Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perdagangan Orang Menurut Konvensi Hak Anak 1989

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI

KORBAN PERDAGANGAN ORANG MENURUT KONVENSI

HAK ANAK 1989

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

YOPI INDRA LESMANA NIM : 080200208

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI

KORBAN PERDAGANGAN ORANG MENURUT KONVENSI

HAK ANAK 1989

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

YOPI INDRA LESMANA NIM : 080 200 208

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Internasional

Arif, SH. MH. NIP. 196403301993031002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Chairul Bariah, SH. M.Hum. Rosmalinda, SH. LLM.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI

KORBAN PERDAGANGAN ORANG MENURUT KONVENSI

HAK ANAK 1989

ABSTRAK

YOPI INDRA LESMANA

Kemajuan teknologi informasi mempengaruhi kegiatan pasar modal di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pasar Modal adalah tempat perusahaan mencari dana segar untuk meningkatkan kegiatan bisnis sehingga mendapatkan lebih banyak keuntungan. Dana segar yang ada di pasar modal berasal dari masyarakat yang disebut juga sebagai investor. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka dalam hal pemanfaatan teknologi di Bursa Efek Indonesia memanfaatkan teknologi Jakarta Automatic Trading System (JATS). Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para pihak untuk mendapatkan informasi mengenai harga saham yang sedang berlangsung dalam pemanfaatan teknologi ini pula banyak pihak yang memanfaatkan teknologi informasi ini dengan tidak melihat asas-asas yang terkandung dalam pemanfaatan teknologi ini. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal mengharuskan emiten untuk menerapkan prinsip keterbukaan sebagai perlindungan bagi investor. Namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, Perlindungan Hukum Yang Dapat Diberikan Oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Terhadap Investor jika Emiten atau Emiten Melakukan Wanprestasi Dalam Perdagangan Saham Pada Jakarta Automatic Trading System (JATS) serta Upaya Hukum Yang Ditempuh Oleh Investor Sebagai Pihak Yang Dirugikan Dalam Perdagangan Saham di Pasar Modal.

 

Untuk mencapai tujuan diatas, penulis melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif. Data hasil penelitian dianalisis secara kualitatif yuridis, yang mana peraturan perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan dan kepastian hukum.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa investor sebagai pihak yang dirugikan dalam perdagangan saham di pasar modal dapat melakukan tindakan hukum dengan menjerat pelaku secara administratif sebagamana diatur pada Pasal 102 UUPM, secara pidana sebagaimana diatur Pasal 107 UUPM dan secara perdata dengan Pasal 111 UUPM dan Pasal 1243 dan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kata Kunci : Hukum Mengenai Penyelesaian Wanprestasi, Pasar Modal, Sistem JATS.


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah dengan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum,

sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum,

Bapak Syafrudin, SH. M.H dan Bapak Muhammad Husni, SH. M.H, selaku Pembantu Dekan I,II,dan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Windha, SH. M.Hum, selaku Ketua


(5)

4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. M.H, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah memberikan bimbingan, masukan, petunjuk, perhatian dan dorongan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH. CN.

M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, masukan, petunjuk, perhatian dan dorongan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan membagi ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Terima kasih yang sebesar-besarnya dari penulis kepada orang tua tercinta, Ayahanda Arifin Chauvian dan Ibunda R.A. Badrunisah yang telah memberikan sangat banyak dukungan moril, materil, kasih sayang dan doa mereka yang tak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

8. Terima kasih kepada Septhania Rian Adityani,

S.Kom, Andrie Gallant Arifin, S.Kom, selaku kakak dan abang penulis yang telah memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih kepada Sahabat-Sahabat tercinta


(6)

Yudha Nugraha, Zaky Siraj Hasibuan atas kebersamaannya selama ini serta semangat dan dukungan yang telah diberikan.

10. Terima kasih kepada Yopi Indra Lesmana atas

kebaikan dan kesabarannya selama ini serta semangat dan dukungan yang telah diberikan.

11. Terima kasih kepada teman-teman Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk 2008 atas kebersamaannya selama ini.

Dan akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, hanya Allah SWT yang dapat membalas budi baik semuanya.

Semoga ilmu yang penulis peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam menggapai cita-cita.

Medan, Maret 2012 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

F. Metode Penelitian ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TRAFFICKING TERHADAP ANAK A. Pengertian Anak ... 9

B. Sejarah Lahirnya Konvensi Hak Anak ... 16

C. Hak Anak Menurut Konvensi Hak Anak ... 18

D. Pengertian Trafficking ... 20

E. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Trafficking Terhadap Anak ...………23 

F. Norma-norma Hukum Internasional Yang Mengatur Penghapusan Perdagangan Anak ……….…..………..…..30 

  BAB III KERJASAMA INTERNATIONAL DALAM PENCEGAHAN TRAFFICKING TERHADAP ANAK A. Pengertian Perjanjian Internasional ………...…….……..33

B. Perjanjian Bilateral Mengenai Trafficking Terhadap Anak ………...…..………...40

C. Protokol Mengenai Perdagangan Anak ...44

D. Perlindungan Terhadap Korban Trafficking Ditinjau Menurut Konvensi ILO No.182 ...48


(8)

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TRAFFICKING MENURUT KONVENSI HAK ANAK 1989

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Menurut Konvensi Hak Anak ... 63 B. Upaya Penanggulangan Trafficking ...67 C. Kerjasama Antar Penegak Hukum Dalam Penanganan Kasus

Perdagangan Orang ...…………....72

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 74 B. Saran... 75


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.1

Di masa lalu, perdagangan anak dan perempuan hanya dipandang sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Jumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan aspek ini. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perdagangan didefinisikan sebagai pemindahan, khususnya perempuan dan anak dengan atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan di dalam suatu negara atau ke luar negeri untuk semua perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi.

Perdagangan orang merupakan salah satu masalah yang perlu penanganan mendesak seluruh komponen bangsa. Hal tersebut perlu, sebab erat terkait dengan citra bangsa Indonesia di mata internasional. Apalagi, data Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pemasok perdagangan perempuan dan anak..

1

Lihat alinea menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UU-PTPPO).


(10)

Memang disadari bahwa penanganan trafficking tidaklah mudah, karena kasus pengiriman manusia secara ilegal ke luar negeri sudah terjadi sejak bertahun-tahun lamanya tanpa adanya suatu perubahan perbaikan.

Masalah perdagangan anak atau Trafficking di Indonesia akhir-akhir ini bila diamati menunjukkan adanya peningkatan. Berbagai latar belakang dapat dikaitkan dengan meningkatnya masalah perdagangan anak tersebut, misalnya lemahnya penegakan hukumnya, peran pemerintah dalam penanganannya maupun minimnya informasi tentang trafficking, khususnya di pelosok-pelosok pedesaan. Adapun korban yang paling rentan untuk menjadi korban trafficking adalah perempuan dan anak dari keluarga miskin, anak di pedesaan, anak putus sekolah, dan yang mencari pekerjaan.

Menurut Rachmat Syafaat, perdagangan perempuan dan anak adalah bentuk imigrasi dengan tekanan yaitu orang yang direkrut, diperdagangkan dan dipindahkan ke tempat lain secara paksa, ancaman kekerasan atau penipuan.2

PBB dalam Sidang Umum Tahunan 1994 menyetujui adanya suatu resolusi yang menentang adanya perdagangan perempuan dan anak dengan definisi sebagai berikut

“Pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari negara berkembang dan dari negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaiman juga tindakan ilegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan

2

Rachmat Syafaat, Dagang Manusia- Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur, Lapper Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002, Hal 10


(11)

manusia seperti kerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap, dan adopsi palsu demi kepentingan perekrutan, perdagangan dan sindikat kejahatan.3

Perdagangan manusia dengan alasan apapun juga merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak asasi manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa perdagangan anak merupakan suatu jenis perbudakan di era modern. Perdagangan manusia ialah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau polisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan yang berkuasa atau orang lain untuk tujuan eksploitasi.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada tahun 2000 pemerintah Indonesia memutuskan untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. Konvensi ini menyatakan bahwa penjualan dan perdagangan anak sesungguhnya adalah suatu bentuk perbudakan atau praktek serupa perbudakan yang pada hakekatnya sama saja dengan perbudakan itu sendiri. Karena itu penjualan dan perdagangan anak termasuk salah satu bentuk terburuk perburuhan anak.

Konvensi ILO No. 182 ini amat menekankan pentingnya pelanggaran dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk perburuhan anak. Oleh karena itu,

3


(12)

negara yang telah meratifikasi konvensi ini berkewajiban untuk menuangkannya dalam peraturan undang-undangan dan melaksanakannya melalui program-program aksi yang ditujukan untuk memberantas dan mencegah bentuk-bentuk terburuk perburuhan anak.

Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga sudah seharusnya setiap manusia baik dewasa maupun anak-anak wajib dilindungi dari upaya-upaya mempekerjakannya pada pekerjaan-pekerjaan yang merendahkan harkat dan martabat manusia atau pekerjaan yang tidak manusiawi.

Oleh karena itu penulis memilih judul dalam skripsi ini, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perdagangan Orang Menurut Konvensi Hak Anak 1989”

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian-uraian diatas yang telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu maka adapun yang menjadi batasan pada permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap perdagangan anak secara umum maupun khusus

2. Bagaimana kerjasama internasional dalam pencegahan perdagangan orang terhadap anak

3. Bagaimana perlindungan hukum menurut Konvensi Hak Anak bagi anak korban perdagangan orang


(13)

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Masalah

Tujuan khusus penulisan ini adalah untuk memenuhi maka tujuan penulisaan ini adalah untuk ikut berpartisipasi memberikan sedikit kontribusi bagi penegakan nilai-nilai hak asasi manusia dan penegakan norma-norma hukum, serta menegaskan betapa besarnya kesengsaraan dan kerugian yang paling banyak diderita oleh anak-anak korban Trafficking.

Selain itu, tujuan dan manfaat penulisan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap perdagangan anak secara umum maupun khusus.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum menurut Konvensi Hak Anak bagi anak korban perdagangan orang .

3. Untuk mengetahui upaya perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap anak sebagai korban perlindungan orang

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran penulisan ini sendiri dengan pengetahuan penulis, bahwa permasalahan ini adanya ketertarikan penulisan terhadap perlindungan hukum perdagangan orang terutama terhadap anak-anak, yang terjadi marak akhir-akhir ini. Skripsi tentang judul ini belum pernah dibuat oleh mahasiswa Fakultas Hukum USU.

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk menghindarkan keraguan pada bab-bab selanjutnya maka terlebih dahulu akan ditegaskan pengertian judul diatas secara umum.


(14)

Anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun kecuali undang-undang menetapkan bahwa kedewasaan dicapai lebih cepat.4

Perdagangan orang adalah suatu perdagangan gelap oleh beberapa orang di lintas nasional dan perbatasan internasional, sebagaian besar berasal dari negara-negara yang berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur, dan sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan ilegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan gelap dan adopsi.5

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.6

Judul ini pada prinsipnya akan membahas tentang sampai sejauh mana anak tersebut akan mendapatkan perlindungan yang berdasarkan pada Konvensi Hak Anak Tahun 1989.

Berdasarkan definisi tentang perdagangan anak tersebut, maka penulisan tersebut hanya menelaah permasalahan yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban Trafficking. Kemudian judul ini juga akan

4

Joni, Muhammad da Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Perlindungan Anak, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999

5

Resolusi PBB No 49/166 6


(15)

mengetahui sampai sejauh mana perlindungan yang diberikan Konvensi Hak Anak 1989 terhadap anak yang menjadi perdagangan anak.

F. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan metode hukum secara normatif, karena dalam penelitian yang dilakukan penulisan untuk penulisan skripsi ini, penulis mendasarkan pada data sekunder7 yang berasal dari data kepustakaan.

Bahan pustaka bidang hukum yang digunakan penulis, sesuai dengan bahan-bahan dasar suatu penelitian yang terdiri dari :

1. Bahan hukum primer berupa konvensi-konvensi, deklarasi-deklarasi, dan instrumen hukum lainnya

2. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, artikel-artikel ilmiah makalah-makalah seminar dan bahan lain sejenis sepanjang mengenai hal-hal yang dibahas dalam skripsi penulis

3. Bahan hukum tersier/penunjang mencakup bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer.

G. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan penulisan ini terbaagi dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari sub yang akan dikembangkan jika memerlukan yang lebih terperinci

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang judul skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, yang kemudian diakhiri oleh sistematika penulisan.

7

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta , 1994, Hal 29


(16)

BAB II : PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TRAFFICKING TERHADAP ANAK

Pada bab ini akan dibahas pengertian anak, Hak-hak Anak Menurut Konvensi Hak Anak, Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Trafficking terhadap anak serta norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang trafficking terhadap anak

BAB III : KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENCEGAHAN TRAFFICKING TERHADAP ANAK

Pada bab ini akan membahas mengenai Perjanjian Bilateral Tentang Trafficking serta perlindungan perdagangan orang ditinjau menurut ILO No 182 tahun 1987

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TRAFFICKING MENURUT KONVENSI HAK ANAK 1989

Pada bab ini akan dibahas mengenai implementasi Perlindungan Hukum Terhadap anak sebagai korban Trafficking. Implementasi tersebut dikaitkan dengan peranan dan upaya pemerintah dalam menangani korban-korban

Trafficking.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan penulis dari pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saran-saran penulis atas bagaimana sebaiknya langkah-langkah yang diambil di dalam mengatasi permasalahan tersebut.


(17)

BAB II

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TRAFFICKING TERHADAP ANAK

A. Pengertian Anak

Terdapat beraneka ragam pendapat mengenai pengertian anak dan pada umur beberapa seorang anak itu dikategorikan sebagai anak-anak.

Menurut Convention on the right of the child (Konvensi Hak Anak) pada tanggal 20 November Tahun 1989 yang telah diratifikasikan oleh indonesia, disebutkan dalam pasal 1 pengertian anak ialah

“Semua orang yang dibawah 18 tahun kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal”

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 1 menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak Pasal 1 menyatakan anak adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979, LN 1979-32 tentang kesejahteraan anak Pasal 1 menyatakan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.


(18)

Menurut pendapat Irma Soemitro, ditegaskan pengaturan dengan dikeluarkan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seorang anak harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak-hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmani, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial.8

D Indonesia, dapat ditemukan perbedaan pendapat mengenai orang yang dikategorikan sebagai anak seperti :

1. Menurut hukum adat, anak tersebut sering dikatakan minderjarig heid (di bawah umur), yaitu apabila seseorang berada dalam keadaan dikuasai oleh orang lain yaitu jika dikuasai oleh orang tuanya, maka dia dikuasai oleh walinya (voogd)nya.

2. Menurut fiqh Islam, seseorang dikatakan dewasa dengan salah satu tanda sebagai berikut : 9

a. Cukup berumur 15 tahun; b. Keluar mani;

c. Mimpi bersetubuh;

d. Mulai keluar haid bagi perempuan.

Pengertian-pengertian tersebut di atas menekankan bahwa selama seseorang yang masih dikategorikan anak-anak, seharusnya masih dalam tanggung jawab

8

Irma Setyowati Soemitro, Aspeh Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, 1990, hal 16 9


(19)

orang tua wali maupun negara tempat si anak tersebut menjadi warga negara tetap.

Pada pasal 330 Undang-undang Hukum perdata menyatakan bahwa : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin”

Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa, mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima, dan keenam dalam bab ini.

Sedangkan dewasa dan belum dewasa menurut Romli Atmasasmita10 adalah selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, maka orang itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur, anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 tahun untuk wanita dan 20 tahun untuk laki-laki, seperti halnya di Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara barat lainnya.

Anak Menurut Konvensi Hak Anak

Perhatian dunia terhadap nasib anak, sesungguhnya dimulai sejak tahun 1924, ketika nasib anak-anak yang dijadikan budak atau anak-anak dari budak-budak yang mempunyai nasib sangat buruk. Oleh karena itu, pada tahun 1924

10


(20)

Liga Bangsa-Bangsa telah mengesahkan Deklarasi Hak Anak yang diusahakan oleh International Union for the Save Children.

Dalam tahun yang sama lahir Universal Declaration of Human Rights

yang meyakinkan bahwa “Semua orang dilahirkan bebas dan sama dalam keluhuran diri dan hak-hak”, diterima 7 butir pokok Deklarasi tahun 1924, pengakuan bahwa manusia berutang budi pada anak untuk sesuatu yang terbaik yang dapat diberikan kepada mereka, serta menerima hal tersebut merupakan tanggung jawab dalam memenuhi kewajibannya secara terhormat.11

Berkaitan dengan perkembangan perlindungan hak-hak asasi manusia, hak-hak anak menjadi perhatian dan seterusnya diakui bahwa hak anak adalah hak asasi manusia.

Konvensi Hak-Hak anak (Convention on the Rights of the Child)

dideklarasikan dalam Sidang Umum PBB 26 Januari 1990, pemerintah Indonesia telah mengesahkannya dalam Keppes No. 36 Tahun 1990 yang menetapkan bahwa “ Semua anak tanpa pengecualian apapun memiliki hak yang tercantum dalam deklarasi, tanpa perbedaan atau diskriminasi atau dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bangsa, agama, paham politik lainnya, asal kebangsaan atau asal sosial, kekayaan, kelahiran, dan status dari dirinya sendiri atau dari keluarganya”.

Oleh karena itu, Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak, maka Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam Konvensi Hak Anak. Dalam substansi atau materi Konvensi Hak Anak atau

11


(21)

materi Konvensi Hak Anak dideskripsikan secara detail, menyeluruh, dan maju apa saja yang menjadi hak anak.

Konvensi Hak Anak melingkupi segenap hak yang secara tradisional melekat atau dimiliki anak sebagai manusia dan hak-hak anak sebagai hak anak yang memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus. Konvensi Hak Anak terdiri dari 54 pasal yang berdasar materi hukumnya yang mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak.

Materi hukum hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak tersebut dapat di kelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu :

1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival right) yaitu hak-hak anak dalam melestarikan dan mempertahankan hidup (the right of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan yang tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.

2. Hak terhadap perlindungan (protection right) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan keterlantaran bagi anak yang telah mempunyai keluarga dan bagi anak-anak pengungsi.

3. Hak untuk tumbuh kembang (development rights) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan fisik anak.


(22)

4. Hak untuk berpartisipasi (participation right) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan segala pendapat dalam segala hak yang mempengaruhi anak.

Konvensi hak-hak anak ini memiliki cara pandang yang berbeda dibandingkan dengan instrumen-instrumen sebelumnya. Perbedaan itu terutama nampak dari cara melihatnya dan memperlakukan anak, bukan semata-mata sebagai pihak yang ditempatkan secara paradoksal dengan orang dewasa, melainkan ia diperlakukan sebagai satu insan yang penuh dengan segala hak-hak yang secara inheren melekat pada diri anak.

Pasal 2 Undang-Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979, dirumuskan hak-hak anak sebagai berikut :

1. Anak berhak atas kesejahteraan, keperawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik di dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik.

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik secara semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar.


(23)

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979, dikatakan bahwa anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban bagi generasi terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan mengamankan kepentingan ini selayaknya dilakukan oleh pihak-pihak yang mengasuhnya dibawah pengawasan dan bimbingan negara, dan bila perlu oleh negara sendiri. Karena kewajiban inilah, maka yang bertanggung jawab atas asuhan anak wajib pula melindunginya dari gangguan-gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu sendiri, sehingga secara kenegaraan, pemerintah menunjuk orang tua asuh lainnya.

Dalam penjelasan pasal 9 Undang-Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979, disebutkan bahwa tanggung jawab otang tua atas kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara serta mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berkemauan serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa.

Pengertian perempuan menurut Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak adalah orang yang mempunyai alat kelamin perempuan, dapat mengalami menstruasi, hamil, melahirkan anak, menyusui, dan termasuk orang yang telah mendapat status hukum sebagai perempuan.


(24)

B. Sejarah Lahirnya Konvensi Hak Anak

Sejarah perjalanan hak-hak anak mulai dari gagasan sampai pada penerimaannya sebagai konvensi PBB berlangsung panjang. Berbicara mengenai sejarah perjalanan hak-hak anak dimulai dengan usaha perumusan draf hak-hak anak yang dilakukan Mrs. Englantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund.

Seusai melaksanakan programnya merawat para pengungsi anak-anak di Balkan setelah perang dunia pertama, Jebb membuat draf “Piagam Anak”. Pada tahun 1923 beliau menulis “Saya percaya bahwa kita harus menuntut hak-hak tertentu bagi anak-anak dan memperjuangkannya untuk mendapatkan pengakuan universal”.12 Dalam draf yang dikemukakannya Jebb mengembangkan 7 (tujuh) gagasan mengenai hak-hak anak, yaitu:13

1. Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan mengenai ras, kebangsaan, dan kepercayaan.

2. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga.

3. Bagi anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik materil, moral, dan spiritual.

4. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus di didik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus/diberi perumahan.

5. Anaklah yang pertama-tama harus mendapatkan bantuan atau pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan.

12 Lihat UNICEF, Pengembangan Hak Anak dan Pedoman Pelatihan Tentang Konvensi 1996 hal. 24

13 Ibid


(25)

6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi.

7. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian sesama umat.

Pada tanggal 20 November 1989, Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) telah disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered into force)

pada tanggal 2 September 1990. Konvensi Hak Anak ini merupakan instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak. Oleh karena itu, Konvensi Hak Anak ini merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan masing-masing hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Konvensi Hak Anak merupakan hasil dari konsultasi dan pembicaraan negara-negara, lembaga-lembaga PBB, dan lebih dari lima puluh organisasi internasional.

Berdasarkan materi hukum yang tercakup di dalam Konvensi Hak Anak, dapat dikualifikasikan beberapa isi konvensi, yakni:

1. Penegasan hak-hak anak; 2. Perlindungan anak oleh negara

3. Peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak.


(26)

Di dalam pembukaan/preambule atau Konvensi Hak Anak, dikemukakan latar belakang dan landasan strategi-filosofis hak-hak anak yang menegaskan bahwa anak-anak, berhubung kondisi mereka yang rentan membutuhkan pengasuhan dan perlindungan khusus.

C. Hak Anak Menurut Konvensi Hak Anak

Pada tanggal 20 November 1989, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyetujui Konvensi Hak Anak. Konseiderans konvensi itu memuat pokok-pokok pikiran, pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut yang dimiliki seluruh anggota keluarga manusia. Ini menjadi landasan dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di seluruh dunia.14

Secara garis besar, strukur Konvensi Hak Anak dibagi menjadi empat bagian, yaitu :

1. Mukadimah yang berisi berbagai pemikiran dan keprihatinan yang mendasari diadopsinya Konvensi Hak Anak oleh Majelis Umum PBB

2. Pasal-pasal yang mengatur hak-hak anak (pasal 1-41)

3. Pasal-pasal yang mengatur mekanisme pemanatauan dan pelaksanaan konvensi (pasal 42-54)

4. Pasal-pasal yang mengatur soal pemberlakuan konvensi (pasal 46-54)

Adapun hak anak menurut Konvensi Hak Anak jo Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 adalah sebagai berikut :15

14

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 103 15


(27)

1. Hak hidup (survival right) meliputi

a. Anak mempunyai hak untuk hidup (pasal 6)

b. Hak atas tingkat kehidupan yang layak atas kesehatan dan pelayanan kesehatan (pasal 24)

2. Hak mendapatkan perlindungan (protection right) meliputi a. Larangan diskriminasi anak

b. Larangan eksploitasi anak

c. Larangan anak dalam keadaan kritis dan darurat 3. Hak untuk tumbuh kembang (development right)

a. Hak untuk mengambil langkah legislasi dan administrasi (pasal 4) b. Hak hidup (pasal 6)

c. Hak untuk mempertahankan identitas (pasal 8)

d. Hak anak tidak dipisahkan dari orang tuanya (pasal 9) e. Hak menjamin repatriasi keluarga (pasal 10)

f. Hak menyatakan pendapat secara bebas dan untuk didengar (pasal 13) g. Hak untuk kemerdekaan berpikir (pasal 14)

h. Hak atas kebebasan untuk berkumpul (pasal 15) i. Hak untuk memperoleh informasi (pasal 17)

j. Hak anak menikmati norma kesehatan tertinggi (pasal 24)

k. Hak mendapat pendidikan, baik formal maupun non formal (pasal 28 dan pasal 29)

l. Hak bermain dan berekreasi keluar negeri. 4. Hak berpartisipasi (participation right)


(28)

a. Menjamin pandangan anak (pasal 12)

b. Hak anak untuk menyatakan pendapat secara bebas (pasal 13) c. Hak anak untuk berkumpul (pasal 15)

D. Pengertian trafficking

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49/166 mendefinisikan istilah

trafficking :

“Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national and international borders, largely from developing countries and some countries and some countries with economies in transition, with the end goal of forcing women and girl children into sexually or economically oppressive and exploitative situations for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities related to trafficking, such as forced domestic Labour, false marriages, clandestine employment and false adoption.” (Perdagangan adalah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang di lintas nasional dan perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari negara-negara yang berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur, dan sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan ilegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan gelap, dan adopsi).

Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW) mendefinisikan istilah perdagangan (trafficking):

“Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan


(29)

penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali.

Sesuai dengan definisi tersebut di atas bahwa istilah “perdagangan“ atau

trafficking mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Rekrutmen dan /transportasi manusia;

b. Diperuntukkan bekerja atau jasa /melayani;

c. Untuk keuntungan pihak yang memperdagangkan.

Pengertian trafficking dari Protokol PBB pada Desember Tahun 2000, yaitu untuk mencegah, menekan, dan menghukum pelaku terhadap manusia, khususnya perempuan dan anak (Protocol to prevent, suppress, and punish trafficking in persons especially women and children, supplementing the United Nations Convention against transnational organized crime, December 2000). Pemerintah Indonesia telah menandatangani protokol ini. Kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung, atau menerima tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan cara menipu, memperdaya (termasuk membujuk dan mengiming-iming) korban, menyalahgunakan kekuasaan/wewenang atau memanfaatkan ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan, dan tidak adanya perlindungan terhadap korban, atau dengan memberikan atau menerima pembayaran atau


(30)

imbalan untuk mendapatkan izin/persetujuan dari orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai wewenang atas diri korban dengan tujuan untuk mengisap atau memeras tenaga (mengeksploitasi) korban.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan:

a. Pengertian trafficking mencakup kegiatan pengiriman tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya atau (sanak) keluarga. Tetapi pengiriman tenaga kerja yang dimaksud di sini tidak harus atau tidak selalu berarti pengiriman ke luar negeri.

b. Meskipun trafficking dilakukan atas izin tenaga kerja yang bersangkutan, izin tersebut sama sekali tidak menjadi relevan (tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan atau apabila korban berada dalam posisi tidak berdaya (misalnya karena terjerat hutang), terdesak oleh kebutuhan ekonomi (misalnya membiayai orang tua yang sakit), dibuat percaya bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau diperdaya.

c. Tujuan trafficking adalah eksploitasi, terutama eksploitasi tenaga kerja (dengan memeras habis-habisan tenaga yang dipekerjakan) dan ekplotasi seksual (dengan memanfaatkan atau menjual kemudaan, kemolekan tubuh, serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga kerja yang bersangkutan dalam transaksi seks).


(31)

E. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Trafficking terhadap anak

Dalam Kepres RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya perdagangan perempuan dan anak :

1. Kemiskinan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) adanya kecendrungan jumlah penduduk miskin terus meningkat dari 11,3% pada tahun 1996 menjadi 23,4% pada tahun1999, walaupun berangsur-angsur telah turun kembali menjadi 17,6% pada tahun 2002.

2. Ketenagakerjaan, Sejak krisis ekonomi tahun 1998 angka partisipasi anak bekerja cenderung pula terus meningkat dari 1,8 juta pada akhir tahun 1999 menjadi 17,6% pada tahun 2000.

3. Pendidikan, Survey sosial ekonomi Nasional Tahun 2000 melaporkan bahwa 34% penduduk Indonesia berumur 10 tahun keatas belum/tidak tamat SD/tidak pernah bersekolah, 34,2% tamat SD dan hanya 15% yang tamat SMP. Menurut laporan BPS pada tahun 2000 terdapat 14 anak usia 7-12 dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak melanjutkan ke SLTP karena alasan pembiayaan

4. Migrasi, Menurut Konsorsium Peduli Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI) sepanjang tahun 2001 penempatan buruh migran ke luar negeri mencapai sekurang-kurangnya 74.616 orang telah menjadi korban proses trafficking

5. Kondisi Keluarga, karena pendidikan rendah, keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif antara lain merupakan faktor yang melemahkan ketahanan keluarga.


(32)

6. Sosial Budaya, anak seolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sehendak orang tuanya, ketidakadilan jender, atau posisi perempuan yang dianggap lebih rendah masih tumbuh ditengah kehidupan masyarakat desa. 7. Media massa, masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita

dan informasi yang lengkap tentang trafficking, dan belum memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking dan kejahatan susila lainnya.

Banyak faktor yang mendorong orang terlibat dalam perdagangan manusia, yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu supply dan demand.

Dari sisi supply antara lain :

a. Trafficking merupakan bisnis yang menguntungkan. Dari industri seks saja diperkirakan US $ 1,2 – 3,3 milyar pertahun untuk Indonesia. Hal ini menyebabkan kejahatan internasional terorganisir menjadi prostitusi internasional dan jaringan perdagangan manusia sebagai fokus utama kegiatannya.

b. Kemiskinan telah mendorong anak-anak tidak sekolah sehingga kesempatan untuk memiliki ketrampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersial kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian anak dan ibu sebagai tenaga kerja wanita, yang dapat menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga berisiko menjadi korban.


(33)

c. Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan hutang para penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam dunia prostitusi.

d. Konsumerisme merupakan faktor yang menjerat gaya hidup anak remaja, sehingga mendorong mereka memasuki dunia pelacuran secara dini. Akibat konsumerisme, berkembanglah kebutuhan untuk mencari uang banyak dengan cara mudah.

e. Pengaruh sosial budaya seperti pernikahan diusia muda yang rentan perceraian, yang mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersil. Adanya kepercayaan bahwa hubungan seks dengan anak-anak secara homoseksual ataupun heteroseksual akan meningkatkan kekuatan magis seseorang atau membuat awet muda, telah membuat masyarakat melegitimasi kekerasan seksual dan bahkan memperkuatnya.

Dari sisi demand, antara lain :

a. Adanya kegiatan pembangunan yang lebih melibatkan pekerja pendatang tidak tetap yang pada umumnya laki-laki, nampaknya berhubungan dengan tajamnya peningkatan pelacuran.

b. Meningkatkan kemudahan dan frekuensi internasional bersamaan dengan tumbuhnya fenomena migrasi temporer karena alasan pekerjaan, telah meningkatkan peluang perdagangan manusia.

c. Berkembangnya kejahatan usahanya dalam jaringan perdagangan manusia untuk prostitusi dan berbagai bentuk prostitusi lainnya.


(34)

d. Globalisasi keuangan dan perdagangan memunculkan industri multinasional, kerjasama keuangan dan perbankan menyebabkan banyaknya pekerja asing (ekspatriat) dan pebisnis internasional tinggal sementara di Indonesia. Keberadaan mereka meningkatkan demand untuk jasa layanan seks yang memicu peningkatan perdagangan perempuan.

e. Banyak laki-laki China Taiwan yang merindukan perempuan China yang masih “tradisionil”. Melalui layanan “mail order bride” yang sudah lebih dulu marak di Thailand dan Filipina, layanan diperluas ke Indonesia, melibatkan calo-calo sejak dari lapis bawah di Singkawang, tempat transit di Jakarta dan di Taiwan. Satu mempelai bisa membuat para calo mendapat uang sekitar Rp 45 juta. Tetapi tidak semuanya berakhir dengan bahagia, karena ternyata para suami Taiwan itu ada yang hanya petani yang hidup dipelosok Taiwan dan banyak diantaranya suka melakukan tindakan kekerasan, membebani dengan banyak pekerjaan dan memperlakukannya sebagai budak16

f. Kebutuhan para majikan akan pekerja yang murah, penurut mudah diatur, dan mudah ditakut-takuti telah mendorong naiknya demand terhadap pekerja anak (pekerja Jermal di Sumatera Utara, buruh-buruh pabrik/industri di kota-kota besar, diperkebunan, pekerja tambang permata di Kalimantan, perdagangan dan perusahaan penangkap ikan). Seringkali anak-anak bekerja dalam situasi yang rawan kecelakaan dan berbahaya.

16

Arif Gosita, dkk, Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan, Lembaga Advokasi Anak Indonesia, Medan, 200,hal 134.


(35)

g. Perubahan struktur sosial yang diiringi oleh cepatnya industrialisasi / komersil, telah meningkatkan jumlah keluarga menengah dan kebutuhan akan perempuan dan anak untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. h. Dalam kondisi yang tertutup dari luar, anak-anak itu rawan terhadap

penganiayaan baik fisik maupun seksual. Selain dipaksa bekerja berat tanpa istirahat, mereka diperlakukan kasar jika mengeluh.

Trafficking merupakan suatu bagian dari dinamika perpindahan penduduk. Dalam hal ini imigrasi tenaga kerja pada satu titik bisa berlangsung secra sukarela untuk kepentingan jangka pendek dan dilakukan secara paksa. Perpindahan tenaga kerja baik secara sukarela maupun paksa bukanlah fenomena baru. Misalnya pada jaman kolonisasi, penduduk lokal dipindahkan baik melalui perbudakan, perdagangan karena hutang, ataupun perpindahan yang dilakukan oleh negara dalam hal penjahat kriminal atau pengasingan politik.

Namun, ada perbedaan mendasar dengan trafficking yang terjadi pada abad masa kini, yaitu migrasi antar negara. Dalam arus ini, terdapat fenomena lain yang muncul yakni feminisasi migrasi yang didominasi oleh anak gadis dan perempuan. Pekerjaan yang dilakoni oleh gadis-gadis atau perempuan korban penyeludupan manusia bercirikan 3D yaitu Dirty, No Dignity, dan Dangerous atau kotor, tidak memiliki martabat, dan berbahaya.

Salah satu faktor terjadinya trafficking adalah ambruknya sistem ekonomi lokal, sehingga banyak anak-anak, gadis dan perempuan yang diekspos ke tempat-tempat kerja global untuk mencari pendapatan. Situasi ini semakin merajarela di negara-negara yang mengalami krisis ekonomi parah serta negara-negara yang


(36)

mengalami perpecahan. Di samping itu, pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan pekerjaan pilihan mereka untuk tetap tinggal di kampung halamannya. Dengan kata lain, pekerjaan ada yang tidak memberi harapan akan kehidupan yang lebih baik lagi bagi para ana gadis tersebut. Bagi para calon migran sendiri, mereka tidak mengetahui apakah calon tenaga kerja atau para rekruter itu resmi atau gelap.

Menurut Mabes Polri, Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur (Surabaya) sebagai daerah pengirim anak-anak untuk tujuan pelacuran ke berbagai lokasi pelacuran. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya ialah karena letak Provinsi Sumatera Utara yang berkaitan dengan Malaysia, Singapore, dan pusat bisnis wilayah barat, yaitu Batam. Posisi strategis demikian akhirnya memempatkan Sumatera Utara sebagai daerah pengirim, daerah transit, dan sekaligus daerah penerima. Sebagai daerah transit sebelum anak-anak diperdagangkan dari Jawa ke Batam, Tanjung Balai Karimun, atau Dumai, pada umumnya korban transit terlebih dahulu di Medan karena tidak ada bus yang bisa langsung menuju Batam, kecuali para sindikat yang menggunakan jasa pengangkutan laut. Anak-anak yang akan menjadi korban biasanya tinggal selama 1 sampai 4 hari sampai ada kapal yang akan diberangkatkan dari Medan ke Batam.

Dilihat dari jalur pengirimannya menuju ke lokasi prostitusi, Provinsi Sumatera Utara memiliki dua jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat adalah yang menggunakan terminal terpadu Amplas sebagai titik tolak menuju seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera. Jalur laut adalah melalui Pelabuhan


(37)

Belawan, Sibolga, dan Tanjung Balai. Menurut observasi, ditemukan dua lokasi utama yang teridentifikasi sebagai daerah penampungan serta tujuan anak untuk pelacuran, yaitu :

1. Untuk daerah Sumatera Utara meliputi Bandar Baru, Warung Bebek (Deli Serdang), Bukit Maraja (P. Siantar), serta diskotik, karaoke, dan hotel-hotel melati dan berbintang di Medan dan sekitarnya.

2. Daerah tujuan utama di luar daerah Sumatera Utara meliputi Tanjung Balai Karimun, Dumai, Duri, dan Batam (Kepulauan Riau).

Selain faktor geografis, tumbuh suburnya bisnis perdagangan anak untuk pelacuran di Sumatera Utara disebabkan oleh jaringan perdagangan anak yang terorganisasi dengan rapi. Jaringan perdagangan ini di-backing oleh aparat keamanan/kepolisian. Direktur Handal Mahardika memberikan dua alasan yang menyebabkan jaringan perdagangan anak menjadi kuat, yaitu :

1. Sindikat perdagangan anak sering berjalan mulus dan tidak ada hambatan dari aparat.

2. Tempat-tempat lokalisasi di Medan dan mungkin juga di tempat lain seperti memperoleh jaminan keamanan.

Hal inilah biasanya membuat perdagangan anak lebih aman untuk melakukan aksinya. Bertransaksi dalam perdagangan anak di tempat-tempat hiburan tidak sulit karena adanya perlindungan dari aparat keamanan.

Di lain pihak, anak-anak lebih mudah dibujuk atau diiming-imingi kesenangan dan pekerjaan sehingga mudah dijual ke lokasi-lokasi yang memerlukannya. Para pembujuk ini dalam istilah sindikat disebut kolektor dan


(38)

mereka beroperasi dipusat-pusat keramaian seperti mal, plaza, bahkan hingga ke desa-desa. Para kolektor biasanya sudah terlatih mengenai calon korban yang gampang tergiur dengan tawaran sejumlah uang atau pekerjaan. Di jaringan sindikat, status kolektor dipekerjakan oleh bos sindikat.

Kian maraknya kasus perdagangan anak untuk pelacuran juga seiring dengan adanya peningkatan permintaan pasar/konsumen, terutama bagi mereka yang berusia 14 sampai 17 tahun. Menurut pandangan konsumen, anak-anak di usia tersebut masih bebas dari berbagai virus dan penyakit, sedangkan untuk pekerjaan rumah tangga, anak dinilai tidak mempersulit majikan karena lebih mudah diatur dan bisa dibayar murah.

F. Norma-norma hukum internasional yang mengatur penghapusan

perdagangan anak

1. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia PBB 1948

Deklarasi ini memuat hak-hak setiap manusia. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tidak secara tegas berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya anak, tetapi Deklarasi ini sebagai suatu deklarasi yang menegaskan setiap individu mempunyai hak bebas, yang secara mendasar terbebas dari trafficking. Konvensi Hak Anak 1989. Konvensi ini secara tegas mengatur hak anak yang berbeda dengan orang dewasa.

Pada pasal 34 dan 35 Konvensi ini berkaitan langsung dengan penentangan terhadap eksploitasi seksual, perlakuan salah secara seksual, dan perdagangan anak.Opsional Protokol Konvensi Hak Anak terhadap Penjualan Anak, Prostitusi


(39)

Anak, dan Pornografi Anak. Opsional Protokol ini telah diadopsi tahun 2000, Indonesia belum meratifikasinya. Akan tetapi Protokol ini tidak berkait langsung dengan penghapusan perdagangan anak, tetapi lebih penentangan terhadap prostitusi dan pornografi anak.

2. Konvensi ILO 182 Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terpuruk Anak

Di bawah Konvensi ILO 182, penggunaan anak dalam prostitusi dan pornografi dianggap sebagai bentuk pekerjaan terpuruk anak. Konvensi ini sangat berkait erat dengan pekerja anak, sedangkan perdagangan anak tidak termasuk. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan UU No. 1 tahun 2000. Protokol untuk Mencegah Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia Terutama Anak yang Melengkapi Konvensi PBB untuk Melawan Kejahatan Terorganisir antar Negara .

Protokol ini secara tegas menegaskan definisi perdagangan manusia: “Perdagangan manusia berarti pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Pada Protokol ini secara tegas menyebutkan anak “berarti setiap orang yang usianya di bawah delapan belas tahun.”


(40)

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-undang ini mengatur secara tegas tentang perdagangan anak. Pada Pasal 59 menegaskan “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak ... anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,.”

Pasal 68 (1) Perlindungan khusus bagi anak ... perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Serta Pasal 78 setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak ... anak korban perdagangan... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


(41)

BAB III

PERJANJIAN KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENCEGAHAN TRAFFICKING TERHADAP ANAK

A. Pengertian Perjanjian Internasional

Sebagai salah satu sumber hukum internasional, perjanjian internasional telah dan nampaknya akan selalu menjadi hal yang menarik untuk ditelaah, baik di kalangan pemerhati hukum internasional maupun masyarakat pada umumnya. Dinamika perkembangan dunia yang sangat cepat berubah, telah menimbulkan dampak yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan internasional untuk terus beradaptasi guna mengimbangi perkembangan yang terjadi. Perjanjian internasional sebagai salah satu unsur pendukung di dalam konteks hubungan interaksi antar negara juga mengalami perubahan seiring dengan semakin kompleksnya isu-isu yang timbul akibat dari perkembangan yang ada.

Secara umum, hukum internasional yang mengatur perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi Wina tentang hukum perjanjian internasional (Vienna Convention on Law of the Treaties) yang telah disepakati pada tahun 1969. Secara substansial perjanjian internasional di dalam konvensi Wina, mengatur antara lain tentang pembuatan, validitas, pengaruh, interpretasi, modifikasi, penundaan, dan terminisasi dari sebuah perjanjian internasional.

Pada dasarnya, sebuah perjanjian internasional adalah sebuah perjanjian tertulis yang dibuat oleh dua atau lebih negara yang berdaulat atau organisasi


(42)

internasional. Seperti layaknya sebuah perjanjian, perjanjian internasional dapat diakhiri dengan berbagai cara, antara lain mulai dari kesepakatan yang diatur di dalam perjanjian internasional, redupikasi kewajiban oleh satu pihak di dalam perjanjian internasional, dan hilangnya objek dari perjanjian internasional atas dari prinsip hukum rebus sic stantibus.17

Berdasarkan ketiga cara umum pengakhiran suatu perjanjian internasional diatas, cara pemberlakuan prinsip hukum rebus sic stantibus nampaknya tetap menjadi bahan telaah dan sering digunakan oleh negara-negara di dunia untuk mengakhiri sebuah perjanjian internasional. Bentuk yang cukup terkenal yang dianggap oleh beberapa ahli hukum dan praktek internasional sebagai salah satu bentuk rebus sic stantibus adalah konflik senjata.

Berdasarkan beberapa contoh praktek negara-negara di dunia dan beberapa konflik senjata yang terjadi, dapat diambil beberapa kesimpulan yang patut dicermati, yaitu antara lain bahwa untuk beberapa kasus, sebuah perjanjian internasional tetap berlaku walaupun terjadi konflik senjata, bahwa sebuah perjanjian internasional tidak serta merta berhenti berlaku walaupun terjadi konflik senjata, melainkan mengalami penundaan pelaksanaan, dan bahwa untuk kasus-kasus tertentu sebuah perjanjian internasional tidak berlaku lagi atau yang disebabkan konflik senjata baik antara para pihak dari perjanjian internasional tersebut maupun pihak ketiga.

Masyarakat internasional mengalami berbagai perubahan yang besar di dalam perbaikan peta politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses

17 “Perjainjain Internasional dan Konflik Bersenjata”. Sebagaimana dimuat dalam http;//www.hukumonline.com., Rebus sic stantibus adalah asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar/fundamentali dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu.


(43)

ini sudah dimulai pada permulaan abad XX yang mengubah pola kekuasaan politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat, dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia II. Perubahan kedua ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara.

Dalam suatu hubungan internasional selalu diikuti dengan munculnya perjanjian internasional. Perjanjian internasional tersebut menjadi dasar untuk melakukan pengaturan berbagai kegiatan dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul akibat dari perjanjian tersebut, sehingga perjanjian internasional merupakan salah satu sumber dari hukum internasional.

Sampai pada tahun 1969, pembuatan perjianjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh komisi hukum internasional, diselenggarakanlah suatu konfrensi internasional di Wina mulai 26 Maret sampai 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani pada 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah menjadi hukum positif internasional.18

Pengertian perjanjian internasional adalah perjanjian internasional antara Negara-Negara sesuai pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 adalah :

18

Boer Maulana, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Alumni, Bandung, 2005, hal 83.


(44)

“Treaty means an international agreement conclude between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”.

(Perjanjian adalah suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur dalam hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya).19

Perjanjian Internasional menurut Michael Virally adalah sebagai berikut : “A treaty is international agreement which is entered into by two or more states or other international persons and is governed by international law”

(Sebuah perjanjian adalah persetujuan internasional dimana didalamnya terdapat dua atau lebih negara atau subjek hukum internasional lainnya dan hal ini berdasarkan hukum internasional).20

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.21

Pengertian tersebut di satu sisi menyatakan perjanjian internasional bisa dilakukan oleh setiap subjek hukum internasional, tapi di sisi lain definisi tersebut mempersempitnya, bahwa perjanjian tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah (negara) Indonesia dengan semua objek hukum internasional lainnya. Artinya,

19

Wasito, Konvensi-konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan Konsuler dan Hukum Perjanjian/Traktat, Andi Offset, Yogyakarta, 1984

20

F.A Whisnu Situni, Identifikasi dan Reformasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal 31

21

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2003, hal 117


(45)

perjanjian tersebut tidak bisa dilakukan oleh subjek non-negara dengan subjek negara, hanya bisa dilakukan oleh negara dengan negara dan subjek non-negara.

Definisi tersebut juga menyebutkan bahwa perjanjian internasional hanya mengikat salah satu para pihak saja dalam bentuk hukum publik bagi masyarakatnya, padahal setiap perjanjian internasional bersifat law making and treaty contract (mengikat publik para pihak perjanjian).

Bentuk dan Macam Perjanjian Internasional

Praktek pembuatan perjanjian antar negara-negara selama ini telah mealhirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian internasional yang kadang kala berbeda pemakaiannya menurut negara, wilayah, maupun jenis perangkat internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat internasional tersebut umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung didalamnya. Beberapa terminologi tersebut antara lain :

1. Treaties atau traktat menurut pengertian umumyaitu mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional, sedangkan dalam arti khusus merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urutan perjanjian.

2. Convention atau konvensi dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak yang biasanya bersifat law making yang artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional.22

22

Boer Maulana, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Alumni, Bandung, 2005, hal 91


(46)

3. Agreement atau persetujuan yang memiliki pengertian secara umum dan pengertian secara khusus. Dalam pengertian umum, Agreement ialah mencakup seluruh jenis perangkat internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari traktat dan konvensi. Pengertian secara khusus yaitu persetujuan umum mengatur materi yang memiliki cakupan lebih kecil dibanding materi yang diatur traktat.23

4. Charter atau piagam umumnya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi internasional.

5. Protocol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit dibanding traktat maupun konvensi.

6. Declaration merupakan perjanjian dan berisikan ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-pihak pada perjanjian tersebut berjanji untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang.

7. Final Act ialah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konfensi dan juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh konfrensi tersebut dengan kadang-kadang disertai anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu. Penandatanganan

final act hanya berakhir pada suatu tahap proses pembuatan perjanjian.24

8. Agreed Minutes and Summary Record adalah catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian, yang dipergunakan sebagai rujukan dalam perundingan selanjutnya.

23

Ibid, hal 92 24


(47)

9. Memorandum of Understanding (MoU) adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, memorandum ini dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk.25

10.Arrangement adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian induk.

11.Exchange of Notes merupakan perjanjian internasional bersifat umum yang memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilaksanakan dengan pertukaran dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen.

12.Process-Verbal digunakan untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hak-hal yang bersifat teknik administratif atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan.26

13.Modus Vivendi merupakan suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Biasanya perjanjian ini bersifat tidak resmi dan tidak memerlukan pengesahan.

Secara garis besar, perjanjian internasional terdiri atas dua bentuk, yaitu : 1. Perjanjian Internasional yang tidak tertulis (unwritten/oral agreement) yang

pada umumnya ialah pernyataan bersama atau secara timbal balik diucapkan oleh kepala negara, kepala pemerintahan ataupun menteri luar negeri atas

25

Ibid, hal 95 26


(48)

negaranya masing-masing mengenai suatu masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak.

2. Perjanjian Internasional tertulis (written agreement) lebih banyak dilaksanakan dalam suatu hubungan internasional. Hal ini disebabkan karena perjanjian internasional mempunyai keunggulan seperti ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak. Berikut berbagai macam perjanjian internasional tertulis, antara lain :

a. Perjanjian Internasional yang berbentuk perjanjian antar Negara

b. Perjanjian Internasional yang berbentuk perjanjian antar kepala Negara c. Perjanjian Internasional yang berbentuk perjanjian antar pemerintah

d. Perjanjian Internasional dalam bentuk kepala Negara dan kepala pemerintahan.

B. Perjanjian Bilateral Mengenai Trafficking Terhadap Anak

Menurut Siswanto Sunarso, Mutual Legal Assitance yakni suatu perjanjian yang bertumpu pada permintaan bantuan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan lain-lain, dari Negara diminta dengan Negara Peminta.27

Mutual Legal Assitance (MLA) atau perjanjian saling bantuan hukum adalah perjanjian antara dua Negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar infromasi dalam upaya menegakkan hukum pidana.28

27 Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, Rineka Cipta, Jakarta. 2009, hal 133

28


(49)

Bantuan ini dapat berlangsung berupa memeriksa dan mengidentifikasi orang, tempat dan sesuatu, transfer kustodi, dan memberikan bantuan dengan

immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal. Bantuan mungkin ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan perjanjian rincian) untuk politik atau alasan keamanan,atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak dihukum sama di kedua negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan dengan bantuan hukum bagi warga negara di negara-negara lain.

Objek Mutual Legal Assitance antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara permintaan bantuan

Mutual Legal Assitance.29

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2006 Tentang Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, yang dimaksud bantuan timbal balik dalam masalah pidana adalah permintaan bantuan kepada negara asing berkenaan dengan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.30

Fase “timbal balik” mengindikasikan bahwa bantuan hukum tersebut diberikan dengan harapan bahwa akan ada timbal balik bantuan dalam suatu kondisi tertentu, meskipun tidak selalu timbal balik tersebut menjadi prasyarat untuk pemberian bantuan.31

29 Ibid

30

http://www.legalitas.org 31


(50)

Sedangkan bentuk-bentuk dari bantuan dapat berupa : 1. Mengidentifikasi dan mencari orang;

2. Mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; 3. Menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;

4. Mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan;

5. Menyampaikan surat;

6. Melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; 7. Perampasan hasil tindak pidana;

8. Memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana;

9. Melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana;

10.Mencari kekayaan yang dapat dilepaskan atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana dan/atau;

11.Bantuan lain sesuai dengan undang-undang ini

Untuk mengambil bukti-bukti berupa aset yang berada di negara asing maka diperlukan kerjasama, tidak hanya dengan negara asing melalui bantuan hukum timbal balik, melainkan juga di dalam negara sendiri instansi terkait harus berkoordinasi dan bekerjasama. Menurut UU ini, kerjasama dan koordinasi di


(51)

dalam negeri dilakukan oleh sebuah Central Authority sebagai wadah untuk meminta bantuan kepada negara asing atau sebaliknya.

Tugas Central Authority untuk mendapatkan alat bukti dari negara asing maka diperlukan kerjasama di dalam negeri yang meliputi Departemen Luar Negeri (Diplomatic Channel), Kepolisian Negara Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untu mengetahui aset-aset yang dapat disita oleh instansi-instansi yang berwenang di negara asing.

Ketika suatu negara melayangkan permintaan ke negara lain dalam rangka pembekuan aset atau mendapatkan bukti untuk penuntutan atau perintah pembekuan dan penyitaan, maka surat formal permintaan bantuan hukum harus terlebih dahulu disiapkan yang berisi daftar pertanyaan atau tindakan yang akan dilakukan, dan lalu dikirimkan ke institusi berwenang ke negara tempat dimana permintaan diajukan.32

Supaya bantuan hukum timbal balik tersebut dapat berjalan efektif dalam hal pembekuan, penyitaan, atau pengembalian aset, maka seyogyanya hal tersebut didasarkan Konvensi atau perjanjian internasional yang memungkinkan terjadinya bantuan hukum timbal balik. Untuk maksud ini, dorongan pada negara agar mengikatkan diri pada suatu perjanjian dan/atau melakukan perjanjian regional atau bilateral.33

32

Ibid 33


(52)

C. Protokol Mengenai Perdagangan Anak

Pada tanggal 15 November 2000 melalui Resolusi MU PBB No. 55/25 dikeluarkan Konvensi tentang Kejahatan Terorganisir (The United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (2000) beserta Protocol Agains the Smuggling of Migrants by Land and Sea dan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children. Konvensi beserta protokol ini mengatur tentang pembentukan struktur internasional guna memberantas kejahatan lintas batas di sektor produksi dan pergerakan obat-obat terlarang, perdagangan orang dan pengiriman imigran secara tidak sah.

Rumusan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak (Trafficking) terdapat dalam Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Woman and Children (2000). Protokol ini dimaksudkan untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan orang. Di dalam Protokol disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan

Trafficking adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut untuk tujuan eksploitasi.

Konferensi Para Pihak pada Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir:


(53)

1. Kelompok kerja yang dibentuk oleh Konferensi Para Pihak 2. Teks dari Konvensi dan Protokolnya

3. Status ratifikasi

4. Legislatif panduan dan Glosari istilah 5. Hukum alat

Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir, yang diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum 55/25 15 November 2000, merupakan instrumen internasional utama dalam memerangi kejahatan terorganisir transnasional. Ini terbuka untuk ditandatangani oleh Negara Anggota di Konferensi tingkat tinggi politik diselenggarakan untuk tujuan di Palermo, Italia, pada 12-15 Desember 2000 dan mulai berlaku pada tanggal 29 September 2003. Konvensi ini lebih dilengkapi oleh tiga Protokol, yang menargetkan wilayah tertentu dan manifestasi kejahatan terorganisir: Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, Terutama Perempuan dan Anak; Protokol terhadap Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara; dan Protokol terhadap Manufaktur terlarang dan Perdagangan Senjata Api, Suku Cadang dan Komponen dan Amunisi. Negara harus menjadi pihak dalam Konvensi itu sendiri sebelum mereka dapat menjadi pihak dalam salah satu Protokol.

Konvensi ini merupakan langkah maju yang besar dalam memerangi kejahatan terorganisir transnasional dan menandakan pengakuan oleh Negara Anggota keseriusan masalah yang ditimbulkan olehnya, serta kebutuhan untuk mendorong dan meningkatkan kerjasama internasional dekat untuk mengatasi


(54)

masalah tersebut. Negara yang meratifikasi instrumen ini berkomitmen untuk mengambil serangkaian tindakan terhadap kejahatan terorganisir transnasional, termasuk penciptaan tindak pidana domestik (partisipasi dalam suatu kelompok penjahat terorganisasi, pencucian uang, korupsi dan obstruksi keadilan); penerapan kerangka kerja baru dan menyapu ekstradisi, bantuan hukum timbal balik dan kerja sama penegakan hukum; dan promosi pelatihan dan bantuan teknis untuk membangun atau meningkatkan kapasitas yang diperlukan dari otoritas nasional.

Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak, diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum 55/25. Ini mulai berlaku pada tanggal 25 Desember 2003. Ini adalah instrumen yang mengikat secara hukum global pertama dengan definisi yang disepakati pada perdagangan manusia. Tujuan di balik definisi ini adalah untuk memfasilitasi konvergensi dalam pendekatan nasional yang berhubungan dengan pembentukan tindak pidana dalam negeri yang akan mendukung kerja sama internasional efisien dalam penyidikan dan penuntutan kasus-kasus perdagangan orang. Salah satu tujuan tambahan dari Protokol adalah untuk melindungi dan membantu korban perdagangan orang dengan menghormati sepenuhnya hak asasi manusia mereka.

Protokol terhadap Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara, yang diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum 55/25, mulai berlaku pada tanggal 28 Januari 2004. Ini berkaitan dengan masalah yang timbul pada kelompok kriminal terorganisir yang menyelundupkan migran, sering beresiko tinggi untuk para migran dan pada keuntungan besar bagi para pelanggarnya. Sebuah prestasi besar


(55)

dari Protokol adalah bahwa, untuk pertama kalinya dalam instrumen internasional global, definisi penyelundupan migran dikembangkan dan disepakati. Protokol ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas penyelundupan migran, serta mempromosikan kerjasama antar Negara, sekaligus melindungi hak-hak migran yang diselundupkan dan mencegah bentuk-bentuk terburuk dari eksploitasi yang sering mencirikan proses penyelundupan.

Protokol terhadap Manufaktur terlarang dan Perdagangan Senjata Api, Suku Cadang dan Komponen dan Amunisi diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum 55/255 tanggal 31 Mei 2001. Ini mulai berlaku pada tanggal 3 Juli 2005. Tujuan dari Protokol, yang merupakan instrumen yang mengikat secara hukum pertama di lengan kecil yang telah diadopsi di tingkat global, adalah untuk mempromosikan, memfasilitasi dan memperkuat kerjasama antar Negara Pihak untuk mencegah, memberantas dan membasmi manufaktur ilegal dan perdagangan dalam senjata api, suku cadang dan komponen mereka dan amunisi. Dengan meratifikasi Protokol, Amerika membuat komitmen untuk mengadopsi serangkaian kejahatan langkah-langkah pengendalian dan menerapkan dalam set domestik mereka tatanan hukum tiga ketentuan normatif: yang pertama berkaitan dengan pembentukan tindak pidana yang berhubungan dengan manufaktur ilegal, dan perdagangan , senjata api berdasarkan persyaratan Protokol dan definisi, yang kedua untuk sistem otorisasi pemerintah atau lisensi berniat untuk memastikan manufaktur sah, dan perdagangan, senjata api, dan yang ketiga untuk menandai dan melacak senjata api.


(56)

D. Perlindungan Terhadap Korban Trafficking Ditinjau Menurut Konvensi ILO No.182

Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization), disingkat ILO adalah sebuah wadah yang menampung isu buruh internasional di bawah PBB. ILO didirikan pada 1919 sebagai bagian Persetujuan Versailles setelah Perang Dunia I. Organisasi ini menjadi bagian PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), setelah pembubaran LBB (Liga Bangsa Bangsa) dan pembentukan PBB pada akhir Perang Dunia II.Dengan Deklarasi Philadelphia 1944 organisasi ini menetapkan tujuannya. Sekretariat organisasi ini dikenal sebagai Kantor Buruh Internasional dan ketuanya sekarang adalah Juan Somavia.

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) adalah salah satu lembaga PBB yang mempunyai bidang pekerjaan spesifik. Lembaga ini untuk bekerja dalam isu-isu perburuhan, dengan memperhatikan HAM, keadilan sosial dan kesetaraan gender. ILO bertanggung jawab untuk merumuskan standar dan pedoman perburuhan internasional guna mengatasi kekerasan di bidang perburuhan dan perlakuan kejam terhadap tenaga kerja. Standar ini mempunyai dua bentuk konvensi dan rekomendasi. Konvensi ILO adalah traktat internasional, yang harus diratifikasi oleh negara-negara anggota ILO.

Rekomendasinya merupakan instrumen yang tidak mengikat yang menetapkan pedoman untuk kebijakan dan aksi nasional. Kedua bentuk itu ditujukan untuk mengubah kondisi dan praktik kerja. Negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ILO diwajibkan untuk mengajukan laporan berkala kepada ILO tentang penerapan konvensi ILO dalam hukum dan praktik.


(57)

Laporan ini dilengkapi dengan informasi dari organisasi perusahaan dan buruh untuk memastikan bahwa laporan itu mencerminkan situasi nasional dengan tepat. ILO memberikan bantuan dan dukungan teknis bagi negara yang membutuhkan dan meminta bantuan untuk memperbaiki penerapan standar ILO di negara itu.

Berdasarkan Konstitusi ILO, diketahui bahwa ILO merupakan suatu organisasi internasional yang bersifat permanen yang didirikan atas persetujuan antar pemerintah, dengan tujuan yang luas yakni untuk menciptakan perdamaian dunia yang bersifat universal dan abadi melalui penciptaan keadilan sosial di sektor kehidupan perburuhan yang sering kali dikaitkan dengan ketidakadilan, kesukaran hidup, dan lain sebagainya yang dapat mengancam perdamaian dan ketentraman dunia

ILO mempunyai dua Konvensi yang memberi batasan dan melarang kerja paksa, yaitu :

1. Konvensi ILO nomor 29 tahun 1930, membahas tentang kerja paksa, larangan kerja paksa, dan penghapusan kerja paksa, adapun tujuan Konvensi adalah untuk mengakhiri semua kerja paksa atau wajib kerja, ILO didirikan sebagai lembaga otonom yang berasosiasi dengan Perserikatan Bangsa - Bangsa. ( PBB ) pada tanggal 14 Desember 1946.34 Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930 tidak ditujukan khusus untuk pekerja anak, namun karena Konvensi ini melarang secara tegas segala bentuk kerja paksa, maka konvensi ini dapat digunakan sebagai salah satu instrumen standar perburuhan bagi masalah

34


(58)

eksploitasi anak yang diakibatkan oleh perbudakan (slavery) kontemporer lainnya, misalnya saja dalam masalah pelacuran anak-anak. Kerja paksa atau wajib secara luas didefinisikan sebagai: “Semua kerja atau jasa yang dituntut dari seseorang di bawah hukuman dan bahwa si pekerja tidak menawarkan jasanya secara sukarela35.” Negara-negara peratifikasi harus menghukum orang-orang yang menggunakan secara ilegal kerja paksa atau kerja yang diwajibkan dan harus memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan setimpal dan benar-benar dilaksanakan.36

2. Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957 mengenai Penghapusan Kerja Paksa memperkuat Konvensi sebelumnya mengenai kerja paksa. Sementara Konvensi No. 29 Tahun 1930 mengusahakan secara umum kerja paksa dengan pengecualian beberapa macam kerja wajib, Konvensi No. 105 Tahun 1957 menentukan penghapusan kerja paksa untuk lima situasi khusus yang berhubungan dengan penindasan politis, yaitu kerja paksa atau wajib kerja yang digunakan37 yaitu :

a. Sebagai cara untuk menjalankan penindasan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman bagi pandangan ideologis yang bertentangan dengan sistem dan ideologi politik yang mapan;

b. Sebagai metode untuk mengerahkan tenaga kerja untuk maksud-maksud pengembangan ekonomi;

c. Sebagai cara untuk mendisiplinkan tenaga kerja;

d. Sebagai hukuman atas keikutsertaan dalam pemogokan;

35 Lihat pasal 2.1 Konvensi Kerja Paksa ILO Nomor 105 Tahun 1957.. 36 Lihat pasal 25 Konvensi Kerja Paksa ILO Nomor 105 Tahun 1957.


(1)

5. Pada tahap penuntutan, kebutuhan untuk membangun jejaring dengan stakeholder yang bisa memberikan bantuan sosial maupun hukum bagi korban.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Masalah perlindungan anak (Trafficking) yang terjadi dengan alasan dan tujuan apapun, tetap merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Negara Indonesia sebagai anggota PBB mengembang tanggung jawab moral dan hukum untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat yang dimiliki oleh seorang manusia.

Untuk itu, berikut ini merupakan kesimpulan atas penulisan skripsi saya ini, yaitu :

1. Permasalahan Trafficking belum dapat tersosialisasi secara menyeluruh, khusunya ke pelosok-pelosok pedesaan yang rentan sekali menjadi korban dari perdagangan anak, dimana salah satu alasan yang sangat kuat menyebabkan terjadinya perdagangan anak adalah karena faktor ekonomi (kemiskinan). Pada umumnya hal tersebut tidak disadari oleh mereka mengenai dampak atas terjadinya perdagangan orang, khususnya terhadap seorang anak, dimana keadaan tersebut dapat menyebabkan seseorang anak trauma dan akan membekas pada diri seorang anak. Padahal seorang anak seharusnya untuk tumbuh dan berkemanganya tidak boleh ada tekanan maupun paksaan.

2. Rumusan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak (Trafficking) terdapat dalam Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Woman and Children (2000). Protokol ini


(3)

dimaksudkan untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan orang. Di dalam Protokol disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan Trafficking adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut untuk tujuan eksploitasi.

3. Secara umum penegakan hukum terhadap perdagangan manusia dapat dilakukan dengan cara :

a) Pencegahan (prevention) yaitu dengan cara mengambil langkah-langkah seperti pendidikan masyarakat dalam rangka mencegah perdagangan, misalnya meningkatkan pengetahuan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, dan sebagainya.

b)Perlindungan (protection) yaitu dimana pemerintah melindungi dan memberikan bantuan kepada korban perdagangan dan memastikan korban tidak dipidana secara tidak semestinya, misalnya membuat panti rehabilitasi terhadap korban perdagangan anak.

c)Penindakan hukum (prosecution) yakni dimana pemerintah dengan sungguh-sungguh menyelidiki dan menindak kegiata-kegiatan perdagangan anak di wilayahnya, mengekstradisi tertuduh pelaku


(4)

perdagangan anak, misalnya menghukum dengan tegas pelaku perdagangan anak.

B. Saran

1. Dalam menghadapi kasus perdagangan anak yang dirasakan semakin lama, semakin kompleks (melibatkan setiap negara, setiap aparatur pemerintahan dalam satu negara dan peran aktif masyarakat) meskipun telah ada peraturan yang mengkriminalisasinya. Masyarakat sangat diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan anak, misalnya dengan memberikan informasi secepatnya terhadap setiap peristiwa anak, misalnya dengan memberikan informasi secepatnya terhadap setiap peristiwa perdagangan anak di lingkungannya kepada aparat negara.

2. Peraturan yang diatur dan dibuat baik di Indonesia maupun secara internasional merupakan untuk masa depan. Oleh karena itu, sebaiknya tidak terpaku pada peraturan serta kebijaksanaan atau kebiasaan yang kini berlaku di Indonesia saja, yang sudah tidak sesuai dengan kepentingan anak. Sudah saatnya mulai dilakukan harmonisasi berbagai peraturan, yang kini berlaku, yang menyangkut anak. Dalam merumuskan peraturan yang akan dilakukan dengan harmonisasi dengan Konvensi Internasional.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku-Buku:

Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan, 2010. Arif Gosita, dkk, Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan, Lembaga

Adokasi Anak Indonesia, Medan, 2001.

Boer Maulana, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Alumni, Bandung, 2005.

Chairul Bariah, Aturan-Aturan Hukum Trafficking,USU Press, Medan, 2005. Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia,Citra Aditya Bakti,Bandung, 2003.

F.A Whisnu Situni, Identifikasi dan Reformasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1989.

GEMPITA (Gerakan Masyarakat untuk Penghapusan Traffficking), diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Indonesia, bekerjasama dengan ICMC (International Catholic Migration Commission) dan ACILS (American Center for International Labour Solidarity), Edisi II/Juli 2003.

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, 1990. Joni, Muhammad da Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Perlindungan Anak, Bandung :

Citra Aditya Bakti, 1999.

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2003.

Muhammad Joni, Programme Officer LAAI, Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak di Lapangan, Konvensi, Volume III No. 3 April 1999.

Rachmat Syafaat, Dagang Manusia- Kajian Trafficking Terhadap Per€empuan dan Anak di Jawa Timur, Lapper Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002.

Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, Rineka Cipta, Jakarta 2009.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1994.


(6)

Wasito, Konvensi-konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan Konsuler dan Hukum Perjanjian/Traktat, Andi Offset, Yogyakarta, 1984.

Peraturan Perundang-Undangan:

1. Undang‐undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. 

2. Undang‐Undang  Nomor  21  Tahun 2007  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Perdagangan Orang ( UU‐PTPPO). 

3. Konvensi Kerja Paksa ILO Nomor 105 Tahun 1957 

Situs-Situs:

http://eprints.undip.ac.id http;//www.hukumonline.com http://mekar-sinurat.blogspot.com http://www.legalitas.org