Perlindungan Terhadap Anak-Anak Korban Bencana Ditinjau Dari Konvensi Hak-Hak Anak Dan Hukum Nasional

(1)

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN BENCANA DITINJAU DARI KONVENSI HAK-HAK ANAK DAN HUKUM

NASIONAL

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH: ELLA ANDIRA NIM: 100200286

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH : ELLA ANDIRA NIM: 100200286

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Ketua Departemen

NIP. 196403301993031002 Arif, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum

NIP : 195612101986012001 NIP : 197302202002121001


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim…

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul: “PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN BENCANA DITINJAU DARI KONVENSI HAK-HAK ANAK DAN HUKUM NASIONAL” sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua penulis yang amat penulis sayangi Ayahanda Alfian Abdullah dan Ibunda Farlina Thaher, yang telah membesarkan penulis sampai sekarang, memberi doa dan dukungan yang tiada henti-hentinya baik moril maupun materiil kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi


(4)

Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Universitas Sumatera Utara Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak O. K. Saidin, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Arif, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini;

8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini;

9. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis;

10. Saudara kandung penulis, Putri Amalia, A.Md., Muammar Rozi, ST, dan Aulia Ichsan, terimakasih atas doa dan semangat yang telah diberikan kepada penulis;


(5)

11. Sahabat-sahabat terbaik penulis sejak awal perkuliahan Chintami Maranatha, SH, Natasha Siregar, SH, Nurul Atika, dan Theresia Adirosa. Terimakasih atas masa-masa 4 tahun perkuliahan yang telah dijalani bersama. Semoga jalinan persahabatan kita akan terus terjalin untuk ke depannya, sukses untuk kita semua! I love you girls;

12. Sahabat sejak SMA Reza Birong, Chairunnisa Damanik, Rizky Agustina dan Debora, terimakasih atas segala dukungannya kepada penulis;

13. Teman-teman ILSA Stambuk 2010, teman-teman Grup D, serta Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU Stambuk 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga kita semua menjadi generasi yang lebih baik untuk bangsa dan negara;

14. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, 18 Juni 2014 Penulis


(6)

Daftar Isi……….iv

Abstrak………....vi

BAB I PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang……….1

B. Perumusan Masalah……….7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….7

D. Keaslian Penulisan………...8

E. Tinjauan Kepustakaan………..9

F. Metode Penelitian………...13

G. Sistematika Penulisan……….16

BAB II ANAK DAN HAK-HAKNYA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL……….18

A. Konvensi Hak-Hak Anak Sebagai Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak……….18

B. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Sebagai Acuan Perlindungan Anak di Indonesia………..36

C. Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak Anak………..43


(7)

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP BENCANA DAN

MANAJEMEN PENANGGULANGANNYA………...50

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Bencana………...50

B. Penyebab serta Dampak-Dampak Bencana………...53

C. Manajemen Penangggulangan Bencana (Disaster Management)………..57

D. Aspek Hukum Internasional Dalam Penanganan Bencana………65

BAB IVPERLINDUNGAN ANAK-ANAK KORBAN BENCANA DITINJAU DARI KONVENSI HAK-HAK ANAK DAN HUKUM NASIONAL………...80

A. Perlindungan Anak-Anak Korban Bencana Menurut Konvensi Hak-Hak Anak………...80

B. Perlindungan Anak-Anak Korban Bencana Menurut Hukum Nasional…98 C. Pihak-Pihak yang Bertanggungjawab Dalam Menjamin Perlindungan Terhadap Anak-Anak-Anak Korban Bencana……….103

D. Perlindungan Terhadap Anak-Anak Korban Bencana Topan Haiyan di Filipina……….109

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….117

A. Kesimpulan………..117

B. Saran……….119 DAFTAR PUSTAKA


(8)

Peristiwa bencana senantiasa disertai dengan cerita tragis penderitaan manusia yang tidak habis-habisnya.Korban yang paling mengkhawatirkan adalah yang berasal dari kalangan anak-anak.Anak-anak masih sangat rentan kondisi psikologisnya, parahnya persentase jumlah koban yang berasal dari anak-anak di seluruh dunia lumayan besar, baik dalam angka kematian ataupun dampak lainnya.Namun dalam prakteknya, perlindungan secara langsung terhadap anak-anak korban bencana masih sangat minim.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis normatif, karena sasaran penelitian adalah meninjau peraturan hukum yang terkait dengan perlindungan terhadap anak-anak korban bencana. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder berupa buku, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan majalah dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini. Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

Hak-hak anak diatur didalam Konvensi Hak Anak yang menjadi acuan perlindungan hak anak secara internasional.Di Indonesia perlindungan terhadap hak-hak anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang dapat menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap keberfungsian suatu masyarakat melebihi batas kemampuannya, sehingga mengakibatkan kerusakan, kerugian serta penderitaan bahkan sampai jatuhnya korban jiwa, baik terjadi karena alam ataupun non-alam (seperti oleh manusia) ataupun karena faktor keduanya.Di Indonesia pengaturan mengenai bencana dan manajemen penanggulangannya diatur di dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ada lima kluster pengelompokan hak anak yang harus dipenuhi dalam konteks tanggap darurat bencana mengacu kepada Konvensi Hak Anak yaitu: Hak sipil dan kemerdekaan, Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, Kesehatan dan kesejahteraan dasar, Pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya, dan Perlindungan khusus. Untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban bencana, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 mengamanatkan dalam beberapa pasal yaitu pada pasal 59, pasal 60 dan pasal 62.

Kata Kunci : Perlindungan Anak, Korban Bencana, Konvensi Hak Anak, Hukum Nasional.

* Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I


(9)

ABSTRAK Ella Andira*

Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum** Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum***

Peristiwa bencana senantiasa disertai dengan cerita tragis penderitaan manusia yang tidak habis-habisnya.Korban yang paling mengkhawatirkan adalah yang berasal dari kalangan anak-anak.Anak-anak masih sangat rentan kondisi psikologisnya, parahnya persentase jumlah koban yang berasal dari anak-anak di seluruh dunia lumayan besar, baik dalam angka kematian ataupun dampak lainnya.Namun dalam prakteknya, perlindungan secara langsung terhadap anak-anak korban bencana masih sangat minim.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis normatif, karena sasaran penelitian adalah meninjau peraturan hukum yang terkait dengan perlindungan terhadap anak-anak korban bencana. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder berupa buku, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan majalah dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini. Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

Hak-hak anak diatur didalam Konvensi Hak Anak yang menjadi acuan perlindungan hak anak secara internasional.Di Indonesia perlindungan terhadap hak-hak anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang dapat menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap keberfungsian suatu masyarakat melebihi batas kemampuannya, sehingga mengakibatkan kerusakan, kerugian serta penderitaan bahkan sampai jatuhnya korban jiwa, baik terjadi karena alam ataupun non-alam (seperti oleh manusia) ataupun karena faktor keduanya.Di Indonesia pengaturan mengenai bencana dan manajemen penanggulangannya diatur di dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ada lima kluster pengelompokan hak anak yang harus dipenuhi dalam konteks tanggap darurat bencana mengacu kepada Konvensi Hak Anak yaitu: Hak sipil dan kemerdekaan, Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, Kesehatan dan kesejahteraan dasar, Pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya, dan Perlindungan khusus. Untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban bencana, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 mengamanatkan dalam beberapa pasal yaitu pada pasal 59, pasal 60 dan pasal 62.

Kata Kunci : Perlindungan Anak, Korban Bencana, Konvensi Hak Anak, Hukum Nasional.

* Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I


(10)

A.Latar Belakang

Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Anak-anak merupakan bagian dari masyarakat yang masih memiliki ketergantungan terhadap orang lain, mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus, dan membutuhkan perawatan dan perlindungan agar mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi dalam kehidupan. Di dalam implementasinya, anak merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan suatu bangsa, penentu masa depan dan penerus generasi. Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spritualnya secara maksimal.1

Namun demikian disadari bahwa kondisi anak masih banyak yang memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat bahwa belum semua anak mempunyai akta kelahiran, belum semua anak diasuh oleh orang tua kandungnya, keluarga maupun orang tua asuh atau wali dengan baik, masih belum semua anak mendapatkan pendidikan yang memadai, masih belum semua anak mempunyai kesehatan optimal, masih belum semua anak dalam pengungsian, daerah konflik, korban bencana alam, anak-anak korban eksploitasi, kelompok minoritas dan anak-anak

1


(11)

2

yang berhadapan dengan hukum seharusnya mendapatkan perlindungan khusus. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya berbagai krisis ekonomi di Indonesia dan di negara-negara lain dan juga terjadinya berbagai bencana alam di berbagai negara, yang mengakibatkan banyaknya permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kependudukan termasuk permasalahan-permasalahan di dalam perlindungan hak-hak anak korban bencana.

Sebagai salah satu unsur yang harus ada di dalam negara hukum dan demokrasi, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak-hak anak yang diharapkan sebagai penentu masa depan bangsa dan sebagai generasi penerus harus mendapatkan pengaturan yang jelas. Hal ini perlu dilakukan, mengingat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya sehingga HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.

Sejarah umat manusia penuh dengan peristiwa bencana.Dalam berbagai kitab suci banyak kisah-kisah mengenai bencana sebagai peringatan bagi umat manusia misalnya Banjir Nabi Nuh dan kaum Luth semuanya disertai dengan peristiwa bencana yang memusnahkan satu generasi.2

2

Soehatman Ramli, Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Management), (Jakarta: PT Dian Rakyat, 2010), hal 1.

Peristiwa bencana senantiasa disertai dengan cerita tragis penderitaan manusia yang tidak habis-habisnya.Menyisakan kerusakan alam dan materi yang tidak ternilai serta


(12)

hancurnya peradaban manusia.3

Korban tentunya akan merasa sangat terpukul dengan keadaan yang mereka alami, dan yang paling mengkhawatirkan adalah yang berasal dari kalangan anak-anak. Anak-anak masih sangat rentan kondisi psikologisnya, parahnya persentase jumlah koban yang berasal dari anak-anak di seluruh dunia lumayan besar, baik dalam angka kematian ataupun dampak lainnya.Misalkan dalam bencana tsunami, 37 persen dari jumlah korban meninggal adalah berasal dari anak-anak (lebih dari 90.000), anak-anak yang masih hidup kehilangan saudara dan teman-temannya dan 7.722 anak ditinggal kedua orang tua mereka.Dan kasus bencana terbaru yang terjadi adalah bencana Topan Haiyan yang melanda Filipina pada 8 November 2013, dimana data UNICEF

Pada beberapa tahun terakhir ini sering sekali terjadi bencana alam yang melanda di berbagai negara.Bencana itu telah menyebabkan begitu banyak korban jiwa, fisik serta harta benda.Banjir, gempa bumi dan badai memaksa puluhan ribu orang mengungsi di seluruh dunia.Dalam beberapa tahun terakhir tanggapan masyarakat internasional terhadap bencana-bencana itu semakin cepat dan lebih canggih.Tetapi, sampai kini dan karena penyaluran bantuan untuk menyelamatkan jiwa dilakukan tergesa-gesa, hanya sedikit perhatian tertuju pada hak-hak korban yang mengungsi.Bagi korban yang selamat, maka ia akan sangat merasa terbebani dengan adanya cacat fisik yang ia derita, kerugian material, dan juga keadaan psikologis mereka. Hal ini tentu akan terasa sangat berat apabila tidak ada penanganan yang serius dari pihak-pihak yang terkait.

3


(13)

4

menunjukkan sekitar 4 juta anak menjadi korban.4

Di samping itu, dalam situasi pasca bencana, kehidupan yang serba darurat sering membuat orangtua kehilangan kontrol atas pengasuhan dan bimbingan terhadap anak-anak mereka. Keadaan ini dapat mengancam perkembangan mental, moral dan sosial anak, sekaligus menempatkan anak dalam posisi rentan terhadap kemungkinan tindak eksploitasi, penculikan, kekerasan dan perdagangan. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan rusaknya fasilitas kesehatan dan sanitasi serta lingkungan yang tidak sehat di tempat penampungan yang dalam Semua bencana yang terjadi tentunya akan menyebabkan trauma yang mendalam bagi para korbannya. Baik orang dewasa, maupun anak-anak. Pada awalnya, gejala trauma dari bencana pada anak dianggap sama dengan yang dialami oleh orang dewasa, hingga ditemukan satu hasil penelitian baru yang dilakukan oleh Terr (1979) yang mengemukakan pandangan bahwa anak akan merespon trauma dengan cara yang berbeda dengan orang dewasa.

Hal ini menjadikan anak-anak sebagai salah satu kelompok yang paling rentan terdampak bencana alam karena secara fisik dan mental masih dalam pertumbuhan dan masih tergantung dengan orang dewasa. Mengalami kejadian yang sangat traumatis dan mengerikan akibat bencana seperti gempa bumi dan letusan gunung merapi dapat mengakibatkan stress dan trauma mendalam bagi anak. Pengalaman trauma yang dialami anak tersebut kalau tidak diatasi segera akan berdampak buruk bagi perkembangan mental dan sosial anak sampai dewasa.

4

UNICEF Indonesia, “Jumlah Anak Korban Topan Haiyan Mencapai 4 Juta, UNICEF mengirimkan Bantuan”, sebagaimana dimuat dalam


(14)

perkembangan selanjutnya berdampak buruk terhadap kesehatan anak yang dalam jangka panjang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan kesehatan anak.

Dalam situasi darurat anak-anak membutuhkan perlindungan khusus. Anak-anak yang telah menjadi yatim piatu atau terpisah dari keluarganya sangat berisiko terhadap penyiksaan, kekerasan, pengabaikan dan eksploitasi;tanpa perlindungan orang tua, mereka lebih rawan terhadap pengadopsian ilegal, perkawinan di bawah umur, dan perdagangan orang. Bahkan ketika anak-anak tidak dipisahkan dari keluarga mereka, tempat tinggal yang tidak aman, pengungsian, kehilangan pekerjaan, kehancuran sumber mata pencaharian, serta kematian pencari nafkah utama, meningkatkan kerentanan mereka dalam rumah tangga. Kesulitan ekonomi khususnya memicu risiko tambahan bagi anak-anak, yang dapat muncul pada tahap keadaan darurat. Di keluarga, mereka mungkin menjadi korban kekerasan dan akses yang kurang kepada kebutuhan pokok seperti tempat berlindung, makanan, air dan perawatan kesehatan. Kelangkaan sumber daya juga menempatkan anak-anak berisiko terhadap putus sekolah;banyak anak yang dipaksa untuk mendapatkan penghasilan–sering dalam pekerjaan berisiko tinggi seperti pertambangan dan pertanian. Anak-anak perempuan secara khusus menjadi korban dari pornografi anak atau bentuk lain eksploitasi seksual.5

Berdasarkan kondisi itulah, maka banyak sekali pemangku kepentingan (stakeholder) baik dari unsur pemerintah dan non-pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat (lokal maupun internasional), perusahaan, organisasi massa dan masyarakat selalu mengambil bagian dalam upaya penanggulangan bencana

5

Erica Harper, International Law and Standard Applicable in Natural Disaster Situation = Perlindungan Hak-Hak Warga Sipil dalam Situasi Bencana, (Jakarta: Grasindo, 2009), hal 203.


(15)

6

khususnya untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yang menjadi koban bencana. Perhatian dan bantuan dalam masa tanggap darurat bencana tersebut dari sisi jumlah dan jenis bantuan sangat banyak dan seringkali kalau tidak diorganisir dengan baik akan mengakibatkan tidak meratanya distribusi bantuan sehingga bantuan yang sifatnya temporer seperti makanan menjadi rusak dan tidak dapat dimanfaatkan.

Bantuan tanggap darurat bencana alam tersebut dari sisi jenis bantuannya lebih banyak diprioritaskan pada bantuan logistik dan kalau sasarannya anak-anak program-program yang ditawarkan lebih banyak bersifat permainan-permainan yang bertujuan untuk mencegah sekaligus mengatasi trauma yang dihadapi anak akibat bencana alam. Bantuan dan maksud baik dari semua pemangku kepentingan tersebut akan menjadi lebih komprehensif dan efektif jika setiap program dan bantuan yang diberikan untuk anak berangkat dari sebuah landasan konsep yang kuat yang untuk selanjutnya dapat dipergunakan sebagai panduan dalam melakukan aksi-aksi nyata untuk membantu anak yang menjadi korban bencana. Bantuan logistik dan program permainan adalah salah satu upaya perlindungan anak dan upaya perlindungan anak dalam konteks bencana alam sangat luas sekali.

Kondisi ini sangatlah perlu untuk diperhatikan tanpa kecuali. Hal semacam inilah yang melatar belakangi penulis untuk membahas dan menyusun sebuah skripsi yang berjudul: “Perlindungan Terhadap Anak-Anak Korban Bencana Ditinjau dari Konvensi Hak-Hak Anak dan Hukum Nasional.”


(16)

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan terhadap hak-hak anak menurut hukum internasional dan hukum nasional?

2. Bagaimana pengaturan mengenai bencana dan manajemen penanggulangannya?

3. Bagaimana pengaturan mengenai perlindungan terhadap anak-anak korban bencana menurut Konvensi Hak-Hak Anak dan hukum nasional?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam meneliti permasalahan diatas adalah:

a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai hak-hak anak menurut hukum internasional dan hukum nasional.

b. Untuk mengetahui pengaturan mengenai bencana dan manajemen penanggulangannya.

c. Untuk mengetahui pengaturan mengenai perlindungan terhadap anak-anak korban bencana menurut Konvensi Hak-Hak Anak dan hukum nasional.

2. Manfaat Penulisan


(17)

8

a. Secara teoritis penulisan ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang aspek Konvensi Hak-Hak Anak dan hukum nasional dalam perlindungan terhadap anak-anak korban bencana.

b. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam memberikan perlindungan yang lebih terjamin kepada anak-anak korban bencana, sesuai dengan aturan yang diatur dalam hukum nasional dan hukum internasional.

D.Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini yang berjudul: “PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN BENCANA DITINJAU DARI KONVENSI HAK-HAK ANAK DAN HUKUM NASIONAL” merupakan tulisan yang masih baru yang berasal dari hasil pemikiran penulis sendiri tanpa adanya jiplakan dari hasil tulisan milik orang lain. Dan belum ada tulisan dalam bentuk skripsi yang membahas tentang hal ini. Demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 5 Desember 2013, karya tulis berjudul sama belum pernah ditulis sebelumnya. Hanya saja, tidak dapat dipungkiri ada beberapa penelitian yang menyinggung mengenai perlindungan anak, yaitu perlindungan anak dari tindakan eksploitasi menurut hukum internasional serta tinjauan hukum


(18)

internasional terhadap hak asasi anak khususnya anak terlantar dan anak jalanan, tetapi tidak ada mengenai perlindungan terhadap anak-anak korban bencana.Dengan ini penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, baik secara ilmiah ataupun secara akademik.

E.Tinjauan Kepustakaan 1. Anak

Pengertian tentang anak sangatlah luas. Dalam berbagai kesempatan pertemuan, formal maupun informal, mulai dari pertemuan-pertemuan resmi di hotel-hotel atau di kantor-kantor, balai-balai pertemuan, ataupun obrolah-obrolan santai di warung kopi atau di teras rumah, orang dewasa dapat dengan mudah mencurahkan pemahamannya tentang anak. Semua pemahaman ini baik dan hampir semuanya menaruhkan harapan terbaiknya pada anak-anak.Berikut ini adalah beberapa pemahaman tersebut.

Pemahaman pertama, merupakan pemahaman yang paling sering diungkapkan, bersifat rohaniah.Anak dimaknai sebagai anugerah atau karunia Tuhan, titipan ilahi, amanah Tuhan yang harus dijaga, dilindungi, diperhatikan, dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang.6

Pemahaman kedua, adalah pemahaman tentang anak ketika berhadapan dengan orang tua sebagai penerus keturunan.Anak adalah penerus keluarga, melanjutkan garis keturunan dari orang tua.Hingga kapanpun dan dimanapun, status sebagai anak dari orang tua tidak bisa dihilangkan. Meskipun sudah

6

J E Gunarso Pasaribu, dimuat dalam Skripsi “Aspek Hukum Internasional dalam Perlindungan Hak-Hak Anak”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hal 8.


(19)

10

menjadi nenek dan kakek, status sebagai anak dari ayah dan ibu, tidak akan bisa dilepaskan.7

Pemahaman ketiga merupakan pemahaman yang paling sering luput dari perhatian. Yaitu anak sebagai manusia yang mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa lainnya. Sebagai manusia, anak dilahirkan merdeka dan mempunyai hak asasi.Sama dengan manusia lainnya, anak dikarunia akal budi dan hati nurani.8

Hasil Simposium Bahasa Indonesia dinyatakan, anak adalah:9 1. Keturunan

2. Manusia yang kecil

3. Binatang yang masih kecil

4. Pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau rumpun tumbuhan besar 5. Orang yang berasal dari, atau dilahirkan di suatu negeri atau daerah 6. Orang yang termasuk suatu golongan pekerjaan, keluarga

7. Bagian yang kecil pada sesuatu benda 8. Yang lebih kecil daripada yang lain

Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Hak-hak anak,

“Untuk tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah usia 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.”

7

Ibid.

8

Ibid.

9

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2007), hal 41.


(20)

Pengertian ini membatasi definisi anak berdasarkan tingkat umur.Ini adalah definisi yang paling umum dan diakui secara internasional.

Pembatasan usia hingga 18 tahun tidak mengikat semua negara. Hal ini dapat dilihat perbedaan dalam hukum di beberapa negara penetapan batasan umur seorang anak tidak sama. Konvensi Hak-hak anak memberi ruang bagi tiap negara untuk membuat aturan khusus tentang pembatasan usia. Itulah sebabnya tiap-tiap negara mempunyai batasan usia yang berbeda. Seperti di Korea dan Jepang misalnya, batasan usia anak adalah 20 tahun. Di Inggris, Australia, Srilanka dan beberapa negara lain batasan usia anak ditetapkan 16 tahun. Kebanyakan negara mengikuti pembatasan usia anak 18 tahun seperti negara Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, Filipina, Taiwan, Iran, Kamboja, dan lain-lain.10 Pada umumnya komunitas hak anak internasional menerima bahwa usia 18 tahun merupakan usia yang sesuai untuk menentukan masa dewasa.11

2. Bencana

Di Indonesia, pembatasan usia anak diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara resmi, berdasarkan UU ini, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana alam artinya adalah bencana yang disebabkan oleh alam.

10

Disadur dari buku Sri Widoyati Wiratmo Soekito dalam Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal 73-74.

11

Stephanie Delaney, Melindungi Anak-Anak dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual dalam Situasi Bencana & Gawat Darurat, (Medan: ECPAT Internasional, 2006), hal 10.


(21)

12

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.

Menurut United Nation Development Program (UNDP), bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana.12

Menurut Asian Disaster Reduction Center (2003), bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang menimbulkan kerugian secara meluas

Jika dilihat dari Buku Karakteristik Bencana yang dikeluarkan oleh BAKORNAS PB, maka yang termasuk dalam bencana alam yaitu banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, angin badai, gelombang badai/ pasang, gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api. Jenis dan karakteristik bencana alam yang terjadi tentunya berbeda antar satu jenis bencana dengan bencana alam lainnya.Terkadang terdapat beberapa bencana alam yang terjadi dalam satu kejadian seperti misalanya angin badai/ angin topan/ puting beliung disertai dengan banjir, atau banjir disertai dengan tanah longsor dan lainnya.

12


(22)

dan dapat berdampak serius bagi masyarakat. Berbagai material maupun dampak dari bencana alam yang muncul kerap kali diluar kendali manusia.13

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Sebagaimana lazimnya penulisan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah yang harus berdasarkan fakta-fakta dan data-data obyektif (benar dan layak dipercaya), demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai karya tulis ilmiah juga menggunakan pengumpulan data secara ilmiah (metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunannya sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.

Secara umum, menurut Soerjono Soekanto dalam penelitian ilmu hukum dikenal dua jenis penelitian yaitu:14

a. Penelitian Yuridis Normatif meliputi: i. Penelitian terhadap asas-asas hukum ii. Penelitian terhadap sistematika hukum iii. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum b. Penelitian Yuridis Sosiologis atau Empiris meliputi:

i. Penelitian terhadap identifikasi hukum ii. Penelitian terhadap efektivitas hukum

13

“Mengenal Bencana”, sebagaimana dimuat dalam

14


(23)

14

Metode penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan dan ditujukan pada norma-norma hukum yang berlaku.Dalam penelitian ini, metode yuridis normatif yang digunakan adalah norma-norma hukum internasional dan hukum nasional yang tertuang dalam bentuk Konvensi dan Peraturan Perundang-Undangan.

2. Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian berupa konvensi internasional yaitu Konvensi Hak-Hak Anak, serta perundang-undangan nasional yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian.

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan


(24)

hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, makalah, jurnal serta artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode


(25)

16

induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan ini terdiri dari 5 Bab, masing masing bab terdiri dari:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : ANAK DAN HAK-HAKNYA MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

Bab ini menguraikan tentang Konvensi Hak-Hak Anak Sebagai Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Sebagai Acuan Perlindungan Anak di Indonesia, Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak Anak, Instrumen Hukum Internasional Tentang Perlindungan Hak-Hak Anak.

BAB III : TINJAUAN UMUM TERHADAP BENCANA DAN MANAJEMEN PENANGGULANGANNYA

Bab ini menguraikan tentang Pengertian dan Jenis-Jenis Bencana, Penyebab serta Dampak-Dampak Bencana,


(26)

Manajemen Penanggulangan Bencana (Disaster Management), Aspek Hukum Internasional Dalam Penanganan Bencana.

BAB IV : PERLINDUNGAN ANAK-ANAK KORBAN BENCANA

DITINJAU DARI KONVENSI HAK-HAK ANAK DAN HUKUM NASIONAL

Bab ini menguraikan tentang Perlindungan Anak-Anak Korban Bencana Menurut Konvensi Hak-Hak Anak, Perlindungan Anak-Anak Korban Bencana Menurut Hukum Nasional, Pihak-Pihak yang Bertanggungjawab Dalam Menjamin Perlindungan Terhadap Anak-Anak-Anak Korban Bencana, Perlindungan Terhadap Anak-Anak Korban Bencana Topan Haiyan di Filipina.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran.


(27)

BAB II

ANAK DAN HAK-HAKNYA MENURUT

HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

A.Konvensi Hak-Hak Anak Sebagai Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak

Konvensi Hak-hak Anak (The United Nations Convention on The Rights of Child) 1989 dalam berbagai hal berbeda diantara perjanjian-perjanjian internasional dan unik dipandang dari segi hukum internasional secara umum. Konvensi ini dihasilkan setelah sebuah proses penyusunan panjang yang dimulai pada tahun 1978. Partisipasi organisasi non-pemerintah (non-governmental organisations) baik dalam proses penyusunan dan dalam mekanisme pelaporan juga signifikan. Gambaran lainnya yang luar biasa adalah dimana negara-negara sangat berhasrat untuk menandatangani dan meratifikasi Konvensi ini.Di hari pertama Konvensi Hak-hak Anak dibuka untuk penandatanganan (26 Januari 1990) tidak kurang dari 61 negara peserta menandatangani, yang merupakan rekor bagi sebuah perjanjian internasional.Konvensi Hak-hak Anak mulai berlaku (didalam hukum internasional) pada 2 September 1990.15

Konvensi Hak Anak merupakan perjanjian internasional yang bersifat terbuka, artinya Konvensi Hak Anak terbuka untuk diratifikasi oleh negara-negara lain yang belum menjadi peserta (state parties).Berdasarkan jumlah negara yang meratifikasinya, maka Konvensi Hak Anak merupakan perjanjian internasional

15

Trevor Buck, International Child Law, (London: Cavendish Publishing Limited, 2005), hal 47.


(28)

yang multilateral.Pada umumnya perjanjian internasional yang bersifat terbuka adalah juga perjanjian internasional yang multilateral.Selain itu sebagaimana lazimnya perjanjian terbuka untuk seluruh negara anggota PBB merupakan perjanjian internasional yang membentuk hukum (law making treaties) kepada seluruh anggota yang meratifikasinya.16

Adanya hak-hak anak yang diakui secara internasional merupakan perjuangan yang cukup panjang. Dimulai dengan usaha perumusan draft hak-hak anak yang dilakukan oleh Eglantyne Jebb, seorang aktivis perempuan yang prihatin pada nasib perempuan dan anak-anak yang mengalami situasi buruk akibat perang dan bencana, sekaligus pendiri Save the Children Fund. Eglantyne Jebb mengembangkan draft pertama mengenai 7 (tujuh) gagasan mengenai hak anak yang kemudian diadopsi oleh Save the Children pada tanggal 23 Februari 1923, yaitu:17

1. Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan mengenai ras, kebangsaan dan kepercayaan;

2. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga;

3. Bagi anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik materil, moral, dan spiritual;

4. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus/diberi perumahan;

16

Syahmin A.K., Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, (Bandung: Armico, 1985), hal 28.

17

UNICEF, Pengembangan Hak Anak – Pedoman Pelatihan tentang Konvensi Hak Anak, (Jakarta, 1996), hal 8.


(29)

20

5. Anaklah yang pertama-tama harus mendapatkan bantuan/pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan;

6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapatkan pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi;

7. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat.

Kemudian pada tanggal 26 November 1924, pernyataan tersebut diadopsi dalam Sidang Umum Liga Bangsa-Bangsa sebagai the World Child Welfare Charter. Pada tanggal 20 November 1959, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi kembali dengan mengembangkan isinya menjadi 10 (sepuluh) butir dengan nama Deklarasi Hak-Hak Anak, dimana tanggal tersebut kemudian diadopsi juga sebagai hari anak internasional.

Pada persiapan hari anak internasional pada tahun 1979, Pemerintah Polandia mengusulkan untuk merumuskan Konvensi Hak-hak Anak.Usulan tersebut diterima yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengadakan diskusi tentang rancangan Konvensi.Perancangan Konvensi berlangsung dalam suatu kelompok kerja yang didirikan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB.Wakil-wakil pemerintah membentuk inti kelompok perancang ini. Kemudian perwakilan badan-badan PBB dan badan-badan khususnya, termasuk Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Organisasi Buruh Internasional (ILO), Dana Bantuan Bagi Anak-Anak (UNICEF) dan organisasi non-pemerintah (ornop), ikut


(30)

mengambil bagian dalam perbincangan mengenai rancangan Konvensi. Rancangan pertama yang disampaikan oleh Pemerintah Polandia kemudian diubah dan diperluas secara ekstensif melalui berbagai diskusi.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi Hak-hak Anak melalui Resolusi No. 44/25 tanggal 20 November 1989 dan terbuka untuk penandatanganan Konvensi Hak-hak Anak pada tanggal 20 November 1989 (pada peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-Hak Anak). Konvensi ini berlaku pada tanggal 2 September 1990 setelah jumlah negara yang meratifikasinya telah mencapai syarat. Sampai dengan Desember 2008, telah ada 193 negara yang meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, meliputi keseluruhan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, kecuali Amerika Serikat dan Somalia. Indonesia sebagai negara anggota PBB telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990.Indonesia termasuk negara yang pertama meratifikasi Konvensi Hak Anak yang dilakukan dengan atau berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Peratifikasian Konvensi Hak Anak.Oleh karena itu sejak tahun 1990, Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam Konvensi Hak Anak.18

Konvensi Hak-hak Anak merupakan perjanjian internasional yang memberikan pengakuan serta menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak anak.Dalam Konvensi ini diatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak.Konvensi Hak-hak Anak merupakan perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai negara yang

18

Muhammad Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal 33.


(31)

22

mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak anak. Konvensi Hak-hak Anak menegaskan berlakunya hak asasi manusia bagi semua tingkatan usia, meningkatkan standar hak asasi manusia agar lebih sesuai dengan anak-anak, dan mengatur masalah-masalah yang khusus berhubungan dengan anak-anak. Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional.19

1. Langkah-langkah implementasi umum.

Ada 2 (dua) protokol tambahan yang juga diadopsi pada tanggal 25 Mei 2000, yaitu protokol mengenai keterlibatan anak-anak dalam konflik senjata yang membatasi keterlibatan anak-anak dalam konflik-konflik militer, serta protokol mengenai perdagangan anak-anak, prostitusi anak-anak, dan pornografi anak-anak yang melarang perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak-anak. Kedua protokol tambahan ini diratikasi oleh lebih dari 120 negara.

Konvensi Hak Anak berisi 54 Pasal yang kemudian dikelompokkan ke dalam 8 (delapan) cluster yaitu:

2. Definisi anak.

3. Prinsip-prinsip umum.

4. Hak-hak sipil dan kemerdekaan.

5. Lingkungan keluarga dan pengasuhan pengganti. 6. Kesehatan dan kesejahteraan dasar.

19


(32)

7. Pendidikan, waktu luang, dan kegiatan budaya. 8. Langkah-langkah perlindungan khusus.

Cluster 1-3 tidak secara eksplisit menyebutkan hak-hak substantif anak namun berkaitan erat dengan substansi hak-hak anak. Sedangkan cluster 4-8 mengandung ketentuan mengenai substansi hak-hak anak.

Ada beberapa klausul yang terdapat dalam Konvensi Hak-hak Anak yaitu sebagai berikut:

1. Klausul mulai berlakunya Konvensi.

Dalam Pasal 49 Konvensi Hak-hak Anak dimuat klausul mulai berlakunya Konvensi, yaitu berdasarkan penyimpanan piagam pengesahan. Disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1) bahwa Konvensi Hak-hak Anak akan mulai mempunyai kekuatan pada hari ke-30 sejak tanggal penyimpanan piagam pengesahan atau penyetujuan ke-20. Selanjutnya dalam Pasal 49 ayat (2) disebutkan bahwa karena tiap negara mengesahkan atau menyetujui Konvensi setelah penyimpanan alat pengesahan atau penyetujuan ke-20, Konvensi akan mulai mempunyai kekuatan pada hari ke-30 setelah penyimpanan piagam pengesahan atau penyetujuan oleh negara tersebut.

2. Klausul aksesi

Bagi perjanjian-perjanjian yang bersifat terbuka maka negara yang tidak ikut membuat atau menandatangani suatu perjanjian dapat menjadi pihak pada perjanjian tersebut di kemudian hari dengan cara mendepositkan piagam aksesi


(33)

24

ke negara penyimpan.20

3. Klausul revisi.

Klausul aksesi ini nampak dalam Pasal 48 Konvensi Hak-hak Anak.

Klausul revisi ini nampak dalam Pasal 50 Konvensi Hak-hak Anak.Disebutkan bahwa negara pihak boleh mengajukan revisi dan merangkainya bersama dengan sekjen PBB.

4. Klausul ratifikasi.

Klausul ratifikasi nampak dalam Pasal 47 Konvensi Hak-hak Anak yang menyebutkan bahwa Konvensi ini perlu diratifikasi dan instrumen-instrumen ratifikasi akan disimpan oleh Sekjen PBB.

Ada 4 (empat) prinsip-prinsip umum hukum internasional (General Principle of International Law) yang terdapat dalam Konvensi Hak-hak Anak, sebagai berikut:

1. Prinsip non-diskriminasi (prinsip universalitas HAM)

Alinea pertama dari Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental negara peserta (fundamental obligations of state parties) yang mengikatkan diri dengan Konvensi Hak Anak, untuk menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.21

20

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2005), hal 132.

Perlu digarisbawahi kemungkinan terjadinya diskriminasi anak yang

21

Muhammad Joni, Hak-Hak Anak dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi PBB tentang Hak Anak : Beberapa Isu Hukum Keluarga, (Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2008), hal 2, sebagaimana dimuat dalam


(34)

membutuhkan perlindungan khusus, anak tidak beruntung atau kelompok anak-anak yang beresiko, misalnya anak-anak cacat (disabled children), anak pengungsi (refugee children).Pasal-pasal tertentu KHA menyediakan bentuk-bentuk perlindungan khusus bagi anak yang cenderung mengalami diskriminasi.Sebab, diskriminasi adalah akar berbagai bentuk eksploitasi terhadap anak.22

2. Prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (indivisibilitas HAM)

Prinsip ini menjelaskan tentang jaminan terhadap kelangsungan hidup anak. Segala potensi yang akan membahayakan anak harus diminimalisir dari semua lingkungan kehidupan anak, misalnya seperti di lingkungan sekolah dan rumah. Negara peserta harus menjamin sampai pada batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat (2) Konvensi Hak-hak Anak).

3. Prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child) Prinsip ini pertama kali muncul pada tingkatan internasional di dalam prinsip 2 dan 7 Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959.23

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif. Pasal 3 ayat 1 KHA meminta negara dan pemerintah, serta

22

Ibid., hal 3.

23


(35)

26

badan publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of the child menjadi pertimbangan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society).24

Kepentingan terbaik untuk anak menjadi prinsip tatkala sejumlah kepentingan lainnya melingkupi kepentingan anak.Sehingga, dalam hal ini kepentingan terbaik bagi anak harus diutamakan dari kepentingan lainnya.Kepentingan terbaik bagi anak bukan dipahami sebagai memberikan kebebasan anak menentukan pandangan dan pendapatnya sendiri secara liberal.Peran orang dewasa justru untuk menghindarkan anak memilih suatu keadaan yang justru tidak adil dan tidak eksploitatif, walaupun hal itu tidak dirasakan lagi oleh anak.25

Guna menjalankan prinsip the best interest of the child ini, dalam rumusan Pasal 3 ayat 2 KHA ditegaskan bahwa negara peserta menjamin perlindungan anak dan memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah yurisdiksinya. Negara mengambil peran untuk memungkinkan orangtua bertanggungjawab terhadap anaknya, demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya.26

4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child) Prinsip ini merupakan wujud dari hak partisipasi anak yang diserap dari pasal 12 KHA.Mengacu kepada pasal 12 ayat 1 KHA, diakui bahwa anak dapat dan mampu membentuk atau mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya

24

Muhammad Joni, Op. Cit., hal 4.

25

Muhammad Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Op. Cit., hal 105.

26


(36)

sendiri yang merupakan hak berekspresi secara bebas (capable of forming his or her own views the rights to express those views freely). Jaminan perlindungan atas hak mengemukakan pendapat terhadap semua hal tersebut, mesti dipertimbangkan sesuai usia dan kematangan anak.27

Sejalan dengan itu, negara peserta wajib menjamin bahwa anak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya pada setiap proses peradilan ataupun administrasi yang mempengaruhi hak anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung.28

Konvensi Hak Anak terdiri atas 54 (lima puluh empat) pasal yang beradasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak.29 Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak tersebut, dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu:30 1. Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights)

Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. (the rights to the highest standard of health and medical care attainable).

Mengenai Hak terhadap Kelangsungan Hidup di dalam Konvensi Hak Anak terdapat pada pasal 6 dan pasal 24 Konvensi Hak Anak.Dalam pasal 6 Konvensi Hak Anak tercantum ketentuan yang mewajibkan kepada setiap

27

Ibid., hal 5.

28

Ibid.

29

Muhammad Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Op. Cit., hal 34.

30


(37)

28

negara peserta untuk menjamin kelangsungan hak hidup (rights to life), kelangsungan hidup dan perkembangan anak (the survival and development of the child).

Psal 24 KHA mengatur mengenai kewajiban negara-negara peserta untuk menjamin hak atas taraf kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer. Dalam pasal 24 KHA dikemukakan beberapa langkah konkret yang harus dilakukan negara-negara peserta untuk mengupayakan implementasi hak terhadap hidup anak, yaitu:

1. Untuk melaksanakan menurunkan angka kematian bayi dan anak (vide pasal 24 ayat 2 huruf a);

2. Menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan khususnya pelayanan kesehatan primer (vide pasal 24 ayat 2 huruf b);

3. Memberantas penyakit dan kekekurangan gizi termasuk dalam rangka pelayanan kesehatan primer (vide pasal 24 ayat 2 huruf c);

4. Penyediaan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu-ibu (vide pasal 24 ayat 2 huruf d);

5. Memperoleh informasi serta akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi (vide pasal 24 ayat 2 huruf e);

6. Mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua serta penyuluhan keluarga berencana (vide pasal 24 ayat 2 huruf f);


(38)

7. Mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan (vide pasal 24 ayat 3) dan pengembangan kerja sama internasional (vide pasal 24 ayat 4).

Mengenai Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survivalrights) dalam Konvensi Hak Anak berkaitan dengan beberapa pasal yang relevan dengan Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights) itu, yaitu Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 38.

2. Hak terhadap Perlindungan (protection rights)

Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

Hak terhadap Perlindungan (protection rights) dalam Konvensi Hak Anak, dikemukakan atas 3 (tiga) kategori, yaitu:

a. Pasal-Pasal mengenai Larangan Diskriminasi Anak

Untuk menjelaskan hak terhadap perlindungan atas diskriminasi anak terdapat dalam pasal-pasal berikut:

(1) Pasal 2 tentang prinsip non diskriminasi terhadap hak-hak anak;

(2) Pasal 7 tentang hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan;

(3) Pasal 23 tentang hak-hak anak penyandang cacat memperoleh pendidikan, perawatan dan latihan khusus;


(39)

30

(4) Pasal 30 tentang hak anak-anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli.

b. Pasal-pasal mengenai Larangan Eksploitasi Anak

Untuk menjelaskan hak-hak anak mengenai perlindungan atas eksploitasi anak dapat dirujuk dalam pasal-pasal berikut ini:

(1) Pasal 10 tentang hak anak untuk berkumpul kembali bersama orang tuanya dalam kesatuan keluarga, apakah dengan meninggalkan atau memasuki negara tertentu untuk maksud tersebut.

(2) Pasal 11 tentang kewajiban negara untuk mencegah dan mengatasi penculikan atau penguasaan anak di luar negeri.

(3) Pasal 16 tentang hak anak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan pribadi.

(4) Pasal 19 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan yang dilakukan oleh orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan mereka.

(5) Pasal 20 tentang kewajiban negara untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga mereka. (6) Pasal 21 tentang adopsi di mana pada negara yang mengakui adopsi

hanya dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak.

(7) Pasal 25 tentang peninjauan secara periodik terhadap anak-anak yang ditempatkan dalam pengasuhan oleh negara karena alasan perawatan, perlindungan atau penyembuhan.


(40)

(8) Pasal 32 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan atau perkembangan mereka.

(9) Pasal 33 tentang hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkotika serta keterlibatan dalam produksi dan distribusi. (10)Pasal 34 tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan

penganiayaan seksual termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi.

(11)Pasal 35 tentang kewajiban negara untuk menjajaki segala upaya guna mencegah penjualan, penyeludupan dan penculikan anak.

(12)Pasal 36 tentang hak anak atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi yang belum tercakup dalam pasal 32, pasal 33, pasal 34 dan pasal 35.

(13)Pasal 37 tentang larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak. (14)Pasal 39 tentang kewajiban negara untuk menjamin agar anak yang

menjadi korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantaran, salah perlakuan atau eksploitasi, memperoleh perawatan yang layak demi penyembuhan dan re-integrasi sosial mereka.

(15)Pasal 40 tentang hak bagi anak-anak yang didakwa ataupun yang diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya, untuk menerima manfaat dari segenap proses


(41)

32

hukum atau bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan penempatan institusional sedapat mungkin dihindari.

c. Pasal-pasal mengenai Krisis dan Keadaan Darurat Anak

Untuk menjelaskan hak-hak anak atas perlindungan dari keadaan krisis (crisis) dan keadaan darurat (emergency) dapat dirujuk dalam pasal-pasal berikut:

(1) Pasal 10 tentang mengembalikan anak dalam kesatuan keluarga. (2) Pasal 22 tentang perlindungan terhadap anak-anak dalam pengungsian. (3) Pasal 25 tentang peninjauan secara periodik mengenai penempatan

anak.

(4) Pasal 38 tentang konflik bersenjata atau peperangan yang menimpa anak.

(5) Pasal 39 tentang perawatan rehabilitasi. 3. Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights)

Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.Hak anak atas pendidikan (the education rights), diatur dalam pasal 28 dan pasal 29 Konvensi Hak Anak.

Untuk menjelaskan Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights) dalam Konvensi Hak Anak mengacu kepada beberapa pasal, yaitu pasal 17 (hak untuk memperoleh informasi), pasal 28 dan pasal 29 (hak untuk memperoleh


(42)

pendidikan), pasal 31 (hak untuk bermain dan rekreasi), pasal 14 (hak kebebasan berpikir, berhatinurani dan beragama), pasal 5, 6, 13, 14 dan 15 (hak untuk pengembangan kepribadian—sosial dan psikologis), pasal 6 dan 7 (hak atas identitas, nama dan kebangsaan), pasal 24 (hak atas kesehatan dan pengembangan fisik), pasal 12 dan pasal 13 (hak untuk didengar) dan pasal 9, 10, dan 11 (hak untuk keluarga).

Secara demikian, berdasarkan bentuk-bentuknya, dapatlah dikualifikasi beberapa hak atas untuk tumbuh kembang (the right to development), yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak, yaitu:

1. Hak untuk memperoleh informasi (the rights to information); 2. Hak untuk memperoleh pendidikan (the rights to education); 3. Hak untuk bermain dan rekreasi (the rights to play and recreation);

4. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to participation in cultural activities);

5. Hak untuk kebebasan berpikir dan beragama (the rights to thought and religion);

6. Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights to personality development);

7. Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);

8. Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik (the rights to health and physical development);

9. Hak untuk didengar (pendapatnya) (the rights to be heard); 10. Hak untuk/atas keluarga (the rights to family).


(43)

34

4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)

Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of the child to express her/his views in all matters affecting that child).Mengenai hak untuk berpartisipasi (participation rights) dalam Konvensi Hak Anak diantaranya diatur dalam pasal 12, pasal 13 dan pasal 15.

Dalam pasal 12 Konvensi Hak Anak diatur bahwa negara peserta menjamin hak anak untuk menyatakan pendapat dan untuk memperoleh pertimbangan atas pendapatnya itu, dalam segala hal atau prosedur yang menyangkut diri sang anak.

Sementara itu dalam hal kebebasan berekspresi, Konvensi Hak Anak menjamin hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi, serta untuk mengekspresikan pandangan-pandangannya, kecuali jika hal ini akan melanggar hak-hak orang lain. Hak yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat ini diatur dalam pasal 13 Konvensi Hak Anak.

Dalam Konvensi Hak Anak juga diatur mengenai hak anak untuk berserikat. Hak anak untuk menjalin hubungan dengan orang lain serta untuk bergabung dalam atau membentuk perhimpunan, kecuali jika hal tersebut melanggar hak orang lain. Hak atas kebebasan berserikat ini diatur dalam pasal 15 Konvensi Hak Anak.

Dalam hal akses terhadap informasi, Konvensi Hak Anak menjamin agar anak memperoleh akses terhadap informasi, dan menjamin untuk melindungi anak-anak dari bahan-bahan informasi yang tidak sehat. Hak atas akses terhadap


(44)

informasi diatur dalam pasal 17 Konvensi Hak Anak, yang menjamin akses terhadap informasi dan bahan-bahan dari berbagai sumber nasional dan internasional, terutama yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, spiritual dan moral dan kesehatan fisik serta mentalnya. Oleh karena itu, peran dari media massa sangat penting dalam penyebaran informasi yang konsisten bagi implementasi hak-hak anak.

Selain hak-hak atas partisipasi sebagaimana disebut di atas, Konvensi Hak Anak menetapkan kewajiban negara untuk menyebarkan informasi mengenai Konvensi Hak Anak ini kepada anak-anak dan orang dewasa serta masyarakat luas.Dengan demikian, hak-hak anak sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Hak Anak haruslah disosialisasikan kepada anak-anak.Hal ini diatur dalam pasal 42 Konvensi Hak Anak.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disebutkan beberapa hak anak atas partisipasi di dalam Konvensi Hak Anak, yang terdiri atas:

1. Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya;

2. Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk berekspresi;

3. Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung;

4. Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat;


(45)

36

B.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Sebagai Acuan Perlindungan Hak Anak di Indonesia

Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Dengan diratifikasinya Konvensi tersebut maka secara hukum pemerintah Indonesia berkedudukan sebagai pemangku kewajiban yang berkewajiban untuk memenuhi, melindungi dan menghormati hak-hak anak. Sedangkan pemangku hak adalah setiap anak di Indonesia.Untuk menguatkan ratifikasi tersebut dalam upaya perlindungan anak di Indonesia, maka disahkanlah Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang selanjutnya menjadi panduan dan payung hukum dalam melakukan setiap kegiatan perlindungan anak.

Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena negara Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak anak yang merupakan hak asasi manusia seperti yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak.

Penjelasan UU No 23 Tahun 2002 menyebutkan meski Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak-hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.


(46)

Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, maupun spiritual, maupun sosial.Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan nantinya sebagai penerus bangsa.31

UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 merupakan upaya memberikan hak anak secara penuh dalam kehidupan sehari-hari. Upaya pengimplementasian UU Perlindungan Anak tersebut diwujudkan dalam penetapan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 yang isinya merupakan target-target pencapaian hak-hak anak berdasarkan pada upaya pencapaian MDGs (Millenium Development Goals) 2015 dan harus diwujudkan pula oleh Indonesia hingga tahun 2015, bahkan hingga dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga negara yang bertugas khusus memantau keefektifan upaya-upaya penyelenggaraan hak-hak anak di Indonesia.32

Dari segi isinya, UU No. 23/2002 terdiri atas norma hukum (legal norm)

tentang:33

a. Hak-hak anak;

b. Kewajiban dan tanggungjawab negara;

c. Bentuk-bentuk perlindungan yang dilakukan terhadap anak;

31

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), hal 24-25.

32

Abdur Rozaki dkk, Mengembangkan Gampong Peduli Hak Anak, (Yogyakarta: IRE Yogyakarta, 2009), hal 94.

33


(47)

38

d. Peran serta masyarakat;

e. Lembaga independen perlindungan anak, serta

f. Ketentuan sanksi hukum pidana dalam hal terjadi pelanggaran UU No. 23 Tahun 2002.

Prinsip perlindungan hak-hak anak tertuang pada pasal 2 UU No 23 Tahun 2002. Ada empat prinsip-prinsip dasar hak-hak anak, yaitu:

1. Tidak membeda-bedakan (Non-diskriminasi)

Artinya semua hak-hak anak harus dipenuhi kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.Tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah.

2. Prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak

Pengertian asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah, bahwa dalam suatu tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.34

3. Prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

Pengertian asas untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah bahwa hak-hak asasi yang mendasar bagi anak wajib dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.Artinya, pihak-pihak tersebut,

34


(48)

wajib mewujudkan dan tidak meniadakan hak-hak yang dimaksud (hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak berkembang).35

4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak

Pengertian asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah adanya penghormatan atas hak untuk mengambil keputusan, terutama terhadap hal yang berkaitan dengan kehidupannya.36

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 diatur hak dan kewajiban anak (Pasal 4 s/d 19). Penegasan hak anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 ini merupakan legalisasi hak-hak anak yang diserap dari Konvensi Hak Anak dan norma hukum nasional. Dengan demikian, pasal 4 s/d 19 UU No. 23/2002 menciptakan norma hukum

(legal norm) tentang apa yang menjadi hak-hak anak.37

Menurut UU No. 23 Tahun 2002, hak-hak anak meliputi:38

1. Hak hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

2. Hak atas nama dan identitas diri dan status kewarganegaraan; 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi;

4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh atau diasuh oleh pihak lain apabila karena sesuatu hal orang tua tidak mewujudkannya;

5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan jasmani dan rohani, jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial;

35

Ibid.

36

Ibid.

37

Muhammad Joni, Loc. Cit.

38


(49)

40

6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dan bagi yang cacat memperoleh pendidikan luar biasa;

7. Hak untuk didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi dan juga memberi informasi;

8. Hak berkreasi, istirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan yang sebaya dan yang cacat berhak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan memelihara taraf kesejahteraan sosial;

9. Selama dalam pengasuhan, anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: (a) diskriminasi; (b) eksploitasi, baik ekonomi atau seksual; (c) penelantaran; (d) kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; (e) ketidakadilan; dan (f) perlakuan salah lainnya terhadap pelaku hal-hal yang tersebut dengan hukuman;

10. Hak untuk diasuh orang tuanya sendiri, kecuali apabila terdapat aturan hukum yang meniadakannya;

11. Hak untuk memperoleh perlindungan dari: (a) penyalahgunaan dalam kegiatan politik; (b) pelibatan dalam sengketa bersenjata; (c) pelibatan dalam kekerasan sosial; (d) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan (e) pelibatan dalam peperangan;

12. Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau hukuman penjara hanya dapat dilakukan sesuai hukum dan itu merupakan upaya terakhir;


(50)

13. Anak yang dirampas kebebasannya, berhak: (a) mendapat perlakuan yang manusiawi dan penempatannya dipisah dari orang tua; (b) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dari setiap tahapan hukum; (c) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak;

14. Anak yang menjadi korban, berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Adapun kewajiban anak tertuang di dalam ketentuan pasal 19 UU Perlindungan Anak, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menghormati orang tua, wali dan guru;

2. Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman; 3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara;

4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera (Pasal 3 UU No. 23 Tahun 2002).39

Peran dan tanggung jawab dalam pemberian perlindungan pada anak termasuk pemenuhan hak-hak anak serta mengarahkan anak untuk bisa memenuhi

39


(51)

42

kewajiban-kewajibannya supaya bisa menjadi generasi penerus yang berkualitas pada hakekatnya ada di tangan keluarga, masyarakat dan negara/pemerintah.

Didalam pelaksanaan upaya kesejahteraan dan perlindungan anak ini keluarga dan orang tua memegang peranan yang amat penting karena tanggung jawab utama dalam upaya kesejahteraan dan perlindungan anak berada di tangan mereka.

Walaupun fakta menunjukkan bahwa belum semua anak diasuh oleh keluarga dan orang tua dengan baik, masih ada anak yang belum memperoleh akta kelahiran, belum memperoleh kesehatan yang optimal, masih banyak anak yang berada dalam pengungsian, situasi konflik, di daerah bencana alam, masih ada anak yang dieksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual, sehingga disini peran keluarga dan masyarakat di dalam memberikan perlindungan pada anak sangat penting.

Peran keluarga dan orang tua dalam penyelenggaraan perlindungan anak adalah wajib dan orang tua/keluarga bertanggung jawab terhadap pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan anak dalam kondisi apapun, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan bakat dan minatnya, mencegah terjadinya perkawinan usia dini. Peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak baik itu dilakukan oleh masyarakat secara perorangan, Lembaga Perlindungan Anak, Lembaga Sosial Kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat maupun lembaga keagamaan serta mass media, mereka ini berkewajiban untuk berperan serta dalam memfasilitasi serta mengadvokasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan dan perlindungan anak. Sedangkan


(52)

pemerintah/negara berkewajiban untuk memberikan dukungan/fasilitasi sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan kesejahteraan dan perlindungan anak, misalnya penyediaan sekolah, lapangan bermain, lapangan olah raga, rumah ibadah, tempat rekreasi dan lain-lain. Pemerintah juga berkewajiban untuk menjamin terlaksananya kesejahteraan dan perlindungan anak yang dilakukan oleh orang tua, wali dan orang lain yang secara hukum berkewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak-hak anak.

C.Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak Anak

Sebuah catatan yang penting untuk diingat, anak-anak baru diakui memiliki hak asasi setelah sekian banyak anak-anak menjadi korban dari ketidakpedulian orang dewasa. Pengakuannya pun tidak terjadi serta merta pada saat korban berjatuhan, tetapi melalui sebuah proses perjuangan panjang dan tanpa henti.

Seperti yang telah dikemukakan di awal, perhatian serius secara internasional terhadap kehidupan anak-anak baru diberikan pada tahun 1919, setelah Perang Dunia I berakhir.Dikarenakan perang telah membuat anak-anak menderita kelaparan dan terserang penyakit, seorang aktivis perempuan bernama Eglantyne Jebbmengarahkan mata dunia untuk melihat situasi anak-anak tersebut. Dia menggalang dana dari seluruh dunia untuk membantu anak-anak. Tindakannya inilah yang mengawali gerakan kemanusiaan internasional yang secara khusus memberi perhatian kepada kehidupan anak-anak.


(53)

44

Pada tahun 1923, Mrs. Eglantyne Jebb membuat 10 pernyataan hak-hak anak dan mengubah gerakannya menjadi perjuangan hak-hak anak:40

1. Bermain;

2. Mendapatkan nama sebagai identitas; 3. Mendapatkan makanan;

4. Mendapatkan kewarganegaraan sebagai status kebangsaan; 5. Mendapatkan persamaan;

6. Mendapatkan pendidikan; 7. Mendapatkan perlindungan; 8. Mendapatkan sarana rekreasi; 9. Mendapatkan akses kesehatan;

10. Mendapatkan kesempatan berperan serta dalam pembangunan.

Tidak lagi sekedar berdasarkan kemanusiaan tetapi juga Hak Asasi.Pada tahun 1924, pernyataan ini diadopsi dan disahkan sebagai pernyataan Hak-hak Anak oleh Liga Bangsa-Bangsa.Sementara itu, pada tahun 1939-1945, Perang Dunia II berlangsung dan anak-anak kembali menjadi salah satu korbannya.

Pada tahun 1948, Perserikatan Bangsa Bangsa mengumumkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang di dalamnya mencantumkan hak-hak anak.Pada tahun 1959, tepatnya tanggal 1 Juni PBB mengumumkan pernyataan Hak-hak Anak dan ditetapkan sebagai hari anak sedunia.

Kemudian, pada tahun 1979 diputuskan sebagai Tahun Anak dan ditetapkan 20 November sebagai hari anak internasional.Setelah sepuluh tahun

40

M. Jodi Santoso, “Rausya dan Agenda Perlindungan Anak”, sebagaimana dimuat dala diakses pada tanggal 20 Maret 2014.


(54)

kemudian, pada tahun 1989, Konvensi Hak-hak Anak disahkan oleh PBB.Inilah pengakuan khusus secara internasional atas hak asasi yang dimiliki anak-anak.

Mengapa perwujudan hak-hak anak tersebut menjadi penting? Anak adalah amanah Allah SWT yang harus dilindungi agar tercapai masa pertumbuhan dan perkembangannya menjadi seorang manusia dewasa sebagai keberlanjutan masa depan bangsa. Anak bukan orang dewasa ukuran kecil, tetapi seorang manusia yang tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan sampai berumur 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan.41

Mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap anak, dan diwujudkannya perlindungan bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age, yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi anak pada hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”. Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan mengupayakan perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya.42

41

Abdur Rozaki dkk, Op. Cit., hal 93.

42

Rusmilawati Windari, “Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang di Indonesia dan Beijing Rules”, sebagaimana dimuat dalam


(55)

46

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif.Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya.43

Perdebatan mengenai perlakuan khusus terhadap anak-anak biasanya bersandar pada dua faktor utama: pertama, kerentanan khusus anak-anak, dan kedua, kenyataan bahwa mereka adalah generasi baru, dan harus dihargai karena mereka melambangkan masa depan.

Sekarang, telah dibentuk sangat banyak sekali tim yang ditugaskan untuk memperhatikan masalah anak dan merealisasikan perlindungan hak-hak anak yang tertuang di dalam Konvensi Hak-hak Anak. Hal ini menunjukkan telah tumbuh dan tengah berkembangnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak anak ini. Kesadaran akan pentingnya perlindungan terhadap anak ini perlu dilestarikan demi kehidupan bersama penuh sukacita dan kasih sayang di antara sesama makhluk ciptaan Tuhan.

44

D.Instrumen Hukum Internasional Tentang Perlindungan Hak-Hak Anak Traktat internasional utama yang mengatur hak-hak anak adalah Konvensi mengenai Hak Anak tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child (CRC)). Sebelum lahirnya Konvensi Hak Anak, masyarakat internasional telah memiliki

43

Ibid.

44

Jenny Kuper, International Law Concerning Child Civilians in Armed Conflict, (New York: Clarendon Press Oxford, 1997), hal 15.


(56)

dokumen hak anak yang merupakan bahan pertimbangan dilahirkannya Konvensi Hak Anak, di antaranya:45

1. Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip Sosial dan Hukum menyangkut Perlindungan dan Kesejahteraan Anak;

2. Aturan Standar Minimum PBB bagi Penyelenggara Peradilan Anak (“Ketentuan Beijing”) (Resolusi Sidang Umum, 29 November 1985);

3. Deklarasi Perlindungan bagi Wanita dan Anak dalam Keadaan Darurat dan Konflik Bersenjata (Resolusi Sidang Umum, 14 Desember 1974);

4. Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924;

5. Deklarasi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Sidang Umum tanggal 20 November 1959.

Selain Konvensi Hak Anak, ada beberapa instrumen internasional lainnya yang materi hukumnya berkenaan tentang perlindungan hak anak. Intrumen-instrumen tersebut dijadikan dasar perlindungan hak-hak anak, yaitu:46

1. Protokol Opsional pada CRC mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak tahun 2000 (Optional Protocol on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography)

2. Protokol Opsional pada CRC mengenai Keterlibatan Anak-Anak-anak dalam Konflik Bersenjata tahun 2000 (Optional Protocol to the Convention on the Involvement of Children in Armed Conflicts).

45

Muhammad Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Op. Cit., hal 99.

46


(57)

48

3. Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita tahun 1999 (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women)

4. Konvensi Usia Minimum (Konvensi ILO No. 138 tahun 1973) (Minimum Age Convention)

5. Konvensi mengenai Bentuk Terburuk Buruh Anak (Konvensi ILO No. 182 tahun 1999 (Worst Forms of Child Labor Convention)

6. Konvensi Hague mengenai Perlindungan Anak-anak dan Kerja sama dalam rangka Adopsi Antar Negara tahun 1993 (Hague Convention on the Protection of Children and Cooperation in Respect of Inter-Country Adoption)

7. Konvensi Hague mengenai Yurisdiksi, Hukum yang Berlaku, Pengakuan, Penegakan dan Kerja sama terkait Tanggung jawab dan Tindakan Orang Tua bagi Perlindungan Anak tahun 1996 (Hague Convention on the Jurisdiction, Applicable Law, Recognition, Enforcement and Co-Operation in Respect of Parental Responsibility and Measures for the Protection of Children)

8. Konvensi Hague mengenai Aspek Sipil dari Penculikan Anak Internasional tahun 1980 (Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction)\

9. Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, khususnya Wanita dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Kejahatan Terorganisasi Transnasional tahun 2000 (Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially


(58)

Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime)

10. Melengkapi Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisasi Transnasional tahun 2001 (Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime)

11. Draf Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan dan Pengasuhan Alternatif Anak-anak Tanpa Pengasuhan Orang Tua (United Nations Draft Guide-lines for the Protection and Alternate Care of Chidren Without Parental Care)

12. Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perlindungan Remaja yang Kebebasannya Dirampas tahun 1990 (United Nations Rules on the Protection of Juveniles Deprived of Liberty)

13. Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pencegahan Kenakalan Remaja tahun 1990 (United Nations Guidelines on the Prevention of Delinquency)

14. Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Administrasi Keadilan Remaja tahun 1985 (United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice


(59)

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP BENCANA DAN MANAJEMEN PENANGGULANGANNYA

A.Pengertian dan Jenis-Jenis Bencana

Istilah bencana dapat diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan mara bahaya.47Bencana merupakan kejadian yang luar biasa, diluar kemampuan normal seseorang menghadapinya, menakutkan dan juga mengancam keselamatan jiwa.Akibatnya, berbagai bangunan penting hancur, korban jiwa berjatuhan dan mempengaruhi kondisi psikologis dari mereka yang terkena dampak bencana.48

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian. Menurut ISDR/International Strategy for Disaster Reduction (2004), bencana merupakan suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas

47

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal 100.

48

Nani Nurrachman, Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan Trauma Akibat Bencana Alam, (Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi UI, 2007), hal 3.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

A.K., Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, Armico, Bandung, 1985.

Buck, Trevor, International Child Law,Cavendish Publishing Limited, London, 2005.

Coppola, Damon P., Introduction to International Disaster Management, Butterworth-Heinemann, Burlington-USA, 2007.

Delaney,Stephanie, Melindungi Anak-Anak dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual dalam Situasi Bencana & Gawat Darurat, ECPAT Internasional, Medan, 2006.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2007.

Pasaribu, J E Gunarso, Aspek Hukum Internasional dalam Perlindungan Hak-Hak Anak, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011.

Harper, Erica, International Law and Standard Applicable in Natural Disaster Situation = Perlindungan Hak-Hak Warga Sipil dalam Situasi Bencana, Grasindo, Jakarta, 2009.

Joni, Muhammad dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti , Bandung, 1999.


(2)

Kodoatie, Robert J. dan Roestam Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, Yarsif Watampone, Jakarta, 2006.

Kuper, Jenny, International Law Concerning Child Civilians in Armed Conflict, Clarendon Press Oxford, New York, 1997.

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Mauna, Boer, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005.

Nurrachman, Nani, Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan Trauma Akibat Bencana Alam, LPSP3 Fakultas Psikologi UI, Jakarta, 2007.

Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Ramli, Soehatman, Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Management), PT Dian Rakyat, Jakarta, 2010.

Rozaki, Abdur, dkk, Mengembangkan Gampong Peduli Hak Anak, IRE Yogyakarta, Yogyakarta, 2009.

Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2005.

Sudibyakto, Manajemen Bencana di Indonesia Ke Mana?, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011.

Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2005.


(3)

Susanto, A. B., Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, PT Aksara Grafika Pratama, Jakarta, 2006.

Susilowati, Ima, dkk, Pengertian Konvensi Hak Anak, UNICEF, Jakarta, 2003.

UNICEF, Pengembangan Hak Anak –Pedoman Pelatihan tentang Konvensi Hak Anak, Jakarta, 1996.

Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, 2009.

2. Internet

“Bencana Alam

2014.

“E-Newsletter Wahana Visi Indonesia

diakses pada 12 Juni 2014.

“FAQS: UNICEF IN EMERGENCIES”

“Hari Pengurangan Bencana Alam Internasional Mei 2014.


(4)

“ISDR Informs, Edisi 2, 2006” pada 10 Mei 2014.

“KPAI Selenggarakan Pertemuan Koordinasi “Perlindungan Anak dalam Situasi Bencana””, 2014.

“Karakteristik dan Manajemen Bencana April 2014.

“Melindungi Anak dalam Situasi Emergency(Pengalaman PKPA dalam respon

tanggap darurat di Indonesia)

diakses pada 7 Juni 2014.

“Mengenal Bencana”,

Muhammad Joni, Hak-Hak Anak dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2008, hal

Natalia Yeti Puspita, Legal Analysis of Human Rights Protection in Times of Natural Disaster and Its Implementation in Indonesia, Working Paper Series No. 013, The Asian Law Institute, 2010, hal 3,

“Penanganan Anak dalam Masa Tanggap Darurat Bencana Alam: Tinjauan Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak”, http:// bajank-welfare.blogspot.com/2012/04/penanganan-anak-dalam-masa-tanggap.html, diakses pada tanggal 29 Mei 2014.


(5)

“Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang di Indonesia dan Beijing Rules”,

“Perlindungan Anak dalam Situasi Bencana 2014.

“Perlindungan Anak dalam Situasi Bencana (Kajian Perumusan Pedoman Praktis

Tanggap Darurat Berperspektif Anak)

“Rausya dan Agenda Perlindungan Anak” 20 Maret 2014.

“REKOMENDASI SYMPOSIUM INTERNASIONAL “Pembahasan Aspek Hukum Internasional dalam Penanganan Bencana” (Dalam rangka memberikan input RUU PB) Jakarta, 11 April 2006”, http://www.mpbi. org/files/pustaka/rekomendasi%20Simposium%20Internasional_%20final. pdf diakses pada tanggal 20 Mei 2014.

“Ten-year review of the Yokohama Strategy and Plan of Action”,

7 Mei 2014.

“Topan Haiyan menghancurkan Filipina, bantuan besar-besaran sedang

berlangsung”,

2014.

“UNICEF Annual Report 2013”,

Juni 2014.


(6)

“UNICEF appeals for $34 million for the children of the Philippines, as Yolanda

crisis deepens

diakses pada 12 Juni 2014.

UNICEF Indonesia, “Jumlah Anak Korban Topan Haiyan Mencapai 4 Juta, UNICEF mengirimkan Bantuan