Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktivitas Antioksidan dan Kadar Tempe Satu Kali Perebusan dari Kedelai (Glycine max L Merr) Lokal var. Grobogan dan Impor T1 652007023 BAB II

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kedelai (Glycine maxL Merr)

Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia, yang dibudidayakan mulai abad ke-17 sebagai tanaman makanan dan pupuk hijau. Penyebaran tanaman kedelai ke Indonesia berasal dari daerah Manshukuo menyebar ke daerah Mansyuria: Jepang (Asia Timur) dan ke negara-negara lain di Amerika dan Afrika. Kedelai yang tumbuh secara liar di Asia Tenggara meliputi sekitar 40 jenis. Penyebaran geografis dari kedelai mempengaruhi jenis tipenya. Terdapat 4 tipe kedelai yakni: tipe Mansyuria, Jepang, India, dan Cina. Dasar-dasar penentuan varietas kedelai adalah menurut: umur, warna biji dan tipe batang (Anonim, 2000).

Gambar 2.1. Kedelai

Kedelai termasuk famili Leguminosae, subfamili Papilonoideae, dan genus Glysin, L dengan nama kultivar Glysin max (L). Kedelai mengandung protein paling tinggi diantara jenis sereal dan legume, sekitar 40% dan mengandung sekitar 20% lemak, kedua tertinggi setelah kacang tanah. Secara rata-rata, protein dan lemak menyumbang 60% berat kering kedelai. Sisanya adalah karbohidrat (± 35%) dan abu (± 5%). Karena pada umumnya kedelai komersial mengandung sekitar 13% air (untuk menjaga stabilitas selama penyimpanan), berdasarkan berat basah kedelai mengandung 35% protein, 17% lemak, 31% karbohidrat, dan 4,4% abu (Liu, 1997 dalam Wahyuningtyas, 2003). Komposisi kimia kedelai sangat bervariasi dan tergantung pada beberapa faktor,


(2)

diantaranya adalah varietas, musim/iklim, lokasi geografis, dan tekanan lingkungan (Schmidl dan Labuza, 2000 dalam Wahyuningtyas, 2003).

Tabel 2.1. Komposisi Gizi Kedelai Kering per 100 gram Biji

Komposisi Jumlah

Kalori (kkal) 331

Protein (gr) 34,9

Lemak (gr) 18,1

Karbohidrat (gr) 24,8

Kalsium (mg) 227

Fosfor (mg) 585

Besi (mg) 8,0

Vitamin A (SI) 110

Vitamin B1 (mg) 1,1

Air (gr) 7,5

Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1972

Kedelai merupakan salah satu komoditas penting karena kedelai mempunyai nilai kemanfaatan yang tinggi, kedelai bisa diolah menjadi bahan makanan, minuman serta penyedap cita rasa makanan. Sebagai bahan makanan pada umumnya kedelai tidak langsung dimakan, melainkan diolah terlebih dahulu sesuai dengan kegunaannya, misalnya : tempe, tahu, kecap, tauco, tauge bahkan diolah secara modern menjadi susu dan minuman sari kedelai, kemudian dikemas di dalam botol (AAK, 1995).

Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak disintesa oleh tanaman. Pada tanaman golongan Leguminosae, khususnya pada tanaman kedelai mengandung senyawa isoflavon yang cukup tinggi. Bagian tanaman kedelai yang mengandung senyawa isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada biji kedelai, khususnya pada bagian hipokotil (germ) yang akan tumbuh menjadi tanaman. Sebagian lagi terdapat pada kotiledon yang akan menjadi daun pertama dari tanaman.Kandungan isoflavon pada kedelai berkisar 2-4 mg/g kedelai. (Anonim, 2008). Senyawa isoflavon ini pada umumnya berupa senyawa kompleks atau konjugasi dengan senyawa gula melalui ikatan glukosida. Jenis senyawa isoflavon ini terutama adalah Genistin, Daidzin, Glisitin (Pradana, 2008). Selama proses


(3)

pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun proses non-fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi, terutama melalui proses hidrolisa sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut aglikon yang lebih tinggi aktivitasnya. Senyawa aglikon tersebut adalah Genistein, Daidzein, dan Glisitein (Pawiroharsono, 1995 dalam Dwinaningsih, 2010).

2.2. Kedelai Lokal varietas Grobogan

Dilepas tahun : 2008

SK Mentan : 238/Kpts/SR.120/3/2008

Asal :Pemurnian populasi Lokal Malabar

Grobogan Tipe pertumbuhan : determinit Warna hipokotil : ungu

Warna epikotil : ungu

Warna daun : hijau agak tua

Warna bulu batang : coklat

Warna bunga : ungu

Warna kulit biji : kuning muda Warna polong tua : coklat Warna hilum biji : coklat Bentuk daun : lanceolate

Percabangan :

-Umur berbunga : 30-32 hari Umur polong masak : ± 76 hari Tinggi tanaman : 50–60 cm

Bobot biji : ± 18 g/100 biji

Rata-rata hasil : 2,77 ton/ha Potensi hasil : 3,40 ton/ha Kandungan protein : 43,9%


(4)

Daerah sebaran : Beradaptasi baik pada beberapa kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda cukup besar, pada musim hujan dan daerah beririgasi baik.

Sifat lain : - polong masak tidak mudah pecah, dan - pada saat panen daun luruh 95–100% saat panen >95% daunnya telah luruh (Balitkabi, 2008)

2.3. Tempe

Tempe merupakan makanan hasil fermentasi tradisional berbahan baku kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan flavor spesifik. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai. Tekstur yang kompak juga disebabkan oleh miselia-miselia jamur yang menghubungkan antara biji-biji kedelai tersebut. Terjadinya degradasi komponen-komponen dalam kedelai dapat menyebabkan terbentuknya flavor spesifik setelah fermentasi (Kasmidjo, 1990 dalam Dwinaningsih, 2010).


(5)

Tabel 2.2. Komposisi Gizi Tempe

Komposisi Jumlah

Air (wb) 61,2 %

Protein kasar (db) 41,5% Minyak kasar (db) 22,2%

Karbohidrat (db) 29,6%

Abu (db) 4,3%

Serat kasar (db) 3,4%

Nitrogen (db) 7,5%

Sumber: Cahyadi (2006)

Menurut Standar Nasional Indonesia 01-3144-1992, tempe kedelai adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berbentuk padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan.

Tabel 2.3. Syarat Mutu Tempe Kedelai Menurut Standar Nasional Indonesia 01-3144-1992

Kriteria Uji Persyaratan

Keadaan

 Bau normal (khas tempe)

 Warna normal

 Rasa normal

Air (% b/b) maks 65

Abu (% b/b) maks 1,5

Protein (% b/b) x (Nx6,25) min 20 Cemaran mikroba

E coli maks 10

Salmonella negative

Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992)

2.4. Tempe Satu Kali Perebusan

Tempe satu kali perebusan merupakan salah satu jenis tempe dimana pengrajin melakukan improvisasi terhadap proses pembuatan tempe yaitu pada tahapan perebusan yang hanya dilakukan sekali. Improvisasi ini biasanya dilakukan untuk menghemat bahan bakar. Proses perebusan dalam pembuatan tempe berpengaruh pada nilai gizi serta daya tahan tempe yang dihasilkan.


(6)

Septania (2010) melaporkan bahwa tempe yang dikukus satu kali mempunyai kadar abu dan air lebih tinggi dibanding tempe yang dikukus dua kali. Sedangkan kadar karbohidrat dan proteinnya lebih rendah dibanding tempe yang dikukus dua kali.

2.5. Proses Pembuatan Tempe dan Perubahan Gizinya

Tempe adalah makanan terkenal Indonesia yang dibuat dari kedelai melalui tiga tahap, yaitu (1) hidrasi dan pengasaman biji kedelai dengan direndam beberapa lama (untuk daerah tropis kira-kira semalam); (2) pemanasan biji kedelai, yaitu dengan perebusan atau pengukusan; dan (3) fermentasi oleh jamur tempe yang banyak digunakan ialah Rhizopus oligosporus (Kasmidjo, 1990 dalam Dwinaningsih, 2010).

Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu bahan baku yang dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses fermentasi tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah biji kedelai yang telah direbus dan mikroorganisme yang digunakan berupa kapang antara lain Rhizopus olygosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (dapat terdiri atas kombinasi dua spesies atau ketiganya) dan lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30˚C, pH awal 6.8, kelembaban nisbi 70-80%. Selain menggunakan kapang murni, laru juga dapat digunakan sebagai starter dalam pembuatan tempe (Ferlina, 2009 dalam Dwinaningsih, 2010).

Perebusan bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan dalam pengupasan kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin inhibitor yang ada dalam biji kedelai. Selain itu perebusan ini bertujuan untuk mengurangi bau langu dari kedelai dan dengan perebusan akan membunuh bakteri yang yang kemungkinan tumbuh selama perendaman (Ali, 2008).

Perendaman bertujuan untuk melunakkan biji dan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk selama fermentasi. Ketika perendaman, pada kulit biji kedelai telah berlangsung proses fermentasi oleh bakteri yang terdapat di air terutama oleh bakteri asam laktat. Perendaman juga betujuan untuk memberikan kesempatan kepada keping-keping kedelai menyerap air sehingga menjamin pertumbuhan


(7)

kapang menjadi optimum. Keadaan ini tidak mempengaruhi pertumbuhan kapang tetapi mencegah berkembangnya bakteri yang tidak diinginkan. Perendaman ini dapat menggunakan air biasa atau air yang ditambah asam asetat sehingga pH larutan mencapai 4-5 (Ali, 2008).

Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga kadar air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi sekitar 4,5–5,3. Bakteri yang berkembang pada kondisi tersebut antara lain Lactobacillus casei, Streptococcus faecium, dan Streptococcus epidermidis. Kondisi ini memungkinkan terhambatnya pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen dan pembusuk yang tidak tahan terhadap asam. Selain itu, peningkatan kualitas organoleptiknya juga terjadi dengan terbentuknya aroma dan flavor yang unik.

Proses hidrasi terjadi selama perendaman dan perebusan biji. Makin tinggi suhu yang dipergunakan makin cepat proses hidrasinya, tetapi bila perendaman dilakukan pada suhu tinggi menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri sehingga tidak terbentuk asam (Hidayat, 2008 dalam Dwinaningsih, 2010).

Sebagai akibat perubahan fermentasi kedelai, dihasilkan produk tempe yang lebih enak, lebih bergizi, dan lebih mudah dicerna dari pada kedelai. Salah satu faktor penting dalam perubahan tersebut adalah terbebasnya senyawa-senyawa isoflavon dalam bentuk bebas (aglikon), dan teristemewa hadirnya Faktor-II (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon), yang terdapat pada tempe tetapi tidak terdapat pada kedelai. Faktor-II ternyata berpotensi 10 kali lebih tinggi (dibanding dengan jenis isoflavon yang lainnya) sebagai antioksidan dan berperan sebagai antihemolitik, penurun tekanan darah, anti kanker, dan sebagainya (Karyadi dan Hermana, 1995).

Kedelai dorman mengandung glikosida isoflavon yang terdiri dari : 65% genistin, 23% daidzin dan 15% glisitin. Pratt dan Hudson (1985) dalam Mey (2009), melaporkan bahwa daidzin, genistin, dan glisitein yang terdapat pada biji kedelai dapat dihidrolisis oleh ß-glukosidase selama proses perendaman menjadi aglikon isoflavon dan glukosanya yaitu genestein (5,7,4’-trihidroksi isoflavon)


(8)

dan glukosa (1:1), daidzein (7,4’-trihidroksi isoflavon) dan glukosa (1:1) serta glisitein (6-metoksi-7,4’-dihidroksi isoflavon) dan glukosa (1:1).

Menurut Barz dan Papendorf (1991) dalam Mey (2009), Faktor II dapat terbentuk karena selama proses perendaman kedelai, ß-glukosidase akan aktif dan mengubah glisitin, genestin dan daidzin yang telah ada pada kedelai menjadi glisitein, genestein dan daidzein. Selanjutnya selama proses fermentasi kedelai direndam dengan Rhizopus oligosporus terjadi konversi lebih lanjut glisitein dan daidzein menjadi senyawa Faktor II. Menurut Sutikno (2009), antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteusdan Coreyne bacterium.

2.6 Antioksidan

Antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid. Antioksidan dinyatakan sebagai senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi.

Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) (Trilaksani, 2003).

Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck, 1991 dalam Trilaksani, 2003)

Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c)


(9)

senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan.

Menurut Pratt dan Hudson (1990) dalam Trilaksani (2003), kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan.. Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt,1992). Menurut Pratt dan Hudson (1990) serta Shahidi dan Naczk (1950) dalam Trilaksani (2003), senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional.

Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon,1990 dalam Trilaksani, 2003). Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2.3). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990 dalam Trilaksani, 2003). Radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non radikal.


(10)

Inisiasi : R* + AH ———> RH + A* Radikal lipida Propagasi : ROO* + AH ——> ROOH + A*

Gambar 2.3. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990 dalam Trilaksani, 2003)

Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Gambar 2.4). Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sample yang akan diuji.

AH + O2 ———–> A* + HOO* AH + ROOH ———> RO* + H2O + A*

Gambar 2.4. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon, 1990 dalam Trilaksani, 2003)

Nilai aktivitas antioksidan suatu sampel dapat ditentukan menggunakan metode kemampuan mereduksi (reducing power). Metode ini didasarkan pada kemampuan antioksidan dalam pembentukan senyawa feriferosianida (Fe4[Fe(CN)6]3) berwarna biru berlin yang ditunjukkan dengan nilai absorbansi pada pengukuran 700 nm menggunakan spektrofotometer. Besarnya aktivitas antioksidan dapat diketahui setelah nilai absorbansi dikorelasikan dengan kurva standar K4Fe(CN)6(Yildrim dkk, 2001 dan Oyaizu, 1986 dalam Wang dkk, 2003).

2.7. Senyawa Fenolik

Senyawa antioksidan alami pada tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam, (d) peredam terbentuknya singlet oksigen (Pratt, 1992).


(11)

Secara kimiawi, senyawa fenolik dapat terdefinisikan sebagai kelompok senyawa kimia yang memiliki cincin aromatik yang berikatan dengan kelompok hidroksil ( -OH ). Adanya gugus hidroksil menyebabkan senyawa bersifat polar.

Gambar 2.5. Stuktur Senyawa Fenol

Senyawa fenolik terdistribusi luas dalam berjuta spesies tumbuh-tumbuhan dan sejauh ini lebih dari 800 struktur senyawa fenolik telah diketahui. Senyawa fenolik mampu meredam reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh yang pada akhirnya dapat menekan terjadinya penyakit kanker (Karunia, 2007).

Ada beberapa senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan telah berhasil diisolasi dari kedelai (Glycine max L. Merr), salah satunya adalah flavonoid. Flavonoid kedelai adalah unik dimana dari semua flavonoid yang terisolasi dan teridentifikasi adalah isoflavon. Isoflavon kedelai terutama berupa 7-O-monoglukosida-isoflavon, dimana bagian glikosidanya 100 kali bagian aglikonnya. Senyawa antioksidan alami isoflavon dari kedelai tersebut adalah 5,7,5’-trihidroksiisoflavon-7-0-monoglukosida (genistein) 7,4-dihidroksiisoflavon-7-0monoglukosida (daidzein), dan 7,4;-dihidroksi6-metoksi-isoflavon-7-0-monoglukosida (glycitein). Isoflavon lain dari kedelai adalah 6,7,4’-trihidroksiisoflavon yang hanya terdapat pada produk-produk kedelai terfermentasi (Pratt,1992). Pratt (1992), juga menyatakan senyawa fenolik berupa asam fenolat, diantaranya chlorogenic, isochlorogenic, caffeic, ferullic, p-coumaric, syiringic, vanillic dan p-hydroxybenzoic acids juga terdapat dalam kedelai. Baru-baru ini, ditemukan senyawa baru dalam tempe yang juga termasuk dalam golongan senyawa fenolik yaitu 3-Hydroxyanthranilic acid (Esaki dkk, 1996 dalam Pokorony dkk, 2003)


(12)

R1 R2 Komponen

H H Daidzein

OH H Genistein

H OCH3 Glisitein

H OH Faktor-II

Gambar 2.6. Struktur Kimia Isoflavon Aglikon

Gambar 2.7. Struktur 3-Hydroxyanthranilic acid

Kadar fenolik total suatu sampel dapat diuji dengan menggunakan metode Folin Ciocalteu. Kadar fenolik total pada sampel ditentukan oleh kemampuan sampel untuk mereduksi reagen Folin Ciocalteu yang mengandung senyawa asam fosfomolibdat-fosfotungstat berwarna kuning yang akan membentuk senyawa kompleks berwarna biru. Metode ini dapat mendeteksi semua golongan fenolik yang terdapat dalam sampel. Kandungan fenoliknya dapat distandarisasi antara lain dengan asam galat, katekin, asam tanat, dan asam kafeat (Prior dkk, 2005).

Na2WO4/ Na2MoO4 ( fenol – MoW11O40) 4-Mo (VI) (kuning) + e- Mo (V) (biru)


(1)

kapang menjadi optimum. Keadaan ini tidak mempengaruhi pertumbuhan kapang tetapi mencegah berkembangnya bakteri yang tidak diinginkan. Perendaman ini dapat menggunakan air biasa atau air yang ditambah asam asetat sehingga pH larutan mencapai 4-5 (Ali, 2008).

Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga kadar air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi sekitar 4,5–5,3. Bakteri yang berkembang pada kondisi tersebut antara lain Lactobacillus casei, Streptococcus faecium, dan Streptococcus epidermidis. Kondisi ini memungkinkan terhambatnya pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen dan pembusuk yang tidak tahan terhadap asam. Selain itu, peningkatan kualitas organoleptiknya juga terjadi dengan terbentuknya aroma dan flavor yang unik.

Proses hidrasi terjadi selama perendaman dan perebusan biji. Makin tinggi suhu yang dipergunakan makin cepat proses hidrasinya, tetapi bila perendaman dilakukan pada suhu tinggi menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri sehingga tidak terbentuk asam (Hidayat, 2008 dalam Dwinaningsih, 2010).

Sebagai akibat perubahan fermentasi kedelai, dihasilkan produk tempe yang lebih enak, lebih bergizi, dan lebih mudah dicerna dari pada kedelai. Salah satu faktor penting dalam perubahan tersebut adalah terbebasnya senyawa-senyawa isoflavon dalam bentuk bebas (aglikon), dan teristemewa hadirnya Faktor-II (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon), yang terdapat pada tempe tetapi tidak terdapat pada kedelai. Faktor-II ternyata berpotensi 10 kali lebih tinggi (dibanding dengan jenis isoflavon yang lainnya) sebagai antioksidan dan berperan sebagai antihemolitik, penurun tekanan darah, anti kanker, dan sebagainya (Karyadi dan Hermana, 1995).

Kedelai dorman mengandung glikosida isoflavon yang terdiri dari : 65% genistin, 23% daidzin dan 15% glisitin. Pratt dan Hudson (1985) dalam Mey (2009), melaporkan bahwa daidzin, genistin, dan glisitein yang terdapat pada biji kedelai dapat dihidrolisis oleh ß-glukosidase selama proses perendaman menjadi aglikon isoflavon dan glukosanya yaitu genestein (5,7,4’-trihidroksi isoflavon)


(2)

dan glukosa (1:1), daidzein (7,4’-trihidroksi isoflavon) dan glukosa (1:1) serta glisitein (6-metoksi-7,4’-dihidroksi isoflavon) dan glukosa (1:1).

Menurut Barz dan Papendorf (1991) dalam Mey (2009), Faktor II dapat terbentuk karena selama proses perendaman kedelai, ß-glukosidase akan aktif dan mengubah glisitin, genestin dan daidzin yang telah ada pada kedelai menjadi glisitein, genestein dan daidzein. Selanjutnya selama proses fermentasi kedelai direndam dengan Rhizopus oligosporus terjadi konversi lebih lanjut glisitein dan daidzein menjadi senyawa Faktor II. Menurut Sutikno (2009), antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteusdan Coreyne bacterium.

2.6 Antioksidan

Antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid. Antioksidan dinyatakan sebagai senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi.

Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) (Trilaksani, 2003).

Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck, 1991 dalam Trilaksani, 2003)


(3)

senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan.

Menurut Pratt dan Hudson (1990) dalam Trilaksani (2003), kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan.. Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt,1992). Menurut Pratt dan Hudson (1990) serta Shahidi dan Naczk (1950) dalam Trilaksani (2003), senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional.

Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon,1990 dalam Trilaksani, 2003). Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2.3). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990 dalam Trilaksani, 2003). Radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non radikal.


(4)

Inisiasi : R* + AH ———> RH + A* Radikal lipida Propagasi : ROO* + AH ——> ROOH + A*

Gambar 2.3. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990 dalam Trilaksani, 2003)

Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Gambar 2.4). Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sample yang akan diuji.

AH + O2 ———–> A* + HOO* AH + ROOH ———> RO* + H2O + A*

Gambar 2.4. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon, 1990 dalam Trilaksani, 2003)

Nilai aktivitas antioksidan suatu sampel dapat ditentukan menggunakan metode kemampuan mereduksi (reducing power). Metode ini didasarkan pada kemampuan antioksidan dalam pembentukan senyawa feriferosianida (Fe4[Fe(CN)6]3) berwarna biru berlin yang ditunjukkan dengan nilai absorbansi

pada pengukuran 700 nm menggunakan spektrofotometer. Besarnya aktivitas antioksidan dapat diketahui setelah nilai absorbansi dikorelasikan dengan kurva standar K4Fe(CN)6(Yildrim dkk, 2001 dan Oyaizu, 1986 dalam Wang dkk, 2003).

2.7. Senyawa Fenolik

Senyawa antioksidan alami pada tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai


(5)

Secara kimiawi, senyawa fenolik dapat terdefinisikan sebagai kelompok senyawa kimia yang memiliki cincin aromatik yang berikatan dengan kelompok hidroksil ( -OH ). Adanya gugus hidroksil menyebabkan senyawa bersifat polar.

Gambar 2.5. Stuktur Senyawa Fenol

Senyawa fenolik terdistribusi luas dalam berjuta spesies tumbuh-tumbuhan dan sejauh ini lebih dari 800 struktur senyawa fenolik telah diketahui. Senyawa fenolik mampu meredam reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh yang pada akhirnya dapat menekan terjadinya penyakit kanker (Karunia, 2007).

Ada beberapa senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan telah berhasil diisolasi dari kedelai (Glycine max L. Merr), salah satunya adalah flavonoid. Flavonoid kedelai adalah unik dimana dari semua flavonoid yang terisolasi dan teridentifikasi adalah isoflavon. Isoflavon kedelai terutama berupa 7-O-monoglukosida-isoflavon, dimana bagian glikosidanya 100 kali bagian aglikonnya. Senyawa antioksidan alami isoflavon dari kedelai tersebut adalah 5,7,5’-trihidroksiisoflavon-7-0-monoglukosida (genistein) 7,4-dihidroksiisoflavon-7-0monoglukosida (daidzein), dan 7,4;-dihidroksi6-metoksi-isoflavon-7-0-monoglukosida (glycitein). Isoflavon lain dari kedelai adalah 6,7,4’-trihidroksiisoflavon yang hanya terdapat pada produk-produk kedelai terfermentasi (Pratt,1992). Pratt (1992), juga menyatakan senyawa fenolik berupa asam fenolat, diantaranya chlorogenic, isochlorogenic, caffeic, ferullic, p-coumaric, syiringic, vanillic dan p-hydroxybenzoic acids juga terdapat dalam kedelai. Baru-baru ini, ditemukan senyawa baru dalam tempe yang juga termasuk dalam golongan senyawa fenolik yaitu 3-Hydroxyanthranilic acid (Esaki dkk, 1996 dalam Pokorony dkk, 2003)


(6)

R1 R2 Komponen

H H Daidzein

OH H Genistein

H OCH3 Glisitein

H OH Faktor-II

Gambar 2.6. Struktur Kimia Isoflavon Aglikon

Gambar 2.7. Struktur 3-Hydroxyanthranilic acid

Kadar fenolik total suatu sampel dapat diuji dengan menggunakan metode Folin Ciocalteu. Kadar fenolik total pada sampel ditentukan oleh kemampuan sampel untuk mereduksi reagen Folin Ciocalteu yang mengandung senyawa asam fosfomolibdat-fosfotungstat berwarna kuning yang akan membentuk senyawa kompleks berwarna biru. Metode ini dapat mendeteksi semua golongan fenolik yang terdapat dalam sampel. Kandungan fenoliknya dapat distandarisasi antara lain dengan asam galat, katekin, asam tanat, dan asam kafeat (Prior dkk, 2005).


Dokumen yang terkait

Respons Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine max .L Merill) Terhadap Pemberian Abu Vulkanik Sinabung dan Pupuk Kandang Ayam

2 44 84

Tanggap Tanaman Kedelai (Glycine mca L. Merill.) Terhadap Pemberian Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) dan Rhizobium Pada Tanah Ultisol

1 22 102

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktivitas Antioksidan dan Kadar Tempe Satu Kali Perebusan dari Kedelai (Glycine max L Merr) Lokal var. Grobogan dan Impor

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktivitas Antioksidan dan Kadar Tempe Satu Kali Perebusan dari Kedelai (Glycine max L Merr) Lokal var. Grobogan dan Impor T1 652007023 BAB I

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktivitas Antioksidan dan Kadar Tempe Satu Kali Perebusan dari Kedelai (Glycine max L Merr) Lokal var. Grobogan dan Impor T1 652007023 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktivitas Antioksidan dan Kadar Tempe Satu Kali Perebusan dari Kedelai (Glycine max L Merr) Lokal var. Grobogan dan Impor T1 652007023 BAB V

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aktivitas Antioksidan dan Kadar Tempe Satu Kali Perebusan dari Kedelai (Glycine max L Merr) Lokal var. Grobogan dan Impor

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Konsentrasi Inokulum Terhadap Kualitas Tempe Kedelai (Glycine Max (L.) Merr) Var. Grobogan

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Konsentrasi Inokulum Terhadap Kualitas Tempe Kedelai (Glycine Max (L.) Merr) Var. Grobogan

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbandingan Aktivitas Antioksidan dan Kadar Fenolik Total Tempe Ditinjau dari Komposisi Kedelai Lokal dan Impor

0 0 9