Relasi Simbiosis Mutualisme dan Transaksional (Relasi Organisasi Pemuda dengan Calon DPR Dapil 1 Sumatera Utara)

(1)

(2)

 

 

RELASI SIMBIOSIS MUTUALISME DAN 

TRANSAKSIONAL 

(RELASI ORGANISASI PEMUDA DENGAN CALON DPR DAPIL 1 SUMATERA UTARA)   

                               

MURYANTO AMIN   

                         

 

 

   

           


(3)

           

Muryanto Amin   

RELASI SIMBIOSIS MUTUALISME DAN TRANSAKSIONAL 

(Kasus Relasi Organisasi Pemuda Dengan Calon DPR Dapil 1 Sumatera Utara),    

                     

ISBN 978‐602‐17785‐1‐7   

               

Cetakan Pertama,   Januari 2015  Vote Institute 

       

Hak  cipta  dilindungi  oleh  undang‐undang.  Dilarang  memperbanyak  sebagian  atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari Penerbit, kecuali kutipan singkat untuk 


(4)

PENGANTAR

 

Buku berjudul Relasi Simbiosis Mutualisme dan Transaksional (Kasus Relasi Organisasi Pemuda Dengan Calon DPR Dapil 1 Sumatera Utara) merupakan hasil penelitian Program Hibah Bersaing yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Tahun 2014. Judul penelitian yang dipilih dilatari oleh prilaku subyektif kelompok organisasi pemuda di Sumatera Utara dalam memberikan dukungan kepada salah seorang calon anggota DPR pada saat Pemilu 2014. Prilaku subyektif tersebut dilakukan hanya untuk mengutamakan kepentingan kelompok dan pribadi para elit kelompok tersebut. Relasi antar tokoh dalam aktivitas politik seperti memilih calon anggota legislatif menjadi ukuran untuk memastikan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal berjalan dengan baik. Salah satu ukuran baik atau buruknya kualitas pemilu ditentukan oleh tingkat kesadaran yang bersumber dari tokoh organisasi pemuda. Pilihan organisasi pemuda dianggap penting karena mereka memiliki peluang yang besar untuk menentukan arah pembangunan di Sumatera Utara. Begitu pula realisasi tanggung jawab para anggota legislatif yang terpilih untuk membangun daerah pemilihannya ditentukan oleh kekuatan pengawasan dari tokoh pemuda. Semakin ketat pengawasan dari tokoh pemuda maka akan semakin baik tanggung jawab politik anggota DPR terhadap daerah pemilihannya. Justru, temuan dalam penelitian ini menjelaskan relasi yang terjalin dilakukan atas dasar hubungan simbiosis mutualisme (salin menguntungkan) dengan cara transaksional atau menggunakan uang untuk mendapatkan suara.

Pola relasi yang menjadi lokasi penelitian adalah Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) meliputi Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi. Pentingnya pemilihan Dapil Sumut 1 karena selalu menjadi ukuran representasi Sumatera Utara terkait besar dan heterogennya jumlah pemilih. Terungkapnya pola relasi tersebut akan membantu menyusun model pendidikan politik bagi organisasi pemuda di Sumatera Utara. Selain itu, juga akan membantu membuat indikator tanggung jawab politik anggota legislatif terpilih yang akan dijadikan pedoman bagi organisasi pemuda dalam mengawasi tugasnya. Buku ini

akan memberikan kontribusi dalam menjelaskan pentingnya

meningkatkan kesadaran politik bagi tokoh organisasi pemuda untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah pemilihannya.

Pada awal Bab buku ini menjelaskan tentang hambatan konsolidasi demokrasi tingkat lokal yang sedang berlangsung di Indonesia. Hambatan tersebut di antaranya adalah bentuk transaksional yang terjalin antara tokoh organisasi pemuda dengan calon anggota DPR. Asumsi tentang


(5)

adanya hambatan itu dilihat dari beberapa perspektif teoritis seperti Teori Bos Lokal dan Patron Klien dan untuk mendapatkan data pembuktiannya dilakukan dengan metode kualitatif. Bab 2 akan menjelaskan profil lokasi penelitian dan objek yang diteliti. Bab 3 menguraikan tentang pola relasi yang dilakukan oleh tokoh organisasi pemuda dengan calon anggota DPR yang ingin dimenangkan dalam Pemilu 2014 di Dapil Sumut 1.

Buku ini juga masih menjadi tulisan yang harus didiskusikan oleh para pemerhati dan pelaku pemilu, tokoh dan pengurus organisasi pemuda, serta para akademisi yang mengabdikan ilmunya untuk melihat konteks lokal dalam mempercepat konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tentu saja, penulis menerima berbagai saran dan masukan guna memperbaiki isi buku ini agar semakin mendekati sempurna karena wujud prilaku masyarakat dalam merespon pemilu berlangsung sangat dinamis. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya dari penulis kepada para narasumber yang memberikan informasi dari pengalaman dan

pengamatannya pada saat berlangsungnya Pemilu 2014. The last but not

least, para tim pendukung yang telah membantu penulis mencarikan bahan dan narasumber, tanpa mereka buku ini tidak akan menjadi goresan tulisan yang mudah didapatkan. Thank you for all of you my team.

Medan, Januari 2015

Muryanto Amin 

                 

 

 

 

 

 

 


(6)

DAFTAR ISI 

  PENGANTAR    DAFTAR ISI          BAB 1  MOTIF YANG MELATARI SIMBIOSIS MUTUALISME  DAN TRAKSAKSIONAL DALAM PEMILU   

  1.1.  Hambatan Konsolidasi Demokrasi Organisasi  Pemuda ……….. 

  1 

  1.2.  Permasalahan Relasi Pemberian Dukungan ……...  6 

  1.3.  Perspektif Teori  ………...  7 

  1.4.  Penelitian Terdahulu ………...  16 

  1.5.  Metode Penelitian ………  18 

  1.6.  Bagan Penelitian ………..  22 

        BAB 2  PEMILU  &  PROFIL  DAERAH  PEMILIHAN  SUMUT  1  DPR & ORGANISASI PEMUDA      2.1.  Dasar Penentuan Daerah Pemilihan ……….  23 

  2.2.  Sejarah Pertumbuhan Ekonomi, Dinamika Sosial, dan Penduduk di Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) DPR-RI Provinsi Sumatera Utara ……….        26    2.3.  Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara ……… 35 

  2.4.  Profil Organisasi Pemuda di Sumatera Utara …….. 42 

  2.5.  Pelaksanaan Pemilihan Umum 2014 di Dapil Sumut 1 DPR RI ………..   56        BAB 3  RELASI ORGANISASI PEMUDA DENGAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PADA PEMILU 2014     3.1.  Tokoh Pemuda dan Calon Anggota DPR Dapil Sumut 1 dalam Pemilu 2014 ………   61    3.2.  Bentuk Transaksi Antara Calon Legislatif dan Tokoh Pemuda ……….   76    3.3.  Pola Relasi Simbiosis Mutalisme dan Transaksional di Sumut ………   82    3.4.  Pentingnya Pendidikan Politik ………. 87 

      BAB 4  PENUTUP     4.1.  Kesimpulan ……….. 91 

  4.2.  Rekomendasi ……… 93 


(7)

         

D e m i K o n s o l i d a s i D e m o k r a s i

L o k a l d i I n d o n e s i a

           


(8)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Hambatan Konsolidasi Demokrasi Organisasi Pemuda

Penerapan demokrasi setelah jatuhnya Orde Baru merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap sebagai bagian dari tuntutan reformasi kelembagaan yang sangat dibutuhkan untuk melakukan konsolidasi demokrasi di Indonesia setelah mengalami masa pemerintahan otoriter Orde Baru. Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan demokratis serta ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah rekrutmen pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum legislatif dan eksekutif pada tingkat nasional maupun lokal.1 Kebijakan desentralisasi menjadi dasar format hubungan pusat dan daerah. Sedangkan pelaksanaan otonomi daerah menjadi pedoman antara pemerintah, masyarakat dan tokoh lokal untuk mengatur urusannya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk memilih kepala daerah secara langsung. 2

Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang efektif, terdapat beberapa prasyarat dasar yang harus tersedia, antara lain adanya kesetaraan politik (political equality)3 dan akuntabilitas lokal yang memadai. Tetapi keduanya menjadi sebagian permasalahan mendasar

      

1

Lihat UUD 1945 Pasal 6A ayat (1) mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung; UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 mengenai pemilihan umum; dan UUD 1945 Pasal 18 mengenai pemilihan gubernur, walikota dan bupati yang dipilih secara demokratis.

2 Lihat Eko Prasojo, Irfan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan

Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: Departemen Ilmu

2 Lihat Eko Prasojo, Irfan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan

Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. hal. 1 dan 13.

3

Mengenai political equality yang banyak menjadi masalah dalam pelaksanaan demokrasi lihat Jack Lively. Democracy. 1975. Chapter Two 8-51, Britain: Basil Blackwell.


(9)

yang dihadapi banyak negara berkembang dalam menerapkan desentralisasi. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi tidak selalu memiliki korelasi positif dengan konsolidasi demokrasi maupun efisiensi struktural pemerintahan di tingkat lokal. Richard C. Crook dan James Manor dalam analisis komparatif terhadap penerapan desentralisasi di empat negara di kawasan Asia Selatan dan Afrika Barat, yaitu negara bagian Karnakata di India, Bangladesh, Ghana, dan Pantai Gading, menyimpulkan bahwa kecuali di Karnataka, penerapan desentralisasi di negara-negara tersebut justru memperkuat pola-pola politik pada tingkat lokal yang tidak mendukung demokrasi dan kinerja pemerintahan yang lebih baik.4

Situasi yang hampir sama juga terjadi pada beberapa negara di Asia Tenggara. Hampir menjadi keniscayaan bahwa tidak adanya korelasi antara desentralisasi, demokrasi, dan kinerja pemerintahan tersebut, ditandai oleh berkembangnya orang-orang atau kelompok tertentu di tingkat lokal yang cukup kuat secara finansial dan memiliki jaringan ke pemegang kekuasaan. Penelitian John T. Sidel tentang bosisme di Filipina mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut terkait dengan perkembangan politik pada awal abad ke-20, saat mulai diterapkannya pemilihan kepala pemerintahan dan anggota parlemen secara langsung, baik di tingkat nasional maupun lokal. Suasana seperti itu ternyata menumbuhkan elit-elit lokal yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi yang begitu kuat di berbagai daerah di Filipina. Dengan menduduki atau menjadi pialang bagi jabatan yang diperebutkan dalam pemilihan tersebut, mereka memperoleh akumulasi keuntungan dari diskresi penegakan hukum lokal, pekerjaan umum, perpajakan, dan lain sebagainya.

      

4

Lihat Richard C. Crook and James Manor. 1998. Democracy and Decentralization in South Asia and West Africa: Participation, Accountability and Performance. Cambridge University Press.


(10)

Temuan dari penelitian Sidel itu, memberikan nuansa baru dalam studi relasi negara dan masyarakat, yang berbeda dari analisis Migdal5 pada dekade 1980-an, yaitu sumber kekuasaan orang kuat lokal tersebut bukan dari kepemilikan tanah atau kekayaan pribadi, melainkan dari sumber-sumber negara atau modal perdagangan yang diakumulasi setelah memegang kekuasaan. Hubungan antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya selalu didasari oleh pemberian ’sesuatu’ bisa berupa uang, jabatan, atau justru dengan menggunakan kekerasan. Pola hubungan patron-klien (klientelisme), antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya, bukan dianggap sebagai penyangga utama dukungan terhadap kekuasaan mereka. Hanya penggunaan kekerasan dan intimidasi, pembelian suara pemilih, serta kecurangan dalam pemilihan jauh lebih menonjol dalam menggambarkan hubungan antara orang kuat lokal dan pendukungnya.6

Temuan Sidel di Indonesia juga menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Pemilu 1999 dan penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru semakin memperkuat kemungkinan akumulasi kekuasaan, berada pada individu tertentu yang kemudian disebutnya sebagai bos lokal (local bossism). 7 Mereka memiliki sumber keuangan dan akses kepada pemegang otoritas di daerah untuk memuluskan kepentingannya seperti urusan binis dan politik. Kesimpulan tersebut disusun berdasarkan temuan hasil penelitian. Pada salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, mafia kayu memiliki pengaruh yang besar terhadap anggota DPRD dan pejabat birokrasi pemerintah

      

5 Joel S.Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities

in the Third World. New Jersey: Princenton University Press.

6 Lihat John T. Sidel. 2005. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossim in Cative and

Cebu” The Journal Asia Studies (56/4/Nov.1997); John T. Sidel. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.). Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos.

7

Istilah bos yang dimaksud Sidel adalah merujuk para pialang lokal yang memiliki posisi monopolistis abadi terhadap kekuatan koersif dan sumber-sumber ekonomi di daerah kekuasaan masing-masing. Lihat dalam John T. Sidel. 2005. “Bosisme….”. hal. 78.


(11)

lokal. Pengaruh itu digunakan untuk membuat keputusan-keputusan resmi tentang pengelolaan sumber daya lokal yang menguntungkan kepentingan para mafia lokal tersebut. 8

Dalam kesimpulan yang hampir sama, Nordholt dan Klinken, mempublikasikan hasil penelitian yang berkaitan dengan dinamika politik lokal di Indonesia. Dalam pengantar buku tersebut dijelaskan bahwa setelah bergulirnya reformasi, dinamika politik di daerah memasuki era baru yaitu aktor-aktor lokal yang terorganisir dan memiliki simbol kultural lokal kembali berada di panggung politik. Akumulasi kekuasaan aktor di daerah dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintah lokal yang sesuai dengan mekanisme demokrasi yang ditetapkan. 9 Situasi itu telah membawa para aktor lokal ’membajak’ institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan lain sebagainya serta beraliansi dengan para pejabat publik yang baru terpilih. Vedi R. Hadiz menguraikan koalisi antara aktor lokal dengan pejabat publik di Sumatera Utara dilakukan untuk menjalin akses mendapatkan kekuasaan negara dan sumber-sumber daya, baik di tingkat pusat maupun daerah ketika otonomi daerah diberlakukan.10

Menjelang Pemilu 2014 di Sumatera Utara, aktor lokal tersebut memainkan peranan penting dalam sistem demokrasi yang diterapkan. Para aktor lokal yang dimaksud adalah pimpinan anggota organisasi kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi mahasiswa, organisasi keagamaan, dan lain sebagainya. Sementara, demokrasi tidak akan berkembang kalau tidak ada para demokrat yang mendukungnya.

      

8 John T. Sidel. “Bosisme ….” Ibid. hal. 96-97; Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik

Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi. Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok.

9 Henk Schutle Nordholt dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. 2007. Politik

Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

10

Tentang fenomena ini lihat Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES. Jakarta. hal. 235-253.


(12)

Seorang demokrat adalah warga negara yang memiliki pengetahuan dasar tentang demokrasi, mengenal nilai-nilai demokrasi, punya komitmen terhadap nilai-nilai tersebut, memiliki keterampilan menerapkannya dalam kegiatan politik dan kehidupan sehari-hari. Para tokoh demokrat sejatinya harus dapat ditemukan dalam daftar kader partai politik yang ditawarkan kepada para pemilih untuk menjadi anggota legislatif maupun eksekutif di daerah (bupati/walikota dan gubernur). Tokoh partai politik dan pimpinan organisasi masyarakat seharusnya memiliki relasi positif dalam kaitan mengatasi persoalan masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.

Kenyataan yang sering ditemui di Sumatera Utara adalah tidak begitu jelas apakah setiap parpol punya mekanisme seleksi calon-calonnya, yang menjamin mereka yang direkut sebagai calon anggota legislatif atau eksekutif mempunyai perlengkapan sebagai seorang demokrat. Sementara beberapa organisasi kemasyarakatan di Sumatera Utara, merekrut para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap untuk melakukan tindakan kekerasan dengan alasan menjaga keamanan di lokasi tertentu. Dalam bahasa sehari-hari, mereka kemudian sering disebut sebagai preman11 karena tidak terlepas dari tindakan kekerasan seperti pemukulan, intimidasi, bahkan pembunuhan ketika ditugaskan oleh pimpinan organisasinya untuk ”mengamankan” lokasi tertentu yang berpotensi menghasilkan keuntungan berupa uang. Namun, pada saat

      

11 Preman (free man) adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan

tindakan kriminal. Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum lelaki yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut merujuk pada lelaki bebas yang tidak dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman pengertian preman mengalami perubahan yaitu sebagai orang, individu, atau sekelompok orang yang tidak berpenghasilan tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti dan hidup atas dukungan orang-orang yang terkena pengaruh, orang-orang yang takut secara fisik maupun psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta cenderung melakukan tindakan-tindakan kriminal. Sikap, tindakan-tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme. Lihat Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Lintas Media. hal. 560; Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah. hal. 40-41.


(13)

yang lain mereka bisa disebut sebagai warga masyarakat yang terhormat seperti sering memberikan bantuan kepada kelompok miskin, sebagai donatur untuk lembaga pendidikan dan memberikan bantuan sekolah kepada masyarakat yang kurang mampu, serta aktivitas sosial lainnya. Tujuan dari aktivitas sosial ini sebenarnya untuk melanggengkan jaringan kekuasaan yang telah dibangun dan dibina selama ini.

Kondisi tersebut, dalam aktivitas Pemilu 2014, diasumsikan akan melahirkan relasi antara tokoh partai politik dan pimpinan organisasi masyarakat yang berlangsung secara transaksional. Transaksi yang terjadi di antara para tokoh tersebut adalah kesepakatan untuk saling menukar berupa material (uang atau bantuan barang lainnya yang dibutuhkan) dengan perolehan suara atau untuk menduduki jabatan publik tertentu di pemerintahan seperti kepala dinas agar lebih mudah mendapatkan dana proyek yang bersumber dari APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara) jika terpilih menjadi anggota legislatif.12

1.2. Permasalahan Relasi Pemberian Dukungan

Penelitian ini akan berupaya menjelaskan pola relasi yang terjadi di antara tokoh organisasi pemuda dengan pilihan mereka kepada para calon anggota legislatif DPR-RI yang berasal dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1). Pilihan organisasi pemuda dianggap penting karena mereka memiliki peluang yang besar untuk menentukan arah pembangunan di Sumatera Utara. Sedangkan alasan pentingnya pemilihan Dapil Sumut 1 (Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi) karena partai politik menganggap daerah pemilihan

      

12 Saat reformasi bergulir, para aktor lokal pendukung Orde Baru menguasai panggung politik dan

memainkan peran dalam dinamika politik lokal di Sumatera Utara. Lihat Muryanto Amin. 2013. ”Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008). Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.


(14)

tersebut sebagai daerah yang selalu menjadi ukuran representasi Sumatera Utara.13 Selain itu, alasan pilihan untuk calon anggota legislatif DPR-RI karena besarnya jumlah pemilih yang mereka temui.14

Untuk menguji asumsi tentang adanya pola relasi yang saling menguntungkan tersebut, maka penelitian ini akan menjawab sejumlah pertanyaan berikut:

1. Siapa saja tokoh organisasi pemuda dan calon anggota DPR-RI dari Dapil Sumut 1 yang menjalin relasi untuk pemenangan Pemilu 2014? 2. Seperti apakah bentuk transaksi yang terjalin antara tokoh organisasi

pemuda dan calon anggota DPR-RI Dapil Sumut 1 tersebut dalam Pemilu 2014?

3. Bagaimana pola relasi yang terjalin di antara pimpinan organisasi pemuda dengan para calon anggota DPR-RI Dapil Sumut 1 tersebut?

1.3. Perspektif Teoritis

Patrimonialisme merujuk pada paham mengenai bentuk-bentuk hubungan yang menganggap seseorang patron menjadi pemimpin kelompok yang didasarkan atas kaitan personal. Nathan Quimpo memperjelas istilah patrimonialisme “as a type rule in which the ruler does not distinguish between personal and public patrimony and treats matter and resources of state as his personal affair”15 (sebagai jenis aturan di mana penguasa tidak membedakan antara warisan pribadi dan publik dan memperlakukan masalah dan sumber daya negara sebagai

      

13 Hasil diskusi informal dari pimpinan partai politik di Sumatera Utara yang menegaskan bahwa

Sumut 1 dapat merepresentasikan keinginan masyarakat Sumut (pedesaan maupun perkotaan). Sumut 1 sering disebut “Dapil Neraka” karena para calon legislatifnya saat ini sebagian besar masih tercatat sebagai anggota DPR-RI (calon petahana).

14 Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 meliputi Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing

Tinggi besaran luasnya mencapai 4.703,01 KM persegi dan jumlah pemilihnya 3.626.000 jiwa dari total pemilih sebanyak 9.736.732 jiwa.

15

Nathan G. Quimpo. 2007. “Trapo Parties and Corruption”. dalam KASAMA. Vol. 21 No. 1. Januari-March.


(15)

urusan pribadi). Dalam hubungan kekuasaan, patrimonialisme menjadi bentuk hubungan timbal balik antara pemimpin (patron) dan bawahan (klien) yang loyal kepadanya.

Bentuk-bentuk hubungan patron klien dijelaskan oleh James C. Scott sebagai berikut,

“The patron-client relationship–an exchange relationship between roles–may be defined as a special case of dyadic (two person) ties involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefit, or both, for a person of lower status (client) who, for his part, reciprocates by offering general support and assistance, including personal, to the patron”.16

Dalam konteks hubungan patron-klien, posisi seorang patron memiliki sumber yang melebihi baik secara langsung maupun tidak langsung dari seorang klien. Posisi itu menyebabkan seorang patron mampu mempengaruhi sikap dan prilaku klien. Sebaliknya, klien mengakui dan menerima sumber yang dimiliki patron sehingga bila mempengaruhi klien, maka klien akan menerima dan mengakui pengaruh tersebut secara sadar atau sukarela. Sifat hubungan patron-klien didasarkan atas pertukaran yang tidak seimbang karena adanya perbedaan status di antara keduanya. Hubungan yang tidak seimbang tersebut membuat klien merasa berhutang budi dan membalas jasa baik kepada patron. Hubungan yang bersifat personal itu kemudian akan menciptakan loyalitas, kepercayaan dan kasih sayang yang diberikan di antara mereka serta bersifat fleksibel dan tanpa batas waktu.

Scott kemudian menjelaskan bahwa kelompok patron-klien bisa berbentuk gugus (patron-client cluster) yaitu seorang patron dengan beberapa orang klien. Kelompok patron-klien bisa juga berbentuk

      

16

James C. Scott. 1972. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”. dalam The American Political Science Review. Vo. 6. No. 1 (Mar. 1972). hal. 92.


(16)

gabungan dari berbagai gugus patron-klien yang dipimpin oleh seorang patron sebagai patron tertinggi (patron-client pyramid). Di bawah patron tertinggi itu, terdapat sejumlah klien yang merupakan patron kecil bagi sejumlah klien. Seorang klien dari patron tertinggi juga menjadi seorang patron bagi beberapa orang klien. Dalam bentuk piramid itu, ada beberapa patron kecil yang menjadi klien patron tertinggi dan mempunyai beberapa klien sendiri.17

Maswadi Rauf menjelaskan tentang faktor penting dalam kelompok patron-klien adalah hubungan kekuasaan. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, materi, maupun kemampuan yang tidak dimiliki oleh para klien. Kemampuan patron untuk memberikan perlindungan dan kebutuhan hidup kepada orang lain menjadi penyebab orang lain itu bersedia menjadi kliennya. Dalam relasi kekuasaan, patrimonialisme tidak hanya berlangsung atas dasar ekonomi atau kekayaan tetapi juga berdasarkan hubungan yang bersifat inklusif dari semua bidang kehidupan. Pada awalnya yang menjadi patron adalah tuan tanah yang memiliki tanah yang luas untuk pertanian. Sedangkan para kliennya adalah para petani yang menggarap tanah tersebut dan memperoleh perlindungan serta sumber kebutuhan hidup dari patron. Sebaliknya, para petani memberikan dukungan fisik kepada patron termasuk berperang melawan musuh patron.

Pada masa modern, sumber kekuasaan patron telah bergeser dari kepemilikan tanah kepada kekuasaan bidang pemerintahan dan politik. Jabatan pemerintahan dan politik menjadi sumber patron untuk memberikan pengaruh dan penguasaan sumber-sumber daya dalam jumlah besar kepada pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh politik. Pengaruh itu digunakan oleh mereka untuk menarik sejumlah orang

      

17

Ibid. hal 96. Lihat juga penjelasan Maswadi Rauf. 2005. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Tinggi. hal. 99.


(17)

menjadi kliennya. Seorang patron akan memberikan atau membantu mendapatkan jabatan pemerintahan dan politik kepada para klien yang membutuhkannya. Atas bantuan itu, para klien diharuskan memberikan dukungan politik dan membantu patron untuk mempertahankan, memperkuat kekuasaan dan kedudukan politik mereka. Bentuk hubungan ini disebut sebagai patrimonialisme baru (new patrimonialism).18

Kecenderungan hubungan patron-klien dalam masyarakat Indonesia masih sangat kuat. Dwight King menjelaskan praktik new patrimonialism pada masa pemerintahan Orde Baru yang dijabarkannya dalam konsep rejim otoriter bercirikan tingkat korporatisme yang begitu tinggi. King menjelaskan, berbagai kelompok di dalam institusi negara dan masyarakat sipil selalu dihubungkan dengan para pemimpin negara yang dianggap sebagai patron besar. Bentuk korporasi kelompok-kelompok masyarakat selau merujuk kepada seorang pemimpin dan representasi kepentingan kelompok masyarakat itu berada kuat di bawah pengaruh Presiden Soeharto yang paternalistik.19

Ikatan-ikatan patron-klien yang masih kuat di Indonesia pada akhirnya menjadi landasan bagi pembentukan kekuasaan politik. Untuk kepentingan penelitian ini, teori Scott tentang hubungan patron-klien dan Maswadi Rauf mengenai patrimonialisme baru itu akan digunakan untuk melihat bentuk jaringan patronase yang dilakukan oleh tokoh organisasi pemuda di Sumatera Utara. Jaringan patronase yang dimaksud adalah pola relasi antara tokoh organisasi pemuda di Sumatera Utara dengan para anak buahnya dan relasi antara tokoh organisasi pemuda dengan partai politik dan calon anggota legislatif.

      

18 Ibid. hal. 100.

19 Dwigth King. 1982. “Indonesia’s New Order A Bureaucratic Polity, A New Patrimonial Regime or

Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?. dalam Benedict R.O.G Anderson dan Audrey Kahin (eds). Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to The Debate. Ithaca. New York: Cornell University Press (Cornell Modern Indonesia Project Publication 62).


(18)

Teori tentang kelompok kekerasan berkembang disebabkan oleh dinamika masyarakat yang berubah secara terus menerus. Menurut Masaaki dan Rozaki, yang menjelaskan kasus Indonesia, bahwa pada masa Orde Baru segala bentuk kelompok penekan yang ada di masyarakat dapat dirangkul oleh pemerintah dengan cara melembagakan mereka serta mendapatkan dukungan dari tentara dan polisi atau dengan cara penindasan. Namun, pasca Orde Baru, beragam komponen masyarakat menuntut keadilan yang ditafsirkannya sendiri atas dasar kepentingan etnis, agama, adat, politik, ekonomi, kelas, dan lain sebagainya. Tuntutan tersebut dilakukan untuk memenuhi beragam kepentingan melalui cara berkelompok dan dengan memanfaatkan instrumen kekerasan untuk menebar ancaman kelompok yang berbeda kepentingannya. Masaaki dan Rozaki menyebut kelompok yang berperan, setelah rezim Orde Baru, sebagai kelompok yang bersaing memperebutkan posisi untuk menjadi Tuhan (struggle of Gods).20

Maraknya kelompok-kelompok kekerasan di tengah masyarakat menjadi salah satu ciri yang menonjol di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Mereka hadir dengan memanfaatkan ketidakstabilan negara dalam mengatur politik keamanan masyarakat. Disamping itu, bukan hanya menghiasi ruang publik dengan aksi-aksi jalanan yang brutal, namun juga memanfaatkan arus demokratisasi dengan cara tak sedikit para tokohnya berhasil masuk di jabatan formal pemerintahan. Kehadiran mereka tak jarang menebar teror dan ancaman, namun kerap pula dibutuhkan dan diperebutkan oleh kalangan tertentu yang berkepentingan.

Masaaki dan Rozaki juga menjelaskan bahwa keberadaan kelompok kekerasan non-negara terjadi bukan karena negara yang

      

20

Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press. hal. xvi.


(19)

mengizinkannya tetapi karena negara yang tidak bisa menolak keberadaannya, atau lebih tepatnya, negara yang membutuhkannya. Kehadiran kelompok masyarakat seperti itu, menghambat jalannya laju demokratisasi dan desentralisasi bahkan terancam menjadi beku (frozen democracy) karena peran kaum reformis kalah kekuatannya dengan kelompok kepentingan yang mengandalkan kekerasan dengan jejaringnya berurat akar di dalam tubuh partai politik. Kondisi ini berimbas pula pada adanya potret buram lembaga DPRD yang belum mampu mengejawantahkan sebagai koridor penampung aspirasi masyarakat. Proses penegakan hukum yang lemah, tentu saja, menjadi modal politik bagi mereka yang memiliki akses dan kapasitas di dalam memanfaatkan kekerasan dan ancaman kekerasan sehingga sangat berguna untuk merebut kekuasaan di tingkat lokal.21

Konsep governance yang didalamnya mengandaikan adanya peran negara yang tidak lagi dominan, namun hanya menjadikan pemerintah sebagai fasilitator. Oleh karena itu, memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi kelompok masyarakat sebagai stake holders. Kesempatan itu kemudian dimanfaatkan untuk mengendorkan peran perlindungan negara atas warganya dan sebaliknya kelompok masyarakat yang memiliki modal politik penguasaan kekerasan menjadi bagian dari pemain utama.22

Dalam konteks penelitian ini, teori Masaaki dan Rozaki akan digunakan untuk membantu merumuskan kerangka berpikir ketika melihat keberadaan organisasi pemuda di Sumatera Utara dengan segala aktivitas yang cenderung dalam kasus memberikan dukungan kepada calon anggota DPR-RI. Melalui organisasi pemuda di Sumatera Utara, para anggota dan kadernya bisa muncul menjadi tokoh yang turut

      

21

Ibid.

22


(20)

berpengaruh dalam aktivitas politik seperti Pemilihan Umum meskipun keterlibatannya terkait pada soal perlindungan keamanan dan kekuatan uang.

Eksistensi kelompok kekerasan dalam masyarakat tidak terlepas dari para aktornya yang silih berganti dan menjadikan mereka sebagai orang kuat atau bos dalam komunitasnya sendiri. Istilah bos lokal atau bossism kembali menjadi pembahasan pada saat John T. Sidel, profesor Ilmu Politik di University of London, menjelaskan fenomena munculnya bos lokal di Filipina, Thailand, dan Indonesia dalam kaitan relasi negara dan masyarakat pada tingkat lokal.23 Sebelumnya, fenomena munculnya orang kuat lokal tersebut telah dijelaskan oleh Migal, yaitu setiap kelompok dalam masyarakat mempunyai pemimpin, di mana pemimpin itu relatif otonom dari negara. Setiap masyarakat memiliki social capacity yang memungkinkan mereka menerapkan aturan main mereka tanpa dapat diintervensi oleh negara. Ketika kapasitas negara untuk mengontrol melemah, maka para strongmen menapakkan kekuasaannya dalam tingkatan lokal atau wilayah yang lebih kecil. Selanjutnya, menurut Migdal, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan yang jauh melampaui para pemimpin formal dan birokrat lokal disebabkan berkembangnya struktur masyarakat yang mirip jaringan.24

Penjelasan yang berbeda dari Migdal dikemukakan oleh John T. Sidel, dari hasil penelitiannya di Filipina, Thailand, dan Indonesia. Dari penelitian itu, Sidel menyebut istilah bossism yang merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol

      

23

Istilah local strongmen tersebut dipopulerkan oleh Migdal, sedangkan Sidel menggunakan istilah local bossism. John T. Sidel. 2005. “Bosisme ….”, Op. Cit.

24 Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong .. Op. Cit. dan Joel S. Migdal. 2001. State in Society: Studying

How States and Societies Transform and Capabilities in the Third World. Princenton University Press. Meskipun di buku yang terakhir pembahasan mengenai orang kuat lokal agak terbatas, namun intinya tetap sama.


(21)

monopolistik terhadap kekuatan paksaan dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.25

Tentang perkembangan bossism di Indonesia, Sidel melihat bahwa itu terjadi seiring dengan melemahnya kontrol pusat terhadap daerah pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Kebijakan desentralisasi telah mengakhiri kontrol efektif pusat yang mencegah pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira menengah militer untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang mandiri. Kondisi tersebut telah memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk memperoleh dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.26

Berkembangnya bosisme lokal, menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah (intergovernmental relation), antara negara dan masyarakat (state society relation); dan antara masyarakat dan masyarakat (society-society relation). Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan. Otonomi daerah sejatinya bukan hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah. Tetapi juga harus memperkuat peran dan kedudukan masyarakat, sebagai pemilik kedaulatan dan pemilik kewenangan, dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal.

      

25

Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ...” Op. Cit. hal. 72-74.

26


(22)

Sedangkan hubungan antara negara dan masyarakat menunjukkan akses yang sama dalam ikut serta mempengaruhi proses kebijakan.27

Dalam menganalisa relasi tokoh organisasi pemuda di Sumatera Utara dalam penguasaan politik lokal, teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Sidel. Teori Sidel tentang local bossism membantu merumuskan kerangka berpikir yang akan digunakan dalam penelitian ini, terutama terkait dengan sumber kekuasaan dan cara-cara penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para tokoh organisasi pemuda. Fenomena munculnya kelompok kekerasan dan bos lokal pada panggung politik di Sumatera Utara justru terkait dengan kebijakan otonomi daerah. Mereka adalah orang-orang, yang pada masa Orde Baru, memperoleh banyak keberuntungan. Fenomena munculnya bos lokal di Sumatera Utara terkait dengan kekuatan kelompok yang mampu membentuk jaringan kepada sumber-sumber daya di tingkat lokal.

Dari kerangka tersebut, penelitian ini akan menjelaskan cara individu dan tokoh organisasi pemuda di Sumatera Utara dapat muncul sebagai bos lokal dalam kekuatan kelompok kekerasan. Penelitian ini akan membuktikan asumsi bahwa fenomena munculnya bos lokal di Sumatera Utara tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam bahasa Sidel, beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan pemaksaan dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah teritorial tertentu. Teori itu akan menganalisis kasus relasi tokoh organisasi pemuda dalam mendukung calon anggota DPR-RI Dapil Sumut 1 pada Pemilu 2014.

      

27

Ketiga nilai tersebut adalah political equality, accountability, dan responsiveness. Lihat dalam Brian C. Smith. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. London: Allen & Unwin. hal. 24-30.


(23)

1.4. Penelitian Terdahulu

Penelusuran literatur terhadap topik yang relevan dengan fokus studi ini dilakukan pada jurnal ilmiah di internet, buku serta publikasi cetak lainnya. Buku yang ditulis oleh Colombijn dan Lindblad berjudul ”Indonesia is a violent country” menyimpulkan bahwa penanganan kekerasan yang dilakukan oleh berbagai pihak dan aturan main mengenai keamanan dan kekerasan belum juga muncul. Oleh karena itu, pemerintah pusat mencoba mengikis organisasi masyarakat yang cenderung menggunakan kekerasan dengan merevisi undang-undang mengenai organisasi masyarakat.28

Buku lain yang disunting oleh Okamato Masaaki dan Abdur Rozaki berjudul ”Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi” membedah tentang kemunduran negara (retreat of the state) di bidang keamanan dan kemunculan broker keamanan dan kelompok kekerasan dengan mengangkat beberapa kasus di Jakarta, Banten, Kalimantan Barat dan Bali.29 Setiap kasus memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Tulisan Okamoto Masaaki memperlihatkan dua jenis broker keamanan yang memiliki corak yang sangat berbeda di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta untuk memberikan jasa pengamanan bagi mereka yang membutuhkan, walau keduanya muncul karena adanya ketidakamanan pada pasca pemerintahan Soeharto. Kondisi itu terjadi karena hubungan antara negara dan masyarakat dari segi keamanan tidak jelas lagi.30

Tulisan Untung Wahyono mengenai ”Jagoan Betawi dari Cakung” menguraikan kelompok kekerasan yang sangat mengemuka di DKI yaitu Forum Betawi Rempug (FBR) yang melakukan intimidasi dengan cara

      

28

Freek Colombijn dan Thomas J. Lindblad. eds. 2002. Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Singapore: ISEAS.

29 Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi.

Yogyakarta: IRE Press.

30

Okamoto Masaaki. “Broker Keamanan di Jakarta: Yang Profesional dan Berbasis Massa”. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 1-18.


(24)

kekerasan untuk menghimpun dana kepada perusahaan, pedagang, supir angkutan umum dan warga di Jakarta dan Bekasi. Ketika berlangsung pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah, FBR ikut mendukung salah satu kandidat.31 Di daerah Banten artikel Abdul Hamid yang berjudul ”Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten” menjelaskan dominannya kelompok jawara pada bidang politik dan ekonomi di Banten yang mengakibatkan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir elit saja.32

Kondisi kekerasan terjadi juga di Madura, tulisan Abdur Rozaki menggambarkan para blater dan kyai muncul sebagai pemain politik dari tingkat kabupaten hingga desa. Mereka menjalin hubungan dengan para politisi dan birokrasi menggunakan pola simbiosis mutalisme, hingga sulit bagi munculnya kelompok kritis yang mengoreksi kesalahan jalannya pemerintahan lokal.33 Penelitian I Ngurah Suryawan di Bali menjelaskan revitalisasi adat melahirkan penjaga keamanan ’tradisional’ yaitu pecalang sebagai tradisi yang terbuat (invented tradition).34 Di wilayah Kalimantan juga terbentuk kelompok kekerasan dengan nama headhunter Dayak. Dari tulisan John Bamba terlihat bahwa di kalangan masyarakat Dayak sendiri, militerisme juga sudah mulai merambah.35 Meskipun terdapat penelitian yang membahas mengenai kelompok kekerasan dan orang-orang yang berpengaruh, namun penelitian yang secara khusus dilakukan mengenai politik premanisme (political

      

31

Untung Widyanto, “Jagoan Betawi dari Cakung.” dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 21-41.

32 Abdul Hamid. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten.” dalam Okamoto Masaaki & Abdur

Rozaki. Ibid. hal. 45-63.

33

Abdur Rozaki. “Sosial Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura.” dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal.67-89.

34 I Ngurah Suryawan. “Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris: Catatan Awal Aksi Pencalang dan

Kelompok Milisi di Bali. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 91-114.

35

John Bamba. “Borneo Headhunter: Imej dan Manipulasi”. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal.115-125.


(25)

gangster) di kota Medan dan Jakarta hanya dilakukan oleh Loren Ryter (1998) dan Vedi R. Hadiz (2005).36

Perbedaan studi ini dengan penelitian sebelumnya adalah pertama, fenomena munculnya kelompok kekerasan dan tokoh lokal yang cukup kuat di Indonesia terjadi dengan pola yang berbeda-beda. Studi ini akan menjelaskan bahwa di Sumatera Utara, fenomena kemunculan tokoh lokal yang cukup kuat bukan hanya berasal dari kekuatan individu berupa fisik, kekayaan atau patron semata, tetapi juga berasal dari kekuatan kelompok atau organisasi yang ada di antara organisasi sejenis dalam kehidupan masyarakat lokal. Kedua, studi sebelumnya tidak membahas mengenai fenomena muncul, bertahan dan berhasilnya tokoh lokal yang mampu menggerakkan organisasi untuk kepentingan mereka di antara kelompok masyarakat lainnya saat pemilihan kepala daerah secara langung. Studi terdahulu dilakukan sebelum pemilihan langsung kepala daerah dilaksanakan. Oleh karena itu, studi ini akan membahas secara khusus tentang fenomena tersebut dengan mengambil kasus Pemilu 2014 di Dapil Sumatera Utara 1 (Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi).

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus sebagai strategi penelitian. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik atau utuh. Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam studi ini menggunakan bagaimana maka pilihan studi kasus sebagai strategi penelitian menjadi relevan. Pilihan pendekatan kualitatif dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan dan menganalisis

      

36

Loren Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New Order?” Indonesia, 66, Oktober.; Vedi R. Hadiz. Op. Cit.


(26)

fenomena sosial yang sedang terjadi. 37 Oleh karena itu, tipe penelitian ini menggunakan strategi studi kasus yang eksplanatoris. Keleluasaan dan akses yang dimiliki pada peristiwa yang diteliti masih ada. Misalnya, peneliti bisa menghubungi pelaku yang diteliti untuk mengadakan wawancara. Berbeda dengan penelitian tipe historis yang berkenaan dengan masa lampau, yakni bila tidak ada lagi saksi hidup yang bisa dihubungi. Studi kasus dipergunakan untuk melacak peristiwa masa kini, yaitu terkait salah satu tema penting tentang kekuasaan dan politik lokal di Indonesia.

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara yaitu organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila (PP) Sumatera Utara, Ikatan Pemuda Karya (IPK) Sumatera Utara, dan Forum Komunikasi Putra/i Punawirawan Indonesia (FKPPI) yang berkedudukan di Sumatera Utara. Para calon anggota DPR-RI dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) yaitu Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi.

Menurut Lofland dan Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio, pengambilan foto atau film.38 Dalam penelitian ini, sumber data utama yang digunakan adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati dan diwawancarai dari pimpinan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara atau tokoh lainnya yang berkaitan.

Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu, pertama, dokumentasi dipergunakan untuk menelaah data-data yang telah ada, baik berupa dokumen kebijakan, makalah, jurnal, atau buku-buku hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan dinamika politik lokal

      

37

K. Robert Yin.. 2000. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal.1.

38

J. Lofland. 1971. Analyzing Social Settings: A Guide to Qualitative Observation and Analysis. Belmont, CA: Wadsworth. hal. 112.


(27)

di Sumatera Utara serta berkaitan dengan aktivitas organisasi pemuda dan calon anggota DPR-RI Periode 2014-2019 Dapil Sumut 1 dengan kelompok lainnya. Kedua, wawancara mendalam. Data juga diuraikan dan dianalisis melalui teknik wawancara mendalam (depth interview) dengan 15 informan dari pimpinan organisasi pemuda baik di tingkat lokal dan nasional serta individu yang terlibat atau berkaitan dengan aktivitas politik di Sumatera Utara.

Wawancara diutamakan kepada informan kunci (key informant) dan infomasi selanjutnya diperoleh dari pilihan informan lainnya dengan cara snawball. Informan kunci dalam penelitian ini adalah tokoh dan pengurus Pemuda Pancasila (PP) Sumatera Utara, Ikatan Pemuda Karya (IPK) Sumatera Utara dan FKPPI Sumatera Utara. Informan kunci lainnya adalah pimpinan partai politik di Sumatera Utara serta calon anggota DPR-RI dari Dapil Sumut 1 (Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi) yang menjalin relasi dengan tokoh organisasi pemuda saat Pemilu 2014.

Ketiga melakukan observasi untuk memberikan dimensi-dimensi baru sehingga dapat memahami konteks dari satu fenomena yang diteliti seperti foto-foto atau saat interaksi di antara elit Pemuda Pancasila dengan pengikutnya maupun kelompok lain, dan peristiwa lainnya yang berkaitan dan relevan dengan topik penelitian.

Keempat, untuk mencari model pendidikan politik antara calon anggota legislatif dan kelompok organisasi pemuda akan dilakukan Diskusi Kelompok Terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dengan informan kunci dari tokoh organisasi pemuda, calon anggota DPR-RI, ilmuwan politik, tokoh pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat. FGD akan dipandu langsung oleh peneliti dengan melakukan diskusi terbatas terkait pola relasi yang dilakukan antara tokoh organisasi pemuda dan calon anggota legislatif dalam meraih suara pada Pemilu 2014.


(28)

Data yang didapat baik berupa dokumen tertulis maupun hasil wawancara dan observasi akan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif teknik tipologi. Bogdan dan Taylor mengemukakan, bahwa metode analisa kualitatif sebagai prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun terucapkan dari pelaku yang diamati.39 Analisis kualitatif dalam strategi tipologi merupakan usaha mengambil kesimpulan berdasarkan pemikiran logis atas berbagai data yang diperoleh. Data-data dikumpulkan dan diseleksi, lalu disederhanakan dengan mengambil intisarinya hingga ditemukan tema pokok, fokus masalah dan pola-polanya.40

Teknik analisa kualitatif dengan tipologi ini dilakukan berdasarkan interpretasi penulis atas data baik bahan tertulis, wawancara dan observasi. Kemungkinan hal mustahil yang diyakini penulis adalah bahwa seorang aktor yakin dan jujur akan apa yang dikatakannya. Sebab itu, untuk menghindari atau meminimalisasi kemungkinan adanya bias, maka penulis berusaha mencocokkan hasil wawancara antara satu narasumber dengan yang lainnya kemudian dari dokumen-dokumen yang ditemukan tentang keterlibatan organisasi pemuda dengan kelompok-kelompok lainnya dalam memenangkan calon anggota DPR-RI Dapil Sumut 1 yang didukungnya pada Pemilu 2014.

      

39

Robert Bogdan & Taylor J. Steven. 1993. Metode Kualitatif: Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional. hal. 27-30.

40


(29)

Identifikasi tokoh  organisasi pemuda 

dan calon anggota  DPRD‐RI Dapil 

Sumut 1 

Bentuk  kesepakatan yang 

terjalin antara  tokoh organisasi  pemuda dan calon 

anggota DPRD‐RI 

Pelaksanaan pemberian  dukungan dan suara dari 

pimpinan organisasi  pemuda kepada calon  anggota DPRD‐RI Dapil 

Sumut 1 

Pola relasi Tokoh  Organisasi Pemuda  dan Calon Anggota 

DPR‐RI Dapil  Sumut 1 dalam 

Pemilu 2014    Sesuai atau tidak 

sesuai dari  rancangan  kesepakatan 

Model  Pendidikan  Politik bagi  Organisasi  Pemuda 

 


(30)

BAB 2

PEMILU 2014 & PROFIL ORGANISASI PEMUDA DI SUMATERA UTARA

2.1. Dasar Penentuan Daerah Pemilihan

Penentuan daerah pemilihan atau yang sering disingkat dengan Dapil dilakukan atas dasar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan itu juga menetapkan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang tercantum dalam lampirannya. Sementara penentuan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan oleh KPU.

Penentuan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk masing-masing lembaga perwakilan disusun secara proporsional. Para ahli merumuskan beberapa prinsip yang perlu diikuti dalam melakukan penghitungan alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan.41 Prinsip-prinsip tersebut yaitu kesetaraan populasi, integralitas wilayah, kesinambungan wilayah, pencakupan wilayah (coterminus), kohesivitas penduduk, dan perlindungan petahana (preserving of incumbent).

Prinsip kesetaraan populasi adalah harga kursi dibanding penduduk kurang lebih sama antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain. Ini juga bagian dari pemenuhan prinsip opovov (one person, one vote, one value)42 dalam pemilu demokratis. Oleh karena itu, prinsip tersebut harus ditempatkan sebagai prinsip nomor satu sehingga       

41 Prinsip dalam penentuan alokasi kursi dan daerah pemilihan lihat Komisi Pemilihan Umum

Indonesia. 2004. Pemilu Legislatif 2004. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum.

42

Pengertian one person one vote one value sebagai pengganti one man one vote digulir oleh gerakan kritis kelompok Feminis. Lihat tulisan Pippa Norris. 2005. Radical Right: Voters and Parties in the Electoral Market. New York: Cambridge University Press.


(31)

bisa dihindari terjadinya diskriminasi politik, karena nilai suara/penduduk di satu daerah pemilihan lebih murah/mahal daripada nilai suara/penduduk di daerah pemilihan yang lain.

Prinsip integralitas wilayah berarti satu daerah pemilihan harus integral secara geografis, yang sejalan dengan prinsip kesinambungan wilayah, yaitu suatu daerah pemilihan harus utuh dan saling berhubungan secara geografis. Secara umum pembentukan wilayah administrasi juga memperhatikan masalah ini, sehingga penggunaan wilayah administrasi sebagai peta dasar pembentukan daerah pemilihan sebagaimana dikehendaki UU No. 8/2012 tidak mengganggu penerapan prinsip integralitas dan kesinambungan wilayah ini.

Prinsip pencakupan wilayah atau coterminus maksudnya adalah suatu daerah pemilihan lembaga perwakilan tingkat bawah harus menjadi bagian utuh dari daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi, atau satu daerah pemilihan lembaga tingkat bawah tidak boleh berada di dua daerah atau lebih daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi. Prinsip ini untuk memudahkan penyaluran aspirasi secara berjenjang ke lembaga perwakilan, atau sebaliknya untuk memudahkan penggalian aspirasi ke bawah. Bagi pemilu Indonesia yang penyelenggaraan pemilu DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilakukan secara serentak penerapan prinsip ini tidak hanya memudahkan partai politik dan calon anggota legislatif dalam berhubungan dengan konstituen di daerah pemilihan, tetapi juga memudahkan petugas pemilu dalam menjalankan tugasnya.

Prinsip kohesivitas penduduk berarti suatu daerah pemilihan hendaknya dapat menjaga kesatuan unsur sosial budaya punduduk dan menjaga keutuhan kelompok minoritas. Kesatuan unsur sosial budaya penting untuk menyatukan kepentingan yang akan diperjuangkan oleh para wakil di parlemen. Keutuhan kelompok minoritas juga perlu dijaga


(32)

agar mereka mendapatkan kepastian untuk memiliki wakil di parlemen. Prinsip kohesivitas ini tidak begitu masalah diterapkan dalam pembentukan daerah pemilihan DPR, tetapi ketika diterapkan dalam pembentukan daerah pemilihan DPRD provinsi dan lebih-lebih lagi DPRD kabupaten/kota, khususnya di luar Jawa, menimbulkan masalah yang kompleks. Di sinilah diperlukan kehati-hatian dan kebijakan KPU dalam menetapkan daerah pemilihan.

Terakhir prinsip perlindungan petahana, maksudnya suatu daerah pemilihan harus memberi jaminan kepada petahana untuk bisa berkompetisi dan meraih kursi perwakilan yang tersedia. Ini penting karena hubungan wakil dengan penduduk yang diwakili perlu dijaga agar memudahkan penyaluran dan perjuangan kepentingan penduduk yang diwakili. Prinsip ini jarang dipraktikkan pada pemilu proporsional yang memiliki banyak kursi di daerah pemilihan, tetapi lazim diterapkan di pemilu mayoritarian yang hanya memiliki 1 kursi di daerah pemilihan.

Tentu tidak semua prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan pemilu demokratis tersebut bisa diterapkan dalam waktu bersamaan. Kondisi geografis wilayah, jumlah penduduk, dan keragaman penduduk, menyebabkan penerapan satu prinsip bisa menegasikan prinsip yang lain. Oleh karena itu, penerapan prinsip tersebut selalu diurutkan berdasarkan prioritas. Prinsip kesetaraan populasi selalu menjadi prioritas pertama guna menghindari terjadinya diskriminasi politik. Prinsip integralitas dan kesinambungan wilayah menjadi prioritas kedua, lalu disusul prinsip pencakupan wilayah, dan baru kohesivitas penduduk. Dalam konteks pemilu Indonesia, prinsip perlindungan petahana, bisa diabaikan.

Demi menegakkan prinsip kesetaraan populasi, maka penghitungan alokasi kursi ke daerah pemilihan, dipergunakan metode penghitungan yang hasilnya proporsional. Dua metode proporsional yang dikenal


(33)

adalah metode kuota dan metode divisor.43 Metode divisor, khususnya varian Webster/St Lague dikenal paling proporsional dan tidak menimbulkan paradoks. Namun metode ini belum banyak dikenal di Indonesia sehingga tidak perlu dipaksakan penggunaannya dalam penyusunan daerah pemilihan.

Untuk memenuhi prinsip-prinsip yang diinginkan dalam pembentukan Daerah Pemilihan, maka Dapil Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) DPR-RI di Provinsi Sumatera Utara terbentuk setelah melalui proses konsultasi publik yang ditetapkan sejak Pemilu 2004.44 Kondisi geografis wilayah, jumlah penduduk, dan keragaman penduduk menjadi pertimbangan penting dalam menentukan empat daerah menjadi Dapil 1 DPR-RI. Posisi geografis empat daerah (Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi) berada di pinggir Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduk dan keragamannya di masing-masing wilayah hampir memiliki kesamaan jika dilihat dari luasan wilayahnya. Bagian berikut akan menjelaskan sepintas sejarah dan dinamika demografi empat daerah tersebut.

2.2. Sejarah Pertumbuhan Ekonomi, Dinamika Sosial, dan Penduduk di Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) DPR-RI Provinsi Sumatera Utara

Daerah Pemilihan 1 Provinsi Sumatera Utara pada saat penyelenggaraan Pemilu 2014 terdiri dari dua kota dan dua kabupaten yaitu Kota Medan dan Kota Tebing Tinggi serta Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Empat daerah tersebut merupakan daerah terbesar dari 33 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara baik dari luasan dan

      

43 Lihat Pipit Rochijat

. 2004. Catatan Atas Pemilu Legislatif 2004. Sumber diperoleh dari Watch Indonesia: The University of Michigan. Hal. 49.

44

Wawancara dengan Evi Novida Ginting, Anggota KPU Provinsi Sumatera Utara, Senin, 11 Agustus 2014, pukul 12.10 Wib, di Medan.


(34)

jumlah pemilihnya. Pertumbuhan ekonomi dan dinamika sosial di empat daerah tersebut sangat memengaruhi kelangsungan hidup masyarakat Provinsi Sumatera Utara. Kondisi itu terjadi karena pembentukan Provinsi Sumatera Utara tidak terlepas dari sejarah yang melatari sejak adanya Sumatera Timur sebagai wilayah sumber ekonomi perkebunan. Artinya, wilayah Dapil 1 DPR-RI Provinsi Sumatera Utara dari sejarahnya merupakan bagian dari wilayah Keresidenan Sumatera Timur. Sumatera Timur adalah daerah dataran rendah yang sangat luas. Menurut Karl J. Pelzer luas seluruh daerah Sumatera Timur mencapai 31.715 km2. Karesidenan Sumatera Timur adalah wilayah administrasi Hindia Belanda di kawasan pesisir timur Sumatera bagian utara yang berdiri pada 1 Maret 1887, dikendalikan oleh seorang Residen di Medan, dan terdiri atas beberapa Afdeling, yang sekarang menjadi daerah kabupaten. Pertama, Afdeling Asahan berasal dari Kesultanan Asahan dan kini menjadi Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Kedua, Afdeling Deli en Serdang Berasal dari Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang dan kini menjadi Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Ketiga, Afdeling Langkat berasal dari Kesultanan Langkat dan kini menjadi Kabupaten Langkat. Keempat, Afdeling Simelungun en Karolanden kini menjadi Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar

Kekayaan alam Sumatera Timur terdiri dari hutan-hutan Payau (Mangrove) yang ditumbuhi oleh pohon bakau dan nipah. Banyak sekali ditemukan sungai-sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Di sepanjang sungai-sungai itu, tertutama di muara sungai, tumbuh dengan lebat pohon nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di Dataran Tinggi Karo dan Simalungun itu membawa sisa-sisa debu halus, pasir, tanah gembur dan


(35)

endapan lumpur.45 Akibatnya daerah Pantai Timur bertambah luas masuk ke Selat Malaka. Tanah-tanah di sepanjang Pantai Timur Sumatera ini menjadi lahan subur untuk pertanian, terutama untuk mendukung industri perkebunan. Dampak perkembangan ekonomi perkebunan juga telah mengubah komposisi demografis. Mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke ”Het Dollar Land” Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar, sedangkan orang Cina menempati urutan ketiga.

Penduduk kota itu telah melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat gubernemen, bukan rakyat kerajaan.46 Komunikasi di antara mereka semakin lancar dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1928. Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat nasional di kota Medan. Hamka dalam ”Merantau ke Deli” mendeskripsikan, bahwa Anak Deli adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Anak Deli adalah keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan budaya tradisional.47 Kaum pendatang sebagian besar tinggal di kota-kota besar. Mereka bekerja sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, dan sebagainya.

Penduduk asli Sumatera Timur adalah kelompok etnis Melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun.48 Etnis Melayu Pesisir Sumatera

      

45

Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 34.

46 Orang Cina, Keling, dan orang asing lainnya yang tinggal di wilayah kerajaan menjadi rakyat

gubernemen. Mededeelingen van den Burgerlijken. Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie (MBGD), 1912-1925. hal. 34, 96, dan 162; Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), Bandung: Alumni, 1978. hal. 76.

47 Hamka. 1966. Merantau ke Deli. cet. ke-3. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. hal. 56. 48

Anthony Reid menyebut Sumatera Timur sebagai kampung halamannya penduduk melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun yang bekerja sebagai petani. Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 87.


(36)

Timur mendiami daerah Pantai Timur Sumatera. Etnis Melayu yang dimaksud adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta memakai adat budaya dan Melayu serta mayoritas beragama Islam. Keahlian khas raja-raja Melayu adalah kemampuannya menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan penduduk dari suku-suku lainnya tanpa mengorbankan identitas mereka. Keahlian inilah yang memungkinkan Kerajaan Melayu berkuasa di bandar-bandar Pantai Timur Sumatera, menggantikan pengaruh Aceh yang pernah memperkenalkan gagasan kerajaan di kalangan suku-suku Batak Karo dan Simalungun.49

Hubungan raja-raja Melayu dengan Pemerintah Belanda mulai intensif ketika Pemerintah Belanda melancarkan politik ekspansionismenya ke Sumatera pada pertengahan abad ke-19. Pengaruh Belanda semakin kuat setelah Sultan Serdang (Basyaruddin) menandatangani perjanjian dengan Pemerintah Belanda pada tanggal 16 Agustus 1862. Perjanjian yang dikenal dengan Acte van Erkenning yang menyatakan tentang pengakuan Sultan Serdang beserta daerah taklukkannya Padang Bedagai, Denai, Pertjoet, Perbaungan termasuk daerah kekuasaan Siak Sri Indrapura. Pada 1873, Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai, dan Bilah dijadikan menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur yang berkedudukan di Bengkalis.50 Mengingat perkembangan ekonomi yang begitu pesat di Sumatera Timur, maka pada tahun 1887 ibukota Residensi Sumatera Timur dipindahkan ke Medan. Pada saat itu Residensi Sumatera Timur dibagi dalam lima Afdeling yakni Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis, Deli, dan Batubara.51

      

49 Ibid. hal. 24. 50

T. Luckman Sinar. 1986. Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. Medan: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. hal. 154.

51


(37)

Medan sebagai ibukota Residensi Sumatera Timur, menjadi tempat tinggal kaum elit kolonial yang terdiri dari orang-orang Eropa sebagai elit pemerintahan kolonial (European Wijk). Mereka bangga menyebut dirinya sebagai Deliaan (Belanda Deli), dengan ciri-ciri Presiden Deli Mij dan dianggap lebih pantas untuk dihormati dari pada Gubernur Jendral Hindia-Belanda. Kota Medan dibangun dari susunan tata ruang (spatial arrangement) yang menampilkan wajah ganda yaitu pemukiman di pusat kota dihuni elit pemerintahan kolonial (European Wijk), khas, kasar, pemabuk, kurang adat, benci pada birokrasi yang menghambat penumpukan harta. Kemudian pusat perdagangan yang dihuni oleh Orang Cina dan “Timur Asing” lainnya seperti Arab dan India. Sedangkan kawasan pinggiran yang melingkari pemukiman elit politis dan bisnis ini dihuni oleh Bumiputera.

Memasuki awal abad ke-20 Pemerintah Belanda mulai melakukan penaklukan ke wilayah Simalungun, Tanah Karo, Toba, dan Pak-Pak Dairi.52 Di antara tahun 1870-1942 wilayah dan penduduk dari 41 kerajaan di Sumatera Timur telah digabungkan ke dalam kekuasaan Hindia-Belanda. Semua kontrak politik yang telah ditandatangani antara kedua belah pihak, akhirnya telah mereduksi jumlah kerajaan itu menjadi 34 kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu telah diberi batas-batas wilayah tertentu dan secara bersama-sama digabungkan sebagai Residensi Sumatera Timur. Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur dinaikkan statusnya menjadi Provinsi Sumatera Timur yang membawahi lima Afdeling, yaitu Deli en Serdang, ibukotanya Medan. Langkat ibukotanya Binjai, Simalungun en Karolanden ibukotanya Siantar, Asahan ibukotanya Tanjung Balai, dan Bengkalis ibukotanya Bengkalis.

      

52

T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: tanpa penerbit, tanpa tahun terbit. hal. 33-50, dan Mededeelingen. Op. Cit. hal. 549-564.


(38)

Masyarakat Sumatera Timur telah dijamin oleh penguasa Belanda sebagai penduduk asli dengan hak-hak istimewa atas tanah sesuai dengan hukum adat.53 Hak istimewa inilah yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat pendatang (migran). Dengan adanya penyusunan kembali wilayah kerajaan di Sumatera Timur, maka Belanda secara otomatis telah memasukkan daerah Sumatera Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial yang terpusat di Batavia. Ini bermakna bahwa Belanda telah berhasil menyatukan wilayah kerajaan yang belum pernah memiliki kesatuan politik dan administratif. Di samping itu, Belanda juga telah menghubungkan Sumatera Timur dengan Jawa. Dengan cara demikian Sumatera Timur telah memiliki identitas baru.

Sampai pertengahan abad ke-20 ekonomi perkebunan dan Pemerintah Belanda bersama-sama melakukan perubahan drastis54 dari kehidupan masyarakat Sumatera Timur, khususnya kaum aristokrat Melayu. Secara nyata kekuasaan kolonial Belanda dengan sistem ekonomi perkebunannya telah meningkatkan kesejahteraan hampir semua raja-raja di Sumatera Timur. Di antara raja-raja yang paling banyak mendapat keuntungan adalah Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan. Perjanjian politik kontraknya dengan Pemerintah Belanda, masih membolehkan mereka menjalankan kekuasaan hukum adat mereka antara lain yang terpenting adalah tanah. Imbalan honorarium dari perubahaan perkebunan, terus menerus mengalir ke kantong pribadi para Sultan dan Datuk yang berkuasa di Sumatera Timur. Pajak-pajak ini masuk ke kantong pribadi para Sultan

      

53

Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), Bandung: Alumni, 1978.

54 Mengenai perubahan itu, baca Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya

Kerajaan di Sumatera Timur. Jakarta: Sinar Harapan. 1987. hal. 77-126i; Mohammad Said. 1977 ‘Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Antara Derita dan Kemarahannya. Medan: Percetakan Waspada; Karl J. Pelzeer, Op. Cit., him. 51-90.


(39)

dan Datuk-Datuknya. Keuntungan dari pajak itu masih ditambah lagi dengan gaji resmi dan honorarium.

Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa ini muncullah perubahan gaya hidup sebagian Sultan dan Bangsawan Sumatera Timur khususnya Melayu. Kaum bangsawan Melayu termasuk sultan-sultannya, sebelum datangnya Belanda, berada dalam keadaan yang melarat.55 Setelah hadirnya sistem ekonomi perkebunan mereka telah mampu membangun istana-istana megah, membeli mobil mewah, dan pesiar ke Eropa.56 Gaya hidup kemewahan akhirnya menjadi prilaku keseharian para sultan tersebut. Para Sultan Melayu kerap kali mengadakan pesta-pesta untuk menyambut tamu-tamu penting (orang-orang Eropa). Untuk mununjukkan kebesaran dinastinya, mereka membentuk pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan yang berasal dari kelompoknya.

Pengaruh penting lainnya dari perkembangan ekonomi perkebunan adalah terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit Eropa dan orang Cina dengan masyarakat Jawa yang menjadi buruh-buruh perkebunan. Dalam konteks yang sama juga terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit kerajaan dengan kaum petani di pedesaan. Susunan golongan di Sumatera Timur pada masa kolonial benar-benar kompleks dan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Langenberg menggambarkan sebagai berikut. Pada lapisan atas terdapat kaum elite penguasa kolonial yang terdiri dari beberapa lapisan. Pertama, orang-orang Eropa, yaitu pejabat-pejabat kolonial, administratur perkebunan, dan para pengusaha. Kedua, keluarga 6 kesultanan Melayu, Langkat, Deli, Serdang dan Asahan, Kota Pinang dan Siak. Ketiga adalah

      

55 Tentang keadaan istana dan kehidupan kesultanan Melayu. pada masa itu lihat, Karl J. Pelzer. Op.

Cit. hal. 168-169 dan John Anderson. 1971. Mission to East Coast of Sumatra in 1823. Kuala Lumpur, London: Oxford University Press.

56 Sultan Machmoed dari Langkat memiliki 13 mobil, Kuda Pacu, dan Kapal Secoci Pesiar. Anthony

Reid. Op. Cit. 1987. hal. 89. Sultan Serdang memiliki 10 buah mobil pribadi, lihat pada Budi Agustono. 1993 “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. hal. 75.


(40)

para bangsawan Melayu dari kesultanan yang kecil, raja-raja Karo dan Simalungun, kaum intelektual Indonesia berpendidikan Barat (dokter, pengacara, pejabat sipil kolonial senior), dan para pedagang kaya Cina, India, dan Indonesia.57

Sebagian besar penduduk Sumatera Timur tinggal di pedesaan. Mereka adalah para buruh perkebunan yang hidupnya sangat tertekan dan menderita. Kehidupan buruh-buruh perkebunan ini sangatlah menyedihkan, lingkungan kumuh, terancam kelaparan, dan kekurangan gizi. Para buruh perkebunan yang hidupnya miskin ini terus semakin bertambah setiap tahun. Pada tahun 1883 jumlah penduduk miskin mencapai 31.454 jiwa dan pada tahun 1932 meningkat lagi menjadi 336.000 jiwa. Mereka adalah para buruh perkebunan yang sering mendapat perlakuan sewenang-wenang dari para majikan perkebunan.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa para pendatang yang sebagian besar adalah kelompok usia muda inilah yang memainkan peranan penting dalam pergerakan politik dan sosial di Sumatera Timur. Merekalah yang kemudian melancarkan kritik tajam terhadap kepincangan sosial, penindasan para buruh kebun dan kemapanan sistem feodalisme. Kritikan tajam, perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang menyebarkan isu-isu perlawanan, penolakan (negasi) terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial dan sistem feodal yang dijalankan para penguasa saat itu.58 Tokoh-tokoh pemuda di Sumatera Timur tampil di depan untuk melawan

      

57 Diterjemahkan dari Michael van Langenberg dalam Auderey R. Kahin. 1985. (ed.) Regional

Dynamica of The Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu: University of Hawaii. hal. 115. Penduduk Sumatera Timur pada masa itu dibagi dalam empat lapisan orang Eropa, Timur Asing, Pribumi, dan kuli-kuli kebon. Staatsblad van Nederlandsch-Indie. 1939. No. 146.

58 Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah

(KND) yang memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan.


(41)

penguasaan dan pengelolaan tanah yang dilakukan para Sultan dengan pemerintah kolonial Belanda.

Dinamika perkembangan penduduk Sumatera Timur hingga menjadi Provinsi Sumatera Utara sangat dipengaruhi oleh situasi yang terjadi Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kota Tebing Tinggi. Saat ini, empat daerah tersebut menjadi ukuran dalam mencermati dinamika sosial, ekonomi, dan politik di Sumatera Utara.

Tabel 2.1.

Jumlah Penduduk, Pemilih, dan Pengguna Hak Pilih di Daerah Pemilihan 1 DPR-RI Provinsi Sumatera Utara pada Pemilu 2014

Daerah Jumlah

Penduduk

Jumlah Pemilih

Pengguna Hak Pilih

% Pengguna Hak Pilih

Kota Medan 2.602.612 1.767.247 915.903 51,82

Deli Serdang 1.846.262 1.389.343 765.247 55,07

Serdang Bedagai 671.812 463.082 348.984 75,36

Kota Tebing Tinggi 168.242 126.358 88.749 70,23

Jumlah 5.288.928 3.746.030 2.118.883 56,56

Sumber: diolah dari Data BPS dan KPU Provinsi Sumatera Utara, 2014.

Jumlah penduduk dan pemilih di Provinsi Sumatera Utara tercatat sebanyak 15.227.719 dan 8.788.455 yang tersebar di 33 kabupaten/kota. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan pemilih di Dapil Sumut 1 DPR-RI maka terdapat 34,73% dan 42,62% berada di empat daerah tersebut. Data tersebut menjelaskan bahwa mayoritas penduduk dan pemilih berada di Dapil Sumut 1 DPR RI Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu, Dapil Sumut 1 dalam Pemilu 2014 tetap menjadi daerah pemilihan yang sangat kompetitif bagi 12 partai politik dan calon anggota legislatif sehingga Dapil 1 sering disebut sebagai ”Dapil Neraka”.59

      

59 Sebutan “Dapil Neraka” muncul dari ucapan calon anggota legislatif pada saat intensitas kegiatan

kampanye pada Pemilu 2014 mulai meningkat. Dapil Sumut 1 juga dipenuhi dengan calon anggota legislatif dari partai politik yang memiliki popularitas baik di masyarakat. Sebut saja misalnya Ramadhan Pohan dan Ruhut Sitompul dari Partai Demokrat, Meutya Hafid dan Leo Nababan dari Partai Golkar, Hasrul Azwar dari PPP, Tiffatul Sembiring dari PKS, dan nama-nama terkenal lainnya.


(1)

dengan organisasi pemuda dengan dua judul, yaitu “Pemuda Sebagai Sumber Rekrutmen Pemimpin Politik” dan “Memahami Makna Hasil Pemilu”. Para ahli yang dijadikan narasumber adalah ilmuwan politik, tokoh pendidikan, pejabat birokrasi yang terkait dengan bidang tugas organisasi pemuda. Penyusunan model pendidikan politik tersebut akan diuraikan dalam bentuk kurikulum pendidikan politik yang dapat dijadikan sebagai bahan bagi anggota legislatif dalam menjalankan tugasnya melakukan pendidikan politik kepada konstituennya. Kurikukum akan dilengkapi dengan Satuan Acara Pembelajaran (SAP) dari Modul Mata Pelajaran yang akan dijadikan sebagai pedoman. c. Proses penyusunan modul pendidikan politik dengan judul “Pemuda

Sebagai Sumber Rekrutmen Pemimpin Politik” dan “Memahami Makna Hasil Pemilu” dilakukan melalui desk study, focus group

discussion (FGD), dan wawancara mendalam.

d.Hasil rumusan penyusunan modul pendidikan politik akan dilakukan seminar terbatas dengan para ahli tertentu untuk mendapatkan masukan berupa ide-ide tentang aspek-aspek yang luput dari perhatian peneliti. e. Model pendidikan politik yang berjudul “Pemuda Sebagai Sumber

Rekrutmen Pemimpin Politik” dan “Memahami Makna Hasil Pemilu” akan ditawarkan kepada pemerintah daerah, organisasi pemuda, dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk digunakan dalam program pendidikan politik di organisasi pemuda masing-masing. Peneliti akan menjajaki program kerjasama dengan pemerintah daerah untuk melakukan pendidikan politik yang terprogram dan dilakukan secara terus-menerus bagi kader-kader organisasi pemuda yang berminat meniti karir sebagai politisi.

f. Peran organisasi pemuda di dalam momentum dan ajang demokrasi seperti pemilihan umum hendaknya mengedepankan prinsip


(2)

terpecah belah oleh konflik kepentingan, baik berupa konflik vertikal (antara pengurus di level atasan dengan level di bawahnya) maupun konflik horisontal (antar anggota dalam satu level kepengurusan). g.Proses regenerasi kepemimpinan politik salah satunya bersumber dari

organisasi pemuda yang hendaknya dilakukan dalam wujud internalisasi nilai-nilai kebangsaan, religiusitas, inklusifitas, serta moral antikorupsi, agar dalam momentum perhelatan demokrasi, pemuda tidak dijadikan alat menumbuhsuburkan praktik money

politics oleh kelompok kepentingan yang tidak berpihak kepada

keadilan. Relasi dalam pemberian dukungan politik yang dilakukan secara transaksional menjadi awal mula terjadinya korupsi di lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif pusat maupun daerah. Transaksi yang mengutamakan kekuatan uang menjadi penanda bahwa proses rekrutmen politik saat pemilu yang sarat dengan praktik-praktik money

politics. Untuk memutus siklus tersebut maka penting untuk

membersihkan jiwa generasi muda agar memiliki resistensi terhadap aneka bentuk korupsi yang ingin diwariskan oleh politikus generasi sebelumnya.

h.Pemerintah pusat dan daerah hendaknya memberi perhatian lebih terhadap pengembangan potensi kepemudaan, antara lain dengan membuat program-program yang mampu memberikan pendidikan politik yang benar kepada pemuda, serta menciptakan pemuda menjadi agen-agen perubahan yang memiliki jiwa patriotisme dan tanggung jawab, baik melalui lembaga pendidikan maupun lembaga kemasyarakatan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muryanto. 2013. ”Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008). Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Bamba, John. “Borneo Headhunter: Imej dan Manipulasi”. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan

dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press.

Bogdan, Robert, & Taylor J. Steven. 1993. Metode Kualitatif:

Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.

Colombijn, Freek dan Thomas J. Lindblad. eds. 2002. Roots of Violence

in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective.

Singapore: ISEAS.

Crook, Richard, C. dan James Manor. 1998. Democracy and Decentralization in South Asia and West Africa: Participation,

Accountability and Performance. Cambridge University Press.

Hadiz, Vedi, R. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia

Pasca-Soeharto. LP3ES. Jakarta.

Hamid, Abdul. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten.” dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan

dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press.

King, Dwigth. 1982. “Indonesia’s New Order A Bureaucratic Polity, A New Patrimonial Regime or Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?. dalam Benedict R.O.G Anderson dan Audrey Kahin (eds). Interpreting Indonesian Politics: Thirteen

Contributions to The Debate. Ithaca. New York: Cornell University

Press (Cornell Modern Indonesia Project Publication 62).

Lively, Jack. Democracy. 1975. Chapter Two 8-51, Britain: Basil Blackwell.

Lofland, J. 1971. Analyzing Social Settings: A Guide to Qualitative


(4)

Masaaki, Okamoto & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos

Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press.

Masaaki, Okamoto & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos

Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press.

Masaaki, Okamoto. “Broker Keamanan di Jakarta: Yang Profesional dan Berbasis Massa”. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006.

Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi.

Yogyakarta: IRE Press.

Migdal, Joel, S. 1988. Strong .. Op. Cit. dan Joel S. Migdal. 2001. State in Society: Studying How States and Societies Transform and

Capabilities in the Third World. Princenton University Press.

Migdal, Joel, S. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society

Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey:

Princenton University Press.

MS, Burhani – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus

Ilmiah Populer. Jakarta: Lintas Media.

Nordholt, Henk, Schutle dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Quimpo, Nathan, G. 2007. “Trapo Parties and Corruption”. dalam

KASAMA. Vol. 21 No. 1. Januari-March.

Rauf, Maswadi. 2005. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Tinggi.

Romli, Lili. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi. Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok.

Rozaki, Abdur. “Sosial Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura.” Dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok

Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE


(5)

Ryter, Loren. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New Order?” Indonesia, 66, Oktober.

Scott, James, C. 1972. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”. dalam The American Political Science Review. Vo. 6. No. 1 (Mar. 1972).

Sidel, John, T. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.). Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos.

Sidel, John, T. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.). Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos.

Sidel, John, T. 2005. “Philippine Politics in Town, District, and

Province: Bossim in Cative and Cebu” The Journal Asia Studies

(56/4/Nov.1997)

Simanjuntak, Maruli, CC. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah.

Smith, Brian, C. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of

the State. London: Allen & Unwin.

Suryawan, I, Ngurah. “Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris: Catatan Awal Aksi Pencalang dan Kelompok Milisi di Bali. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos

Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press.

Widyanto, Untung. “Jagoan Betawi dari Cakung.” Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era

Reformasi. Yogyakarta: IRE Press.

Yin, K, Robert. 2000. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: Raja Grafindo Persada.


(6)

Profil Penulis

Muryanto Amin lahir di Medan bekerja sebagai pengajar Ilmu Politik di FISIP Universitas Sumatera Utara. Menyelesaikan pendidikan S3 bidang Ilmu Politik di Universitas Indonesia dengan topik konsolidasi demokrasi di tingkat lokal dalam kasus pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Prilaku politik dalam aktivitas pemilu dan partisipasi masyarakat di tingkat lokal menjadi agenda prioritas pengabdian ilmu yang dilakukannya. Pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat selalu dilakukannya dengan memilih tema memberikan pendidikan politik bagi generasi muda sebagai jalan untuk mempercepat konsolidasi demokrasi pada tingkat individu dan kelompok kecil di masyarakat. Pengalamannya sebagai

observer, analis, dan terkadang ikut terlibat dalam kegiatan pemilu,

pemilihan kepala daerah, dan pemilihan presiden mengharuskannya menulis beberapa buku seperti Politik Layar Terkembang (2013), Hambatan Konsolidasi Demokrasi (2014) serta tulisan lainnya di jurnal ilmiah terakreditasi, dan media online lainnya.