot seksual dan mengganggu testis, sehingga kelebihan lemak tersebut justru dapat menurunkan kemampuan seksual. Akibat lebih lanjut adalah penurunan produksi t estosteron, yang nantinya mengganggu prostat (Silva, 2006).
7. Aktivitas Seksual
Kalenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk pembentukan hormon laki -laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks berlebihan dan alasan kebersihan. Saat kegiatan seksual, kelenjar prostat mengalami peningkatan tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika suplai darah ke prostat selalu tinggi, akan terjadi hambatan prostat yang mengakibatkan kalenjar tersebut bengkak permanen. Seks yang
(27)
tidak bersih akan mengakibat kan infeksi prostat yang mengakibatkan BPH. Aktivitas seksual yang tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya kadar hormon testosterone (Raharjo, 1999 ).
8. Kebiasaan merokok
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosterone (Walsh, 1992 ).
9. Kebiasaan minum-minuman beralkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin B6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting unt uk kelenjar prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormone testosteron kepada DHT (Gass, 2002).
2.2.4. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli -buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kont raksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomi buli -buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli buli. Perubahan struktur pada buli -buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagaikeluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikel yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli -buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli -buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnyadapat jatuh kedalam gagal ginjal.
(28)
Obstruksi yang diakib atkan oleh hiperplasia prostat tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli -buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus (Purnomo, 2011).
2.2.5. Patogenesis
Hormon testoteron dianggap mempengaruhi bagian tepi prostat, sedang estrogen mempengaruhi bagian tengah prostat, ketidakseimbangan hormon ini membuat pertumbuhan yang abnormal pada salah satu bagian dari lobus prostat (Aritonang dan Sumantri, 2007).
2.2.6 Diagnosa
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, seda ngkan pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu. Pada 5 th International Consultation on BPH (IC-BPH)3 membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional).
a. Anamnesa
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau wawancara yang cermat guna mendapatk an data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis itu meliputi:
o Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu o Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, atau pem -bedahan)
o Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
o Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi
o Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.
(29)
b. Pemeriksaan Fisik
Colok dubur atau digital rectal examina-tion(DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemerik saan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli -buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung underestimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26 -34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33% (Roehrborn et al).
c. Pemeriksaan Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara -nya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjuk-kan adanya kelainan. Untuk itu kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan s itologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter (AUA, 2003).
d. Pemeriksaan PSA
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH, dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti adanya pertumbuhan volume prostat lebih cepat serta keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000)
(30)
bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun19. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.
2.2.7 Patologi Anatomi
Gambaran makroskopis prostat yaitu berat mencapai 70 -100 gram, terdapat cairan jaringan sekitar 30 cc, warna pu tih kemerahan,tonjolan terdapat pada lobus lateralis dan medius, jarang pada lobus posterior. Konsistensi tergantung dari komponen yang hiperplastik (Aritonang dan Sumantri, 2007).
Pada pemeriksaan mikroskopik dijumpai adanya proliferasi murni dari sel-sel stromal ataupun kedua komponen baik epitel dan sel-sel stromal. Proporsi elemen-elemen ini bervariasi antara satu nodul dengan nodul yang lain, mulai dari nodul proliferasi murni stroma fibromuskular sampai dengan nodul fibroepitelial yang dominan kelenjar. Proliferasi kelenjar membentuk kumpulan kelenjar -kelenjar kecil sampai dengan kelenjar-kelenjar besar dan berdilatasi, dilapisi oleh dua lapisan sel (bagian dalam oleh sel epitel kolumnar dan bagian luar oleh sel epitel kuboid atau pipih) dengan membran b asal yang utuh. Biasanya epitel tersebut karakteristik membentuk tonjolan atau gambaran papillaryke arah lumen kelenjar (Raphael dan Strayer, 2008).
Stroma dan asini kelenjar prostat hiperplasia, berkelok -kelok sebagian papiler, dilapisi epitel selapis ku bis. Sebagian isi kelenjar kistik. Tampak korpora amilase dalam lumen, stroma, jaringan ikat fibromuskuler berbentuk sel limfosit (Aritonang dan Sumantri, 2007).
(31)
Gamba Di (Dikutip dari: Wheathe Edition)
2.3. Adenokarsinoma Adenokarsinoma dijumpai pada laki-laki kematian karena kegana yang berusia diatas 50 tahun dan 75% pada usi prostat ini kemungkinan a bagian posterior lobus m
bar 2.3: MenunjukkanKorpora Amilase Di Dalam Salah Satu Kelenjar Prost at
ther's Functional Histology: A text and Colour on)
ma Prostat
a prostat merupakan keganasan yang paling aki yang berumur diatas 50 tahun dan penyeb anasan (Hendrianto, 2011). Tumor ini menyera 50 tahun, diantaranya 30% menyerang pria berus
usia lebih dari 80 tahun (Purnomo, 2011). Adenoka nan akibat hipertrofi sering ditemukan di lobus post
medius (Aritonang dan Sumantri, 2007).
our Atlas 5 th
ling umum ebab kedua erang pasien rusia 70 -80 nokarsinoma posterior pada
(32)
2.3.1. Etiologi
Perubahan gen pada kromosom 1, 17 dan kromosom X dijumpai pada pasien-pasien dengan riwayat keluarga kanker prostat. Gen hereditary prostate cancer 1(HPC1) dan gen predisposing for cancer of the prostate (PCAP) terdapat pada kromosom 1 sedang genhuman prostate cancer pada kromosom X. Sebagai tambahan, studi genetik menduga adanya suatu predisposisi keluarga y ang kuatpada 5-10% kasus kanker prostat. Laki-laki dengan riwayat keluarga kanker prostat memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mendapat kanker prostat (Dako, 2008).
Laki-laki Afrika Amerika memiliki prevalensi kanker pr ostat yang lebih tinggi dan lebih agresif dibanding dengan laki-laki berkulit putih. Laki-laki berkulit putih memiliki prevalensi kanker prostat yang lebih tinggi dibanding dengan laki-laki Asia. Studi menemukan bahwa kadar hormon testosteron pada laki-laki Afrika Amerika lebih tinggi 15% dibanding dengan laki -laki berkulit putih. Selanjutnya terbukti juga 5α-reduktase mungkin lebih aktif pada suku Afrika Amerika dibanding de ngan yang berkulit putih, yang mana ini menunjukkan perbedaan hormonal mungkin berpera n (Bostwick dan Meiers, 2008).
Ablasi androgen menyeba bkan regresi kanker prostat. Hsing dan Comstock melakukan studi besar dengan membandingkan prevalensi kanker prostat pada satu grup kontrol dengan satu grup yang diberikan inhibitor 5α
-reduktase. Inhibitor 5α-reduktase tersebut menunjukkan penurunan preval ensi tumor. ASCO ( The American Society of Clinical Oncology ) merekomendasikan penggunaaninhibitor 5α-reduktase sebagaichemopreventionkanker prostat (Pusat Data dan Informasi PERSI, 2004).
2.3.2. Gejala Klinis
Penderita adenokarsinoma prostat selalu menunju kkan gejala lokal seperti retensi urin (20-25%), nyeri pinggang dan tungkai (20 -40%), hematuria (10-15%), sering miksi (38%), penurunan aliran urin (23%). Akan tetapi 47% pasien tidak menunjukkan gejala klinis, sehingga pasien mungkin didiagnosa dengan
(33)
adenokarsinoma prostat stadium lanjut tanpa adanya gejala. Selain gejala lokal, dapat dijumpai gejala-gejala metastasis, seperti penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, nyeri pada tulang dengan atau tanpa fraktur patologis, nyeri dan bengkak pada tungk ai bawah, gejala uremik dapat muncul akibat obstruksi uretra dan retroperitoneal adenopathy(Laksmi, 2012).
2.3.3. Faktor Resiko
Adapun faktor-faktor resiko kanker prostat adalah : 1. Faktor Usia
Resiko menderita kanker prostat dimulai saat usia 50 tahun pada pria kulit putih, dengan tidak ada riwayat keluarga menderita kanker prostat. Sedangkan pada pria kulit hitam pada usia 40 tahun dengan riwayat keluarga satu generasi sebelumnya menderita kank er prostat. Data yang diperoleh melaui autopsi di berbagai negara menunjukkan sekitar 15-30% pria berusia 50 tahun menderita kanker prostat secara samar. Pada usia 80 tahun sebanyak 60 -70% pria memiliki gambaran histology kanker prostat (K. OH, William et al, 2000).
2. Faktor Genetik
Kanker disebabkan oleh suatu pr oses yang kompleks dan secara jelas masih belum dipahami mengenai interaksi di antara herediter dan lingkungan. Apa yang menjadi antara dasar faktor genetik dimasukkan menjadi faktor yang menyebabkan kanker prostat ini adalah menurut beberapa penelitian ya ng dibuat, resiko mendapatkan kanker prostat dilihat meningkat dari 2% hingga 9% pada pasien yang sebelumnya memiliki riwayat keluarga yang turut menderita penyakit yang sama (Negri, 1997).
3. Pekerjaan
Menurut penelitian yang dibuat mengenai hubungan antar a pekerjaan dan kanker prostat terdapat beberapa pekerjaan mungkin yang dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kanker prostat, antara lain pekerjaan tersebut adalah petani, pekerja yang berhubungan dengan
(34)
penggunaan logam berat, serta pekerjaan melibatka n industri pembuatan mobil (Bosland et al, 1990).
4. Diet
Kanker prostat juga sering dikaitkan dengan kadar pengambilan lemak. Di mana, baik lemak dari tumbuhan maupun lemak dari hewan. Akan tetapi, harus diingatkan bahwa tidak semua lemak punya kecenderungan untuk menyebabkan kanker prostat. Ini adalah berdasarkan hasil studi yang dijalankan pada orang Jepang yang tinggal di Jepang dan orang Jepang yang tinggal di Amerika, dari hasil penelitian yang dijalankan di lihat bahwa yang tinggal di Amerika lebih tinggi prevalensi menderita kanker prostat dibanding orang Jepang yang memang tinggal di Jepang. Hasil kultur sel menunjukkan bahwa asam lemak omega -6 merupakan stimulan positif terhadap pertumbuhan sel kanker prostat (McLaughlin et al, 1990).
2.3.4. Patogenesis
Diduga adanya perubahan endokrin pada usia lanjut merupakan penyebab kelainan ini. Sel epitel yang neoplastik , seperti dengan bentuk normal,memiliki reseptor steroid (androgen dan estrogen) yang berpengaruh terhadap hormon -hormon itu. Androgen dip erlukan untuk mempertahankan epitel prostat yang kemudian diubah oleh zat -zat yang belum dikenal (Aritonang dan Sumantri, 2007).
2.3.5 Diagnosa
Diagnosa kanker prostat dapat dilakukan atas kecurigaan pada saat pemeriksaan colok dubur yang abnormal atau p eningkatan Prostate Specific Antigen (PSA). Kecurigaan ini kemudian dikonfirmasi dengan biopsi, dibantu oleh trans rectal ultrasound scanning (TRUSS). Ada 50% lebih lesi yang dicurigai pada saat colok dubur yang terbukti suatu kanker prostat . Nilai predik si colok dubur untuk mendeteksi kanker prostat 21,53%. Sensitifitas colok dubur tidak memadai untuk mendeteksi kanker prostat tapi spesifisitasnya tinggi, namun bila
(35)
didapatkan tanda ganas pada colok dubur maka hampir semua kasus memang terbukti kanker prostat karena nilai prediktifnya 80% (Umar dan Agoes, 2002).
a. Digital Rectal Examination (DRE)
Pemeriksaan rutin prostat yang diperlukan adalah pemeriksaan rektum dengan jari atau digital rectal examination. Pemeriksaan ini menggunakan jari telunjuk yang dimasukkan ke dalam rektum untuk meraba prostat. Penemuan prostat abnormal pada DRE berupa nodul atau indurasi hanya 15-25 % kasus yang mengarah ke kanker prostat (Moul et al, 2005).
b. Pemeriksaan kadar PSA
Pemeriksaan PSA sangat baik digunakan bersamaan denga n pemeriksaan DRE dan TRUSS dengan biopsi. Pasien yang memiliki kadar PSA lebih dari 10 ng/ml biasanya menderita kanker prostat. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa hanya 2% laki -laki yang menderita BPH yang memiliki kadar PSA lebih dari 10 ng/ml. Seda ngkan dari 103 pasien dengan semua stadium kanker prostat, 44% memiliki kadar PSA lebih dari 10 ng/ml (K.OH, William, et al,. 2000)
c. Biopsi Prostat
Biopsi prostat merupakan “gold standart” untuk menegakkan diagnosa
kanker prostat. Pemeriksaan biopsi prosta t dilakukan apabila ditemukan peningkatan kadar PSA serum pasien atau ada kelainan pada saat pemeriksaan DRE atau kombinasi keduanya yaitu ditemukannya peningkatan kadar PSA serum dan kelainan pada DRE (Jefferson dan Natasha, 2009).
(36)
2.3.5. Patologi Anatomi
Untuk mengidentifikasi gambaran makroskopis pada penderita adenokarsinoma prostat sampai sekarang masih sulit. Walaupun warna sebagian tumor yang terlihat adalah putih kecoklatan,sebagian berwarna kuning. Pada prostatektomi, adenokarsinoma prost at cenderung multifokal, terutama dijumpai pada zona perifer, diikuti pada zona transisional dan kemudian zona sentral. Sebagian besar tumor teraba kenyal dan sebagian kecil teraba gembur dan lunak (Hammerich et al, 2009).
Gambaran mikroskopis adenokarsin oma prostat kadang tampak genjel -genjel sel tumor, inti hiperkromatik, kecil bulat, terletak di tengah sel. Sitoplasma banyak dengan batas sel jelas. Stroma diantaranya tidak ditemukan (Aritonang dan Sumantri, 2006).
Adenokarsinoma prostat memiliki gamb aran histopatologi mulai dari well differentiated sampai dengan poorly differentiated. Gambaran umum semua kanker prostat adalah hanya dijumpainya satu tipe sel tanpa adanya lapisan sel basal. Berbeda dengan kelenjar prostat yang jinak dijumpai suatu lapis an sel basal di bawah sel-sel sekresi. Pengenalan sel-sel basal dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin tidak mudah. Pada beberapa kasus yang jelas karsinoma, mungkin terlihat sel-sel yang menyerupai sel -sel basal. Akan tetapi apabila sel -sel tersebut diwarnai dengan antibodi yang spesifik untuk sel basal maka hasilnya negatif dan itu hanya fibroblast yang mengelilingi kelenjar yang ganas. Sebaliknya sel -sel basal mungkin tidak dikenali pada kelenjar -kelenjar yang jinak tanpa pewarnaan khusus (Eble et al, 2004).
(37)
Gambar 2.4 Adenocarcinoma with amphophilic cytoplasm and enlarged nuclei containing prominent nucleoli (WHO, 2004).
2.4 PSA(Prostate–specific Antigen)
PSA merupakan suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh sel epitel oleh asini dan duktus dari kelenjar prostat. Jaringan prostat dalam kondisi jinak dan ganas tetap menghasilkan PSA. PSA berkonsentrasi di jaringan prostat dan PSA serum normalnya sangat rendah. Nilai normal umum yang digunakan adalah 0 -4 ng/ml. Konsentrasi PSA seperti ini ditemukan di antara 97% dari pria di atas 40. Nilai PSA dalam serum lebih dari 12 ng/ml selalu berhubungan dengan kelainan prostat. Kesulitan diagnosa ditemukan di antara para pasien yang memiliki nilai PSA antara 5-10 ng /ml karena mungki n keduanya berasal dari adenokarsinoma prostat atau pertumbuhan berlebihan dari prostat. Nilai PSA tidak berkorelasi cukup baik dengan perkembangan adenokarsinoma prostat. Namun berguna sebagai faktor prognostik setelah perawatan diterapkan dan dalam penen tuan prognosis. Namun, tingkat akhir yang tinggi menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah (Zhou dan Galluzi, 2007 ).
(38)
2.4.1. Deteksi Dini PSA
American Cancer Societymenganjurkan agar semua pria berusia di atas 50 tahun mengikuti Program Deteksi Dini Kanker Prostat dengan melakukan pemeriksaan prostate specific antigen total (PSA) dan perabaan prostat melalui dubur yang disebut digital rectal examination (DRE). Pemeriksaan DRE harus dilakukan oleh dokter, sedangkan pemeriksaan nilai PSA dapat d ilakukan di laboratorium klinik.Bila ada riwayat kanker dalam keluarga, program deteksi dini kanker prostat ini dianjurkan sejak usia 40 tahun (Pusat Data dan Informasi PERSI, 2004).
(39)
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASION AL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep penelitian ini adalah:
Variabel Dependent Variabel Independent
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah penyakit yang menyebabkan kelenjar periuretra mengalami pembesaran sedangkan jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul. BPH akan timbul seiring dengan bertambahnya usia, sebab BPH erat kaitannya dengan proses penuaan (WHO, 2004).
Adenokarsinoma prostat adalah tumor ganas epitel invasif yang terdiri dari sel-sel sekretori. Karsinoma prostat merupakan keganasan paling sering diantara keganasan sistem urogenital pria dan biasanya ditemukan pada umur >50 tahun. Beberapa tahun terakhir, tingkat insiden mencerminkan tidak hanya perbedaan dalam resiko penyakit, tetapi juga tingkat diagnosis kanker laten dan dengan deteksi kanker laten pada jaringan yang diambil selama operasi prostaktetomi atau otopsi (WHO, 2004).
Nilai PSA
Tumor jinak prostat
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Tumor ganas
prostat
Adenokarsinoma prostat
(40)
PSA diproduksi oleh sel-sel epitel melapisi saluran -saluran prostat dan asinus yang disekresikan langsung kedalam duktus prostat. Gen PSA terletak di kromosom 19. Hasil transkripsi diatur dalam biosintesis dari 261 asam amino PSA prekursor. Prekursor ini diaktifkan oleh pe mbebasan proteolitik dari fragmen amino. Nilai PSA merupakan faktor penting dalam mendeteksi kanker prostat. Kadar serum di dalam PSA dianggap sebagai penanda prognostik. Peningkatan nilai PSA pada pasien berhubungan dengan meningkatnya volume tumor dan prognostic yang lebih buruk. Nilai normal umum yang digunakan adalah 0 -4 ng/ml. Kerusakan pada arsitektur jaringan prostat normal seperti pada penyakit prostat, inflamasi atau trauma, akan menyebabkan banyaknya jumlah nilai PSA yang masuk ke dalam sirkulasi . Konsentrasi nilai PSA lebih dari 12ng/ml selalu berhubungan dengan kela inan prostat. Kesulitan diagnosa ditemukan di antara para pasien yang memiliki tingkat konsentrasi 5 -10 ng/ml karena mungkin keduanya berasal dari adenokarsinoma prostat atau pertumbu han berlebihan dari prostat yang ringan (WHO, 2004).
Cara ukur dalam penelitian ini adalah dengan melihat nilai PSA pasie n pada hasil pemeriksaan laboratorium. Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala ukur numerik. Alat ukur yang diguna kan adalah melalui pemeriksaan laboratorium untuk melihat nilai PSA.
3.3. Hipotesis
Terdapat perbedaan nilai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma prostat.
(41)
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif -analitik dengan desain Cross Sectional (Sastroasmoro, 2008). Penelitian ini mengambil data sekunder melalui rekam medis untuk mengetahui perbedaan antara nilai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma prostat pada pasien pria.
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik-Medan pada periode bulan Agustus 2013 hingga bulan November 2013.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi
Populasi adalah sejumlah besar subjek yang mempunyai karakteristik tertentu (Wahyuni, 2007). Populasi penelitian adalah pasien rawat inap laki -laki yang didiagnosa sebagai penderita BPH dengan Adenokarsinoma Prostat di RSUP Haji Adam Malik-Medan periode tahun 2012.
4.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 2008).
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah : Kriteria inklusi :
o Semua pasien yang tercatat dalam rekam medi s yang menderita BPH dan adenokarsinoma prostat di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2012
o Semua pasien yang menderita BPH dan adenokarsinoma prostat yang telah diperiksa histopatologi
(42)
Kriteria eksklusi :
o Pasien yang memiliki data tidak lengkap
o Diagnosis ditegakkan tidak dengan cara histopatologi
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling ,yaitu penarikan sampel berdasarkan criteria -kriteria yang telah ditetapkan. Semua subjek yang memenuhi criteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi.
Besar sampel minimum yang diperlukan dihitung dengan rumus : N
n =
1 + N(d2) Keterangan :
n = Besar Sampel N = Besar Populasi
d = Tingkat kepercayaan /ketepatan yang diin ginkan (Notoatmodjo, 2005). Pada penelitian ini , ditetapkan nilai d adalah 0,1. Sedangkan berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan , didapatkan semua populasi sebesar 151 orang. Berdasarkan rumusdi atas, besarnya sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :
N n =
1 + N(d2) = 151
1+ 151(0,12) = 60,2 orang = 60 orang
Dengan demikian besar sampel minimal yang diperlukan untuk masing -masing populasi adalah 30 orang untuk tiap kelompok.
(43)
4.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang diambil adalah data sekunder yaitu rekam medik pasien yang menderita BPH dengan Adenokarsinoma p rostat di RSUP H. Adam Malik-Medan.
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data dianalisis dengan uji T dan diinterpretasikan dengan menguji hipotesis menggunakan program komputer SPSS sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui perbedaan nilai PSA pada kejadian BPH dengan nilai PSA pada kejadian Adenokarsinoma prostat.
(44)
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di bagian Rekam Medis, RSUP H. Adam Malik-Medan yang berlokasi di jalanBunga Lau No. 17.Data pasien yang diambil dalam kriteria penelitian yaitu pasien yang menderita Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dan adenokarsinoma prostat. Dalam kurun waktu selama 3 bulan terhitung dari bulan September sampa i bulan November 2013, data yang diambil untuk dijadikan sampel dalam penelitian sebanyak 60 pasien yang tediri dari 30 sampel pasien yang menderita BPH dan 30 sampel lagi untuk pasien yang menderita adenokarsinoma prostat yang memenuhi kriteria klinis dalam penelitian.
5.1.2 Deskripsi Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari rekam medis penderita Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dan adenokarsinoma prostat yang berisi hasil pemeriksaan nilai PSA di Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Data yang diambil berasal dari kurun waktu 1 Januari 2012 s ampai 31 Desember 2012.
5.1.2.1. Distribusi Kelompok Usia Responden
Distribusi data penelitian berdasarkan usia responden pada penderita BPH dan adenokarsinoma prostat untuk tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut :
(45)
Tabel 5.1. Distribusi Penderita BPH Dan Adenokarsinoma Prostat Berdasarkan Kelompok Usia Tahun 2012
Kelompok Usia
(Tahun) N %
41-50 3 5,0
51-60 20 33,3
61-70 18 30,0
71-80 13 21,7
81-90 6 10,0
Total 60 100,0
Berdasarkan tabel 5.1, diperoleh bahwa jumlah pasien pada penderita BPH dan adenokarsinoma prostat terbanyak didapati pada kelompok usia 51-60 tahun dengan angka kejadian 20 orang (33.3%) , kedua terbanyak didapati pada kelompok usia 61-70 tahun dengan angka kejadian 18 orang (30%). Kelompok usia dengan jumlah pasien p aling sedikit adalah kelompok usia 41-50 tahun dengan angka kejadian sebanyak 3 orang (5%).
5.1.2.2. Distribusi Nilai PSA
Berikut ditampilkan data distribusi nilai PSA pada pasien penderita BPH dan adenokarsinoma prostat.
Tabel 5.2. Distribusi Nilai PSA Pada Pasien BPH Dan Adenokarsinoma Prostat Tahun 2012
Nilai PSA
(ng/ml) N %
≤4 normal -
-5-12 sedang 23 38,3
>12 tinggi 37 61,7
(46)
Berdasarkan tabel diatas d iperoleh bahwa pada nilai PSA ≤4 ng/dl tidak dijumpai pasien yang me nderita BPH dan adenokarsinoma prostat. Nilai PSA tertinggi dijumpai pada kelompok nilai PSA >12 ng/ml sebanyak 37 orang (61,7%) disusul dengan kelompok nilai PSA 5 -12 ng/ml sebanyak 23 orang (38,3%).
5.1.2.3. Distribusi Kelompok Usia BPH dan Adenokarsi noma Prostat
Distribusi data penelitian yang menunjukkan gambaran kelompok usia pada pasien yang menderita BPH dan adenokarsinoma prostat tahun 2012 adalah sebagai berikut :
Tabel 5.3 Gambaran Kelompok Usia Pasien Penderita BPH dan Adenokarsinoma Prostat
Usia (Tahun)
BPH N %
Adenokarsinoma Prostat N %
Total
41-50 3 (5%) 0(0%) 3(5%)
51-60 8(13,3%) 12(20%) 20(33,3%) 61-70 11(18,3%) 7(11,7%) 18(30%) 71-80 5(8,3%) 8(13,3%) 13(21,7%)
81-90 3(5%) 3(5%) 6(10%)
Total 30 (50%) 30 (50%) 60 (100%)
` Dari tabel di atas diperoleh kelompok usia terbanyak pada penderita BPH pada kelompok usia 61-70 tahun sebanyak 11 orang dan terbanyak pada penderita adenokarsinoma prostat pada kelompok usia 51 -60 tahun ada 12 orang (20%). Kelompok usia paling sedikit pada penderita BPH didapati pada kelompok usia 41-50 tahun ada 3 orang (5%). Pada kelompok usia 41 -50 tahun dengan diagnosa adenokarsinoma prostat tidak dijumpai sama sekali.
(47)
5.1.2.4. Gambaran Nilai PSA Responden
Berikut ini ditampilkan tabel gambara n nilai PSA responden berdasarkan pengelompokan nilai PSA pada penderita BPH dan adenokarsinoma prostat.
Tabel 5.4. Pengelompokan Nilai PSA Pada Penderita BPH Dan Adenokarsinoma Prostat
Nilai PSA ng/ml
BPH N %
Adenokarsinoma Prostat N %
Total
≤4 normal 0(0%) 0(0%) 0(0%)
5-12 sedang 15(25%) 8(13,3%) 23(38,3%) >12 tinggi 15(25%) 22(36,7%) 37(61,7%)
Total 30 (50%) 30 (50%) 60 (100%)
Dari tabel diatas diperoleh nilai PSA tertinggi pada penderita BPH dijumpai pada rentang nilai PSA 5 12 ng/ml dan >12 sebanyak 15 orang masing -masing. Nilai PSA tertinggi pada adenokarsinoma prostat didapati pada nilai PSA >12 ng/ml sebnayak 22 orang.Nila i PSA≤4 tidak dijumpai sama sekali pada penderita BPH dan adenokarsinoma prostat. Total nilai PSA tertinggi BP H dan adenokarsinoma prostat didapati pada nilai PSA >12 ng/ml yang mengalami peningkatan.
5.1.2.5. Distribusi Nilai Rerata PSA
Jika dilihat dari distribusi nilai rerata PSA berdasarkan kelompok usia pada penderita BPH dan adenokarsinoma prostat pada tahun 2012 adalah sebagai berikut :
(48)
Tabel 5.5. Distribusi Nilai Rerata PSA Berdasarkan Kelompok Usia Responden
Usia (Tahun) Nilai PSA(ng/ml) BPH Nilai PSA(ng/ml) Adenokarsinoma Prostat
41-50 9,4
-51-60 23,6 47,1
61-70 11,9 27,9
71-80 60,2 26,3
81-90 29,1 53,7
Dari tabel. 5.5 di atas didapati kelompok usia dengan nilai rerata PSA tertinggi pada BPH pada kelompok usia 71 -80 tahun dengan nilai rerata PSA 60,2 ng/ml disusul nilai rerata PSA terendah pada BPH pada kelompok usia 41 -50 tahun dengan nilai PSA 9,4 ng/ml. Pada adenokarsinoma prostat kelompok usia 81-90 tahun memiliki nilai rerata PSA paling tinggi dengan rerata nilai PSA 53,7 ng/ml. Pada adenokarsinoma prostat tidak dijumpai sama sekali pada kelompok usia 41-50 tahun.
5.1.2.6. Analisa Perbedaan Nilai PSA pada Penderita BPH dan Adenokarsinoma Prostat
Berdasarkan uji T yang dilakukan diperoleh value dengan p>0,05 yang artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara nilai PSA pada penderita BPH dengan adenokarsinoma prostat.
5.2. Pembahasan
5.2.1. Analisis Gambaran Usia Pada Penderita BPH dan Adenokarsinoma Prostat
Berdasarkan tabel distribusi dari penelitian yang dilakukan, di peroleh bahwa kejadian pada BPH dan adenokarsinoma prostat banyak terjadi pada usia lanjut. Dibuktikan dari kelompok usia terbanyak dijumpai pada usia 51 -60 tahun dengan frekuensi 20 orang(33,3%). Kelompok paling sedikit dijumpai pada usia 41-50 tahun hanya ada 3 orang(5%). Pada BPH sendiri ditemukan kelompok usia
(49)
terbanyak pada usia 61-70 tahun dengan frekuens i 11 orang(18,3%) dan dijumpai frekuensi yang sama pada kelompok usia 41 -50 tahun dan 81-90 tahun sebanyak 3 orang. Kelompok usia 51 -60 tahun terbanyak yang dijumpai pada adenokarsinoma prostat dengan frekuensi 12 orang(20%).
Hasil yang didapatkan tidak b erbeda jauh dari penelitian yang di lakukan Khodjojo KZ (1999) bahwa pada pembesaran prostat jinak paling sering ditemukan pada pria berusia >50 tahun. Dalam penelitiannya yang meneliti 30 sampel pada penderita BPH dijumpai penderita pembesaran prostat jinak pada kelompok umur antara 51 -86 tahun dengan rata -rata umur 64.7 tahun. Dari penelitian yang dilakukan pada 70 penderita BPH yang dilakukan colok dubur , pada pemeriksaan histopatologi ditemukan 33 (47.2%) BPH, 29 (41.4%)Prostatic Intra-Epithelial Neoplasia (PIN) dan 8 (11.4%) adenokarsinoma prostat. Gambaran histopatologi berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada kelompok umur 50-59 tahun terbanyak ditemukan BPH 50.0% disusul PIN 37.5% dan adenokarsinoma prostat 12.5%. Kelompok umur 60 -69 tahun terbanyak ditemukan BPH 52.7% disusul PIN 38.0% dan adenokarsinoma prostat 8.3%. Kelompok umur 70-79 tahun terbanyak ditemukan PIN 50.0% disusul BPH (37.5%) dan adenokarsinoma prostat (12.5%). Kelompok umur >80 tahun ditemukan adenokarsinoma prostat dan PIN sama banyak 50.0% tetapi tidak ditemukan BPH.
Hal yang serupa juga didapati dari penelitian yang dilakukan oleh Rizki Amalia (2007) kasus BPH banyak ditemukan pada golongan umur 60 -69 tahun (44.2%) yaitu sebanyak 23 responden, kemudian pada golongan umur 70 keatas sebanyak 19 responden (36.5%). Jika dilihat dari pengelompokan umur hasil penelitian dengan kasus terbanyak ditemukan pada rentang usia 60 tahun keatas hampir sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.
Hasil ini selaras dengan hasil pene litian yang dilakukan sebelumnya bahwa umur menunjukkan faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya BPH. Selain umur, disebutkan juga adanya faktor -faktor lain terhadap resiko terjadinya BPH seperti riwayat keluarga, pola makanan berserat dan kebia saan merokok yang telah terbukti setelah dilakukan analisis secara multivariat.
(50)
5.2.2. Analisis Gambaran Nilai PSA pada Penderita BPH dan Adenokarsinoma Prostat
Berdasarkan tabel distribusi gambaran nilai PSA pasien penderita BPH dan adenokarsinoma prosta t pada tahun 2012 ditemukan nilai PSA tertinggi pada kelompok nilai PSA>12 ng/ml yang dikategorikan tinggi dengan frekuensi 37 orang(61,7%). Frekuensi nilai PSA pada BPH ditemukan sama pada nilai PSA 5 -12 ng/ml dan >-12 ng/ml masing -masing 15 orang. Dibandi ngkan dengan frekuensi BPH, frekuensi adenokarsinoma prostat paling banyak ditemukan pada nilai PSA>12 ng/ml sebanyak 22 orang(36,7%).
Hasil penelitian dari tabel distribusi rerata nilai PSA terhadap kelompok usia yang menderita BPH ditemukan rerata nil ai PSA tertinggi pada kelompok usia 71-80 tahun dengan rerata nilai PSA 60,2 ng/ml sedangkan pada adenokarsinoma prostat ditemukan rerata nilai PSA tertinggi pada kelompok usia 81-90 tahun dengan rerata nilai PSA 53,7 ng/ml.Jika dibandingkan nilai PSA BPH dan adenokarsinoma prostat pada kelompok usia tertentu terdapat kenaikan yang cukup signifikan dimana nilai rerata PSA pada pasien adenokarsinoma prostat cenderung lebih tinggi dibandingkan pasien BPH kecuali pada kelompok usia 71 -80 tahun, dimana rerata n ilai PSA pada BPH lebih tinggi dibanding adenokarsinoma prostat.
Hasil penelitian yang diperoleh ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruland nilai rerata PSA tertinggi dijumpai pada penderita dengan gambaran histopatologi adenokarsinoma prostat yaitu 19.25 ng/ml pada nilai antara 9.0-27.8 ng/ml disusul oleh penderita dengan gambaran histopatologi PIN yaitu 12.9 ng/ml pada nilai antara 2.6-26.1 ng/ml dan paling rendah pada penderita dengan gambaran histopatologi BPH yaitu 7,40 ng/ml pada nilai antara 0.7-24,9 ng/ml. Analisis statistik dengan uji one-way Anovamenunjukkan adanya perbedaan nilai PSA bermakna (p<0.05) menurut gambaran histopatologi. Nilai PSA pada adenokarsinoma prostat lebih tinggi daripada PIN dan nilai PSA pada PIN lebih tinggi daripada BPH. Nilai PSA <4ng/ml ditemukan BPH (75.0%), PIN (25.0%) dan tidak ditemukan adenokarsinoma prostat ; nilai PSA 4-10ng/ml ditemukan BPH (65.4%), PIN (30.8%) dan adenokarsinoma prostat (3.8%); nilai
(51)
PSA >10-20ng/ml ditemukan PIN ( 60.0%), BPH (15.2%) dan adenokarsinoma prostat (15.0%); nilai PSA >20ng/ml ditemukan PIN (50.0%), adenokarsinoma prostat (33.3%) dan BPH (16.7%). Ditemukan perbedaan distribusi hasil kategori nilai PSA menurut gambaran histopatologi. Hasil uji X2 menunjukkan perbedaan distribusi bermakna (p<0.05). Walaupun nilai PSA yang tinggi (>20ng/ml) dapat ditemukan pada ketiga gambaran histopatologi, tetapi nilai PSA <4ng/ml tidak ditemukan pada penderita adenokarsinoma prostat. Pada penelitian lain disebutkan rentang kadar PSA yang di anggap normal berdasarkan usia adalah pada kelompok umur 40-49 tahun nilai PSA 0-2.5 ng/ml, umur 50-59 tahun 0-3.5 ng/ml, umur 60-69 tahun 0-4.5 ng/ml, dan kelompok umur 70 -79 tahun nilai PSA 0-6.5 ng/ml (Dawson dan Whitfield). Tapi pada kenyataannya pa da penelitian yang dilakukan ini dijumpai adanya penderita BPH dengan nilai PSA <6.5 ng/ml.
5.2.3. Analisis Uji T
Dari uji T statistik yang dilakukan untuk menentukan apakah ada perbedaan antara nilai PSA pada BPH dengan adenokarsinoma prostat diperoleh p value 0,065 (p>0.05) . Nilai ini menunjukkan hipotesis pada penelitian ini ditolak artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara nilai PSA pada kejadian BPH dengan adenokarsinoma prostat. Akan tetapi jika dilihat dari rerata (mean) nilai PSA tetap ada perbedaan nilai dimana nilai PSA tertinggi lebih sering dijumpai pada penderita adenokarsinoma prostat dibandingkan dengan BPH. Selain itu diperkuat dengan penelitian -penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa gambaran nilai PSA pada penderita adenokars inoma prostat cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan nilai PSA pada BPH.
(52)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna secara statistik antar a nilai PSA pada kejadian BPH dengan adenokarsinoma prostat.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil yang di peroleh pada penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk penelitian berikutnya, sebaiknya dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar hasil yang didapatkan lebih akurat.
2. Untuk rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya, diharapkan untuk mengisi data rekam medis pasien dengan lengkap agar mempermudah untuk diagnosa dan prognosis.
(53)
DAFTAR PUSTAKA
Adshead JM. Stricker Philip D, Localized Prostate Cancer Questions Patients Ask, Medical Progress, Januari. 2005; 32 (1): 5 -12.
Amalia, M Rizki. 2007. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak (Studi kasus di RS dr. Kariadi, RS Roe mani dan RSI Sultan Agung Semarang), Tesis, Program Studi Magister Epidemiologi, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Aritonang JP dan Sumantri F. Atlas Mikroskopis dan Makroskopis Patologi Anatomi. Jakarta: Universitas Trisakti, 2007.
Badan POM RI. 2012. Alternatif Herbal untuk Kesehatan Prostat. Vol.13 No. 5 September-Oktober 2012.
Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak. Jurnal Kedokteran & Farmasi Medika. 2002. No 7 tahun ke XXVIII.
Bosland MC, Prinsen MK, Dirksen TJ, et a l (1990): Characterization of Adenocarcinomas of the Dorsolateral Prostate Induced in Wistar rats by /VMethylAfnitrosourea, 7,12 Dimethylbenz (a) Anthracene, and 3,2' -Dimethyl-4-Aminobiphenyl, Following Sequential Treatment with Cyproterone Acetate and Testosterone Propionate. Cancer Res; 50:700-9.
Bostwick DG, Meiers I.Urologic Surgical Pathology: Neoplasms of the Prostate. Mosby: Elsevier, 2008: 443 -546
Cramer SD.Prostate Cancer. New York: Chelsea House, 2007: 12 -102
Dako.Monoclonal Mouse Anti Hum an p63 Protein. 2008 [cited 2010 Oktober 7]. Available from:http://www.dako.com.
Dawson C dan Whitfield H. ABC urology: Bladder Outflow Obstruction . BMJ, 312:767-770, 1996.
Eble JN, Sauter G, Epstein Jl, Sesterhenn IA. Pathology and Genetics Tumors of the Urinary System and Male Genital Organs: Acinar Adenocarcinoma. Lyon: IARC Press, 2004: 162 -192
Eroschenko VP. Atlas Histology di Fiore dengan Korelasi Fungsional. Jakarta: ECG, 2001: 288 289
(54)
Gass R. BPH : The Opposite Effects of Alcohol and Coffe Intake. BJU Internasional, 90, 649-654. 2002 106
Guess. Epidemiology and Natural History of Benign Prostatic Hiperplasia. Urological Clinic of North America, Volume 22, no 2. Mei. 1995.
Hammerich KH, Ayala GE, Wheeler TM. Anatomy of the Prostate Gland and Surgical Pathology of Prostate Cancer. Cambridge University Press, 2009: 1-10.
Hendrianto. 2010. Profil Penderita Adenokarsinoma Prostat di Laboratorium Patologi Anatomi Kota Medan Tahun 2009. Medan : Program Magister Kedokteran Klinik Departeman Patologi Anatomi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Khodjojo KZ. Perbandingan Hasil Pemeriksaan Klinis Preoperatif dan Patologi Anatomi pada Penderita Pembesaran Prostat Jinak, Karya Akhir, Makassar,
1999;1-11.
Kirby, Roger S, Christmas, Timothy J. Benign Prostatic Hiperplasia. Second Edition. Mosby International.1997.
Kirby R, Fitzpatrick J. “Prostate-Specific Antigen Testing for the Early Detection of Prostate Cancer.” BJU Int, 2004;94(7) :966-7.
K. O. H, William, et al. 2000.Neoplasm of the Prostate. In : C. Bast, Robert et al, ed. Holland - Frei Cancer Medicine 5th Edition . USA : BC Decker Inc Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Pathologic Basic of Disease: Prostate.
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005: 1050-1056
Laksmi, Imelda L. 2012. Tampilan Histokimia p63 pada Lesi Jinak dan Ganas Prostat.from : www.repositoriusu.com
Malawat HR, Insidens Kanker Prostat di Makassar dan Sekitarnya dalam Jurnal Medika Nusantara, 2000; 21(4): 222-3.
McLaughlin, Leonard M. Sch uman, Erik Bjelke, Gloria Gridley, Sholom Wacholder: Diet, Tobacco Use, and Fatal Prostate Cancer : Results from the Lutheran Brotherhood Cohort Study, National Cancer Institute. Cancer Research 50. 6836-6840, November I, I990.
McNeal JE. 1988.Normal Histology of the Prostate. Am J Surg Pathol 12(8):619 -633
(55)
Negri E, La Vecchia C, Franceschi S, D'Avanzo B, Boyle P (1997): A Casecontrol Study of Diabetes Mellitus and Cancer Risk . Br J Cancer, 70: 950-953.
Palinrungi AM. Terapi Medikamentosa Pembesaran Prostat Jinak dalam Jurnal Medika Nusantara, April- Juni, 2001; 22 (2): 360-69.
Paryana Widjaja dan Wibowo Daniel S. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Purnomo BB. Dasar- Dasar Urologi, CV. Sagung Seto. Jakarta, 2011; 15-16, 123-127
Pusat data dan informasi PERSI. Kanker Prostat. 2004 . Available from: http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=927&tbl=artikel. (accessed May 18, 2013).
Presti JC.Neoplasms of the Prostate Gland in Smith”s General Urology Sixteenth Edition, Mc Graw Hill, Boston, 2004; 367 –84
Rahardjo D. Prostat: Kelainan-Kelainan Jinak, Diagnosis dan Penanganan. 1st ed. Jakarta: Asian Medical;1999.
Raphael R, Strayer DS. Rubin’s Pathology: Clinicopathologic Foundations of Medicine. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2008: 773 -778.s
Roehborn CG dan McConnell JD. Etiology, Pathophysiology, and Natural History of Benign Prostatic Hyperplasia. In : Campbell’s Urology. 8th ed.
W.B. Saunders ; 2002. p. 1297 -1330
Ruland .Total Prostate Specific Antigen, Prostate Specific Antigen Density And Histophatologic Analysis On Benign Enlargment Of Prostate
Department of Clinical Pathology, Medical Faculty, Ha sanuddin University, Makassar
Sastroasmoro S., 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.
Silva R. Prostat Health Diet that Reducer Enlarged Prostate. 2006 URL : http:// www. Prostatehealth_Care.com. Diakses 15Mei 2013.
Stephan C, Jung K.Indirect Free PSA and Other Molecular Forms of PSA in Lab Medica International, Johns Hopkins Medical Institutions, Baltimore, USA, 2004; 14-6. The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.5 July 2009 p. 263-274
(56)
Wahyuni, A.S., 2007. Statistika Kedokteran. Jakarta: Bamboedoea Communication
Walsh, Patrick C. Benign Prostatic Hyperplasia. In : Campbell’s Urology. 6thed. W.B. Saunders ; 1992. p.1009 -1025
World Health Organization, 2004. Pathology and Genetics of Tumors of the Urinary System and Male Genital Organs.
Yatim F. Pengobatan terhadap Penyakit Usia Senja, Andropause dan Kelainan Ginjal. Jakarta : Pustaka Populer Obor. 2004
Zhou M, Galluzi CM. Genitourinary Pathology: Neoplasms of the Prostate and Seminal Vesicles. Philadelphia: Elsevier, 2007: 56-84.
(57)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ivo Anjani
NIM : 1001000252
Tempat/Tanggal lahir : Pematang Siantar / 24 September 1991 Agama : Islam
Alamat : Setiabudijln.Abadi Gang Mulya Orang Tua : a. Ayah :AmirlanRitonga
b. Ibu : MisniRobiati
Riwayat Pendidikan : 1. SDN Siringo-ringo (1997-2003) 2. SMPN 2 Rantau Utara (2003 -2006) 3. SMAN 2 Rantau Utara (2006 -2009) 4. Fakultas Kedokteran USU (2010 -sekarang) Riwayat organisasi : 1. Anggota Kader Muda HMI Komisariat FK USU
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)