Relasi Simbiosis Mutualisme dan Transaksional (Relasi Organisasi Pemuda dengan Calon DPR Dapil 1 Sumatera Utara)

  

 

 

RELASI  SIMBIOSIS  MUTUALISME  DAN  

TRANSAKSIONAL  

  

(RELASI  ORGANISASI  PEMUDA  DENGAN  CALON  DPR  DAPIL  1  SUMATERA  UTARA)  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

MURYANTO  AMIN  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

 

 

 

             

              Muryanto  Amin     RELASI  SIMBIOSIS  MUTUALISME  DAN  TRANSAKSIONAL   (Kasus  Relasi  Organisasi  Pemuda  Dengan  Calon  DPR  Dapil  1  Sumatera  Utara),                            

  ISBN  978-­‐602-­‐17785-­‐1-­‐7                     Cetakan  Pertama,      Januari  2015   Vote  Institute          

Hak   cipta   dilindungi   oleh   undang-­‐undang.   Dilarang   memperbanyak   sebagian  

atau  seluruh  isi  buku  ini  tanpa  izin  dari  Penerbit,  kecuali  kutipan  singkat  untuk  

resensi  atau  penelitian  ilmiah  di  luar  tujuan  komersil.    

  

PENGANTAR

 

  Buku berjudul Relasi Simbiosis Mutualisme dan Transaksional (Kasus Relasi Organisasi Pemuda Dengan Calon DPR Dapil 1 Sumatera Utara) merupakan hasil penelitian Program Hibah Bersaing yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Tahun 2014. Judul penelitian yang dipilih dilatari oleh prilaku subyektif kelompok organisasi pemuda di Sumatera Utara dalam memberikan dukungan kepada salah seorang calon anggota DPR pada saat Pemilu 2014. Prilaku subyektif tersebut dilakukan hanya untuk mengutamakan kepentingan kelompok dan pribadi para elit kelompok tersebut. Relasi antar tokoh dalam aktivitas politik seperti memilih calon anggota legislatif menjadi ukuran untuk memastikan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal berjalan dengan baik. Salah satu ukuran baik atau buruknya kualitas pemilu ditentukan oleh tingkat kesadaran yang bersumber dari tokoh organisasi pemuda. Pilihan organisasi pemuda dianggap penting karena mereka memiliki peluang yang besar untuk menentukan arah pembangunan di Sumatera Utara. Begitu pula realisasi tanggung jawab para anggota legislatif yang terpilih untuk membangun daerah pemilihannya ditentukan oleh kekuatan pengawasan dari tokoh pemuda. Semakin ketat pengawasan dari tokoh pemuda maka akan semakin baik tanggung jawab politik anggota DPR terhadap daerah pemilihannya. Justru, temuan dalam penelitian ini menjelaskan relasi yang terjalin dilakukan atas dasar hubungan simbiosis mutualisme (salin menguntungkan) dengan cara transaksional atau menggunakan uang untuk mendapatkan suara.

  Pola relasi yang menjadi lokasi penelitian adalah Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) meliputi Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi. Pentingnya pemilihan Dapil Sumut 1 karena selalu menjadi ukuran representasi Sumatera Utara terkait besar dan heterogennya jumlah pemilih. Terungkapnya pola relasi tersebut akan membantu menyusun model pendidikan politik bagi organisasi pemuda di Sumatera Utara. Selain itu, juga akan membantu membuat indikator tanggung jawab politik anggota legislatif terpilih yang akan dijadikan pedoman bagi organisasi pemuda dalam mengawasi tugasnya. Buku ini akan memberikan kontribusi dalam menjelaskan pentingnya meningkatkan kesadaran politik bagi tokoh organisasi pemuda untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah pemilihannya.

  Pada awal Bab buku ini menjelaskan tentang hambatan konsolidasi demokrasi tingkat lokal yang sedang berlangsung di Indonesia. Hambatan tersebut di antaranya adalah bentuk transaksional yang terjalin antara tokoh organisasi pemuda dengan calon anggota DPR. Asumsi tentang adanya hambatan itu dilihat dari beberapa perspektif teoritis seperti Teori Bos Lokal dan Patron Klien dan untuk mendapatkan data pembuktiannya dilakukan dengan metode kualitatif. Bab 2 akan menjelaskan profil lokasi penelitian dan objek yang diteliti. Bab 3 menguraikan tentang pola relasi yang dilakukan oleh tokoh organisasi pemuda dengan calon anggota DPR yang ingin dimenangkan dalam Pemilu 2014 di Dapil Sumut 1.

  Buku ini juga masih menjadi tulisan yang harus didiskusikan oleh para pemerhati dan pelaku pemilu, tokoh dan pengurus organisasi pemuda, serta para akademisi yang mengabdikan ilmunya untuk melihat konteks lokal dalam mempercepat konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tentu saja, penulis menerima berbagai saran dan masukan guna memperbaiki isi buku ini agar semakin mendekati sempurna karena wujud prilaku masyarakat dalam merespon pemilu berlangsung sangat dinamis. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya dari penulis kepada para narasumber yang memberikan informasi dari pengalaman dan pengamatannya pada saat berlangsungnya Pemilu 2014. The last but not

  

least, para tim pendukung yang telah membantu penulis mencarikan

tulisan yang mudah didapatkan. Thank you for all of you my team.

  Medan, Januari 2015 Muryanto Amin  

  

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

 

 

 

 

 

  

DAFTAR  ISI  

  PENGANTAR  

   

    4.1.   Kesimpulan ……………………………………….. 91     4.2.   Rekomendasi ……………………………………… 93  

  BAB  4   PENUTUP  

   

    3.4.   Pentingnya Pendidikan Politik ……………………. 87      

  Transaksional di Sumut ……………………………   82  

    76     3.3.   Pola Relasi Simbiosis Mutalisme dan

    61     3.2.   Bentuk Transaksi Antara Calon Legislatif dan Tokoh Pemuda …………………………………….

    3.1.   Tokoh Pemuda dan Calon Anggota DPR Dapil Sumut 1 dalam Pemilu 2014 ………………………

  BAB  3   RELASI ORGANISASI PEMUDA DENGAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PADA PEMILU 2014  

    56      

     DAFTAR  ISI  

    2.3.   Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara ……… 35     2.4.   Profil Organisasi Pemuda di Sumatera Utara …….. 42     2.5.   Pelaksanaan Pemilihan Umum 2014 di Dapil Sumut 1 DPR RI …………………………………..

        26  

  1 (Dapil Sumut 1) DPR-RI Provinsi Sumatera Utara ……………………………………………….  

    2.1.   Dasar Penentuan Daerah Pemilihan ……………….   23     2.2.   Sejarah Pertumbuhan Ekonomi, Dinamika Sosial, dan Penduduk di Daerah Pemilihan Sumatera Utara

  BAB  2   PEMILU   &   PROFIL   DAERAH   PEMILIHAN   SUMUT   1   DPR  &  ORGANISASI  PEMUDA    

   

    1     1.2.   Permasalahan  Relasi  Pemberian  Dukungan  ……...   6     1.3.   Perspektif  Teori    ……………………………………………...   7     1.4.   Penelitian  Terdahulu  …………………………………........   16     1.5.   Metode  Penelitian  ……………………………………………   18     1.6.   Bagan  Penelitian  ……………………………………………..   22        

    1.1.   Hambatan  Konsolidasi  Demokrasi  Organisasi   Pemuda  …………………………………………………………..  

  BAB  1   MOTIF  YANG  MELATARI  SIMBIOSIS  MUTUALISME   DAN  TRAKSAKSIONAL  DALAM  PEMILU    

         

  

 

           

  

D e m i K o n s o l i d a s i D e m o k r a s i

L o k a l d i I n d o n e s i a            

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Hambatan Konsolidasi Demokrasi Organisasi Pemuda

  Penerapan demokrasi setelah jatuhnya Orde Baru merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap sebagai bagian dari tuntutan reformasi kelembagaan yang sangat dibutuhkan untuk melakukan konsolidasi demokrasi di Indonesia setelah mengalami masa pemerintahan otoriter Orde Baru. Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan demokratis serta ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah rekrutmen pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum legislatif dan eksekutif pada tingkat nasional maupun

  1

  lokal. Kebijakan desentralisasi menjadi dasar format hubungan pusat dan daerah. Sedangkan pelaksanaan otonomi daerah menjadi pedoman antara pemerintah, masyarakat dan tokoh lokal untuk mengatur urusannya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk

  2 memilih kepala daerah secara langsung.

  Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang efektif, terdapat beberapa prasyarat dasar yang harus tersedia, antara lain adanya

  3

  kesetaraan politik (political equality) dan akuntabilitas lokal yang memadai. Tetapi keduanya menjadi sebagian permasalahan mendasar 1                                                                                                                

  

Lihat UUD 1945 Pasal 6A ayat (1) mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung;

UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 mengenai pemilihan umum; dan UUD 1945 Pasal 18 mengenai pemilihan

gubernur, walikota dan bupati yang dipilih secara demokratis. 2 Lihat Eko Prasojo, Irfan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan 2 Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: Departemen Ilmu

  

Lihat Eko Prasojo, Irfan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan

Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: Departemen Ilmu

3 Administrasi FISIP UI. hal. 1 dan 13.

  

Mengenai political equality yang banyak menjadi masalah dalam pelaksanaan demokrasi lihat Jack Lively. Democracy. 1975. Chapter Two 8-51, Britain: Basil Blackwell. yang dihadapi banyak negara berkembang dalam menerapkan desentralisasi. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi tidak selalu memiliki korelasi positif dengan konsolidasi demokrasi maupun efisiensi struktural pemerintahan di tingkat lokal. Richard C. Crook dan James Manor dalam analisis komparatif terhadap penerapan desentralisasi di empat negara di kawasan Asia Selatan dan Afrika Barat, yaitu negara bagian Karnakata di India, Bangladesh, Ghana, dan Pantai Gading, menyimpulkan bahwa kecuali di Karnataka, penerapan desentralisasi di negara-negara tersebut justru memperkuat pola-pola politik pada tingkat lokal yang tidak mendukung demokrasi dan kinerja pemerintahan yang

  4 lebih baik.

  Situasi yang hampir sama juga terjadi pada beberapa negara di antara desentralisasi, demokrasi, dan kinerja pemerintahan tersebut, ditandai oleh berkembangnya orang-orang atau kelompok tertentu di tingkat lokal yang cukup kuat secara finansial dan memiliki jaringan ke pemegang kekuasaan. Penelitian John T. Sidel tentang bosisme di Filipina mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut terkait dengan perkembangan politik pada awal abad ke-20, saat mulai diterapkannya pemilihan kepala pemerintahan dan anggota parlemen secara langsung, baik di tingkat nasional maupun lokal. Suasana seperti itu ternyata menumbuhkan elit-elit lokal yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi yang begitu kuat di berbagai daerah di Filipina. Dengan menduduki atau menjadi pialang bagi jabatan yang diperebutkan dalam pemilihan tersebut, mereka memperoleh akumulasi keuntungan dari diskresi penegakan hukum lokal, pekerjaan umum, perpajakan, dan lain sebagainya. 4                                                                                                                

  

Lihat Richard C. Crook and James Manor. 1998. Democracy and Decentralization in South Asia and

West Africa: Participation, Accountability and Performance. Cambridge University Press.

  Temuan dari penelitian Sidel itu, memberikan nuansa baru dalam

  5

  studi relasi negara dan masyarakat, yang berbeda dari analisis Migdal pada dekade 1980-an, yaitu sumber kekuasaan orang kuat lokal tersebut bukan dari kepemilikan tanah atau kekayaan pribadi, melainkan dari sumber-sumber negara atau modal perdagangan yang diakumulasi setelah memegang kekuasaan. Hubungan antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya selalu didasari oleh pemberian ’sesuatu’ bisa berupa uang, jabatan, atau justru dengan menggunakan kekerasan. Pola hubungan patron-klien (klientelisme), antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya, bukan dianggap sebagai penyangga utama dukungan terhadap kekuasaan mereka. Hanya penggunaan kekerasan dan intimidasi, pembelian suara pemilih, serta kecurangan dalam pemilihan

  6 lokal dan pendukungnya.

  Temuan Sidel di Indonesia juga menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Pemilu 1999 dan penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru semakin memperkuat kemungkinan akumulasi kekuasaan, berada pada individu tertentu yang

  7

  kemudian disebutnya sebagai bos lokal (local bossism). Mereka memiliki sumber keuangan dan akses kepada pemegang otoritas di daerah untuk memuluskan kepentingannya seperti urusan binis dan politik. Kesimpulan tersebut disusun berdasarkan temuan hasil penelitian. Pada salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, mafia kayu memiliki pengaruh yang besar terhadap anggota DPRD dan pejabat birokrasi pemerintah 5                                                                                                                

  

Joel S.Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities

6 in the Third World. New Jersey: Princenton University Press.

  

Lihat John T. Sidel. 2005. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossim in Cative and

Cebu” The Journal Asia Studies (56/4/Nov.1997); John T. Sidel. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di

Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.).

7 Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos.

  

Istilah bos yang dimaksud Sidel adalah merujuk para pialang lokal yang memiliki posisi monopolistis

abadi terhadap kekuatan koersif dan sumber-sumber ekonomi di daerah kekuasaan masing-masing. Lihat dalam John T. Sidel. 2005. “Bosisme….”. hal. 78. lokal. Pengaruh itu digunakan untuk membuat keputusan-keputusan resmi tentang pengelolaan sumber daya lokal yang menguntungkan

  8 kepentingan para mafia lokal tersebut.

  Dalam kesimpulan yang hampir sama, Nordholt dan Klinken, mempublikasikan hasil penelitian yang berkaitan dengan dinamika politik lokal di Indonesia. Dalam pengantar buku tersebut dijelaskan bahwa setelah bergulirnya reformasi, dinamika politik di daerah memasuki era baru yaitu aktor-aktor lokal yang terorganisir dan memiliki simbol kultural lokal kembali berada di panggung politik. Akumulasi kekuasaan aktor di daerah dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintah lokal yang sesuai

  9

  dengan mekanisme demokrasi yang ditetapkan. Situasi itu telah seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan lain sebagainya serta beraliansi dengan para pejabat publik yang baru terpilih. Vedi R. Hadiz menguraikan koalisi antara aktor lokal dengan pejabat publik di Sumatera Utara dilakukan untuk menjalin akses mendapatkan kekuasaan negara dan sumber-sumber daya, baik di tingkat pusat maupun daerah

  

10

ketika otonomi daerah diberlakukan.

  Menjelang Pemilu 2014 di Sumatera Utara, aktor lokal tersebut memainkan peranan penting dalam sistem demokrasi yang diterapkan. Para aktor lokal yang dimaksud adalah pimpinan anggota organisasi kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi mahasiswa, organisasi keagamaan, dan lain sebagainya. Sementara, demokrasi tidak akan berkembang kalau tidak ada para demokrat yang mendukungnya. 8                                                                                                                

  

John T. Sidel. “Bosisme ….” Ibid. hal. 96-97; Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik

Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi. Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana

9 Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok.

  

Henk Schutle Nordholt dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. 2007. Politik

10 Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

  

Tentang fenomena ini lihat Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES. Jakarta. hal. 235-253. Seorang demokrat adalah warga negara yang memiliki pengetahuan dasar tentang demokrasi, mengenal nilai-nilai demokrasi, punya komitmen terhadap nilai-nilai tersebut, memiliki keterampilan menerapkannya dalam kegiatan politik dan kehidupan sehari-hari. Para tokoh demokrat sejatinya harus dapat ditemukan dalam daftar kader partai politik yang ditawarkan kepada para pemilih untuk menjadi anggota legislatif maupun eksekutif di daerah (bupati/walikota dan gubernur). Tokoh partai politik dan pimpinan organisasi masyarakat seharusnya memiliki relasi positif dalam kaitan mengatasi persoalan masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.

  Kenyataan yang sering ditemui di Sumatera Utara adalah tidak begitu jelas apakah setiap parpol punya mekanisme seleksi calon- legislatif atau eksekutif mempunyai perlengkapan sebagai seorang demokrat. Sementara beberapa organisasi kemasyarakatan di Sumatera Utara, merekrut para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap untuk melakukan tindakan kekerasan dengan alasan menjaga keamanan di lokasi tertentu. Dalam bahasa sehari-hari, mereka kemudian sering

  11

  disebut sebagai preman karena tidak terlepas dari tindakan kekerasan seperti pemukulan, intimidasi, bahkan pembunuhan ketika ditugaskan oleh pimpinan organisasinya untuk ”mengamankan” lokasi tertentu yang berpotensi menghasilkan keuntungan berupa uang. Namun, pada saat 11                                                                                                                

  

Preman (free man) adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan

tindakan kriminal. Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada

kaum lelaki yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut merujuk pada lelaki

bebas yang tidak dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman pengertian preman

mengalami perubahan yaitu sebagai orang, individu, atau sekelompok orang yang tidak berpenghasilan

tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti dan hidup atas dukungan orang-orang yang terkena

pengaruh, orang-orang yang takut secara fisik maupun psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan

tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta cenderung melakukan tindakan-

tindakan kriminal. Sikap, tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme.

Lihat Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta:

Lintas Media. hal. 560; Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah. hal. 40-41. yang lain mereka bisa disebut sebagai warga masyarakat yang terhormat seperti sering memberikan bantuan kepada kelompok miskin, sebagai donatur untuk lembaga pendidikan dan memberikan bantuan sekolah kepada masyarakat yang kurang mampu, serta aktivitas sosial lainnya. Tujuan dari aktivitas sosial ini sebenarnya untuk melanggengkan jaringan kekuasaan yang telah dibangun dan dibina selama ini.

  Kondisi tersebut, dalam aktivitas Pemilu 2014, diasumsikan akan melahirkan relasi antara tokoh partai politik dan pimpinan organisasi masyarakat yang berlangsung secara transaksional. Transaksi yang terjadi di antara para tokoh tersebut adalah kesepakatan untuk saling menukar berupa material (uang atau bantuan barang lainnya yang dibutuhkan) dengan perolehan suara atau untuk menduduki jabatan publik tertentu di proyek yang bersumber dari APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara) jika

  12 terpilih menjadi anggota legislatif.

1.2. Permasalahan Relasi Pemberian Dukungan

  Penelitian ini akan berupaya menjelaskan pola relasi yang terjadi di antara tokoh organisasi pemuda dengan pilihan mereka kepada para calon anggota legislatif DPR-RI yang berasal dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1). Pilihan organisasi pemuda dianggap penting karena mereka memiliki peluang yang besar untuk menentukan arah pembangunan di Sumatera Utara. Sedangkan alasan pentingnya pemilihan Dapil Sumut 1 (Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi) karena partai politik menganggap daerah pemilihan 12                                                                                                                

  

Saat reformasi bergulir, para aktor lokal pendukung Orde Baru menguasai panggung politik dan

memainkan peran dalam dinamika politik lokal di Sumatera Utara. Lihat Muryanto Amin. 2013.

”Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008). Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. tersebut sebagai daerah yang selalu menjadi ukuran representasi

13 Sumatera Utara. Selain itu, alasan pilihan untuk calon anggota legislatif

  14 DPR-RI karena besarnya jumlah pemilih yang mereka temui.

  Untuk menguji asumsi tentang adanya pola relasi yang saling menguntungkan tersebut, maka penelitian ini akan menjawab sejumlah pertanyaan berikut:

  1. Siapa saja tokoh organisasi pemuda dan calon anggota DPR-RI dari Dapil Sumut 1 yang menjalin relasi untuk pemenangan Pemilu 2014?

  2. Seperti apakah bentuk transaksi yang terjalin antara tokoh organisasi pemuda dan calon anggota DPR-RI Dapil Sumut 1 tersebut dalam Pemilu 2014?

  3. Bagaimana pola relasi yang terjalin di antara pimpinan organisasi pemuda dengan para calon anggota DPR-RI Dapil Sumut 1 tersebut?

1.3. Perspektif Teoritis

  Patrimonialisme merujuk pada paham mengenai bentuk-bentuk hubungan yang menganggap seseorang patron menjadi pemimpin kelompok yang didasarkan atas kaitan personal. Nathan Quimpo memperjelas istilah patrimonialisme “as a type rule in which the ruler

  

does not distinguish between personal and public patrimony and treats

  15

matter and resources of state as his personal affair” (sebagai jenis

  aturan di mana penguasa tidak membedakan antara warisan pribadi dan publik dan memperlakukan masalah dan sumber daya negara sebagai 13                                                                                                                

  

Hasil diskusi informal dari pimpinan partai politik di Sumatera Utara yang menegaskan bahwa

Sumut 1 dapat merepresentasikan keinginan masyarakat Sumut (pedesaan maupun perkotaan). Sumut 1

sering disebut “Dapil Neraka” karena para calon legislatifnya saat ini sebagian besar masih tercatat

14 sebagai anggota DPR-RI (calon petahana).

  

Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 meliputi Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing

Tinggi besaran luasnya mencapai 4.703,01 KM persegi dan jumlah pemilihnya 3.626.000 jiwa dari

15 total pemilih sebanyak 9.736.732 jiwa.

  

Nathan G. Quimpo. 2007. “Trapo Parties and Corruption”. dalam KASAMA. Vol. 21 No. 1. Januari- March. urusan pribadi). Dalam hubungan kekuasaan, patrimonialisme menjadi bentuk hubungan timbal balik antara pemimpin (patron) dan bawahan (klien) yang loyal kepadanya.

  Bentuk-bentuk hubungan patron klien dijelaskan oleh James C. Scott sebagai berikut,

  “The patron-client relationship–an exchange relationship between roles–may be defined as a special case of dyadic (two person) ties involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefit, or both, for a person of lower status (client) who, for his part, reciprocates by offering general support and assistance, including personal, to the

  16 patron”.

  Dalam konteks hubungan patron-klien, posisi seorang patron memiliki sumber yang melebihi baik secara langsung maupun tidak langsung dari seorang klien. Posisi itu menyebabkan seorang patron mampu mempengaruhi sikap dan prilaku klien. Sebaliknya, klien mengakui dan menerima sumber yang dimiliki patron sehingga bila mempengaruhi klien, maka klien akan menerima dan mengakui pengaruh tersebut secara sadar atau sukarela. Sifat hubungan patron-klien didasarkan atas pertukaran yang tidak seimbang karena adanya perbedaan status di antara keduanya. Hubungan yang tidak seimbang tersebut membuat klien merasa berhutang budi dan membalas jasa baik kepada patron. Hubungan yang bersifat personal itu kemudian akan menciptakan loyalitas, kepercayaan dan kasih sayang yang diberikan di antara mereka serta bersifat fleksibel dan tanpa batas waktu.

  Scott kemudian menjelaskan bahwa kelompok patron-klien bisa berbentuk gugus (patron-client cluster) yaitu seorang patron dengan beberapa orang klien. Kelompok patron-klien bisa juga berbentuk 16                                                                                                                

  

James C. Scott. 1972. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”. dalam The American Political Science Review. Vo. 6. No. 1 (Mar. 1972). hal. 92. gabungan dari berbagai gugus patron-klien yang dipimpin oleh seorang patron sebagai patron tertinggi (patron-client pyramid). Di bawah patron tertinggi itu, terdapat sejumlah klien yang merupakan patron kecil bagi sejumlah klien. Seorang klien dari patron tertinggi juga menjadi seorang patron bagi beberapa orang klien. Dalam bentuk piramid itu, ada beberapa patron kecil yang menjadi klien patron tertinggi dan mempunyai

  17 beberapa klien sendiri.

  Maswadi Rauf menjelaskan tentang faktor penting dalam kelompok patron-klien adalah hubungan kekuasaan. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, materi, maupun kemampuan yang tidak dimiliki oleh para klien. Kemampuan patron untuk memberikan perlindungan dan kebutuhan hidup kepada orang lain menjadi penyebab patrimonialisme tidak hanya berlangsung atas dasar ekonomi atau kekayaan tetapi juga berdasarkan hubungan yang bersifat inklusif dari semua bidang kehidupan. Pada awalnya yang menjadi patron adalah tuan tanah yang memiliki tanah yang luas untuk pertanian. Sedangkan para kliennya adalah para petani yang menggarap tanah tersebut dan memperoleh perlindungan serta sumber kebutuhan hidup dari patron. Sebaliknya, para petani memberikan dukungan fisik kepada patron termasuk berperang melawan musuh patron.

  Pada masa modern, sumber kekuasaan patron telah bergeser dari kepemilikan tanah kepada kekuasaan bidang pemerintahan dan politik. Jabatan pemerintahan dan politik menjadi sumber patron untuk memberikan pengaruh dan penguasaan sumber-sumber daya dalam jumlah besar kepada pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh politik. Pengaruh itu digunakan oleh mereka untuk menarik sejumlah orang 17                                                                                                                

  

Ibid. hal 96. Lihat juga penjelasan Maswadi Rauf. 2005. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Tinggi. hal. 99. menjadi kliennya. Seorang patron akan memberikan atau membantu mendapatkan jabatan pemerintahan dan politik kepada para klien yang membutuhkannya. Atas bantuan itu, para klien diharuskan memberikan dukungan politik dan membantu patron untuk mempertahankan, memperkuat kekuasaan dan kedudukan politik mereka. Bentuk hubungan

  18 ini disebut sebagai patrimonialisme baru (new patrimonialism).

  Kecenderungan hubungan patron-klien dalam masyarakat Indonesia masih sangat kuat. Dwight King menjelaskan praktik new

  

patrimonialism pada masa pemerintahan Orde Baru yang dijabarkannya

  dalam konsep rejim otoriter bercirikan tingkat korporatisme yang begitu tinggi. King menjelaskan, berbagai kelompok di dalam institusi negara dan masyarakat sipil selalu dihubungkan dengan para pemimpin negara kelompok masyarakat selau merujuk kepada seorang pemimpin dan representasi kepentingan kelompok masyarakat itu berada kuat di bawah

  19 pengaruh Presiden Soeharto yang paternalistik.

  Ikatan-ikatan patron-klien yang masih kuat di Indonesia pada akhirnya menjadi landasan bagi pembentukan kekuasaan politik. Untuk kepentingan penelitian ini, teori Scott tentang hubungan patron-klien dan Maswadi Rauf mengenai patrimonialisme baru itu akan digunakan untuk melihat bentuk jaringan patronase yang dilakukan oleh tokoh organisasi pemuda di Sumatera Utara. Jaringan patronase yang dimaksud adalah pola relasi antara tokoh organisasi pemuda di Sumatera Utara dengan para anak buahnya dan relasi antara tokoh organisasi pemuda dengan partai politik dan calon anggota legislatif. 18                                                                                                                 19 Ibid. hal. 100.

  

Dwigth King. 1982. “Indonesia’s New Order A Bureaucratic Polity, A New Patrimonial Regime or

Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?. dalam Benedict R.O.G Anderson

dan Audrey Kahin (eds). Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to The Debate.

Ithaca. New York: Cornell University Press (Cornell Modern Indonesia Project Publication 62).

  Teori tentang kelompok kekerasan berkembang disebabkan oleh dinamika masyarakat yang berubah secara terus menerus. Menurut Masaaki dan Rozaki, yang menjelaskan kasus Indonesia, bahwa pada masa Orde Baru segala bentuk kelompok penekan yang ada di masyarakat dapat dirangkul oleh pemerintah dengan cara melembagakan mereka serta mendapatkan dukungan dari tentara dan polisi atau dengan cara penindasan. Namun, pasca Orde Baru, beragam komponen masyarakat menuntut keadilan yang ditafsirkannya sendiri atas dasar kepentingan etnis, agama, adat, politik, ekonomi, kelas, dan lain sebagainya. Tuntutan tersebut dilakukan untuk memenuhi beragam kepentingan melalui cara berkelompok dan dengan memanfaatkan instrumen kekerasan untuk menebar ancaman kelompok yang berbeda setelah rezim Orde Baru, sebagai kelompok yang bersaing

  20 memperebutkan posisi untuk menjadi Tuhan (struggle of Gods).

  Maraknya kelompok-kelompok kekerasan di tengah masyarakat menjadi salah satu ciri yang menonjol di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Mereka hadir dengan memanfaatkan ketidakstabilan negara dalam mengatur politik keamanan masyarakat. Disamping itu, bukan hanya menghiasi ruang publik dengan aksi-aksi jalanan yang brutal, namun juga memanfaatkan arus demokratisasi dengan cara tak sedikit para tokohnya berhasil masuk di jabatan formal pemerintahan. Kehadiran mereka tak jarang menebar teror dan ancaman, namun kerap pula dibutuhkan dan diperebutkan oleh kalangan tertentu yang berkepentingan.

  Masaaki dan Rozaki juga menjelaskan bahwa keberadaan kelompok kekerasan non-negara terjadi bukan karena negara yang 20                                                                                                                

Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi.

  Yogyakarta: IRE Press. hal. xvi. mengizinkannya tetapi karena negara yang tidak bisa menolak keberadaannya, atau lebih tepatnya, negara yang membutuhkannya. Kehadiran kelompok masyarakat seperti itu, menghambat jalannya laju demokratisasi dan desentralisasi bahkan terancam menjadi beku (frozen

  

democracy) karena peran kaum reformis kalah kekuatannya dengan

  kelompok kepentingan yang mengandalkan kekerasan dengan jejaringnya berurat akar di dalam tubuh partai politik. Kondisi ini berimbas pula pada adanya potret buram lembaga DPRD yang belum mampu mengejawantahkan sebagai koridor penampung aspirasi masyarakat. Proses penegakan hukum yang lemah, tentu saja, menjadi modal politik bagi mereka yang memiliki akses dan kapasitas di dalam memanfaatkan kekerasan dan ancaman kekerasan sehingga sangat berguna untuk

21 Konsep governance yang didalamnya mengandaikan adanya peran

  negara yang tidak lagi dominan, namun hanya menjadikan pemerintah sebagai fasilitator. Oleh karena itu, memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi kelompok masyarakat sebagai stake holders. Kesempatan itu kemudian dimanfaatkan untuk mengendorkan peran perlindungan negara atas warganya dan sebaliknya kelompok masyarakat yang memiliki modal politik penguasaan kekerasan menjadi bagian dari

  22 pemain utama.

  Dalam konteks penelitian ini, teori Masaaki dan Rozaki akan digunakan untuk membantu merumuskan kerangka berpikir ketika melihat keberadaan organisasi pemuda di Sumatera Utara dengan segala aktivitas yang cenderung dalam kasus memberikan dukungan kepada calon anggota DPR-RI. Melalui organisasi pemuda di Sumatera Utara, para anggota dan kadernya bisa muncul menjadi tokoh yang turut 21                                                                                                                 22 Ibid.

  Ibid. berpengaruh dalam aktivitas politik seperti Pemilihan Umum meskipun keterlibatannya terkait pada soal perlindungan keamanan dan kekuatan uang.

  Eksistensi kelompok kekerasan dalam masyarakat tidak terlepas dari para aktornya yang silih berganti dan menjadikan mereka sebagai orang kuat atau bos dalam komunitasnya sendiri. Istilah bos lokal atau

  

bossism kembali menjadi pembahasan pada saat John T. Sidel, profesor

  Ilmu Politik di University of London, menjelaskan fenomena munculnya bos lokal di Filipina, Thailand, dan Indonesia dalam kaitan relasi negara

  

23

  dan masyarakat pada tingkat lokal. Sebelumnya, fenomena munculnya orang kuat lokal tersebut telah dijelaskan oleh Migal, yaitu setiap kelompok dalam masyarakat mempunyai pemimpin, di mana pemimpin

Dokumen yang terkait

Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

5 116 193

Relasi Simbiosis Mutualisme dan Transaksional (Relasi Organisasi Pemuda dengan Calon DPR Dapil 1 Sumatera Utara)

1 54 106

Rekrutmen Calon Legislatif (Studi Tentang Mekanisme Penetapan Calon Legislatif DPRD Provinsi Sumatera Utara 2014 di DPW Partai Nasdem Sumatera Utara)

3 124 98

Arus Komunikasi Vertikal Pada Organisasi Sapma Pemuda Pancasila USU (Studi Deskriptif Kualitatif Arus Komunikasi Vertikal Pada Organisasi Satuan Pelajar dan Mahasiswa Pemuda Pancasila Universitas Sumatera Utara)

3 83 111

Peranan Dan Fungsi Komunikasi Organisasi (Studi Deskriptif Kuantitatif Mengenai Peranan dan Fungsi Komunikasi Organisasi di Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara)

0 34 137

Format Baru Relasi Presiden-Dpr (Studi Kasus Hubungan Presiden dan DPR Pada Masa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla)

5 86 87

Dinamika Sosial Politik Organisasi Pemuda Pancasila Sumatera Utara

4 104 162

MAKNA NARSISME IKLAN POLITIK CALON LEGISLATIF PADA PEMILU 2014 (Analisis Semiotik Iklan Banner Calon Legislatif DPR RI Dapil Jatim V Malang Raya)

1 7 55

Pengaruh Karakteristik Individu, Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi (Studi pada Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara)

0 1 19

A. Pedoman Wawancara untuk Organisasi Pemuda - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 1 43