STRATEGI COPING PADA IBU MUDA YANG MENGALAMI STRES PERNIKAHAN.

(1)

STRATEGI COPING PADAIBU MUDA YANG MENGALAMI STRESPERNIKAHAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Tsalis Fatih Safitri B07210051

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Strategi Coping Pada Ibu Muda Yang Mengalami Stres Pernikahan” merupakan karya asli yang diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Karya ini sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis di acu dalam naskah ini dan di sebutkan dalam daftar pustaka.

Surabaya, 09 Januari 2017


(3)

SKRIPSI

STRATEGI COPING PADA IBU MUDA YANG MENGALAMI STRES PERNIKAHAN

Yang Disusun Oleh Tsalis Fatih Safitri

B07210051

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Pada Tanggal 09 Januari 2017

Mengetahui,

Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan

Prof. Dr. H. Moh. Sholeh, M.Pd NIP. 196004121994031001

Susunan Tim Penguji Penguji I,

Dr. dr. Hj. Siti Nur Asiyah, M. Ag NIP. 197209271996032002

Penguji II,

Rizma Fithri, S. Psi, M.si NIP. 197403121999032001

Penguji III,

Dr. Suryani, M. Si NIP.197708122005012004

Penguji IV,

Lucky Abrory, M. Psi NIP. 197910012006041005


(4)

HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal Penelitian / Skripsi

Strategi Coping Pada Ibu Muda Yang Mengalami Stres Pernikahan

Oleh Tsalis Fatih Safitri

B07210051

Telah Disetujui untuk Diajukan pada Seminar Skripsi.

Surabaya, 03 Januari 2017

Dr.dr. Hj. Siti Nur Asiyah, M.Ag NIP. 197209271996032002


(5)

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA PERPUSTAKAAN

Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya 60237 Telp. 031-8431972 Fax.031-8413300 E-Mail: perpus@uinsby.ac.id

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertandatangan di bawah ini, saya:

Nama : TSALIS FATIH SAFITRI

NIM : B07210051

Fakultas/Jurusan : PSIKOLOGI DAN KESEHATAN / PSIKOLOGI E-mail address : tsalissafitri@yahoo.com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusifatas karya ilmiah :

Skripsi Tesis Disertasi Lain-lain (………..) yang berjudul :

Strategi Coping Pada Ibu Muda Yang Mengalami Stres Pernikahan

Beserta perangkat yang diperlukan (bilaada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusifini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 27 Februari 2017 Penulis


(6)

INTISARI

Meningkatnya perilaku menyimpang yang dialami remaja muda dan mudi di zaman era teknologi sekarang ini, banyak perilaku menyimpang yang menyebabkan stres akibat banyaknya kasus kehamilan diluar pernikahan yang sah. Hal ini terjadi pada pelaku terutama subjek sebagai pihak wanita yang belum siap dalam menghadapi bahtera kehidupan rumah tangga. Penelitian ini mengangkat kasus wanita yang mengalami stres pernikahan. Tujuan dari penelitian ini adalah strategi coping yang digunakan Ibu Muda yang mengalami stres pernikahan

Hasil analisis adalah strategi coping yang dipilih subjek dalam mengatasi permasalahannya adalah dengan Approach coping atau problem focused coping dimana Subjek lebih berhati-hati dalam mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah setelah itu meminta pertimbangan orang terdekatnya yaitu suaminya untuk mengevaluasi strategi pemecahan masalah yang pernah dilakukan sebelumnya. Subjek lebih berhati-hati dalam menceritakan masalahnya kepada orang lain, karena subjek sadar bahwa tiap orang berbeda, ada yang suka dengan subjek atau ada juga yang tidak suka dengan subjek sehingga memberikan solusi yang asal-asalan dan malah menjerumuskan subyek. Tindakan instrumental, subjek biasanya menangis dan berfikir solusi terbaik untuk pemecahan masalah yang dihadapi, selain itu subjek juga menceritakan permasalahannya ke orang terdekat (suami) supaya segera terselesaikan. Selain itu subjek juga meminta perlindungan Allah SWT atas masalah yang ada, karena dengan berdoa dan meminta penguat hati kepada Allah SWT subjek tidak stess atas masalah yang dihadapi.

Kata Kunci : Strategy Coping, StresPernikahan.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Stress ... 12

a. Klasifikasi stres ... 13

b. Sumber Stres ... 14

c. Jenis-jenis Stress ... 16

d. Respon Psikologi Stress ... 17

e. Penyebab Stres ... 18

f. Gejala-gejala Stres ... 19

g. Dampak-dampak Stres ... 20

h. Reaksi psikologis terhadap stress ... 20

B. Pengertian Coping ... 21

a. Pengertian Coping ... 21

b. Macam-macam Coping ... 22

c. Bentuk Coping ... 24

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Coping ... 24

e. Strategi Coping ... 25

C. Pengertian Pernikahan ... 27

a. Pengertian Pernikahan ... 28

b. Pengertian Pernikahan Usia Muda ... 29

c. Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Usia Muda ... 32

d. Resiko Pernikahan Usia Muda ... 37

e. Tujuan Pernikahan ... 40

D. Kerangka Teoritik ... 43

BAB III : METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 45


(8)

C. Sumber Data ... 49

D. Cara Pengumpulan Data ... 51

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 54

F. Pengecekan Keabsahan Data ... 56

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Partisipan ... 60

B. Temuan Penelitian ... 62

1. Deskripsi Temuan Penelitian ... 62

a. Perilaku Subjek Pranikah ... 62

b. Deskripsi Stress Pernikahan ... 68

c. Deskripsi Coping ... 73

d. Deskripsi Strategi Coping ... 79

2. Analisis Temuan Penelitian... 83

a. Analisis Stres Pernikahan Yang Dialami Subjek ... 83

b. Analisis Coping ... 85

c. Analisis Strategi Coping ... 86

C. Pembahasan ... 89

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 108

B. Saran ... 109 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Daftar Tabel Halaman

Tabel 1 Rincian Jadwal Penelitian dengan Subjek dan Significant Other ... 29


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja merupakan periode seseorang bertransformasi dari anak-anak menuju dewasa. Periode ini merupakan sebagai masa yang memiliki dampak langsung dan dampak jangka panjang dari apa yang terjadi pada masa remaja ini. Pada periode ini pula, terjadi perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional yang dialami remaja mulai dari perkembangan fungsi seksual hingga proses berpikir abstrak dan kemandirian.

Pada umumnya, remaja mengalami perkembangan dari segala aspek. Remaja pada masa ini mengalami proses pematangan fisik lebih cepat daripada pematangan psikososialnya. Oleh karena itu, seringkali terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan remaja sangat sensitif dan rawan terhadap stress. Kondisi inilah yang menuntut individu remaja untuk bisa menyesuaikan diri secara mental dan sosial serta melihat pentingnya menetapkan suatu sikap, nilai-nilai dan minat yang baru. Selain itu, remaja sebagai generasi yang akan mengisi berbagai posisi dalam masyarakat di masa yang akan datang, yang akan meneruskan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara di masa depan. Perkembangan fisik dan kematangan seksual remaja dalam usia ini mengalami perubahan yang sangat pesat dan seharusnya menjadi perhatian khusus bagi remaja. Santrock (2007) menjelaskan pada masa remaja ini pula, beberapa pola perilaku seseorang


(11)

2

mulai dibentuk, termasuk identitas diri, kematangan seksual serta keberanian untuk melakukan perilaku beresiko, termasuk bereksperimen dengan aktivitas seks.

Mengingat dari pada perubahan pada diri seorang remaja, tidak lepas juga dengan meningkatnya perilaku seksual diluar nikah. Perilaku tersebut tidak hanya di negara-negara maju dan berkembang saja, bahkan di Indonesia hal ini bukanlah sesuatu yang harus dirahasiakan lagi, karena seringkali kita lihat remaja berpacaran di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, gedung film, kafe-kafe yang menjadi tempat nongkrong bagi para remaja serta di tempat-tempat khusus seperti rumah kos-kosan bahkan kamar hotel. Lingkungan dan tempat yang nyaman merupakan faktor pendukung untuk melakukan seks bebas atau seksual pranikah. Misalnya melakukan seks bebas saat tidak ada pelajaran, kemudian saat pulang ke rumah kos dimana suasana rumah kos yang sangat mendukung sehingga kemungkinan melakukan hubungan seksual (Setyowati, 2012). Dalam hal ini membuat para ibu-ibu muda banyak yang mengalami stres pranikah.

Dalam Kerpati (2010), menurut Sugiri Syarif, kepala BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), berdasarkan hasil penelitian di Yogyakarta dari 1.160 mahasiswa, sekitar 37 persen mengalami kehamilan sebelum menikah. Pada tahun 1997 sebuah studi kualitatif di Yogyakarta diantara 44 wanita yang memiliki kehamilan sebelum menikah pada usia 15-24 dan telah berkonsultasi ke IPPF (International Planned Parenthood Federation) Yogyakarta, dimana ditemukan bahwa 26 responden meneruskan


(12)

3

kehamilannya dan 18 responden dilaporkan mengakhiri kehamilannya. Dari mereka yang meneruskan kehamilan 21 responden menikah selama kehamilan dan hanya 5 responden menjadi orang tua tunggal. Empat dari sepuluh perempuan hamil sebelum usia 20 tahun. Lebih dari 900.000 kehamilan remaja setiap tahunnya. Sekitar 40 persen ibu remaja di bawah 18 tahun. Diungkap data pula bahwa dari 10 ibu dibawah usia 18 tahun, hanya 4 orang ibu yang dapat menyelesaikan sekolah tinggi. Hampir 80 persen ayah dari janin yang dikandung oleh remaja wanita memutuskan untuk tidak menikah dengan remaja wanita tersebut. Hanya 30 persen ibu remaja yang menikah setelah anak mereka lahir tetap dalam pernikahan mereka.

Hasil survey kesehatan kesehatan reproduksi remaja Indonesia (SKRRI) menunjukkan 1 persen remaja perempuan dan 8 persen remaja laki-laki mengaku pernah melakukan hubungan sksual pra nikah. Bahkan terdapat 1,1 persen dari remaja laki-laki kelompok usia 15 – 19 tahun yang mengaku melakukan hubungan seksual pra nikah ketika usianya kurang dari 15 tahun. ( arsip perwakilan BKKBN Provinsi Sumatra Barat tahun 2015)

Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menjelang dewasa. Merupakan masa yang rawan dan kritis karena perkembangan emosi dan perilaku yang masih belum stabil (Soetjiningsih, 2004).

Seks adalah perbedaan kelamin antara laki-laki dan perempuan. Istilah seks dan seksualitas yang belum ada sinonimnya di Indonesia memiliki arti yang sangat luas, tapi masyarakat mengartikan seks dalam arti sempit yaitu koitus (bersatunya tubuh antara pria dan wanita) (Sarwono, 2005).


(13)

4

Matangnya fungsi-fungsi seksual pada remaja maka timbul pula dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan untuk pemuasan seksual. Sebagian besar dari remaja biasanya sudah mengembangkan perilaku seksualnya dengan lawan jenis dalam bentuk pacaran atau percintaan. Bila ada kesempatan para remaja melakukan sentuhan fisik, mengadakan pertemuan untuk bercumbu bahkan kadang-kadang remaja tersebut mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual (Soetjiningsih, 2004).

Banyak remaja yang melakukan seks sebelum menikah, hal ini bisa terjadi dikarenakan pengetahuan remaja tentang seks yang kurang, peran orang tua yang kurang baik, pergaulan setiap hari yang ia jumpai atau norma agama yang sudah tidak diperhatikan. Kerugian yang dialami wanita selain kehamilan juga dapat berupa rasa malu atau minder pada lingkungan wanita tersebut. Ibu muda yang mengandung dengan kesiapan mental yang kurang dapat mengalami trauma bahkan mengalami krisis percaya diri. Selain itu secara psikologis ia belum siap untuk bertanggung jawab dan berperan sebagai istri, partner seks, Ibu, sehingga jelas pernikahan dengan kesiapan mental yang kurang dapat menyebabkan imbas negatif terhadap kesejahteraan psikologi serta perkembangan kepribadian mereka. (Eddy Fadlyana, Shinta Larasati, 2009)

Pernikahan adalah suatu peristiwa hukum yang melakukannya harus memenuhi syarat atau dengan kata lain sebuah pernikahan sebaiknya dilengkapi dengan kesiapan-kesiapan tertentu untuk dapat tercapainya kepuasan pernikahan. (1) Kesiapan psikologi, yaitu berisi tentang kematangan


(14)

5

emosi atau kesiapan umur secara psikologis adalah usia dimana kita perpola sikap, pola perasaan pola pikir dan perilaku sehingga pasangan tersebut mampu menjaga egoisme serta sikap dalam rumah tangga dan disanalah terjalin pasangan yang harmonis (Andi Mappiare, Psikologi Remaja, 1982). (2) kesiapan biologis dalam konteks fiqih dipahami oleh para ulama dengan mengukur usia taklif, yakni telah keluar mani/mimpi basah bagi laki-laki dan telah mendapat menstruasi/haidh bagi perempuan (Muhammad Ali Assayis, 1963). (3) kesiapan ekonomi adalah kemampuan atau kepemilikan harta yang akan dijadikan modal bagi pasangan tersebut untuk mengarungi bahterah rumah tangga, yang membutuhkan biaya hidup tidak sedikit.

Rendahnya kematangan beragama pada tiap individu dalam masyarakat baik secara langsung ataupun tidak, ikut membentuk lingkungan yang tidak sehat dalam perjalanan hidup seorang remaja. Rendahnya kematangan beragama di tengah masyarakat secara tidak langsung juga dapat memicu terjadinya banyak kesalahan dalam mencari jalan keluar atas permasalahan yang tengah dihadapi. Dalam istilah psikologi, cara-cara pemecahan atau pengatasan masalah itu disebut strategi coping. Yang muncul kemudian adalah rangkaian permasalahan yang saling menjerat yang sulit pemecahannya. Hal itu terjadi karena setiap persoalan yang timbul justru menggunakan jalan keluar yang kurang tepat, sehingga muncullah persoalan yang baru lagi.

Berbagai masalah yang muncul setelah pernikahan (kesiapan mental yang belum matang akibat hubungan seks yang tidak dipikirkan dampaknya,


(15)

6

belum siapnya komitmen dalam jangka panjang dan juga belum ada kesiapan untuk mempunyai momongan) juga dapat menimbulkan stres berkelanjutan yang diakibatkan dari Married by Accident (menikah dari hubungan seks pranikah).

Seperti yang terjadi pada seorang wanita yang tinggal di Kota Surabaya Tengah, dia melakukan pernikahan dari hubungan seks pranikah karena sudah hamil. Wanita tersebut sempat uring-uringan, tidak enak makan dan sempat mengalami stres karena menjadi bahan gunjingan orang lain. Proses yang dialami wanita tersebut sangat berat, oleh karena itu diperlukan kajian untuk memantau perkembangan kematangan beragama (religius maturity) pada subjek penelitian.

B. Fokus Penelitian

Sesuai latar belakang masalah tersebut, fokus penilitian ini strategi coping pada ibu muda yang mengalami stres pernikahan.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui strategi coping pada ibu muda yang mengalami stres pernikahan .

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis :

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi khususnya Psikologi klinis.


(16)

7

2. Manfaat praktis : a. Bagi subjek

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memotivasi dan memberi saran terhadap Ibu muda yang pernah mengalami stres pranikah.

b. Bagi orang tua

Manfaat untuk orang tua agar orang tua lebih memperhatikan pergaulan anak setiap harinya

c. Bagi peneliti

Untuk peneliti selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu pijakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

E. Keaslian Penelitian

1. Strategi Coping Stress Siswa terhadap Tugas Sekolah di SMK Farmasi Yamasi Makassa (Nurfitriana, Watief A. Rachman, Mappeaty Nyorong, 2014)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi emosional siswa terhadap tugas, bentuk umum strategi coping stress siswa, bentuk umum problem focused coping siswa dan bentuk emotion focused coping siswa ketika mendapatkan tugas sekolah. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan rancangan fenomenologi. Hasil penelitian ini bahwa siswa di SMK Farmasi Yamasi Makassar mengalami kondisi emosional berupa stress terhadap tugas sekolah, strategi koping stress yang lebih dominan pada problem coping stress


(17)

8

2. Study Deskriptif Mengenahi Derajat Stres dan Coping Stres Pada Pengemudi Angkot Stasiun Hall-Dago di Kota Bandung (Pratiwi Handaru Wulan, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, 2014)

Penelitian ini membahas tentang pengemudi angkot yang mengalami berbagai tuntutan yang dapat dirasa menjadi tekanan. Tuntutan ini berupa tuntutan pekerjaan, ekonomi, dan fisik yang dapat menimbulkan stres.

Tujuan dari pada penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenahi derajat stres dan coping stres yang dilakukan oleh para pengemudi angkot trayek Stasiun Hall-Dago

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif, karena dengan menggunakan jenis penelitian ini, dapat diperoleh gambaran mengenahi derajat stres para pengemudi angkot Stasiun Hall-Dago. Data yang diperoleh berupa angka dan kemudian akan dianalisa melalui perhitungan statistik.

3. Hubungan System Kepercayaan dan Strategi Menyelesaikan Masalah Pada Korban Bencana Gempa Bumi (Amitya Kumara dan Yuli Fajar Susetyo, Fakultas Psikology UGM Yogyakarta, Tahun 2015)

Tujuan pertama pada penelitian ini untuk mengetahui bagaimana masyarakat Yogyakarta memaknai bencana alam yang di dalami jika di lihat dari sudut pandang religi atau kepercayaan yang dianut

Tujuan yang kedua untuk mengetahui bagaimana peran system religi atau kepercayaan yang dianut masyarakat Yogyakarta dalam bentuk perilaku coping menghadapi kondisi pasca bencana


(18)

9

Tujuan ketiga untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kepercayaan dan strategi coping pada korban bencana gempa bumi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif kuantitatif.

Hasil dari penelitian ini adalah hubungan antara kepercayaan dan strategi coping bagi setiap korban bencana alam yang menjadi subjek peneltian tidak berjalan linear dalam menghadapi situasi dan kondisi pasca bencana tetapi berbentuk cycle.

4. Meningkatkan Strategi Coping Melalui Metode Ekspresive Writing dan Focus Group Discussion Pada Siswa Kelas X1 IPA 4 SMA Negeri 7 Yogyakarta (Riesky Ruliansyah, Universitas Yogyakarta (UNY), Tahun 2015)

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan strategi coping melalui metode Ekspresive Writing dan focus group discussion (FGD) pada siswa kelas X1 IPA 4 SMAN 7 Yogyakarta.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode ekspresive writing dan focus group discussion yangdigunakan sesuai dengan kebutuhan siswa

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan penberian ekspresive writing terhadap strategi coping siswa yang dapat dilihat dari hasil pree test dan post test. Pemberian tindakan tersebut bersifat positif yang ditunjukkan dengan peningkatan rata-rata score hasil pree test yaitu 109 menjadi 132 pada rata-rata hasil post test


(19)

10

5. Penerapan Konseling Kelompok dengan Menggunakan Strategi Coping Untuk Mengurangi Stres Belajar Siswa Kelas X SMS Negeri 1 Tuban. (Nurul Fatchur Rachma, Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya, Tahun 2014)

Tujuan penelitian ini pada siswa kelas X MIA 4 dan X MIA 6 SMA Negeri 1 Tuban terdapat siswa yang mengalami masalah stres belajar yang tinggi, sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menguji

penggunaan strategi coping dalam konseling kelompok untuk

mengurangi stres belajar.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan eksperimen berupa pree test dan post test one group design. Metode yang digunakan sebagai alat pengumpul data adalah angket.

Hasil pree test dan post test dapat diketahui bahwa hipotesis yang diajukan dapat diterima yaitu : “Penerapan konseling kelompok dengan menggunakan strategi coping dapat mengurangi stres belajar siswa kelas X SMA Negeri 1 Tuban” 

Berbeda dengan strategi coping pada ibu muda yang mengalami stres pernikahan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui strategi coping pada ibu muda yang mengalami stres pernikahan. Subjek yang digunakan adalah seorang ibu muda yang pernah mengalami stress akibat hubungan seks pranikah, dan metode yang digunakan adalah metode kualitatif.


(20)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Stres

Stres adalah sekumpulan perubahan fisiologis akibat tubuh terpapar terhadap bahaya ancaman. Stres memiliki dua komponen: fisik yakni perubahan fisiologis dan psikogis yakni bagaimana seseorang merasakan keadaan dalam hidupnya. Perubahan keadaan fisik dan psikologis ini disebut sebagai stresor (pengalaman yang menginduksi respon stres) (Pinel, 2009).

Stres adalah suatu reaksi tubuh yang dipaksa, di mana ia boleh menganggu equilibrium (homeostasis) fisiologi normal (Julie K., 2005). Sedangkan menurut WHO (2003). Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap

stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stres; konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres semua sebagai suatu sistem.

Setiap manusia dari berbagai lapisan bisa saja mengalami ketegangan hidup, yang diakibatkan adanya tuntutan dan tantangan, kesulitan, ancaman, ataupun ketakutan terhadap bahaya kehidupan yang semakin sulit terpecahkan. Sehingga seringkali didapati seseorang mengalami ketegangan psikologis, merasakan keluhan yang kadang memerlukan perawatan dan pengobatan. Besar kecilnya sebuah masalah yang timbul relatif dianggap


(21)

13

menegangkan, karena tergantung dari tinggi atau rendahnya kedewasaan kepribadian serta bagaimana sudut pandang seseorang dalam menghadapinya. Pada dasarnya stres tidak bisa dihilangkan dari proses kehidupan, namun juga diperlukan untuk proses pertumbuhan dan kematangan prbadi (Rasmun, 2004).

a. Klasifikasi stres

Stuart dan Sundeen (2005) mengklasifikasikan tingkat stres, yaitu:

1. Stres ringan

Pada tingkat stres ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan kondisi ini dapat membantu individu menjadi waspada dan bagaimana mencegah berbagai kemungkinan yang akan terjadi. 2. Stres sedang

Pada stres tingkat ini individu lebih memfokuskan hal penting saat ini dan mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan persepsinya.

3. Stres berat

Pada tingkat ini lahan persepsi individu sangat menurun dan cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi stres. Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian pada lahan lain dan memerlukan banyak pengarahan


(22)

14

b. Sumber stres (stresor)

Sumber stres adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologis nonspesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis. Stres reaction acute (reaksi stres akut) adalah gangguan sementara yang

muncul pada seorang individu tanpa adanya gangguan mental lain yang jelas, terjadi akibat stres fisik dan atau mental yang sangat berat, biasanya mereda dalam beberapa jam atau hari. Kerentanan dan kemampuan koping (coping capacity) seseorang memainkan peranan dalam terjadinya

reaksi stres akut dan keparahannya (Sunaryo, 2002).

Bayi, anak-anak dan dewasa semua dapat mengalami stres. Sumber stres bisa berasal dari diri sendiri, keluarga, dan komunitas social (Alloy, 2004). Menurut Maramis (2009) dalam bukunya, ada empat sumber atau penyebab stres psikologis, yaitu frustasi, konflik, tekanan, dan krisis.

Frustasi timbul akibat kegagalan dalam mencapai tujuan karena ada aral melintang, misalnya apabila ada mahasiswa yang gagal dalam mengikuti ujian osca dan tidak lulus. Frustasi ada yang bersifat intrinsic

(cacat badan dan kegagalan usaha) dan ekstrinsik (kecelakaan, bencana alam, kematian orang yang dicintai, kegoncangan ekonomi, pengangguran, perselingkuhan, dan lain-lain).


(23)

15

Konflik timbul karena tidak bisa memilih antara dua atau lebih macam-macam keinginan, kebutuhan atau tujuan. Ada 3 jenis konflik, yaitu :

1. Approach-approach conflict, terjadi apabila individu harus memilih

satu diantara dua alternatif yang sama-sama disukai, misalnya saja seseorang yang sulit menentukan keputusan diantara dua pilihan karir yang sama-sama diinginkan. Stres muncul akibat hilangnya kesempatan untuk menikmati alternatif yang tidak diambil. Jenis konflik ini biasanya sangat mudah dan cepat diselesaikan.

2. Avoidance-avoidance conflict, terjadi bila individu dihadapkan pada

dua pilihan yang sama-sama tidak disenangi, misalnya wanita muda yang hamil diluar pernikahan, di satu sisi ia tidak ingin aborsi tapi disisi lain ia belum mampu secara mental dan finansial untuk membesarkan anaknya nanti. Konflik jenis ini lebih sulit diputuskan dan memerlukan lebih banyak tenaga dan waktu untuk menyelesaikannya karena masing-masing alternatif memiliki konsekuensi yang tidak menyenangkan

3. Approach-avoidance conflict, merupakan situasi dimana individu

merasa tertarik sekaligus tidak menyukai atau ingin menghindar dari seseorang atau suatu objek yang sama, misalnya seseorang yang berniat berhenti merokok, karena khawatir merusak kesehatannya tetapi ia tidak dapat membayangkan sisa hidupnya kelak tanpa rokok.


(24)

16

Tekanan timbul sebagai akibat tekanan hidup sehari-hari. Tekanan dapat berasal dari dalam diri individu, misalnya cita-cita atau norma yang terlalu tinggi. Tekanan yang berasal dari luar individu, misalnya orang tua menuntut anaknya agar disekolah selalu rangking satu, atau istri menuntut uang belanja yang berlebihan kepada suami.

Krisis yaitu keadaan mendadak yang menimbulkan stres pada individu, misalnya kematian orang yang disayangi, kecelakaan dan penyakit yang harus segera dioperasi

c. Jenis-jenis stres

Jenis jenis stres menurut Selye (dalam Munandar, 2001) membedakan stres menjadi 2 (dua), yaitu:

1) Distress (stres negatif)

Distress yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat

tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi,

yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

Distress merupakan jenis stres yang diakibatkan oleh hal-hal

yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh: pertengkaran, kematian pasangan hidup, dan lain-lain.

2) Eustress (stres positif)

Eustress yaitu stres yang sangat berguna lantaran dapat


(25)

17

pikiran menjadi siap untuk menghadapi banyak tantangan, bahkan bisa tanpa disadari. Tipe stres ini dapat membantu memberi kekuatan dan menentukan keputusan, contohnya menemukan solusi untuk masalah.

Eustress merupakan jenis stres yang diakibatkan oleh hal-hal

yang menyenangkan. Sebagai contoh: perubahan peran setelah menikah, kelahiran anak pertama, dan lain-lain.

Berbeda dengan H. Handoko berpendapat bahwa stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir, dan kondisi seseorang (Zuyina Luk Lukaningsih dan Siti Bandiyah, 2011: 69). Sedangakan dalam ilmu psikologi, stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan (Asiyah, 2010).

d. Respon psikologis stres

Reaksi psikologis terhadap stres dapat meliputi, (Sarafino, 2007) : 1. Kognisi

Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif. Stresor berupa kebisingan dapat menyebabkan deficit kognitif pada anak-anak. Kognisi juga dapat berpengaruh dalam stres. 2. Emosi

Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat mempengaruhi stres dan pengalaman


(26)

18

emosional. Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, fobia,

kecemasan, depresi, perasaan sedih dan rasa marah. 3. Perilaku sosial

Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain. Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana alam dapat membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi lain, individu dapat mengembangkan sikap bermusuhan. Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negative cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif. Stres juga dapat mempengaruhi perilaku membantu pada individu. e. Penyebab stres

1) Stressor psikologis

Stressor yang bersumber dari psikis, misalnya takut, khawatir, cemas, marah kesepian dan lain-lain (Asiyah, 2010).

2) Stressorbiologic

Berbagai penyakit infeksi, trauma fisik dengan kerusakan organ biologic, mal nutrisi, kelelahan fisik, kekacauan fungsi biologic yang kontinyu.

3) Stressor sosial budaya

Stressor yang bersumber dari kultural yang melatar belakangi kehidupan seseorang, misalnya ekonomi, persaingan, diskriminasi, perceraian, perubahan sosial yang cepat (Zuyina Luk Lukaningsih dan Siti Bandiyah, 2011).


(27)

19

f. Gejala-gejala stress

Menurut pendapat Everly dan Giordano mengemukakan beberapa gejala-gejala stres, menurut mereka akan mempunyai dampak pada suasana hati, otot kerangka, dan organ-organ dalam tubuh, gejala-gejala tersebut adalah :

1) Gejala-gejala suasana hati, yaitu menjadi overexcited, cemas, merasa

tidak pasti, sulit tidur pada malam hari, menjadi sangat tidak enak dan gelisah, menjadi gugup.

2) Gejala-gejala otot kerangka, yaitu jari-jari dan tangan gemetar, tidak dapat duduk diam, atau berdiri ditempat, mengembangkan gerakan tidak sengaja, kepala mulai sakit, merasa otot menjadi tegang atau kaku, menggagap jika bicara.

3) Gejala-gejala organ di tubuh, yaitu perut yang terganggu, merasa jantung berdebar, menghasilkan banyak keringat, merasa kepala ringan atau pingsan, mengalami kedinginan, wajah menjadi panas, mulut menjadi kering, terdengar dering dalam kuping (Munandar, 2001).

Menurut pendapat Asiyah (2010) Gejala-gejala yang menandai kondisi stress adalah sebagai berikut :

1) Gejala fisik berupa rasa lelah, susah tidur, nyeri kepala, otot kaku dan tegang terutama pada leher/tengkuk, bahu, dan punggung bawah, nyeri di dada, berdebar-debar, napas pendek, gangguan lambung dan pencernaan, mual, gemetar, tangan dan kaki terasa dingin, wajah


(28)

20

terasa panas, berkeringat, sering flu, dan menstruasi sering terganggu.

2) Gejala mental seperti berkurangnya konsentrasi dan daya ingat, ragu-ragu, bingung, pikiran penuh atau kosong, kehilangan rasa humor. 3) Gejala emosi dapat berupa cemas, depresi, putus asa, mudah marah,

ketakutan, frustrasi,tiba-tiba menangis, merasa tak berdaya, menarik diri dari pergaulan, dan menghindari kegiatan yang sebelumnya disenangi.

4) Gejala prilaku dapat berupa mondar-mandir, gelisah, menggigit kuku, menggerak-gerakkan anggota badan atau jari, perubahan pola makan, merokok, minum-minuman keras, menangis, berteriak, mengumpat, bahkan melempar barang atau memukul (Asiyah, 2010).

g. Dampak-dampak stres

Menurut Powell (1983) stress dapat berdampak positif dan juga bisa berdampak negative. Dampak positifnya yang mencakup pemuasn kebutuhan dasar, kemampuan menangani masalah, juga inkulasi stress. Sedangkan dampak negatifnya yang berupa gangguan fisik dan mental serta dapat juga mempengaruhi perubahan tingkah laku individu.

h. Reaksi psikologis terhadap stres 1. Kecemasan

Respons yang paling umum merupakan tanda bahaya yang menyatakan diri dengan suatu penghayatan yang khas, yang sukar digambarkan adalah emosi yang tidak menyenangkan dengan istilah


(29)

21

kuatir, tegang, prihatin, takut seperti jantung berdebar-debar, keluar keringan dingin, mulut kering, tekanan darah tinggi dan susah tidur. 2. Kemarahan dan agresi

Perasaan jengkel sebagai respons terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman. Merupakan reaksi umum lain terhadap situasi stres yang mungkin dapat menyebabkan agresi.

3. Depresi

Keadaan yang ditandai dengan hilangnya gairah dan semangat. Terkadang disertai rasa sedih.

B. Pengertian Coping

1. Pengertian coping

Konsep untuk memecahkan sebuah permasalah disebut dengan

coping. Kata coping berasal dari kata cope yang dapat diartikan sebagai

menghadapi, melawan ataupun mengatasi, walaupun belum ada istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk mewakili istilah ini, Pengertian

coping dikhususkan pada bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang

menekan (Rustiana, 2003).

Coping adalah proses yang dilalui oleh inidividu dalam

menyelesaiakan situasi stressfull. Coping tersebut adalah merupakan

respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. Secara alamiah baik disadari ataupun tidak, individu sesungguhnya telah menggunakan strategi coping dalam menghadapi


(30)

22

lingkungan atau situasi untuk menyelasaikan masalah yang sedang dirasakan atau dihadapi. Coping dapat diartikan sebagai usaha perubahan

kognitif dan perilaku secara konstan untuk menyelesaikan stress yang dihadapi (Rasmun, 2004).

Menurut Lazarus & Folkman, coping adalah suati proses dimana

individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan-tuntutan yang berasal dari individu atau lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressfull.

Menurut Folkman mengartikan coping sebagai perubahan

pemikiran atau perilaku yang digunakan oleh seseorang dalam menghadapi tekanan dari luar maupun dalam yang disebabkan oleh transaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang dinilai sebagai

stressor, coping ini nantinya akan terdiri dari upaya upaya yang

dilakukan untuk mengurangi keberadaan stressor (Resick, 2001).

2. Macam-macam coping

1. Coping Psikologis

Pada umumnya gejala yang ditimbulkan akibat stress psikologis tergantung pada 2 faktor yaitu :

a) Bagaimana persepsi atau penerimaan individu terhadap stressor, yang artinya berat ancaman yang dirasakan oleh individu tersebut terhadap stressor yang diterimanya


(31)

23

b) Keefektifan strategi coping yang digunakan oleh individu, yang

artinya dalam menghadapi stressor, jika strategi yang digunakan efektif maka menghasilkan adaptasi yang baik dan menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jika sebaliknya dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun psikologis. 2. Coping psikososial

Adalah reaksi psikososial terhadap adanya stimulus stress yang diterima atau dihadapi oleh klien, menurut Stuart dan Sundeen (1991), mengemukakan bahwa terdapat dua kategori coping yang

biasa dilakukan untuk mengatasi stres dan kecemasan, yaitu : a) Reaksi yang berorientasi pada tugas,cara ini digunakan untuk

menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan dasar. b) Reaksi yang berorientasi pada ego

c) Reaksi ini sering digunakan oleh individu dalam menghadapi sres, atau kecemasan, jika individu melakukannya dalam waktu sesaat,maka dapat mengurangi kecemasan,tetapi jika digunakan dalam jangka waktu lama akan dapat mengakibatkan gangguan orientasi realita, memburuknya hubungan interpersonal dan menurunnya produktifitas kerja (Rasmun, 2004).

3. Bentuk coping

Lazarus & Folkman, (Sarafino, 2006) secara umum membedakan bentuk copingdalam dua klasifikasi yaitu :


(32)

24

a. Problem focused coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping

yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan

b. Emotion focused coping (EFC) merupakan bentuk coping yang

diarahkan untuk mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan

behavioral dan kognitif.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping

Menurut Mutadin (2002) cara individu menangangi situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi:

a. Kesehatan fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

b. Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang

mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan coping.

c. Keterampilan memecahkan masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan


(33)

25

alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

d. Keterampilan sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.

e. Dukungan sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

f. Materi

Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

5. Strategi coping

Menurut White (1974) dalam Sussman & Steinmetz (1988), Strategi coping adalah suatu hal yang merujuk kepada upaya adaptasi individu terhadap kondisi yang relatif sulit dan tidak menyenangkan.

Lazarus & Folkman, (1984) mengklasifikasikan coping menjadi

dua bagian, yaitu :

1) Approach coping disebut juga dengan problem focused coping yang

memiliki sifat analitis logis, mencari informasi serta berusaha untuk memecahkan masalah dengan penyesuaian yang positif.


(34)

26

2) Avoidance coping yang disebut juga emotional focused coping yang

bercirikan represi, proyeksi, mengingkari dan berbagai cara untuk meminimalkan ancaman.

Aldwin dan Revenson membagi Approach coping (problem focused coping) menjadi tiga bagian :

a) Cautiousness (Kehati-hatian) yaitu individu berfikir dan

mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang tersedia, meminta pendapat orang lain, berhati-hati dalam memutuskan masalah serta mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan sebelumnya.

b) Instrumen action (tindakan instrumental) adalah tindakan individu

yang diarahkan pada penyelesaian masalah secara langsung, serta menyusun langkah yang akan dilakukan.

c) Negotiation (negosiasi) merupakan beberapa usaha oleh seseorang

yang ditunjukkan kepada orang lain yang terlibat atau merupakan penyebab masalah untuk ikut menyelesaikan masalah.

Sedangkan Avoidance Coping atau Emotion focused coping

menurut Aldwin dan Reverson terbagi menjadi :

a) Escapism (melarikan diri dari masalah) ialah perilaku menghindari

masalah dengan cara membayangkan seandainya berada dalam satu situasi lain yang lebih menyenangkan, menghindari masalah dengan makan atau tidur, bisa juga dengan merokok atau meneguk minuman keras.


(35)

27

b) Minimazation (menganggap masalah seringan mungkin) ialah

tindakan menghindari masalah dengan menganggap seakan-akan masalah yang tengah dihadapi itu jauh lebih ringan dari pada yang sebenarnya.

c) Self blame (menyalahkan diri sendiri) merupakan cara seseorang

saat menghadapi masalah dengan menyalahkan serta menghukum diri secara berlebihan sambil menyesali tentang apa yang telah terjadi.

d) Seeking meaning (mencari hikmah yang tersirat) adalah suatu proses

dimana individu mencari arti kegagalan yang dialami bagi dirinya sendiri dan mencoba mencari segi-segi yang menurutnya penting dalam hidupnya. Dalam hal ini individu coba mencari hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari masalah yang telah dan sedang dihadapinya (Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro vol.3; 72; 2006).

C. Pengertian Pernikahan

Dalam dekripsi teori ini berisi tentang uraian teori yang menjelaskan variabel yang akan di teliti yaitu dengan cara mendekripsikan variabel tersebut melalui pendefinisian, serta menguraikan secara lengkap dari berbagai referensi yang aktual sehingga dapat memperkuat penelitian ini. Berikut akan diuraikran mengenai teori-teori dari variabel penelitian yang akan diteliti.


(36)

28

1. Pengertian pernikahan

Bernard (1972) mengatakan pernikahan biasanya digambarkan sebagai bersatunya dua individu, tetapi pada kenyataannya adalah persatuan dua system keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ketiga yang baru. Beberapa ahli pernikahan dan keluarga percaya bahwa pernikahan mencerminkan fenomena yang berbeda-beda bagi perempuan dan laki-laki yang membuat kita perlu memisahkan pembahasan saat mencerminkan pernikahan laki-laki dan pernikahan pada perempuan. Dalam masyarakat Amerika Serikat, perempuan telah mengantisipasi pernikahan dengan antusianisme yang lebih besar dan harapan yang lebih positif dibandingkan laki-laki (dalam Santrock, 1995).

Pernikahan adalah kerja sama antara dua orang yang telah sepakat untuk hidup bersama hingga hayatnya. Agar kehidupan rumah tangga ini dapat langgeng sepanjang masa, mutlak diperlukan ikatan yang kuat berupa rasa cinta dan saling memahami. Pernikahan adalah suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang didalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belaah pihak. Janji setia yang terucap merupakan sesuatu yang tidak mudah diucapkan. Dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, mendefinisikan pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria denganseorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


(37)

29

Sedangkan defenisi pernikahan menurut Duvall & Miller (1985)

“Socially recognized relationship between a man and woman that provider for sexual relationship, legitimates childbearing and establishes a division of labour between spouses” Jadi dapat disimpulkan bahwa

pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu pernikahan merupakan ikatan lahir batin dalam membina kehidupan keluarga. Dalam menjalankan kehidupan berkeluarga diharpkan kedua individu itu dapatmemenuhi kebutuhannya dan mengembangkan dirinya. Pernikahan sifatnya kekal dan bertujuan menciptakan kebahagian individu yang terlibat didalamnya.

Menurut Bachtiar (2004) defenisi pernikahan adalah pintu bagi bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Pernikahan itu merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan manusia di bumi.

2. Pengertian pernikahan usia muda

Pernikahan usia muda dapat didefenisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri di usia yang masih muda/remaja. Sehubungan dengan pernikahan usia muda, maka


(38)

30

ada baiknya kita terlebih dahulu melihat pengertian daripada remaja (dalam hal ini yang dimaksud rentangan usianya). Golongan remaja muda adalah para gadis berusia 13 sampai 17 tahun, inipun sangat tergantung pada kematangan secara seksual, sehingga penyimpangan-penyimpangan secara kasuistik pasti ada. Dan bagi laki-laki yang disebut remaja muda berusia 14 tahun sampai 17 tahun. Dan apabila remaja muda sudah menginjak 17 sampai dengan 18 tahun mereka lajim disebut golongan muda/ anak muda. Sebab sikap mereka sudah mendekati pola sikap tindak orang dewasa, walaupun dari sudut perkembangan mental belum matang sepenuhnya. Namun dalam prakteknya didalam masyarakat sekarang ini masih banyak dijumpai sebagian masyarakat yang melangsungkan pernikahan di usia muda atau di bawah umur. Sehingga Undang-undang yang telah dibuat, sebagian tidak berlaku di suatu daerah tertentu meskipun Undang-Undang tersebut telah ada sejak dahulu.

Usia ideal perempuan untuk menikah adalah 19-25 tahun sementara lakilaki 25-28 tahun. Karena diusia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik psikis emosional, ekonomi dan sosial.


(39)

31

Dalam pernikahan, usia dan kedewasaan memang menjadi hal yang harus diperhatikan bagi para pria dan wanita yang ingin melangsungkan pernikahan. Karena bila kita melihat fenomena yang ada, pada orang yang dewasa ketika berumah tangga dipandang akan dapat mengendaliakn emosi dan kemarahan yang sewaktu-waktu akan muncul dalam keluarga. Ini dimungkinkan karena kualitas akal dan mentalnya sudah relative stabil sehingga dapat mengontrol diri sendiri maupun dengan pasangan dan lingkungan sekitar. Kedewasaan dalam bidang fisik-biologis, sosial ekonomi, emosi dan tanggung jawab serta keyakinan agama, ini merupakan modal yang sangat besar dan berarti dalam upaya meraih kebahagiaan.

Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak apresiatif terhadap makna menikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat yang melangsungkan pernikahan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan pernikahan usia muda atau di bawah umur. Setelah melihat uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan usia muda adalah pernikahan remaja dilihat dari segi umur masih belum cukup atau belum matang untuk membentuk sebuah keluarga. Sedangkan menurut kesehatan melihat pernikahan usai muda itu sendiri yang ideal adalah perempuan diatas 20 tahun sudah boleh menikah, sebab


(40)

32

perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena kanker leher rahim. Dan pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang, maka kalau terpapar human papiloma Virus HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker (Kompono, 2007).

3. Faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda

Dalam melangsungkan suatu pernikahan maka perlu mempunyai persiapan dan kematangan baik secara biologis, psikologis maupun sosial ekonomi. Namun masih ada sebagian masyarakat di Indonesia yang melangsungkan pernikahan usia muda ini, dipengaruhi karena adanya beberapa faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan pernikahan usia muda tanpa mempertimbangkan kematangan biologis, pisikologis maupun ekonomi. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan BKKBN tahun 2011 menemukan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi median usia pernikahan pertama perempuan adalah faktor sosial, ekonomi, budaya dan tempat tinggal (desa/kota). Di antara faktor-faktor tersebut, factor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan terhadap median usia nikah/kawin pertama perempuan. Hal ini ditengarai disebabkan oleh kemiskinan yang membelenggu perempuan dan orang tuanya. Karena tidak mampu membiayai anaknya, maka orang tua menginginkan anaknya tersebut segera menikah sehingga mereka terlepas dari tanggung jawab dan berharap setelah anaknya menikah mereka akan mendapatkan bantuan ekonomi.


(41)

33

Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dalam usia muda yakni menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari pernikahan usia muda adalah:

a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk pernikahan terlalu

muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.

c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.

Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.

Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pernikahan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu faktor ekonomi, pendidikan, keluarga, kemauan sendiri, media masa dan hamil diluar nikah.

a. Faktor ekonomi

Mencher (dalam Siagian, 2012) mengemukakan kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak. Sehingga dapat kita katakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda adalah tingkat ekonomi


(42)

34

keluarga. Rendahnya tingkat ekonomi keluarga mendorong si anak untuk menikah diusia yang tergolong muda untuk meringankan beban orang tuanya. Dengan si anak menikah sehingga bukan lagi menjadi tanggungan orang tuanya (terutama untuk anak perempuan), belum lagi suami anaknya akan bekerja atau membantu perekonomian keluarga maka anak wanitanya dinikahkan dengan orang yang dianggap mampu.

b. Faktor pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan cenderung melakukan aktivatas social ekonomi yang turun temurun tanpa kreasi dan inovasi. Akibat lanjutnya produktivitas kerjanyapun sangat rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara memadai. Karena terkadang seorang anak perempuan memutuskan untuka menikah diusia yang tergolong muda. Pendidikan dapat mempengaruhi seorang wanita untuk menunda usia untuk menikah. Makin lama seorang wanita mengikuti pendidikan sekolah, maka secara teoritis makin tinggi pula usia kawin pertamanya. Seorang wanita yang tamat sekolah lanjutan tingkat pertamanya berarti sekurang-kurangnya ia menikah pada usia di atas 16 tahun ke atas, bila menikah diusia lanjutan tingkat atas berarti sekurang-kurangnya berusia 19 tahun dan selanjutnya bila menikah setelah mengikuti pendidikan di perguruan tinggi berarti sekurang-kurangnya berusia di atas 22 tahun.


(43)

35

c. Faktor keluarga/ orang tua

Biasanya orang tua bahkan keluarga menyuruh anaknya untuk menikah secepatnya padahal umur mereka belum matang untuk melangsungkan pernikahan, karena orang tua dan keluarga khawatir anaknya melakukan hal-hal yang tidak di inginkan karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera menikahkan anaknya. Hal ini merupakan hal yang sudah biasa atau turun-temurun. Sebuah keluarga yang mempunyai anak gadis tidak akan merasa tenang sebelum anak gadisnya menikah. d. Faktor kemauan sendiri

Hal ini disebabkan karena keduanya merasa sudah saling mencintai dan adanya pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau media-media yang lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih terpengaruh untuk melakukan pernikahan di usia muda.

e. Faktor media massa

Media cetak maupun elektronik merupakan media massa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat kota maupun desa. Oleh karena itu, media masa sering digunakan sebagai alat menstransformasikan informasi dari dua arah, yaitu dari media massa ke arah masyarakat atau menstransformasi diantara masyarakat itu sendiri. Cepatnya arus informasi dan semakin majunya tehnologi sekarang ini yang dikenal dengan era globalisasi memberikan


(44)

36

bermacam-macam dampak bagi setiap kalangan masyarakat di Indonesia, tidak terkecuali remaja. Teknologi seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, disatu sisi berdampak positif tetapi di sisi lain juga berdampak negatif. Dampak posifitnya, munculnya imajinasi dan kreatifitas yang tinggi. Sementara pengaruh negatifnya, masuknya pengaruh budaya asing seperti pergaualan bebas dan pornografi.

Masuknya pengaruh budaya asing mengakibatkan adanya pergaulan bebas dan seks bebas. Menurut Rohmahwati (2008) paparan media massa, baik cetak (koran, majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD, Internet), mempunyai pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah.

f. Faktor MBA (marriage by acident)

Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar. Pernikahan pada usia remaja pada akhirnya menimbulkan masalah tidak kalah peliknya. Jadi dalam situasi apapun tingkah laku seksual pada remaja tidak pernah menguntungkan, pada hal masa remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa. Selain itu, pasangan yang menikah karena “kecelakaan” atau hamil sebelum menikah mempunyai motivasi untuk melakukan pernikahan usia muda


(45)

37

karena ada suatu paksaan yaitu untuk menutupi aib yang terlanjur terjadi bukan atas dasar pentingnya pernikahan.

4. Resiko pernikahan usia muda

Masalah yang timbul dari pernikahan usia muda bagi pasangan suami istri pada umumnya adanya percekcokan kecil dalam rumah-tangganya. Karena satu sama lainnya belum begitu memahami sifat keduanya maka perselisihan akan muncul kapan saja. Karena diantara keduanya belum bisa menyelami perasaan satu sama lain dengan sifat keegoisannya yang tinggi dan belum matangnya fisik maupun mental mereka dalam membina rumah tangga memungkinkan banyaknya pertengkaran atau bentrokan yang bisa mengakibatkan perceraian.

Emosi yang tidak stabil, memungkinkan banyaknya pertengkaran jika menikah diusia muda. Kedewasaan seseorang tidak dapat diukur dengan usia saja, banyak faktor seseorang mencapai taraf dewasa secara mental yaitu keluarga, pergaulan, dan pendidikan. Semakin dewasa seseorang semakin mampu mengimbangi emosionalitasnya dengan rasio. Mereka yang senang bertengkar cenderung masih kekanak-kanakan dan belum mampu mengekang emosi. Kesusahan dan penderitaan dalam kehidupan rumah tangga seperti; kekurangan ekonomi, pertengkaran-pertengkaran dan tekanan batin yang dialami oleh pasangan suami istri itu dapat mengakibatkan kesehatan khususnya anak-anaknya menjadi terganggu.Pernikahan usia muda bukan hanya dari masalah kesehatan saja, dimana pernikahan diusia muda pada anak perempuan mempunyai


(46)

38

penyumbang terbesar terhadap kanker serviks. Tetetapi punya masalah juga terhadap kelangsungan pernikahan. Pernikahan yang tidak didasari persiapan yang matang akan menimbulkan masalah dalam rumah tangga seperti pertengkaran, percekcokan, bentrok antara suami isteri yang menyebabkan terjadinya perceraian.

Tidak hanya itu saja, pernikahan diusia muda mendatangkan banyak resiko seperti :

a. Kematian ibu (maternal mortality)

Resiko kesehatan pada ibu yang usia muda juga tidak kalah besarnya dibanding bayi yang dikandung. Ibu kecil yang berusia antara 10-14 tahun berisiko meninggal dalam proses persalinan 5 kali lebih besar dari wanita dewasa. Persalinan yang berujung pada kematian merupakan faktor paling dominan dalam kematian gadis yang menikah di usia muda.

b. Kekerasan rumah tangga (abuse and violence)

Ketidak setaraan jender merupakan konsekuensi dalam pernikahan anak. Mempelai anak memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak. Demikian pula dengan aspek domestik lainnya. Dominasi pasangan seringkali menyebabkan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Anak yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga cenderung tidak melakukan perlawanan, sebagai akibatnya merekapun tidak


(47)

39

mendapat pemenuhan rasa aman baik di bidang sosial maupun finansial.

Selain itu, pernikahan dengan pasangan terpaut jauh usianya meningkatkan risiko keluarga menjadi tidak lengkap akibat perceraian, atau menjanda karena pasangan meninggal dunia Banyak sekali pernikahan-pernikahan ini harus berakhir kembali ke pengadilan dalam waktu yang tidak lama setelah pernikahan, untuk perkara yang berbeda yaitu perceraian.

c. Komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan di usia dini. Komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan di usia dini didukung oleh suatu penelitian yang menunjukkan bahwa keluaran negatif social jangka panjang yang tak terhindarkan, ibu yang mengandung di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, selain juga mengalami krisis percaya diri. Anak juga secara psikologis belum siap untuk bertanggungjawab dan berperan sebagai istri, partner seks, ibu, sehingga jelas bahwa pernikahan anak menyebabkan imbas negatif terhadap kesejahteraan psikologis serta perkembangan kepribadian mereka. Masalah yang ditimbulkan dari pernikahanan usia muda tidak hanya dirasakan oleh pasangan pada usia muda, namun berpengaruh pula pada anakanak yang dilahirkannya. Bagi wanita yang melangsungkan pernikahan di bawah usia 20 tahun, akan mengalami gangguan-gangguan pada kandungannya yang dapat


(48)

40

membahayakan kesehatan si anak, sehingga anak mengalami gangguan perkembangan fisik dan rendahnya tingkat kecerdasan. 5. Tujuan pernikahan

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti perkawinan berarti berlangsung seumur hidup, untuk bercerai diperlukan cara-cara yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan suami istri membantu mengembangkan diri.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti perkawinan berarti berlangsung seumur hidup, untuk bercerai diperlukan cara-cara yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan suami istri membantu mengembangkan diri.

Dalam hal ini suatu kelurga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, aitu kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah, seperti sandang, papan, dan pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan yang termasuk kebutuhan lahiriah adalah seperti seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.

Hukum Islam memberikan panadangan yang dalam tentang pengaruh perkawinan dan kedudukannya dalam membentuk hidup perorangan, rumah tangga, dan umat. Oleh sebab itu, islam memandang bahwa perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian dan persetujuan biasa,


(49)

41

cukup diselesaikan dengan ijab qabul dan saksi, sebagaimana persetujuan-persetujuan lain.

Selain itu, perkawinan amat penting sebagai suatu bentuk perikatan karena makna yang terkandung dalam perkwinan itu sendiri. Dalam hukum Islam dikemukakan tentang makna perkawinan dalam praktik, antara lain: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;

2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya;

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan, dan kerusakan;

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab.

Bagi mayoritas penduduk Indonesia, sebelum memutuskan untuk menikah biasanya harus melalui tahap-tahapan yang menjadi prasyarat bagi pasangan tersebut. Tahapan tersebut diataranya adalah masa perkenalan, kemudian setelah masa ini dirasa cocok, maka mereka akan melalui tahapan berikut yaitu meminang. Peminangan (courtship) adalah

kelanjutan dari masa perkenalan dan masa berkencan (dating).

Selanjutnya, setelah perkenalan secara formal melalui peminangan tadi, maka dilanjutkan dengan melaksanakan pertunangan (mate-selection)

sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk melaksanakan pernikahan Narwoko (dalam Kertamuda : 2009). Pernikahan merupakan aktivitas sepasang laki-laki dan perempuan yang terkait pada suatu tujuan bersama yang hendak dicapai. Dalam pasal 1 undang-undang pernikahan tahun


(50)

42

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Walgito (2002), masalah pernikahan adalah hal yang tidak mudah, karena kebahagiaan bersifat reltif dan subjektif. Subjektif karena kebahagiaan bagi seseorang belum tentu berlaku bagi orang lain, relatif karena sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan kebahagiaan dan belum tentu diwaktu yang lain juga dapat menimbulkan kebahagiaan. Masdar Helmy (dalam Bachtiar, 2004) mengemukakan bahwa tujuan pernikahan selain memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan di dunia, mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.

Menurut Soemijati (dalam bachtiar, 2004) tujuan pernikahan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, memperoleh keturunan yang sah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh hukum.

Menurut Bachtiar (2004), membagi lima tujuan pernikahan yang paling pokok adalah:

1. Memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur


(51)

43

2. Mengatur potensi kelamin

3. Menjaga diri dari perbuatan-perbuan yang dilarang agama 4. Menimbulkan rasa cinta antara suami-isteri

5. Membersihkan keturunan yang hanya bisa diperoleh dengan jalan pernikahan.

Sedangkan menurut ensiklopedia wanita muslimah (dalam Bacthtiar, 2004), tujuan pernikahan adalah:

1. Kelanggengan jenis manusia dengan adanya keturunan 2. Terpeliharanya kehormatan

3. Menenteramkan dan menenagkan jiwa 4. Mendapatkan keturunan yang sah

5. Mengembangkan tali silaturahmi dan memperbanyak keluarga

D. Kerangka Teoritik

Pada kerangka teoritik ini tergambar suatu proses yang dialami subjek pada fase stress yang dialaminya. Pada fase pranikah ini banyak perilaku-perilaku menyimpang yang dilakukan subjek diantaraya kesalahan fatal yang mengakibatkan kehamilan pada subjek sebelum melakukan pernikahan yang sah. Dengan usia yang muda dan rasa keingin tahuannya sangat tinggi sehingga perbuatan yang dilakukan tidak sampai memikirkan dampak pada masa yang akan dilalui selanjutnya. Dengan perilaku tersebut sehingga menjadikan subjek menjadi stres, karena banyak tekanan dari pihak keluarga dan didukung belum siapnya dalam menghadapi hiruk pikuknya dalam keluarga barunya. Karena pada masa-masa usia tersebut sangat labil sehingga


(52)

44

untuk berfikir tentang masalah keluargapun belum sampai terfikirkan. Dari proses yang dialami subjek tersebut, sehingga subjek harus berfikir secara realistis dalam mengentaskan masalah yang dihadapinya. Berusaha semaksimalnya untuk bisa berubah menjadi lebih baik dan bisa berfikir secara dewasa. Adapun dalam menghadapi masalah tersebut, subjek cenderung menghadapinya dengan cara strategi coping. Strategi coping yang digunakan

subjek dalam masalah ini ada dua, yaitu approach coping atau problem focused coping dan avoidance coping atau emotional focused coping.

Adapun skema atau peta permasalahannya sebagai berikut :

Pranikah Stres Pernikahan

Approach Coping atau Problem Focused Coping

StrategiCoping :

Avoidance Coping atau Emotional Focused Coping


(53)

45

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dilihat dari pendekatan analisisnya penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2008) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik atau utuh. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus.

Menurut Maxfield (2003), jenis penelitian studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenan dengan suatu tahap yang spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas jenis penelitian kasus merupakan studi yang akan melibatkan kita dalam penyelidikan yang mendalam dan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap latar belakang atau kondisi dari individu, kelompok atau komunitas tertentu dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai subjek.

Menurut Poerwandari (2005), jenis penelitian studi kasus digunakan agar peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus tersebut tanpa bermaksud


(54)

46

untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori-teori atau tanpa upaya menggeneralisasikan.

Berdasarkan keterangan yang telah dipaparkan diatas, penelitian ini menggunakan studi kasus artinya bahwa penelitian yang dilakukan dengan cara mencari data secara langsung di lapangan serta mempelajari individu secara rinci dan mendalam selama kurun waktu tertentu untuk membantunya memperoleh penyesuaian diri yang lebih baik, dan penelitian ini digunakan untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek secara menyeluruh yang di deskripsikan berupa kata-kata dan bahasa untuk kemudian dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip dan definisi secara umum.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dirumah subjek untuk hal-hal yang bersifat rahasia dan membutuhkan suasana yang kondusif. Begitu pula dengan

significant other, peneliti mewawancarai mereka ditempat tinggalnya.

Terdapat tiga lingkungan yang dilakukan untuk wawancara, yang pertama adalah lingkungan rumah subjek, kedua adalah lingkungan teman bermain subjek, dan ketiga adalah lingkungan rumah keponakan subjek yang bersedia menjadi significant other yang kedua.

1. Lingkungan Rumah subjek

Rumah subjek terletak di tengah kota yang padat penduduk, untuk dapat menemukan rumah subjek harus memasuki gang-gang kelinci terlebih dahulu. Rumah yang cukup besar dan bercat putih tersebut dihiasi oleh tanaman-tanaman pot yang cukup banyak. Rumah yang


(55)

47

berisi tiga kamar tersebut dihuni oleh tujuh anggota keluarga, yang terdiri ayah subjek, ibu subjek, kakak laki-laki, adik subjek, subjek dan suaminya, serta anak subjek.

2. Lingkungan teman bermain subjek

Lingkungan teman bermain subjek terletak di tengah kota yang padat penduduk.Lingkungan teman bermain Subjek adalah rumah peneliti sendiri yang dalam hal ini dilakukan karena subjek merasa nyaman jika menceritakan isi hati (curhat) dengan temannya. Rumah yang sangat sederhana, akan tetapi penghuni rumah nya menerima subjek seperti saudara sendiri, sehingga subjek merasa nyaman jika berada di rumah temannya tersebut.

3. Lingkungan rumah keponakan subjek

Lingkungan rumah keponakan subjek terletak di pusat kota Surabaya yang padat penduduk. Lingkungan rumah keponakan yang bersedia menjadi significant other yang kedua. Significant other adalah

keluarga subjek, jadi subjek jika bermain di rumah ini merasa seperti di rumah sendiri. Hal ini dilakukan karena subjek pada saat itu sering bermain ke rumah keponakannya, dan subjek sering mengajak keponakannya keluar rumah dan bermain bersama. Jadi secaratidak langsung keponakan subjek mengetahui secara langsung kehidupan sehari-hari subjek pada masa lalunya.

Kondisi penelitian dapat diketahui melalui deskripsi situasi rill yang menjadi setting atau latar penelitian dan memaparkan riwayat kasus dari


(56)

48

masing-masing subjek. Penelitian ini dilaksanakan enam kali pertemuan dengan intensitas 4 kali pertemuan dengan subjek, yaitu tanggal 9 Maret 2014, 11 April 2014, 16 Juni 2014, dan 13 Juli 2014. Pertemuan berikutnya adalah untuk wawancara dengan significant other 1 (Ibu) yaitu tanggal 12

Juni 2014. Pertemuan yang keenam adalah wawancara dengan significant other 2 (keponakan subjek), yaitu tanggal 14 Agustus 2016.

Awal penelitian dilakukan dengan penawaran bersedia atau tidaknya menjadi subjek penelitian ini, serta membuat informed concert sebagai bentuk

ketersediaan subyek untuk mengungkapkan data yang dibutuhkan peneliti. Jika subyek keberatan dirinya dipublikasikan, maka akan digunakan identitas samaran, dengan hasil penelitian yang sebenarnya. Namun untuk melakukan wawancara atau observasi peneliti terlebih dahulu meminta izin pada subyek, hal ini agar penelitian dapat berjalan lancar tanpa mengganggu aktivitas subyek, peneliti juga bersedia jika subjek yang menentukan jadwal pertemuan wawancara dan observasi, sehingga subyek juga dapat menyelesaikan tugas dan menjalankan rutinitas kegiatannya dengan nyaman.

Pengambilan data yang dilakukan oleh subjek dan peneliti dilakukan di tiga tempat, yaitu rumah subjek, rumah peneliti dan rumah keponakan subjek. Kedua tempat tersebut yang menentukan subjek sendiri sesuai dengan keadaan saat itu, subjek biasanya menentukan waktu pertemuan saat ia memiliki waktu kosong yang cukup panjang, seperti hari weekend. Di waktu


(57)

49

wawancara pertama kali dilakukan yaitu ia memilih dirumah subjek sendiri, wawancara dilakukan dengan suasana yang nyaman agar subjek merasa tidak canggung dan dapat leluasa menjawab pertanyaan atau menceritakan tentang dirinya. Tempat yang ketiga yaitu tempat rumah significant other 2

(rumah keponakan subjek), dimana peneliti mendatangi rumah significant other untuk menambah informasi mengenai subjek tanpa diketahui subjek.

Pelaksanaan penelitian mengalami beberapa kendala, diantaranya harus menyesuaikan berbagai kesibukan subjek dengan peneliti yang dapat membuat pertemuan wawancara dan observasi sering tertunda. Berikut jadwal observasi yang dilakukan terhadap subyek penelitian :

Rincian Jadwal Penelitian dengan Subjek dan Significant Other

Wawancara Penelitian Jadwal Pertemuan Tempat PenelitianJadwal

Subjek 9 Maret 2014 11 April 2014 16 Juni 2014 13 Juli 2014

1 2 4 5 Rumah Subjek Rumah Subjek Rumah Interview Rumah Subjek

Significant Other 1

(Ibu Subjek) 12 Juni 2014 3 Rumah Subjek

Significant Other 2

(Keponakan Subjek) 14 Agustus 2016 6 Rumah Keponakan Subjek

Sumber : Hasil Interview

C. Sumber Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang bersifat non statistik, dimana data yang diperoleh nantinya dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka.

Menurut Lofland (1984, dalam Moleong, 2008) sumber data utama

dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan. Seperti dokumen dan lain sebagainya.


(58)

50

Terdapat dua jenis sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder (Bungin, 2001). Sumber data primer adalah data yang diambil dari informan yang ada di lapangan, yaitu Subjek dan Significant Other (Ibu

Subjek dan Keponakan Subjek, sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diambil dari bukti dokumen seperti foto, arsip, rekaman dan catatan di media sosial (status facebook)

Data sekunder adalah data yang dapat memberikan informasi dan dapat digunakan sebagai pendukung, di mana data tersebut diperoleh dari hasil kegiatan orang lain. Data juga diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan significant others, serta melalui dokumen-dokumen,

catatan, dan laporan (Moleong, 2009).Yang menjadi sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah keluarga dan orang terdekat subjek.

Menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998), prosedur pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik :

1. Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.

2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.

3. Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah atau peristiwa acak) melainkan kecocokan konteks.


(59)

51

Pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memilih subjek dan informan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Dengan pengambilan subjek secara purposif (berdasarkan kriteria tertentu), maka penelitian ini menemukan subjek yang sesuai dengan tema penelitian.

Adapun subjek dan objek dari penelitian adalah sebagai berikut: Menurut Suharsimi Arikunto subyek merupakan segala sesuatu yang dijadikan sumber data dari mana data itu diperoleh (1993). Dalam hal ini sumber informasi adalah data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui sumber informan (nara sumber) yang diwawancarai. Adapun yang menjadi sumber informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Subjek yang diteliti 2) Orang tua subjek 3) Keponakan subjek

Adapun kriteria utama significant others adalah sebagai berikut:

1) Memiliki kedekatan dengan subjek;

2) Telah mengenal subjek dan mengetahui keseharian subjek.

D. Cara Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2010) teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber dan berbagai cara. Pengumpulan


(1)

109

Subjek mulai menerima kebenaran berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan. Bersifat realistis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku. Bersikap positif pada ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman agama. Sikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas, sehingga kehidupan dalam rumah tangganya bisa menjadi harmonis sebagaimana tujuan dari pernihakan itu sendiri.

B. Saran

Dari hasil pembahasan dan kesimpulan tersebut diatas, maka dapat disarankan bahwa seks pranikah itu harus dijauhi karena sama halnya dengan perbuatan maksiat. Allah SWT mengharamkan perbuatan tersebut.

1. Untuk orang tua

Untuk orang tua sebaiknya mengetahui segala hal yang dilakukan oleh anak, mengawasi pergaulan anak, memberikan bekal ilmu pengetahuan baik secara agama dan secara umum.

2. Untuk subjek

Lebih meningkatkan ilmu pengetahuan agama dan lebih mendekatkan diri pada Allah SWT, karena kelak ilmu agama juga akan mendukung untuk mengembangkan pola asuh pada generasi mendatang yaitu anaknya.


(2)

110

3. Untuk peneliti yang lain

Penelitian tidak hanya berdasarkan pada penelitian kualitatif, tapi bisa ditingkatkan ke penelitian kuantitatif dengan memakai lebih dari 1 (satu) narasumber atau subjek.


(3)

108

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Akung (2006). Psikologi Keluarga Dari Keluarga Sakinah Hingga

Keluarga Bangsa. Jurnal Psikologi UNDIP Vol. 3 No. 1

Al-Sayis, Muhammad Ali. (1963). Tafsir Ayat Al Hakam Al Quran. Terjemah

Muhammad Ali Sabiq. As-syifa : Bandung

Amitya Kumara dan Yuli Fajar Susetyo. (2015). Hubungan System Kepercayaan

Dan Strategi Menyelesaikan Masalah Pada Korban Bencana Gempa

Bumi. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada

Arsip perwakilan BKKBN Provinsi Sumatra Barat Tahun 2015

Asiyah S. Nur. (2010). Kuliah Psikologi Faal, Edisi Revisi. Cv. Putra Media :

Surabaya.

Bachtiar, A. (2004). Menikahlah Maka Engkau akan Bahagia!. Yogyakarta:

Saujana

Baharuddin H., Mulyono. (2008). Psikologi Agama. UIN Malang Press : Malang

Bimo Walgito. (2002). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset

Bungin Burhan. (2001). Metodologi Penelitian Sosial. Universitas Airlangga :

Surabaya

Duvall, E.M. dan Miller, B.C. (1985). Marriage and Familiy Development. New

York: Harper and Row

Eddy Fadlyana. Shinta. Larasati. (2009). Pernikahan Dini Dan Permasalahannya

Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK. Univ. Padjadjaran/RS. Dr. Hasan Sadikin. Bandung. Vol. 11 No. 2 Agustus 2009

Faisal S. (1995). Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar Dan Aplikasi.

Cetakan ke 3. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta

Hadi, Sutrisno. (1986). Metodologi Research. Andi Offset : Yogyakarta

Ike Rachmawati Kusdiyah. (2008). Managemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : ANDI

Kementerian Agama RI, (2008) Al Quran dan Terjemahannya, Cet ke-10, CV


(4)

109

Kertamuda, F. (2009). Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia, Jakarta:

Rineka Cipta

Koening, H.G, Siegler, I.C, Meador, K.G, And George, L.K. (2004). Religius

Coping And Personality In Leter Life. International Journal Of Geriatric Psychiatry. 5, (2). 123-131

Lukaningsinh, Zuyinah Luk Dan Bandiyah, Siti. (2011). Psikologi Kesehatan.

Nuha Medika : Yogyakarta

Mappiare Andi. (1982). Psikologi Remaja. Usaha Nasional : Surabaya

Moleong. (1991). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya :

Bandung

Moleong Lexy J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja

Rosdakarya : Bandung

Moleong Lexy J. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja

Rosdakarya : Bandung

Munandar, A. S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Universitas Indonesia

: Jakarta

Mutadin Z. (2002). Strategi Coping. www.e-psikologi.com Di Akses Pada Tanggal

6 Mei 2012 Pukul 23.05

Nugroho Kompono. (2007). Pernikahan Dini Tingkat Resiko Kanker Servic.

Semarang : Kelud Jaya

Nurfitriana, Watief A. Rachman, Mappeaty Nyorong (2014). Strategi Coping

Stres Tehadap Tugas Sekolah di SMK Farmasi Yamasi Makasar. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hassanudin.

Nurul Fachur Rahma (2014) Penerapan Konseling Kelompok Dengan

Menggunakan Strategi Coping Untuk Mengurangi Stres Belajar Siswa Kelas X Sms Negeri 1 Tuban. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

Poerwandari. E. K. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.

Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia. LPSP3 UI : Jakarta

Powell, Douglas, H., 1983 Understanding Human Adjustment. Unite States of


(5)

110

Pratiwi Handaru Wulan (2014). Studi Deskriptif Mengenahi Derajat Stres Dan

Coping Stres Pada Pengemui Angkot Stasiun Hall-Dago di Kota Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran : Bandung

Rasmun (2004). Stres Coping dan Adaptasi. Cv. Sagung Seto : Jakarta

Resick, P. A. (2001). “Stress dan Trauma”. United Kingdom: Psychologi Press

Ltd

Riezki Ruliansyah (2015). Meningkatkan Strategi Coping Melalui Metode

Ekspresive Writing dan Focus Group Discussion Pada Siswa Kelas XI IPA 4 di SMS Negeri 7 Yogyakarta. Universitas Yogyakarta (UNY)

Rustiana, H. (2003). Gambaran Post Traumatic Stress Discorder (PTSD) Dan

Perilaku Coping Anak-anak Korban Kerusuhan Maluku Utara. Taskiya. Vol. 3 No : 1. 46-64

Santrock J.W. (2007). Psikologi Perkembangan. Edisi 11 Jilid 1. Airlangga :

Jakarta

Sarafino. E.P. (2016). Healt Psyhcology (5th ed). New York. John Wiley An Sons

Sarwono, S.W.(2005). Psikologi Remaja. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta

Setyawati, Dewi. (2012). Gambaran Perilaku Seksual Pranikah Pada Mahasiswa

Universitas X di Semarang. Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Semarang

Siagian, P. (2012). Keajaiban Antioksidan. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Soetjiningsih dkk. (2004). Buku Ajar : Tumbuh Kembang Remaja Dan

Permasalahannya. Sagung Seto : Jakarta

Stuart dan Sundeen, 2005, Keperawatan Psikitrik: Buku Saku Keperawatan Jiwa,

edisi 5, Jakarta : EGC

Sugiono. (2010). Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan RND. Alfabeta

: Bandung

Sunaryo. (2002). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC

Sussman B.M and Steinmetz K.S. (1998). Hand Book Of Marriage And The

Family. Plenum Press : New York and London


(6)

111

Wong, P.T.P & Wong, L.C.J. (2006). Hardbook Of Multicultural Perspective On

Stress And Coping. Springer Science And Bussiness Media, Ine : New York

Yuli Yulianingsih. (2012). Strategi Coping Pada Remaja Pasca Putus Cinta.

Universitas Muhammadiyah : Surakarta