Ibadah kaum Lansia Sebuah Tinjuan dari

1

“Ibadah kaum Lansia: Sebuah Tinjuan dari Pengamatan dan Teori Dasar untuk
Menciptakan Ibadah untuk Lansia”


Pendahuluan
Setiap manusia akan mengalami proses pertumbuhan serta perkembangan fisik dan

psikis. Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi bermula dari proses anak sampai usia
lanjut. Proses ini tidak dapat dihindari namun bisa diminimalkan, terlebih saat ini semakin
banyak orang seakan tidak siap untuk menjadi tua dan terkesan untuk menghindari masa
tua. Tubuh yang semakin lemah, penyakit yang semakin sering datang, hingga kulit yang
semakin mengendur terkadang menjadi ketakutan tersendiri bagi sebagian orang karena
tidak siap menerimanya. Namun tentu saja proses untuk menjadi tua akan tetap
menghampiri setiap individu seiring dengan berjalannya waktu.
Terkait dengan hal itu, manusia juga - secara natural - memiliki keinginan untuk
mendapatkan kasih sayang dan perhatian di setiap fase kehidupan yang dijalaninya.
Meskipun setiap individu memiliki gambaran diri dan perkembangan mental yang berbedabeda namun keinginan untuk bisa dikasihi oleh orang lain tentu menjadi keinginan alamiah
yang terdapat dalam diri setiap individu. Hal ini sepadan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Hensley, yaitu “anak-anak, remaja, pemuda, dewasa dan lansia memiliki

sifat dan sikap yang bersifat inheren yang akan menambah kemampuannya untuk
mengasihi dan dikasihi orang lain” (Hensley 1994, 9).
Makalah ini ingin mengenal lansia lebih dalam dan melihat permasalahan yang
dihadapi mereka saat ini, serta ingin mencoba menunjukkan bahwa para usia lanjut
memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menjalani hidupnya.


Lansia
Wolfgang Bock dalam bukunya yang berjudul “Usia Lanjut yang Berahmat dan

Berdaya Pikat” mengutip pemikiran Elizabeth Hurlock yang mendefinisikan usia tua
sebagai periode penutup dalam rentang hidup manusia. “Tua”, “ Lanjut usia (LANSIA)” atau
“Manusia usia lanjut (MANULA)” merupakan istilah yang menunjukkan hidup lebih lama
atau memiliki kualitas hidup yang tinggi. Gejala yang sering menonjol adalah mereka

2

sering mengenang masa lalu, tak jarang dengan penyesalan. Bagi Hurlock orang yang
berusia 60 tahun ke atas sudah dapat disebut sebagai lansia atau manula (Bock 2010, 5).
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, setiap individu memiliki

hasrat untuk dapat dikasihi oleh orang lain di sekitarnya. Secara khusus ketika seorang
individu sudah mulai memasuki masa tua, kebutuhan untuk merasa aman, diperhatikan
dan dihargai pun semakin dirasa penting untuk dipenuhi. Pada titik ini seorang yang sudah
berusia lanjut akan mengandalkan orang-orang terdekatnya untuk bisa memenuhi
kebutuhannya tersebut. Melalui perhatian dan kasih sayang yang diterima oleh seorang
yang sudah berusia lanjut, maka orang yang bersangkutan akan merasa lebih dihargai dan
lebih memiliki motivasi dalam menjalani kehidupan di masa tua (Hensley 1994, 9).
Dalam kasus semacam ini, dapat dimunculkan pertanyaan “di manakah peranan
gereja?” Secara pribadi saya hendak berpendapat bahwa posisi gereja sangat diperlukan
untuk bisa memahami kebutuhan para lansia. Gereja sebagai sebuah komunitas - sebagai
tempat para lansia berinteraksi - harus mampu memberikan perhatian dan menyediakan
fasilitas bagi mereka. Dengan demikian para lansia akan merasa diperhitungkan
kehadirannya di dalam komunitas karena gereja hadir dan memberikan fasilitas bagi
mereka.
Lalu bagaimana gereja bisa memberikan fasilitas kepada para lansia? Secara liturgis,
tentu pelayanan dalam bentuk ibadah-ibadah bagi lansia juga diperlukan demi memenuhi
kebutuhan kerohanian mereka. Namun kita perlu juga memahami bahwa pelayanan kepada
lansia tentunya tidak semudah pelayanan pada jenjang usia lain. Hal ini kembali
dikarenakan orang yang sudah lanjut usia memerlukan perhatian lebih dalam segala aspek
(Little 1983, 13). Oleh karena tingkat kesulitan yang berbeda tersebut maka diperlukan

persiapan yang matang dari gereja ketika hendak memfasilitasi para lansia. Terkait dengan
hal tersebut, sejauh ini saya hanya mampu melakukan pelayanan sederhana. Sebagai
contoh adalah dengan membangun relasi bersama mereka secara intim dan rutin. Proses
menjalin relasi ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa saling percaya antara saya dan
para lansia. Jika rasa saling percaya ini telah terbentuk, maka saya berharap bisa melakukan
pelayanan secara lebih mendalam sesuai dengan kebutuhan para lansia. Di samping itu,

3

tentu juga akan menyenangkan bagi para lansia ketika mendapatkan lawan bicara yang
mampu mendengarkan mereka dengan baik dan menjadi sahabat karib dalam masa tuanya.
Lebih lanjut jika kita berbicara tentang lansia, Wolfgang Bock dalam bukunya
berjudul “Usia Lanjut yang Berahmat dan Berdaya Pikat” menuliskan empat tahap usia
lanjut dan gejala-gejala yang menyertainya, seperti (Bock 2010, 8-9):
1. Manula muda ialah mereka yang baru saja meraih usia 60 tahun. Sebagian dari
mereka sudah pensiun dan masih cukup segar secara rohani atau jasmani. Manula
muda masih tetap mandiri dan kreatif, semuanya masih bisa dikerjakan sendiri.
2. Manula madya ialah mereka yang berusia 70 tahun ke atas. Mereka mulai
mengalami penurunan stamina dan mulai menunjukkan gejala penguzuran. Seperti
halnya indera netral dan rungu mulai berkurang.

3. Manula tua suntuk ialah mereka yang berusia 80 tahun ke atas yang memerlukan
bantuan dan pendampingan serta perawatan. Keadaan yang terjadi cukup berat
dengan lontaran kemarahan dan ketidakpuasan akan apa yang diberikan.
4. Manula tua lontok (bengok) ialah mereka yang berusia 90 tahun ke atas dan
menderita macam-macam penyakit. Mereka mulai menunjukkan gejala pikun,
mudah bingung dan sering kehilangan orientasi
Tahapan ini merupakan hasil pengamatan terhadap para lansia yang dilihat dari
berbagai aspek, antara lain secara finansial (=mampu membeli obat-obatan), perbedaan
tingkat pendidikan, budaya, cuaca dan ketinggian tempat tinggal. Selain itu tahapan lanjut
usia ini juga mengalami krisis kemunduran fungsi organik, produksi hormon, motorik,
fungsi mental, kemunduran kesehatan total, ketakutan akan kematian, depresi dan
kehilangan, masih banyak krisis yang dialami para lansia ini (Santoso & Ismail 2011, 16).


Contoh Kasus
Selanjutnya kita akan mencoba melihat contoh kasus yang terjadi di lapangan secara

nyata. Pemaparan berikut merupakan sebuah analisis dari pengalaman penulis ketika
melakukan pengamatan dan penelitian di sebuah panti jompo di daerah Jakarta Selatan.
Dalam kunjungan ke panti jompo tersebut saya melihat bahwa usia para penghuni di sana

sudah mencapai 60 tahun ke atas. Pada usia senja tersebut ternyata saya bisa melihat
secara nyata gejala-gejala lansia yang sudah mulai menghampiri mereka. Namun ternyata

4

masih ada beberapa lansia yang masih terlihat sehat dan masih mampu untuk bersikap
mandiri. Hal ini juga tidak terlepas dari kebebasan yang diberikan oleh pihak panti kepada
para lansia untuk melakukan segala aktivitasnya. Bagi saya pribadi kebebasan yang
diberikan kepada para lansia merupakan sikap yang tepat. Hal ini dikarenakan para lansia
sangat memerlukan dukungan dan penerimaan dari lingkungan sekitar mereka. Melalui
kebebasan tersebut maka para lansia bisa menghilangkan rasa kesepian yang dimilikinya
(Santoso & Ismail 2011, 115 ).
Selanjutnya, kebebasan yang diberikan oleh pihak panti ternyata telah membantu
para lansia untuk bisa menemukan makna hidup mereka masing-masing. Para lansia diajak
untuk menyadari bahwa di tengah masa tuanya ternyata mereka masih tetap berharga dan
tidak perlu merasa rendah diri karena telah ditinggalkan. Melalui usaha untuk
meningkatkan rasa kepercayaan diri para lansia, maka panti tersebut telah memberikan
realitas dan pandangan yang baru mengenai keluarga, teman dan dunia. Memberikan
pandangan akan makna hidup sesuai dengan kesehatan, kemampuan dan situasi konkret
kehidupan pribadi yang bersangkutan (Deeken 1989, 77-78).



Ibadah untuk Lansia
Scott Haldeman berpendapat liturgi adalah suatu sarana pembentuk identitas

komunal umat Kristen. Dalam liturgi hubungan manusia dengan Allah terjalin dan pola
kehidupan manusia terbentuk. Melalui liturgi kita dapat mengalami dan merasakan
anugerah Allah secara ruang dan waktu kita sebagai manusia. Namun perlu ditegaskan
bahwa istilah “liturgi” pada makalah ini bukan hanya terbatas pada pengertian sikap
berdoa atau susunan struktur sebuah ritual keagamaan di dalam gereja, melainkan adalah
sebuah rangkaian atas seluruh proses kehidupan manusia (Scott 2007,4-5). Artinya seluruh
proses kehidupan yang kita jalani merupakan rangkaian liturgi kita kepada Allah. Sebab
liturgi bukan hanya terbatas pada dinding-dinding ruangan saja melainkan harus mampu
dimaknai secara lebih, yaitu keseluruhan kehidupan manusia.
William Lynch menyatakan bahwa iman adalah cara untuk mengalami dan
membayangkan dunia. Bila perspektif iman dibawa ke dunia, ia menyusunnya kembali
sesuai dengan visinya. Gagasan, praktik, struktur, dan nilai yang diterima masyarakat
sekitar dialami secara langsung (Pembroke 2010, 107). Begitu juga dengan lansia yang

5


mempunyai iman dan pengharapan mereka berharap akan cinta kasih yang nyata dari
orang sekitar. Pedampingan bersama orang terkasih membuat dunia ini mendukung dan
menerima para lansia yang mulai kesepian
Kaethe Weingarten menyebut seseorang yang memiliki solidaritas masuk ke dalam
kehidupan seseorang khususnya lansia sebagai pendengar bagi mereka adalah baik. Bagi
Weingarten, pengharapan untuk diterima adalah tanggung jawab komunitas. Hal tersebut
adalah sesuatu yang dilakukan bersama-sama sebagai suatu komunitas. Jadi, seseorang
tidak berpikir bahwa segala hal dapat dilakukan sendiri melainkan berpikir bahwa
komunitas dapat membantu untuk mencapai tujuannya. Bersama dengan keluarga, teman,
dan rekan sekerja, seseorang dapat selalu menemukan cara untuk keluar dari kondisinya
saat itu (Pembroke 2010, 102).
Setelah membaca dan melakukan pengamatan di panti Werdha Hana, konsep ibadah
untuk lansia yang dapat dilakukan oleh kita atau gereja untuk para lanjut usia. Konsep
ibadah yang saya tawarkan adalah lebih melibatkan para lansia dalam seluruh rangkaian
ibadah dari awal sampai akhir selain itu, ibadah dibuat dengan bermain, bercerita dan
beraktivitas. Firman Tuhan dikreasikan
Penutup
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa mengembangkan jemaat – khususnya kaum
lansia – membutuhkan kemampuan dan usaha yang ekstra. Selain itu, usaha ini juga tidak

dapat dilakukan seorang diri saja, baik saya ataupun sang pendeta secara individu. Proses
memberikan pelayanan terhadap kaum lansia harus dilakukan secara bersama untuk
mencapai tujuan bersama pula. Seperti yang telah saya jelaskan di atas bahwa sebenarnya
tujuan melakukan pelayanan kepada lansia bukan hanya sekedar mendoakan dan
mendatangi lansia yang sakit, tetapi lebih dari itu. Pelayanan yang dilakukan terhadap
lansia harus mampu membuat lansia merasa nyaman dan bisa kembali merasa eksis di
dunia sekelilingnya. Tentunya tujuan yang hendak dicapai tersebut haruslah di
programkan, diproses, dan dilakukan secara bersama dan seksama oleh segenap tenaga
pelayan yang ada di gereja tersebut. Para lansia itu mempunyai kekayaan waktu dan
pengalaman. Mereka haruslah lebih melayani daripada siapa pun. Lansia yang memiliki

6

waktu lebih banyak dapat diajak melakukan aktivitas yang membuat diri mereka bergerak
dan melakukan apapun yang mereka bisa lakukan.

Daftar Acuan
Bock, Wolfgang. 2010. Usia lanjut yang berahmat dan berdaya pikat. Jakarta: Obor.
Deeken, Alfons. 1989. Usia lanjut. Yogyakarta: Kanisius.
Hensley, Margaret. 1994. Konsep diri & kedewasaan rohani. Bandung: Kalam Hidup.

Haldeman, Scott. 2007. Towards Liturgies that Recpncile. England: Ashgate.
Little, Sara. 1983. To set one’s Heart: Belief and teaching in the Church. Atlanta: John Knox
Press.
Pembroke, Neil. 2010. Pastoral care in worship; Liturgy and psychology in dialogue. New
York : T&T Clark International
Santoso, Hanna & Andar Ismail. 2016. Memahami krisis lanjut usia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.