Format Baru Relasi Presiden-Dpr (Studi Kasus Hubungan Presiden dan DPR Pada Masa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla)

(1)

FORMAT BARU RELASI PRESIDEN-DPR

(Studi Kasus Hubungan Presiden dan DPR Pada Masa

Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla)

SKRIPSI

Disusun Oleh:

Ferry M G Waruwu

070906065

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk diperbanyak dan dipertahankan oleh: Nama : Ferry Meiman Gunawan Waruwu

NIM : 07 0906 065 Departemen : Ilmu Politik

Judul : FORMAT BARU RELASI PRESIDEN-DPR (Studi Kasus Hubungan Presiden dan DPR Pada Masa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla)

Medan, 19 September 2011

Pembimbing, Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara

Muryanto Amin S.Sos M.Si T. Irmayani, M.Si

NIP 197409302005011002 NIP 196806301994032001

DEKAN

Prof. Dr. Badaruddin, Msi NIP 19680525 199203 1002


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk segenap kasih dan AnugrahNya, sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini di tujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dari Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “FORMAT BARU RELASI PRESIDEN DPR- Studi Kasus Hubungan Presiden dan DPR Pada Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf kalla”. Secara singkat skripsi ini menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan sistem presidensial di masa SBY-JK yang sarat-DPR, faktor apa yang menyebabkan hubungan ini menjadi bs sarat-DPR.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasi yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu saya, baik sebelum, selama, dan sesudah penelitian dan juga saat penulisan skripsi ini:

1. Kepada kedua orangtua saya, yang telah memberikan dukuang moril maupun moril. Buat Bapak (EM. Waruwu), terimakasi karena sudah mendukung saya selama ini dan terus mengingatkan saya untuk terus fokus dalam mengerjakan skripsi ini dan juga saya berterimakasi buat Mama (RM. Dakhi) yang selama ini tetap memantau perkembangan skripsi saya hingga saya tetap bersemangat dalam mengerjakannya. Terimakasi juga karena kalian adalah inspirasiku yang terbesar saat ini.

2. Kepada kedua orang saudarakau, adik tati (terimakasi karena ketika abang berhenti mengerjakan skripsi, abang selalu kamu omelin untuk kembali fokus). Terimakasi ya dek.. heheheh.. juga buat adik ku Jefri yang pernah saya susahkan


(4)

3. Kepada Keluarga Besar saya yang ada di Nias. Saya sangat berterimakasi sekali buat dukungan semangatnya selama ini. Ada Bapak wiwin, Bapak Defi, Bapak Yanu, Bapak David, Bapak Octaviusta Bangun dan keluarga besar saya yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu di sini. Saya berterimakasi dan bersyukur karena kalian bisa saya kenal dan menjadi mentor penting dalam hidup saya.

4. Kepada Bang Rusdi dan K’Ema terimakas kak buat bantuannya selama ini. Saya minta maaf kalau saya cenderung memaksa kalau minta bantuan dari Kakak dan abang berdua.

5. Kepada Bapak Muryanto Amin S.Sos M.Si yang selama ini telah menjadi Dosen Pembimbing skripsi saya

6. Kepada Bapak Zakharia Taher yang telah bersedia menjadi Dosen Pembaca untuk Skripsi saya.

7. Kepada Ibu Irmayani selaku ketua Jurusan Ilmu Politik yang telah membantu saya dalam segala urusan izin dan bantuannya yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

8. Kepada Sahabat-Sahabatku Berty, Yaman, Arif, Juang, Ferry Laoli, Everius Gea, dan rekan yang ada di organisasi Gema Nias yang telah menjadi teman dan sekaligus penyemangat di saat saya sedang patah semangat dalam mengerjakan skripsi.


(5)

Adapun skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan, untuk itu saya menerima segala saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata saya sebagai penulis mengucapakan terimakasi semoga penelitian ini menjadi bermanfaat bagi pengembangan ilmu politik kedepannya.

Medan, September 2011


(6)

DAFTAR ISI

Daftar ISI... i

Daftar Tabel ... iii

Abstraksi... iv

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Pembatasan Masalah... 11

1.4 Tujuan Penelitian ... 11

1.5 Manfaat Penelitian ... 11

1.6 Konseptualisasi Teori... 12

1.7 Konsep-konsep Demokrasi dan Presidensialisme ... 18

1.8 Teori-teori Presidensialisme ... 20

1.8.1 Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Presidensialisme... 20

1.8. 2 Presiden, Partai Politik, dan Multiparty System dalam Sistem Presidensialisme ... 23

1.9 Metode Penelitian ... 25

1.9.1 Jenis Penelitian... 26

1.9.2 Teknik Pengumpulan Data... 26

1.9.3 Data Sekunder ... 26

1.10 Teknik Analisis Data... 26


(7)

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN ... 28

2.1 Pola Hubungan Presiden dan DPR dari Masa Orde Baru ke Orde Reformasi ... 28

2.2.1 Hubungan Eksekutif dan Legislatif Masa Orde Baru ... 28

2.2.2 Hubungan Eksekutif dan Legislatif Masa Reformasi (1999-2004) ... 30

2.2.3 Hubungan Eksekutif dan Legislatif SBY-JK (2004-2009) ... 41

BAB III PENYAJIAN DATA ... 43

3.1 DESAIN HUBUNGAN PRESIDEN DAN DPR (2004-2008) ... 43

3.2 Faktor-Faktor Pembentuk Kelemahan Kedudukan Presiden Era Pemerintahan SBY-JK Dalam Relasi Presiden dan DPR ... 47

3.1.1 Lahirnya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945... 47

3.1.2 Sistem Multipartai, Sistem Pemilu, dan Koalisi Partai... 53

BAB IV ANALISIS DATA ... 60

4.1 Ciri Sistem Presidensialisme Pemerintah SBY-JK ... 60

4.2 Analisa Relasi Presiden dan DPR masa SBY-JK ... 65

BAB V KESIMPULAN ... 73


(8)

DAFTAR TABEL Tabel 1. Pergeseran Kekuasaan Sarat-Eksekutif Menjadi

Sarat-Legislatif dalam Amandemen I UUD 1945 tahun 1999... 32

Tabel 2. Penguatan Kekuasaan Legislatif DPR (Legislative Heavy)

dalam Amandemen II UUD 1945 tahun 2000 ... 34 Tabel 3. Penguatan Praktik Presidensialisme dan Mekanisme Checks & Balances

dalam Amandemen III dan IV UUD 1945 tahun 2001-2002 ... 35 Tabel 4. Kekuatan Politik Pemerintahan SBY-JK Tahun (2005-2006)... 55 Tabel 5. Konflik relasi Presiden dan DPR masa SBY-JK ... 64


(9)

ABSTRAKSI

FORMAT BARU RELASI PRESIDEN-DPR

Studi Kasus Hubungan Presiden dan DPR Pada Masa Susilo Bambang Yudhoyono Jusuf Kalla

Nama : Ferry Meiman Gunawan Waruwu

NIM : 070906065

Depertemen : Ilmu Politik

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembimbing : Muryanto Amin S.Sos M.Si

Transfer kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada wakil presiden B.J Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berarti pada sistem politik Indonesia. Di tingkat Makro, perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem politik Indonesia, dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih demokratis. Ada banyak perubahan yang terjadi di dalam sistem ketanegaraan kita. Mulai dari perubahan peran dan fungsi masing Institusi serta kebebasan pers adalah hal yang paling tampak nyata dalam politik Indonesia. Secara khusus sejak Indonesia masuk dalam masa reformasi, hubungan antara lembaga tinggi negara juga berubah. Dengan adanya amandemen UUD 1945 yang ke-IV membawa sebuah hubungan baru dalam sistem politik Indonesia. Perubahan yang terjadi ada yang bersifat mendukung dan ada juga yang bersifat saling berkontradiksi.

Legislatif dan Eksekutif merupakan fokus kajian utama penulis disini sebab hubungan antara kedua lembaga ini yang paling banyak mengalami perubahan pasca amandemen UUD 1945. Ada kecenderungan penguatan peranan Legislatif dimasa orde reformasi ini dimana sebelumnya dimasa Orde Baru, peranan Eksekutif sangat kuat sedangkan Legislatif hanya menjadi pelengkap saja dalam sistem presidensialisme di Indonesia. Kondisi sarat-DPR ini coba penulis telusuri dalam pemerintahan SBY-JK yang merupakan produk asli pemerintahan presidensial yang lahir di masa Orde Reformasi.

Dari Penelitian yang penulis dapatkan, secara konstitusional sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem Presidensialisme. Hubungan yang tercipta antara Eksekutif dan Legislatif dimasa SBY-JK sangat di pengaruhi oleh adanya Amandemen 1945 dan sistem multipartai yang di anut oleh indonesia. Kebentuan sempat terjadi di awal-awal pemerintahan SBY-JK namun dengan adanya akomodasi dari pihak eksekutif terhadap dewan maka deadlock yang di ramalkan tidak sampai terjadi.


(10)

ABSTRAKSI

FORMAT BARU RELASI PRESIDEN-DPR

Studi Kasus Hubungan Presiden dan DPR Pada Masa Susilo Bambang Yudhoyono Jusuf Kalla

Nama : Ferry Meiman Gunawan Waruwu

NIM : 070906065

Depertemen : Ilmu Politik

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembimbing : Muryanto Amin S.Sos M.Si

Transfer kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada wakil presiden B.J Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berarti pada sistem politik Indonesia. Di tingkat Makro, perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem politik Indonesia, dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih demokratis. Ada banyak perubahan yang terjadi di dalam sistem ketanegaraan kita. Mulai dari perubahan peran dan fungsi masing Institusi serta kebebasan pers adalah hal yang paling tampak nyata dalam politik Indonesia. Secara khusus sejak Indonesia masuk dalam masa reformasi, hubungan antara lembaga tinggi negara juga berubah. Dengan adanya amandemen UUD 1945 yang ke-IV membawa sebuah hubungan baru dalam sistem politik Indonesia. Perubahan yang terjadi ada yang bersifat mendukung dan ada juga yang bersifat saling berkontradiksi.

Legislatif dan Eksekutif merupakan fokus kajian utama penulis disini sebab hubungan antara kedua lembaga ini yang paling banyak mengalami perubahan pasca amandemen UUD 1945. Ada kecenderungan penguatan peranan Legislatif dimasa orde reformasi ini dimana sebelumnya dimasa Orde Baru, peranan Eksekutif sangat kuat sedangkan Legislatif hanya menjadi pelengkap saja dalam sistem presidensialisme di Indonesia. Kondisi sarat-DPR ini coba penulis telusuri dalam pemerintahan SBY-JK yang merupakan produk asli pemerintahan presidensial yang lahir di masa Orde Reformasi.

Dari Penelitian yang penulis dapatkan, secara konstitusional sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem Presidensialisme. Hubungan yang tercipta antara Eksekutif dan Legislatif dimasa SBY-JK sangat di pengaruhi oleh adanya Amandemen 1945 dan sistem multipartai yang di anut oleh indonesia. Kebentuan sempat terjadi di awal-awal pemerintahan SBY-JK namun dengan adanya akomodasi dari pihak eksekutif terhadap dewan maka deadlock yang di ramalkan tidak sampai terjadi.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Transfer kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada wakil presiden B.J Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berarti pada sistem politik Indonesia. Di tingkat Makro, perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem politik Indonesia, dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih demokratis. Paling tidak pintu menuju proses demokratisasi sejak saat itu menjadi terbuka lebar. Secara parsial, kecenderungan itu terlihat dari adanya perubahan-perubahan di dalam sistem politik Indonesia. Beberapa perubahan umum yang dapat kita saksikan adalah relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dari yang bercorak sentralis ke corak yang lebih desentralisasi, juga perubahan-perubahan kerangka kelembagaan lainnya, sepertinya adanya sistem multipartai, pelaksanaan pemilu yang lebih demokratis, adanya pers yang bebas dan upaya menjadikan birokrasi dan militer sebagai kekuatan profesional tetapi netral secara politik.

Transfer kekuasaan itu dengan demikian memiliki perbedaan yang mencolok kalau di bandingkan dengan transfer kekuasaan antara Presiden Soekarno kepada Jendral Soeharto sesuai dengan peristiwa 30 September 1965. Ketika itu, di dalam peta kekuasaan, termasuk para pemegang kekuasaan di Indonesia memang telah terjadi perubahan perubahan besar-besaran (replacement) tetapi perubahan itu hanya berkisar pada perubahan sistem ekonomi dan percepatan pembanganunan. Sistem Pembagian kekuasaan tetap mengusung format executive heavy, dimana kekuasaan legislatif dan yudikatif di kendalikan oleh eksekutif.

Ketika era reformasi bergulir mulai ada niat untuk memperjelas adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan. Niat ini mulai di tunjukkan dari Amandemen UUD 1945 yang dulunya di anggap “tidak mungkin” untuk di Amandemen. Hasil Amandemen ke-IV UUD 1945 membawa perubahan yang sangat mencolok dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia. Perubahan-perubahan itu antara lain: kekuasaan yang sebelumnya terdesentralisasi kemudian menjadi terbagi-bagi. Di tingkat pemerintahan pusat, distribusi kekuasaan lembaga-lembaga negara mulai di perjelas fungsinya,


(12)

sehingga memungkinkan terjadinya saling kontrol antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, ruang adanya akuntabilitas horizontal telah dibuka. Yang paling tampak adalah distribusi kekuasaan antara eksekutif yang berpusat pada institusi Kepresidenan dan Legislatif yang berpusat di instasi DPR, kedua lembaga ini di masa Orde Baru sama-sama tidak menjalankan fungsi check and balances secara proporsional, namun yang terlihat adalah keinginan untuk mendominasi. Di masa Orde Baru kita melihat Eksekutif begitu kuatnya dalam mendominasi setiap kebijakan yang dihasilkan parlemen, namun ketika amandemen di jalankan fungsi awal dari kedua institusi ini semakin di perjelas.

Perubahan lain dalam sistem politik kita adalah, adanya sistem perwakilan yang berubah. Dalam proses kelembagaan terlihat dengan jelas bahwa lembaga perwakilan kita saat ini hanya mengenal perwakilan dari partai saja, dimana sebelumnya di masa Orde Baru, militer berperan aktif dalam lembaga perwakilan kita. Proses dalam memilih wakil rakyat pun ikut berubah dimana dulunya wakil yang duduk di parleman di tentukan oleh partai-partai politik dimasa reformasi budaya ini diubah dengan pemilihan secara langsung. Hal baru juga dalam Lembaga perwakilan adalah sistem perwakilan dua kamar yaitu sistem perwakilan yang mengikutkan Perwakilan dari Daerah untuk ikut serta dalam perumusan Peraturan dan perundang-undangan.

Semangat untuk mendirikan partai baru di Indonesia masih belum memudar juga, meskipun dua kali pemilu pasca-pemerintahan Orde Baru (1999 dan 2004) telah memberi pelajaran cukup berharga bahwa hanya partai-partai tertentu saja yang memperoleh dukungan berarti dari para pemilih (konstituen) namun semangat mendirikan partai tetap saja ada. Ini membuktikan bahwa masyarakat sudah tidak merasa takut dalam mendirikan partai dan bebas untuk ikut di pilih dalam pemilihan umum. Dengan jumlah partai yang begitu banyak yang ingin mengikuti pemilu mendorong juga lahirnya format baru pemilihan umum di Indonesia. Dimana sebelumnya pemilihan umum mengenal pemilihan secara tertutup, saat ini pemilihan dilaksanakan secara langsung, rakyat di beri kekuasaan untuk memilih langsung wakil yang akan duduk di parleman.

Era reformasi menghasilkan begitu banyak perubahan dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia. Format baru yang begitu banyak dan bahkan untuk melacak peruban yang terjadi pasca Orde-Baru sangat sulit untuk dapat kita lakukan. Namun secara ringkasnya perubahan yang paling tampak dalam sistem politik kita berputar pada


(13)

lima pilar demokrasi yaitu: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Partai Politik dan Pers. Kelima pilar demokrasi setalah orde baru seakan di rombak peranan dan fungsinya menjadi lebih jelas dan spesifik.

Selain perubahan yang mencolok, kegagalan serta masalah-masalah kelembagaan yang mencolok juga masih di hadapi oleh bangsa Indonesia. Korupsi yang mengakar, kemiskinan, degradasi moral, kejahatan terorganisir, dan perebutan kekuaasaan antara lembaga-lembaga negara serta krisis kepemimpinan adalah situasi yang hampir kita lihat setiap hari.

Dari banyaknya perubahan yang terjadi di Indonesia, ada satu hal yang paling menarik yang ingin penulis dapatkan dari perubahan ini salah satunya adalah hubungan relasi yang terbangun antara Eksekutif dan Legislatif pasca Amandemen Ke-IV. Sebab secara khusus kalau kita melihat perjalanan demokrasi di Indonesia Pemilu 2004 merupakan tonggak awal institusionalisme sistem presidensialisme murni di Indonesia pada pemilu ini pula untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini juga merupakan catatan baru dalam sejarah pemilu Indonesia. Sebelumnya, Pemilu 1955 juga di pandang sebagai prestasi Gemilang sekaligus jawaban kepada dunia Internasional yang mengklaim bangsa Indonesia tidak sanggup berdemokrasi1.

Institusionalisme sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung di pilih rakyat merupakan sebuah terobosan politik sekaligus kemajuan dalam demokratisasi Indonesia. Hal ini juga merupakan prestasi baru dalam perpolitikan Indonesia bila dibandingkan dengan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara tidak langsung Melalui Majelis Permusyawaratan (MPR) yang banyak mengandung kelemahan dan distorsi ketika dipraktikkan sebelum amandemen UUD 1945.

Ketika UUD 1945 belum di amandemen, corak pemerintahan Indonesia memang sering dikatakan sebagai sistem semi-presidensialisme. Namun jika dicermati realitas politik ketatanegaraan Indonesia selama itu, dalam praktiknya sistem pemerintahan Indonesia justru lebih mendekati corak parlementer. Hal ini di buktikan dengan mekanisme pemberhentian presiden yang lebih disebabkan atas dasar alasan politis.

1


(14)

Kasus pemberhentian Presiden Soeharto misalnya diawali dengan permintaan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Presiden agar mengundurkan diri. Saat itu, Pimpinan DPR menganggap tidak perlu menunggu Sidang Istimewa MPR karena DPR sudah dianggap mewakili MPR2.

Pemberhentian Presiden Soekarno juga berawal dari permintaan DPR kepada MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa agar meminta pertanggungjawaban Presiden. Sidang Istimewa saat itu bertujuan menjatuhkan Presiden Soekarno. MPR akhirnya mencabut mandat Presiden Soekarno sesuai resolusi DPR. Demikian juga dengan pemakzulan Presiden Abdulrahman Wahid, Sidang istimewa MPR hanya formalitas prosedur, yang sekedar mengesahkan padangan di DPR3. Intinya, hampir semua presiden di Indonesia diberhentikan karena alasan politik yang di inisiasi lembaga negara yang bernama Parlemen (DPR).

Sistem pemerintahan Indonesia sebelum amandemen konstitusi, selain sering dikatakan sebagai sistem semi-presidensial, juga sering di istilahkan dengan sistem MPR. Dalam sistem ini presiden bertanggung jawab kepada MPR serta melaksanakan tugas sesuai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di tetapkan MPR. Menurut konstruksi konstitusi saat itu, kedudukan politik presiden adalah sebagai mandataris MPR ditambah utusan daerah dan utusan golongan, yang jumlahnya tidak lebih dari separuh anggota DPR. Sistem politik saat itu juga tidak mengenal istilah oposisi, dan kabinetnya dikatakan sebagai kabinet semipresidensial. Sistem pemerintahan Indonesia memang telah ditopang beberapa karakteristik institusional sistem presidensial, tetapi belum secara utuh dan murni.

Amandemen UUD 1945 telah berhasil mengantarkan pemerintahan Indonesia menjadi sistem presidensial yang lebih murni. MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat dan lembaga itu telah mengalami perubahan komposisi dan konfigurasi. Presiden bukan lagi Mandataris MPR, karena presiden sudah dipilih secara langsung oleh rakyat. Presiden juga tidak lagi mengesahkan GBHN, melainkan melaksanakan program-program sendiri yang ditawarkan saat kampanya.

2

Lihat Ismanto dkk. Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumen, analisis dan Kritik, Kementerian Riset dan Teknologi dan Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, 2004.

3


(15)

Rumusan sistem presidensial yang diamanatkan konstitusi itu ternyata tidak terlalu mudah di realisasikan dalam praktik politik keseharian. Konstruksi dasar sistem presidensial bahwa lokus kekuasaan terpusat pada lembaga eksekutif (presiden) mengalami kesulitan dalam praktiknya. Efektifitas penerapan kekuasaan presiden dalam konteks demokrasi presidensial ternyata, mengandung dilema politik di satu sisi presiden di berikan kekuasaan yang cukup besar sebagai pemegan kekuasaan tunggal dalam pemerintahan (single chief executive), tetapi pada saat kekuasaan ini juga dikekang sangat kuat oleh kontrol parlemen melalui mekanisme check and balances, bahkan selalu di bayangi oleh impeachment. Presidensialisme kadang memiliki problematika tersendiri dan rentan mengalami kegagalan jika tidak di kelola dengan baik. Ada kecenderungan usia dan daya tahan demokrasi presidensial cenderung lebih pendek dibandingkan dengan usia atau daya tahan demokrasi parlementer4.

Rancangan mekaniseme Check and Balances sering kali menjadi persoalan utama dalam sistem presidensial. Fenomena ini menunjukkan bahwa konstitusi Indonesia ternyata belum sanggup merancang mekanisme check and balances yang efektif untuk mendukung ide dasar sistem presidensialisme. Hal ini terlihat dari praktik check and balances di masa Orde Baru dan Reformasi bagaikan dua kutub yang saling berseberangan.

Orde Baru mewariskan sistem politik yang timpang dan sentralistik. Lembaga kepresidenan mendominasi segala urusan termasuk urusan legislatif dan yudikatif. Akibatnya kekuasaan di ranah legislatif dan yudikatif merupakan derivasi kekuasaan politik eksekutif (lembaga kepresidenan). Sejak Indonesia merdeka hingga Orde Baru runtuh pada 1998, kekuasaan negara sepenuhnya terkosentrasi di lembaga kepresidenan. DPR hanya menjadi setempel pemerintah. Lembaga legislatif dan yudikatif semata hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan yang sepenuhnya di cengkram oleh eksekutif.

Konstitusi telah di amandemen beberapa kali selama reformasi politik bergulir. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali semula bertujuan membangun ekuilibrium politik (keseimbangan) di atara cabang-cabang kekuasaan. Namun, faktanya, pasca amandemen UUD 1945, bukan keseimbangan kekuasaan yang dicapai, melainkan terjadi

4

Adam Przeworski, Michael E. Alvarez, Jose A. Cheibub, Fernando Limongi, Democracy and


(16)

ketidakseimbangan baru. Dominasi kekuasaan cenderung bergeser dari lembaga kepresidenan ke parlemen.

Meskipun Indonesia saat ini menganut presidensialisme yang telah mengalami purifikasi, ternyata praktiknya menjadi lebih berat ke sistem parlementer seperti halnya masa sebelum amandemen konsititusi. Contohnya, saat ini hanya untuk menunjuk seorang duta besar, presiden harus mendapatkan persetujuan DPR. Padahal, di seluruh dunia, hal itu hanya terjadi di Indonesia. Fenomena ini menunjukkan sebuah dilema sekaligus paradoks kekuasaan presiden dalam sistem presidensial. Fenomena ini telah memperkuat tesis bahwa sistem presidensial yang di terapkan di atas struktur politik multipartai diragukan dapat mendorong demokratisasi, dan diyakini akan cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen yang akan menghadirkan demokrasi yang tidak stabil5.

Ketidakstabilan pemerintahan dalam sistem presidensial diyakini semakin kentara bila di padukan dengan sistem multi partai. Perpaduan ini diyakini akan cenderung melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pemerintahan terbelah (devided

government)6. Kondisi ini terjadi ketika presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen. Pengalaman negara-negara Latin misalnya, perpaduan sistem presidensialisme dan multipartai dianggap telah mengalami kegagalan dan menghadirkan demokrasi labil. Tesis ini akan menjadi pembuktian bagi implementasi presidensialisme Indonesia yang sedang mengalami purifikasi tetapi di terapakan dalam konstruksi politik multipartai.

Menurut pandangan Scott Mainwaring, Presidensialisme tidak otomatis menghambat kinerja dan stabilitas demokrasi di suatu negara. Presidensialisme menjadi masalah kalau berkombinasi dengan sistem multipartai. Dari hasil observasi terhadap 31 negara yang sudah stabil demokrasinya sejak 1967 hingga 1992, Mainwaring menemukan bahwa semua negara yang menganut sistem presidensialisme dan berhasil mempertahankan demokrasi ternyata menganut sistem dwipartai7.

5

Juan Linz dan Arturo Velenzuela, The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin

America, Jhon Hopkins University, 1994.

6

Ibid

7

Scott Mainwaring, Presidentialsm, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination, Comparative Political Studies, Vol 26 No.2. 1993


(17)

Beberapa negara, seperti Amerika Serikat yang mengadopsi sistem presidensialisme murni pada umumnya memadukan sistem presidensial dengan sistem dwipartai. Di Indonesia sistem presidensial justru di padukan dengan sistem multipartai. Hal ini merupakan realitas politik Indonesia yang menarik untuk dikaji secara akademis. Penerapan sistem pemilihan presiden secara langsung sebagai penegasan sistem presidensial murni justru ditopang sistem multipartai.

Sistem multipartai secara teoritis sebenarnya diyakini lebih cocok untuk sistem pemerintahan parlementer. Sistem multipartai juga di percaya tidak sefleksibel sistem dua partai dalam hal perpaduan dengan sistem pemerintahan. Pengalaman beberapa negara yang memadukan sistem dua partai dan sistem presidensial cenderung membentuk pemerintahan yang stabil, contohnya amerika serikat. Sistem dua partai yang di padukan dengan sistem parlemneter jug cenderung membentuk pemerintahan yang stabil, seperti pengalaman Inggris.

Persoalan, sistem dua partai baru terbukti berjalan dengan baik di negara yang memiliki komposisi masyarakat Homogen (social homogenity). Sementara indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan yang sangat tinggi dan ting tingkat pluralitas sosial yang kompleks. Komposisi masyarakat ini cenderung mendorong terbentuknya sistem multipartai yang terfragmentasi secara politik.

Sistem multipartai merupakan sebuah konteks politik yang sulit di hindari dalam penerapan sistem presidensial di Indonesia. Padahal di satu sisi ada kekhawatiran bahwa penerapan sistem presidensial di tengah-tengah konstruksi sistem multipartai diyakini akan menimbulkan kedudukan presiden yang lemah. Sistem multi partai yang terfragmentasi akan sulit melahirkan satu partai yang cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri, sehingga harus membentuk koalisi dengan partai-partai lain.

Sistem politik Indonesia juga semakin kompleks ketika sistem pemilihan presiden secara langsung dilaksanakan melalui mekanisme dua putaran. Putaran kedua hanya di ikuti dua pasangan calon presiden/wakil presiden. Hal ini akan berimplikasi melaharikan dua kelompak besar pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung dalam pemilu. Konsekuensinya, satu pasangan akan menjadi pemenang dan satu pasangan lainnya akan di kalahkan. Sesuai logika demokrasi yang kalah idealnya menjadi oposisi.


(18)

Pelembagaan sistem presidensial murni sejak Pemilu 2004 membuat sistem politik indonesia semakin menarik. Sistem tersebut berjalan di tengah-tengah sistem multipartai, apalagi presiden pemenang pemilu ternyata hanya dicalonkan partai minoritas di DPR. Pada perjalanan politik selanjutnya ternyata wakil presiden justru menjadi ketua umum partai pemenang pemilu legislatif dan fraksi terbesar di parlemen. Tentu fenomena ini akan menimbulkan kompleksitas hubungan presiden minoritas dan parlemen, juga relasi presden dan wakil presiden. Kedudukan presiden sebagai single chiev executive dalam menjalankan kekuasaannya akan menjadi problematika yang kompleks.

Presiden terpilih terpaksa atau dipaksa mengakomodasi kepentingan parpol di parlemen dalam penyusunan komposisi kabinet. Konsekuensinya, komposisi menjadi kabinet koalisi. Kondisi ini akan berimplikasi terhadap struktur kekuasaan presiden. Hal ini menunjukkan bahwa sistem presidensial di Indonesia seakan tidak diterapkan secaa ideal karena sistem ini harus berkompromi dengan situasi politik multipartai. Implikasinya, meskipun presiden di pilih langsung oleh rakyat, calon presiden cenderung diharuskan melakukan koalisi dengan partai lainnya untuk memenangkan pemilihan umum.

Setelah pemilu presiden terpilih di tuntut lagi melakukan koalisi dalam penyusunan struktur kabinetnya untuk memperoleh dukungan suara mayoritas di DPR, seperti halnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Hal ini mirip dengan sistem kabinet parlementer meskipun presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen inilah karakter khas kabinet presidensial Indonesia.

1.2 Permasalahan

Pergantian konstitusi sebelum orde baru dan perubahan konstitusi pasca-orde baru yang diikuti pula dengan penyempurnaan dan penataan ulang sistem pemerintahan, tak hanya berdampak pada perubahan struktur kekuasaan lembaga legislatif dan eksekutif, melainkan juga pola relasi atau hubungan kekuasaan di antara eksekutif, legislatif dan lembaga yudikatif. Apabila pada era demokrasi parlementer pada periode 1950-an sistem pemerintahan Indonesia bernuansa “sarat legislatif” (legislative-heavy), maka selama hampir 40 tahun era otoriter Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru corak itu sangat “sarat-eksekutif” (executive-heavy). Empat dekade otoritarianisme tersebut sekaligus


(19)

melengkapi gambaran dominasi lembaga eksekutif sepanjang sejarah Indonesia sebagai sebuah negara modern. Ketika Orde Soeharto berakhir pada 1998, keseimbangan relasi antara legislatif-eksekutif pun berubah lagi di mana kecenderungan legislative heavy tampak menguat kembali. Puncak kecenderungan itu adalah berlangsungannya sidang istimewa MPR yang akhirnya mencopot Presiden Abdul Rahman Wahid dari kekuasaannya Juli 2001.

Pasca amandemen Ke-IV UUD 1945 dalam struktur pemerintahan Indonesia ada 3 hubungan baru yang terbentuk. Hubungan baru ini terbentuk setelah Indonesia mencoba menata ulang sistem pemerintahannya. Secara khusus dalam penelitian ini peneliti ingin memfokuskan pada satu permasalahan yang hendak di bahas nantinya.

Seperti yang telah di paparkan di atas, Reformasi yang bergulir melahirkan beberapa situasi baru dalam sistem perpolitikan Indonesia seperti: Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat, anggota legislatif yang juga di pilih langsung oleh rakyat, munculnya sistem partai baru yang lebih bervariasi, munculnya sistem pemerintahan Daerah (otonomi) dan yang paling terasa adalah munculnya hubungan baru yang sebelumnya tidak pernah tercipta antara Presiden dan DPR, Presiden dan Yudikatif, Presiden dengan partai politik.

Secara khusus tiga hubungan baru ini sebetulnya satu paket yang saling berkaitan, apalagi kalau kita berbicara tentang kinerja masing-masing lembaga. Kinerja presiden akan lancar apabila suara mayoritas di parlemen mendukung penuh rancangan pemerintah. Kinerja lembaga eksekutif sebaliknya akan efektif jika parlemen melakukan fungsi check and balances secara proporsional. Dan terakhir keseluruhan sistem politik Indonesia akan berjalan dengan mulus apabila Partai politik melahirkan kader-kader partai yang loyal dan memiliki ideologi partai yang mantap.

Pemilu 2004 merupakan tonggak sejarah baru dalam sistem perpolitikan Indonesia. Seperti di sebutkan di atas Pemilu 2004 merupakan laboraturium politik yang sempurna bagi ilmuwan politik Indonesia yang ingin melihat bagaiamana praktik presidensialisme dijalankan. Pemilu 2004 menghasilkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai Pasangan Presiden dan wakil presiden. Pasangan ini dicalonkan oleh partai Demokrat dan terpilih dalam sistem pemilihan umum langsung yang pertama kali dalam sejarah pemilu Indonesia.


(20)

Masalah berikutnya yang mengawal perjalanan presiden dan wakil presiden adalah jumlah kursi partai demokrat di parlemen. Jumlah kursi partai demokrat di parlemen hanya 55 kursi dari total 550 kursi yang disediakan. Hal ini tentunya merupakan salah satu permasalahan dalam pelakasanaan sistem presidensialisme. Dalam perjalanan berikutnya, situasi ini melahirkan sebuah konsekuensi politik bagi SBY-JK. Konsekuensi yang paling jelas adalah untuk memperoleh dukungan penuh dari parlemen maka partai pemenang pemilu (Partai Demokrat) harus melakukan koalisi. Koalisi dilakukan untuk mendapatkan jaminan dukungan dari parlemen, dan sekaligus mengamankan kebijakan-kebijakan yang akan dihasilkan oleh pemerintah.

Meskipun Presiden SBY-JK merupakan presiden yang dipilih secara langsung namun tidak serta merta parlemen memberikan dukungan kepada presiden terpilih namun yang terjadi adalah saling tunjuk kekuasaan. Kita masih ingat Sejak pemerintahan Yudhoyono bekerja, tidak kurang 14 usulan hak interpelasi di gulirkan oleh partai-partai politik di DPR untuk mempertanyakan dan menggugat kebijakan pemerintah, salah satunya adalah Hak Interpelasi DPR tanggal 17 Oktober 2005 tentang Kenaikan Harga BBM yang di usul oleh F-PDIP, F-PFB. Walaupun di tolak kemudian.

Sebagian hak interpelasi itu gagal atau di tolak melalui voting dalam Rapat Paripurna DPR, sedangakan sebagian kecil lainnya atas dukungan partai-partai yang turut berkoalisi dalam pemerintahan diterima sebagai hak interpelasi dan hak angket dewan. Meskipun penggunaan hak interpelasi merupakan salah satu hak DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah, namun dalam realitas politik hal itu tak hanya menyita waktu dan energi masing-masing pihak melainkan menciptakan situasi konflik dan ketegangan politik yang tidak produktif bagi efektifitas sistem presidensial.

Sementara itu pada periode yang sama, pemerintahan Yudhoyono-Kalla juga paling kurang menghadapi delapan usulan penggunaan hak angket yang di gulirkan partai-partai di DPR untuk menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran di balik kebijakan-kebijakan pemerintah. Walaupun hanya dua usulan hak angket yang akhirnya sebagai hak angket DPR secara institusi, yakni hak angket penjualan kapal tangker pertamina dan transparansi pengelolan minyak dan gas oleh Pertamina. Namun penggunaan hak pengawasan DPR terhadap pemerintah ini cenderung mempertajam konflik dan ketegangan politik dalam format baru relasi Presiden-DPR. Seperti juga


(21)

usulan penggunaan hak interpelasi, usulan hak angket DPR pun pada umumnya di dukung oleh partai-partai yang memiliki wakil di dalam kabinet Indonesia Bersatu.

Realitas diatas adalah salah satu ciri khas dari relasi baru yang tercipta antara lembaga eksekutif dan legislatif, penambahan beberapa fungsi di tubuh parlemen dan kombinasi sistem multipartai di sistem partai politik kita, mengakibatkan Tesis dari Mainwaring semakin terbukti kebenarannya. Namun, dari semua itu, untuk mecegah terjadinya deadlock antara parlemen dan eksektutif, kompromi akhirnya terjadi. Salah satu yang paling sering kita dengar adalah KOALISI antara partai. Walaupun secara konstitusi Indonesia tidak secara jelas mengatur tentang aturan dan tata cara pelaksaanan KOALISI namun yang terjadi, kompromi yang semacam ini di pergunakan untuk memecahkan situasi kebuntuan tadi.

Permasalahan diatas adalah beberapa masalah yang ada dalam sistem politik Indonesia. Maka dari permasalahan diatas penulis ingin meneliti Hubungan presidensialisme dan parlemen di Indonesia di tengah relasi baru antara Presiden dan DPR?

I. 3 Pembatasan Masalah

Masalah yang akan di bahas terletak dari bagaimana relasi Presiden dan Parlemen di masa Pemerintahan SBY-JK Periode 2004-2009. Penelitian ini akan di tujukan untuk melihat bagaimana fungsi presidensialisme berjalan di tengah-tengah terparbaharuinya sistem konstitusi Indonesia.

I.4 Tujuan Penelitian

Hasil penelitian ini bertujuan untuk mencoba mengkaji Hubungan Presiden dan DPR di Masa Pemerintahan SBY-JK periode 2004-2008.

I. 5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini diantaranya : a. Manfaat Teoritis


(22)

Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yanhg diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap studi kajian ilmu politik, khususnya mengenai pemerintahan Mesir pada masa Husni Mubarak.

b. Manfaat Praktis

Menambah rujukan bagi Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP-USU mengenai Sistem Pemerintahan di Indonesia setelah masa reformasi. Bagi penulis sendiri penelitian ini bermanfaat sebagai sarana untuk menambah pemahan penulis mengenai objek yang diteliti, serta mengasah kemampuan penulis dalam membuat sebuah karya ilmiah.

I. 6 Konseptualisasi dan Teori

Secara umum dapat dibedakan tiga sistem pemerintahan demokrasi, yakni sistem presidensial (presidential system), sistem parlementer (parliamentary system), dan sistem semi-presidensial (semipresidetial system)8. Sistem presidensial berlakau di Amerika Serikat, sebagian besar negara-negara Amarika Latin, dan juga Filipina di Asia Tenggara serta Korea Selatan di Asia Timur. Sistem Parlementer berlaku di Ingris dan pada umumnya negara-negara jajahan Ingris Seperti Australia, India dan Malaysia. Sedangkan kasus spesifik sistem semi-presidensial, yang juga disebut sistem campuran atau sistem

hibrida terutama berlaku di Prancis. Selain pembedaan klasi dan standar tersebut. Dalam

studinya terhadap 36 negara demokrasi pada periode 1945-1996, Arend Lijphart mengelompokkan sistem demokrasi atas dua kategori besar, yakni pemerintahan demokrasi-mayoritarian-dengan contoh tipikal Westminster Kerajaan-Inggris-di satu pihak, dan demokrasi konsensual-dengan contoh tipikal Swiss atau Belgia9.

Ciri-ciri demokrasi mayoritarian adalah memiliki dua partai politik utama, kabinet satu partai, sistem perwakilan satu kamar dan dalam konteks negara kesatuan dengan pemerintahan tersentralisasi. Sedangkan Demokrasi Konsensual memiliki ciri

8

Juan J. Linz, “Presidential or Parliamentary Democracy: Does It Make a Difference?” dalam Juan J. Linz dan Arturo Valenzuela (eds) The Failure of PresidentialDemocracy; Comparative Perspektives Volume 1 (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1994), hlm. 124-133

9

Arend Lijphart, patterns of democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, New Haven and London: Yale University Press, 1999


(23)

antara lain, penggunaan sistem pemilu proporsional dengan distrik berwakil banyak, sistem multipartai, kabinet yang bersifat koalisi, sistem perwakilan dua kamar, dan dalam konteks negara federal dengan pemerintahan terdesentralisasi. Pengelompokkan yang di lakukan Lijphart ini tidak sepenuhnya sama dengan pembedaan sistem presidensial dan parlementer.

Sistem presidensial yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sistem pemerintahan yang menempatkan presiden sebagai pusat kekuasaan legislatif sekaligus pusat kekuasaan negara. Ini berarti bahwa presiden adalah kepala pemerintahan dan juga kepala negara. Selain itu, sistem presidensial dicirikan oleh pemilihan kepala eksekutif secara langsung oleh rakyat, bukan di pilih oleh parlemen seperti berlaku dalam sistem parlementer, presiden bukan bagian dari parlemen dan tidak bisa di berhentikan oleh parlemen kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment); dan presiden tidak dapat membubarkan parlemen sebagaimana halnya sistem parlementer yang memberi hak kepada kepala untuk membubarkan parlemen. Ciri lain dari presidensialiseme adalah keduddukan lembaga parlemen yang tidak hanya terpisah dari eksekutif melainkan juga independen terhadapnya; serta menteri-menteri yang diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada presiden10.

Dari berbagai ciri tersebut, Menurut Arend Lijphart, sebenarnya hanya tiga ciri yang menjadi elemen esensial dari sistem presidensial yakni (1) Presiden atau kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan yang bersifat tetap (fixed term); (2) presiden dipilih langsung oleh rakyat ataupun melalui dewan pemilih (electoral college) seperti di Amerika Serikat; (3) presiden merupakan kepala eksekutif yang bersifat tunggal11. Karena itu perlu dicatat bahwa desain institusi dan praktik sistem presidensialisme di berbagai negara sebenarnya tidak seragam, terdapat variasi-variasi yang sangat signifikan, termasuk di negara-negara Amerika Latin di mana presidensialisme menjadi populer ketimbang parlemntiarisme. Akan tetapi terlapas dari berbagai varian presidensialisme, hampir semua negara yang menganut sistem presidensialisme cenderung menjadikan praktik presidensialisme di Amerika Serikat sebagai inspirasi sekaligus model terbaik.

10

Tentang Perbedaan sistem presidensial dan Parlementer, Lihat Lijphart, ed., Sistem Pemerintahan

Parlementer dan Presidensial, jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995.

11

Arend Lijphart, “Presidentialism and Majoritarian Democracy: Theoritical Observations”. Dalam Linz dan Valanzuela, ed., The Failure of Presidential Democracy, Volume I, Hal. 91-105.


(24)

Dalam sistem presidensialisme di Indonesia, ada satu konsep yang umum kita kenal yaitu Konsep Koalisi. Hal ini lazim menunjuk pada persekutuan dua partai atau lebih yang didasarkan pada kepentingan politik yang sama. Pemerintahan koalisi (coalition government) adalah suatu pemerintahan yang di bentuk oleh lebih dari suatu partai politik. Pemerintahan koalisi lazimnya adalah pemerintahan gabungan-gabungan partai-partai di dalam sistem parlementer yang berbasis multi partai. Sedangkan konsep koalisi yang di pergunakan dalam studi ini menunjuk pada pemerintahan yang didukung oleh lebih dari satu partai di dalam konteks sistem presidenisal.

Secara teoritik model koalisi dapat dibedakan atas tiga kategori, yaitu minimal

winning coalition, minority coalition dan oversizied coalition12. Kategori yang pertama, “koalisi pemenang minimal” menunjuk pada pemerintahan yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana parlemen. Kategori kedua, “koalisi minoritas”, koalisi pemerintahan dari partai-partai kecil dan karena itu tidak mendapat dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Sementara itu kategori yang ketiga “koalisi besar”, menunjuk pada koalisi pemerintahan yang didukung oleh mayoritas mutlak partai politik di parlemen. Format koalisi yang terbentuk lazimnya mempengaruhi kecenderungan relasi kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif.

Konsep pemerintahan yang efektif (governability) menunjuk pada situasi dimana lembaga eksekutif dapat mewujudkan proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan yang berorientasi aspirasi dan kepentingan rakyat tanpa hambatan berarti dari lembaga-lembaga-lembaga legislatif. Secara teoritis sistem presidensialisme memungkinkan terwujudnya pemerintahan yang efektif karena lembaga presiden memiliki legitimasi dan mandat yang kuat lantaran dipilih langsung oleh rakyat, serta presiden memiliki masa jabatan yang bersifat tetap (fixed term). Selain itu prinsip sistem presidensial yang memisahkan kekuasaan eksekutif dan legislatif memberi peluang bagi presiden untuk melaksanakan kebijakan kebijakan pemerintahan tanpa harus terganggu oleh dinamika lembaga legislatif. Asumsinya semakin minim distorsi dan interupsi proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan akan membuat pemerintahan lebih efektif, sehingga pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa menjadi lebih nyata.

12


(25)

Hanya saja sejauh mana efektifitas pemerintahan di dalam konteks sistem presidensial tampaknya sangat bergantung pada pola relasi antara eksekutif dan legislatif, dan sistem kepartaian di pihak lain. Persoalannya sistem presidensial cenderung akan menghasilkan pemerintahan yang efektif apabila presiden di dukung oleh mayoritas sederhana kekuatan parlemen melalui minimal winning coalition. Sebaliknya, jika presiden hanya di dukung kekuatan minoritas parlemen cenderung membuka peluang pemakzulan bagi presiden, dan apabila presien di dukung oleh kekuatan mayoritas mutlak parlemen maka yang cenderung terjadi adalah pemerintahan yang kolutif13.

Problematika Sistem Presidensial

Para ahli yang mendalami studi perbandingan politik sebenarnya sudah menyadari berbagai problematika yang melekat pada sistem presidensial sebagaimana di praktikkan di Amerika Serikat dan di adopsi di negara-negara Amerika Latin. Stabilitas eksekutif yang di sebabkan oleh masa jabatan presiden bersifat tetap, legitimasi dan mandat politik presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, dan pemisahan kekuasaan yang relatif tegas di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan terutama eksekutif-legislatif adalah tiga dianatara sejumlah kelebihan sistem utama presidensialisme.

Namun demikian di samping kelebihan-kelebihannya di bandingkan sistem parlementer, sistem presidensialisme memiliki tiga kelemahan pokok, yakni pertama, kemungkinan munculnya kelumpuhan ataupun jalan buntu politik (deadlock) akibat konflik eksekutif-legislatif. Potensi jalan buntu itu semakin besar lagi apabila sistem presidensialisme di kombinasikan dengan sistem multipartai seperti di khawatirkan oleh Mainwaring14. Kedua kekuatan sistemik yang melekat pada presidensialisme akibat masa jabatan eksekutif yang bersifat tetap, sehingga tidak ada peluang mengganti presiden di tengah jalan jika kinerjanya tidak memuaskan publik. Ketiga, prinsip “pemenang mengambil semua” (the winner takes all) yang inhern di dalam sistem presidensial yang menggunakan sistem mayoritas-dua-putara pemilihan presiden, sehingga memberi

13

Denny Indrayana “Mendesain Presiden yang Efektif: Bukan Presiden ‘sial’ atau Presiden ‘sialan’, Makalah seminar yang diselenggarakan oelh partai Demokrat, Forum komunikasi Parpol dan Politisi serta FNS. Tanggal 13 Desember 2006.

14

Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multiparty Systems, and Democracy: The Difficult Combination. Dalam comparative Political Studies, Vol 26, No. 2. 1993, hal 198-228


(26)

peluang bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakannya atas nama rakyat, dibandingkan lembaga parlemen yang didominasi kepentingan-kepentingan partisan dari partai-partai politik. Juan J. Linz bahkan mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif di dalam sistem presidensial cenderung menimbulkan polarisasi dan instabilitas politik, sehingga di anggap tidak begitu cocok diadopsi di negara-negara demokrasi baru15.

Pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif misalnya, di satu pihak di pandang sebagai kelebihan presidensialisme dibandingkan parlementarisme, namun di pihak lain juga membuka peluang terbentuknya “pemerintahan yang terbelah” (devided government), dimana presiden dan parlemen di kuasai atau di kontrol oleh partai yang berbeda. Pengalaman demokrasi presidensial di AS sendiri memperlihatkan bahwa lebaga kepresiden dan kongres-sidang gabungan DPR (house of Representative) dan Senat-pernah pula di kontrol oleh dua partai yang berbeda, Partai Republik dan partai demokrat16. Selama periode 1968-1992 misalnya, fenomena “pemerintahan terbelah” di AS berlangsung dalam kurun waktu selama 20 tahun, ketika partai republik selalu menduduki Gedung Putih kecuali masa empat tahun di bawah Jimmy Carter sedangkan Partai Demokrat mendominasi Kongres17. Hanya saja, sistem presidensial di AS memiliki mekanisme institusi yang melekat pada dirinya, termasuk mekanisme check and balances dan sistem dua-partai, selain pengalaman ratusan tahun mempraktikan sistem tersebut, sehingga fenomena pemerintahan terbelah tidak mengancam stabilitas demokrasi. Karena itu persoalan menjadi lain jika desain presidensialisme tersebut tidak memiliki mekanisme internal untuk mengatasi fenomena “pemerintahan terbelah” sehingga tidak mengancam deadlock dalam relasi eksekutif legislatif ataupun terjadinya proses pemakzulan atas presiden dan parlemen.

Problematika sistem presidensialisme pada umumnya terjadi ketika ia dikombinasikan dengan sistem muliti partai, apalagi dengan tingkat fragmentasi partai

15

Richard Gunther, The Failure of Presidentialsm Democracy: Comparative Perspective, Baltimore and London: Jhon Hopkins university Press, 1994

16

Tentang Sistem Presidensialsme AS. Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Kantor Program Informasi Internasional Depertamen Luar Negeri Amerika Serikat, Tanpa tahun.

17


(27)

dan polarisasi ideologis yang relatif tinggi. Dalam hubungan ini Scott Mainwaring mengatakan18:

“there are three reason why the institutional combination is problematic. First, multiparty presidentialism is especially likely to produce immobilizing executive/legislative deadlock and such deadlock can destabilize democracy. Second, multipartism is more likely than bipartism to produce ideological polarization, thereby complicating problem often associated with presidentialsm. Finally, the combination of presidentialsm and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition building in presidentialism democracies, with deletorious consequences for democratic stability”.

(terdapat tiga alasan mengapa kombinasi institosional semacam itu bermasalah. Pertama, sistem presidensialisme bebasi multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan akibat kebuntuan eksekutif-legislatif. Dan kebuntuan itu berujung pada instabilitas demokrasi. Kedua, sistem multi partai menghasilkan polarisasi ideologis ketimbang sistem dua-partai, sehingga seringkali menimbulkan problem komplikasi ketika dipadukan dengan presedensialisme. Terakhir, kombinasi presidensial dan multi partai berkomplikasi pada kesulitan membangun koalisi antarpartai dalam demokrasi presidensial, sehingga berimplikasi pada rusaknya stabilitas demokrasi).

Seperti yang dikhawatirkan Mainwaring diatas, serta juga Gunther, Linz dan Lizphart sebagaimana dikemukakan sebelumnya presidensialisme dan sistem multipartai bukan hanya merupakan “kombinasi sulit” melainkan juga membuka peluang terjadinya

immobilsm dan atau deadlock dalam relasi eksekutif-legislatif yang berdampak pada

instabilitas demokrasi presidensialisme. Dilema presidensialisme tersebut itu makin bertambah kompleks jika tidak ada satu partaipun yang menguasai kursi mayoritas di parlemen. Fragmentasi kekuatan-kekuatan partai di parlemen seperti lazimnya adalah produk dari penggunaan sistem pemilu perwakilan berimbang. (propotional

representation system). Problematika sistem presidensialisme yang dikombinasikan

dengan sistem multipartai yang kemudian berpotensi menghasilkan deadlock dalam relasi presiden dan parlemen sehingga berdampak pada instabilitas demokrasi presidensial.

Di luar faktor polariasisi kekuatan-kekuatan parlemen, presiden yang berasal dari partai kecil ataupun koalisi kekuatan partai minoritas juga berpeluang menjadi faktor penting bagi stabilitas dan efektifitas demokrasi presidensialisme. Apalagi jika di satu pihak pemilihan presiden di dasarkan pada prinsip mayoritarian “pemenang mengambil

18


(28)

semua” (the winner takes all), dan di lain pihak pemilihan anggota parlemen dilakukan atas dasar sistem proporsional. Pada saat yang sama Juan J. Linz mengemukakan, prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif pada sistem presidensial berpotensi menghasilkan “legitimasi demokratis ganda” (dual democratic legitimacy) yang beresiko bagi stabilitas demokrasi presidensial. Seperti juga yang di ungkapkan Gunther, saling klaim Legitimasi yang mengarah kepada konflik dan ketegangan di antara lembaga presiden dan parlemen berpeluang muncul jika tidak ada mekanisme institusi yang mengubah perilaku konfliktual menjadi konsensual relasi parelemen-presiden.

Problematika sistem presidensialisme sesungguhnya tidak berhenti disitu. Peluang bagi munculnya demokrasi presidensial yang tidak stabil dan tidak efektif bisa terjadi apabila lembaga presiden yang semestinya merupakan eksekutif tunggal terdiri atas dua. partai yang berbeda dari presiden dan wakil presiden. Persoalan menjadi lebih kompleks jika presiden berasal dari partai yang partai yang lebih kecil di bandingkan dengan basis politik wakil presiden. Jika kecenderungan itu demikian terjadi dalam struktur parlemen yang terfragmentasi, maka tarik menarik kekuasaan antara presiden dan parlemen bisa jadi merupakan ongkos politik dari tipe demokrasi presidensial yang berlaku tersebut.

I.7 Konsep-konsep Demokrasi dan Presidensialisme

Tujuan akhir dari demokrasi adalah representatif, dimana di dalamnya terdapat konsep-konsep mandat dan akuntabilitas, yang akan diwujudkan melalui mekanisme

election/pemilihan19.Hubungan antara demokrasi dan representasi adalah pemerintahan yang demokratis pasti akan representatif - pemerintahan yang sesuai dengan keinginan rakyatnya - karena mereka dipilih rakyat (dengan catatan: pemilihan dilakukan secara bebas, partisipasi yang luas, dan masyarakat memiliki kebebasan politik)20.

19

Bernard Manin, Adam Przeworski, dan Susan C. Stokes, “Elections and Representation” dalam Adam Przeworski, Susan C. Stokes, dan Bernard Manin (eds), Democracy, Accountability, and Representation (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm. 29-51

20

Hubungannya terlihat ketika partai dan kandidat akan menyampaikan proposal kebijakan mereka melalui kampanye yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat, kemudian rakyat menentukan pilihan mana kandidat yang mereka anggap akan menciptakan pemerintahan sesuai dengan aspirasi mereka. Ketika kandidat tersebut terpilih, maka mereka memiliki mandat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan keinginan rakyat yang memilihnya. Dalam hal akuntabilitas, pemilihan akan menetukan kandidat mana yang berhasil memikat rakyat untuk menjalankan pemerintahan, akan tetapi jika hasilnya tidak sesuai harapan maka kandidat tersebut akan menerima hukumannya bisa dengan tidak dipilih lagi oleh rakyatnya dalam pemilihan selanjutnya. Lihat: Ibid., hlm. 29


(29)

Para ilmuwan politik banyak yang menyarankan bermacam bentuk penyusunan

institusi yang secara umum harus memenuhi bentuk institusi yang demokratis. Dalam

masyarakat yang majemuk (seperti Indonesia) pemilihan desain intitusi menjadi dasar yang

menentukan. Pemilihan desain institusi yang berbeda akan menghasilkan keberhasilan

demokratisasi dan durasi rejim demokrasi yang berbeda pula. Desain institusi adalah

pemilihan aturan dalam membuat keputusan bersama.

Jika merujuk pada Arend Lijphart, maka pemilihan desain institusi ini dilakukan

melalui konsensus (consensus democracy)21 dalam tahap demokratisasi. Dalam consensus

democracy, desain institusi menengahi hubungan antara krisis dalam rejim lama dan

konsolidasi rejim yang baru, dan pengaturannya secara struktural ditentukan dalam proses aksi bersama (collective action) dari elit-elit politik.Sama seperti halnya David Potter dengan menggunakan transitional approach, mengatakan dalam tahap transisi menuju demokrasi, secara fundamental akan banyak dipengaruhi oleh inisiatif dan aksi-aksi elit. Sementara itu, menurut Huntington, transisi rejim otoritarian menuju rejim demokrasi selalu melibatkan kompromi di antara kelompok-kelompok yang secara politik kuat mengenai hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh pemerintah.

Variasi pilihan secara nyata terlihat dalam pemilihan sistem institusi, yakni:

presidensialisme atau parlementarisme. Presidensialisme dipilih karena institusi

presidensialisme dapat memuaskan aspirasi demokratis dengan adanya pemilihan langsung eksekutif dan legislatif, adanya jaminan keamanan dalam melawan tirani dengan pemisahan/pembagian kekuasaan, kesempatan untuk mengartikulasikan dan menginstitusinalisasikan kekuasaan tertinggi berdasarkan pilihan langsung rakyat, dan

memenuhi syarat pemerintahan representatif.Przewoski, dkk menyatakan bahwa demokrasi

presidensialisme akan muncul setelah kejatuhan kediktatoran militer ketimbang kediktatoran sipil, dan kemungkinan daya tahan demokrasi Presidensial lebih rendah ketimbang demokrasi

parlementer. Carlos Santiago Nino mengasumsikan bahwa dalam presidensialisme

memungkinkan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden, jika kekuasaan terkonsentrasi

21

Definisi demokrasi berdasarkan konsensus demokrasi dilihat sebagai adanya kesepakatan yang mengatur pemerintahan berdasarkan masyarakat mayoritas, mayoritas dapat memerintah dan minoritas menjadi oposisi dalam Arend Lijphart, Patterns of Democracy; Government Forms and Performance in Thirty-Six


(30)

secara ekstrem dapat menciptakan hyperpresident.22 Menurut Carlos S. Nino23, kekuasaan presiden presidensialisme harus dikurangi dengan cara merubah sistem presidensialisme, dan jalannya fokus pada perubahan konstitusi.

Aturan main bila merujuk pada bentuk institusi model demokrasi konsensus, yang dikatakan Lijphart, mencoba untuk membagi kekuasaan dalam beberapa jalan (sekalipun konsentrasi kekuasaan masih memungkinkan terdapat pada mayoritas), yakni: dengan

power sharing eksekutif dalam koalisi bersama, balanced of power eksekutif dengan

legislatif, representasi proporsional, dan sistem multipartai. Akan tetapi, permasalahan pemisahan kekuasaan seperti yang disebutkan sebelumnya, bukan tidak memiliki masalah. Menurut Lijphart, ketika kekuasaan dibagi maka dampak yang ditimbulkan adalah sulitnya atau bahkan bisa tidak mungkin suatu keputusan dibuat, hasilnya adalah: stagnasi (immobilsm) dan jalan buntu (deadlock)24.

Dalam sistem presidensialisme ataupun parlementarisme, jalannya pemerintahan bersandar pada prinsip dasar dalam konstitusi, prinsip-prinsip dasar ini menjadi faktor utama dalam membentuk jalannya pemerintahan dengan sistem tersebut, yang akan membedakan hasil (outcomes) keduanya.Donald Horowitz melihat institusionalisasi dalam proses menuju demokrasi dari sisi pentingnya desain konstitusi. Desain konstitusi memiliki pengaruh pada distribusi kekuasaan dan siapa yang mendapat kekuasaan, mengingat institusi politik yang diatur dalam tubuh konstitusi, sangat besar menentukan ada tidaknya konflik.

I.8 Teori-teori Presidensialisme

I. 7.1 Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Presidensialisme

Kekuatan Presidensialisme menurut Lijphart (1999) didapat dari tiga sumber, yakni: (1) kekuasaan Presiden yang terdapat dalam konstitusi, di dalamnya terdapat

22

Arend Lijphart dan Carlos H. Waisman, “Intitutional Design and Democratization...Loc. Cit., hlm. 9. Masalah dominasi Presiden dalam prsidensialisme dapat dilakukan melalui beberapa jalan, yakni: (1) kekuatan veto Prsiden atas legislatif dan kontrol terhadap militer yang dapat berlangsung dalam waktu yang lama (sesuai masa jabatannya) dan tidak ada pemilihan ulang dalam masa tersebut (justru mungkin terpilih kembali dalam pemilihan selanjutnya), (2) wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan kabinetnya, (3) hak insiatif membuat kebijakan, (3) kapasitas untuk mendikte legislatif, (4) otoritas keuangan dan fiskal, (5) hak menyatakan keadaan darurat, dan (6) terjamin dalam konstitusi. Berdasarkan keburukan-keburukan ini tidak jarang presidensialisme pada akhirnya diganti dengan tipe pemerintahan lain atau dimodifikasi aturan mainnya. Lihat: Adam Przeworski, Sustainable...Op. Cit.,hlm. 43

23

Adam Przeworski, Michael E. Alvarez, José Antonio Cheibub, Fernando Limongi, Democracy and

Development; Political Institutions and Well-Being in the World, 1950–1990 (New York: Cambridge

University Press, 2000)

24


(31)

reactive power, presidential veto power, dan proactive power, (2) kekuatan dan kohesi

partai Presiden dalam legislatif, dan (3) perhitungan kekuatan yang didapat dari dukungan pemilih (voters) dalam pemilihan, yang dapat diklaim bahwa Presiden adalah pejabat publik yang medapat dukungan rakyat secara keseluruhan25. Legislatif juga memiliki kekuatan yang sama, yakni: legislatif secara terorganisir berisikan partai-partai politik yang dipilih oleh rakyat (voters) dalam pemilihan memainkan perannya sebagai pembuat undang-undang, yang dapat membuat ataupun menentukan kebijakan atas nama rakyat. Juan J. Linz melihat kedua hal ini sebagai dual democratic legitimacy, penjelasannya seperti berikut: dalam sistem presidensialisme, legislatif dan eksekutif sama-sama memegang legitimasi demokrasi karena dipilih rakyat secara independen dalam pemilihan, dan sama-sama terorganisir dengan baik sebagai representasi dukungan rakyat (voters).

Ada kemungkinan bahwa mayoritas dalam legislatif dapat memiliki pilihan politik/kebijakan politik yang berbeda dari kebijakan politik Presiden atas dukungan rakyat Selain itu, Linz juga menjelaskan mengenai bahaya dari sistem presidensialisme lainnya, yang disebut the perils of presidentialism. Pertama, Presiden akan sangat kuat mengklaim dirinya memiliki legitimasi dalam demokrasi, walaupun hanya berdasarkan hitungan jumlah suara. Kedua, memungkinkan Presiden membangun lembaga kepresidenan dengan proporsional suara yang kecil dan menghasilkan Presiden yang memiliki legitimasi yang lemah. Kondisi tersebut akan berlangsung dalam jangka waktu yang tetap, karena adanya kekakuan (rigidity) dalam pemerintahan presidensialisme dimana tidak adanya proses eleksi kembali sampai masa pemerintahan berakhir. Pemerintahan presidensialisme ini juga dibangun dengan mekanisme zero sum gamedan mental winner take all. Permasalahan tersebut berpotensi menimbulkan konflik dimana akan menciptakan kesenjangan tajam antara pihak menang (winer) dan pihak kalah (loser), yang pada akhirnya menciptakan kerenggangan dan polarisasi pemerintahan. Kondisi ini bisa tetap berlangsung dalam periode mandat Presiden berjalan sampai akhir masa pemerintahannya.

25


(32)

David Samuels (2003) berargumentasi bahwa akuntabilitas dapat tercapai melalui dua hal yang berkaitan dengan hubungan institusi, yakni: (1) check and balance dari kekuasaan institusional, dan (2) pemisahan kekuasaan antara dua cabang pemerintahan26. Hal ini terwujud dalam sistem presidensialisme. Arend Lijphart melihatnya sebagai

paradox of presidentialism. Dalam argumentasinya, adanya pemisahan formal kekuasaan

antara eksekutif dan legislatif dalam rejim presidensial akan memberikan kontribusi terciptanya perimbangan kekuasaan (balanced of power), akan tetapi pada pelaksanaannya, masalah dalam presidensialisme justru terjadi berkenaan dengan masalah

balanced of power dan pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif.

Penjelasan teori tersebut adalah sebagai berikut: pertama, presidensialisme membawa unsur majoritarianism, yang dapat diartikan sebagai pemusatan kekuasaan politik pada mayoritas. Ketika Presiden merepresentasikan kekuasaan mayoritas tersebut, maka akan terciptalah Presiden yang sangat powerful, yang sering dinamakan dengan

hyperpresidentialism. Kedua, Presidensialisme dapat pula menghasilkan pemisahan

kekuasaan, ketika legislatif tergorganisir secara efektif dengan baik. Kondisi ini akan menciptakan balanced of power.Jika eksekutif dan legislatif terpisah dengan mekanisme

balanced of power, masalah kemudian akan timbul, yakni: situasi perimbangan kekuasaan

antara Presiden dengan legislatif dapat menghasilkan jalan buntu (deadlock) dan frustasi dalam mencapai konsensus (seperti masalah dual democratic legitimacy dari Linz).

Scott Mainwaring (1990;1993), menyatakan bahwa pemisahan kekuasaan menyebabkan sistem Presidensialisme menghasilkan ketidakpastian bahwa Presiden akan berasal dari suara mayoritas dalam parlemen. Kepribadian (personalities) seorang Presiden dalam kampanye, dapat memenangkan kompetisi tanpa harus berasal dari partai mayoritas. Walaupun kandidat Presiden tersebut berasal dari partai kecil, masih ada kemungkinan terpilih sebagai Presiden, padahal dukungan pada Presiden yang kecil dalam parlemen akan menimbulkan pergulatan antara eksekutif dan legislatif27.

26

David Samuels, “Presidents, Assemblies, and Accountability”, Working Papper (Minneapolis: Department of Political Science, University of Minnesota, 2003), hlm. 21-22

27

Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multiparty Systems, and Democracy: The Difficult Equation”,

Workingpaper #144 (Indiana: Kellog Institute, University of Notre Dame, 1990), hlm. 9, dielaborasi dalam Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination; Comparative Political Studies


(33)

Dalam Teori yang pertama ini akan penulis gunakan untuk menganalisis beberapa hal. Pertama yang adalah bagaimana proses terbangunnya Hubungan presiden dan DPR dalam Praktik presidenisalisme di Indonesia. Kedua adalah untuk melihat bagaimana berjalannya sistetem presidensialisme itu sendiri di Indonesia.

I.8. 2 Presiden, Partai Politik, dan Multiparty System

Scott Mainwaring (1990; 1993) melihat bahwa perpaduan antara pemerintahan presidensialisme dan sistem multipartai merupakan kombinasi yang sulit dan problematis, dengan penjelasan sebagai berikut28: dalam sistem presidensialisme memungkinkan terjadinya stagnasi (immobilsm), power eksekutif yang lemah, dan ketidakstabilan hubungan antara eksekutif dan legislatif dikarenakan konflik. Beberapa masalah dalam presidensialisme (seperti konflik eksekutif-legislatif yang menghasilkan immobilsm, kesulitan Presiden dalam menghadapi parlemen, dan anggota-anggota parlemen (congressional) yang mencoba membatasi aksi Presiden, sering kali disebabkan oleh sistem multipartai. Kesulitan ini dimulai ketika kolaborasi Presiden dengan partai politik dalam sistem multipartai, menimbulkan permasalahan koalisi. Pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan koalisi, sementara stabilitas koalisi itu sendiri sangat sulit dipertahankan dalam multipartai sistem presidensialisme. Pada akhirnya mengganggu kestabilan demokrasi dan pemerintahan yang efektif29.

Kolaborasi antara Presiden dan partai politik dimulai ketika pembentukan kabinet, Presiden akan membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan partai-partai yang mendukungnya, akan tetapi kesepakatan ini tidak terikat seperti dalam parlementarisme. Presiden memiliki wewenang untuk merombak kabinet dalam koalisi pemerintahan, jika hal itu terjadi maka Presiden akan dengan mudah kehilangan dukungan dari partai yang bersangkutan dalam parlemen. Kesepakatan antara Presiden dengan partai hanya berorientasi pada persoalan kekuasaan di parlemen, tidak akan ada hubungannya dengan jalinan kerja sama antara Presiden dengan partai yang bersangkutan30.

28

Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multiparty Systems, and Democracy: The Difficult Equation...Loc.

Cit., hlm. 22.

29

Ibid.

30


(34)

Partai-partai mendukung Presiden ketika masa kampanye, untuk dapat duduk dalam parlemen. Ketika partai telah mendapatkan apa yang diinginkannya, tidak ada yang menjanjikan bahwa partai-partai tersebut juga akan mendukung dalam lembaga kepresidenan, walaupun beberapa partai politik berpartisipasi dalam kabinet. Partai politik tersebut tidak bertanggung jawab pada pemerintahan. Bahkan, kemungkinan partai politik menghancurkan koalisi tersebut besar, karena ketika masa bulan madu sebagai Presiden baru dengan koalisi partai politik, sebenarnya pemimpin partai tetap menjaga jarak antara kepentingan partai dan lembaga kepresidenan31.

Hubungan kemitraan yang terjalin antara Presiden dan partai dalam koalisi tersebut disebut Coppedge (1988) sebagai silent partner. Menurutnya, pemimpin partai akan takut kehilangan identitas mereka dari kesalahan pemerintahan koalisi ketika bermasalah sehingga mereka memilih untuk tetap menjaga jarak dan hanya mencari keuntungan dari balik hubungan mereka, kalau tidak menuai keuntungan bagi prestasi mereka maka koalisi akan ditinggalkan.

Linz (1994) melihat bahwa sistem presidensialisme tidak memiliki partai politik yang loyal, terkecuali mereka memiliki ideologi yang terstruktur dengan baik

(well-structured)32. Sementara itu, masalah partai politik yang berkembang - khususnya

negara-negara berkembang - adalah disiplin partai yang kurang dan lemah. Dikarenakan multipartai akan menjalankan pemerintahan nantinya, Presiden yang tidak memiliki suara mayoritas dalam situasi ini akan mengalami kesulitan dalam memerintah, bahkan kesulitan berhadapan dengan mayoritas dalam parlemen. Kondisi yang ada memungkinkan terjadinya perpecahan dan kesulitan meraih persetujuan mengenai anggaran sehingga menciptakan pola hubungan klientela lokal diantara mereka, yang membuat Presiden sulit memerintah dan menjalankan program-programnya.

Distribusi kekuatan yang hampir seimbang antara partai-partai dalam sistem multi-partai mengakibatkan pemerintah bergantung pada koalisi antarpartai, akibatnya substansi stabilititas pemerintahan dalam sistem ini bertumpu pada kompromi antara partai-partai yang berkoalisi, kecuali bila ada salah satu partai yang mampu memenangkan mayoritas-mutlak suara (diatas 50%). Dalam permasalahan lainnya,

31

Ibid.

32


(35)

Lijphart menyebutkan, bahwa partai politik akan memiliki keinginan untuk masuk dan bertahan dalam kabinet koalisi, penjelasannya sebagai berikut: menurut Kaare Strorm (1990), kondisi tertentu yang membuat partai memilih untuk tidak bergabung dalam koalisi kabinet adalah berada dalam pihak oposi, akan tetapi hal itu dimungkinkan kalau partai politik yang bersangkutan akan yakin akan mendapat dukungan yang sama dalam pemilihan dan kesempatan mendapat posisi yang lebih kuat dalam pemerintahan selanjutnya, hal ini dimungkinkan jika posisi dalam legislatif memberikan kesempatan mereka untuk memiliki suara mayoritas dalam kebijakan tanpa harus berada dalam pemerintahan.Menurut Lijphart, keinginan suatu partai politik bila ingin bergabung dalam kabinet adalah tidak hanya sekedar bergabung namun juga berusaha untuk mempertahankan diri dalam kabinet agar dapat tetap ikut terlibat dalam kompromi-kompromi dengan partner koalisi untuk menjamin political power mereka.

Dalam Teori yang kedua ini penulis akan gunakan untuk memberikan gambaran bagaimana sebenarnya pelaksanaan praktik presidensialisme di Indonesia di tengah sistem multy partai yang sedang di terbangun di Indonesia setelah terjadi Amandeman ke IV UUD 1945. Teori yang penulis pakai juga disini berguna untuk menggambarkan bagaimana posisi pemerintahan SBY-JK di awal masa jabatannya berusaha untuk merangkai semua partai yang ada di parlemen untuk mencegah terjadi

immobilsm, akibat minimnya dukungan terhadap pemerintah.

I. 9 Metode Penelitian

Metode penelitian didefenisikan sebagai ajaran mengenai cara-cara yang digunakan dalam memproses penelitian33. Metode berguna untuk memberikan ketepatan, kebenaran dan pengetahuan yang mempunyai nilai ilmiah yang tinggi.Untuk itu, penelitian ini akan memaparkan beberapa cara sebagai batasan untuk mencapai kebenaran ilmiah, yakni : jenis penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

33


(36)

I. 9.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan penekanan pada deskriptif dan analitis. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikitpun belum diketahui. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu yang baru sedikit diketahui, metode kualitatif juga dapat memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit di ungkap oleh metode kuantitatif34.

Dengan metode dan pendekatan penelitian ini penulis dimaksudkan agar dapat melihat dan memahami mengenai sistem partai politik dan efektifitas sistem pemerintahan SBY-Boediono hasil pemilu 2009.

I. 9.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini untuk memperoleh informasi atau data yang akurat sehingga dapat dipertanggung jawabkan sebagai suatu penelitian sosial yang ilmiah. Adapun data yang akan dikumpulkan yaitu:

I. 9.3 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan yang antara lain mengumpulkan buku-buku, koran, majalah, dan bahan-bahan lainnya yang dianggap berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis sebagai bahan tambahan untuk melengkapi keakuratan dari data primer.

I.10 Teknik Analisis Data

Penelitian ini bersifat deskripsi dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kejadian yang terjadi. Data yang terkumpul melalui wawancara dan dokumentasi akan dianalisis secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti. Permasalahan yang akan diteliti akan menjawab tujuan penelitian ini.

34

Ansem Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Tata Langkah dan Teknik-


(37)

1.11 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini akan terdiri dari beberapa bab. Adapun tiap bab terdiri dari : BAB I : Pendahuluan

Bab I ini berisi tentang latar balakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode peneltian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Lokasi Penelitan dan objek penelitan

Bab ini berisi tentang bagaimana format baru relasi Presiden-Parlemen terbentuk. Deskripsi sistem pemerintahan Indonesia setelah Amandemen.

BAB III : Bab ini berisikan tentang temuan-temuan dalam penelitan. Temuan-

temuan ini berisikan kejadian-kejadian yang mewarnai perjalanan Pemerintahan SBY-JK dalam format pemerintahan baru.

BAB IV : Bab ini akan berisikan tentang analisa terhadap temuan-temuan yang dihasilkan di bab sebelumnya. Analisa ini akan dikaitkan dengan teori- teori yang di kemukan sebelumnya


(38)

BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

2.1 Pola Hubungan Presiden dan DPR dari Masa Orde Baru ke Orde Reformasi Sebelum mengenal secara lengkap perjalanan Hubungan Eksekutif dan legislatif pada masa SBY-JK maka kita perlu dulu mengetahui bagaimana sebenarnya pola hubungan presidensialisme yang tercipta sebelum masa SBY-JK dan bagaimana proses perubahan itu terjadi.

2.2.1 Hubungan Eksekutif dan Legislatif Masa Orde baru

Hubungan eksekutif dan legislatif yang berlangsung dalam pemerintahan orde baru memiliki ciri otoritarian dalam praktik presidensialisme. Pasalnya, eksekutif mampu mengontrol legislatif bahkan dapat ikut andil dalam menetapkan kebijakan yang dikeluarkan legislatif. Lembaga negara pada masa pemerintahan orde baru terdiri atas lembaga tertinggi negara (yakni: MPR) dan lembaga tinggi negara (yakni: Presiden, DPR, Mahkamah Agung (MA), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)35 MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki wewenang: (1) menetapkan Undang-undang Dasar, (2) Menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan (3) memilih Presiden dan Wakil Presiden. Anggota MPR pada masa orde baru adalah anggota DPR ditambah dengan utusan golongan dan utusan daerah.36

Presiden merupakan penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi dan secara eksplisit dijelaskan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa kekuasaan dan tanggung jawab pemerintahan ada di tangan Presiden. Pada jaman orde baru, lembaga kepresidenan menjadi pemegang konsentrasi kekuasaan negara dengan argumentasi untuk mengembalikan posisi dan aturan permainan lembaga-lembaga negara sesuai dengan UUD 1945 setelah belajar dari pengalaman masa orde lama. Pemerintahan orde baru

35

Belajar dari pengalaman orde lama yang mengubah demokrasi berdasarkan permusayawaratan

perwakilan menjadi demokrasi terpimpin, kedaulatan di tangan rakyat diubah menjadi suara penyambung lidah rakyat, DPR hasil pemilu dibubarkan, hukum konstitusional diganti hukum revolusi (dan Presiden diangkat oleh hukum revolusi), pengangkatan Presiden seumur hidup, dan MPRS berpindah ke tangan pemimpin besar revolusi. Lihat: Ali Moertopo, Strategi Pembangunan Nasional...Op. Cit., hlm. 134 dan hlm. 154

36


(39)

dipertanggung jawabkan oleh Presiden sebagai mandataris MPR37 DPR selaku lembaga legislatif memiliki fungsi (sesuai UUD 1945) untuk membentuk undang-undang bersama-sama Presiden, menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diusulkan pemerintah, dan mengawasi jalannya pemerintahan walaupun DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden (kecuali melanggar GBHN dan UUD 1945).

Kedua lembaga ini dituntut untuk dapat saling bekerja sama dalam membentuk undang-undang atau menetapkan APBN. Hubungan kerjasama antara legislatif dan eksekutif pada masa ini terus berlangsung baik dalam kerjasama menentukan Rancangan APBN dan APBN untuk melaksanakan Repelita. Terbukti nyata dalam kerjasama penyelesaian undang-undang dan RAPBN tiap tahunnya. Dalam hal pengawasan, posisi DPR kuat karena dewan tidak dapat dijatuhkan oleh Presiden dan dewan dapat menjatuhkan Presiden (hanya apabila Presiden melanggar GBHN dan UUD 1945) karena anggota DPR merangkap sebagai anggota MPR yang sewaktu-waktu dapat mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggung jawaban Presiden38.

Dalam pengambilan keputusan, hubungan yang bersifat gotong royong dan musyawarah ketika masa Soekarno memproklamirkan demokrasi diubah dengan proses pembuatan keputusan dibawah demokrasi pancasila melalui konsensus. Apabila konsensus tidak tercapai orde baru mengenalkan jalan aklamasi atau berdasar suara terbanyak (mencapai musyawarah untuk mencapai konsensus bersama jika tidak tercapai kesepakatan dilakukan pemungutan suara terbanyak).39 Akan tetapi aturan main dalam praktik ini tercoreng dengan struktur bangunan politik yang dibentuk Soeharto.

Struktur bangunan yang dibangun melalui tiga pilar kekuasaan menempatkan Presiden sebagai mandataris MPR, Panglima Tinggi ABRI, dan Ketua Dewan Pembina Partai membuat kekuasaan Presiden tersentralistis dengan pengontrolan yang bersifat birokratis dan militeristis. Kekuasaan Presiden sebagai eksekutif sebenarnya berada diatas DPR selaku legislatif yang memungkinkan Presiden menjalankan praktik presidensialisme otoritarian atau bisa dikatakan dengan istilah hyperpresident.

37

Ali Moertopo, Strategi Pembangunan Nasional...Ibid., hlm. 158-159.

38

Ibid., hlm. 159 dan hlm. 163

39


(40)

Disini dapat terlihat bahwa praktik presidensialisme ala orde baru menempatkan kekuasaan Presiden secara sentralistis, bahkan dapat dikatakan kedudukan eksekutif sebenarnya lebih tinggi dari legislatif. Justifikasi dwifungsi ABRI sebenarnya merupakan bagian dari aturan main yang dibuat Soeharto untuk dapat menentukan posisi dan kedudukan orang-orang yang duduk dalam legislatif dan mengontrolnya melalui kekuatan militer (tentunya sesuai dengan kepentingan Presiden). MPR sendiri sebenarnya tidak membuat Presiden akuntabel dalam hal ini.

Sekalipun sebagai lembaga tertinggi negara yang memilih Presiden dan wakilnya namun anggota MPR bukan diproses melalui pemilihan (tidak dipilih rakyat) melainkan sebagian besar melalui pengangkatan Hanya fraksi partai politik yang dipilih rakyat (itupun dimenangkan Golkar secara mayoritas mutlak akibat kebijakan monoloyalitas yang merepresentasikan kepentingan Presiden). Sementara itu pengangkatan yang dilakukan untuk merekrut anggota MPR (misalnya, utusan golongan dan utusan daerah) lainnya berada ditangan Presiden.

Kondisi ini menjadikan praktik presidensialisme ala orde baru sebagai sosok

hyperpresident yang memungkinkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)

merajalela. Hal ini tidak jarang membuat terjadinya usaha perlawanan dan kericuhan kembali dari beberapa kalangan misalnya peristiwa malari (tahun 1974) dan petisi 50 (tahun 1980, dipelopori oleh Ali Sadikin, dkk)

2. 2.2 Hubungan Eksekutif dan Legislatif Masa Reformasi (1999-2004)

. Kejatuhan pemerintahan Soeharto ini menandai bentuk baru Relasi Presiden di Indonesia. Sesuai dengan teori bahwa proses demokratisasi akan melalui tahap prekondisi, proses transisi, sampai pada akhirnya menuju konsolidasi40 maka hal yang sama terjadi pada Indonesia dalam pemerintahan Soeharto. Mulai dari tahun 1990-an sampai puncaknya tahun 1997, Indonesia mengalami prekondisi demokrasi dimana krisis moneter melanda yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi.41Kemudian dari prekondisi

40

George Sorensen, Democracy and Democartization: Processes and Prospect in a Changing World

(Boulder, Colorado: Westview Press, 1998), hlm. 24-63.

41

Eep Saefulloh Fatah, “Prolog: Datangnya Zaman Kesempatan” dalam Eep Saefulloh Fatah, Zaman


(1)

menjamin stabilitas demokrasi presidensial, namun canderung berdampak pada terbentuknya format relasi yang bersifat politik-transaksional ketimbang institusional di satu pihak, serta pemerintahan yang tidak begitu efektif di pihak lain. Ketiga, variabel-variabel non-institusional seperti efektifitas kepemimpinan Presiden dan kualitas pelembagaan partai-partai dalam sistem multipartai berpengaruh sangat signifikan bagi stabilitas kombinasi presidensialisme-sistem multipartai di satu sisi, dan efektifitas sistem presidensial yang di hasilkan di sisi lain.


(2)

BAB V KESIMPULAN

Sistem presidensialisme di Indonesia, era SBY-JK khususnya, telah mengalami beberapa perubahan, secara khusus perubahan ini dapat kita lihat dari relasi hubungan kedua lembaga tinggi ini. Dalam kajian penulis sejak melakukan penelitian ini, penyebab terjadinya format baru relasi Presiden dan DPR tampak jelas yang pertama adalah kondisi traumatik terhadap Orde Baru, hal ini mendorong elite partai politik setelah Soeharto lengser mengusung format baru yang membatasi kekuasaan eksekutif. Produk reformasi yang pertama kali yang berhasil di buat adalah Amandemen Undang-Untang Dasar 1945.

Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah membuat adanya pergeseran kekuasaan eksekutif kepada legislatif. Contoh wewenang lembaga legislatif yang mengindikasikan DPR menjadi sangat powerfull adalah: (1) DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan; (2) DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; (3) anggota DPR memiliki hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas; (4) DPR memiliki wewenang memberikan persetujuan untuk menyatakan perang dan membuat perjanjian-perjanjian internasional dengan negara lain; (5) persetujuan DPR juga diperlukan dalam menyetujui dan menetapkan hakim agung, mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota Komisi Yudisial, dan pertimbangan DPR diperlukan untuk mengangkat duta besar dan menerima duta-duta besar negara lain; dan (6) DPR memberikan pertimbangan dalam memberikan amnesti dan abolisi. Selain keenam hal diatas, aturan-aturan mengenai pemberhentian Presiden (impeachment) juga telah diatur bagaimana DPR memiliki andil didalamnya dan DPR tidak dapat dibubarkan Presiden.

Jika dilihat, banyak hal dalam kewenangan DPR yang menjadi terlalu powerful untuk sistem yang menamai dirinya presidensil. Dalam hal perancangan undang-undang, kendatipun Presiden masih memiliki wewenang untuk mengajukan dan membahas rancangan undang-undang, namun jika dalam waktu 30 hari Presiden tidak mengesahkan maka rancangan tersebut otomatis menjadi undang-undang yang harus diberlakukan. Situasi ini mengandung pengertian hak veto Presiden untuk menolak rancangan


(3)

undang-undang sudah diperlemah. Padahal, menurut Lijphart (1999), salah satu sumber kekuatan Presiden dalam sistem presidensialisme adalah presidential veto power. Jika hak veto Presiden tidak lagi kuat, berarti juga ikut mematikan power Presiden dalam menentukan keputusan berkaitan dengan suatu kebijakan.

Selain hak veto, konstitusi juga melanggengkan intervensi DPR ke dalam tubuh kepresidenan. Perlunya persetujuan DPR dalam mengangkat duta besar atau menerima duta-duta besar negara lain dan pemberian amnesti dan abolisi merupakan bukti intervensi DPR terhadap otoritas Presiden dalam sistem presidensialisme. Padahal soal pengangkatan/penerimaan duta besar/konsul merupakan hak prerogatif presiden.

Hal lain menyebabkan terjadinya hubungan baru antara Presiden dan DPR adalah Sistem multipartai yang dianut Indonesia. Hal ini mendorong terjadinya juga perubahan dalam relasi Presiden dan DPR, salah satu yang paling khas adalah koalisi antara partai yang menang dan partai yang kalah. Koalisi terjadi, karena sama sekali tidak ada partai mayoritas yang menguasai kursi di parlemen. Sebagai konsekuensinya partai pemenang pemilu harus melakukan koalisi agar mendapat dukungan penuh dari Legislatif saat pembahasan kebijakan. Namun, fenomena yang terjadi dalam koalisi yang terjadi di Indonesia adalah tidak konsistennya anggota koalisi dalam mendukung pemerintah. Koalisi yang di bangun pemerintah begitu rapuh, dan sering sekali tidak seiring dengan tujuan awal bersama. Desain ini pun mendorong lahirnya sebuah perubuhan baru dalam relasi Presiden dan DPR.

Walaupun dalam perjalanan pemerintahan SBY-JK hubungan antara kedua lembaga ini sarat DPR namun bahwa asumsi teoritis mainwaring tentang potensi kebuntuan politik dalam relasi eksekutif-legislatif, dan asumsi Juan Linz mengenai bahaya dan resiko presidensial bagi stabilitas serta kelangsungan demokrasi presidensial, tidak sepenuhnya benar. Meskipun cukup banyak kasus yang mengindikasikan adanya konflik dan ketegangan politik dalam relasi Presiden Yudhoyono dan DPR, hal itu ternyata tidak berdampak pada munculnya kebuntuan politik dalam relasi Presiden-DPR seperti dikhawatirkan Mainwaring.

Paling kurang ada 14 usulan hak interpelasi dan delapan usulan hak angket yang dicoba digulirkan para politisi partai di DPR selama pemerintahan Yudhoyono, empat di antara hak interpelasi menjadi hak DPR serta dua usulan angket menjadi hak Dewan. Namun


(4)

demikian, yang menarik, ketegangan politik Presiden-DPR tersebut hampir selalu dapat dikompromikan atau “diselesaikan” melalui mekanisme Rapat Konsultasi antara Presiden dan Pimpinan DPR (termasuk pimpinan fraksi, komisi, dam pimpinan alat kelengkapan Dewan yang lain), sehingga situasi konflik dan ketegangan politik yang muncul dibalik relasi Presiden-DPR, baik dalam beberapa kasus interpelasi Dewan maupun kasus-kasus lain dapat dikatakan masih dalam tahap wajar. Hal ini tercermin dari realitas bahwa sejak pemerintahan hasil Pemilu 2004 bekerja hampir tak ada satu pun RUU usulan pemerintah yang macet di tangan DPR, sebaliknya, juga hampir tidak ada usulan RUU yang berasal dari inisiatif DPR macet di tangan pemerintah. Karena itu asumsi teoritis Mainwaring mengenai potensi deadlock dan immobilsm dalam relasi eksekutif-legislatif tidak terjadi dalam praktik presidensialisme di bawah pemerintahan Presiden Yudhoyono.

Ada beberapa faktor lain yang turut memberikan kontribusi. Pertama, relatif tidak adanya tradisi kudeta militer dalam pengalaman demokrasi di Indonesia dibandingkan dengan pengalaman negara-negara Amerika Latin ataupun pengalaman Filipina yang juga menganut sistem presidensial dengan kombinasi sistem multipartai.

Hampir tidak ada peluang bagi militer di Indonesia bagi militer di Indonesia untuk menjadi penengah dalam konflik eksekutif-legislatif seperti cenderung terjadi di Amerika Latin meskipun keberpihakan militer menjadi faktor penting keberhasilan MPR memakzulkan Presiden Wahid pada 1999. Kedua, partai-partai besar yang memiliki kursi cukup signifikan di DPR relatif tidak memiliki basis dan komitmen ideologis yang jelas, sehingga potensi partai-partai untuk menggalang dukungann dalam rangka menolak kebijakan pemerintah relatif lemah. Ketiga, sebagai konsekuensi logis faktor sebelumnya, yakni partai-partai tanpa komitmen ideologis yang jelas, Presiden Yudhoyono hampir selalu memiliki peluang untuk “membeli” dukungan politik dalam rangka menggagalkan penolakan DPR terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Hanya saja peluang bagi presiden untuk membeli dukungan politik dari partai-partai di DPR tersebut berdampak pada terbentuknya format relasi eksekutif-legislatif yang lebih bersifat politik transaksional ketimbang institusional .

Demikianlah Kesimpulan dari Penelitian Ini semoga dapat berguna dan mampu menambah referensi ilmiah bagi peneliti-peneliti selanjutnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

DOKUMEN:

UUD 1945: Naskah Asli dan Perubahannya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Amandemen Undang-undang Dasar 1945: Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat. Jakarta: Pustaka Yustisia.

Ansem Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Tata Langkah dan Teknik- teknik Teorisasi Data, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal.5

Benni E. Matindas, Negara Sebenarnya (Jakarta: Widyaparamitha, 2007), hlm. 459-460

Budiardjo, Miriam. 2005. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik edisi revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Eep Saefulloh Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 39

Feith, Herbert. 2001. Soekarno dan Militer Dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Hargens, Boni. 2007. 10 Dosa Politik SBY-JK . Jakarta: PARRHESIA

Kartini, Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: CV. Mandar Majuy, 1996.

Liddle, R. William. 2005. Revolusi Dari Luar. Jakarta: Nalar.

Lijphart, Arend (ed). 1992. Parliamentary Versus Presidential Government. New York: Oxford University Press.

Linz, Juan J dan Arturo Valenzuela (eds.). 1994. The Failure of PresidentialDemocracy;

Comparative Perspektives Volume 1. Baltimore and London: The Johns Hopkins

University Press.

Mainwaring, Scott. 1990. “Presidentialism, Multiparty Systems, and Democracy: The Difficult Equation”, (1993): 198-228


(6)

Marbun, B. N. 2006. DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Samuels, David. 2003. “Presidents, Assemblies, and Accountability”, Working Papper.

Subekti, Valina Singka. 2008. Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan

Pemikiran dalam

JURNAL & ARTIKEL

Bhakti, Ikrar Nusa. 2004. “DPR-RI 2004-2009: Kinerja Awal yang Buruk”, dalam Pusat

Penelitian Politik Year Book 2004: Quo Vadis Politik Indonesia? Jakarta: LIPI Press.

INTERNET:

Alfian, M. Alfan. “Kompetisi Politik SBY-JK”, dalam Jawa Pos, 8 Nopember 2006; diperoleh dari http://alfanalfian.multiply.com/journal/item/207/ Kompetisi_Politik_SBY-Kalla, diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 22.00 WIB.


Dokumen yang terkait

Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono & Wakil Presiden Jusuf Kalla Di Surat Kabar (Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi Yang Terjadi Bulan J

0 52 164

Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan KPK Dan POLRI (Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan Polri dan KPK Pada Surat Kabar Kompas)

1 52 118

Persepsi Masyarakat Terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (Suatu Penelitian Deskriptif Kuantitatif di Desa Sukaraja Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Propinsi Aceh)

0 25 94

RESPON PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP ISU TERORISME INTERNASIONAL PADA MASA PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TAHUN 2004-2009

1 13 46

Langkah-langkah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam penyelesaian konflik Aceh

0 9 67

RELASI KEKUASAAN WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM KEBIJAKAN PANGAN PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YODHOYONO DAN JUSUF KALLA (2004-2009)

1 28 141

ANALISIS TINDAK TUTUR DIREKTIF DAN EKSPRESIF PADA WACANA PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO MASA JABATAN 2004-2009.

1 2 7

PENINGKATAN KAPABILITAS MILITER INDONESIA DI ERA KEPEMIMPINAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.

0 4 35

Pidato Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perselisihan Kpk Dan Polri (Analisis Wacana Kritis Model Teun A. Van Dijk Tentang Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perselisihan Kpk Dan Polri).

0 0 2

Hubungan Presiden dan DPR | Isra | Jurnal Konstitusi

0 0 18