Analisis Pengaruh Komunikasi Dan Tim Kerja Terhadap Kinerja Personil Di Lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara (Studi Kasus: Penanganan Tindak Pidana Unjuk Rasa Anarkhis Pembentukan Provinsi Tapanuli)
ANALISIS PENGARUH KOMUNIKASI DAN TIM KERJA
TERHADAP KINERJA PERSONIL DI LINGKUNGAN
DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL
POLDA SUMATERA UTARA
(STUDI KASUS: PENANGANAN TINDAK PIDANA UNJUK RASA ANARKHIS PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI)
TESIS
Oleh
AHMAD YANUARI INSAN
077019002/IM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
S
EK
O L A
H
P A
S C
A S A R JA
N
(2)
ANALISIS PENGARUH KOMUNIKASI DAN TIM KERJA
TERHADAP KINERJA PERSONIL DI LINGKUNGAN
DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL
POLDA SUMATERA UTARA
(STUDI KASUS: PENANGANAN TINDAK PIDANA UNJUK RASA ANARKHIS PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Manajemen pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
AHMAD YANUARI INSAN
077019002/IM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(3)
Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH KOMUNIKASI DAN TIM
KERJA TERHADAP KINERJA PERSONIL
DI LINGKUNGAN DIREKTORAT RESERSE
KRIMINAL POLDA SUMATERA UTARA (STUDI KASUS : PENANGANAN TINDAK PIDANA UNJUK RASA ANARKHIS PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI)
Nama Mahasiswa : Ahmad Yanuari Insan Nomor Pokok : 077019002
Program Studi : Ilmu Manajemen
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ir. Sumono, MS) Ketua
(Prof. Dr. Rismayani, SE, MS) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof. Dr. Rismayani, SE, MS)
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
(4)
Telah diuji pada Tanggal 27 Juli 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ir. Sumono, MS
Anggota : 1. Prof. Dr. Hj. Rismayani, SE, MS 2. Dr. Parulian Simanjuntak, MA 3. Dr. Arlina Nurbaity Lubis, MBA 4. Drs. Syahyunan, M.Si
(5)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
ANALISIS PENGARUH KOMUNIKASI DAN TIM KERJA TERHADAP KINERJA PERSONIL DI LINGKUNGAN DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL POLDA SUMATERA UTARA (STUDI KASUS: PENANGANAN TINDAK PIDANA UNJUK RASA ANARKHIS PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI).
Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya.
Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan benar dan jelas.
Medan, 26 Juli 2010
Yang Membuat Pernyataan
AHMAD YANUARI INSAN NIM : 077019002/IM
(6)
ABSTRAK
Penelitian ini memberikan perhatian yang cukup serius terhadap penanganan kasus yang mencoreng stabilitas keamanan, sosial dan politik yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara. Kasus tersebut yaitu terjadinya pemukulan dan penganiayaan terhadap Ketua DPRD Sumatera Utara, Haji Aziz Angkat yang tewas dalam aksi unjuk rasa anarkhis pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) di gedung wakil rakyat provinsi tersebut pada tanggal 2 Februari 2009.
Teori yang digunakan dalam penlitian ini adalah teori manajemen sumber daya manusia khususnya berkaitan dengan komunikasi dan tim kerja yang menjadi dasar telaahan terhadap perkembangan penanganan kasus yang dilakukan oleh jajaran Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara dalam menilai hasil penanganan kasus tersebut yang dapat menjadi patokan terhadap penilaian kinerja Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara.
Penelitian dilakukan terhadap para personil di Jajaran Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara khususnya yang terlibat secara langsung menangani kasus tersebut dengan menggunakan metoda survei. Analisis terhadap data yang didapatkan untuk menguji hipotesis menggunakan regresi linear berganda dan regresi linear sederhana, dengan terlebih dahulu melalui uji validitas dan realibilitas terhadap instrumen variabel tersebut, serta terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik dengan menggunakan uji normalitas, uji multikoliniearitas, dan uji heteroskedastisitas.
Hasil penelitian yang dilakukan di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar
31,818 dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau alfa (á) = 0,05, sedangkan nilai F tabel adalah sebesar 3,00 sehingga dengan demikian keputusannya
adalah Ho ditolak dan Ha diterima. Komunikasi dan tim kerja secara simultan juga mempunyai pengaruh yang sangat signifikan (highly significant) terhadap kinerja Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara yang ditunjukkan adanya nilai Koefisien Determinasi (R2) yaitu sebesar 0,764 atau 76,4%. Dengan kata lain kenerja personil Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara khususnya dalam menangani kasus unjuk rasa anarkis Pembentukan Provinsi Tapanuli dipengaruhi oleh variabel komunikasi dan tim kerja di atas sebanyak 76,4% dan faktor lain yang tidak diteliti sebanyak 23,6%.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa Komunikasi dan Tim Kerja berpengaruh Highly Significant terhadap kinerja personil di lingkungan Direktorat Reserse Polda Sumatera Utara dan penyelesaian serta kecepatan pengungkapan kasus khususnya penanganan kasus unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli.
(7)
ABSTRACT
The case of anarchist strike of establishing Tapanuli Province that is also more known publicly “Protap” is a case interesting to the public not only of North Sumatra but also Indonesia as a whole, and even it has been interested internationally. The case became attention of all the communities and even the president of Indonesia, thus, in the progress, the case has lead to various claim and pressure against the Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police to manage it.
Some theories of communication and the working team has been basic of study of the progress of case handling by the Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police in assessing the result of case handling that can be made to be foundation of assessing the performance of Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police.
The study was conducted with the personal of Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police especially those who are involved directly to manage the case by using a survey method. The analysis of data was conducted to test the hypothesis by using both multiple and simple linear regression by first making the validity and reliability tests for the variables and then followed by the classical assumption test by using the normality, multicolinearity and heteroschedastical test.
The result of the study conducted at the Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police by using F-test simultaneously showed that the F-count was of 31.818 in confidence level of 95% or alpha (á) = 0.05, whereas
the F-table was of 3.00, thus, the decision is Ho rejected and Ha accepted. The communication and the working team simultaneously also have highly significant effect on the performance of the Criminal Directorate of Provincial Police of North Sumatra as indicated by the Determination coefficient (R2) of 0.764 or 76.4%. In other words, the performance of Criminal Directorate of Provincial Police of North Sumatra especially in solving the case of anarchist strike of establishing Tapanuli Province was influenced by both communication and the working team over 76.4% and the other factors out of the study of 23.6%.
The conclusion of the study is that both Communication and the Working Team have highly significant effect on the performance of the Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police and the resolution and accuracy in exposing the case especially in managing the anarchist strike of establishing Tapanuli Province.
Keywords: Communication, Working Team, Personal Performance.
(8)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan nikmat-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas akhir penulisan tesis ini.
Penelitian ini merupakan tugas akhir pada Program Magister Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang meneliti dengan judul “Analisis Pengaruh Komunikasi dan Tim Kerja terhadap Kinerja Personil di Lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara, Studi Kasus: Penanganan Tindak Pidana Unjuk Rasa Anarkhis Pembentukan Provinsi Tapanuli”.
Selama proses penyelesaian tesis ini maupun selama mengikuti proses perkuliahan, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil yang berasal dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).
2. Bapak Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Irjen. Pol. Drs. Oegroseno yang telah memberikan banyak inspirasi terhadap penulis dalam melaksanakan pembuatan tesis ini.
3. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
5. Ibu Prof. Dr. Rismayani, SE, MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus juga sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
(9)
6. Bapak Dr. Parulian Simanjuntak, MA dan Ibu. Dr. Arlina Nurbaity Lubis, MBA selaku Dosen Pembanding yang telah banyak memberi masukan untuk kesempurnaan tesis ini.
7. Bapak Drs. Syahyunan, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Manajemen dan juga sekaligus Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan perkuliahan hingga akhir.
8. Seluruh Staf Pengajar dan Administrasi Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis serta bantuan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
9. Bapak (alm) Kombes Pol. Drs. Wawan Irawan, SH yang pada saat peristiwa unjuk rasa Protap berlangsung beliau menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal, namun atas kehendak Allah SWT, beliau telah mendahului kita pada saat penulis sedang menyelesaikan tahap akhir tesis ini.
10.Bapak AKBP Endro Kiswanto, SH selaku Kapolres Pelabuhan Belawan yang banyak mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
11.Ayahanda tercinta (alm) Jusup Hadirman dan Ibunda Aan Suhanat yang telah memberikan kasih sayang tiada terhingga kepada penulis.
12.Istriku tercinta Rosa Dwi Dhamayanti dan anak-anakku tersayang Reyhan dan Reyzi, terima kasih atas sayang, do’a dan motivasi sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan jenjang pendidikan Strata Dua.
13.Seluruh personil Polres Pelabuhan Belawan yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun materil.
(10)
Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini belumlah sempurna, namun demikian diharapkan nantinya dapat berguna bagi banyak pihak, khususnya bagi penelitian di bidang manajemen terutama di bidang Manajemen Kepolisian.
Medan, Agustus 2010 Penulis,
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 14 Januari 1975 dengan nama lengkap AHMAD YANUARI INSAN dari pasangan orang tua bernama JUSUP HARDIMAN (alm) dan AAN SUHANAT. Memiliki saudara kandung sebanyak 3 (tiga) orang yang bernama ERNA (46 th), YUDI RAHAYU, SE (43 th) dan YUNITA HASANAH, SE (40 th). Menyelesaikan pendidikan di Cianjur mulai dari SD (1987), SMP (1990) dan SMA (1993). Selanjutnya penulis meneruskan jenjang pendidikan pada AKADEMI KEPOLISIAN (AKPOL) di Semarang dan lulus pada tahun 1996, walaupun sebelumnya sempat merasakan perkuliahan di Institut Pertanian Bogor (IPB) selama 2 (dua) bulan yang ditempuh melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Penulis juga menyelesaikan pendidikan S-1 sebagai lanjutan dari AKPOL pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta dan lulus pada tahun 2005 serta mendapat penghargaan WIYATA CENDIKIA (Prestasi Terbaik Bidang Akademik) pada Jurusan Pembinaan Keamanan (BINKAM).
Saat ini penulis bekerja di Kepolisian dengan pangkat KOMISARIS POLISI dan menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Resor (Wakapolres) Pelabuhan Belawan Polda Sumatera Utara. Sebelumnya penulis banyak ditugaskan di daerah Bandung Jawa Barat selama lebih kurang 8 (delapan) tahun dan sejak bulan Juni 2005 penulis ditugaskan di daerah Sumatera Utara.
Latar belakang penugasan penulis adalah pada Fungsi Reserse atau penyidikan dengan beberapa kali mendapatkan pendidikan kejuruan dan kursus-kursus di dalam maupun di luar negeri diantaranya: Dikjur Perwira Dasar Reserse (1997), Dikjur Perwira Lanjutan Reserse Narkotika (1999), Financial Investigatiaon
di JC LEC Semarang (2007), Aviation and Airport Security di Schippol Amsterdam Belanda (2007), Lanjutan Financial Investigation di ILEA Bangkok (2009) serta beberapa kursus Bahasa Inggris di Sekolah Bahasa Polri Cipinang Jakarta Timur.
(12)
Pada bulan Juli tahun 2000, penulis menikah dengan ROSA DWI DHAMAYANTI yang saat itu yang bersangkutan masih berstatus mahasiswi Universitas Padjadjaran Bandung serta dikaruniai 2 (dua) orang putra bernama MUHAMMAD REYHAN SATYA AUFAR (9 th) dan REYZI AHMAD LANTASIA FIRDAUS (7 th). Keduanya merupakan kebanggaan dan harapan penulis untuk menjadi generasi penerus yang dapat dibanggakan.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... .. ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI ... ... viii
DAFTAR TABEL ... ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 6
I.3. Tujuan Penelitian . ... 6
I.4. Manfaat Penelitian . ... 7
I.5. Kerangka Berpikir . ... 8
(14)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Teori Tentang Komunikasi ... ... 14
II.1.1. Pengertian dan Bentuk Komunikasi ... ... 14
II.1.2. Proses Komunikasi ... ... 17
II.1.3. Fungsi Komunikasi ... ... 20
II.1.4. Komunikasi Dalam Kelompok ... ... 22
II.1.5. Hambatan-hambatan Terhadap Komunikasi yang Efektif. ... 24
II.1.6. Mengatasi/Mengurangi Hambatan Dalam Komunikasi .... 27
II.2.Teori Tentang Tim Kerja . ... 29
II.2.1. Pengertian dan Komponen-komponen Tim Kerja . ... 29
II.2.2. Tipe-tipe Tim Kerja ... 34
II.2.3. Membentuk Tim Kerja yang Efektif . ... 36
II.2.4. Karakteristik Tim Kerja yang Sukses . ... 37
II.3. Teori Tentang Kinerja .. ... 39
II.3.1. Pengertian dan Penilaian Kinerja Pegawai .. ... 39
II.3.2. Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja .. ... 42
II.3.3. Metode-metode Penilaian Kinerja ... 45
II.4. Teori Konflik ... 48
II.4.1. Pengertian ... 48
II.4.2. Konflik Struktural ... 50
(15)
II. 5. Teori Pengungkapan Perkara Pidana... 53
II.5.1. Pengertian Menurut KUHAP... 53
II.5.2. Waktu Pelaksanaan Penyidikan... . 54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 56
III.2. Metode Penelitian ... 56
III.2.1. Pendekatan Penelitian . ... 56
III.2.2. Jenis Penelitian . ... 56
III.2.3. Sifat Penelitian . ... 56
III.3. Populasi dan Sampel . ... 57
III.4. Metode Pengumpulan Data . ... 59
III.5. Jenis dan Sumber Data . ... 59
III.6. Identifikasi Variabel . ... 60
III.6.1. Identifikasi Variabel Hipotesis Pertama . ... 60
III.6.2. Identifikasi Variabel Hipotesis Kedua . ... 60
III.6.3. Identifikasi Variabel Hipotesis Ketiga . ... 60
III.7. Definisi Operasional Variabel . ... 61
III.7.1. Definisi Operasional Variabel Hipotesis Pertama ... 61
III.7.2. Definisi Operasional Variabel Hipotesis Kedua . ... 62
III.7.3. Definisi Operasional Variabel Hipotesis Ketiga... 63
(16)
III.8.1. Uji Validitas Instrumen .. ... 65
III.8.1.1. Hasil Uji Validasi Instrumen Variabel Hipotesis Pertama ... 65
III.8.1.2. Hasil Uji Validasi Instrumen Variabel Hipotesis kedua ... 67
III.8.1.3. Hasil Uji Validasi Instrumen Variabel Hipotesis Ketiga ... 68
III.8.2. Uji Reliabilitas Instrumen .. ... 69
III.8.2.1. Hasil Reliabilitas Instrumen Variabel Hipotesis Pertama... 70
III.8.2.2. Hasil Reliabilitas Instrumen Variabel Hipotesis Kedua ... 71
III.8.2.3. Hasil Reliabilitas Instrumen Variabel Hipotesis Ketiga ... 72
III.9. Model Analisis Data .. ... 73
III.9.1. Model Analisis Data Hipotesis Pertama .. ... 73
III.9.2. Model Analisis Data Hipotesis Kedua .. ... 75
III.9.3. Model Analisis Data Hipotesis Ketiga .. ... 76
III.10.Pengujian Asumsi Klasik . ... 78
III.10.1. Uji Normalitas .. ... 78
III.10.2. Uji Multikolinieritas .. ... 79
(17)
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Penelitian ... 80 IV.1.1. Gambaran umum Direktorat Reserse Kriminal
Polda Sumut ... 80 IV.1.2. Visi, Misi dan Tujuan Direktorat Reserse Kriminal
Polda Sumut . ... 82 IV.1.3. Struktur Organisasi Direktorat Reserse Kriminal
Polda Sumut . ... 86 IV.1.4. Karakteristik Responden . ... 91
IV.1.4.1. Karakteristik Responden Berdasarkan
Jenis Kelamin ... 91
IV.1.4.2. Karakteristik Responden Berdasarkan
Usia ... 92 IV.1.4.3. Karakteristik Responden Berdasarkan
Pendidikan ... 93
IV.1.5. Penjelasan Responden Atas Variabel Penelitian ... 94
IV.1.5.1. Penjelasan Responden Atas Variabel
Komunikasi ... 94 IV.1.5.2. Penjelasan Responden Atas Variabel
Tim Kerja ... 95 IV.1.5.3. Penjelasan Responden Atas Variabel
(18)
IV.1.5.4. Penjelasan Responden Atas Variabel
Komunikas Antar Personil ... 98
IV.1.5.5. Penjelasan Responden Atas Variabel
Penyelesaian Konflik Internal ... 99
IV.1.5.6. Penjelasan Responden Atas Variabel
Komunikas Antar Tim Kerja ... 100
IV.1.5.7. Penjelasan Responden Atas Variabel
Kecepatan Pengungkapan Perkara ... 102
IV.1.6. Hasil Pengujian Asumsi Klasik . ... 103
IV.1.6.1. Hasil Uji Normalitas ... 103
IV.1.6.2. Uji Multikolonieritas ... 105
IV.1.6.3. Uji Heteroskedastisitas ... 106
IV.2. Pembahasan. ... 107
IV.2.1. Hasil Pengujian Hipotesis Pertama Secara Serempak . . 107
IV.2.2. Hasil Pengujian Hipotesis Pertama Secara Persial ... 110
IV.2.3. Hasil Pengujian Hipotesis Kedua ... 112
IV.2.4. Hasil Pengujian Hipotesis Ketiga... 115
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN IV.1. Kesimpulan ... 118
IV.2. Saran ... 119
(19)
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
III.1. Definisi Operasional Variabel Hipotesis Pertama ... 62
III.2. Definisi Operasional Variabel Hipotesis Kedua . ... 63
III.3. Definisi Operasional Variabel Hipotesis Ketiga . ... 64
III.4. Hasil Pengujian Validasi Instrumen Variabel Hipotesis Pertama ... 66
III.5. Hasil Pengujian Validasi Instrumen Variabel Hipotesis Kedua ... 67
III.6. Hasil Pengujian Validasi Instrumen Variabel Hipotesis Ketiga ... 68
III.7. Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen Hipotesis Pertama ... 70
III.8. Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen Hipotesis Kedua ... 71
III.9. Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen Hipotesis Ketiga ... 72
IV.1. Jumlah Personel Polri Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut ... 81
IV.2. Jumlah Personel PNS Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut .... 82
IV.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 91
IV.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 92
IV.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 93
IV.6. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ... 104
IV.7. Hasil Uji Multikolonieritas ... 105
(20)
IV.9. Nilai Koefisien Determinasi ( R2 ) Hipotesis Pertama ... 109
IV.10. Hasil Pengujian Hipotesis Pertaman Secara Parsial... 111
IV.11. Hasil Pengujian Hipotesis Kedua ... 113
IV.12. Nilai Koefisien Determinasi ( R2 ) Hipotesis Kedua ... 114
IV.13. Hasil Pengujian Hipotesis Ketiga... 115
(21)
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
I.1. Kerangka Berpikir Hipotesis Pertama ... ... 10
I.2. Kerangka Berpikir Hipotesis Kedua ... ... 11
I.3. Kerangka Berpikir Hipotesis Ketiga ... ... 13
II.1. Model Proses Komunikasi . ... 19
IV.1. Struktur Organisasi Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut ... 86
IV.2. Hasil Uji Normalitas ... 103
(22)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Perintah Penyelidikan Dit Reskrim Polda Sumut No. Pol. : SP-SIDIK / 153 / II / 2009 / Dit Reskrim, tanggal 03 Pebruari 2009.
2. Lampiran Surat Perintah Penyelidikan Dit Reskrim Polda Sumut No. Pol. :
(23)
ABSTRAK
Penelitian ini memberikan perhatian yang cukup serius terhadap penanganan kasus yang mencoreng stabilitas keamanan, sosial dan politik yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara. Kasus tersebut yaitu terjadinya pemukulan dan penganiayaan terhadap Ketua DPRD Sumatera Utara, Haji Aziz Angkat yang tewas dalam aksi unjuk rasa anarkhis pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) di gedung wakil rakyat provinsi tersebut pada tanggal 2 Februari 2009.
Teori yang digunakan dalam penlitian ini adalah teori manajemen sumber daya manusia khususnya berkaitan dengan komunikasi dan tim kerja yang menjadi dasar telaahan terhadap perkembangan penanganan kasus yang dilakukan oleh jajaran Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara dalam menilai hasil penanganan kasus tersebut yang dapat menjadi patokan terhadap penilaian kinerja Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara.
Penelitian dilakukan terhadap para personil di Jajaran Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara khususnya yang terlibat secara langsung menangani kasus tersebut dengan menggunakan metoda survei. Analisis terhadap data yang didapatkan untuk menguji hipotesis menggunakan regresi linear berganda dan regresi linear sederhana, dengan terlebih dahulu melalui uji validitas dan realibilitas terhadap instrumen variabel tersebut, serta terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik dengan menggunakan uji normalitas, uji multikoliniearitas, dan uji heteroskedastisitas.
Hasil penelitian yang dilakukan di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar
31,818 dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau alfa (á) = 0,05, sedangkan nilai F tabel adalah sebesar 3,00 sehingga dengan demikian keputusannya
adalah Ho ditolak dan Ha diterima. Komunikasi dan tim kerja secara simultan juga mempunyai pengaruh yang sangat signifikan (highly significant) terhadap kinerja Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara yang ditunjukkan adanya nilai Koefisien Determinasi (R2) yaitu sebesar 0,764 atau 76,4%. Dengan kata lain kenerja personil Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara khususnya dalam menangani kasus unjuk rasa anarkis Pembentukan Provinsi Tapanuli dipengaruhi oleh variabel komunikasi dan tim kerja di atas sebanyak 76,4% dan faktor lain yang tidak diteliti sebanyak 23,6%.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa Komunikasi dan Tim Kerja berpengaruh Highly Significant terhadap kinerja personil di lingkungan Direktorat Reserse Polda Sumatera Utara dan penyelesaian serta kecepatan pengungkapan kasus khususnya penanganan kasus unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli.
(24)
ABSTRACT
The case of anarchist strike of establishing Tapanuli Province that is also more known publicly “Protap” is a case interesting to the public not only of North Sumatra but also Indonesia as a whole, and even it has been interested internationally. The case became attention of all the communities and even the president of Indonesia, thus, in the progress, the case has lead to various claim and pressure against the Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police to manage it.
Some theories of communication and the working team has been basic of study of the progress of case handling by the Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police in assessing the result of case handling that can be made to be foundation of assessing the performance of Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police.
The study was conducted with the personal of Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police especially those who are involved directly to manage the case by using a survey method. The analysis of data was conducted to test the hypothesis by using both multiple and simple linear regression by first making the validity and reliability tests for the variables and then followed by the classical assumption test by using the normality, multicolinearity and heteroschedastical test.
The result of the study conducted at the Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police by using F-test simultaneously showed that the F-count was of 31.818 in confidence level of 95% or alpha (á) = 0.05, whereas
the F-table was of 3.00, thus, the decision is Ho rejected and Ha accepted. The communication and the working team simultaneously also have highly significant effect on the performance of the Criminal Directorate of Provincial Police of North Sumatra as indicated by the Determination coefficient (R2) of 0.764 or 76.4%. In other words, the performance of Criminal Directorate of Provincial Police of North Sumatra especially in solving the case of anarchist strike of establishing Tapanuli Province was influenced by both communication and the working team over 76.4% and the other factors out of the study of 23.6%.
The conclusion of the study is that both Communication and the Working Team have highly significant effect on the performance of the Criminal Investigations Directorate (CID) of North Sumatra Regional Police and the resolution and accuracy in exposing the case especially in managing the anarchist strike of establishing Tapanuli Province.
Keywords: Communication, Working Team, Personal Performance.
(25)
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sejak bergulirnya era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998,
Polri sebagai salah satu organ pemerintahan dan alat negara penegak hukum mengalami beberapa perubahan. Pergeseran paradigma pengabdian Polri yang sebelumnya cenderung digunakan sebagai alat penguasa kearah pengabdian bagi kepentingan masyarakat telah membawa berbagai implikasi perubahan yang
mendasar. Salah satu perubahan itu adalah perumusan kembali perannya sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menetapkan Polri berperan selaku pemelihara Kamtibmas, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Arah kebijakan strategi Polri yang mendahulukan tampilan selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat adalah bahwa dalam setiap gerak langkah pengabdian anggota Polri baik sebagai pemelihara Kamtibmas maupun sebagai penegak hukum haruslah dijiwai oleh tampilan perilakunya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, sejalan dengan paradigma barunya yang
mengabdi bagi kepentingan masyarakat. Masyarakat banyak berharap Polri dapat mengemban tugasnya secara profesional, bermoral dan modern terutama dalam kapasitasnya sebagai ujung tombak proses penegakan hukum. Penanganan kasus-kasus tindak pidana terutama yang menonjol selalu menjadi perhatian masyarakat.
(26)
Polri sebagai penegak hukum menjadi pusat sorotan dalam pembenahan reformasi birokrasi yang digulirkan oleh pemerintah.
Secara khusus penelitian ini memberikan perhatian yang cukup serius terhadap penanganan kasus yang mencoreng stabilitas keamanan, sosial dan politik yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara. Kasus tersebut yaitu terjadinya pemukulan
dan penganiayaan terhadap Ketua DPRD Sumatera Utara, Haji Aziz Angkat yang tewas dalam aksi unjuk rasa anarkhis pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) di gedung wakil rakyat provinsi tersebut pada tanggal 2 Februari 2009.
Kasus unjuk rasa anarkhis tentang pembentukan Provinsi Tapanuli yang juga
lebih dikenal publik dengan sebutan kasus “Protap”, merupakan suatu kasus yang menjadi perhatian publik tidak hanya di Sumatera Utara atau wilayah Indonesia saja, tapi sudah menyita perhatian internasional. Kasus tersebut menjadi atensi dari seluruh lapisan masyarakat dan bahkan hingga Presiden Republik Indonesia, sehingga dalam
perkembangan kasus tersebut menimbulkan berbagai tuntutan dan tekanan terhadap jajaran Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara yang menanganinya.
Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara dituntut untuk segera mengungkap secara tuntas peristiwa tersebut hingga ke aktor intelektualnya walaupun dengan berbagai kendala dan kesulitan yang dihadapi yang disebabkan oleh
banyaknya tersangka pelaku dan beberapa faktor lain diantaranya minimnya alat-alat bukti yang ada serta minimnya dokumentasi dari pihak Poltabes Medan dan sekitarnya yang mengamankan jalannya aksi unjuk rasa di gedung DPRD tersebut.
(27)
Berbagai tekanan baik yang datang dari lingkungan internal kepolisian maupun lingkungan eksternal seperti masyarakat dan pemerintahjuga memunculkan berbagai tantangan tertentu yang senantiasa memberikan tekanan juga dalam pencapaian kinerja personil di jajaran Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara. Karena merupakan kasus yang menjadi perhatian, tidak sedikit para personil
yang menjalankan tugas ingin mengungkapkan keberhasilannya sehingga pada akhirnya yang bersangkutan akan mendapatkan reward dari pimpinan. Hal tersebut membutuhkan suatu pemikiran manajemen dan pengorganisasian yang cukup baik khususnya bagi pimpinan organisasi dalam hal ini Direktur Reserse Kriminal Polda
Sumatera Utara dalam menangani kasus yang menjadi prioritas dan atensi publik ini. Penanganan kasus tersebut, yang memang berada di bawah tekanan, pada awalnya berjalan kurang optimal. Dalam kurun waktu hampir seminggu setelah kejadian belum ada satu tersangkapun yang berhasil ditangkap serta belum ada alat
bukti yang berhasil didapat guna menangkap para tersangka. Satu-satunya alat bukti “petunjuk” adalah hasil rekaman yang didapatkan para petugas lapangan dari kesatuan intelijen yang juga minim. Kebanyakan dari bukti visual tersebut bahkan berupa gambar atau photo yang hanya memperlihatkan keberadaan orang-orang para calon tersangka di dalam ruangan sidang gedung DPRD tanpa ada bukti visual yang
menggambarkan perbuatan para pelaku tersebut di dalam gedung.
Dengan berbekal photo calon tersangka, para personil Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara yang juga bergabung dengan personil Satuan Reserse Kriminal Poltabes Kota Medan saling berlomba untuk menangkap orang yang ada
(28)
dalam gambar tersebut walaupun belum pasti apakah ada alat bukti lain yang mendukung sangkaan terhadap orang tersebut. Pergerakan tersebut juga dilakukan tanpa ada koordinasi antar personil lainnya sehingga seringkali terjadi beberapa orang personil mencari calon tersangka yang sama, namun yang lain dibiarkan.
Perhatian para personil juga hanya terfokus kepada orang atau calon
tersangka. Tidak seorangpun yang berupaya untuk melakukan pencarian terhadap barang bukti yang digunakan walaupun photo barang bukti tersebut ada seperti: peti mati, angkutan kota yang digunakan serta spanduk-spanduk yang digunakan. Dengan kata lain, semua pergerakan yang dilakukan anggota personil yang tergabung dalam
Surat Perintah Kapolda Sumut No. Pol: SP-SIDIK/153/II/2009/Dit Reskrim tersebut tidak terkoordinasi dengan baik.
Perubahan ke arah yang lebih baik dirasakan setelah menginjak minggu kedua dengan diadakannya evaluasi secara rutin yang juga sekaligus proses pertukaran
informasi yang dilakukan setiap hari. Selain itu juga dibentuk beberapa tim kerja dengan target yang telah ditetapkan masing-masing baik dalam rangka mengejar dan menangkap tersangka maupun mencari alat bukti-alat bukti yang lain serta dibentuk juga khusus tim pemeriksa. Untuk mendukung kegiatan tersebut dibentuk juga tim pendukung yang lain diantaranya adalah tim yang menangani pelacakan dengan
menggunakan teknologi Informasi (tim IT), tim penyusun administrasi, tim pelacak aliran dana, tim pendukung logistik serta tim koordinasi dengan pihak Kejaksaan guna melancarkan proses perkara tersebut.
(29)
Meskipun telah dibentuk tim kerja dengan target masing-masing, namun masih ada kendala yang dirasakan khususnya dari tim kerja yang bertugas melaksanakan pengungkapan dan penangkapan para tersangka. Para personil yang termasuk dalam tim kerja yang dibentuk merupakan kolaborasi antara berbagai satuan di Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara yakni Satuan Tindak Pidana
Umum, Satuan Tindak Pidana Ekonomi, Satuan Tindak Pidana Korupsi dan Satuan Tindak Pidana Tertentu serta dibantu oleh beberapa personil dari Satuan Reserse Kriminal Poltabes Kota Medan sehingga benar-benar memberikan keragaman motivasi. Hal tersebut sangat rentan akan timbulnya konflik antar individu dalam tim
kerja yang lebih dikarenakan para personil tersebut mengedepankan ego masing-masing individu. Keadaan tersebut tentunya akan menghambat jalannya proses penanganan perkara terutama dalam hal kecepatan pengungkapan kasus yang akhirnya akan memperburuk kinerja dan citra Polisi di mata masyarakat.
Penanganan kasus unjuk rasa anarkis pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli merupakan titik berat dari tugas pokok fungsi reserse khususnya jajaran Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara pada awal tahun 2009. Namun demikian, berkat upaya yang dilaksanakan secara maksimal serta adanya perubahan manajerial yang dilakukan, pada akhirnya, hasil yang ditunjukkan oleh kerja keras
para personil yang terlibat dalam penanganan kasus ini cukup menggembirakan dan bahkan mendapatkan pujian baik dari pimpinan Polri maupun dari masyarakat. Hasil yang dicapai cukup memuaskan, tercatat dalam waktu satu bulan sebagaimana yang
(30)
ditargetkan pimpinan Polri, sebanyak 70 (tujuh puluh) orang tersangka berhasil ditangkap dan selanjutnya diproses sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Sejauhmana pengaruh komunikasi, dan tim kerja terhadap kinerja personil di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara, khususnya dalam penanganan kasus tindak pidana unjuk rasa anarkhis pembentukan
Provinsi Tapanuli?
2. Sejauhmana pengaruh komunikasi antar personil di dalam tim kerja terhadap penyelesaian konflik internal?
3. Sejauhmana pengaruh komunikasi antar tim kerja terhadap kecepatan
pengungkapan perkara dalam kasus unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli?
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh komunikasi dan tim kerja terhadap kinerja personil di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara Khususnya dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Unjuk Rasa Anarkhis Pembentukan Provinsi Tapanuli.
(31)
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh komunikasi antar personil di dalam tim kerja terhadap penyelesaian konflik internal.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh komunikasi antar tim kerja terhadap kecepatan pengungkapan perkara dalam kasus unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli.
I.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi Kepolisian Daerah Sumatera Utara
khususnya dalam merencanakan upaya yang berkelanjutan melalui peningkatan kinerja pelayanan kepada masyarakat dalam kerangka mendapatkan public trust yang lebih baik.
2. Sebagai menambah khasanah penelitian bagi Program Studi Magister Ilmu
Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Sebagai menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam bidang ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia, khususnya mengenai pengaruh komunikasi dan tim kerja terhadap kinerja personil di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara.
4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang sama di masa yang akan datang.
(32)
I.5. Kerangka Berpikir
Dalam suatu organisasi, komunikasi memiliki peran penting terutama dalam membentuk organisasi yang efektif. Untuk mengoptimalkan peran komunikasi dalam organisasi memang harus dipahami cara-cara dan jenis komunikasi, baik dengan bawahan, rekan kerja maupun dengan atasan.
Kreitner dan Kinicki (2005), menyatakan bahwa “Komunikasi merupakan pertukaran informasi antar pengirim dan penerima, dan kesimpulan (persepsi) makna antara individu-individu yang terlibat”.
Menurut Sopiah (2008), bahwa “Komunikasi adalah sebagai proses
penyampaian atau pertukaran informasi dari pengirim kepada penerima, baik secara lisan, tertulis maupun menggunakan alat komunikasi”.
Bentuk komunikasi terapan yang sering ditemui dalam organisasi publik pada umumnya merupakan bentuk komunikasi yang sentralistik, artinya segala komunikasi
dikendalikan oleh atasan. Pimpinan dalam hal ini akan bertindak sebagai orang pertama yang memberi informasi, sedangkan anak buah tinggal menjadi pelaksana. Kondisi semacam ini menempatkan pimpinan sebagai satu-satunya orang yang menguasai informasi (Sulistiyani dan Rosidah, 2009).
Keberhasilan seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan tidak
terlepas dari kemampuan pegawai tersebut berkomunikasi dengan atasan ataupun dengan rekan kerja. Dalam suatu tim kerja, komunikasi antar anggota sangat menuntut adanya komunikasi secara terbuka dan jujur, sehingga tim kerja dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal (Sopiah, 2008).
(33)
Robbins (2007) menyatakan bahwa “Tim kerja adalah kelompok di mana individu menghasilkan tingkat kinerja yang lebih besar daripada jumlah masukan individu tersebut”.
Suatu tim kerja membangkitkan sinergi positif melalui upaya yang terkoordinasi. Upaya-upaya individu tersebut akan menghasilkan suatu tingkat kinerja
yang lebih besar daripada jumlah masukan individu tersebut (Sopiah, 2008).
Keberhasilan sebuah organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya tidak terlepas dari dukungan sumber daya manusia yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap pegawai yang terlibat di dalam suatu organisasi harus mampu
menunjukkan kinerja yang terbaik.
Rivai (2006) menyatakan bahwa “Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan
organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika”.
Menurut Byars dan Rue (2000) bahwa “Kinerja adalah hasil upaya seseorang yang ditentukan oleh kemampuan karakteristik individu terhadap perannya dalam pekerjaan yang dilakukannya”.
Dari pengertian di atas, maka kinerja adalah sebagai hasil kerja yang telah dicapai seseorang dari tingkah laku kerjanya dalam melaksanakan aktivitas kerja. Informasi tentang tinggi rendahnya kinerja seorang pegawai tidak dapat diperoleh
(34)
begitu saja, tetapi diperoleh melalui proses yang panjang, yaitu proses penilaian kinerja pegawai yang disebut dengan istilah performance appraisal.
Dari uraian di atas, maka dapat digambarkan kerangka berpikir hipotesis pertama sebagai berikut:
Gambar I.1. Kerangka Berpikir Hipotesis Pertama
Menurut Sopiah (2008), komunikasi dapat dibedakan atas 3 (tiga) tingkatan, yaitu komunikasi antar individu (personil), komunikasi dalam kelompok (tim kerja), dan komunikasi keorganisasian. Komunikasi antar sesama individu (personil) dalam
tim kerja biasanya digunakan untuk mempermudah terjadinya koordinasi diantara anggota kelompok sehingga tidak terjadi konflik di dalam pelaksanaan tugas diantara individu. Di samping itu dengan terjalinnya komunikasi yang baik antar tim kerja akan sangat membantu organisasi tersebut dalam mencapai tujuannya.
Kemampuan yang dimiliki dari anggota tim kerja sangat dibutuhkan agar dapat bekerja secara efektif. Pertama, Tim memerlukan orang-orang yang memiliki keahlian teknis. Kedua, tim memerlukan orang-orang dengan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan untuk mampu mengidentifikasi masalah, membangkitkan alternatif, mengevaluasi alternatif dan membuat pilihan
Komunikasi
Tim Kerja
(35)
yang kompeten. Akhirnya tim juga memerlukan orang-orang yang memiliki keterampilan mendengarkan dengan baik, memberikan umpan-balik, mampu menyelesaikan konflik dan keterampilan dalam hubungan antar pribadi (Sopiah, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, dapat digambarkan kerangka berpikir untuk hipotesis kedua adalah:
Gambar I.2. Kerangka Berpikir Hipotesis Kedua
Sebagai salah satu organ pemerintah yang mengemban tugas di bidang penegakan hukum, Polri telah memfokuskan diri untuk senantiasa menjaga profesionalitas dalam penanganan perkara. Sebagaimana disebutkan dalam visi dan misi Polri yang tertuang dalam Grand Strategi Polri 2005-2025 yang disahkan dengan
Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/360/VI/ 2005 tanggal 10 Juni 2005 dalam salah satu misi Polri adalah: “Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum, HAM, keadilan dan kepastian hukum”. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa salah satu indikator
keberhasilan kinerja dari Polri adalah di bidang penegakan hukum yakni proses penanganan tindak pidana yang profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum, HAM, keadilan dan kepastian hukum.
Komunikasi Antar Personil
Penyelesaian Konflik Internal
(36)
Untuk mewujudkan profesionalitas dalam penegakan hukum memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, maka Polri telah merumuskan aturan-aturan teknis dalam menangani suatu perkara pidana yang tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAP) Nomor 12 Tahun 2009 yang salah satunya mengatur tentang waktu atau kecepatan penanganan perkara pidana.
Di samping itu, kecepatan penangan perkara merupakan indikator yang dapat dirasakan langsung dan nyata oleh masyarakat yang dilayani oleh Polri. Tidak sedikit dari kalangan masyarakat yang langsung memberikan penilaian kinerja secara keseluruhan terhadap kinerja Polri hanya dengan kecepatan dalam pelayanan dan
penanganan suatu perkara pidana.
Kecepatan pengungkapan atau penanganan perkara memang bukan satu-satunya bahan penilaian terhadap kinerja Polri, masih ada unsur lain sebagai bahan penilaian antara lain adalah: transparansi, akuntabilitas dan kemudahan dalam
pelayanan yang sering dikaitkan dengan biaya dalam pelayanan. Sehingga dalam kaitan studi kasus tentang penanganan perkara pidana unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli yang mengakibatkan meninggalnya Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara yakni (alm) Ir. Abdul Aziz Angkat, kecepatan pengungkapan perkara merupakan salah satu unsur penilaian terhadap kinerja Polri
khususnya Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara yang menangani secara langsung perkara ini.
(37)
Dengan demikian, kerangka berpikir penelitian ini untuk hipotesis ketiga adalah sebagai berikut:
Gambar I.3. Kerangka Berpikir Hipotesis Ketiga
I.6. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir, maka dihipotesiskan sebagai berikut:
1. Komunikasi, dan tim kerja berpengaruh terhadap kinerja personil
di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara, khususnya dalam penanganan kasus tindak pidana unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli.
2. Komunikasi antar personil di dalam tim kerja berpengaruh terhadap
penyelesaian konflik internal.
3. Komunikasi antar tim kerja berpengaruh terhadap kecepatan pengungkapan perkara dalam kasus unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli.
Komunikasi Antar Tim Kerja
Kecepatan Pengungkapan Perkara
(38)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Teori tentang Komunikasi
II.1.1. Pengertian dan Bentuk Komunikasi
Dalam keseluruhan bidang organisasi dan manajemen, komunikasi merupakan salah satu konsep yang paling sering dibahas, meskipun di dalam kenyataannya jarang sekali dipahami secara tuntas.
Kreitner dan Kinicki (2005), menyatakan bahwa “Komunikasi merupakan
pertukaran informasi antar pengirim dan penerima, dan kesimpulan (persepsi) makna antara individu-individu yang terlibat”.
Menurut Daft (2006) bahwa “Komunikasi adalah proses dimana informasi ditukar dan dipahami oleh dua orang atau lebih, biasanya dengan maksud untuk
memotivasi atau mempengaruhi perilaku”. Sedangkan menurut Robbbins (2007), komunikasi adalah penyampaian dan pemahaman makna.
Menurut Sofyandi dan Garniwa (2007), pengertian komunikasi dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu:
1. Pengertian komunikasi yang berorientasi pada sumber menyatakan bahwa
“Komunikasi adalah kegiatan dengan mana seseorang (sumber) secara sungguh-sungguh memindahkan stimuli guna mendapatkan tanggapan”. Dengan melihat unsur kesungguhan dalam komunikasi, maka pengertian itu cenderung berpandangan bahwa semua komunikasi pada dasarnya adalah
(39)
persuasif. Lebih jauh lagi, komunikasi yang berorientasi pada sumber menekankan pentingnya variabel-variabel tertentu dalam proses komunikasi, seperti isi pesan, dan sifat persuasifnya. Dengan kata lain, komunikasi menurut pandangan ini memfokuskan perhatian pada produksi pesan-pesan yang efektif.
2. Pengertian komunikasi yang berorientasi pada penerima memandang bahwa “Komunikasi sebagai semua kegiatan di mana seseorang (penerima) menanggapi stimulus atau rangsangan”. Tegasnya, proses komunikasi menurut pandangan ini berkenaan dengan pemahaman dan arti, karena
tekanan diletakkan pada bagaimana penerima melihat dan menafsirkan suatu pesan. Pandangan ini tidak membatasi diri pada perilaku yang bersifat
intentional saja, dan karenanya memperluas lingkup dari situasi komunikasi. Kekhasan bentuk komunikasi yang menempatkan manusia sebagai unsur
penting dalam organisasi haruslah diwarnai oleh sikap dan pola komunikasi yang bijak. Sikap dalam hal ini lebih mengekspresikan bagaimana manusia diletakkan pada posisi yang terhormat, dan dipandang berharga. Kondisi semacam ini apakah mewarnai dalam sistem komunikasi antara pimpinan pimpinan dengan bawahan dan antar sesamanya. Pengamatan dapat dilakukan sejauhmana pimpinan memperlakukan
bawahan dalam komunikasi baik formal maupun non formal.
Substansi lain yang perlu mendapatkan perhatian di samping sikap, adalah pola komunikasi. Apa yang menjadi fokus dalam konteks komunikasi organisasi
(40)
adalah meliputi bentuk komunikasi, jalur/saluran hubungan komunikasi, dan sumber informasi, jenis berita yang dikomunikasikan.
Menurut Sulistiyani dan Rosidah (2009), bentuk komunikasi organisasi secara umum dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Komunikasi Formal
Bentuk komunikasi formal adalah bentuk hubungan komunikasi yang diciptakan secara terencana, melalui jalur-jalur formal dalam organisasi, yang melekat pada saluran-saluran yang ditetapkan sebagaimana telah ditunjukkan melalui struktur. Bentuk khas dari komunikasi formal ini adalah berupa
komunikasi dalam tugas. 2. Komunikasi Non Formal
Bentuk komunikasi non formal adalah komunikasi yang ada di luar struktur, biasanya melalui saluran-saluran non formal yang munculnya bersifat
insidental, menurut kebutuhan atau hubungan interpersonal yang baik, atau atas dasar kesamaan kepentingan, hobi dan lain-lain.
Jalur/saluran komunikasi diperlihatkan oleh adanya jalur-jalur komunikasi formal yang dirancang dalam organisasi. Saluran hubungan yang bersifat sentralistik diwakili oleh bentuk komunikasi komando, yang menyalurkan komunikasi dari atas
ke bawah (down-ward communication). Biasanya bentuk saluran komunikasi semacam itu diimbangi dengan saluran ke atas atau dikenal dengan up-ward communication. Bentuk lain yang sering tampak dalam organisasi publik adalah komunikasi diagonal yang memberikan ruang terjadinya komunikasi antar sesama.
(41)
Bentuk terapan yang sering ditemui dalam organisasi publik pada umumnya merupakan bentuk komunikasi yang sentralistik. Pada saluran hubungan yang sentralistik biasanya didominasi oleh pimpinan sebagai sumber berita. Pimpinan dalam hal ini akan bertindak sebagai orang pertama yang memberi informasi, sedangkan anak buah tinggal menjadi pelaksana. Kondisi semacam ini menempatkan
pimpinan sebagai satu-satunya orang yang menguasai informasi.
Komunikasi yang tersentral jauh lebih miskin variasi atau corak informasi. Hanya terdapat dua jenis komunikasi yang cukup menonjol dalam hal ini, yaitu perintah dan pertanggungjawaban. Sedangkan pada komunikasi yang lebih terbuka,
sangat memungkinkan terbentuknya variasi informasi, baik yang berasal dari inisiatif atasan maupun bawahan. Komunikasi yang berupa konsultasi, pembimbingan, saran nasihat, kritik, dan lain-lain merupakan variasi yang dapat ditampung pada pola komunikasi yang fleksibel.
II.1.2. Proses Komunikasi
Proses komunikasi berkaitan dengan bagaimana komunikasi itu berlangsung. Untuk memahami proses komunikasi, sebagai acuan dikemukakan oleh Daft (2006).
Menurut Daft (2006), ada dua elemen umum dalam setiap situasi komunikasi, yaitu pengirim dan penerima. Pengirim (sender) adalah orang yang ingin
menyampaikan ide atau konsep kepada orang lain, mencari informasi, atau mengungkapkan pemikiran atau emosi. Penerima (receiver) adalah orang kepada siapa pesan tersebut dikirimkan. Pengirim encode (encodes) ide dengan memilih simbol-simbol yang digunakan untuk menyusun sebuah pesan.
(42)
Pesan (message) adalah perumusan yang nyata dari ide yang dikirimkan untuk penerima. Pesan tersebut dikirim lewat sebuah saluran (channel), yang merupakan pembawa komunikasi. Saluran tersebut bisa berupa laporan formal, panggilan telepon atau pesan e-mail, atau pertemuan dengan berhadapan secara langsung. Penerimanya dekodekan (decodes) simbol-simbol untuk menginterpretasikan arti pesan tersebut.
Enkode dan dekode merupakan sumber berbagai kesalahan komunikasi karena pengetahuan, sikap, dan latar belakang bertindak sebagai filter dan menciptakan “gangguan” (noise) ketika menerjemahkan dari simbol-simbol menjadi arti. Akhirnya, umpan-balik (feedback) muncul ketika penerima merespons komunikasi
pengiriman dengan pesan balasan. Tanpa umpan balik, komunikasi menjadi satu arah (one-way). Dengan adanya umpan-balik, komunikasi menjadi dua arah (two-way). Umpan balik merupakan bantuan yang sangat ampuh untuk mendapatkan efektivitas komunikasi, karena umpan balik memungkinkan pengirim untuk menentukan apakah
penerima menginterpretasikan pesan dengan dengan benar.
Sumber: Daft (2006)
Gambar II.1. Model Proses Komunikasi
PENGIRIM ENKODE
PESAN
PENERIMA DEKODE
PESAN
(Pesan balasan
didekode) Putaran umpan
balik
(Pesan balasan dienkode)
(43)
Menurut Sofyandi dan Garniwa (2007), untuk memahami proses komunikasi, sebagai acuan dikemukakan model Shannon dan Weaver yang unsur-unsur pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Sumber Informasi
Ini adalah awal dari proses komunikasi. Sumber ini memuat informasi dan memasukan berbagai bentuk keinginan dan tujuan yang ada di pihak pengirim.
2. Transmisi
Transmisi mengubah (encodes) data ke dalam pesan dan mengirimkannya
kepada penerima. Bentuk utama dari proses pengubahan adalah bahasa yang diartikan sebagai setiap pola tanda-tanda, lambang, atau sinyal. Bahasa inilah yang dipindahkan melalui berbagai macam alat/media seperti: gelombang, listrik, atau selembar kertas.
3. Kebisingan/Gangguan
Segala sesuatu yang mengganggu dan terjadi antara transmisi dan penerima. Masalah arti kata, bahasa, atau distorsi pesan adalah contoh adanya gangguan, dan hal ini sering kali tidak bisa dihindarkan di dalam proses komunikasi. 4. Penerima
Di sini komunikasi telah melewati tahap antara pengirim dan penerima, di mana terjadi proses yang disebut decoding yaitu pemberian makna atau penafsiran atas pesan yang dikirimkan.
(44)
5. Tujuan Akhir
Ini adalah bagian terakhir dari proses komunikasi atau yang menjadi tanda selesainya komunikasi atau yang menjadi tanda selesainya dan telah dilaksanakannya proses komunikasi. Tujuan akhir ini bisa berupa pejabat, penyelia, atau pihak lainnya yang diharapkan memberikan reaksi terhadap
pesan yang diterimanya.
II.1.3. Fungsi Komunikasi
Komunikasi di dalam organisasi penting sekali dan dapat dipakai untuk melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut (Sofyandi dan Garniwa, 2007):
1. Fungsi Kontrol
Komunikasi dapat dipakai untuk mengontrol atau mengendalikan perilaku anggota organisasi dalam berbagai cara. Organisasi memiliki hirarki wewenang dan pedoman yang diikuti oleh pegawai. Manakala para pegawai
diminta untuk melaporkan hasil kerja atau keluhannya, menjalankan tugas sesuai dengan deskripsi, maka komunikasi sebagai pengontrol.
2. Fungsi Motivasi
Komunikasi dapat juga dipakai sebagai cara untuk menjelaskan bagaimana pegawai seharusnya bekerja agar dapat meningkatkan kemampuan dan
(45)
3. Fungsi Informasi
Pengambilan keputusan dalam organisasi memerlukan informasi. Komunikasi berfungsi menyediakan informasi yang berguna bagi individu atau kelompok untuk membuat keputusan yang dikehendaki.
Ketiga fungsi di atas sama pentingnya bagi organisasi. Tak ada satu fungsi pun yang bisa dikatakan lebih penting dari yang lainnya. Sebab, untuk dapat menghasilkan kinerja yang efektif, kelompok atau organisasi perlu mengontrol perilaku anggotanya, memotivasi, mewadahi ekspresi perasaan anggota, dan membuat keputusan.
II.1.4. Komunikasi dalam Kelompok
Pegawai dalam satu kelompok kerja mesti secara bersama-sama melakukan tugas dan untuk itu diperlukan komunikasi dalam struktur kelompok kerja, dan itu mempengaruhi kinerja dan kepuasan kerja pegawai. Menurut Tampubolon (2008),
ada 3 (tiga) macam aspek komunikasi dalam kelompok kerja, yaitu jaringan kerja (networks), keterbukaan dalam komunikasi (open communication), dan diskusi (dialogue).
1. Jaringan Kerja
Berdasarkan pengalaman dari penelitian para ahli perilaku keorganisasian,
terdapat dua karakteristik jaringan kerja dalam suatu organisasi, yaitu jaringan kerja terpusat (centralized network), dan kebebasan pegawai dalam jaringan kerja (decentralizaed network).
(46)
Jaringan kerja terpusat (centralized network) merupakan karakteristik komunikasi, di mana setiap anggota kelompok kerja dalam mengatasi dan memecahkan permasalahan diharuskan berkomunikasi melalui satu orang untuk membuat keputusan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pengertiannya, keputusan atas permasalahan dikendalikan oleh seseorang saja,
biasanya atasan langsung dalam kelompok kerja.
Kebebasan pegawai dalam jaringan kerja (decentralizaed network) adalah di mana setiap pegawai atau anggota kelompok kerja diberikan kebebasan berkomunikasi di antara sesama pegawai. Setiap pegawai dapat membuat
keputusan setelah melakukan proses komunikasi sesuai kebutuhan bersama setelah semua pegawai yang lainnya setuju.
2. Komunikasi Terbuka
Komunikasi terbuka dilandasi oleh data base yang sama yang dipergunakan
seluruh pegawai atau anggota organisasi. Data base disusun berdasarkan informasi dari seluruh pegawai dan dipergunakan untuk semua pegawai dalam organisasi, baik secara lintas fungsional maupun berdasarkan semua tingkat hierarki dalam organisasi. Misalnya, suatu organisasi bisnis memberi kebebasan bagi semua level hierarki pegawai untuk mengetahui rugi laba
perusahaan, tujuannya agar semua pegawai memahami dan turut aktif untuk mendukung pencapaian laba organisasi, dengan cara peningkatan disiplin kerja, melakukan pengawasan melekat, serta berpikir efektif dan efisien dalam
(47)
melaksanakan tugas sehingga pada akhirnya, target organisasi tersebut benar-benar dapat dicapai.
3. Dialog
Dialog merupakan proses komunikasi yang kreatif, yang didasari budaya dalam memecahkan permasalahan secara kolektif (collaboration), kelancaran
(fluidity), saling percaya (trust), dan intensif berkomunikasi untuk mencapai tujuan bersama. Keadaan seperti demikian dapat dilakukan apabila didukung kapasitas sumber daya manusia yang berkemampuan tinggi (high education and experiences). Umumnya, organisasi bisnis dengan profesionalisme tinggi
selalu melakukan dialog agar ditemukan solusi secara kolektif pada setiap permasalahan di dalam kelompok kerja dan organisasi secara keseluruhan.
II.1.5. Hambatan-hambatan terhadap Komunikasi yang Efektif
Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), setiap fungsi manajemen dan aktivitas
pasti melibatkan beberapa bentuk komunikasi baik langsung maupun tidak langsung. Apakah ketika melakukan perencanaan dan pengorganisasian atau pengarahan dan kepemimpinan, para manajer mendapati diri mereka berkomunikasi dengan dan melalui yang orang lain. Keputusan manajemen dan kebijakan organisasi tidak akan efektif kecuali jika dipahami dengan penuh tanggung jawab oleh mereka yang akan
melaksanakannya. Para ahli manajemen juga mengatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah landasan dari perilaku organisasi yang beretika.
Menurut Ardana dkk (2008), hambatan-hambatan terhadap komunikasi yang efektif dalam suatu organisasi antara lain adalah:
(48)
1. Penyaringan Informasi
Komunikator cenderung memanipulasi informasi supaya lebih dapat diterima dengan baik oleh komunikan/penerima. Minat pribadi dan persepsi mengenai apa yang menurut komunikator penting bagi penerima sangat mempengaruhi penyaringan dan hasilnya. Semakin banyak jumlah tingkatan dalam struktur
organisasi yang harus dilalui oleh suatu informasi semakin besar kemungkinan untuk penyaringan. Di sisi lain, hal ini wajar terjadi karena dalam struktur organisasi, semakin ke bawah semakin spesialis di bidang masing-masing.
2. Persepsi yang Selektif
Penerima dalam proses komunikasi menyeleksi apa yang mereka terima berdasarkan kebutuhan, motivasi, latar belakang pengalaman dan karakteristik pribadi lainnya. Penerima atau komunikan juga memproyeksikan minat dan
harapan mereka pada saat melakukan decoding (mengartikan simbol-simbol). 3. Emosional
Bagaimana perasaan komunikan/penerima pada saat ia menerima pesan akan mempengaruhi interpretasinya mengenai pesan tersebut. Pesan yang sama akan diinterpretasikan berbeda pada keadaan marah atau emosi netral.
Emosi-emosi yang ekstrim seperti gembira yang berlebihan atau sedih sangat mungkin menghalangi komunikasi yang efektif.
(49)
4. Bahasa
Kata-kata yang sama dapat berarti berbeda untuk orang yang tidak sama. Usia, pendidikan dan latar belakang budaya merupakan tiga variabel yang biasanya mempengaruhi bahasa yang digunakan dan arti yang diberikan kepada kata-kata. Di dalam suatu organisasi, pegawai berasal dari latar belakang yang
tidak sama. Ditambah lagi pengelompokan dalam unit kerja tertentu berdasarkan spesialisasi yang pada akhirnya menciptakan/mengembangkan istilah-istilah teknis dan ungkapan-ungkapan yang khas, dan sering pegawai tidak tahu istilah-istilah khusus yang digunakan. Komunikator cenderung
berpendapat bahwa kata-kata atau istilah yang mereka gunakan mempunyai arti yang sama bagi komunikan/penerima.
5. Kurang Perhatian
Kesalahpahaman terjadi karena orang tidak membaca dengan benar suatu
pesan atau informasi, baik dalam bentuk pengumuman, artikel, atau tidak mendengar percakapan orang dengan baik.
6. Faktor Hello Effect
Terjadi apabila si komunikator adalah orang yang disenangi atau dihormati, maka audiens atau penerima langsung akan mempercayai apa yang dikatakan,
walaupun belum tentu benar atau sebaliknya. 7. Perilaku Defensif
Ketika seorang merasa terancam, ia cenderung akan bereaksi dengan cara mengurangi kemampuannya untuk mencapai saling pengertian, yakni ia
(50)
menjadi defensif terlibat dalam perilaku seperti secara verbal menyerang orang lain, memberikan jawaban kasar, berperilaku seperti penilai, dan mempertanyakan motif orang lain. Ketika individu menafsirkan pesan yang datang sebagai sesuatu yang mengancam, ia sering meresponnya dengan cara yang menghambat keefektifan komunikasi.
8. Kebanjiran Informasi
Ketika informasi yang harus diterima melampaui kapasitas pemrosesan karena membanjirnya informasi (e-mail, telepon, faks, notula rapat, bacaan) akan ada kecenderungan untuk membuang, mengabaikan, melewatkan, dilupakan atau
menunda pemrosesannya sampai situasi kebanjiran informasi selesai.
II.1.6. Mengatasi/Mengurangi Hambatan dalam Komunikasi
Menurut Ardana dkk (2008), ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau mengurai hambatan dalam komunikasi, yaitu:
1. Mendengarkan dengan Aktif
Banyak orang menganggap enteng pekerjaan mendengarkan. Sering mencampuradukkan dua hal yang berlainan, yakni “mendengar” dan “mendengarkan”. Mendengar adalah menangkap vibrasi suara, sedangkan mendengarkan adalah memberi arti kepada apa yang didengar. Oleh sebab itu,
mendengarkan membutuhkan atensi, interpretasi dan mengingat rangsangan suara. Empat syarat mendengarkan dengan aktif:
(51)
a. Intensitas
Berkonsentrasi penuh pada apa yang disampaikan oleh pembicara dan menyampingkan pikiran-pikiran lain. Menghubungkan informasi yang diterima dengan topik pembicaraan.
b. Empati
Berusaha mengerti apa yang diinginkan oleh pembicara. Menyesuaikan apa yang dilihat dan dirasakan dalam dunia pembicaraan sehingga bisa meningkatkan persamaan antara interpretasi kita dan maksud pembicara. c. Penerimaan
Pendengar yang aktif memiliki penerimaan yang obyektif atas apa yang didengar dan dilihat. Ini bukan tugas mudah. Tantangan terhadap pendengar yang aktif adalah menyerap apa yang dikatakan seseorang tanpa menilai isinya sampai yang bersangkutan selesai berbicara.
d. Tanggung jawab untuk melengkapi informasi
Komunikasi alias pendengar harus berusaha untuk melengkapi informasi yang diterima dan artinya, bila perlu mengajukan pertanyaan untuk memperoleh pengertian yang sama dengan komunikator.
2. Memberikan Umpan Balik
Komunikator harus melihat reaksi dari komunikan dengan baik, misalnya dengan ekspresi wajah tertentu bila si komunikan tidak mengajukan pertanyaan.
(52)
II.2. Teori tentang Tim Kerja
II.2.1. Pengertian dan Komponen-komponen Tim Kerja
Kinerja tim lebih unggul daripada kinerja individu bila tugas yang harus dilakukan menuntut keterampilan, penilaian, dan pengalaman yang bervariasi. Ketika organisasi-organisasi melakukan restrukturisasi agar bisa bersaing secara lebih efektif
dan efisien, organisasi menggunakan tim sebagai cara untuk memberdayakan bakat pegawai secara lebih baik.
Robbins (2007) menyatakan bahwa “Tim kerja adalah kelompok di mana individu menghasilkan tingkat kinerja yang lebih besar daripada jumlah masukan
individu tersebut”.
Secara garis besar komponen kerja tim yang memperoleh perhatian yang paling besar adalah kerja sama, kepercayaan, dan kekompakan. Masing-masing komponen terwujudnya melalui kerja tim. Komponen kerja sama dapat tercipta melalui kerja tim, di mana upaya-upaya kelompok secara sistematis terintegrasi untuk
mencapai sebuah tujuan bersama. Semakin besar integrasinya, semakin besar tingkat kerja sama.
Komponen lain seperti kepercayaan juga dapat tercipta melalui kerja tim, di mana integrasi individu-individu dalam kelompok akan memberikan kontribusi
terciptanya kepercayaan. Dengan kata lain terbentuknya integritas antar individu akan memberikan kepercayaan timbal balik antar sesama individu, di mana terjadinya pemberian kepercayaan oleh individu yang satu kepada yang lain, nantinya individu
(53)
yang diberikan kepercayaan akan memberikan kepercayaan kembali kepada yang memberikan. Semakin besar integritas yang tercipta maka semakin besar kepercayaan timbal balik yang terjadi. Selanjutnya komponen kekompakan terciptanya melalui kerja tim, di mana timbul kekompakan disebabkan oleh faktor kepuasan emosional yang diperoleh dari partisipasi kelompok dan faktor pencapaian sasaran kelompok
dapat terwujud melalui tindakan bersama bukan terpisah-pisah.
Menurut Robert (2005) komponen kerja tim terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu:
1. Kerjasama
Kerja sama dalam tim kerja menjadi sebuah kebutuhan dalam mewujudkan keberhasilan kinerja. Kerja sama dalam tim kerja akan menjadi suatu daya dorong yang memiliki energi dan sinergisitas bagi individu-individu yang tergabung dalam tim kerja. Tanpa kerjasama yang baik tidak akan
memunculkan ide-ide cemerlang. Keberhasilan suatu tim maupun individu sangat berhubungan erat dengan kerjasama tim yang dibangun dengan kesadaran pencapaian kinerja. Dalam kerjasama akan muncul berbagai penyelesaian yang secara individu tidak terselesaikan. Keunggulan yang dapat diandalkan dalam kerjasama pada tim kerja adalah munculnya berbagai
penyelesaian secara sinergi dari berbagai individu yang tergabung dalam kerja tim.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) kerja sama memiliki 3 (tiga) keunggulan, yaitu:
(54)
a. Kerjasama lebih unggul dibandingkan dengan kompetisi dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas.
b. Kerjasama lebih unggul dibandingkan upaya-upaya individualistis dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas.
c. Kerjasama tanpa kompetisi antar kelompok dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas lebih tinggi daripada kerjasama dengan kompetisi antar kelompok.
2. Kepercayaan
Kepercayaan sangat kuat di dalam sebuah organisasi, orang-orang tidak akan
berbuat terbaik jika mereka tidak percaya bahwa mereka akan diperlakukan secara adil, bahwa tak ada kronisme dan setiap orang memiliki sasaran yang nyata. Satu-satunya cara yang diketahui untuk menciptakan kepercayaan semacam itu adalah dengan menyusun nilai-nilai dan kemudian melakukan
apa yang telah dibicarakan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) ada beberapa cara untuk membangun dan menjaga kepercayaan, yaitu:
a. Komunikasi, menjaga agar anggota tim dan para pegawai mendapatkan informasi dengan menjelaskan kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan serta memberikan umpan-balik yang akurat. Berterus teranglah
tentang masalah dan keterbatasan seseorang. Katakan yang sebenarnya. b. Dukungan, selalu bersedia dan mau didekati. Berikan bantuan, saran,
(55)
c. Rasa Hormat, delegasi, dalam bentuk kewenangan pembuatan keputusan yang sebenarnya, merupakan ekspresi terpenting dari penghormatan manajerial. Secara aktif mendengarkan ide-ide orang lain adalah ekspresi terpenting kedua (pemberian kewenangan tak mungkin tanpa kepercayaan).
d. Keadilan, cepatlah dalam memberikan pujian dan pengakuan kepada individu yang berhak mendapatkannya. Pastikan semua penilaian dan evaluasi kinerja objektif dan tidak memihak (tidak berat sebelah).
e. Dapat diprediksi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jadilah
konsisten dan dapat diramalkan dalam masalah sehari-hari. Penuhi janji-janji baik yang terucap maupun yang tersirat.
f. Kompetensi, singkatkan kredibilitas Anda dengan memperlihatkan pemahaman bisnis yang baik, kemampuan teknis, dan profesionalisme.
Menurut Williams (2000) bahwa “Kepercayaan adalah keyakinan timbal balik pada niat dan perilaku orang lain”. Ketika kita melihat orang lain bertindak dengan cara-cara yang menyatakan bahwa mereka mempercayai kita, kita menjadi lebih cenderung ingin bertimbal-balik dengan lebih memercayai mereka. Sebaliknya, kita menjadi tidak mempercayai mereka
yang tindakan-tindakannya tampak melanggar kepercayaan kita atau tidak mempercayai kita.
Kecenderungan untuk percaya, sebuah sifat kepribadian yang melibatkan keinginan umum seseorang untuk mempercayai orang lain.
(56)
Kecenderungan akan mempengaruhi seberapa banyak kepercayaan yang dimiliki seseorang untuk orang yang dipercayai sebelum data pada orang tersebut tersedia. Orang-orang dengan pengalaman berkembang yang berbeda sangat berbeda dalam kecenderungan mereka untuk memberikan kepercayaan. 3. Kekompakan
Kekompakan (cohesiveness) adalah sebuah proses di mana rasa kebersamaan muncul untuk mengatasi perbedaan-perbedaan dan motif-motif individual. Anggota-anggota dari kelompok yang kompak saling mendukung satu sama lain. Mereka enggan untuk meninggalkan kelompok. Para anggota kelompok
terpadu melekat bersama untuk satu atau dua alasan berikut:
a. Karena mereka menikmati kebersamaan satu dengan yang lain, atau b. Karena mereka membutuhkan satu sama lain untuk menyelesaikan sasaran
bersama.
Dua alasan di atas kekompakan kelompok diidentifikasikan para psikologi menjadi dua, yaitu:
a. Kekompakan Sosio-Emosional (Socio-Emotional Cohesiveness)
Adalah sebuah rasa kebersamaan yang berkembang ketika individu-individu mendapatkan kepuasan emosional dari partisipasi kelompok.
b. Kekompakan Instrumental (Instrumental Cohesiveness)
Adalah sebuah rasa kebersamaan yang berkembang ketika para anggota kelompok sama-sama bergantung satu dengan yang lain karena mereka
(57)
percaya bahwa mereka tak dapat mencapai sasaran kelompok dengan bertindak secara terpisah.
II.2.2. Tipe-tipe Tim Kerja
Menurut Robbins (2007), ada empat tipe tim kerja yang paling lazim dalam suatu organisasi, yaitu:
1. Tim Pemecah Masalah
Lazimnya, tim ini beranggotakan atas lima sampai dua belas orang pegawai dari satu departemen yang bertemu selama beberapa jam tiap minggu untuk membahas perbaikan kualitas, efisiensi, dan lingkungan kerja. Dalam tim
pemecah masalah, anggota berbagi gagasan atau menawarkan saran mengenai cara memperbaiki proses dan metode kerja. Tetapi tim ini jarang diberi wewenang untuk melaksanakan secara sepihak setiap tindakan yang mereka sarankan.
2. Tim Kerja Swa-Kelola
Tim pemecah masalah adalah kelompok pegawai (biasanya 10 sampai 15 orang) yang memiliki kinerja tinggi atau memiliki pekerjaan yang saling bergantung serta memikul tanggung jawab mantan penyelia mereka. Lazimnya tim ini mencakup perencanaan dan penjadwalan kerja,
pengendalian kolektif atas langkah kerja, pembuatan keputusan operasi, dan pengambilan tindakan untuk mengatasi masalah.
(58)
3. Tim Lintas-Fungsional
Tim lintas-fungsional merupakan sarana efektif yang memungkinkan setiap pegawai dari berbagai bidang dalam organisasi (atau bahkan antar organisasi) untuk bertukar informasi, mengembangkan gagasan baru dan memecahkan masalah, serta mengkoordinasikan proyek yang rumit. Diperlukan waktu
untuk membina kepercayaan dan kerja tim, terutama di antara orang-orang dari latar belakang yang berbeda, dengan pengalaman dan perspektif yang berbeda.
4. Tim Virtual
Tipe-tipe tim kerja sebelumnya mengerjakan pekerjaan mereka secara tatap muka. Tim virtual menggunakan teknologi komputer untuk mengikat anggota-anggota yang secara fisik terpencar untuk mencapai sasaran bersama. Tim virtual memungkinkan orang untuk bergabung secara langsung, dengan
menggunakan hubungan komunikasi seperti wide-area network, konferensi video, dan email. Tim virtual sering tidak maksimal karena kurangnya hubungan persahabatan sosial dan kurangnya interaksi langsung di antara para anggota.
II.2.3. Membentuk Tim Kerja yang Efektif
Menurut Sopiah (2008), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan tim kerja, yaitu:
(59)
1. Seleksi
Seleksi merupakan tahap awal yang harus dilakukan agar suatu organisasi dapat memiliki tim kerja yang berkinerja. Ketika mempekerjakan anggota tim, di samping keterampilan teknis yang diperlukan untuk mengisi pekerjaan itu, harus pula dipastikan bahwa calon dapat memenuhi peran sebagai anggota tim
dan juga memenuhi persyaratan teknis. 2. Pelatihan
Sebagian orang yang dibesarkan pada lingkungan yang mementingkan prestasi individual dapat dilatih untuk menjadi pemain tim. Spesialis pelatihan
menjalankan latihan-latihan yang memungkinkan pegawai mengalami kepuasan yang dapat diberikan oleh kerja tim.
3. Ganjaran
Promosi hendaknya diberikan kepada individu-individu atas betapa efektifnya
mereka sebagai anggota tim yang kolaboratif.
II.2.4. Karakteristik Tim Kerja yang Sukses
Menurut Sopiah (2008), ada berbagai karakter yang melekat pada tim kerja yang sukses, antara lain adalah:
1. Mempunyai komitmen terhadap tujuan bersama
Tim kerja yang efektif mempunyai suatu maksud bersama dan bermakna yang memberikan pengarahan, momentum, dan komitmen untuk para anggotanya. Anggota tim yang sukses meluangkan waktu dan upaya yang sangat banyak
(60)
ke dalam pembahasan, pembentukan dan persetujuan mengenai suatu maksud yang menjadi milik mereka baik secara kolektif maupun individual.
2. Menegakkan tujuan yang spesifik
Tim kerja yang sukses menerjemahkan maksud bersama mereka sebagai tujuan-tujuan kerja yang realistis, yang dapat diukur dan bersifat spesifik.
Tujuan yang spesifik mempermudah anggota tim kerja dalam berkomunikasi. 3. Kepemimpinan dan struktur
Agar tim kerja dapat memiliki kinerja yang tinggi juga memerlukan kepemimpinan dan struktur untuk memberikan fokus dan pengarahan.
Anggota tim kerja harus sependapat mengenai siapa melakukan apa dan memastikan bahwa semua anggota menyumbang secara sama dalam berbagai beban kerja.
4. Menghindari kemalasan sosial dan tanggung jawab
Individu-individu dapat bersembunyi dalam suatu kelompok. Mereka dapat menyibukkan diri dalam “kemalasan sosial” dan bergabung bersama usaha kelompok karena sumbangan individual mereka tidak dapat dikenali. Tim yang berkinerja tinggi mengurangi kecenderungan ini dengan membuat diri mereka dapat dimintai pertanggungjawaban baik secara individual maupun
pada tingkat tim.
5. Evaluasi kinerja dan sistem imbalan yang benar
Evaluasi dan sistem imbalan tradisional yang berorientasi individu harus dimodifikasi untuk mencerminkan kinerja tim. Manajemen hendaknya
(1)
tanpa komunikasi yang baik, tidak mungkin tim kerja dapat berjalan dan melaksanakan fungsinya dengan baik, dan demikian pula sebaliknya.
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka disimpulkan sebagai berikut:
1. Secara serempak komunikasi dan tim kerja berpengaruh sangat signifikan (highly significant) terhadap kinerja personil di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara khususnya dalam penanganan kasus unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli yang terjadi pada tanggal 2 Februari 2009 yang mengakibatkan meninggalnya Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara. Dalam hal ini pembentukan tim kerja mempunyai pengaruh yang lebih dominan terhadap kinerja personil di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara.
2. Komunikasi antar personil di dalam tim kerja juga berpengaruh signifikan terhadap penyelesaian konflik internal yang dapat menghambat upaya pengungkapan kasus di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara khususnya dalam penanganan kasus unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli.
3. komunikasi antar tim kerja juga sangat berpengaruh terhadap kecepatan pengungkapan perkara khususnya dalam penanganan kasus unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli.
(3)
V.2. Saran
Dari kesimpulan di atas, maka disarankan khususnya kepada Direktur Reserse Kriminal sebagai pimpinan di Direktorat Reserse Kriminal untuk:
1. Tetap membudayakan terjalinnya komunikasi baik secara vertikal antara atasan dan bawahan maupun secara horizontal antara sesama personil di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara. Pembentukan tim kerja baik dalam bentuk unit maupun sub unit ataupun satuan tugas khusus (satgas) sangat membatu dan sangat diperlukan baik dalam penanganan kasus rutin maupun kasus-kasus menonjol yang menyita perhatian masyarakat.
2. Menekankan kepada para personil yang ada di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara untuk tetap memelihara komunikasi yang baik khususnya dalam mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan dalam unit-unit kerja sehingga tidak menimbulkan hal yang negatif yang dapat merusak citra Polri di masyarakat.
3. Dalam mengungkap suatu perkara diperlukan pertukaran informasi dan komunikasi tidak hanya dalam satu unit, namun lebih ditekankan untuk saling bekerja sama antar unit yang ada sehingga kasus-kasus yang ada khususnya yang menjadi perhatian masyarakat akan lebih cepat terungkap, yang pada akhirnya Polri tetap dipercaya oleh masyarakat dalam menangani tindak pidana.
Pola penanganan kasus unjuk rasa anarkhis pembentukan Provinsi Tapanuli dapat dijadikan model terhadap penanganan kasus, khususnya yang melibatkan massa
(4)
yang banyak supaya lebih cepat ditangani dan terungkap. Optimalisasi komunikasi unutuk mewujudkan kekompakan dan pembentukan tim kerja yang jelas serta terarah akan meringankan beban penanganan kasus yang terus menjadi perhatian masyarakat sehingga di kemudian hari Polri dapat terus dipercaya oleh masyarakat.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Ardana, Komang, Ni Wayan Mujiati, dan Anak Agung Ayu Sriathi, 2008. Perilaku Keorganisasian, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Penerbit Graha Ilmu, Jakarta.
Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi, Cetakan Ketigabelas, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Dharma, Surya, 2009. Manajemen Kinerja: Falsafah Teori dan Penerapannya, Cetakan Kedua, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ghozali, Imam, 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi Ketiga, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Kreitner, Robert dan Angelo Kinichi, 2005. Perilaku Organisasi, Buku 2, Edisi Kelima, Penerjemah: Erly Suandy, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad, 2003. Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu, 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Cetakan Ketujuh, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia, Cetakan
Ketiga, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Divisi Hukum Mabes Polri.
Rachmawati, Ike Kusdyah, 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Pertama, Penerbit CV. Andi Offset, Yogyakarta.
Rivai, Veithzal, dan Ella Jauvani Sagala, 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia
untuk Perusahaan: Dari Teori Ke Praktik, Edisi Kedua, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Robbins, Stephen P, 2007. Perilaku Organisasi, Edisi Kesepuluh, Cetakan Kedua, Alih Bahasa: Benyamin Molan, Penerbit PT. Indeks, Jakarta.
(6)
Sedarmayanti, 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia: Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendy, 1995. Metode Penelitian Survei, Cetakan Kedua, Penerbit PT. Pustaka LP3ES, Jakarta.
Sofyandi, Herman dan Iwa Garniwa, 2007. Perilaku Organisasional, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Sopiah, 2008. Perilaku Organisasional, Edisi Pertama, Penerbit CV. Andi Offset, Yogyakarta.
Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Bisnis, Cetakan Kesembilan, Penerbit CV. Alfabeta, Bandung.
Suharso, Puguh, 2009. Metode Penelitian Untuk Bisnis: Pendekatan Filosofi dan Praktis, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Indeks, Jakarta.
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah, 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia: Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Tampubolon, Manahan P., 2008. Perilaku Keorganisasian (Organization Behavior), Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Umar, Husein, 2008. Desain Penelitian MSDM dan Perilaku Karyawan:
Paradigma Positivistik dan Berbasis Pemecahan Masalah, Edisi Pertama, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penerbit PT. Visimedia, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada Jakarta. Wahjono, Sentot Imam, 2010. Perilaku Organisasi, Edisi Pertama, Cetakan Pertama,
Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Williams, Pat, 2000. The Magic of Team Work, Alih Bahasa: JJ. Waskito Trisnoadi, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta.