Pandangan mahasiswi pasca sarjana Universitas Airlangga dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tentang pernikahan dalam perspektif gender.

(1)

AIRLANGGA DAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN

AMPEL SURABAYA TENTANG PERNIKAHAN DALAM

PERSPEKTIF GENDER

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

(S.Sos) dalam Bidang Sosiologi

Disusun Oleh :

IKA NISFUL LAILI

NIM: B75213049

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

MEI 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Ika Nisful Laili, NIM. B75213049, Pandangan Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Airlangga dan UIN Sunan Ampel Surabaya tentang Pernikahan dalam Perspektif Gender.

Kata Kunci : Pandangan Mahasiswa, Pernikahan, Gender.

Selama ini mayoritas masyarakat menganggap bahwa Pendidikan Tinggi bagi perempuan tidak terlalu penting karena sudah bukan hal baru lagi, bila masyarakat Indonesia menganggap kodrat seorang perempuan ialah menjadi ibu rumah tangga yang harus lebih banyak di rumah untuk mendidik anak-anaknya. Fenomena ini menjadi alasan untuk membatasi perempuan dalam menempuh pendidikan tinggi. Asumsi ini menjadikan perempuan seolah-olah akan kehilangan identitas feminimismenya saat menempuh pendidikan tinggi.

Ada dua rumusan masalah yang hendak dikaji dalam skripsi ini, yaitu : (1) Bagaimana pandangan Mahasiswi S2 Universitas Airlangga dan UIN Sunan Ampel Surabaya tentang Pernikahan dalam perspektif gender? (2) Apakah perbedaan pandangan Mahasiswi S2 Universitas Airlangga dan UIN Sunan Ampel tentang gelar pendidikan yang menentukan status sosial saat pernikahan ?

Untuk menjawab dua persoalan di atas, maka peneliti menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Mewawancarai 10 (sepuluh) informan dengan cara dipilih secara purposive sampling dengan pertimbangan tertentu serta memadukan teknik snowball sampling. Hasil temuan penelitian ini ada 2 (dua) antara lain :

Pertama, Pandangan Mahasiswi S2 Universitas Airlangga dan UIN Sunan Ampel Surabaya menganggap pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan mendorong mahasiswi untuk melanjutkan pendidikan tinggi dengan menundah pernikahan demi masa depan rumah tangga; menjadi perempuan mandiri dan memperoleh peluang pekerjaan.

Kedua, Perbedaan pandangan Mahasiswi S2 Universitas Airlangga dan UIN Sunan Ampel tentang gelar pendidikan tidak memiliki perbedaan, karena sama-sama gelar pendidikan dapat menjadi simbol status saat pernikahan dan menentukan posisi sosial serta privilege diri menjadi tinggi di Masyarakat saat pernikahan dilakukan. Dengan gelar pendidikan pada jenjang Strata S2 mahasiswi mempunyai kesadaran mandiri dan pribadi yang dapat meningkatkan serta mengembangkan dirinya sehingga mampu merubah status perekonomian, faktor sosial budaya maupun faktor keluarga.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... viii

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI ... xii

DATAR TABEL... ... xiv

DAFTAR GAMBAR... ... xv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Definisi Konseptual ... 7

F. Sistematika Pembahasan ... 11

BAB II : KAJIAN TEORETIK A. Penelitian Terdahulu ... 13

B. Kajian Pustaka ... 19

C. Teori Feminisme Liberal.. ... 31

BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 46

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 48

C. Pemilihan Subyek Penelitian ... 49

D. Tahap-Tahap Penelitian ... 52

E. Teknik Pengumpulan Data ... 53

F. Teknik Analisis Data ... 56

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 58


(8)

BAB IV : PANDANGAN MAHASISWI PASCA SARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA DAN UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

A. Cikal bakal UIN Sunan Ampel dan Universitas

Airlangga Surabaya ... 60 1. Sejarah berdirinya UIN Sunan Ampel Surabaya 60 2. Sejarah berdirinya Universitas Airlangga 69 3. Realita kehidupan Mahasiswi Universitas Airlangga

dan UIN Sunan Ampel Surabaya 75

a. Potret Mahasiswi UINSA Surabaya 75 B. Pandangan Mahasiswi Pasca Sarjana tentang Pernikahan

dalam perspektif gender ... 80 C. Perbedaan pandangan Mahasiswi Universitas Airlangga

dan UIN Sunan Ampel Surabaya tentang gelar pendidikan

yang menentukan status sosial saat pernikahan ... 102 D. Temuan ... 111

E. Implikasi Teori 112

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan 116

B. Rekomendasi 117

DAFTAR PUSTAKA 118

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara 2. Dokumen lain yang relevan 3. Jadwal Penelitian

4. Surat Ijin Penelitian 5. Berita Acara

6. Kartu Konsultasi Skripsi 7. Biodata Peneliti


(9)

1

BAB I

A. Latar Belakang Masalah

Era globalisasi di awal abad ke-21 ini, isu mengenai tingkat pendidikan merupakan isu yang tidak saja menarik tetapi juga sangat relevan untuk dibicarakan. Tingkat pendidikan merupakan suatu hal yang di anggap penting, lantaran pendidikan dipercaya mampu meningkatkan prestige

seorang individu. Pendidikan merupakan Pilar kunci pembangunan, terutama pembangunan sumberdaya manusia. Pendidikan dapat dikatakan berhasil, salah satunya dengan meningkatnya aksesibilitas berdasarkan gender, artinya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang intinya semua gender di perbolehkan menempuh pendidikan sesuai yang ia inginkan tanpa adanya suatu larangan lagi.

Di dalam UUD 1945 mengamanatkan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan, termasuk pembangunan di bidang pendidikan. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memuat pasal-pasal yang mendukung kesetaraan pendidikan yang menjamin hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, dalam Pasal 48: “wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan

sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan”. Pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan


(10)

bahwa sistem pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Saat ini perempuan banyak di hadapkan pada persoalan antara menikah dan melanjutkan pendidikan. Dari fenomena tersebut muncullah kesenjangan antara kultur masyarakat dengan keinginan Perempuan Modern itu sendiri. Para perempuan modern ini mempunyai Visi untuk meningkatkan

prestige-nya dalam pernikahan dengan melanjutkan Pendidikan Tinggi. Hal tersebut sebagai wujud dari para perempuan modern untuk dapat mengimbangi kaum lelaki. Karena perempuan modern paham akan kesetaraan gender dalam pendidikan. Perempuan modern juga paham akan kewajiban dan kodratnya sebagai seorang wanita normal, yakni seberapapun tinggi karier dan pendidikan yang dicapai mereka tetap menjadi wanita yang bermoral, artinya yang bisa mendahulukan perkawinannya dan perannya sebagai ibu di atas kariernya. Fenomena ini di iringi dengan anggapan masyarakat, kalau perempuan berpendidikan tinggi akan mengalami kerugian bila hanya memilih mejadi pengurus rumah tangga (ibu rumah tangga) secara total. Dari sini terletak perbedaan antara perempuan modern yang bermoral yang berpendidikan tinggi, mereka membuktikan bahwa pendidikan tidak mempengaruhi kodrat kewanitaannya. Justru perempuan modern


(11)

membuktikan bahwasanya menjadi ibu rumah tangga yang berwawasan luas, handal dan berdaya itu juga di perlukan.

Struktur pendidikan menentukan pola kehidupan perempuan modern, karena dengan banyaknya pendidikan dan tipe pendidikan yang diterima oleh seorang wanita dapat mempengaruhi pekerjaan yang akan ia dapat sebagai balasan ekonomi yang dapat ia peroleh. Yang diketahui banyak orang memang tidak ada usia baku yang di sepakati untuk menuju jenjang pernikahan. Hal terebut disebabkan karena batas usia dewasa di setiap daerah apalagi Negara berbeda. Namun jika merujuk pada aturan dalam agama Islam usia dewasa adalah ditandai dengan ikhtilam (mimpi basah) bagi laki-laki dan haid atau menstruasi pada perempuan, sebab pada usia itu laki-laki telah mencapai usia kematangan spermatozoa sehingga dapat membuahi, begitu juga perempuan sudah sampai pada kematangan ovarium sehingga bisa dibuahi (hamil).

Menikah bukan sekedar urusan fisik semata, melainkan juga di tinjau dari kesiapan mental. Usia ideal pernikahan di era modern ini adalah usia 19 tahun untuk perempuan dan 21 tahun bagi laki-laki. Diatas usia itu biasanya mulai banyak penyimpangan mengingat gejolak birahi sedang mencapai titik tertinggi. Lain halnya pernikahan perempuan di tunda untuk melanjutkan dan fokus pada pendidikan. Mereka para perempuan modern beranggapan jika pendidikan dapat meningkatkan nilai dari perempuan itu sendiri, meningkatkan modal manusia secara individual. Di Indonesia pendidikan bagi


(12)

kaum perempuan memang sudah tidak dibatasi seperti dulu. Namun fakta – fakta yang terlihat di Indonesia menunjukkan adanya “ketidak seimbangan” besar di antara perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain sekalipun terdapat berbagai konsep yang baik tentang perempuan, namun dalam praktiknya hanya ada satu kenyataan yakni perempuan berada dibawah dominasi laki-laki.

Di era yang semakin canggih saat ini, perempuan di tuntut agar memiliki pengetahuan yang luas, dari hal ini lah mulai munculnya kesadaran betapa pentingnya pendidikan bagi perempuan. Namun tidak bisa di elakkan lagi bila pendidikan tinggi seorang perempuan juga menjadi salah satu penyebab tertundanya pernikahan. Jika kita perhatikan menunda pernikahan kini telah menjadi sebuah fenomena di masyarakat yang cukup menarik perhatian berbagai kalangan. Penundaan tersebut memiliki beberapa sebab, di antaranya ada yang berkaitan dengan keluarga dan masyarakat, ada pula yang terkait langsung dengan para pemuda pemudi sendiri. Salah satu penyebab tertundanya pernikahan perempuan modern yang akan dibahas kali ini ialah karena pendidikan, biasanya seorang perempuan yang memang ingin fokus pada studi, ia tidak memikirkan menikah kecuali setelah selesai studinya. Hal ini di anggap sebagian masyarakat menjadi hal yang tabu khususnya di wilayah pedesaan karena dalam islam kultur telah di jelaskan agar orang tua segera menikahkan anak gadis nya segera mungkin agar tidak terjadi fitnah. Namun dilain hal dalam peraturan Pemerintah terdapat aturan usia pernikahan


(13)

bagi perempuan yakni minimal 19 tahun. Dari sini peneliti menemukan problema tentang peraturan pemerintah No. 39 Pasal 48 yang bersebrangan dengan aturan Islam Kultur.

Selama ini mayoritas masyarakat menganggap bahwa Pendidikan Tinggi bagi perempuan tidak terlalu penting karena sudah bukan hal baru lagi bila masyarakat Indonesia menganggap kodrat seorang perempuan ialah menjadi ibu rumah tangga yang harus lebih banyak di rumah untuk mendidik anak-anaknya, hal itu di jadikan alasan untuk membatasi perempuan dalam menempuh pendidikan yang tinggi. Asumsi itulah yang menjadikan perempuan seolah – olah akan kehilangan identitas kewanitaannya saat menempuh pendidikan tinggi, karena secara tidak langsung mereka meninggalkan tugas – tugas kewanitaan di rumah tangga dan keluarganya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan Mahasiswi S2 Universitas Airlangga dan UIN Sunan Ampel Surabaya tentang Pernikahan dalam Perspektif gender ? 2. Apakah perbedaan pandangan Mahasiswi S2 Universitas Airlangga dan

UIN Sunan Ampel tentang gelar pendidikan yang menentukan status sosial saat pernikahan ?


(14)

C. Tujuan Penelitian

Pertanyaan pada perumusan masalah penelitian ini, maka tujuan penelitian yang akan dicapai melalui penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan tentang pandangan Mahasiswi S2 di Universitas Airlangga dan UIN Sunan Ampel di Surabaya tentang pernikahan.

2. Mendeskripsikan perbedaan pandangan tentang gelar pendidikan S2 dalam menentukan status sosial saat pernikahan.

D. Manfaat Penelitian

Dari Penelitian di harapkan dapat memberikan Manfaat sebagai berikut : 1. Secara Akademis

Di harapkan mampu memperluas keilmuan dalam bidang Sosiologi dan hasil dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan program studi ilmu Sosiologi khususnya dalam kajian tentang sosiologi Gender. Dan penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi sumber referensi atau acuan pada penelitian selanjutnya.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan menambah wawasan bagi pembaca baik dari kalangan akademis maupun masyarakat umum tentang keterkaitan pernikahan di kalangan mahasiswi pascasarjana. Dan Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan


(15)

sumbangan pemikiran bagi masyarakat luas tentang keterkaitan antara tingkat pendidikan dengan pernikahan bagi Perempuan dalam perspektif gender.

E. Definisi Konseptual

Peneliti perlu kiranya membatasi sejumlah konsep yang di ajukan dalam

penelitian dalam judul “Pandangan Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Airlangga dan UIN Sunan Ampel Surabaya tentang Pernikahan dalam Perspektif

Gender”.

Lebih jelasnya dalam uraian definisi konseptual Skripsi ini dapat dilihat dibawah ini :

1. PANDANGAN.

a. Definisi Pandangan

Istilah pandangan sering juga disebut persepsi, gambaran, atau anggapan, sebab. Dalam pandangan terdapat tanggapan seseorang mengenai satu hal atau objek.1 Pandangan mempunyai banyak pengertian di antaranya adalah :

1) Menurut Bimo Wlgito, pengertian adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan yang merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris.

1


(16)

2) Menurut Slameto, pandangan atau persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa dan pencium.

3) Menurut Robbins, yang mendeskripsikan bahwa persepsi merupakan kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian di analisa (diorganisir), di interpretasi dan kemudian di evaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna.

4) Menurut Purwodarminto, persepsi adalah tanggapan langsung dari suatu serapan atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui penginderaan.

5) Dalam kamus besar psikologi, suatu pandangan atau persepsi di artikan sebagai suatu proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan dengan menggunakan indra-indra yang dimiliki sehingga ia menjadi sadar akan segala sesuatu yang ada dilingkungannya. 2 2. PERNIKAHAN

a. Definisi Pernikahan

Perkawinan merupakan terjemahan dari kata “nikah”, dalam literature Bahasa Arab disebut dua kata, yaitu na-ka-ha dan za-wa-jaita zawwaj. Kedua

2


(17)

kata inilah yang sering digunakan orang-orang Arab dalam pembicaraan mengenai perkawinan.

Di dalam kamus Kontemporer Attabiq Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor disebutkan kata “Nikah” mempunyai banyak arti yakni al-dlam atau bergabung, wath‟un atau hubungan kelamin dan „aqd atau ikatan. Ketiga makna tersebut merupakan kata yang seringkali digunakan dalam menyebut pengertian perkawinan. Beberapa pendapat ulama dalam Ensiklopedi Hukum

Islam menyebutkan bahwa kalangan Syafi’iyah memandang perkawinan

sebagai “akad atau perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin”.

Sedangkan ulama mdzhab Hanafi mendefinisikan dengan “akad yang menfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama tidak ada halangan syara‟. Sedangkan Abu Zahrah mengemukakan bahwa definisi nikah adalah akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dengan seorang wanita, saling tolong menolong antara keduanya serta menumbuhkan hak dann kewajiban antara keduanya.

Undang-undang perkawinan di Indonesia merumuskan definisi perkawinan lebih luas lagi, dengan penambahan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perkawinan itu. Pasal 1 undang-undang No. 1 tahun 1974

tentang perkawinan menjelaskan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin


(18)

keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3. GENDER

a. Definisi Gender

Dari Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia.3 Gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Artinya perbedaan sifat, sikap dan perilaku yang dianggap khas perempuan atau khas laki-laki atau yang lebih populer dengan istilah feminitas dan maskulinitas, terutama merupakan hasil belajar seseorang melalui suatu proses sosialisasi yang panjang di lingkungan masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan. Kesetaraan Gender adalah kalimat yang seringkali kita dengar terucap dalam diskusi ataupun tertulis dalam sejumlah referensi.

Istilah gender sudah lazim digunakan terutama dilingkungan Kantor

Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Secara umum jender berarti “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin

3

http://www.gudangmateri.com/2011/01/pengertian-gender.html/ di akses pada tanggal 5 Mei 2017 Pukul :11:28 WIB


(19)

yakni laki-laki dan perempuan”. Gender biasa digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang di anggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.4

F. Sistematika Pembahasan Bab I Pendahuluan

Peneliti memberikan gambaran tentang latar belakang masalah yang di teliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konseptual, metode penelitian (pendekatan dan jenis penelitian, subyek penelitian, jenis dan sumber data, tahap-tahap penelitian, tehnik pengumpulan data, tehnik analisa data dan tehnik keabsahan data) dan sistematika pembahasan.

Bab II Kajian Teoretik

Meliputi kajian pustaka (beberapa referensi yang di gunakan untuk menelaah obyek kajian), kajian teori (teori yang digunakan untuk menganalisis masalah penelitian), dan peneliti terdahulu yang relevan (referensi hasil penelitian oleh peneliti terdahulu yang mirip dengan kajian peneliti).

4

Abdul Aziz, Muflikhatul Khoiron, Rochimah dkk, Gender Islam dan Budaya, (Surabaya : LP2M UIN Sunan Ampel, 2016) Hal. 7.


(20)

Bab III Metode Penelitian

Peneliti memberikan gambaran tentang data-data yang di peroleh.Penyajian data dapat berupa tertulis atau dapat juga di sertakan gambar. Sedangkan analisis data dapat di gambarkan berbagai macam data-data yang kemudian di tulis dalam analisis deskriptif.

Bab IV Penyajian dan Analisis Data

Peneliti memberikan gambaran tentang data-data yang di peroleh di lapangan. Penyajian data dapat berupa tertulis atau dapat juga di sertakan gambar. Sedangkan analisis data dapat di gambarkan berbagai macam data-data yang kemudian ditulis dalam analisis deskriptif.

Bab V Penutup

Peneliti menuliskan kesimpulan dari permasalahan dalam penelitian, dan memberikan rekomendasi atau saran.


(21)

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Penelitian Terdahulu

Sebagai bahan acuan dari penelusuran yang terkait dengan tema, peneliti berupaya mencari referensi mengenai hasil penelitian yang dikaji oleh peneliti terdahulu sehingga dapat membantu peneliti dalam proses pengkajian tema yang diteliti.

1. Jurnal tentang Faktor penyebab orang dewasa awal menunda pernikahan. Nini Oktaviani. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat, Makassar 2008.1 Dalam Jurnal ini penelitian memahami fenomena tentang apa yang di alami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan. Dalam jurnal penelitian ini disebutkan faktor penyebab orang dewasa awal menunda pernikahan karena beberapa hal yaitu :

a. Sering gagal dalam mencari pasangan, orang dewasa awal yang sering mengalami kegagalan dalam mencari pasangan yang membuat orang dewasa awal belum mempersiapkan diri untuk menikah.

5

Nini Oktaviani, Faktor penyebab orang dewasa awal menunda pernikahan, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat, Makas sar 2008.


(22)

b. Tidak mencapai usia kematangan yang sebenarnya, orang dewasa awal yang belum mencapai usia kematangan yang sebenarnya sehingga orang dewasa awal belum siap secara mental untuk menikah.

c. Jarang mempunyai kesempatan untuk berjumpa dan berkumpul dengan lawan jenis yang di anggap cocok dan sepadan, orang dewasa awal sibuk pekerjaan dan rutinitas sehari-hari yang membuat orang dewasa awal jarang memiliki kesempatan untuk mencari pasangan yang dianggap cocok dan sepadan.

d. Identifikasi secara ketat terhadap orang tua, orang dewasa awal yang terlalu mengagumi sosok ayah dan ibu yang menyebabkan orang dewasa awal menginginkan pasangan seperti ibunya. Sehingga sulit bagi orang dewasa awal untuk menemukan pasangan seperti orang Tua dewasa awal tersebut.

e. Egosentrisme dan narsisme yang berlebihan, orang dewasa awal yang memiliki egosentrisme yang tinggi dan menganggap dirinya baik yang menyebabkan orang dewasa awal tersebut sulit untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan lawan jenis sehingga orang dewasa awal belum menemukan pasangan yang cocok.

f. Musim pasang dari kebudayaan individualism, orang dewasa awal yang memiliki sifat individual yang membuat orang dewasa swal lebih suka dan nyaman hidup sendiri sehingga orang dewasa awal tersebut belum mempersiapkan diri untuk menikah.


(23)

g. Karena mempunyai tanggung jawab keuangan dan waktu kepada orangtua dan saudara-saudaranya, orang dewasa awal yang memiliki keinginan untuk membantu dan membahagiakan orang tua dan keluarga yang menyebabkan orang dewasa awal tersebut tidak memikirkan pernikahan dan berkonsentrasi dengan pekerjaannya. h. Trauma perceraian yang di alami oleh keluarga, banyaknya kasus

perceraian yang terjadi pada saat ini yang membuat orang dewasa awal perlu kesiapan mental dan materi yang matang untuk menikah sehingga orang dewasa awal menunda pernikahan.

i. Terlanjur memikirkan karier, orang dewasa awal yang sibuk dengan pekerjaan dan karier yang sedang ditekuni membuat orang dewasa awal belum memikirkan pernikahan.

Dalam jurnal tersebut, peneliti menyarankan kepada berbagai pihak yang terkait agar orang dewasa awal mulai memikirkan pernikahan, orang tua di harapkan memahami anaknya yang belum menikah dan bisa mencarikan jalan keluar untuk anaknya dalam mempersiapkan diri untuk menikah.

Persamaan penelitian terdahulu dengan saat ini ialah sama – sama meneliti faktor atau alasan orang dewasa menunda pernikahannya. Untuk perbedaannya penelitian terdahulu menjabarkan delapan (8) faktor penyebab, Sedangkan untuk penelitian saat ini peneliti ingin lebih menfokuskan pada


(24)

pandangan mahasiswi pascasarjana yang ingin fokus pada pendidikan tinggi atau studi.

2. Iwantoro (2002) dalam skripsi dengan judul Perbandingan Persepsi Masyarakat Tentang Pendidikan Tinggi Antara Anak Laki-Laki Dengan Anak Perempuan Di Desa Menanggal Mojosari Mojokerto.2 Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Adapun Perbandingan dari skripsi ini dengan tema penulis yakni skripsi yang ditulis oleh Iwantoro menganalisa tentang berawal dari banyaknya masyarakat yang memandang sebelah mata terhadap kaum perempuan, khususnya dalam bidang pendidikan, seolah-olah perempuan itu bukan makhluk yang pantas mengenyam pendidikan yang lebih tinggi atau bagus karena banyaknya kelemahan yang dimiliki. Tidak seperti laki-laki yang selalu dijagokan dan menjadi tumpuan cita-cita dalam keluarga maupun masyarakat sehingga dengan tidak disadari ada anggapan bahwa laki-lakilah yang pantas mengenyam pendidikan tinggi guna mengangkat derajat keluarga maupun masyarakatnya.

2

Iwantoro, Perbandingan Persepsi Masyarak at Tentang Pendidik an Tinggi Antara Anak Lak i -Lak i Dengan Anak Perempuan Didesa Menanggal Mojosari Mojok erto, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (IAIN), Surabaya 2002.


(25)

Adanya pesimistis masyarakat terhadap perempuan karena kenyataan menunjukan bahwa dari sekian banyak perempuan diIndonesia hanya sedikit yang sukses dalam menempuh kariernya. Adapun persamaan dari penulisan ini yakni sama-sama membahas tentang pandangan sebelah mata tentang pendidikan bagi kaum perempuan, kaum perempuan masih mengandalkan isu-isu tentang anggapan para masyarakat tentang wanita buat apa sekolah tinggi-tinggi toh ujung-ujungnya juga didapur saja. Serta teori yang dibahas yakni mengenai ketimpangan gender.

3. Skripsi tentang Bimbingan dan Konseling Islam dalam mengatasi dilema seorang siswi kelas III SMK 9 antara menikah atau melanjutkan kuliah.

Syifa’ul Qoyyimah. Fakultas Dakwah Prodi Bimbingan dan Konseling Islam,

UIN Sunan Ampel Surabaya 2012. Penelitian ini sepenuhnya membahas tentang kondisi mental dan dampak psikologis siswi kelas 9 ini. Fenomenanya dia sedang di hadapkan pada posisi yang sulit menurut dirinya, dia sedang binggung dalam memilih antara menikah atau melanjutkan kuliah. Hal ini sedikit banyak berdampak pada psikisnya yang saling bertentangan di antaranya adalah klien merasa putus asa, putus harapan dan depresi.3

Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian kali ini adalah, pembahasan kali ini lebih condong terhadap usaha-usaha perempuan dalam

3

Syifa’ul Qoyyimah, Bimbingan dan Konseling Islam dalam mengatasi dilemma seorang siswi k elas III SMK 9 antara menik ah atau melanjutk an k uliah, Skripsi Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam Fakultas Dakwah UIN Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2012.


(26)

melanjutkan pendidikan tingginya. Artinya ia juga harus siap dengan pilihan untuk melanjutkan pendidikan dengan menunda pernikahan lantaran ingin fokus pada satu tujuan yakni pendidikan. Perempuan modern dituntut untuk menjadi perempuan yang dinamis dan cerdas karena kita juga tahu pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang esensial. Di penelitian kali ini peneliti ingin menekankan bahwasannya perempuan yang berpendidikan mempunyai peluang untuk meningkatkan pengetahuannya sehingga kesadaran akan hak-haknya meningkat dan bertambah dalam aspek kehidupan.

Disini perempuan melakukan konsep kesetaraarn gender, bahwa ia juga mempunyai hak yang sama dalam menempuh pendidikan. Tentu ini bukan kesetaraan gender yang diharapkan seperti pada feminisme radikal. Pada kasus ini lebih mengarah pada feminism Liberal dimana wanita ingin memposisikan dirinya sebagai pusat ide dan praktik yang memfokuskan pada kesamaan kesempatan situasi tanpa mengabaikan perbedaan psikologis dan kognisi antara laki-laki dan perempuan. Feminism liberal tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideology patriarki. Sebagaimana, dipermasalahkan oleh gerakan feminis radikal. 4

4

Fakih Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 ) Hal. 83.


(27)

B. KAJIAN PUSTAKA

1. PANDANGAN.

a. Definisi Pandangan

Istilah pandangan sering juga disebut persepsi, gambaran, atau anggapan, sebab. Dalam persepsi atau pandangan terdapat tanggapan seseorang mengenai satu hal atau objek.5 Persepsi mempunyai banyak pengertian di antaranya adalah :

1) Menurut Bimo Wlgito, pengertian adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan yang merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris.

2) Menurut Slameto, pandangan atau persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa dan pencium.

3) Menurut Robbins, yang mendeskripsikan bahwa persepsi merupakan kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian di analisa (diorganisir), di interpretasi dan kemudian di evaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna.

5


(28)

4) Menurut Purwodarminto, persepsi adalah tanggapan langsung dari suatu serapan atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui penginderaan.

5) Dalam kamus besar psikologi, suatu pandangan atau persepsi di artikan sebagai suatu proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan dengan menggunakan indra-indra yang dimiliki sehingga ia menjadi sadar akan segala sesuatu yang ada dilingkungannya.

Persepsi mempunyai sifat subjektif, karena bergantung pada kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu, sehingga akan ditafsirkan berbeda oleh individu yang satu dengan yang lain. Dengan demikian persepsi merupakan proses perlakuan individu yaitu pemberian tanggapan, arti, gambaran, atau penginterpretasian terhadap apa yang dilihat, didengar atau dirasakan oleh indranya dalam bentuk sikap, pendapat, dan tingkah laku atau disebut sebagai perilaku individu.6

2. PERNIKAHAN

a. Definisi Pernikahan

Perkawinan merupakan terjemahan dari kata “nikah”, dalam literature

Bahasa Arab disebut dua kata, yaitu na-ka-ha dan za-wa-jaita zawwaj. Kedua kata inilah yang sering digunakan orang-orang Arab dalam pembicaraan

6


(29)

mengenai perkawinan.7 Dua kata yang bermakna “kawin” tersebut banyak disebutkan oleh al-Qur’an, antara lain:

Pertama, kata na-ka-ha digunakan dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 3,

yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak

yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka cukup satu orang (saja)”. Kedua, kata za-wa-ja digunakan dalam surat Al-Ahzab ayat 37: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan) istrinya. Kami kawinkan kamu dengan dia supaya dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) mantan istri-istri anak angkat mereka. Namun demikian di antara kata nikah dan kata zawaj, maka kata nikah merupakan kata yang sering di gunakan dalam Bahasa percakapan orang-orang Indonesia. Oleh karenanya rumusan kata pernikahan sama artinya dengan rumusan kata perkawinan.8

Di dalam kamus Kontemporer Attabiq Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor

disebutkan kata “Nikah” mempunyai banyak arti yakni al-dlam atau bergabung, wath’un atau hubungan kelamin dan „aqd atau ikatan. Ketiga makna tersebut merupakankata yang seringkali digunakan dalam menyebut

7

Siti Dalilah Candrawati, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014) Hal. 5.

8

Siti Dalilah Candrawati, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014) Hal. 5.


(30)

pengertian perkawinan. Beberapa pendapat ulama dalam Ensiklopedi Hukum

Islam menyebutkan bahwa kalangan Syafi’iyah memandang perkawinan

sebagai “akad atau perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan

hubungan suami istri dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin”.

Sedangkan ulama mdzhab Hanafi mendefinisikan dengan “akad yang

menfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan selama tidak ada halangan syara’. Sedangkan

Abu Zahrah mengemukakan bahwa definisi nikah adalah akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dengan seorang wanita, saling tolong menolong antara keduanya serta menumbuhkan hak dann kewajiban antara keduanya.

b. Dasar Hukum Perkawinan

1) Al- Qur’an

Anjuran untuk menikah bagi siapa yang masih sendiri (lajang) telah dijelaskan oleh surat an-Nur ayat 32, yang artinya :

“Dan kawinkanlah orang-orang yangs sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba sahayamu yang laki-laki maupun yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniah-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.


(31)

Selain keterangan dari ayat tersebut, ayat lain menegaskan tentang pentingnya memperoleh pasangan (suami/istri) agar tercipta kehidupan yang tenang, tentram, diliputi cinta dan kasih sayang di antara manusia. Sebagaimana ditegaskan oleh surat ar-Rum ayat 21.9

2) Al-Hadits

Banyak hadits-hadits yang menegaskan tentang perkawinan, arti pentingnya menikah bagi yang memiliki kemampuan baik segi jasmani, rohani, maupun materi. Rasulullah mengingatkan kepada para pemuda yang masih belum punya pasangan dalam sabda beliau dikemukakan:

“Wahai para pemuda, siapa di antaramu telah memiliki kemampuan untuk kawin, maka kawinlah, karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan nafsu seksual). Maka siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu baginya akan mengekang nafsu syahwat” (Muttafaq ‘Alaih).

Undang-undang perkawinan di Indonesia merumuskan definisi perkawinan lebih luas lagi, dengan penambahan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perkawinan itu. Pasal 1 undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

9

Siti Dalilah Candrawati, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014) Hal. 7.


(32)

keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.10

c. Tujuan perkawinan

Ada beberapa tujuan dari disyari’atkannya perkawinan atas umat Islam, di antara yang utama adalah: untuk memperoleh anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini seperti yang digunakan dalam keterangan al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 1 yang artinya:

“Wahai sekalian manusia bertakwahlah kepada Tuhan-mu yang menjadikan kamu dari diri yang satu daripadanya Allah menjadikan istri-istri dan dari keduanya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak, laki-laki dan

perempuan”. Keinginan untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri atau fitrah setiap manusia bahkan menjadi kbutuhan bagi makhluk ciptaan Allah. Maka untuk mencapai maksud tersebut Allah menciptakan nafsu syahwat yang mendorong keinginan untuk mencari pasangan dari lawan jenisnya. Yakni laki-laki menyalurkan kebutuhan biologisnya kepada perempuan dan dari sinilah akan dihasilkan keturunan yang sah. Karena itu perkawinan merupakan lembaga yang sah bagi pengembang biakan manusia, laki-laki maupun perempuan.11

10

Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan Indonesia:2009. Hal. 8

11

Siti Dalilah Candrawati, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014) Hal. 9.


(33)

Dari kedua tujuan tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia dapat saja ditempuh melalui jalur diluar perkawinan, namun dalam mendapatkan ketenangan hidup bersama laki-laki dan perempuan tidak mungkin didapatkan kecuali melalui jalur menikah. Disinilah Islam memastikan bahwa keturunan yang sah dan ketenangan, cinta dan kasih sayang sejati hanya diperoleh melalui jalur pernikahan.

d. Hikmah Perkawinan

Ulama Fiqh mengemukakan beberapa hikmah perkawinan. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan hikmah perkawinan yang terpenting di antaranya:

1) Memperoleh jalan keluar untuk menyalurkan nafsu seksual antara laki-laki dan perempuan. Karena dengan menikah badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, perasaan tenang dapat menikmati kesenangan dalam pergaulan yang dihalalkan. 2) Menikah dapat melestarikan keturunan yang mulya, memelihara nasab

dan kehormatan diri.

3) Naluri kebapakan dan keibuan menjadi tumbuh saling melengkapi, mencintai dan menyayangi dalam suasana hidup bersama anak-anak.


(34)

4) Memotivasi untuk bekerja atau mencari nafkah karena sudah memiliki tanggungjawab menafkahi keluarga. Sehingga dapat mendorong aktifitas mencari rizki yang halal.

5) Pembagian tugas antara suami dan istri sebagai orang-orang yang memiliki tanggung jawab mengurus rumah tangga dan mencari nafkah, guna memenuhi kebutuhan rumah tangga.

6) Mempererat tali kekeluargaan antara dua keluarga (besan) memperkuat hubungan kemasyarakatan.

7) Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan harian nasional terbitan tanggal 6-6-1959, disebutkan bahwa orang yang bersuami atau beristri umurnya lebih panjang disbanding mereka yang tidak memiliki suami atau istri.

3. GENDER

a. Definisi Gender

Dari Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia. Gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Artinya perbedaan sifat, sikap dan perilaku yang dianggap khas


(35)

perempuan atau khas laki-laki atau yang lebih populer dengan istilah feminitas dan maskulinitas, terutama merupakan hasil belajar seseorang melalui suatu proses sosialisasi yang panjang di lingkungan masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan. Kesetaraan Gender adalah kalimat yang seringkali kita dengar terucap dalam diskusi ataupun tertulis dalam sejumlah referensi.

Istilah gender sudah lazim digunakan terutama dilingkungan Kantor

Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Secara umum jender berarti “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan”. Gender biasa digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang di anggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.12

Kata gender berasal dari Bahasa inggris yang berarti jenis kelamin.13 Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep budaya yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.14 Gender merupakan pelabelan pada kenyataan yang bisa dipertukarkan seperti misalnya sifat lembut, kasar, menangis dan marah. Sebab gender sesungguhnya bukanlah

12

Abdul Aziz, Muflikhatul Khoiron, Rochimah dkk, Gender Islam dan Budaya, (Surabaya : LP2M UIN Sunan Ampe;, 2016) Hal. 7.

13

John M. Echols dan Hassan Shadilly, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1983) Hal. 265. Sebenarnya arti ini kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin. Persoalannya karena kata gender termasuk kosa kata baru sehingga pengertiannya belum ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

14 Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encyclopedia, Vol. 1, (New York : Green Wood Press, 1999) Hal. 153.


(36)

kodrat, tetapi merupakan modifikasi-modifikasi tertentu dari konstruksi sosial di mana laki-laki dan perempuan hidup. Dengan Bahasa lain gender merupakan hasil konstruksi, tradisi, budaya, agama dan ideology tertentu yang mengenal batas ruang dan waktu serta langsung membentuk karakteristik laki-laki atau perempuan. Gender memiliki ketergantungan terhadap nilai-nilai yang di anut masyarakat setempat. Dengan demikian, gender dapat berubah dari situasi tertentu pada kondisi yang lain.15

Perbedaan gender dikenali karena memiliki perbedaan konsekuensi yang menyertainya.16 Perbedaan Peran gender ada 3 macam antara lain : 1. Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut

pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering disebut dengan peran sektor publik.

2. Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak,mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah dan lain-lain. Peran reproduktif ini biasanya disebut juga peran sector domestik.

15

Nasarudin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta : Fikahati Aneska, 2000), Cet 1. Hal. 14. 16 Abdul Aziz, Muflikhatul Khoiron, Rochimah dkk, Gender Islam dan Budaya, (Surabaya : LP2M UIN Sunan Ampel, 2016) Hal. 12.


(37)

3. Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi pada kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama.

Pembedaan sifat, fungsi, ruang dan peran gender dalam masyarakat yang lazim ditemukan adalah pola di bawah ini : 17

GENDER LAKI-LAKI PEREMPUAN

Sifat Maskulin Feminim

Peran Produksi Reproduksi

Ruang Lingkup Publik Domestik

Tanggung jawab Nafkah utama Nafkah tambahan

Menurut Jagger dan Rothanberg, sifat-sifat mendasar penindasan perempuan terjadi dalam berbagai bentuk :

a. Di dalam sejarah, perempuan adalah kelompok tertindas pertama, disusul kelompok tertindas yang lain seperti kelompok warna kulit (negro), kelompok budak, buruh dan lain-lain.

17

Abdul Aziz, Muflikhatul Khoiron, Rochimah dkk, Gender Islam dan Budaya, (Surabaya : LP2M UIN Sunan Ampel, 2016) Hal. 13.


(38)

b. Ketidakadilan terhadap perempuan bersifat universal, terjadi di hampir seluruh masyarakat di dunia, sedangkan penindasan lain (negro,budak, buruh) terjadi hanya di negara-negara tertentu dan dalam kurun waktu tertentu.

c. Penindasan terhadap perempuan adalah bentuk penindasan yang paling mendasar dan yang paling sulit dilenyapkan dan tidak akan mudah membaik begitu saja melalui perubahan-perubahan sosial seperti penghapusan kelas-kelas dalam masyarakat.

d. Penindasan terhadap perempuan akan menyebabkan penderitaan luar biasa kepada korban baik secara fisik mapun kejiwaan. Meski luar biasa, penderitaan ini seringkali berlangsung tanpa disadari banyak orang.

e. Penindasan terhadap perempuan memberikan suatu model konseptual untuk memahami semua bentuk penindasan lain.18

Menurut Mirmaningtyas, ketidakadilan gender terjadi dalam diri sendiri, keluarga, lembaga kerja, agama, masyarakat umum dan Negara dalam berbagai bentuk. Hal yang sama juga ditambahkan oleh Faqih, bahwa manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, kekerasan, vonis

18

Bisa dibaca selengkapnya dibeberapa tulisan yang mengutip Alison Janggar dan Paula Rothenberg seperti dalam The Social Construction of Gender (California: Sage Publication Inc., 1990) tulisan Judith Lorber atau tulisan mereka sendiri Feminist Frameworks : Alternative Theoritical Accounts of Relations Between Women and Men (New York : McGraw-Hill,1984).


(39)

julukan dan beban kerja ganda terjadi dalam berbagai lapisan masyarakat, di antaranya :19

a. Di tingkat Negara, banyak kebijakan dan hukum negara perundang-undangan dan program kegiatan yang mencerminkan adanya manifestasi ketidakadilan gender.

b. Di tempat kerja, organisasi dan dunia pendidikan, aturan kerja, manajemen, kebijakan organisasi serta kurikulum pendidikan yang masih melestarikan ketidakadilan gender.

c. Dalam adat istiadat, banyak masyarakat yang tidak adil dalam menafsirkan etnisitas, kultur, kesukuan dan ajaran keagamaan.

d. Di lingkungan rumah tangga, proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga yang masih bias gender.20

C. TEORI FEMINISME LIBERAL

Tidak dapat dipungkiri bahwa seiring berjalannya waktu, berbagai fenomena dan pandangan yang sebelumnya belum terangkat mulai bermunculan. Isu-isu gender merupakan salah satu isu kontemporer yang kini telah menjadi fokus dari kajian saat ini. Isu-isu tersebut kebanyakan

19

Abdul Aziz, Muflikhatul Khoiron, Rochimah dkk, Gender Islam dan Budaya, (Surabaya : LP2M UIN Sunan Ampel, 2016) Hal. 15.

20

Abdul Aziz, Muflikhatul Khoiron, Rochimah dkk, Gender Islam dan Budaya, (Surabaya : LP2M UIN Sunan Ampel, 2016) Hal. 15.


(40)

mengungkap mengenai ketidaksetaraan antara kaum pria dan wanita yang kemudian mendorong adanya gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas perempuan dengan berbagai varian alirannya, salah satunya adalah feminisme liberal.

Feminisme liberal ini merupakan gerakan feminisme yang berdasarkan pada konsep liberal, dimana pria dan wanita itu memiliki hak dan kesempatan yang sama, sama-sama makhluk yang memilki rasionalitas. Sebelum merangkak lebih jauh untuk membahas mengenai feminisme liberal, alangkah lebih baiknya untuk mengetahui mengenai konsep gender dan mengenai feminismenya itu sendiri. Sering sekali kita mendengar istilah kesetaraan gender, namun tak sedikit juga diantara kita yang salah paham akan pengertian gender itu sendiri dan kadang sering menyamakannya dengan istilah seks. Padahal sebenarnya seks dan gender merupakan dua hal yang berbeda.

Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks memiliki pengertian bahwa perempuan dan laki-laki memiliki fungsi organismenya masing-masing, perempuan memiliki alat reproduksi, hormon dan postur tubuh yang berbeda dengan laki-laki dan fungsinya pun tak bisa dipertukarkan dengan apa yang dimiliki oleh pria. Sedangkan gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial


(41)

maupun budaya, sehingga melahirkan anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan.21

Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain: Perempuan itu dikenal sebagai makhluk cantik, emosional atau keibuan, sensitif, lemah lembut, sedangkan laki-laki dianggap tangguh, rasional, kuat, jantan dan gagah perkasa. Sifat-sifat itu dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Singkatnya, berbicara tentang pria dan wanita dalam perspektif biologis, itulah yang dinamakan seks. Sedangkan ketika berbicara mengenai pria dan wanita dalam perspektif sosial budaya, itulah yang dinamakan gender. Pemahaman yang tepat mengenai konsep seks dan gender merupakan hal yang sangat teramat penting dalam menganalisis berbagai fenomena dan isu-isu kesetaraan gender, baik dalam ruang lingkup nasional maupun internasional.22

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan pada awalnya dapat dilacak dalam sejarah dunia yang menunjukkan realita pada umumnya kaum perempuan (feminim) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam segala bidang kehidupan, kaum wanita cenderung lebih inferior dibandingkan kaum laki-laki, apalagi dalam masyarakat

21

Dadand S. Anshori : Engkos Kosasih : dan Farida Sarimaya, Membincangk an Feminisme : Reflek si Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, ( Bandung : Pustaka Hidayah, 1997 ). Hal. 30.

22 Haryanto Sindung, Spek trum Teori Sosial : Dari Klasik Hingga Post Modern, (Jogjakarta : AR Ruzz Media, 2013). Hal. 115.


(42)

tradisional agraris, mereka menempatkan kaum laki-laki menjadi garda terdepan dan mengesampingkan kaum wanita. Selain itu, kondisi ini pun diperparah lagi dengan fundamentalisme agama yang melakukan opresi

terhadap kaum wanita, kaum wanita merupakan makhluk yang harus tunduk pada kaum pria.

Munculnya gerakan feminisme pada masyarakat Barat tidak terlepas dari sejarah masyarakat Barat yang memandang rendah terhadap kedudukan perempuan, dan rasa kecewa masyarakat Barat terhadap pernyataan kitab suci mereka terhadap perempuan. Philip J.Adler, seorang pakar sejarah Barat

dalam buku “World Civilization” menggambarkan bagaimana kekejaman

masyarakat Barat dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Hingga pada abad ke 17, masyarakat Eropa masih melihat wanita sebagai jelmaan dari syaitan yang menjadi alat untuk menggoda manusia dan pada awal penciptaan

manusia pun, kaum wanita merupakan ciptaan yang “cacat” atau tidak

sempurna.23

Gerakan feminisme yang telah berkembang menjadi beberapa bentuk dan ragam pada dasarnya bermula dari suatu asumsi, yaitu ketidak-adilan adanya proses penindasan dan eksploitasi. Kaum wanita berjuang demi kesamaan, egalitas, kesetaraan, dignitas, hak-hak yang sama, kesempatan yang sama dan kebebasan untuk mengontrol dan menentukan jalan

23 T.O. Ihrowi, Kajian Wanita dalam Pembangunan, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995 ), Hal. 110.


(43)

kehiduoannya sendiri. Awal gerakan perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an.24 Ketika itu para perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian. Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu. Tokoh-tokoh perempuan ketika itu antara lain Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft.25

Feminisme adalah suatu studi yang memandang wanita dan pergerakan wanita bukan sebagai obyek dari ilmu pengetahuan, melainkan sebagai subjeknya. Teori feminisme merupakan teori sebagai upaya atas kritikan terhadap studi laki-laki untuk mentransformasikan tekanan struktural, dimulai dari pengalaman tekanan sebagai perempuan. Feminisme merupakan sebuah gerakan wanita yang menuntut kesamaan dan kesetaraan hak dan keadilan antara pria dan wanita karena kaum perempuan merasa dirugikan, dimarginalkan dan dinomor duakan dalam segala bidang kehidupan. Feminisme muncul untuk mendobrak kesubordinatan wanita dibawah pria.26

Feminisme dalam bahasa sederhana adalah tidak hanya menyangkut persoalan perempuan ataupun sekedar menambahkan perempuan kedalam konstruksi laki-laki (male construction), melainkan menyangkut pandangan

24

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, ( Yogyakarta : JALASUTRA, 1998 ). Hal. 10. 25

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, ( Yogyakarta : JALASUTRA, 1998 ). Hal. 12.

26 T.O. Ihrowi, Kajian Wanita dalam Pembangunan, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995 ), Hal. 69.


(44)

kita terhadap politik global dalam melihat isu gender terhadap perempuan dan bagaimana hal ini menunjukkan bagaimana dunia mengupayakannya. Teori feminisme secara umum ingin menunjukan gejala-gejala opresi terhadap perempuan, subordinasi, sebab-sebab dan konsekuensinya. Mereka menyebut sistem patriarki, hukum dan UU yang diskriminatif, kepemilikan harta yang tidak seimbang, pelecehan seksual antara suami-istri sebagai cerminan tidak opresi terhadap perempuan. Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh gerakan feminisme :

1. Tercapai kesamaan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai manusia bebas, baik dalam dunia publik maupun privat.

2. Penghapusan segala opresi dan perbedaan gender dalam masyarakat.

3. Kebebasan individu untuk memilih dan memutuskan sesuai keinginan dan aspirasinya.

Terdapat berbagai varian feminisme yang muncul, diantaranya feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis/sosialis, feminism eksistensial, feminisme gynosentris, feminism postmodern, feminisme multikultural, feminisme global, feminisme anarkis dan eko feminisme. Namun yang akan menjadi fokus perhatian disini adalah mengenai feminisme liberal. Akar pemikiran dari feminisme liberal berawal dari pengalaman perempuan yang seolah kebebasannya untuk menentukan hidup itu dirantai,

bahkan negara pun mengontrol setiap perempuan dengan dalih “melindungi kaum perempuan”, namun kenyataannya yang terjadi adalah justru perempuan


(45)

tidak mendapatkan kebabasan hidupnya secara utuh. Sehingga memicu tumbuhnya gerakan feminisme pada abad ke 18.27

Feminisme Liberal lahir pertama kali pada abad 18 dirumuskan oleh Mary wollstonecrat dalam tulisannya A Vindication of the Right of Women

(1759-1799) dan abad 19 oleh John Stuart Mill dalam bukunya Subjection of Women dan Harriet Taylor Mills dalam bukunya Enfranchisemen of Women,

kemudian pada abad 20 Betty Friedan dalam The Feminis Mistique dan The second Stage. Para feminis liberal mendasarkan pemikirannya berdasarkan konsep liberal dimana pria dan wanita itu memiliki hak dan kesempatan yang sama, pria dan wanita merupakan makhluk yang sama-sama memiliki rasionalitas, yang dimana rasionalitas itu sendiri memiliki dua aspek, yaitu moralitas (decision maker) dan prudensial (pemenuhan kebutuhan sendiri).28

Asumsi dasar dari Feminisme Liberal ini adalah bahwa kebebasan dan keseimbangan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dasar dari perjuangan mereka adalah untuk mendapatkan persamaan dan kesetaraan akan hak dan kesempatan bagi setiap individu, terutama perempuan atas dasar persamaan keberadaannya sebagai makhluk rasional, karena pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya adalah sama, Keadilan akan didapatkan ketika kaum

27 T.O. Ihrowi, Kajian Wanita dalam Pembangunan, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995 ), Hal. 78.

28


(46)

perempuan menadapatkan kebebasannya dalam segala aspek kehidupan dan menyejajarkannya dengan laki-laki. Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk yang sama-sama memiliki kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional.

Akar dari segala ketertindasan dan keterbelakangan perempuan itu disebabkan oleh perempuannya itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan

dirinya sebaik mungkin untuk berkompetisi dalam “Persaingan Bebas” dan

menyetarakan kedudukannya dengan laki-laki. Namun permasalahannya adalah terletak pada produk kebijakan yang bias gender, sehingga memunculkan gerakan-gerakan feminisme liberal yang menuntut akan kesamaan pendidikan, kesamaan hak politik dan ekonomi, juga disertai dengan pembentukan organisasi perempuan untuk membasmi diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, pendidikan, ekonomi, maupun personal.

Kaum feminisme liberal menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, sehingga segala kebijakan yang ada akan didominasi oleh pengaruh yang sangat kuat dari para kaum pria tadi, sehingga seolah-olah

negara itu bersifat “maskulin”, sedangkan wanita hanya ada “diam” dalam

negara tersebut, hanya sebagai warga negara, bukan sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam pemerintahan, bukan sebagai pembuat kebijakan. Dari hal


(47)

tersebut pun dapat dilihat ketidaksetaraan dalam bidang politik atau kenegaraan.29

Feminisme liberal pun mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan oleh wanita memperlihatkan kaum perempuan sebagai subordinat atas kaum pria, kaum perempuan cenderung termaginalkan. Namun, dengan materialisme dan individualismenya Amerika, hal itu mendukung kaum feminis liberal, sehingga banyak perempuan yang keluar rumah dan memiliki kebebasan untuk berkarir sendiri tanpa bergantung pada pria.

Feminisme Liberal percaya bahwa kesetaraan dan keadilan gender akan bisa dicapai dengan menghapuskan hambatan yang bersifat regulatif (terkait dengan peraturan hukum), yang membedakan hak laki-laki dan perempuan.30 Ketidaksetaraan dalam bidang politik membuat mereka untuk membuat sebuah gerakan yang memiliki tujuan untuk mengintegrasikan diri mereka kedalam perpolitikan global disemua tingkatan. Dalam Hal itu sendiri, kaum feminisme liberal menggunakan gender sebagai sebuah variabel dalam menganalisis kebijakan luar negeri, menganalisis politik internasional dan kebijakan keamanan global. Hal itu dikarenakan oleh pandangan mereka bahwa dengan mengintegrasikan perempuan dalam segala decision making

29Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, ( Yogyakarta : Jalasutra, 1998 ). Hal. 35. 30 Sarah Gamble, Feminisme dan PostFeminisme, (Yogyakarta : Jalasutra, 2010), Hal. 74.


(48)

dan pembuatan kebijakan, maka akan mempermudah untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan.

Feminisme liberal fokus pada perjuangan hak-hak yang setara antara perempuan dan laki-laki, yang diperlihatkan oleh hukum yang ada. Para kaum feminis liberal sangat menentang hukum dan regulasi yang tidak adil dan cenderung memarginalkan kaum wanita, karena baik itu pria ataupun wanita memiliki hak yang sama. Terdapat gerakan-gerakan para kaum feminis liberal dalam berbagai aspek kehidupan, sebagai contoh dalam aspek pekerjaan, politik dan pendidikan.31 Dalam bidang pekerjaan, kaum feminis liberal menuntut kesempatan dan peluang yang sama dalam mendapatkan gaji ataupun fasiltas di tempat kerja. Dalam bidang politik, kaum feminis menuntut agar mereka memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Daam bidang pendidikan, mereka menuntut agar mendapatkan kesempatan dan peluang yang sama serta kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan. Tujuan dari kaum feminis adalah membentuk masyarakat yang baik, adil dan setara.

Feminis Liberal abad 18 menekankan pada pendidikan yang sama untuk perempuan. Mary Wollstonecraft menulis A Vindication of the Rights of Women di tahun 1792, berpendapat bahwa perempuan seharusnya memiliki akses yang sama seperti laki-laki pada kesempatan ekonomi dan pendidikan. Kaum feminis liberal kontemporer ingin membuat perempuan lebih terkenal dalam politik dunia, menghilangkan akses yang berbeda pada kekuatan dan

31


(49)

pengaruh atas laki-laki dan perempuan, dan dengan demikian untuk mencapai hak yang sama bagi laki-laki atau perempuan.32

Mary Wollstonecraft, dalam bukunya A Vindication of the Right of Women menggambarkan masyarakat Eropa yang sedang mengalami kemunduran dimana perempuan dikekang didalam rumah tidak diberikan kesempatan untuk masuk dipasar tenaga kerja dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan laki-laki diberikan kebebasan untuk mengembangkan diri seoptimal mungkin. Padahal kalau perempuan diberikan kesempatan yang sama juga bisa mengembangkan diri secara optimal, asal perempuan juga diberikan pendidikan yang sama dengan pria. Wollstone berusaha keras untuk mencari solusi bagi hal tersebut dan penyamarataan pendidikanlah solusinya. Dengan menyamaratakan pendidikan kaum perempuan dengan pendidikan kaum laki-laki, maka hal itulah yang akan

membuat seorang wanita itu menjadi “independent women”, bukan hanya menjadi boneka dan mainannya kaum lelaki.

Feminisme Liberal abad ke 19 menekankan pada kesempatan hak Sipil dan Ekonomi bagi perempuan dan laki-laki. J S Mill dan Harriet Tailor Mill bergabung dengan Wollestonecraft. Yang menekankan pentingnya rasionalitas untuk perempuan. J S Mill dan Harriet Tailor Mill lebih jauh menekankan agar persamaan permpuan dan laki-laki terwujud, tidak cukup diberikan


(50)

pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan untuk berperan dalam ekonomi dan dijamin hak sipilnya yang meliputi hak untuk berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak milik pribadi serta hak-hak sipil lainnya. Sumbangan lain pemikiran mereka berdua adalah dua-duanya menekankan pentingnya Pendidikan, Kemitraan dan Persamaan.

Mill lebih menekankan pada pendidikan dan hak, sedangkan Taylor lebih menekankan kemitraan. Mill lebih jauh juga mempertanyakan superioritas laki-laki, menurutnya bahwa laki-laki itu tidak lebih superior secara intelektual dari perempuan. Pemikiran Mill yang juga menarik bahwa kebajikan yang ditempelkan pada perempuan seringkali merugikan perempuan karena perempuan tidak bisa menjadi diri sendiri, sebab ia akan menjadi orang yang dikehendaki masyarakat.33

Feminisme Liberal abad 20. The Feminis Mistique yang ditulis oleh Betty Frieden, bila kita bandingkan dengan buku yang ditulis sebelumnya oleh Wollestone, JS Mills dan Harriet Tylor terkesan tidak radikal. Menurut Betty perempuan kelas menengah yang menjadi ibu rumah tangga merasa hampa dan muram. Mereka menghabiskan waktunya hanya untuk berbelanja, jalan-jalan, perawatan, mempercantik diri, memuaskan nafsu sang suami, dan

33


(51)

sebagainya.34Sehingga solusi untuk menangani permasalahan tersebut adalah bahwa kaum wanita harus kembali ke sekolah dan kemudian memberikan kontribusi untuk ekonomi keluarga, berkarir namun tetap menjadi ibu rumah tangga juga, berjalan beriringan.

Namun dua puluh tahun kemudian ia menyadari dalam bukunya The Second Stage bahwa berkarir sekaligus menjadi ibu rumah tangga merupakan hal yang sangat sulit, selain harus melayani suaminya, juga harus melayani majikannya di kantor. Sehingga hal yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pergerakan sehingga menyadari keterbatasan-keterbatasan dalam dirinya yang diciptakan masyarakat sehingga mampu untuk memperbaiki kondisi tersebut, harus menjalin suatu kooperasi dengan kaum laki-laki untuk merubah mindset masyarakat pada bidang publik dan privat, yaitu suami pun harus ikut memikul beban keluarga dalam hal ekonomi, rumah tangga dan anak.

Kritik yang paling utama bagi Feminisme Liberal adalah bahwa Feminsime liberal tidak pernah mempertanyakan ideologi Patriarki dan sama sekali tidak menjelaskan akar ketertindasan perempuan. Para kaum Feminisme Liberal hanya berkata bahwa sumber permasalahan perempuan selama ini adalah karena perempuannya itu sendiri dan solusi yang harus dilakukan adalah dengan membekali kaum perempuan dengan pendidikan dan

34

T.O. Ihrowi, Kajian Wanita dalam Pembangunan, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995 ), Hal. 45.


(52)

juga pendapatan. Kaum Feminis Liberal dianggap tidak mampu untuk melihat bahwa perempuan merupakan golongan yang paling minim mendapat akses pendidikan, karena biaya yang mahal ataupun karena diskriminasi yang sering terjadi.

Kemudian Feminisme Liberal cenderung menerima nilai-nilai maskulin sebagai manusia, sehingga gerakannya mengarah pada emansipasi, cenderung membentuk manusia individualis. Padahal kenyataannya, manusia hidup berkelompok didalam masyarakat dan mempunyai pemikiran dualistik, kebebasan individu dan bertindak rasonal adalah konsep maskulin. Padahal, secara alamiah terdapat perbedaan seks. Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa menggunakan perspektif gender (feminisme) dalam Hubungan Internasional, selain menawarkan cara pandang baru, juga menjadi penting dalam memahami kondisi ekonomi politik dan keamanan internasional.

Teori feminisme merupakan teori sebagai upaya atas kritikan terhadap studi laki-laki untuk mentransformasikan tekanan struktural, dimulai dari pengalaman tekanan sebagai perempuan. Salah satu fokus kajian disini adalah mengenai feminisme liberal yang merupakan varian dari feminisme yang mendasarkan pemikirannya berdasarkan konsep liberal dimana pria dan wanita itu memiliki hak dan kesempatan yang sama, pria dan wanita merupakan makhluk yang sama-sama memiliki rasionalitas. Berbagai gerakan kaum feminis liberal pun muncul khususnya di Amerika, sebagai negara kelahiran, juga negara dengan jumlah kaum feminisme terbesar, yang


(53)

memberikan pengaruh besar pada saat itu, walaupun banyak kritik yang menyerang pemikiran kaum feminis liberal.


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif, yakni suatu jenis penelitian dimana data yang diperoleh disajikan dalam bentuk kata-kata dan gambar bukan angka-angka1. Penggunaan jenis penelitian kualitatif karena ada pertimbangan:

Pertama, jenis penelitian deskriptif merupakan bagian dari karakteristik pendekatan kualitatif. Dalam penelitian kualitatif dibutuhkan deskriptif dengan kata-kata atau gambar, dan bukan data yang berupa angka-angka.

Kedua, relevansi penelitian deskriptif dengan obyek penelitian, yakni karakteristik latar belakang dan sistem sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya. Jenis penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan fakta-fakta yang akurat sesuai dengan fenomena sosial yang ada.

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya.

1


(55)

Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif.

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini. Bodgan dan Taylor mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman manusia di tengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi, dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, sebaliknya pengertian itu di berikan untuk mereka.2 Penggunaan pendekatan ini didasarkan atas tiga pertimbangan, yaitu:

Pertama, Pertimbangan teoritis, bahwa dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Feminisme Liberal, karena sesuai dengan permasalahan yang ada.

Kedua, pertimbangan praktis, bahwa pendekatan kualitatif akan lebih mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian, dimana peneliti yang juga sebagai mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya berhubungan langsung dengan mahasiswi S2 di kampus yang banyak memahami sosio-kulturalnya.

2

Lexy J, Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), Hal. 14-15.


(56)

Ketiga, pendekatan kualitatif lebih menekankan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian, sebagaimana tertulis dalam rumusan masalah, dengan cara berfikir formal dan argumentatif.3 Oleh karena itu pendekatan kualitatif lebih cocok dengan rumusan masalah, yang mana peneliti tidak dalam rangka mencari hipotesa, melainkan dalam rangka mencari jawaban.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perguruan Tinggi yang beerada di wilayah Surabaya dan sekitarnya, objek penelitian meliputi Mahasiswi yang menempuh Studi Strata Dua (S2) dan yang belum menikah di Universitas Airlangga (UNAIR) dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) di Surabaya. Mahasiswi yang menjadi informan dibatasi oleh peneliti antara umur 23 tahun keatas.

b. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan mulai akhir bulan November 2016 setelah sidang proposal skripsi dilaksanakan sampai bulan April 2017. Alasan waktu tersebut dipilih karena peneliti ingin mendapatkan data yang lebih beragam dan valid. Jadwal penelitian dapat dilihat pada lampiran halaman. Adapun alasan dipilihnya tempat penelitian tersebut karena hasil pengamatan dari peneliti

3


(57)

melihat adanya fenomena diemma mahasiswi yang akan maupun sudah melanjutkan pendidikan tinggi Strata dua (S2).

3. Pemilihan Subyek Penelitian

a. Subjek Penelitian

Dalam penelitian subjek penelitian bisa disebut dengan informan. Yang dikatakakan informan disini adalah Perempuan yang menyandang status Mahasiswi yang menempuh Studi Strata Dua (S2) dan belum menikah UNAIR dan UINSA di Surabaya yang rata-rata memiliki Umur antara 23 Tahun ke atas. Untuk mencari informan dengan kondisi tersebut peneliti melakukan pencarian data yang dilakukan di beberapa Perguruan Tinggi yang berada di Surabaya khususnnya di UIN Sunan Ampel dan Universitas Airlangga Surabaya. Alasan membatasi usia informan dikarenakan pada usia tersebut seorang perempuan sedang mengalami puncak dilemma ingin segera menikah namun terhalang oleh keinginan tetap fokus pada studi.

Menurut Nasution dalam penelitian Kualitatif yang dijadikan informan hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi. Informan dapat berupa peristiwa, manusia, situasi yang diobservasi. Sering informan dipilih secara

Purposive Sampling” bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu. Purposive Sampling adalah teknik penetuan informan dengan pertimbangan tertentu . Sering pula responden diminta untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi kemudian responden ini diminta pula menunjuk


(58)

orang lain dan seterusnya. Cara ini lazim disebut “Snowball Sampling” yang

dilakukan secara serial atau berurutan. Berdasarkan paparan diatass, subjek penelitian ini adalah sumber yang dapat memeberikan informasi dipilih secara

Purposive Sampling bertalian dengan Purpuse atau tujuan tertentu. Subjek yang akan diteliti akan ditentukan langsung oleh peneliti berkaitan dengan masalah dan tujuan peneliti.


(59)

Adapun subyek penelitian yang dipilih oleh peneliti sebagai informan guna melengkapi data-data lapangan dapat dilihat dibawah ini : Ialah sebagai berikut.

Tabel 3.1 Tabel data Informan

No Nama Asal daerah Jurusan di S2 Perguruan Tinggi

1. Wiwin Guanti Sambas, Kalimantan Barat Hukum Tata Negara UIN Sunan Ampel Surabaya

2. Hasiah Sambas,

Kalimantan Barat

Hukum Tata Negara

UIN Sunan Ampel Surabaya 3. Siti Khoirul

Nikmah Blitar

Hukum Tata Negara

UIN Sunan Ampel Surabaya 4. Mirza Elmy

Syafira Taman, Sidoarjo

Hukum Tata Negara

UIN Sunan Ampel Surabaya 5. Macrifah Bangkalan,

Madura Psikologi

Universitas Airlangga 6. Waode Diana Kendari, Sulawesi

Tenggara Ilmu Forensik

Universitas Airlangga 7. Festi Via Lahat, Sumatera

Selatan Sains Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga

8. Vira Nurafini Gunung Sari,

Surabaya Ekonomi Islam

Universitas Airlangga 9. Betty

Herdinawati Waru, Sidoarjo

Sains Hukum dan

Pembangunan

Universitas Airlangga

10. Chulliyatul

Murodah Waru, Sidoarjo

Sains Hukum dan

Pembangunan

Universitas Airlangga


(60)

4. Tahap-Tahap Penelitian

Tahap penelitian yang digunakan adalah pola pendekatan kualitatif sebagaimana yang dianjurkan oleh Bogdan dan Taylor yaitu, pra lapangan, pekerjaan lapangan dan analisis data. Dan dalam penelitian ini secara garis besar ada tiga tahap penelitian:

a. Tahap Pra Lapangan

Tahap pra lapangan ini meliputi penyusunan rancangan penelitian yaitu proposal lapangan, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan penelitian pada pihak yang terkait, menjajakan dan menilai keadaan lapangan (orientasi lapangan), memilih dan memanfaatkan informan sebagai sumber data yang akurat, menyiapkan perlengkapan penelitian baik perlengkapan fisik maupun non fisik, dan memahami etika penelitian. Etika penelitian ini menjadi sesuatu yang penting, sebab dalam penelitian kualitatif, manusia menjadi alat pengumpul data. peneliti juga bisa memulai untuk melakukan pra pengamatan dan menilai serta memilih lapangan penelitian di Kampus UIN Sunan Ampel dan Universitas Airlangga Surabaya.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Pada tahap pekerjaan lapangan, merupakan proses berkelanjutan. Pada tahap ini, peneliti masuk pada proses penelitian penting untuk dilakukan sebelum penelitian berlangsung adalah proses perizinan. Karena prosedur seorang penelitian adalah dengan adanya izin dari obyek yang akan diteliti.


(61)

Setelah peneliti mulai melakukan penggalian data yang diinginkan dan sesuai dengan masalah yang akan diteliti. Dan langkah selanjutnya adalah terjun ke lapangan Setelah pengajuan proposal diterima pada pihak-pihak yang terkait, peneliti bisa mulai penelitian di lapangan dengan metode-metode serta langkah-langkah yang telah direncanakan sebelumnya.

c. Tahap Mengolah dan Analisis Data.

Setelah peneliti melakukan semua tahap-tahap di atas, dan telah mendapatkan sumber-sumber data dari narasumber. Maka peneliti dapat mengolah data temuannya untuk bisa dijadikan suatu bentuk temuan atau kesimpulan yang nyata tanpa menambah mengurangi dari jawaban nara sumber yang terkait.4

5.Tehnik Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif manusia menjadi instrumen dalam penelitian. Ciri khas penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta5. Maka peneliti dalam menggali sejumlah data penelitian ini menggunakan beberapa tehnik pengumpulan data.

a. Observasi

Observasi (pengamatan) adalah pengamatan berperan serta dan pengamatan tanpa peran serta.6 Proses observasi di lakukan oleh peneliti di UIN

4

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial; Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya:Airlangga Press, 2001), Hal.129.

5

Lexy J, Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), Hal.117.

6


(62)

Sunan Ampel Surabaya dan Universitas Airlangga Surabaya dengan pengumpulan data dan melakukan pengamatan tentang pandangan para mahasiswi pasca sarjana tentang pernikahan perempuan modern di kalangan mahasiswa strata dua (S2).

Peneliti melakukan dua peranan sekaligus yaitu : sebagai pengamat dan sekaligus berperan menjadi Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Sedangkan pengamatan tanpa peran serta peneliti hanya melakukan kegiatan pengamatan terhadap kondisi sosial mahasiswi.

Berdasarkan cara peneliti berpartisipasi didalam kelompok yang ditelitinya, maka observasi dapat dibedakan menjadi empat tipe : 7

1. Participant observasion, pengamatan berperan serta, namun peneliti tidak memberitahu maksudnya kepada masyarakat yang diteliti. Peneliti sengaja menyembunyikan maksudnya ditengah-tengah masyarakat yang diteliti.

2. Participant as observasion, pengamatan berperan serta dan memberitahukan maksudnya sebagai peneliti.

3. Observer as observation, bedanya tehnik ini dengan yang kedua adalah bahwa tehnik ini sering dipergunakan dalam penelitian yang hanya berlangsung dalam sekali kunjungan dalam waktu yang singkat dan tehnik ini memerlukan perencanaan yang terperinci.

7

George Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Jakarta: Rajawali Pers,2013), Hal.74.


(1)

115

sendiri yang harus merubahnya salah satunya dengan pendidikan. Dan jika melihat pada jaman dahulu, dimana perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan dengan baik dibandingkan dengan laki-laki. Hal itu berimplikasi pada tindakan sosial yang dilakukan oleh para perempuan jaman sekarang. Hal yang menarik dari dan yang ditemukan selama peneltitian adalah suatu pernyataan atau pendapat yang ditemukan dari hasil wawancara mendalam bahwa mereka setuju terhadap kesetaraan gender, namun tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan dalam kehidupan sehari-hari maupun yang akan datang. Jika di aplikasikan melalui teori feminism liberal dapat dilihat bahwa upaya perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender masih dalam proses panjang untuk mencapai kondisi ideal berupa individu yang dapat bertindak sebagai agen bermoral yang bebas dan bertanggung jawab, yang dapat memilih gaya hidup yang sesuai bagi dirinya serta memiliki pilihan untuk diterima dan dihargai dengan sebenar-benarnya.


(2)

BAB V PENUTUP

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang dipaparkan oleh peneliti diatas maka dalam penelitian yang berjudul Pandangan Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Airlangga dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tentang Pernikahan dalam Perspektif Gender dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

A. Kesimpulan

Hasil penelitian ini dengan tema Pandangan Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Airlangga dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Tentang Pernikahan Dalam Perspektif Gender ada dua kesimpulan penting :

Pertama ; Pandangan mahasiswi S2 Universitas Airlangga dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya berpendapat pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Untuk mencapai kesakralan tersebut mendorong mahasiswi untuk melanjutkan pendidikan tinggi dengan menundah pernikahan demi masa depan rumah tangga, memiliki kesadaran mandiri dan memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan mudah.

Kedua; Mahasiswi S2 di Universitas Airlangga dan UIN Sunan Ampel Surabaya tidak memiliki perbedaan pandangan secara signifikan. Mereka


(3)

117

menganggap gelar pendidikan menjadi bagian penting para mahasiswi S2 karena mempunyai hak lebih besar untuk menolak maupun menerima ajakan menikah, serta menjadi simbol yang dapat meningkatkan previlege diri menjadi tinggi di masyarakat dan mempunyai kesadaran mandiri dan pribadi yang dapat meningkatkan serta mengembangkan dirinya sehingga mampu merubah status perekonomian, faktor sosial budaya maupun faktor keluarga; misalkan menambah titil gelar pendidikan tidak hanya sebagai simbol namun gelar pendidikan dapat diaktualisasi pada anak dalam keluarga dimasa akan datang.

B. Rekomendasi

Menurut peneliti, dari hasil penelitian ini ada dua rekomendasi yang hendak bisa dijadikan pertimbangan :

Pertama bagi Mahasiswa yang masih mengemban dan menyelesaikan studi S2 dengan status belum menikah, bahwa berpendidikan tinggti bukanlah menjadi faktor kendala dalam menentukan kesiapan pernikahan, justru menjadi motivasi (pendorong) akan terwujud suksesnya studi S2 (strata dua) dan bisa memudahkan dan melangkah mencari peluang pekerjaan lain.

Kedua; secara prakteknya, pengalaman Mahasiswi S2 dengan perkawinan yang tertunda akan menjadi pengalaman hidup bagi seorang perumpuan untuk menjadi wanita mandiri di Masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Daftar buku

Abdul Syani. 2012. Sosiologi Sistematika Teori dan Terapan. Jakarta : Budi Aksara. Abdul Azis,Muflikhatul Khoiroh, Rochimah dkk. 2016. Buku Saku Gender Islam dan

Budaya. Surabaya : LP2M UIN Sunan Ampel.

Astrid S. Susanto. 1983. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Bina Aksara.

Bahrein T. Sugihen. 1997. Sosiologi Pedesaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Format Kuantitatif dan

Kualitatif. Surabaya : Airlangga Press.

Dadand S. Anshori : Engkos Kosasih : dan Farida Sarimaya. 1997. Membincangkan Feminisme : Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita. Bandung : Pustaka Hidayah.

Damsar. 2011.Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Deddy Mulyana .2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung :Pt Rosdakarya. Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Fakih Mansour.1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

George Ritzer. 2013. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers.


(5)

Hasbullah. 2012. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan – edisi revisi. Jakarta : Rajawali Pers. Haryanto Sindung. 2013. Spektrum Teori Sosial : Dari Klasik Hingga Post Modern.

Jogjakarta : AR – Ruzz Media.

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi Teks dan Terapan Edisi Ketiga. Jakarta : Kencana. Jefta Leibo. 1995. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Andi Offset.

Jefta Leibo. 1995. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta : Andi Offset.

Kurniawati Desi. Pola Komunikasi Interpersonal dalam konflik antara pasangan suami istri beda budaya yang baru menikah. Volume V, Nomor 1, Edisi Januari 2013.

Lexy J Moleong. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nini Oktaviani. 2008. Faktor penyebab orang dewasa awal Pernikahan. Makasar : STKIP PGRI Sumatera Barat.

Rosemarie Putnam Tong. 1998. Feminist Thought. Yogyakarta : JALASUTRA. Sarah Gamble. 2010. Feminisme dan Post Feminisme. Yogyakarta :JALASUTRA. Siti Dalilah Candrawati. 2014. Hukum Perkawinan di Indonesia. Surabaya : UIN

Sunan Ampel Press.

Sudirman N, dkk. 1992. Ilmu Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. Suhartono Suparlan. 2006. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. T.O. Ihrowi. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta : Yayasan Obor


(6)

Zaitunah Subhan.2015. Al-Qur’an dan Perempuan : menuju kesetaraan gender dalam penafsiran. Jakarta : Prenadamedia Group.

B. Daftar Internet

http://www.uinsby.ac.id/id/187/rencana-strategi.html. Diakses pada tanggal 15 Januari 2017 pukul 21: 50 WIB

https://jawatimuran.net/2013/01/23/sejarah-singkat-universitas-airlangga-unair/ diakses pada tanggal 8 April 2017, pukul. 22:40 WIB.

http://www.unair.ac.id/site/menu/show/53/faculty/sekolah-pasca-sarjana.html. Diakses pada tanggal 8 April 2017, Pukul, 23:18 WIB.

http://www.unair.ac.id/site/menu/show/53/faculty/sekolah-pasca-sarjana.html/ diakses pada tanggal 8 April 2017, pukul: 23:45 WIB.