Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Unjuk Rasa Yang Bersifat Anarki (Studi Putusan Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn

(1)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

PELAKU UNJUK RASA YANG BERSIFAT ANARKI

(STUDI PUTUSAN NOMOR: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh:

NIM 050200282

DANIEL SIMAMORA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU UNJUK RASA YANG BERSIFAT ANARKI (STUDI PUTUSAN NOMOR: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn)

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh SKRIPSI

Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

NIM 050200282 DANIEL SIMAMORA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP. 196107021989031001 ABUL KHAIR, SH., M.Hum.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr.Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum.

195102061980021001 131572434

Berlin Nainggolan, SH.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan karunia yang begitu besar kepada Penulis sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Unjuk Rasa Yang Bersifat Anarki (Studi Putusan Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn” dapat terselesaikan. Sejalan dengan penyelesaian skripsi ini begitu banyak hikmah yang penulis terima terutama dalam hal kesabaran, ketekunan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Disiplin dan kesabaran untuk memahami orang lain, kemampuan berpikir dan daya nalar, khususnya dalam penyelesaian skripsi ini merupakan pengalaman berharga yang tidak terlupakan.

Penulis menyadari akan keterbatasan yang dimiliki selama penulis menyelesaikan skripsi dan telah melibatkan banyak pihak yang memberi bantuan moril dan materiil serta berbagi kemudahan fasilitas bahkan doa yang tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Abul Khair, S.H.,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Nurmalawaty, S.H.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah membimbing penulis dalam akademik dari semester awal sampai dengan semester akhir.

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam membimbing, memberi waktu, sumbangan pikiran, tenaga dalam memberikan saran dan kritik serta mengevaluasi sehingga penulisan skripsi ini berjalan dengan baik.

6. Bapak Berlin Nainggolan, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam membimbing, memberi waktu, sumbangan pikiran, tenaga dalam memberikan saran dan kritik serta mengevaluasi sehingga penulisan skripsi ini berjalan dengan baik.

7. Para Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan mengajar penulis selama perkuliahan.

8. Bapak Billiater Sitepu, SH, selaku Wakil Panitera Pengadilan Negeri Medan yang telah banyak membantu untuk memperoleh data yang penulis perlukan dalam menyelesaikan skripsi ini

9. Ungkapan yang tulus hormat serta cinta dan terima kasih penulis kepada orang tua penulis Ayahanda Armen Simamora, S.H dan Ibunda Sulastri Simbolon, atas didikan, cinta dan kasih sayang yang tak ternilai, dorongan, semangat, dan pengorbanan serta doa yang tak henti-hentinya yang telah membangkitkan semangat dalam diri penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan limpahan rahmat dan karunia serta kesehatan kepada Ibunda tercinta.


(5)

10. Ungkapan terima kasih yang tulus kepada adik-adikku Arlentina Simamora dan Jonathan Simamora untuk doa dan dukungannya.

11. Penulis juga tidak lupa untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman di Fakultas Hukum yang telah memberikan dorongan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya semoga kita semua senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca..

Medan, Maret 2010

Penulis,


(6)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU UNJUK RASA YANG BERSIFAT ANARKI (STUDI PUTUSAN NOMOR: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn)

*) Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum **) Berlin Nainggolan, SH, M.Hum

***) Daniel Simamora ABSTRAKSI

Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bagian dari kehidupan demokrasi di suatu negara karena demonstrasi merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan pendapat dimuka umum. Demonstrasi yang terjadi di seluruh bagian dunia, People Power, bahkan di Indonesia dengan Peristiwa 1966 dan 1998 di Indonesia telah menjadi contoh nyata bagi kita bahwa demonstrasi dan aksi rakyat telah menjadi bagian dari sejarah penting bagi negara maju dan berkembang. Semua menjadi bukti bahwa demonstrasi adalah proses yang wajar dan bahkan kontributif bagi perkembangan dan perbaikan suatu bangsa.

Namun Demonstrasi pun terkadang telah menjadi semakin tak berarah, dan merugikan masyarakat apabila terjadi tindak pidana misalnya dengan pengerusakan serta penganiayaan atau anarkisme. Anarki pada saat demonstrasi tidak mungkin disebabkan hanya oleh satu faktor saja, tapi disebabkan oleh banyak faktor (multi faktor), seperti faktor psikologi, atau faktor dari luar maupun dari dalam demonstran itu sendiri.

Peranan Penanggungjawab demonstrasi sangat besar dalam mengendalikan jalannya demonstrasi agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Penanggungjawab demonstrasi memegang peranan penting sejak dari awal demonstrasi yaitu dengan melakukan koordinasi dengan kepolisian dan mengendalikan massa hingga berakhirnya demonstrasi. Pada umumnya, orang-orang yang mempunyai pengaruh besar dan mampu menggerakkan massa, dipilih menjadi Penanggung jawab. Akan sangat berbahaya apabila para penanggungjawab demonstrasi tersebut melakukan provokasi terhadap massanya yang dapat berakibat keadaan yang kacau (chaos), karena dalam karakteristik kerumunan (crowd/ collective) masing-masing individu akan sangat mudah melakukan tindakan meniru perbuatan individu lain yang berada dalam barisan demonstrasn. Mengingat peranan penaggung jawab demonstrasi yang begitu penting, maka apabila penanggung jawab demonstrasi tersebut melakukan tindak pidana pada saat demonstrasi, maka ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya ditambah 1/3 (satu per tiga) hukuman pokok.

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSI ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penulisan ... 7

F. Tinjauan Pustaka ... 7

a. Pengertian Tindak Pidana... 7

b. Pertanggungjawaban Pidana... 10

c. Pengertian Unjuk Rasa atau Demonstrasi ... 17

d. Pengertian Anarki ... 19

G. Metode Penelitian ... 21

H. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANARKISME SAAT UNJUK RASA/ DEMONSTRASI A. Unjuk Rasa Sebagai Hak Asasi Manusia ... 24


(8)

B. Asas dan Tujuan Demonstrasi ... 27 C. Faktor-Faktor Penyebab Anarkisme Saat Demonstrasi ... 31

BAB III TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG JAWAB DEMONSTRASI A. Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Pendapat Dimuka Umum .... 47 B. Ketentuan Pidana Didalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 ... 51 C. Pertanggungjawaban Penanggung Jawab Demonstrasi ... 52 D. Kasus dan Analisa Kasus... 54

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN ... 124 B. SARAN... 126


(9)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU UNJUK RASA YANG BERSIFAT ANARKI (STUDI PUTUSAN NOMOR: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn)

*) Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum **) Berlin Nainggolan, SH, M.Hum

***) Daniel Simamora ABSTRAKSI

Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bagian dari kehidupan demokrasi di suatu negara karena demonstrasi merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan pendapat dimuka umum. Demonstrasi yang terjadi di seluruh bagian dunia, People Power, bahkan di Indonesia dengan Peristiwa 1966 dan 1998 di Indonesia telah menjadi contoh nyata bagi kita bahwa demonstrasi dan aksi rakyat telah menjadi bagian dari sejarah penting bagi negara maju dan berkembang. Semua menjadi bukti bahwa demonstrasi adalah proses yang wajar dan bahkan kontributif bagi perkembangan dan perbaikan suatu bangsa.

Namun Demonstrasi pun terkadang telah menjadi semakin tak berarah, dan merugikan masyarakat apabila terjadi tindak pidana misalnya dengan pengerusakan serta penganiayaan atau anarkisme. Anarki pada saat demonstrasi tidak mungkin disebabkan hanya oleh satu faktor saja, tapi disebabkan oleh banyak faktor (multi faktor), seperti faktor psikologi, atau faktor dari luar maupun dari dalam demonstran itu sendiri.

Peranan Penanggungjawab demonstrasi sangat besar dalam mengendalikan jalannya demonstrasi agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Penanggungjawab demonstrasi memegang peranan penting sejak dari awal demonstrasi yaitu dengan melakukan koordinasi dengan kepolisian dan mengendalikan massa hingga berakhirnya demonstrasi. Pada umumnya, orang-orang yang mempunyai pengaruh besar dan mampu menggerakkan massa, dipilih menjadi Penanggung jawab. Akan sangat berbahaya apabila para penanggungjawab demonstrasi tersebut melakukan provokasi terhadap massanya yang dapat berakibat keadaan yang kacau (chaos), karena dalam karakteristik kerumunan (crowd/ collective) masing-masing individu akan sangat mudah melakukan tindakan meniru perbuatan individu lain yang berada dalam barisan demonstrasn. Mengingat peranan penaggung jawab demonstrasi yang begitu penting, maka apabila penanggung jawab demonstrasi tersebut melakukan tindak pidana pada saat demonstrasi, maka ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya ditambah 1/3 (satu per tiga) hukuman pokok.

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti kita ketahui, bahwa fungsi hukum adalah untuk mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan hubungan antara manusia dan negara agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian dengan mewujudkan kepastian hukum dan keadilan didalam masyarakat. Kepastian hukum menghendaki adanya perumusan kaedah-kaedah dalam peraturan perundang-undangan itu harus dilaksanakan dengan tegas.

Asas kepastian hukum berfungsi agar warga masyarakat bebas dari tindakan pemerintah dan pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dan sewenang-wenang. Implementasi asas ini menuntut dipenuhinya :1

1

- Syarat legalitas dan konstitusionalitas, tindakan pemerintah dan pejabatnya bertumpu pada perundang-undangan dalam kerangka konstitusi.

- Syarat Undang-undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan.

- Syarat perundang-undangan hanya mengikat warga masyarakat setelah diundangkan dan tidak berlaku surut ( Non Retroaktif).

- Asas peradilan bebas terjaminnya objektifitas, adil dan manusiawi.

terakhir diakses tanggal 5 Maret 2010


(11)

- Asas bahwa Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara dengan alasan hukum tidak ada atau tidak jelas.

Oleh karena itu, hukum mengatur kepentingan-kepentingan warga masyarakat dan hukum ditetapkan untuk suatu persitiwa yang terjadi di masa sekarang atau di masa yang akan datang, maka pelaksanaannya harus dilaksanakan dengan tegas sesuai dengan ketetapan yang ada di dalam undang-undang untuk mencapai suatu kepastian hukum dan ketertiban di dalam masyarakat.

Pelaksanaan undang-undang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mempunyai arti yang sangat penting, karena apa yang menjadi tujuan hukum justru terletak pada pelaksanaan hukum itu sendiri. Ketertiban dan kenyamanan hanya dapat diwujudkan dalam kenyataan apabila hukum itu dilaksanakan, karena memang hukum diciptakan untuk dilaksanakan.

Kalau hukum tersebut tidak terlaksana, maka hukum atau undang-undang itu hanya merupakan susunan kata-kata yang tidak mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat. Peraturan hukum atau undang-undang yang demikian akan mati dengan sendirinya.

Secara tradisional ada yang memusatkan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban. Kalau dikaji lebih dalam, pada tingkat tertentu dua tujuan itu tidak selalu seiring bahkan dapat bertentangan satu sama lain. Tujuan mewujudkan keadilan berbeda dengan tujuan mewujudkan ketertiban. Dalam keadaan tertentu, tuntutan keadilan akan melonggarkan kepastian hukum, sedangkan kepastian hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan


(12)

ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban. Sebaliknya pada tingkat tertentu, ketertiban dapat menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan kepastian, ketertiban memerlukan persamaan (equality), sedangkan keadilan harus memungkinkan keberagaman atau perbedaan perlakuan. Uraian diatas sekedar ingin menunjukkan bahwa permasalahan hukum tidaklah sesederhana seperti acap kali didengung-dengungkan. Sekedar konsep, sangat mudah mengucapkan keadilan dan ketertiban, tetapi pada tatanan operasional didapati bermacam-macam masalah yang dihadapi. Bahkan seperti disebutkan diatas, dapat terjadi pertentangan satu sama lain

Rasa keadilan serta keinginan untuk hidup lebih sejahtera merupakan keinginan dari seluruh rakyat dimanapun dia berada. Namun apabila rakyat tidak mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh Penguasa ataupun Pemerintah untuk hidup lebih baik, rakyat akan melakukan unjuk rasa atau demonstrasi.

Tragedi Tiananmen di Cina, Revolusi Prancis, Revolusi Amerika Serikat, perjuangan-perjuangan kemerdekaan di seantero dunia, Peristiwa People Power di Filipina, revolusi di Rusia, hingga Peristiwa 1966 dan 1998 di Indonesia telah menjadi contoh nyata bagi kita bahwa demonstrasi dan aksi rakyat telah menjadi bagian dari sejarah penting bagi negara maju dan berkembang. Semua menjadi


(13)

bukti bahwa demonstrasi adalah proses yang wajar dan bahkan kontributif bagi perkembangan dan perbaikan suatu bangsa.2

Tetapi aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang mulai marak akhir-akhir ini terkadang disertai juga dengan tindakan yang tidak bertanggungjawab yaitu dengan melakukan pengerusakan fasilitas umum, yang tentunya bertentangan dengan tujuan dari unjuk rasa atau demonstrasi itu sendiri. Aksi demonstrasi yang tidak bertanggungjawab tersebut tentunya melanggar ketentuan yang terdapat

Demonstrasi adalah tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, ketidakberpihakan, mengajari hal-hal yang dianggap sebuah penyimpangan. Maka dalam hal ini, sebenarnya secara bahasa demonstrasi tidak sesempit, melakukan

long-march, berteriak-teriak, membakar ban, aksi teatrikal, merusak pagar, atau tindakan-tindakan yang selama ini melekat pada kata demonstrasi. Seharusnya demonstrasi juga “mendemonstrasikan” apa yang seharusnya dilakukan oleh pihak yang menjadi objek protes.

Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bagian dari kehidupan demokrasi di suatu negara karena demonstrasi merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan pendapat dimuka umum. Demonstrasi yang terjadi belakangan ini pada dasarnya semakin marak sejak jatuhnya rezim Orde Baru, dalam kaitan ini masyarakat Indonesia sudah mulai banyak yang melihat, mendengar bahkan terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan demonstrasi.

2

terakhir diakses tanggal 5 Maret 2010


(14)

dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Sepuluh tahun pula reformasi bergulir, demonstrasi masih menjadi pilihan beberapa pihak untuk menyuarakan kepentingan, ide, dan kritiknya. Demonstrasi sengketa hasil Pilkada, demonstrasi mahasiswa, aksi jahit mulut, hingga demonstrasi buruh terus mewarnai kehidupan demokrasi di negara ini. Cita-cita mulia reformasi, yang konon masyarakat adil dan makmur, tampaknya belum juga tercapai. Demonstrasi pun telah menjadi semakin tak berarah, dan merugikan masyarakat apabila terjadi tindak pidana misalnya dengan pengerusakan serta penganiayaan atau anarkisme.

Seperti terlihat dari akibat aksi anarki para pengunjuk rasa pendukung Propinsi Tapanuli di Gedung DPRD Sumatera Utara pada tanggal 3 Februari 2009. Anarkisme tersebut menimbulkan kerusakan fasilitas DPRD Sumatera Utara dan fasilitas umum, dan yang sangat disesalkan adalah meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara, H. Abdul Aziz Angkat.

Dampak dari aksi anarki tersebut, tidak hanya terhadap fasilitas negara, namun juga dirasakan oleh orang-orang yang tidak terlibat dalam politis, seperti kutipan dari Harian Kompas:3

“Demonstrasi yang berakhir anarkis ini juga melukai Edward Tampubolon (27) seorang penjual rokok. Edward pingsan setelah terkena lemparan batu di kepalanya hingga berdarah. Edward yang tidak sadar diri lalu dibawa petugas keamanan DPRD Sumut ke RS Malahayati, Medan. Edward membayar sendiri pengobatannya. ”Uang yang tersisa Rp 52.000 di kantong saya habis. Lima bungkus rokok saya juga hilang,” katanya.”

3

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/04/00180640/Polisi.Periksa.13.Saksi, terakhir diakses tanggal 25 Februari 2010


(15)

B. Permasalahan

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan tindakan anarki pada saat demonstrasi?

2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Penanggung Jawab Demonstrasi (Studi Putusan Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn)?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menyebabkan tindakan anarki pada saat demonstrasi.

b. Untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban penanggung jawab unjuk rasa/ demonstrasi, dalam hal ini dengan mengambil studi Putusan Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Sebagai bahan kajian lebih lanjut terhadap persoalan dibidang pidana, khususnya tentang pertanggungjawaban pidana pelaku unjuk rasa.

b. Sebagai bahan bagi masyarakat dan akademisi untuk mendapatkan kajian yuridis terhadap kasus demonstrasi Propinsi Tapanuli yang berakhir anarki.


(16)

c. Sebagai bahan kajian bagi pemerintah dalam melakukan social engineering terhadap masyarakat yang menyalurkan aspirasinya melalui demonstrasi agar tidak melakukan tindakan anarki.

E. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang diketahui dan ditelusuri oleh penulis di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan mengenai Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Unjuk Rasa yang Bersifat Anarki (Studi Putusan Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn), belum pernah dilakukan sebelumnya.

Hal ini sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Depertemen Hukum Pidana mengenai tidak adanya judul yang sama.

Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini; maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah karya penulis yang asli.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah ”Peristiwa Pidana” atau ”Tindak Pidana” adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda ”strafbaar feit”. Dalam bahasa Indonesia disamping istilah ”peristiwa pidana” untuk terjemahan strafbaar feit atau delict dikenal juga


(17)

beberapa terjemahan lain tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum dan perbuatan yang dapat dihukum.4

Perumusan peristiwa pidana menurut Prof. Simons adalah ”Een strafbaargelesetelde, onrechtmatige, met schuld in verband standee handeling van een teorekeningvatbar person”. Adapun maksud dari perumusan tersebut adalah salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Perumusan Simons tersebut menunjukkan unsur-unsur peristiwa pidana diantaranya handeling (perbuatan manusia) dimana perbuatan manusia tidak hanya een doen (perbuatan) akan tetapi juga een natalen

atau niet doen (melakukan atau tidak terbuat).

Beberapa sarjana telah berusaha untuk memberikan perumusan tentang pengertian dari peristiwa pidana, diantaranya:

1. VOS

VOS hanya memberikan perumusan yang sangat singkat mengenai tindakan/perbuatan pidana. Menurut beliau bahwa strafbaar feit ialah kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana.

2. D. Simons

5

Unsur-unsur yang lain adalah perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederechtelijk), perbuatan itu diancam dengan pidana (strafbaargestelde) oleh undang-undang, harus dilakukan oleh seseorang yang mampu

4

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana , cetakan ke-1, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal.37

5 Ibid


(18)

bertanggungjawab (toerekeningsvarbaar), dan pada perbuatan itu harus terdapat kesalahan (schuld) si pelaku).

3. Van Hamel

Perumusan perbuatan pidana atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Van Hamel sebenarnya sama dengan yang dikemukakan oleh Simons. Van Hamel menguraikan bahwa makna kesalahan (schuld) lebih tegas lagi. Menurutnya kesalahan meliputi juga kesengajaan, kealpaan, serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab. Van Hamel juga menyatakan bahwa istilah strafbaar feit tidak tepat, tetapi dia menggunakan istilah strafwaardig feit (peristiwa yang bernilai atau patut dipidana).6

Moeljatno cenderung lebih suka menggunakan kata ”perbuatan pidana” daripada kata ”tindak pidana”. Menurut beliau kata ”tindak pidana” dikenal karena banyak digunakan dalam perundang-undangan untuk menyebut suatu ”perbuatan pidana”

4. Moeljatno

7

Wujud dari perbuatan ini pertama-tama harus dilihat pada perumusan tindak pidana dalam Pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana. Perumusan ini dalam bahasa Belanda dinamakan delicts-omschrijving. Misalnya dalam tindak

.

Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

6 Ibid 7


(19)

pidana pencurian, permumusan secara formil, yaitu benar-benar disebutkan wujud suatu gerakan tertentu dari badan seorang manusia.

Sebaliknya perumusan secara materil memuat penyebutan suatu akibat yang disebabkan oleh perbuatannya, seperti misalnya tindak pidana pembunuhan, yang dalam Pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai ”mengakibatkan matinya orang lain”.

Perbedaan perumusan formil dan materil ini tidak berarti bahwa dalam perumusan formil tidak ada suatu akibat sebagai unsur tindak pidana. Juga dalam tindak pidana dengan perumusan formil selalu ada akibat yang merupakan alasan diancamkannya hukuman pidana. Akibat ini adalah selalu suatu kerugian pada kepentingan orang lain atau kepentingan negara.

”Perbuatan” biasanya bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif, yaitu terjadi apabila orang tidak melakukan suatu perbuatan tertentu yang ia wajib melakukan sehingga suatu peristiwa terjadi yang tidak akan terjadi apabila perbuatan tertentu itu dilakukan. Sebagai contoh dapat dikemukakan seorang ibu yang tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi sehingga anak itu meninggal dunia8

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut,

.

2. Pertanggungjawaban Pidana

8


(20)

dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya)9. Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dsb)10

Alf Ross mengemukakan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud dengan seseorang yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pertanggung jawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum yang diisyaratkan. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan, apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum mens rea)

.

11

Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya.

.

Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.

9

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1991, hal. 1006 10

Ibid, hal. 766 11


(21)

Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.12

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelectual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu :

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat.

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu :

a. Disengaja

b. Sikap kurang hati-hati atau lalai

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.

12

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, 1983. Jakarta: Bina Aksara, hlm. 153


(22)

diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Oleh karena kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan13

Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.” Kalau tidak dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila

.

13


(23)

hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut :

1. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus. 2. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

Untuk menentukan adanya pertanggung jawaban, seseorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa “kesengajaan” (opzet) atau karena “kelalaian” (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam teori hukum pidana Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu14

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggung jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman

: 1. Kesengajaan yang bersifat tujuan

14


(24)

pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan.

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan sebagai berikut :

“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurangan paling lama satu tahun.” Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu :15

Dari ketentuan diatas, dapat diikuti dua jalan, yaitu pertama memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-duga menurut semestinya. Yang kedua memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum

b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum

15


(25)

menentukan adanya kealpaan. Siapa saja yang melakukan perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang semestinya, ia juga tidak mengadakan menduga-duga akan terjadi akibat dari kelakuannya. Selanjutnya ada kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan demikian tidak mengadakan penduga-duga yang perlu menurut hukum terdiri atas dua kemungkinan yaitu:

a. Terdakwa tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.

b. Terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi ternyata tidak benar.

Kemudian syarat yang ketiga dari pertanggung jawaban pidana yaitu tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat. Dalam masalah dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara “dasar pembenar” (permisibilry) dan “dasar pemaaf” (ilegal execuse). Dengan adanya salah satu dasar penghapusan pidana berupa dasar pembenar maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/boleh, pembuatanya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Namun jika yang ada adalah dasar penghapus berupa dasar pemaaf maka suatu tindakan tetap melawan hukum, namun si pembuat dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana.

Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP, selain itu ada pula dasar penghapus diluar KUHP yaitu16

2. Hak jabatan atau pekerjaan

:

1. Hak mendidik orang tua wali terhadap anaknya/guru terhadap muridnya.

16

Edi Setiadi, Hukum Pidana dan Perkembangannya, 1999. Bandung, Fakultas Hukum Unisba, hal. 48


(26)

Yang termasuk dasar Pembenar Bela paksa Pasal 49 ayat 1 KUHP, keadaan darurat, pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, pemerintah jabatan-jabatan Pasal 51 ayat 1 Dalam dasar pemaaf atau fait d’excuse ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit dalam daya berpikir, daya paksa (overmacht), bela paksa, lampau batas (noodweerexes), perintah jabatan yang tidak sah.

Seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Masalah pertanggungjawaban tersebut sangat berkaitan erat dengan adanya kesalahan.

3. Pengertian Unjuk Rasa atau Demonstrasi

Didalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pada Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa: ” Unjuk Rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran”. Dari pengertian demonstrasi menurut Undang-undang ini, demonstrasi juga berarti unjuk rasa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”Demonstrasi” berarti pernyataan protes yang dikemukakan secara massal (unjuk rasa). ”Mendemonstrasi” berarti menentang suatu pihak atau seseorang dengan cara berdemonstrasi.17

17


(27)

Demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang dihadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah atau para buruh yang tidak puas dengan perlakukan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lain. Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengerusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan.

Demonstrasi merupakan elemen komunikasi yang sangat penting dalam advokasi dan umumnya digunakan untuk mengangkat suatu isu supaya menjadi perhatian publik. Biasanya demonstrasi juga bertujuan untuk menekan pembuat keputusan untuk melakukan sesuatu, menunda ataupun menolak kebijakan yang akan dilakkan pembuat keputusan. Suatu demonstrasi haruslah bisa mengkomunikasikan pesannya melalui tema yang telah dibatasi secara jelas.

Dalam menyampaikan pendapat dimuka umum yang dilakukan dengan berdemonstrasi merupakan salah satu cara dalam menyampaikan keinginan kepada pemerintah. Tapi kadangkala pendapat yang disampaikan ini tidak didengar ataupun tidak sesuai dengan harapan. Keadaan seperti ini ditambah dengan faktor-faktor lain seperti adanya hasutan dari pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan anarki, ataupun karena adanya perasaan frustrasi akibat suatu keadaan, maka timbullah anarki.


(28)

4. Pengertian Anarki

Didalam Kamus Besar Bahasai Indonesia, kata ”Anarki” berarti hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban dan kekacauan (dalam suatu negara). Sedangkan ”anarkis” artinya penganjur (penganut) paham anarkisme atau orang yang melakukan tindakan anarki.18

Anarki berkaitan erat dengan istilah kekerasan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang secara terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerah (offensive) atau bertahan (diffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.

Anarki terjadi ketika sekelompok orang berkumpul bersama untuk melakukan tindak kekerasan, biasanya sebagai tindakan pembalasan terhadap perlakukan yang dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya penentangan terhadap sesuatu. Alasan yang sering menjadi penyebab anarki misalnya kesejahteraan masyarakat yang tidak terpenuhi, kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat, dan lain sebagainya.

19

18

Ibid.. hal. 44 19

Thomas Santoso. Teori-Teori Kekerasan. 2002. Jakarta: Ghalia.. hal.11

Anarki adalah kekacauan (chaos) fisik yang menimpa masyarakat sipil berupa bentrokan antar manusia, perkelahian massal, sampai pembunuhan, penjarahan, dan perusakan sarana dan prasarana umum, maupun fasilitas pribadi ataupun tindak pidana lainnya. Karena itu, anarki tidak menghasilkan suatu perubahan positif dalam tatanan masyarakat dan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan trauma sosial (ketakutan yang mencekam masyarakat).


(29)

Anarkisme20

Tokoh utama kaum anarkisme adalah Mikhail Bakunin, seorang bangsawan Rusia yang kemudian sebagian besar hidupnya tinggal di Eropa Barat. Ia memimpin kelompok anarkis dalam konverensi besar kaum Sosialis sedunia dan terlibat pertengkaran dan perdebatan besar dengan Marx. Bakunin akhirnya dikeluarkan dari kelompok Marxis mainstream dan perjuangan kaum anarkis dianggap bukan sebagai perjuangan kaum sosialis.

sebagai suatu paham atau pendirian filosofis maupun politik yang percaya bahwa manusia sebagai anggota masyarakat akan membawa pada manfaat yang terbaik bagi semua jika tanpa diperintah maupun otoritas, boleh jadi merupakan suatu keniscayaan. Pandangan dan pemikiran anarkis yang demikian itu pada dasarnya menyuarakan suatu keyakinan bahwa manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang secara alamiah mampu hidup secara harmoni dan bebas tanpa intervensi kekuasaan juga tidaklah sesuatu keyakinan yang sangat salah.

21

Mikhail Bakunin merupakan seorang tokoh anarkis yang mempunyai energi revolusi yang dahsyat. Bakunin merupakan ‘penganut’ ajaran Proudhon, tetapi

Sejak Bakunin, anarkisme identik dengan tindakan yang mengutamakan kekerasan dan pembunuhan sebagai basis perjuangan mereka. Pembunuhan kepala negara, pemboman atas gedung-gedung milik negara, dan perbuatan teroris lainnya dibenarkan oleh anarkisme sebagai cara untuk menggerakkan massa untuk memberontak.

20

Anarkisme adalah suatu ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara, ataupun dapat diartikan suatu teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang.

21

tanggal 25 Februari 2010


(30)

mengembanginya ke bidang ekonomi ketika dia dan sayap kolektivisme dalam First International mengakui hak milik kolektif atas tanah dan alat-alat produksi dan ingin membatasi kekayaan pribadi kepada hasil kerja seseorang. Bakunin juga merupakan anti komunis yang pada saat itu mempunyai karakter yang sangat otoritar.22

Pada salah satu pidatonya dalam kongres ‘Perhimpunan Perdamaian dan Kebebasan’ di Bern (1868), dia berkata:23

Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur penelitan ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum

“Saya bukanlah seorang komunis karena komunisme mempersatukan masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya; karena komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam negara, sedangkan saya ingin memusnahkan negara --pemusnahan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.”

G. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:

1. Jenis Penelitian

22

Ibid.

23


(31)

normatif berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri24

24

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, 2001. Jakarta: Bayumedia, hal. 47

.

Dalam metode penelitian hukum normatif, peneltian difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum. Penelitian ini lebih mengutamakan data sekunder dan teknik pengumpulan data dalam bentuk studi pustaka.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan didalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah, sumber internet, dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data secara

library research (Penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, pendapat para sarjana, surat kabar, artikel, kamus, dan juga data-data penulis yang diperoleh dari internet. 4. Analisis Data

Dalam penulisan ini, analisis data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini adalah dengan analisa kualitatif.


(32)

Penulisan skripsi ini dibagi kedalam 4 (empat) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa bagian sub bab.

Urutan bab-bab tersebut tersusun secara sistematik dan saling berkaitan satu dengan yang lain. Uraian singkat bab dan sub bab tersebut adalah sebagai berikut: BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar

belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Faktor-faktor penyebab anarkisme saat unjuk rasa/ demonstrasi, yang menguraikan bahwa unjuk rasa atau demonstrasi merupakan hak asasi manusia dan adanya azas serta tujuan dalam unjuk rasa. Uraian mengenai faktor-faktor penyebab anarkisme tersebut ditinjau dari berbagai sudut.

BAB III: Tanggung jawab penanggung jawab demonstrasi, yang menguraikan bagaimana bentuk-bentuk penyampaian pendapat dimuka umum, tata cara berunjuk rasa yang disertai dengan ketentuan pidana bagi pihak yang melanggar peraturan yang berlaku dan analisis terhadap putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn dengan terdakwa Ir. GM Chandra Panggabean.


(33)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANARKISME SAAT UNJUK RASA/DEMONSTRASI

A. Unjuk Rasa Sebagai Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) pada hakekatnya melekat pada individu atau kelompok manusia secara kodrati dari sejak dalam kandungan. Dilihat dari kodrat manusia itu sendiri maka HAM sudah ada sejak manusia ada.25

HAM adalah hak asasi manusia yang diperoleh dan dibawanya bersama dengan kelahiran serta kehadirannya dalam kehidupan masyarakat, tanpa membedakan bangsa, ras, agama dan jenis kelamin karena sifatnya yang asasi dan universal.

26

Sesuai dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, terdapat 2 (dua) klasifikasi terhadap hak-hak dasar yaitu:27

25

Naskah Akademis Penelitian Hak Asasi Manusia. 2003. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, hal. 89

26

Drs. Syahrial Syarbaini, M.A. Sosiologi dan Politik, cetakan ke-2. 2004. Bogor : Ghalia Indonesia. hal. 12

27

Ifdal Kasim, Hak Sipil dan Politik. 2001. Jakarta: Elsam., , hal. xii

1. Hak-hak dalam jenis Non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara walaupun dalam keadaan darurat yang terdiri dari:

a. hak atas hidup (right to life);

b. hak bebas dari penyiksaan (right to be free from torture); c. hak bebas dari perbudakan (right to be free from slavery);


(34)

e. hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; f. hak sebagai subjek hukum;

g. hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.

2. Hak-hak dalam jenis derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara, yang terdiri dari:

a. hak atas kebebasan berkumpul secara damai; b. hak atas kebebasan berserikat;

c. hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi.

Dalam Kovenan ini, mengenai kebebasan berpendapat diatur dalam Pasal 19 yang menyatakan bahwa:28

Di Inggris, masalah Hak Asasi Manusia pertama sekali timbul mengenai bahan makanan gandum. Akibatnya, lahirlah Magna Charta, disusul Bill of Rights, Declaration Des Droit De L’home et du Citoyen, Declaration of Independent dan Declaration Universal of Human Right

”Semua orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini meliputi kebebasan untuk mempertahankan pendapat tanpa paksaan dan untuk mencari, menerima, dan menyebarluaskan informasi dan ide-ide melalui media apapun dan tanpa melihat batasan”.

29

Ditingkat lokal di Sumatera Utara antara tahun 1904-1908, Sebayak Kuta Buluh menentang pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda dengan penetapan rodi (kerja paksa) dan pengenaan belasting

yang memberatkan rakyat. Sebayak Kuta Buluh ditangkap karena menolak .

28

Ibid. hal. 254 29

Darwan prinst, Sosialisasi & Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal.2


(35)

penjajahan dengan mengorganisir rakyat untuk berdemonstrasi ke pusat kekuasaan Belanda di Saribu Dolok, menentang penerapan rodi dan belasting.

Inilah peristiwa demonstrasi pertama yang ditemukan dalam sejarah Indonesia (peoples power).30

Demonstrasi atau unjuk rasa termasuk dalam Hak Asasi manusia yang harus dilindungi. Hal ini dapat di lihat di dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, dijabarkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, seperti:31

1. Persamaan kedudukan warga Negara dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)).

2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat (2)). 3. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Pasal 28).

4. Hak mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan (Pasal 28).

5. Kebebasan memluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)).

6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (Pasal 31 ayat (1)).

Berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disahkan dan diproklamirkan oleh resolusi majelis umum 217 A (111) tanggal 10 Desember 1948, pada Pasal 19 dinyatakan bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.32

30

Ibid

31

Ibid hal. 8 32

Peter Davies, Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, 1994, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Hal. xxxii


(36)

Sesuai dengan pengertian dari demonstrasi seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di Muka Umum, bahwa Unjuk Rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran. Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengarahan massa. Demonstrasi juga merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya.

Demonstrasi dapat bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Ini artinya bahwa ketika demonstrasi itu menjunjung tinggi demokrasi, maka dipandang sebagai hal positif dan mempunyai nilai di mata masyarakat. Namun ketika demonstrasi mengabaikan demokrasi maka dipandang masyarakat sebagai hal yang tercela ataupun negatif.

Demonstrasi adalah satu diantara sekian banyak cara menyampaikan pikiran atau pendapat. Sebagai cara, kegiatan itu perlu selalu dijaga dan dipelihara agar hal ini tidak berubah menjadi tujuan yang negatif. Menjadi tugas dan kewajiban kita untuk mengingatkan bahwa demonstrasi akan diakhiri ketika pandangan dan pendapat itu telah disampaikan.


(37)

Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan hubungan antar bangsa, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan : 1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;

Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban berarti bahwa didalam melaksanakan demonstrasi ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Masing-masing pihak haruslah menghormati hak-hak orang lain dalam berdemonstrasi serta mengerti akan kewajibannya . Mengenai hak dan kewajiban, diatur didalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, yang isinya sebagai berikut:

Pasal 5:

Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: a. mengeluarkan pikiran secara bebas;

b. memperoleh perlindungan hukum. Pasal 6;

Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;

c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan

e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Pasal 7:


(38)

Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. melindungi hak asasi manusia; b. menghargai asas legalitas;

c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan d. menyelenggarakan pengamanan.

Pasal 8:

Masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai.

2. Asas musyawarah dan mufakat;

Asas ini telah hidup didalam kebiasaan masyarakat Indonesia yang terlihat dari penyelesaian setiap masalah dengan menggunakan musyawarah. Dalam berunjuk rasa, asas musyawarah ini sangat penting karena merupakan alat yang digunakan oleh kedua belah pihak (demonstran dan pihak yang menjadi sasaran demonstrasi) untuk melakukan komunikasi agar keinginan para pengunjuk rasa didengar (diakomodir) tanpa merugikan kepentingan pihak lain. Pada saat demonstrasi hal ini biasa terjadi dengan cara pemanggilan utusan para demonstran atau sebaliknya pihak yang menjadi sasaran demonstrasi menemui para pengunjuk rasa untuk secara damai mendengar aspirasi demonstran.

3. Asas kepastian hukum dan keadilan;

Bahwa tujuan yang ingin dicapai para demonstran pada umumnya sehingga melakukan demonstrasi adalah agar para pemegang kekuasaan


(39)

mengubah suatu keputusan yang telah dibuatnya atau mempengaruhi putusan yang akan dibuat ataupun untuk mendapatkan keadilan yang selama ini tidak terpenuhi oleh. Untuk itu, demonstrasi juga diatur melalui suatu peraturan (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998) untuk melegalkan suatu aksi unjuk rasa yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

4. Asas proporsionalitas;

Yang dimaksud dengan "asas proporsionalitas" adalah asas yang meletakkan segala kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negara, institusi, maupun aparatur pemerintah, yang dilandasi oleh etika individual, etika sosial, dan etika institusional.

5. Asas manfaat.

Bahwa demonstrasi dilakukan oleh para pengunjuk rasa tidak mungkin tanpa suatu tujuan yang jelas. Mereka melakukan demonstrasi agar keinginan mereka dipenuhi atau setidaknya didengar. Manfaat demonstrasi juga tidak hanya bagi demonstran, namun juga bagi sasaran demonstrasi yaitu sebagai masukan bagi pemegang kekuasaan ataupun sebagai social control/ public control terhadap setiap kebijakan pemegang kekuasaan.

Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggung jawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Berlandaskan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut maka pelaksanaannya diharapkan dapat mencapai tujuan untuk :


(40)

1. mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

2. mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;

3. mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi;

4. menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok. Sejalan dengan tujuan tersebut di atas rambu-rambu hukum harus memiliki karakteristik otonom, responsif dan mengurangi atau meninggalkan karakteristik yang represif. Dengan berpegang teguh pada karakteristik tersebut, maka Undang-undang tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat regulatif, sehingga di satu sisi dapat melindungi hak warga negara sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dan di sisi lain dapat mencegah tekanan-tekanan, baik fisik maupun psikis, yang dapat mengurangi jiwa dan makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.

C. Faktor-Faktor Penyebab Anarkisme Saat Demonstrasi

Anarkisme sebagai suatu paham atau pendirian filosofis maupun politik yang percaya bahwa manusia sebagai anggota masyarakat akan membawa pada manfaat yang terbaik bagi semua jika tanpa diperintah maupun otoritas, boleh jadi


(41)

merupakan suatu keniscayaan. Pandangan dan pemikiran anarkis yang demikian itu pada dasarnya menyuarakan suatu keyakinan bahwa manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang secara alamiah mampu hidup secara harmoni dan bebas tanpa intervensi kekuasaan juga tidaklah sesuatu keyakinan yang sangat salah. Mereka umumnya menolak segala prinsip otoritas politik, pada saat yang sama sangat percaya bahwa keteraturan sosial niscaya terwujud justru jikalau tanpa otoritas politik. Secara sepintas dapat dilihat, bahwa musuh gerakan anarki adalah segala bentuk otoritas, maupun segala bentuk simbol otoritas, dan bentuk otoritas yang bagi kaum anarkis sangat jelas adalah otoritas yang dimiliki oleh negara moderen.

Namun, anarkisme sebagai suatu paham yang tidak menginginkan otoritas pemerintah dalam segala hal, mengalami pergeseran yang sangat jauh didalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat pada demonstrasi / unjuk rasa yang sering terjadi, dimana para demonstran yang mempunyai tujuan agar aspirasinya di dengar oleh penguasa. Namun apabila keinginan para demonstran tersebut tidak didengarkan oleh penguasa/ pemerintah, ”kaum anarkis” yang berada didalam kelompok demonstran tersebut akan berpikir bahwa pemerintah tidak ada fungsinya, yang kemudian akan menggunakan cara-cara kekerasan misalnya pengerusakan atau penganiayaan sebagai ancaman kepada pemerintah agar aspirasi atau keinginan mereka didengar.

Pergeseran pendapat mengenai anarkisme meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah tak hanya tak penting tetapi amatlah berbahaya, dan kemudian kata anarki, hanya karena berarti absennya pemerintah, akan menjadi sarana bagi


(42)

banyak orang: keteraturan yang alami, persatuan atas dasar kebutuhan dan kepentingan semua manusia, kebebasan penuh di dalam solidaritas yang penuh.33

Permasalahan yang cendrungan membuat demonstrasi damai menjadi anarki, seperti diberitakan di beberapa media bahwa sering terjadi tindakan anarki oleh demonstran. Namun, jarang media yang mencoba mengungkapkan apa yang menjadi penyebab sehingga terjadi seperti itu yaitu kebanyakan pemerintah tidak berani membuka dialog dan setidaknya mendengarkan aspirasi yang ingin disampaikan oleh para demonstran.

Beberapa faktor yang menyebabkan suatu demonstrasi menjadi anarki antara lain:

1. Keinginan pengunjuk rasa atau demonstran yang tidak terpenuhi

Hal ini sering sekali terjadi pada saat terjadi unjuk rasa. Para demonstran yang pada umumnya mempunyai satu tujuan, menginginkan agar tujuan tersebut dipenuhi atau setidak-tidaknya didengar oleh pemegang kekuasaan dengan mengirimkan beberapa utusan dari demonstran untuk melakukan dialog dengan pemegang kekuasaan dan menemukan jalan keluar.

Namun apabila para pengunjuk rasa tersebut tidak diberikan kesempatan untuk bertemu dan berdialog dengan pemegang kekuasaan tersebut, maka hal inilah yang dapat berujung pada tindakan anarki.

34

Pada kasus demonstrasi yang berakhir anarki di Gedung DPRD Sumatera Utara, para pengunjuk rasa ingin agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

33

http://pustaka.otonomis.org/2006, terakhir diakses tanggal 14 Februari 2009 34

Februari 2010


(43)

Sumatera Utara mengadakan rapat paripurna persetujuan terhadap Pembentukan Propinsi Sumatera Utara karena telah keluarnya Surat Presiden Nomor: R.01/Pres/01/2007 tanggal 2 Januari 2007 dan Surat Presiden Nomor: R.04/Pres/02/2008 tanggal 1 Februari 2008, Presiden menyampaikan kepada DPR RI dan menugaskan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM bersama DPR RI membahas RUU usul DPR RI tentang Pembentukan Daerah Otonom Baru dimana sampai saat ini masih menyisakan lima RUU, yang salah satunya adalah RUU tentang Pembentukan Propinsi Tapanuli.35

Panitia Pembentukan Propinsi Tapanuli yang dipimpin oleh GM Chandra Panggabean yakin bahwa Proses Pembentukan Propinsi Tapanuli telah memenuhi persyaratan fisik pembentukan propinsi yaitu meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten.

36

Namun, dalam perjalanannya, sebanyak tiga kabupaten, yaitu Nias, Sibolga, dan Tapanuli Tengah menarik dukungannya dari pembentukan Protap.

37

35

www.dpr.go.id, terakhir diakses tanggal 25 Februari 2010 36

lih. Pasal 5 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

37

Dalam perkembangannya, DPRD Tapteng memutuskan mencabut dukungan mereka terhadap pembentukan Protap. Keputusan itu tertuang SK DPRD Tapteng Nomor 170/1315/2008 tentang penyampaian keputusan DPRD Tapanuli Tengah Nomor 32/KPTS/Tahun 2008, serta Surat Keputusan DPRD Tapteng Nomor 170/1315/2008 tentang penyampaian keputusan DPRD Tapanuli Tengah Nomor 32/KPTS/Tahun 2008 ke DPRD Sumut. Pencabutan dukungan juga dilakukan Kota Sibolga. Sementara pro-kontra untuk bergabung dengan Protap juga terjadi di Kabupaten Dairi dan Nias serta Nias Selatan. Akibatnya ketiga kabupaten itu belum menentukan sikap mereka apakah akan bergabung ke Protap atau tidak. Soal penarikan dukungan Kota Sibolga, beberapa pemberitaan media massa menyebutkan karena Chandra Panggabean dianggap ingkar janji yaitu dengan “memindahkan” Sibolga yang semua ditetapkan sebagai ibu kota, ke kota Siborong-borong di Tapanuli Utara. Tim Teknis dari Departemen Dalam Negeri RI memang pernah mengobservasi bahwa untuk kantor sementara Gubernur Propinsi Tapanuli telah disediakan oleh Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Siborong-borong. Dan, untuk pertapakan permanen calon perkantoran Propinsi Tapanuli sudah disiapkan lahan di atas tanah seluas 160 HA. Dikutip dari Analisis Perang Protap di Sinar Indonesia dan Waspada KIPPAS & LSPP, Maret 2009

Hal inilah yang dijadikan penyebab oleh DPRDSU belum mengadakan sidang paripurna. Tujuan


(44)

dari para pengunjuk rasa tersebut adalah agar Propinsi Tapanuli segera terwujud agar masyarakat di daerah yang akan menjadi bagian dari Propinsi Tapanuli menjadi sejahtera, terutama di daerah Tapanuli Utara yang pernah menjadi salah satu daerah termiskin di Indonesia. Ketua DPRDSU menolak keinginan para demonstran agar diadakan rapat paripurna pada saat itu juga karena pada hari tersebut telah ada 3 jadwal sidang dan Paripurna mengenai Pembentukan Propinsi Tapanuli tidak ada didalam jadwal sidang pada tanggal 3 Februari 2009 tersebut. Keinginan pengunjuk rasa tersebut tidak terpenuhi, namun apabila seandainya tidak ada hasutan terhadap para demonstran tersebut, demonstrasi tersebut tidak akan berakhir anarki.

2. Faktor rendahnya kemampuan pengendalian massa oleh aparat keamanan Dari sudut yang lain, dapat kita amati bahwa adakalanya anarki tercipta secara kebetulan (by chance) atau kecelakaan (by accident). Singkatnya, terdapat begitu banyak kemungkinan yang bisa melahirkan anarki. Namun yang ingin disorot di sini adalah peran polisi yang bisa meredam anarki secara lebih meluas atau malah meng-incite atau membakar anarki yang lebih parah.

Menyadari proses terjadinya anarki yang amat cepat, maka sebenarnya terdapat fase (yang juga amat singkat) dimana polisi masih bisa melakukan tindakan awal dalam rangka pencegahannya. Lepas dari fase tadi, kemungkinan besar dinamika massa telah berkembang menjadi sesuatu yang harus ditangani secara keras. Pemanfaatan optimal atas fase yang amat singkat tadi tergantung pada cukup-tidaknya data awal (base data) yang dimiliki polisi setempat berkaitan dengan karakteristik situasi tertentu.

Petugas polisi juga berasal dari warga masyarakat, mereka juga memiliki emosi tertentu, sehingga dapat marah, juga dapat trauma. Setiap menghadapi


(45)

massa, polisi laksana menghadapi musuh, sehingga sangat mudah terjadi bentrokan yang membawa korban. Dalam banyak kasus, penanganan demonstrasi justru membangkitkan banyak kritik. Jajaran kepolisian kerap dituding sebagai biang pemicu kerusuhan, bukan pencipta ketertiban.38

38

www.Media Indonesia.com, Kerusuhan, terakhir tanggal 2 Juli 2008

3. Faktor kurangnya koordinasi antara para pelaku unjuk rasa dengan aparat keamanan.

Faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya kerusuhan sebagai kurangnya koordinasi antara para pengunjuk rasa dengan aparat keamanan dalam hal ini Kepolisian, tidak adanya pemberitahuan secara lebih terperinci kepada pihak Kepolisan tentang kegiatan kegiatan unjuk rasa. Hal ini merupakan faktor teknis, yaitu koordinator lapangan demonstrasi sudah harus memberi tahu pihak Kepolisian 3 x 24 jam sebelum dilaksanakan, seperti diatur dalam Pasal 9 dan 10 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat dimuka umum

Hal ini dapat menjadi penyebab kerusuhan karena di dalam tata cara menyampaikan pendapat dimuka umum harus diberitahukan perkiraan jumlah massa yang akan ikut dalam kegiatan unjuk rasa tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998. Karena bisa saja ada sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab masuk kedalam barisan, kemudian berusaha memprovokasi para pengunjuk rasa.


(46)

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, penyampaian pendapat di muka wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Pemberitahuan secara tertulis tersebut disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.

Surat pemberitahuan tersebut memuat: a. maksud dan tujuan;

b. tempat, lokasi, dan rute; c. waktu dan lama;

d. bentuk;

e. penanggung jawab;

f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan; g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau

h. jumlah peserta.

Pada huruf h diatas, tercantum syarat berapa jumlah pengunjuk rasa yang akan melakukan aksi demonstrasi. Hal ini bertujuan agar pihak keamanan (dalam hal ini Kepolisian) dapat mempersiapkan berapa jumlah personil yang akan diturunkan untuk mengamankan jalannya demonstrasi.

Suatu alasan yang sering muncul apabila pihak Kepolisian tidak mampu mengendalikan massa adalah dilihat sisi kuantitas, jumlah personel kepolisian sangat tidak memadai. Di Indonesia, rasio jumlah polisi dan penduduk sekitar 1:900. Ini masih jauh dari segi kecukupan seperti yang dianjurkan Perserikatan


(47)

Bangsa-Bangsa (PBB), yakni 1:400. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga pun, Indonesia masih jauh dari ideal. Malaysia sebagai contoh, di antara 312 penduduk terdapat satu orang polisi. Di Singapura, rasionya seorang polisi untuk 250 penduduk. Namun, pemenuhan rasio itu bukanlah hal mutlak. Negara yang masyarakatnya memiliki kesadaran hukum dan disiplin tinggi tidak harus memenuhi rasio seperti yang dianjurkan PBB. Di Jepang, misalnya, perbandingan jumlah polisi dan penduduk hanya 1:520.39

39

Ibid.

Data tersebut diatas hanyalah perbandingan antara jumlah anggota Kepolisian dengan masyarakat pada saat netral atau dengan kata lain bukan perbandingan pada saat adanya demonstrasi. Pada saat demonstrasi, jumlah anggota Kepolisian yang harus diturunkan untuk menjaga demonstrasi seharusnya lebih besar, karena kecenderungan terjadinya tindakan anarki pada saat demonstrasi juga lebih besar.

Hal inilah yang dinilai sebagai penyebab utama terjadinya tindakan anarki di Gedung DPRD Sumatera Utara pada tanggal 3 Februari 2009 yang menimbulkan kerusakan serta korban jiwa. Jumlah aparat keamanan pada saat itu tidak sebanding dengan massa yang datang (diperkirakan lebih dari 2000 orang) sehingga para anarkis dengan leluasa merusak fasilitas DPRDSU bahkan dengan leluasa mengejar dan memukul Ketua DPRD Sumatera Utara, H. Abdul Aziz Angkat.


(48)

Para pelaku unjuk rasa (demonstran), melakukan tindakan anarki karena mereka salah mengartikan suatu kebebasan berpendapat karena mereka berpikir bahwa perilaku anarki merupakan suatu jalan keluar dari sebuah kebuntuan komunikasi. Walaupun pada awalnya mereka meyakini bahwa demonstrasi adalah sebuah sarana untuk memperjuangkan sebuah kepentingan, baik kepentingan politik, ekonomi, sosial atau kepentingan lainnya, namun mereka beranggapan bahwa perilaku anarki yang berupa kekerasan dan pemaksaan kehendak adalah jalan terakhir yang ditempuh bila dialog tidak lagi mampu mewadahi perbedaan. 6. Faktor psikologis

Mengikuti hasil kerja LeBon (1896) mengenai perilaku kerumunan (crowd behavior), para ahli psikologi sosial telah mengeksplorasi pendapat bahwa keanggotaan dalam kelompok anonim besar menyebabkan individu-individu didalamnya berperilaku lebih agresif dan lebih anti-sosial dibandingkan ketika ia seorang diri (Goldstein, 1994a).40

Neil Smelser mengidentifikasi beberapa kondisi yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif , diantaranya:41

(3) Generalized beliefs : share interpretation of event

(1) Structural conduciveness: beberapa struktur sosial yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif, seperti: pasar, tempat umum, tempat peribadatan, mall, dst

(2) Structural Strain: yaitu munculnya ketegangan dalam masyarakat yang muncul secara terstruktur. Misalnya: antar pendukung kontestan pilkada.

40

Barbara Krahe. Perilaku Agresif. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.221 41

http://suryanto.blog.unair.ac.id/2008/12/03/memahami-psikologi-massa-dan-penanganannya, terakhir diakses tanggal 25 Februari 2010


(49)

(4) Precipitating factors: ada kejadian pemicu (triggering incidence). Misalnya ada pencurian, ada kecelakaan, ada kebakaran.

(5) Mobilization for actions: adanya mobilisasi massa. Misalmya : aksi buruh, rapat umum suatu ormas, dst

(6) Failure of Social Control – akibat agen yang ditugaskan melakukan kontrol sosial tidak berjalan dengan baik.

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, ada enam faktor yang menjadi prasyarat terjadinya perilaku massa yakni:42

Keenam faktor ini menjadi faktor-faktor yang juga turut membentuk sifat irasional, emosional, impulsif, agresif, dan destruktif pada diri seseorang (G.Le Bon). Berbeda dengan kelompok demonstran. Kelompok ini cukup tergoda dengan pemicu yang potensial, tetapi aksi massanya masih bisa dikontrol. Walau dalam beberapa kasus terjadi tindakan destruktif, tetapi daya respons mereka (1) tekanan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, biaya hidup, dan pendidikan

yang mahal;

(2) situasi yang kondusif untuk beraksi massa, seperti pelanggaran tidak dihukum dan diliput media massa;

(3) adanya kepercayaan publik, dengan aksi massa situasi bisa diubah; (4) peluang (sarana dan prasarana) untuk memobilisasi massa;

(5) kontrol aparat yang lemah, dan

(6) faktor keyakinan publik, yang jarang tergoyah.

42

http://kutikata.blogspot.com/2008/12/psikologi-massa.html, terakhir diakses tanggal 25 Februari 2010


(50)

terhadap potensi pemicu potensial sedikit berbeda dari perusuh. Artinya, potensi picu itu bisa bertahan secara temporer, tetapi juga bisa permanen. Karena itu mengapa konflik sosial selalu langgeng, dan bahkan sekali waktu bisa muncul lagi.43

Ada empat teori yang seringkali digunakan untuk menjelaskan kejadian perilaku massa, yaitu:44

(4) Deindividuation Theory, menyatakan bahwa ketika orang dalam kerumunan, maka mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa.

(1) Social Contagion Theory (Teori Penularan sosial) menyatakan bahwa orang akan mudah tertular perilaku orang lain dalam situasi sosial massa. mereka melakukan tindakan meniru/ imitasi.

(2) Emergence Norm Theory: menyatakan bahwa perilaku didasari oleh norma kelompok, maka dalam perilaku kelompok ada norma sosial mereka yang akan ditonjolkannya. Bila norma ini dipandang sesuai dengan keyakinannya, dan berseberangan dengan nilai / norma aparat yang bertugas, maka konflik horizontal akan terjadi.

(3) Convergency Theory: menyatakan bahwa kerumunan massa akan terjadi pada suatu kejadian dimana ketika mereka berbagi (convergence) pemikiran dalam menginterpretasi suatu kejadian. Orang akan mengumpul bila mereka memiliki minat yang sama dan mereka akan terpanggil untuk berpartisipasi

43

Ibid. 44

http://suryanto.blog.unair.ac.id/2008/12/03/memahami-psikologi-massa-dan-penanganannya, terakhir diakses tanggal 25 Februaru 2010


(51)

Salah satu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/ anggapan/ perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan oleh karenanya diyakini “pantas” untuk digebuki) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan). Perasaan tidak aman atau rasa takut pada kejahatan pada umumnya juga diakibatkan oleh diyakininya perasaan bersama tersebut, terlepas dari ada-tidaknya fakta yang mendukung perasaan tadi.

Hal ini juga merupakan salah satu pemicu terjadinya tindakan anarki pada saat demonstrasi para pendukung Propinsi Tapanuli di Gedung DPRD Sumatera Utara. Para demonstran, karena adanya collective belief (perasaan yang sama/ keinginan) untuk mendukung Propinsi Tapanuli, dengan mudahnya dihasut oleh sekelompok orang yang mengeluarkan kata-kata ”Tangkap”, ”Bunuh”, ”Tangkap”, tanpa berpikir panjang mengejar dan memukul Ketua DPRD Sumatera Utara, H. Abdul Aziz Angkat.

Hal ini sesuai dengan teori Social Contagion Theory (Teori Penularan sosial) yang dilihat berdasarkan penerapan Pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu karena adanya unsur turut serta didalam melakukan tindak pidana dimana para pengunjuk rasa tersebut berusaha mengejar H. Abdul Aziz Angkat. Deindividuation Theory, yang menyatakan bahwa ketika orang dalam kerumunan, maka mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa juga terlihat dalam kejadian tersebut, yakni pelaku unjuk rasa tersebut berasal dari beragam profesi yang sebenarnya dihormati oleh masyarakat, namun karena suatu


(52)

keadaan mereka lupa akan jati diri mereka masing-masing dan masuk ke dalam tindakan anarki.

7. Adanya Provokasi

Berkaitan dengan ketidaksadaran dari banyak kalangan perihal beroperasinya suatu keyakinan bersama menyusul suatu tindak anarki, adalah kebiasaan kita untuk kemudian menunjuk adanya provokator. Provokator tersebut, secara teoritik, dapat dipersamakan dengan agitator atau insinuator bila hasil kerjanya berupa munculnya rasa marah dan kemauan berkonflik pada diri orang yang di-agitasi atau di-insinuasi.

Selanjutnya, kerap kita membayangkan bahwa provokator tersebut adalah orang di luar kelompok atau massa yang mengabarkan cerita buruk dan bohong. Tak cukup dengan itu, dapat pula diimajinasikan bahwa provokator itu melakukannya seraya berbisik-bisik dengan mata curiga dan berjalan mengendap-endap. Cukup mengherankan bila polisi, sebagai profesional yang seharusnya mengetahui bagaimana perilaku kolektif muncul dan bekerja, juga ikut-ikut mengemukakan hal yang sama.

Mengenai bayangan itu, diduga kuat tidaklah demikian dalam kenyataannya. Yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa antar anggota kelompok atau massa itu sendirilah yang saling memprovokasi, saling mengagitasi atau saling menginsinuasi satu sama lain agar melakukan tindak anarki. Bila begitu, tak ayal, efeknya akan jauh lebih hebat dan lebih mungkin berhasil.


(53)

Anarki, sebagaimana telah disinggung di atas, dilakukan dalam rangka perilaku kolektif oleh massa yang spontan berkumpul dan, sepanjang diupayakan, dapat dengan mudah cair kembali. Dengan demikian, secara kepolisian, memang relatif lebih mudah memecah-belah massa dari tipe ini sepanjang tersedia perkuatan (enforcement) yang cukup.

Yang jauh lebih merepotkan adalah, bila anarki dilakukan oleh orang-orang dari kelompok tertentu yang terorganisasi, memiliki motif militan dan radikal serta membawa senjata (atau benda-benda lain yang difungsikan sebagai senjata). Pelakunya juga bisa datang dari suatu komunitas yang, katakanlah, telah terinternalisasi dengan nilai dan ide kekerasan sebagaimana disebut di atas dan menjadi radikal karenanya.

Maka singkatnya, anarki pada kelompok cair adalah sesuatu hal yang niscaya, wajar terjadi atau tak terhindarkan. Sedangkan anarki pada kelompok yang terorganisasi adalah efek yang sudah diperhitungkan (calculated effect),

yang akibatnya sudah diperhitungkan dalam kaitannya dengan yang lain (systematic effect). Sehingga benar bila dikatakan efek itu sendirilah yang justru diinginkan untuk terjadi (intended effect). Anarki oleh kelompok terorganisir ini umumnya terencana, memiliki cukup kekuatan dan jaringan, memiliki motif tertentu dan juga target-target tertentu.

9. Ketidakpercayaan pada hukum

Sering dikatakan, tindakan anarki itu identik dengan ketidakpercayaan pada kekuasaan atau kebijakan pemerintah, kekuatan polisi, ketegasan jaksa serta keadilan hakim. Daripada menyerahkan segala sesuatunya kepada para aparat


(54)

penegak hukum dengan kemungkinan tidak mendapatkan keadilan sebagaimana dipersepsikan, maka lebih baik merekalah yang menjadi polisi, jaksa sekaligus hakimnya misalnya dengan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).

Perihal ketidakpercayaan itu, diduga bisa benar namun bisa pula tidak. Dikatakan benar karena, betapapun hendak disangkal, nyatanya ada saja oknum polisi yang menyalahgunakan wewenangnya. Alih-alih melakukan penyidikan dan pemberkasan, yang kemudian terjadi adalah transaksi uang dari tersangka kepada oknum polisi tersebut agar bisa ditahan luar atau bahkan ditangguhkan perkaranya.

Tetapi hal itu bisa pula dikatakan tidak benar, mengingat yang sebenarnya dikeluhkan oleh para anarkis tadi adalah “kinerja dalam penegakan hukum pada umumnya yang tidak memenuhi harapan”.

Ada yang mengatakan “Polisi (penegak hukum) bekerja lambat”; namun ada juga yang mengatakan: “tetapi bukankah jaksa dan hakim itu bekerja jauh lebih lambat dibanding polisi?” Ada pula yang mengatakan, “tuntutan buat tersangka rendah”; tetapi bukankah menuntut itu bukan pekerjaan polisi? Atau dikatakan pula, “pelaku akhirnya bisa lenggang-kangkung lagi”; tetapi bukankah memutuskan perkara juga bukan pekerjaan polisi?. Semua pernyataan tersebut merupakan keluhan dari masyarakat terhadap keadilan yang belum dirasakan yang dapat berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum.

Hanya saja, selaku personifikasi hukum dan elemen terdepan dalam proses penegakkan hukum, polisi memang kerap terpaksa menerima getahnya mengingat


(55)

polisilah yang secara langsung berurusan dengan tindak anarkis itu dan bukan aparat hukum lainnya.


(56)

BAB III

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG JAWAB DEMONSTRASI

A. Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Pendapat Dimuka Umum

Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi; manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang".

Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi :

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas45

45

Penjelasan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum.

.

Didalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, terdapat beberapa bentuk cara pelaksanaan penyampaian pendapat. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:

Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:


(57)

Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikirandengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif dimuka umum.

b. Pawai;

Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum c. Rapat umum; dan atau

Rapat umum adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu.

d. Mimbar bebas.

Mimbar bebas adalah kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

Namun ada beberapa larangan didalam menyampaikan pendapat yang tercantum didalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tersebut yaitu Penyampaian pendapat di muka umum, dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali:

a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional;

b. pada hari besar nasional.

Dan pada ayat (3), Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.


(58)

Tata cara penyampaian pendapat dimuka umum, diatur melalui Pasal 10 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 yaitu:

Pasal 10

(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.

(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok.

(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.

(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri sesuai dengan ketentuan Pasal 11, yaitu dengan menyerahkan Surat pemberitahuan yang memuat:

a. maksud dan tujuan; b. tempat, lokasi, dan rute; c. waktu dan lama;

d. bentuk;

e. penanggung jawab;

f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan; g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau

h. jumlah peserta.

Penanggung jawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 11 wajib bertanggung jawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman, tertib dan damai. Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta


(1)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahwa Unjuk Rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran. Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengarahan massa. Demonstrasi juga merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya.

Demonstrasi dapat bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Ini artinya bahwa ketika demonstrasi itu menjunjung tinggi demokrasi, maka dipandang sebagai hal positif dan mempunyai nilai di mata masyarakat. Namun ketika demonstrasi mengabaikan demokrasi maka dipandang masyarakat sebagai hal yang tercela ataupun negatif.

Mengenai perilaku kerumunan (crowd behavior) terutama pada saat demonstrasi, para ahli psikologi sosial telah mengeksplorasi pendapat bahwa keanggotaan dalam kelompok anonim besar menyebabkan individu-individu didalamnya berperilaku lebih agresif dan lebih anti-sosial dibandingkan ketika ia seorang diri.

Ada empat teori yang seringkali digunakan untuk menjelaskan kejadian perilaku massa, yaitu:


(2)

(1) Social Contagion Theory (Teori Penularan sosial) menyatakan bahwa orang akan mudah tertular perilaku orang lain dalam situasi sosial massa. mereka melakukan tindakan meniru/ imitasi.

(2) Emergence Norm Theory: menyatakan bahwa perilaku didasari oleh norma kelompok, maka dalam perilaku kelompok ada norma sosial mereka yang akan ditonjolkannya. Bila norma ini dipandang sesuai dengan keyakinannya, dan berseberangan dengan nilai / norma aparat yang bertugas, maka konflik horizontal akan terjadi.

(3) Convergency Theory: menyatakan bahwa kerumunan massa akan terjadi pada suatu kejadian dimana ketika mereka berbagi (convergence) pemikiran dalam menginterpretasi suatu kejadian. Orang akan mengumpul bila mereka memiliki minat yang sama dan mereka akan terpanggil untuk berpartisipasi

(4) Deindividuation Theory, menyatakan bahwa ketika orang dalam kerumunan, maka mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa.

Dalam kasus demonstrasi di Gedung DPRD Sumatera Utara yang berakhir anarki, beberapa teori diatas terbukti telah terjadi. Namun dalam demonstrasi anarki tersebut, faktor-faktor penyebab tindakan anarki tersebut tidak hanya satu, melainkan ada beberapa faktor (multi faktor) penyebab yang saling berkaitan antara lain jumlah aparat keamanan yang tidak sebanding dengan massa demonstran Protap, Keinginan demonstran agar aspirasi untuk memajukan daerah Tapanuli tidak diakomodir oleh DPRD Sumatera Utara terkait dengan pembatalan sidang paripurna yang seharusnya dilaksanakan tanggal 4 Februari 2009, serta


(3)

adanya pihak-pihak yang melakukan penghasutan terhadap massa terutama dari pihak penanggung jawab demonstrasi.

Dalam setiap demonstrasi, ada pengaturan didalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 mengenai adanya Penanggung jawab dalam demonstrasi. Penanggung jawab adalah orang yang memimpin dan atau menyelenggarakan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang bertanggung jawab agar pelaksanaannya berlangsung dengan aman, tertib, dan damai. Konsekuensinya sebagai seorang penanggung jawab suatu demonstrasi yaitu apabila terjadi tindakan anarki oleh para demonstran adalah tanggung jawabnya serta apabila penanggung jawab melakukan tindak pidana pada saat demonstrasi, maka ancaman hukuman yang akan dikenakan kepadanya ditambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman hukuman pokoknya.

. B. Saran

Demonstrasi adalah satu diantara sekian banyak cara menyampaikan pikiran atau pendapat. Sebagai cara, kegiatan itu perlu selalu dijaga dan dipelihara agar hal ini tidak berubah menjadi tujuan yang negatif. Menjadi tugas dan kewajiban kita untuk mengingatkan bahwa demonstrasi akan diakhiri ketika pandangan dan pendapat itu telah disampaikan.

Tindakan anarki yang terjadi pada tanggal 3 Februari 2009 di Gedung DPRD Sumatera Utara sebenarnya dapat dicegah apabila:

1) tidak ada pihak-pihak yang melakukan penghasutan terhadap demonstran yang sebagian mahasiswa yang pada umumnya masih mudah terprovokasi.


(4)

2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara mengakomodir keinginan pembentukan atau setidaknya lebih peka terhadap keinginan para demonstran

3) Yang paling utama adalah kesiapan aparat keamanan terutama kepolisian agar tidak meremehkan setiap demonstrasi walaupun jumlah demonstrannya tidak begitu besar, namun tetap ada potensi anarki didalamnya

Semoga keinginan masyarakat yang begitu mulia untuk memajukan tanah kelahirannya agar tidak berada dalam garis kemiskinan ditengah sumber daya alam yang begitu melimpah, dapat tercapai dengan cara-cara yang damai dan tidak hanya menguntungkan segelintir orang yang ingin menjadi ”raja-raja kecil” dengan memakai istilah pemekaran daerah.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdullah, Mustafa. Intisari Hukum Pidana. 1983. Jakarta: Ghalia

Davies, Peter, Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, 1994, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia

Ibrahim Jhonny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, 2001. Bayumedia, Jakarta

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana , cetakan ke-1, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004.

Kasim, Ifdal, Hak Sipil dan Politik. Elsam. Jakarta, 2001

Krahe, Barbara. Perilaku Agresif. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993 Moeljatno, Hukum Pidana II.1995. Jakarta: Bina Aksara

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,

1983.Jakarta: Bina Aksara

Naskah Akademis Penelitian Hak Asasi Manusia. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003

Prinst, Darwan, Sosialisasi & Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung: Eresco. 2003 Santoso, Thomas. Teori-Teori Kekerasan. 2002. Jakarta: Ghalia

Setiadi, Edi, Hukum Pidana dan Perkembangannya, Bandung, Fakultas Hukum Unisba, 1999

Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 1980. Bogor: Politeia Suharto. Penuntutan dalam Praktek Peradilan. 1997. Jakarta: Sinar Grafika.


(6)

Syarbaini, Syahrial. Sosiologi dan Politik, cetakan ke-2. Ghalia Indonesia. Bogor. 2004

Syarifin, Pipin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000 Utrecht, E.. Hukum Pidana II. 2000. Surabaya; Pustaka Tinta Mas.

Naskah Akademis Penelitian Hak Asasi Manusia. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. Balai Pustaka. Jakarta. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-2. Balai Pustaka. Jakarta. 1991.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

C. Internet

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/04/00180640

http://suryanto.blog.unair.ac.id/2008/12/03/memahami-psikologi-massa-dan-penanganannya

http://pustaka.otonomis.org/2006

http://www.dpr.go.id

http://kutikata.blogspot.com/2008/12/psikologi-massa.html http://www.Media Indonesia.com