BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gaya Manajemen Konflik - Hubungan Kompetensi Supervisi dengan Gaya Manajemen Konflik Perawat Supervisor Rumah Sakit Pemerintah di Banda Aceh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gaya Manajemen Konflik 2.1.1.

  Pengertian Manajemen Konflik.

  Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, system hukum, bangsa, suku agama, kepercayaan, aliran politik, budaya dan tujuan hidup. Perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Sehingga dapat dikatakan jika sejarah umat manusia merupakan sejarah konflik yang selalu terjadi di dunia dalam sistem sosial negara, bangsa, organisasi, perusahaan dan bahkan dalam sistem keluarga dan pertemanan yang terjadi dimasa lalu, sekarang dan pasti akan terjadi di masa yang akan datang (Wirawan, 2010).

  Konflik adalah perselisihan internal atau ekternal akibat adanya perbedaan gagasan, nilai atau perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston, 2010). Menurut Swanburg (2000), konflik berhubungan dengan perasaan yang diabaikan, dipandang tidak sebagai mana adanya, tidak dihargai dan beban yang berlebihan. Perasaan tersebut menimbulkan titik kemarahan yang berakibat prilaku jahat seperti berpikir, berdebat atau berkelahi. Konflik dapat terjadi akibat prilaku menentang, stres, ruang kerja yang tidak sesuai, batasan kewenangan perawat, keyakinan, nilai dan sasaran.

  Handoko (2009) mengatakan konflik biasanya timbul dalam organisasi sebagai hasil adanya masalah-masalah komunikasi, hubungan pribadi atau struktur pertentangan atau antagonistik antara dua atau lebih pihak. Karakteristik- karakteristik kepribadian tertentu seperti otoriter atau dogmatis juga dapat menimbulkan konflik.

  Dalam penelitian Hariyono, Suryani, dan Wulandari, (2009), konflik yang terjadi di rumah sakit disebabkan oleh karena adanya perbedaan persepsi, perbedaan cara merealisasikan tujuan, persaingan yang kurang sehat di antara perawat, adanya permasalahan pribadi yang terbawa saat bekerja dan perasaan sedih saat bertengkar dengan sesama perawat yang muncul saat perawat bekerja di rumah sakit.

  Konflik dapat dikelola dengan baik apabila diketahui penyebab utamanya sehingga dapat dilakukan identifikasi orientasi pengelolaan konflik primernya.

  Menurut Lynne Irvine (1998), manajemen konflik merupakan strategi yang memperkerjakan organisasi dan individu untuk mengidentifikasi dan mengelola perbedaan, sehingga mengurangi beban dan pengeluaran dari konflik yang tidak terkelola, sementara manfaat konflik sebagai sumber inovasi dan perbaikan.

  Selain itu, manajemen konflik dapat juga dikatakan sebagai proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar manghasilkan resolusi yang diinginkan (Wirawan, 2010).

  Gaya manajemen konflik adalah strategi-strategi atau cara-cara yang digunakan oleh setiap individu untuk menghadapi situasi konflik. Strategi-strategi ini terdiri dari gaya akomodator, kolaborator, kompromiser, penghindar, dan Karena itu, individu perlu mengembangkan kemampuan menggunakan setiap gaya sesuai dengan situasi. Ada gaya yang tepat dan adaptif bagi seseorang, ada yang tidak, gaya yang tepat dan adaptif itu cocok dengan kepribadian orang tersebut. Kita dapat mengidentifikasi situasi mana yang cocok untuk gaya yang mana, dan situasi yang tidak cocok, serta menilai kekuatan dan kelemahan dari gaya manajemen konflik kita sendiri.

  Dalam penelitian Lamia (2011) ditemuka adanya hubungan antara jumlah penggunaan gaya manajemen konflik dengan efektifitas penanganan konflik sepenuhnya dimediasi oleh komponen karakteristik individu yaitu kognitif, cara mengatasi konflik dan kontek kesadaran. Sedangkan komponen rasa empati dan keterampilan politik tidak menunjukkan adanya hubungan (Lamia, 2011).

2.1.2. Tujuan Manajemen Konflik

  Tujuan terbaik menyelesaikan konflik adalah menciptakan penyelesaian menang-menang (win-win solution) untuk semua pihak terkait. Tujuan itu tidak selalu tercapai dalam setiap situasi dan sering kali tujuan manajer adalah mengelola konflik dengan cara yang menggurangi perbedaan persepsi antara kedua pihak yang terlibat. Seorang pemimpin bertugas mengenali manajemen konflik atau strategi penyelesaian masalah yang paling tepat untuk setiap situasi.

  Pilihan strategi yang paling tepat bergantung pada banyak variabel, misalnya situasi itu sendiri, urgrnsi keputusan, kekuatan dan status pemain, pentingnya isu dan kedewasaan orang yan terlibat dalam konflik (Marquis & Huston, 2010).

  Menurut Wirawan (2010), tujuan manajemen konflik yaitu untuk mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri, misi dan tujuan organisasi, memahami orang lain yang membantu kita dan memahami perbedaan antara diri kita dan orang lain dalam keberagaman, meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam usaha manajemen konflik. Manajemen konflik dapat meningkatkan keputusan melalui pertimbangan karena dalam pemecahan konflik akan memfasilitasi terciptanya alternatif yang pada akhirnya membantu menentukan keputusan yang bijak. Peran serta, pemahaman bersama, dan kerja sama adalah salah satu kunci yang bisa dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan. Seluruh unit-unit yang ada saling mendukung untuk mencapai tujuan tertentu. Manajemen konflik juga dapat menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik. Organisasi dalam perjalanannya akan selalu menemui konflik yang harus dihadapi. Konflik yang ada sebelumnya menjadi pembelajaran bagi sebuah organisasi untuk kedepannya menciptakan prosedur untuk menyelesaikan konflik berikutnya.

2.1.3. Jenis-Jenis Gaya Manajemen Konflik

  Gaya manajemen konflik adalah suatu metode atau langkah-langkah yang dipilih dan digunakan oleh pimpinan atau manajer dalam mengelola dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam sebuah organisasi. Para ahli membagi gaya manajemen konflik menjadi 5 jenis. R. R. Blake dan J. Mouton (1964) mengemukakan gaya manajemen konflik dalam teori Grid yang terdiri dari menarik diri (withdrawal) dan mengakomodasi (smoothing). Gaya manajemen konflik menurut Kenneth W. Thomas dan Ralp H. Kilmann (1974) yaitu kompetisi (competing), kolaborasi (collaborating), kompromi (compromi), kompromi (compromi), menghindar (avoiding) dan mengakomodasi (accomodating). Sedangkan gaya manajemen konflik menurut teori Rahim yakni dominasi (dominating), integrasi (integrating), menurut (oblinging), menghindar (avoiding) dan kompromi (compromising) (Wirawan, 2010).

  2.1.4. Gaya manajemen konflik menurut Teori Rahim.

  M. A. Rahim (1983) mengembangkan model gaya konflik yang tidak jauh berbeda dengan model yang dikemukakan oleh Thomas dan Kilman (1974).

  Klasifikasi gaya manajemen konflik Rahim disusun berdasarkan 2 dimensi, yaitu memperhatikan orang lain (concern for other) dan memperhatikan diri sendiri (concern for Self). Berdasarkan tinggi rendahnya kedua dimensi tersebut, Rahim mengelompokkan 5 jenis gaya manajemen konflik, yakni dominasi (dominating), integrasi (integrating), menurut (oblinging), menghindar (avoiding) dan kompromi (compromising) (Rahim , 2001).

  Menurut Handoko (2009), dominasi dan penekanan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu kekerasan yang bersifat penekanan otokratik, penenangan yang diplomatis, penghindaran untuk mengambil posisi yang tegas dan aturan mayoritas untuk menyelesaikan konflik antar kelompok dengan melakukan pemungutan suara (voting) melalui prosedur yang adil. Integrasi (integrating) kesediaan untuk saling bertukar informasi secara terbuka, untuk mengatasi perbedaan secara konstruktif dan untuk melakukan segala upaya untuk mengejar solusi yang akan diterima bersama.

  Marquis dan Huston (2010) mendefinisikan secara berbeda gaya manajemen konflik kompromi dan gaya manajemen konflik menghindar.

  Kompromi diartikan sebagai penyelesaian konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bentuk-bentuk kompromi meliputi perpisahan pihak-pihak yang bertentangan sampai mencapai persetujuan, arbitrasi (perwasitan) dimana pihak ketiga diminta memberi pendapat, kembali ke peraturan-peraturan yang berlaku dan penyuapan dimana salah satu pihak menerima kompensasi dalam pertukaran untuk mencapai penyelesaian konflik. Sedangkan pendekatan menghindari dilakukan dengan cara memilih untuk tidak mengakui adanya masalah dan membiarkan masalah selesai dengan sendirinya.

  Gaya manajemen konflik yang terakhir menurut Rahim adalah gaya manajemen konflik menurut (oblinging). Dalam gaya manajemen konflik ini, pihak yang terlibat konflik mengombinasikan perhatian yang tinggi terhadap lawan konfliknya dengan perhatiannya yang rendah terhadap dirinya sendiri (Wirawan, 2010).

  Kerangka teori gaya manajemen konflik disusun berdasarkan 2 dimensi. Perhatian para manajer pada bawahannya dibedakan oleh sumbu vertikal dan sumbu horizontal. Berdasarkan tinggi rendahnya dimensi Rahim mengembangkan lima jenis gaya manajemen konflik tersebut. Secara sistematis dapat dilihat pada gambar 2.1.

  Mem- Dominasi perha- Integrasi tikan diri

  Kompromi sendiri Menghindar Menurut

  Memperhatikan orang lain

Gambar 2.1. Model Kerangka Gaya Manajemen Konflik Menurut Teori Rahim

  Tahun 1983

  2.1.5. Aplikasi Gaya Manajemen Konflik Dalam Keperawatan Dalam penelitian Al-Hamdan (2011) ditemukan bahwa manajer perawat di

  Oman menggunakan semua dari lima gaya manajemen konflik, dengan gaya

  

integrating sebagai pilihan pertama diikuti compromising, obliging, dominating

  dan avoiding. Hasil ini sama dengan penelitian Iglesias & Vallejo (2012), dimana gaya manajemen konflik yang paling umum digunakan oleh perawat secara keseluruhan untuk menyelesaikan konflik di tempat kerja adalah compromising. Namun ada perbedaan gaya manajemen konflik antara perawat yang bekerja di akademis dan klinis. Perawat yang bekerja di akademis atau pendidikan cenderung menggunakan gaya acomodating sebagai pilihan utama dalam

  Strategi yang paling umum digunakan oleh para perawat, asisten kepala perawat dan kepala perawat rumah sakit pendidikan di Taiwan timur ketika mengelola konflik adalah gaya Integrating. Sebaliknya, gaya paling sedikit digunakan adalah mendominasi (dominating) (Su, 2006). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan penggunaan gaya manajemen konflik dalam pelayanan keperawatan yang pernah diteliti sebelumnya diberbagai pelayanan keperawatan.

  Secara ringkas perbedaan gaya manajemen konflik tersebut tergambar pada tabel 2.1 berikut ini : Tabel 2.1.

   Riset tentang Penggunaan Gaya Manajemen Konflik Rangking (1988, 1991)

Urutan Woodtli Cavanagh Cavanagh Cavanagh Eason Kunaviktikul Hendel

2 Collaborating Compromising Accommodating Compromising Accommodating Compromising Collaboratin

1 Compromising Avoiding Avoiding Avoiding Avoiding Accommodating Compromising

3 Avoiding Accommodating Compromising Accommodating Compromising Avoiding Competing

4 Accommodating Collaborating Collaborating Collaborating Collaborating Collaborating Avoiding

5 Competing Competing Competing Competing Competing Competing Accommodating

167 deans 145 staff nurse 82 managers (1987) (1991) Staff (1991) (1999) et al. (2000) et al. (2005) 64 female 217 registered 354 registered 60 nurse Sample nurse nurse nurse managers

  (Al-Hamdan, 2012)

  2.1.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya manajemen konflik Ada berbagai faktor yang mempengaruhi gaya manajemen konflik. Asumsi seseorang mengenai konflik akan mempengaruhi pola perilaku individu dalam menghadapi situasi konflik. Begitu juga dengan persepsi mengenai penyebab koflik, ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya, komunikasi dalam interaksi konflik, kekuasaan, pengalaman mereka dalam menghadapi konflik. Selain itu, sumber yang dimiliki seseorang, Jenis kelamin, kecerdasan emosional dan kepribadian juga berpengaruh serta budaya organisasi, sistem sosial dan keterampilan berkomunikasi (Wirawan, 2010).

2.2. Konsep Dasar Kompetensi Perawat Supervisor 2.2.1.

  Pengertian Supervisi dalam Keperawatan Supervisi adalah suatu proses memfasilitasi sumber-sumber yang

  

diperlukan staf untuk menyelesaikan tugas-tugasnya (Swansburg, 2000). Sedangkan

menurut Kron (1997), Supervisi adalah suatu kegiatan pembinaan dengan menerapkan

prinsip mengajar, mengarahkan, mengobservasi dan mengevaluasi secara terus menerus

pada setiap perawat dengan sabar, adil serta bijaksana sehingga setiap perawat dapat

memberikan asuhan keperawatan dengan baik, terampil, aman, cepat dan tepat secara

menyeluruh sesuai kemampuan dan keterbatasan dari perawat.

  Dalam bidang keperawatan supervisi mempunyai pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi segala bantuan dari pemimpin/penanggung jawab kepada perawat yang ditujukan untuk perkembangan para perawat dan staf lainnya dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan kegiatan supervisi semacam ini merupakan dorongan bimbingan dan kesempatan bagi pertumbuhan dan perkembangan keahlian dan kecakapan para perawat (Suyanto, 2008).

  Supervisi keperawatan merupakan suatu proses pemberian sumber-sumber yang dibutuhkan perawat untuk menyelesaiakan tugas dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dengan supervisi memungkinkan seorang manajer keperawatan dapat menemukan berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan asuahan keperawatan di ruang yang bersangkutan melalui analisis secara komprehensif bersama-sama dengan anggota perawat secara efektif dan efesien. Melalui kegiatan supervisi seharusnya kualitas dan mutu pelayanan keperawatan menjadi fokus dan menjadi tujuan utama, bukan malah

  Materi supervisi atau pengawasan disesuaikan dengan uraian tugas dari masing-masing staf perawat pelaksana yang disupervisi terkait dengan kemampuan asuhan keperawatan yang dilaksanakan. Supervisi keperawatan dilaksanakan oleh personil atau bagian yang bertanggung jawab antara lain Kepala Ruangan, Pengawas Perawatan (supervisor) dan Kepala Bidang Keperawatan (Suyanto, 2008).

  Ada beberapa cara para ahli membagi model supervisi keperawatan. Supratman dan Sudaryanto (2008) membahas tentang model akademik dan model experiental yang berhubungan dengan konflik. Menurut Borders dan Brown (2005), ada dua model utama supervisi, yakni model diskriminasi (discrimination

  

model ) dan model pengembangan. Model diskriminasi dapat dilihat dan diajarkan

pada tingkatan sederhana atau komplek, tergantung pada kesiapan supervisor.

  Model pengembangan menyediakan pemandangan yang melapaui pertumbuhan supervisi, sebagai lawan terhadap penerapan teori yang lebih spesifik.

  Metode supervisi tidak banyak digunakan dalam supervisi saja, melainkan metode dari bidang lain yang diadaptasikan dan diterapkan pada supervisi sehingga membuatnya menjadi berbeda dari konteks yang satu dengan konteks yang lain. Metodologi supervisi termasuk proses fasilitasi, seperti konsultasi, pendidikan, konseling, pelatihan dan evaluasi. Metode lain adalah penerapan dasar, seperti psikoterapeutik, prilaku, integrasi, system dan pengembangan supervisi (Falender & Shafranske, 2004). Tiap metode ini memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri-sendiri dan tiap metode adalah lebih baik untuk tujuan

  Jenis supervisi lainya adalah supervisi kelompok, yaitu suatu cara dalam melakukan supervisi perorangan. Dalam supervisi ini setiap anggota kelompok memberikan sesuatu yang saling melengkapi namun memiliki peluang pembelajaran yang berbeda. Dalam hal ini seorang supervisor dapat memimpin 2 orang yan disupervisi atau lebih dalam sebuah kelompoki. Keterampilan- keterampilan supervisor dalam mengarahkan dan menfasilitasi kelompok menjadi pengalaman-pengalaman saat supervisi kelompok (Borders dan Brown, 2005).

  2.2.2. Pengertian Perawat Supervisor Menurut Bactiar dan Suarly (2009), yang bertanggung jawab dalam melaksanakan supervisi adalah atasan yang memiliki kelebihan dalam organisasi.

  Idealnya kelebihan tersebut tidak hanya aspek status dan kedudukan, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan. Triwibowo (2013) menyebutkan ada 3 jabatan manajer perawat yang dapat menjadi perawat yang melakukan supervisi, yaitu kepala ruangan, pengawas perawatan (supervisor) dan kepala bidang keperawatan

  Supervisor adalah seorang pelaksana kegiatan supervisi dalam sebuah organisasi. Salah satu peran pentingnya adalah memberi dukungan kepada staf dalam bekerja. Sebuah penelitian di Negara Turki mencatat dukungan sosial dari supervisor pada pekerja dapat menurunkan kelelahan emosional dan berdampak pada peningkatan prestasi kerja individu sesuai tujuan. Namun dukungan supervisor tidak berdampak secara langsung pada personalitas pekerja melainkan dari hasil kinerja secara keseluruhan . Supervisor adalah manajer lini pertama yang bertanggung jawab langsung untuk mengawasi para pekerja. Supervisor adalah seorang manajer yang berinteraksi langsung dengan memberi perintah, dan menvevaluasi kinerja para pekerja. Manager ini mempunyai berbagai perbedaan sebutan gelar tergantung pada dimana mereka bekerja. Sebagai contoh adalah assistant supervisor for dan shift supervisor (Triwibowo, 2013).

  Menurut Suarli dan Bahtiar (2009), seorang supervisor keperawatan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari harus memiliki kemampuan dalam memberikan pengarahan dan petunjuk yang jelas. Sehingga setiap tujuan dapat dimengerti oleh staf dan pelaksana keperawatan. Seorang supervisor keperawatan harus dapat memberikan saran, nasehat dan bantuan kepada staf atau perawat pelaksana. Kemampuan lain yang diharapkan dimiliki perawat supervisor adalah kemampuan memberikan motivasi untuk meningkatkan semangat kerja staf dan pelaksana keperawatan, mampu memahami proses kelompok (dinamika kelompok), memberikan latihan dan bimbingan yang diperlukan oleh staf dan pelaksana keperawatan. Aktivitas terakhir yang dilakukan yaitu membuat penilaian terhadap penampilan kinerja perawat dan mengadakan pengawasan agar asuhan keperawatan yang diberikan lebih baik.

  2.2.3. Kompetensi Perawat Supervisor Kompetensi merupakan suatu karakteristik yang mendasar dari seseorang individu, yaitu penyebab yang terkait dengan acuan kriteria tentang kinerja yang yang saling berhubungan antara pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seorang individu dalam efektifitas organisasi (Slocum & Hellriegel, 2009). Dengan demikian kompetensi merupakan sejumlah karakteristik yang mendasari seseorang dan menunjukkan (indicate) cara-cara bertindak, berpikir, atau menggeneralisasikan situasi secara layak dalam jangka panjang.

  Kompetensi merupakan bagian dari kepribadian seseorang yang telah tertanam dan berlangsung lama dan dapat memprediksi perilaku dalam berbagai tugas dan situasi kerja. Kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja (performance). Kompetensi secara aktual memprediksi siapa yang mengerjakan sesuatu dengan baik atau buruk, sebagaimana diukur oleh kriteria spesifik atau standar. Level kompetensi seseorang terdiri dari dua bagian. Bagian yang dapat dilihat dan dikembangkan, disebut permukaan (surface) seperti pengetahuan dan keterampilan, dan bagian yang tidak dapat dilihat dan sulit dikembangkan disebut sebagai sentral atau inti kepribadian (core personality), seperti sifat-sifat, motif, sikap dan nilai-nilai (Spencer & Spencer, 1993).

  Ada perbedaan antara konsep kompetensi dengan kompeten yang dapat diukur. Dalam sebuah studi McConnell (2001) mengungkapkan bahwa kompeten mengacu pada sebuah kapasitas individu dalam menjalankan tanggungjawab kerja. sedangkan kompetensi berfocus pada sebuah kinerja actual seorang individu dalam sebuah situasi tertentu. Pencapaian kompeten tergantung dari domain kognitif, afektif dan psikomotor

  Menurut kriteria kinerja pekerjaan (job performance criterion) yang permulaan atau ambang (threshold competencies) dan kompetensi yang membedakan (differentiating competencies). Threshold competencies merupakan karakteristik esensial minimal (biasanya adalah pengetahuan dan keterampilan) yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat berfungsi efektif dalam pekerjaannya akan tetapi tidak membedakan kinerja pekerja yang superior dan kinerja pekerja yang biasa saja. Sedangkan kompetensi yang membedakan (differentiating

  

competencies) yaitu faktor-faktor yang membedakan antara pekerja yang memiliki

kinerja superior dan biasa-biasa saja (rata-rata) (Palan, 2008).

  Secara umum kompetensi utama dalam sebuah organisasi agar organisasi tersebut efektif terdiri dari kompetensi diri (self competency), komunikasi

  

(communication competency) , keberagaman (diversity competency), etika (ethics

competency) , lintas budaya (across culture competency), tim (team competency)

  dan perubahan (change competency) ( Slocum & Hellriegel, 2009).

  Pelaksanaan supervisi yang sukses diperlukan kompetensi yang yang baik. Menurut Bittel (1996) ada lima kompetensi supervisi yang harus dimiliki pelaksana supervisi meliputi kompetensi pengetahuan (knowledge competencies), kompetensi kewirausahaan (enterpreneurial competencies). Kompetensi intelektual (intelectual competencies), sosio-emotional competencies dan

  interpersonal competencies .

  Dalam penerapan supervisi keperawatan dapat diperlukan kompetensi dasar seorang supervisor agar supervisi dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Borders dan Leddick (1987) dalam Falender dan Shafranske (2004) sebuah kerangka kerja yang dapat disesuaikan dengan berbagai situasi untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi parameter dari kinerja supervisor. Daftar kompetensi supervior ini dibagi menjadi konseptual ketrampilan dan pengetahuan (conceptual skill and knowledge), ketrampilan intervensi langsung (direct

  

intervention skill ) dan ketrampilan yang berhubungan dengan individu/manusia

(human skill).

  Seorang supervisor keperawatan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari

harus memiliki kemampuan dalam memberikan pengarahan dan petunjuk yang jelas,

  sehingga dapat dimengerti oleh staf dan pelaksana keperawatan, memberikan saran, nasehat dan bantuan kepada staf dan pelaksanan keperawatan, memberikan motivasi untuk meningkatkan semangat kerja kepada staf dan pelaksanan keperawatan, mampu memahami proses kelompok (dinamika kelompok), memberikan latihan dan bimbingan yang diperlukan oleh staf dan pelaksana keperawatan, melakukan penilaian terhadap penampilan kinerja perawat, dan mengadakan pengawasan agar asuhan keperawatan yang diberikan lebih baik (Suyanto, 2008).

  Berdasarkan konsep kompetensi diatas dapat disimpulkan bahwa kompetensi supervisor perawat dapat diartikan sebagai karakteristik mendasar supervisor yang secara kausal berhubungan dengan efektivitas atau kinerja yang sangat baik. Untuk mencapai kompetensi tertentu, seorang supervisor perawat perlu memiliki sejumlah kapabilitas. Kapabilitas biasanya merupakan kombinasi dari dimensi sifat pribadi, ketrampilan dan pengetahuan perawat supervisor.

2.2.4. Ketrampilan dan Pengetahuan Konseptual (Conceptual Skill and

  Knowledge)

  Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Pengetahuan dibagi menjadi tingkatan tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi

  Notoatmodjo, 2007). Sedangkan

  ( ketrampilan menurut Conley (2004) diartikan sebagai kemampuan memahami masalah, kemampuan bekerja dalam berbagai situasi, kemampuan mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi, kemmpuan menyelesaikan masalah berdasarkan informasi yang ada, kemampuan memberi nilai lebih pada hasil pekerjaan, kemampuan membangun hubungan kerjasama dan kemampuan berkomunikasi untuk mengembangkan ide-ide yang dimiliki.

  Kompetensi pengetahuan adalah kemampuan pengetahuan yang merupakan pintu masuk seseorang untuk bekerja dengan baik. Seorang manager akan lebih sukses apabila dilandasi dengan ilmu pengetahuan yang cukup (Bittel, 1996). Berdasarkan kompetensi, seorang supervisor keperawatan harus mengetahui area yang akan disupervisi dan memiliki pengetahuan tentang metode supervisi (CAHM, 2008). Selain itu, s ebagai seorang perawat supervisor harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang teori keperawatan profesional, teknik, praktik dan prosedur; pengetahuan yang cukup tentang istilah medis, proses penyakit dan sistem tubuh, prosedur diagnostik klinis saat ini dan perawatannya, keterampilan dalam menerapkan pengetahuan, pengetahuan tentang peraturan umum negara dan peraturan mengatur keuangan, pengetahuan umum praktek asuhan keperawatan profesional dan prinsip-prinsip dikontinum keperawatan (Triwibowo, 2013).

  Menurut Borders dan leddick (1987) dalam Falender (2004), salah satu unsur kompetensi supervisor adalah pengetahuan tentang program manajemen/ supervisi. Sedangkan Swansburg (2000) menjelaskan manajemen dalam keperawatan adalah manajemen operasional dan manajemen asuhan keperawatan.

  Lingkup manajemen operasional dalam manajemen keperawatan yaitu: merencanakan, mengorganisir, mengarahkan dan mengawasi sumber daya manusia keperawatan, metode, fasilitas dan dana untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Selanjutnya Falender dan Shafranske (2004) menyebutkn bahwa perawat supervisor diharapkan mampu memahami dan menunjukkan kemampuan secara konseptual tentang teori manajemen dasar, model pengembangan program, teori pengambilan keputusan, teori pengembangan organisasi, tehnik penyelesaian konflik, gaya kepemimpinan, system informasi computer dan tehnik manajemen waktu.

  Berpedoman pada kompetensi supervisor yang dikemukakan oleh Borders dan Leddick (1987) dalam Falender dan Shafranske (2004), bahwa kompetensi perawat supervisor dapat dibagi kedalam konseptual ketrampilan dan pengetahuan dengan menilai ketrampilan umum, praktek konselor dalam supervisi, supervisi dalam pelatihan, dan program manajemen/supervisi.

  Ketrampilan intervensi langsung mencakup penilaian ketrampilan dasar dan program manajemen. Sedangkan ketrampilan yang berhubungan dengan individu/

  Para supervisor sebaiknya menggunakan keahlian dalam melakukan intervensi-intervensi yang bisa membuat mereka mendapatkan pengetahuan langsung tentang pekerjaannya. Salah satu keahlian adalah dalam membuat laporan mandiri (self report). Laporan mandiri dimaksudkan untuk membuat laporan secara verbal tentang apa yang terjadi dalam tahap-tahap supervise. Laporan pribadi ini memiliki sifat obyektif yang bisa melaporkan apa yang mereka amati atau mereka simpulkan berdasarkan kerangka rujukan mereka sendiri tentang diri klien, diri mereka sendiri dan tentang proses konseling (Borders & Leddick, 1987) .

  Ada beberapa jenis intervensi langsung yang dapat dilakukan perawat supervisor, seperti mengamati rekaman audio dan video terhadap sesi-sesi konseling. Disamping itu intervensi langsung juga dapat dilakukan dengan cara mengamati secra langsung tindakan yang dilakukan. Microtraining, role-play, dan modeling juga termasuk dalam kompetensi supervise ini (Falender & Shafranske, 2004).

  Borders dan Brown (2005) juga mengklasifikasikan isu-isu etik kedalam kompetensi supervisor. Sehingga seorang perawat supervisor diharapkan memiliki tanggungjawab etik pada perawat yang disupervisinya. Supervisor harus mempertimbangkan kesejahteraan dan mengambil tindakan apapun yang perlu untuk melindungi mereka. Jelasnya, para supervisor juga harus sadar/tahu semua isu-isu etik yang berkaitan dengan proses konseling dan yakin bahwa para konselor mematuhi standar-standar etika. Selain itu para klien harus menyetujui konseling sebagai bagian dari prosedur informed consent. Dengan kata lain supervisor bertanggungjawab untuk tindakan-tindakan yang dilakukan perawat pelaksana dan oleh karena itu dapat menjadi pegangan secara legal mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan tersebut.

  Kemampuan supervisor yang terakhir adalah harus mampu menunjukkan adanya pengetahuan serta pemahaman konseptual terhadap tanggung jawab atau makna akuntabilitas perawat supervisor, mengetahui sistem kredensial, standar perawatan dan etika praktek keperawatan. (Setiyowati, 2012),

  2.2.4. Ketrampilan Intervensi Langsung (Direct Intervention Skill) Intervensi lansung adalah salah satu model supervisi yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung individu yang disupervisi. Supervisi lansung dilakukan dengan cara terlibat langsung dalam kegiatan sehingga pengarahan dan pemberian petunjuk tidak dirasakan sebagai perintah (Swamburg, 2000).

  Ada dua hal yang perlu di ukur terhadap kompetensi ini meliputi ketrampilan umum dan program manajemen atau supervisi. Dalam ketrampilan secara umum, seorang supervisor diharapkan mampu menyiapkan struktur untuk sesi supervisi yang berkenaan dengan memulai tujuan supervisi, mengklasifikasikan tujuan dan arah supervisi, mengklasifikasikan peran diri sendiri dalam supervisi, dan menjelaskan prosedur yang harus diikuti dalam supervisi (Borders & Brown, 2005).

  Mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran perawat yang disupervisi dapat menerapkan teori konseling yang dikuasainya. Dalam pelaksanaan supervisi hendaknya menyiapkan feedback spesifik yang terkonsep terhadap keprihatinan klien, proses konseling dan terhadap personalisasi konseling. (Falender dan Shafranske, 2004). Maka dari itulah seorang supervisor harus memilki sifat edukatif dan suportif, bukan otoriter. Sebab, jika situasi kerja menunjukkan rasa aman dan nyaman, maka kegiatan supervisi akan terjadi lebih efektif (Suarli & Bahtiar, 2009).

  Kompetensi ini juga menilai bagaimana bernegosiasi terhadap keputusan bersama tentang kebutuhan pengalaman pembelajaran, kemampuan menggunakan alat bantu media pembelajaran yang merupakan suatu usaha dalam mengembangkan evaluasi kegiatan supervisi untuk mencapai tujuan supervisi.

  Menguji perawat pelaksana dengan tes dan membuat interprestasi hasil tes juga termasuk bagian evaluasi. Hal lainnya yaitu membantu proses rujukan pasien pada saat yang tepat dan memfasilitasi serta memantau adanya penelitian untuk menentukan efektifitas program, pelayanan dan tehnik.

  Berdasarkan program manajemen/supervisi, hal-hal yang diukur pada supervisor meliputi cara mengembangkan gambaran peran untuk semua posisi staf, mengkaji kebutuhan perawat yang disupervisi, merumuskan tujuan dan sasaran supervisi yang ingin dicapai, memantau kemajuan aktivitas program supervisi dan rasa tanggungjawaban staff. Dengan memanfaatkan tehnik membuat keputusan, mengaplikasikan tehnik penyelesain masalah, menjalankan dan mengkoordinasikan pelatihan pengembangan staf, mengimplimentasikan system informasi manajemen, yang dapat membuat program supervisi berjalan sesuai yang diharapkan.

  Selain itu tugas supervisor adalah menjalankan strategi grup manajemen dan membuat skedul tugas dengan mengembangkan batas waktu berdasarkan kebutuhan perawat yang disupervisi dan program, memelihara kesesuaian forms dan rekaman untuk membantu tugas supervisi, memonitor laporan perawat yang disupervisi dan rekaman ketrampilan, mendiagnosa masalah organisasi, menjalankan tehnik observasi sistemik, merencanakan dan merancang anggaran biaya, menjalankan pembelajaran follow-up dan aplikasi penelitian, menegakkan secara konsisten dan berkualitas kinerja serta praktek tindakan yang disetui oleh klien serta mampu mendelegasikan tanggung jawab (Falender dan Shafranske, 2004).

  2.2.5. Ketrampilan yang Berhubungan dengan Individu/Manusia (Human Skill) Ketrampilan kemanusiaan (Human Skills) adalah kemampuan untuk bekerja dengan memahami, dan memotivasi orang lain, baik sebagai individu ataupun kelompok. Manajer membutuhkan keterampilan ini agar dapat memperoleh partisipasi dan mengarahkan kelompoknya dalam pencapaian tujuan (Robert L. kaatz, 1979). Ketrampilan manusia terdiri dari ketrampilan umum, sifat dan mutu. Ketrampilan umum berkenaan dengan kemampuan seorang supervisor menjadi pengajar, konselor, konsultan dan evaluator. Kompetensi ini juga menggambarka pola yang berhubungan dengan hubungan interpersonal, mampu empati, konkrit, respek, harmoni, tulus dan siap siaga. Hal ini ditempuh dengan cara menjalin hubungan terpeutik bersama orang yang disupervisi (Falender dan Shafranske, 2004).

  Lynch (2008) menjelaskan bahwa supervisor klinik yang baik atau efektif harus memiliki ketrampilan interpersonal. Contoh ketrampilan interpersonal yang baik adalah bersifat terbuka, ramah, hangat, insight full, refleksi diri, dan respek pada perubahan atau pertanyaan orang lain tanpa melihat sebagai kritikan. Dalam penelitian Mataiti (2008), mengklasifikasikan keterampilan hubungan interpersonal bermakna bahwa seorang supervisor memiliki wawasan ilmu dan kemampuan dalam membina/menjalin hubungan dengan orang lain. Karakteristik ini mencakup pengetahuan khusus tentang perilaku manusia. Lebih lanjut dibahas bahwa supervisor merupakan seorang komunikator yang efektif, supervisor dapat berkomunikasi dengan singkat dan jelas, mendapat hal-hal yang baik selama berinteraksi dengan berbagai orang, dan supervisor dapat menggunakan teknik yang tepat untuk mendukung dan memfasilitasi bawahan yang disupervisi untuk melakukan perubahan.

  Ada kekuatan dan kelemahan supervisi yang harus diidentifikasi. Disamping itu menggali persepsi dan perasaan orang yang disupervisi dilakukan selama sesi konsultasi. Supervisor dapat menggunakan keahlian konfrontasi dalam menhadapi staf yang tidak konsisten. Mencari solusi, tehnik dan respon untuk alternative baru, memperagakan ketrampilan dalm aplikasi tehnik konseling.

  Membantu perawat yang disupervisi menyusun pola supervisi sendiri. Melakukan yang sesuai. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan supervisor mengharapkan munculnya model prilaku yang sesuai dan menunjukkan penerapan etika atau standar profesional (Borders dan Leddick, 1987).

  Kompetensi ketrampilan manusia ini juga mengukur sifat dan mutu yang meliputi komitmen terhadap peran supervisor, kenyamanan dan kewenangan yang melekat dalam peran supervisor. supervisor harus memiliki rasa humor yang tinggi. Kemudian dapat mendorong, optimis dan motivasional berharap perawat yang disupervisi konsekwen dengan tindakan mereka, sensitif terhadap perbedaan setiap individu. Seorang supervisor harus peka terhadap kebutuhan perawat, berkomitmen mempengaruhi ketrampilan konseling sehingga dapat mengakui baha tujuan akhir dari pengawasan adalah membantu perawat yang disupervisi.

  (Falender dan Shafranske, 2004).

  Mempertahankan komunikasi terbuka merupakan kompetensi lain yang diharapkan disamping memantau kemampuan yang disupervisi untuk mengidentifikasi tanda kemungkinan munculnya kelelahan kerja, mengenali batas-batas diri dengan cara memunculkan evaluasi diri dan umpan balik dari yang lainnya serta menikmati dan menghargai peran pengawas. Kemampuan komunikasi manajer yang mengetahui persepsi bawahan akan mampu menciptakan kondisi kerja dengan produktifitas tinggi. Disamping itu, hubungan supervisor dengan perawat yang baik, akan menciptakan kemampuan pertimbangan-pertimbangan putusan perawat sehingga mengurangi ketergantungan pada atasan (Iglesias & Vallejo, 2012). Hasil riset Kaushal & Janjhua (2010) menunjukkan bahwa nilai-nilai personal didominasi oleh hampir semua kelompok profesional untuk menjadi maju, berprestasi dan bekerjasama. Tidak peduli apa pun profesi yang di sandang. Setiap Individu percaya dalam mencapai hasil dan merasa berenergi maka setiap kegiatan yang ditugaskan kepada mereka akan selesai. Mereka juga percaya pada pembelajaran yang berkelanjutan untuk memperbaiki diri. Namun faktanya adalah bahwa nilai-nilai personal dalam prestasi, menjadi maju dan bekerjasama diperlukan agar sukses dalam setiap profesi. Dalam penelitian juga menyebutkan adanya hubungan positif antara nilai-nilai pribadi dan nilai-nilai kinerja menandakan bahwa semakin tinggi nilai-nilai pribadi yang lebih tinggi akan nilai- nilai kinerja yang individu yang cenderung menghargai pribadi nilai-nilai seperti kemajuan, prestasi, kerja sama, tantangan, kreativitas, dan lain-lain, akan patuh, tepat waktu, pekerja tim yang baik, akan sangat berhati-hati sehingga kualitas kerja dilakukan, cenderung etis sehingga yang tidak hanya tujuan organisasi, tetapi pribadi juga tercapai.

2.4. Teori Keperawatan yang Terkait Penelitian

  Teori keperawatan yang terkait dengan hubungan kompetensi perawat supervisor dengan gaya manajemen konflik yaitu Theory of Goal Attainment (1971) dalam Tomey dan Alligood (2006) yang diperkenalkan oleh Imogene M. King. King mengidentifikasi kerangka kerja konseptual (conceptual framework) sebagai sebuah kerangka kerja sistem terbuka, dan teori ini sebagai suatu konseptualnya, bahwa manusia seutuhnya (human being) sebagai sistem terbuka yang secara konsisten berinteraksi dengan lingkungannya. Asumsi yang lain bahwa keperawatan berfokus pada interaksi manusia dengan lingkungannya dan tujuan keperawatan adalah untuk membantu individu dan kelompok dalam memelihara kesehatannya. Kerangka kerja konseptual ( conceptual framework) terdiri dari tiga sistem interaksi yang dikenal dengan dynamic interacting systems, meliputi: personal systems (individuals), interpersonal systems (groups) dan social systems.

  Asumsi dasar King tentang manusia seutuhnya (human being) meliputi sosial, perasaan, rasional, reaksi, kontrol, tujuan, orientasi kegiatan dan orientasi pada waktu. Berdasarkan kerangka kerja konseptual (conceptual framework) dan asumsi dasar tentang human being, King menderivatnya menjadi teori pencapaian tujuan (theory of goal attainment). Menurut King intensitas dari interpersonal system sangat menentukan dalam menetapkan dan pencapaian tujuan keperawatan. Dalam interaksi tersebut terjadi aktivitas-aktivitas yang dijelaskan sebagai sembilan konsep utama, dimana konsep-konsep tersebut saling berhubungan dalam setiap situasi praktek keperawatan, meliputi interaksi, persepsi, komunikasi, transaksi, peran, stress, tumbuh kembang, waktu dan ruang (Tomey & Alligood, 2006).

2.5. Landasan Teori Penelitian

  Kompetensi adalah sebuah klaster (gugus) yang saling berhubungan antara dalam efektifitas organisasi. Kompetensi utama sebuah organisasi menurut Slocum & Hellriegel (2009) dibagi menjadi kompetensi diri (self competency), komunikasi (communication competency), keberagaman (diversity competency), etika (ethics competency), lintas budaya (across culture competency), tim(team

  competency) dan Perubahan (change competency. Jika dikaitkan dengan supervisi

  perawat supervisor maka Bittel (1996) mengklasifikasikan kompetensi supervisi menjadi kompetensi pengetahuan (knowledge competencies), kompetensi kewirausahaan (enterpreneurial competencies), kompetensi intelektual (intelectual competencies), sosio-emotional competencies dan interpersonal

  

competencies . Dalam penerapannya, berpedoman pada rancangan kompetensi

  supervisor oleh Borders dan Leddick (1987) maka kompetensi perawat supervior dibagi menjadi konseptual ketrampilan dan pengetahuan (conceptual skill and

  

knowledge ), ketrampilan intervensi langsung (direct intervention skill) dan

ketrampilan yang berhubungan dengan individu/manusia (human skill).

  Dalam theory of goal attainment (1971), Imogene M. King menjelaskan bahwa ada tiga sistem interaksi. Interaksi tersebut membentuk sebuah sistem hubungan interpersonal dimana didalamnya terdapat unsur-unsur interaksi, persepsi, komunikasi, transaksi, peran, stres, tumbuh kembang waktu dan ruang yang merupakan karakteristik seseorang. Konflik terjadi sebagai dampak dari hubungan interpersonal yang tidak sejalan antara individu (Tomey & Alligood, 2006).

  Dalam landasan teori penelitian ini ingin menghubungkan keterkaitan teori keperawatan. Diawali dengan teori keperawatan tentang dynamic interacting

systems yang dapat mempengaruhi konflik personal maupun interpersonal.

  Disamping itu juga dapat mempengaruhi kompetensi sebuah organisasi dimana salah satunya termasuk kompetensi supervisi. Didalam supervisi terdapat kompetensi seorang perawat supervisor yang nantinya dihubungkan dengan gaya manajemen konflik sehingga membentuk sebuah hubungan teori. Hubungan antara teori tersebut membentuk kerangka teori penelitian yang lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.2.

  Teori keperawatan Dynamic Interacting Systems :

  2. Interpersonal ( Wirawan, 2010 )

  Personal.

  Konflik : 1.

  Gaya manajemen konflik : (Dominating, Integrating, Compromising, Avoiding, Obliging).

1. Personal systems 2.

  4. Etika.

  8. Konseptual ketrampilan dan pengetahuan.

  Interpersonal systems 3. Social systems

  Imogene M. King (1987 ) Kompetensi utama organisasi : 1.

  Kompetensi diri.

  Pengetahuan 2. Kewirausahaan 3. Intelektual 4. Emosional 5. Interpersonal (Bittel, 1996)

  Kompetensi supervisi : 1.

  (Teori Rahim, 1983 )

  2. Komunikasi 3.

  10. Ketrampilan berhubungan dengan individu/Manusia (Borders & Leddick, (1987)

  9. Ketrampilan intervensi langsung.

  (Suyanto, 2008).

  5. Lintas Budaya 6.

  7. Mengadakan pengawasan.

  6. Melakukan penilaian.

  Keberagaman.

  4. Mampu memahami proses kelompok (dinamika kelompok).

  3. Memberikan motivasi.

  2. Memberikan saran, nasehat dan bantuan.

  Memberikan pengarahan dan petunjuk.

  (Slocum & Helriegel, 2009) Kompetensi perawat supervisor : 1.

  Tim 7. Perubahan.

  5. Memberikan latihan dan bimbingan.

2.6. Kerangka Konsep Penelitian

  Dalam penelitian ini kerangka konsep dirancang dalam dua bagian yaitu variabel dependen dan variabel independen. Variabel independen yang

  Pratiknya,

  mempengaruhi atau menjadi penyebab berubahnya variabel dependen (

  2010)

  . Kompetensi perawat supervisor akan menjadi variabel independen penelitian yang mempengaruhi gaya manajemen konflik. Variabel dependen berisi konsep kompetensi berpedoman pada Borders dan Leddick (1987) yang terdiri dari konseptual ketrampilan dan pengetahuan ketrampilan intervensi langsung dan ketrampilan yang berhubungan dengan individu/manusia

  Variabel independen dalam penelitian berisi kondep gaya manajemen konflik berdasarkan teori Rahim (1983) yang mengembangkan model gaya manajemen konflik berdasarkan dimensi memperhatikan orang lain dan memperhatikan diri sendiri. Sehingga Rahim mengelompokkan gaya manajemen konflik yang terdiri dari dominasi (dominating), integrasi (integrating), kompromi (compromising), menghidar (avoiding), menurut (obliging) (Wirawan, 2010).

  Kerangka konsep secara jelas dapat dilihat pada gambar 2.3. berikut :

  Variabel Dependen Variabel Independen Kompetensi perawat super- visor (Borders & Leddick, Gaya manajemen 1987) :

  (Rahim, 1983) :

  konflik 1.

  Konseptual ketrampilan dan

  Dominating, Integrating, pengetahuan. Compromising, Avoiding, 2.

  Ketrampilan intervensi Obliging). langsung.

  3. Ketrampilan berhubungan dengan individu/manusia

  Dari gambar 2.3. dapat dijelaskan bahwamerupakan variabel terkait yaitu variabel yang disebabkan/dipengaruhi oleh adanya variabel bebas/ variabelalam hal ini, kompetensi perawat supervisor akan mempengaruhi gaya manajemen konflik yang digunakan perawat supervisor.

  Sehingga dapat dikatakan penggunaan gaya manajemen konflik oleh perawat supervisor tergantung dari kompetensi yang dimiliki oleh perawat supervisor tersebut. Berdasarkan konsep diatas maka dapat dihubungkan untuk mencari ada atau tidak hubungan variabel kompetensi perawat supervisor dengan variabel gaya manajemen konflik.