Strategi menciptakan kampung halaman (home) di kalangan kaum miskin kota : studi kaum miskin di RW 04, Kampung Sidomulyo, Kricak, Kelurahan Bener, Yogyakarta - USD Repository

  

TESIS

STRATEGI MENCIPTAKAN KAMPUNG HALAMAN

(HOME) DI KALANGAN KAUM MISKIN KOTA

  

Studi Kaum Miskin Kota di RW 04, kampung Sidomulyo, Kricak, Kelurahan

Bener, Yogyakarta.

  

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora

(M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata

Dharma, Yogyakarta

  

Pembimbing:

Dr. St. Sunardi

Dr. G. Budi Subanar, SJ

  

Hagung Hendrawan

NIM: 056322004

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

KATA PENGANTAR

  Kampung Sidomulyo adalah salah satu dari beberapa kampung di Yogyakrata dengan kategori kumuh. Pada tahun 1966 kebijakan pemerintah Yogyakarta dalam wujud rasia gabungan membawa akibat pada sejumlah besar gelandangan dan pengemis yang ada di pusat-pusat kota direlokasi pada sebuah tanah tegalan di wilayah Karangrejo di Selatan Kampung Sidomulyo. Sejak saat itu, sekitar 200 keluarga gelandangan dan pengemis tinggal di sana. Sampai selanjutnya pada 1976 mereka diminta meninggalkan barak penampungan di Karangrejo, dan untuk kemudian bersama-sama menempati lahan-lahan sewa di sebelahnya, yang kini adalah bagian dari RW 04 Kampung Sidomulyo. Penelitian ini tentang bagaimana pengalaman kaum miskin kota menciptakan dan menghidupi sebuah gagasan tentang kampung halaman mereka yang baru di kota? Bagaimana perasaan kerasan dan betah itu diupayakan dalam sebuah kondisi yang senantiasa mengalami penolakan dan keterasingan?

  Penelitian ini menjadi penting karena memberi sudut pandang yang berbeda dari penelitian lain tentang kelompok miskin kota di Yogyakarta yang jumlahnya tidak cukup banyak. Seperti misalnya, memberikan sudut pembacaan yang kurang bersifat positivistik dibandingkan cara Clinard dan Lewis membaca tentang kebudayaan mereka sebagai refleksi akan hadirnya sebuah kebudayaan kemiskinan atau kebudayaan pemukiman kumuh.

  Tesis ini dapat diwujudkan karena bantuan dari banyak pihak. Terutama adalah warga Sidomulyo yang menjadi subyek utama penelitian. Juga bantuan dari dosen pembimbing, Bapak Sunardi dan Romo G. Budi Subanar. Selain mereka berdua, yaitu adalah rekan-rekan yang dulu pernah dan sampai kini masih aktif dalam kegiatan di Yayasan Pondok Rakyat, seperti Tri dan Yoshi. Mereka berdua telah membantu saya menemukan orientasi penelitian, serta sumbangsih pada perolehan sumber-sumber literatur mengenai kampung di Yogyakarta. Akhirnya, yang paling memberikan motivasi adalah istri dan kedua anakku: Agnes, Wisang dan Bagas.

  Kepada mereka semua saya ucapkan banyak terimakasih, dan kepada mereka jugalah tesis ini saya persembahkan dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam penulisan. Bagi saya pribadi, tesis ini adalah pengalaman menulis yang sangat menyenangkan, menegangkan, serta memberi sejuta pengetahuan baru yang penting bagi kesadaran saya. Kajian budaya (cultural

  studies ) itu menarik, dan harus! Yogyakarta, 18 September 2009.

  Hagung Hendrawan

  

ABSTRAK

  Gelandangan, pengemis, anak-anak jalanan dan waria (atau dalam penulisan tesis ini disebut sebagai “Kaum Miskin Kota”), yang bermukim di kampung-kampung di sepanjang bantaran kali di Yogyakarta, merupakan orang- orang yang terasing dari kehidupan ekonomi, sosial dan politik kota. Keberadaan mereka sering dianggap sebagai sumber persoalan kota. Orang-orang ini sadar bahwa keberadaan mereka tidak pernah diterima di kota. Anehnya, banyak di antara mereka yang tidak ingin kembali ke desa asal, dan bahkan mengindentifikasikan kampung halaman (home) mereka justru di kota. Jika demikian halnya, bagaimanakah pengalaman orang-orang ini menghidupi gagasan tentang home mereka di kota? dan bagaimana pula cara kota mengasingkan mereka? Kedua hal inilah yang dipersoalkan dalam tesis ini. Penelitian dilakukan dengan mengkaji pengalaman kaum miskin kota yang bermukim di kampung Sidomulyo di Yogyakarta.

  Argumen yang dikembangkan dalam tesis ini yaitu, bahwa kaum miskin kota sesungguhnya merupakan sosok stranger, yang dekat secara fisik, tapi jauh secara sosial. Keberadaan mereka di kota dianggap sebagai ancaman, yang akhirnya melahirkan bentuk-bentuk penolakan, intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi oleh aparat negara dan juga oleh warga kota biasa. Selain berbagai aturan kebijakan dan program-program yang membatasi ruang gerak mereka, juga infrakstruktur fisik kota berikut fasilitas-fasilitas yang ada di dalamnya ibarat menara-menara panoptik yang berusaha menjauhkan orang-orang ini dari ranah- ranah publik di kota. Walaupun senantiasa dalam keadaan terasing, tidak berarti bahwa kelompok masyarakat marjinal ini menjadi pasif dan pasrah. Mereka senantiasa berusaha untuk kerasan dan betah, baik semasa dalam pengembaraan, maupun setelah menetap di sebuah kampung di kota. Seperti misalnya dengan cara membangun solidaritas dalam kelompok, berusaha mendapatkan status kependudukan legal, merubah fisik rumah dan kampung tempat tinggal, serta mengusahakan perijinan untuk menempati lahan-lahan yang menjadi hunian mereka. Pengalaman home yang lain barangkali berupa upaya mereka dalam mewujudkan relasi sosial yang hangat di dalam lingkungan keluarga. Selain itu, keterlibatan mereka dengan para aktivis dan organisasi-organisasi yang memperjuangkan hak-hak sipil kelompok ini, telah memberikan rasa aman dari tindakan represif aparat kota, bahkan telah menghasilkan peluang-peluang bagi mereka untuk memperdengarkan suaranya dan membela hak-hak sipil mereka sendiri.

  

DAFTAR ISI

  PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii PERNYATAAN .................................................................................................... iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv ABSTRAK ............................................................................................................ vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

  BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 A. Latar Belakang ............................................................................................. 1 B. Permasalahan ................................................................................................. 5 C. Signifikansi Penelitian ................................................................................... 5 D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 7 E. Kerangka Teoritis ......................................................................................... 11 F. Metodologi Penelitian .................................................................................. 17 G. Penyajian Tesis ............................................................................................ 18 BAB II KAMPUNG DAN PEMUKIMAN KUMUH DI YOGYAKARTA ..................... 20 A. Sejarah Kota Yogyakarta ............................................................................ 22 B. Kampung di Yogyakarta .............................................................................. 24 C. Kampung-kampung di bantaran kali ........................................................... 27

  1. Lingkungan Fisik Pemukiman Bantaran Kali ....................................... 31

  2. Jenis Pekerjaan ...................................................................................... 32

  3. Citra Hitam ............................................................................................ 33

  4. Tingkatan Sosial .................................................................................... 35

  D. Perbaikan dan memudarnya citra hitam kampung ..................................... 37

  E. Kesimpulan .................................................................................................. 41

  BAB III PEMUKIMAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI SIDOMULYO .......... 43 A. Sejarah Kampung Sidomulyo ...................................................................... 43 B. Lingkungan Fisik ......................................................................................... 49

  F. Kegiatan Pembinaan ..................................................................................... 72

  G. Kesimpulan .................................................................................................. 74

  BAB IV MENCIPTA KAMPUNG HALAMAN ................................................................ 77 A. Gelandangan sebagai the Object of Fear .................................................... 78

  1. Desa sebagai lingkungan yang asing ..................................................... 81

  2. Kota yang memusuhi ............................................................................. 83

  3. Terasing dari ruang-ruang simbol modernitas kota ............................... 90

  4. Pengalaman-pengalaman keterasingan ................................................ 93

  5. Bersedekah sebagai wujud dilema kota atas keberadaan kaum miskin kota ................................................................................. 94

  6. Kesimpulan ............................................................................................ 96

  B. Mencipta Kampung Halaman di Kota ......................................................... 97

  1. Kampung halaman semasa mengembara .............................................. 98

  2. Memperoleh Legalitas sebagai Warga Kota ....................................... 102

  3. Membangun Rumah dan Kampung ..................................................... 104

  4. Keluarga sebagai Home ....................................................................... 108

  5. Aktivis dan Perorganisasian Massa ..................................................... 112

  C. Narasi yang lain ......................................................................................... 114

  1. Home dalam budaya bertahan hidup dan kekerasan ........................... 115

  2. Sebuah pengalaman home yang mengambang .................................... 119

  BAB V. PENUTUP ............................................................................................. 121 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang

  menghadapi persoalan urbanisasi. Arus urbanisasi dan ledakan penduduk di luar kemampuan daya dukung kota, membawa akibat terhadap pengaturan tata ruang kota yang umumnya tidak menguntungkan kaum miskin kota yang marjinal. Kaum miskin kota ini semakin terdesak ke daerah pinggiran kota, ke perkampungan kumuh, dan atau menduduki wilayah kosong untuk di huni.

  Kampung dan pemukiman mereka biasanya tidak mempunyai fasilitas publik seperti jalan atau air bersih yang memadai. Pemukiman mereka sangat padat, kotor, dan semrawut. Kampung-kampung tempat tinggal mereka sering disebut sebagai sumber persoalan Kota.

  Kampung-kampung seperti Badran, Code, Kricak, Sidomulyo, Papringan, Nggedangan, Tukangan dan Juminahan adalah contoh perkampungan yang terletak di bantaran-bantaran kali di Yogyakarta. Perkampungan tersebut pernah, dan masih dikategorikan sebagai kampung kumuh dan liar. Kampung-kampung ini menjadi tempat tinggal kaum miskin kota seperti gelandangan, pengemis, anak-anak jalanan dan waria yang datang ke Yogyakarta untuk mencari penghidupan yang lebih baik ketimbang kehidupan mereka terdahulu di desa asal.

  Selain bermukim di perkampungan semacam itu, kaum miskin kota yang lain juga

  2

  

1

  kereta api yang sudah tidak beroperasi . Sebagian hunian lainnya dapat dapat dijumpai di sudut-sudut belakang pasar.

  Pemukiman-pemukiman kaum miskin kota semacam ini lekat dengan citra hitam karena cara hidup penghuninya yang dipandang tidak sesuai dengan aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Profesi mereka secara sosial dianggap rendah, seperti sebagai pemulung, penarik becak, pengamen. Selain dianggap rendah, orang-orang di permukiman kumuh juga dianggap mempunyai profesi yang lekat dengan persoalan moralitas dan tindak kejahatan seperti pencuri, penjudi, tukang pukul, gali, pekerja seks. Selain profesi mereka yang dipandang rendah, wilayah tempat tinggal mereka yang ”tidak lumrah”, gelap gulita di antara tanaman perdu dan ilalang yang tinggi dengan rumah-rumah seadanya yang berdiri di atas tanah-tanah bekas kuburan semakin memperburuk citra penghuninya. Gubuk-gubuk tempat tinggal mereka kerap dianggap sebagai tempat persembunyian para pencuri, tempat berjudi, dan juga praktik-praktik prostitusi. Keadaan ini semakin melengkapi dan menegaskan anggapan bahwa kampung-kampung seperti ini adalah kampung tempat tinggal orang-orang tidak baik.

  Perkampungan kumuh dan liar ini jumlahnya tidak menyusut, melainkan terus bertambah dan menyebar dari pusat-pusat kota sampai ke wilayah pinggiran.

  Rumah-rumah yang baru bertambah banyak dari hari ke hari, dan rumah-rumah 1 yang lama disewakan dan diperjual belikan kepada pendatang-pendatang yang

  

Misalnya di stasiun Prambanan, Tugu dan Lempuyangan. Anak-anak muda (atau biasa disebut

  3 baru. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan fisik kota, rumah- rumah liar yang dahulu gubuk, kini berubah menjadi lebih permanen, ada juga yang dibangun bertingkat. Jalan-jalan dan ruang-ruang kampung ditata rapi, tidak lagi kotor dan kumuh. Bantaran kali juga tidak gulita karena listrik sudah masuk. Saluran air minum resmi juga tersedia sampai ke rumah-rumah. Beberapa kampung bahkan berubah status dari ilegal menjadi legal, seperti misalnya Ledok Code di Gondolayu yang kini secara resmi berada dalam wilayah kelurahan Kotabaru. Walaupun demikian, anggapan sebagai kampung kumuh dan tempat tinggal orang-orang ”tidak baik” sulit dihilangkan dari benak masyarakat kebanyakan.

  Sampai sekarang, diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum miskin kota masih saja terjadi, sebagaimana yang diungkapkan dalam surat pembaca di harian Kedaulatan Rakyat tanggal 4 Juli 2002 berikut:

  ”.. Masyarakat dan pedagang Pasar Prambanan merasa resah dan gelisah dan menahan diri dengan keberadaan anak-anak jalanan yang tinggal di los pasar Prambanan sebagai rumah singgah. Kami heran kok bisa los pasar yang tadinya dibangun untuk menampung para pedagang buah yang tersebar di halaman pasar berubah fungsi menjadi rumah singgah. Adakah pejabat yang menerima upeti dari pengelola rumah singgah? Ulah anak jalanan yang memuakkan, bahkan berulangkali melakukan pencurian di sekitar pasar itu menunjukkan bahwa dana untuk mengelola rumah singgah anak jalanan menjadi sia-sia? Kami mohon pemerintah segera memindahkan rumah singgah dan dikembalikan sebagaimana fungsinya. Kami tidak ingin rumah singgah tersebut dipindah sendiri oleh masyarakat. Bila budaya menghakimi sendiri itu terjadi, tentu saja akan mengurangi wibawa pemerintah. Ibaratnya Pemda menyimpan bom waktu yang setiap saat bisa meledak”.

  2

  4 Sebenarnya penghuni kampung kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat di pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin. Frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada mencerminkan kesemrawutan tata ruang dan

  3

  ketidakberdayaan ekonomi penghuninya. Orang-orang yang menempati pemukiman di sepanjang bantaran kali berbeda secara sosial, ekonomi, politik dengan umumnya masyarakat di kota. Kategori-kategori budaya yang berkembang diantara mereka barangkali pula berbeda dengan kebanyakan warga kota.

  Keadaan mereka yang serba marjinal dan menempati pemukiman dengan label ilegal, liar, dan kumuh disinyalir membawa pada bentuk kebudayaan yang spesifik.

  Penelitian ini bertujuan mengkaji pengalaman kelompok miskin kota dalam upaya mereka menciptakan dan memaknai rumah tinggalnya. Dengan cara apakah pengalaman home pada kelompok ini diupayakan dan dipelihara? Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pengalaman home mereka dibandingkan kebanyakan warga kota?

  Lokasi penelitian bertempat di RW 04 di kampung Sidomulyo, Kricak, Kelurahan Bener, Yogyakarta. Tempat ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena

  5 orang-orang yang kini bermukim di kampung ini merupakan kaum miskin kota yang dahulunya adalah gelandangan, pengemis, anak-anak jalanan dan waria di Yogyakarta sebelum pindah dan menetap di kampung. Sebagian besar dari mereka telah mendiami rumah-rumah di Sidomulyo selama lebih dari 40 tahun.

  B. Permasalahan

  Pokok persoalan dalam tesis ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah bagaimanakah kota telah mengasingkan keberadaan kaum miskin kota? dan pengalaman apakah yang dialami oleh kaum miskin sehubungan dengan pengasingan oleh kota? Kedua, adalah apabila kota senantiasa mengasingkan keberadaan mereka, lalu bagaimanakah perasaan betah kerasan dan betah diciptakan dan dihidupi? atau bagaimanakah pengalaman kaum miskin kota menghidupi gagasan tentang home mereka di kota yang telah mengasingkan keberadaan mereka?

  C. Signifikansi penelitian

  Pertama, tidak banyak penelitian mengenai pemukiman ilegal di kota-kota di Indonesia, termasuk di Yogyakarta. Dengan demikian, kita dapat berkesimpulan bahwa pemahaman kita akan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan kelompok masyarakat marjinal ini dapat dikatakan masih kurang. Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan kita tentang kehidupan masyarakat pada hunian-hunian liar. Dengan demikian diharapkan dapat dipergunakan bagi para aktivis LSM, otoritas pemerintah, media massa dan pelajar sekolah-sekolah.

  6

  4

  5 Kedua, penelitian-penelitian terdahulu seperti Clinard dan Lewis

  menyimpulkan bahwa kebudayaan di kampung-kampung kumuh berbeda secara

  6

  7

  tegas dengan kebudayaan warga kota kebanyakan. Guiness , Khudori dan

8 Hasyim sedikit banyak sepakat bahwa ciri-ciri kebudayaan kemiskinan seperti

  yang dipaparkan oleh Clinard memang sungguh ada pada warga di pemukiman ilegal. Meski demikian, proses-proses perubahan dari kampung ilegal, hitam dan kumuh menjadi kampung lumrah dan baik-baik tidak mendapat tempat oleh penelitian-penelitian sebelumnya, dan bagaimana proses perubahan itu dijelaskan? Simbol-simbol kebudayaan manakah yang ”digantikan?” dan digantikan dengan simbol yang bagaimana? Bagaimanakah hybriditas kebudayaan yang terbentuk karena persentuhan dengan kebudayaan kota?

  Ketiga adalah peningkatan laju urbanisasi yang tinggi mengakibatkan apa

  9

  yang disebut dengan gejala urbanisation of poverty , yaitu perpindahan penduduk desa mencari peruntungan di kota-kota besar, dan mengakibatkan terkonsentrasi dan meluasnya penduduk miskin ke wilayah-wilayah perkotaan. Pemahaman akan persoalan-persoalan hunian ilegal di kota-kota diharapkan berkontribusi pada penyusunan kebijakan dan strategi kesiagaan untuk mengurangi gejala dan 4 dampak di masa mendatang.

  

Clinard Marshal B, “Slums and Community Develoment. Experiment in Self-Help”, New York,

5 The Free Press, 1970 6 Lewis Oscar, “The Culture of Poverty”, Trans-Action I, November 1963

Guiness, Patrict. “Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung”, Singapore Oxford

7 University Press, Oxford New York, 1986

Khudori, Darwis, ”Menuju Kampung Pemerdekaan. Membangun masyarkat Sipil dari Akar-

akarnya. Belajar dari Romo Mangun di Kali Code”, Yayasan Pondok Rakyat, Yogyakarta 2002

  7 D.

   Tinjauan Pustaka

  Budaya Kemiskinan mudah ditemui di daerah-daerah kumuh di seluruh dunia, khususnya negara-negara berkembang. Mereka biasanya adalah para gelandangan, pengemis, anak jalanan, asongan, pekerja seks komersial, dan pelaku tindak kejahatan seperti pencopet dan pencuri. Mereka hadir di kota-kota besar, di stasiun kereta api, terminal bis, pusat-pusat pertokoan, lokalisasi prostitusi, dan belakang pasar. Orang-orang ini bermukim di gubuk-gubuk seadanya, dan mendiami bilik-bilik sempit untuk ditempati beramai-ramai. Hunian-hunian liar semacam ini, mudah dijumpai di sepanjang lintasan kereta api, tempat pembuangan sampah, bawah jalan tol dan penyebrangan, sepanjang bibir-bibir sungai, atau di kampung-kampung padat di belakang kawasan pertokoan. Kawasan pemukiman mereka disebut sebagai sarang pertumbuhan kejahatan, perjudian, dan kenakalan remaja, dan disebutkan bahwa orang-orang ini sulit keluar dari budaya semacam itu. Seolah-olah budaya ini diwariskan oleh lingkungannya kepada generasi-generasi selanjutnya. Inilah kurang lebih gambaran mengenai budaya

  10

  kemiskinan menurut Oscar Lewis . Selanjutnya, Clinard menyebut ada tiga ciri dominan pada pemukiman kumuh, yaitu perilaku yang menyimpang, budaya

  11 pemukiman kumuh, serta apatisme dan keterasingan sosial .

  Seperti Lewis, Clinard menunjukkan ciri perilaku menyimpang seperti kejahatan dan kenakalan remaja, pelacuran, perjudian dan minuman keras mudah dijumpai di pemukiman kumuh. Kebudayaan pemukiman kumuh kurang lebih serupa dengan budaya kemiskinan, di mana pada pemukiman kumuh kehidupan

  8 berbentuk kelompok-kelompok, berpusat di suatu kawasan di mana mudah ditemukan kawan, warung, dan tempat peminjaman uang. Tidak ada keterpisahaan antara ruang privat dan publik. Kekacauan dan keributan antara penduduk jarang reda, kehidupan diwarnai spontanitas, pergaulan yang lebih bebas, dan pengalaman seksual lebih dini. Kekerasan lebih dihargai dibandingkan diplomasi, dan toleransi yang tinggi terhadap kenakalan, kejahatan dan perilaku menyimpang lainnya. Selain itu, ada semacam sikap penuh curiga dengan dunia luar, seperti pegawai pemerintah, politisi, pekerja sosial, dan golongan orang kaya atau menengah. Fasilitas umum tidak digunakan semestinya, dan cenderung dianggap sebagai ancaman yang berasal dari orang luar. Pengangguran, keinginan menabung rendah, termasuk ketiadaan cadangan makanan, dan biasanya hadir praktik-praktik pegadaian dan lintah darat. Mengenai apatisme dan keterasingan sosial, Clinard menyebutkan bahwa penghuni pemukiman kumuh turut membatinkan kepada dirinya sendiri tentang apa yang dibatinkan oleh masyarakat kebanyakan mengenai diri mereka. Masyarakat umum sering beranggapan bahwa penampilan fisik dan kesulitan hidup orang-orang di pemukiman kumuh adalah pencerminan dari ”inferioritas alami” (natural inferiority) mereka, atau singkatnya dianggap sebagai manusia rendah, atau mahluk yang rendah. Anggapan ini mengakibatkan keterasingan mereka dari masyarakat luas, keterlemparan dari partisipasi sosial, ekonomi dan politik perkotaan, dan tidak memungkinkan untuk berkomunikasi atau memperdengarkan suaranya. Kenyataan ini secara timbal- balik menghasilkan apatisme.

  9 Pendapat Lewis dan Clinard menuai kritik bahwasannya kondisi keterpurukan kelompok miskin kota tidaklah disebabkan oleh adanya ”budaya kemiskinan” atau perilaku dan nilai yang hidup pada si miskin, melainkan oleh adanya ketimpangan struktur dalam sistem sosial keseluruhan. Mangin, juga McGee mengemukakan konsep alternatif mengenai ”petani di kota” yang melihat bahwa kebanyakan kelompok miskin kota adalah petani yang hijrah ke kota, yang berusaha mengintegrasikan atau mengadaptasikan kebudayaan desa dengan kebudayaan kota. Dengan demikian dapat dijelaskan mengapa kelompok miskin kota cenderung bekerja dalam sektor ekonomi informal ketimbang berada di sektor formal. Hal ini lebih dikarenakan orang-orang desa yang bermigrasi ini tidak mempunyai akses dan ketrampilan yang memadai untuk dapat berpartisipasi

  12

  ke dalam sektor ekonomi formal . Gejala hadirnya pemukiman kumuh lebih disebabkan masuknya ekonomi kapitalis ke pedesaan yang penduduknya padat, dan secara struktural diperas oleh perkotaan. Seperti dalam revolusi hijau, yang mengakibatkan ketergantungan pedesaan terhadap masukan dari luar.

  Kongkritnya, petani-petani di desa tidak bisa mandiri lagi, mereka membutuhkan traktor, bibit unggul, pestisida, mesin giling, pupuk, yang semuanya harus didatangkan dari kota. Keadaan ini mengakibatkan matinya sistem produksi pedesaan, dan pengangguran di desa-desa, yang pada gilirannya memaksa 12 perpindahan penduduk desa ke kota. Hanya kawasan-kawasan seperti di bantaran

  

Sektor ekonomi informal adalah kebalikan dari sektor ekonomi formal, yaitu dimana usaha

ekonomis ditandai dengan ciri-ciri yang mudah dimasuki oleh siapa saja (tanpa memerlukan

ketrampilan khusus), bertumpu pada sumberdaya lokal, biasanya kegiatan ekonomi berbasis

  10 kali, dan sepanjang rel kereta api yang dapat bersahabat dengan mereka, karena untuk tinggal, tempat lain yang lebih baik tidaklah mungkin secara materi. Pekerjaan-pekerjaan seperti penjaja makanan, asongan, tukang becak, pemulung, adalah hal yang memang paling bisa dilakukan untuk bertahan hidup: sebuah pekerjaan yang tidak perlu ketrampilan khusus dan perijinan yang resmi.

  Keadaan ini mengungkapkan bahwa penghuni pemukiman kumuh itu secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik berusaha berintegrasi dengan kehidupan masyarakat kota, meski justru merugikan mereka. Secara sosial mereka mempunyai teman, kelompok, dan juga berorganisasi. Mereka tidak berkehendak kembali ke desa, bahkan mengidentifikasikan ”rumah”-nya adalah di kota bukan di desa. Mereka berkehendak memperoleh pelayanan atau memanfaatkan fasilitas dan kelembagaan kota, tetapi tidak diterima. Kehadiran mereka tidak diakui atau ditolak. Mereka tidak dilayani oleh sistem birokrasi pemerintah, ditolak di rumah- rumah-sakit, di institusi-institusi resmi orang kota.

  Secara budaya, pemukim ini dipandang rendah, dilarang masuk ke kampung-kampung ”resmi” saat memulung sampah, disebut-sebut sebagai sumber kekerasan, kesemrawutan dan persoalan-persoalan moralitas kota. Secara ekonomi, pekerjaan-pekerjaan yang mereka lakukan menyumbang pada pertumbuhan ekonomi kota. Mengolah sampah, memasok barang mentah, menghasilkan barang konsumsi murah, tetapi tidak dapat mengakses pinjaman resmi, atau memperoleh pekerjaan formal. Mereka harus berusaha dengan kekuatan sendiri agar bisa terus bertahan hidup. Orang-orang ini juga tidak apatis

  11 oleh negara dan elit kota, seperti pada kasus-kasus penggusuran, razia preman, dan pemenjaraan. Dapat disimpulkan bahwa, mereka berada di pemukiman kumuh atau liar bukanlah disebabkan oleh adanya budaya kemiskinan melainkan karena mereka dibuat sedemikian rupa oleh struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya kota sehingga mereka miskin.

E. Kerangka Teoritis

  Penjelasan tentang pemukiman kumuh dan liar yang ada selama ini

  13 dibedakan dari dua sudut teori, yaitu teori marjinalitas dan teori ketergantungan .

  Teori marjinalitas melihat gejala pemukiman kumuh sebagai hasil dari kepindahan penduduk di pedesaan ke perkotaan yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik tidak berintegrasi dengan kehidupan kota. Secara sosial penghuni pemukiman kumuh mengalami disorganisasi internal dan isolasi ekternal. Secara budaya, mereka mengikuti pola hidup tradisional pedesaan dan terkungkung dalam budaya kemiskinan sebagaimana diungkapan oleh Lewis dan Clinard. Secara ekonomi, mereka hidup seperti parasit karena lebih banyak menyerap sumber-sumber daya kota ketimbang menyumbang pada pertumbuhan kota, boros, konsumtif dan cepat puas. Secara politik, mereka cenderung apatis, dan enggan berpartisipasi dalam kehidupan politik, mudah terpengaruh oleh gerakan-gerakan politik revolusioner karena kondisi frustasi mereka, disorganisasi sosial dan ketidakpastian masa depan yang mereka alami.

  12 Kebalikan dengan teori marjinalitas, teori ketergantungan memandang bahwa kondisi keterpurukan kelompok miskin kota disebabkan oleh adanya ketimpangan struktur dalam sistem sosial keseluruhan, atau singkatnya, teori ini menyimpulkan bahwa penghuni di pemukiman kumuh merupakan sekelompok masyarakat yang secara sosial ditolak, secara budaya dihina, secara ekonomi diperas dan secara politik ditekan oleh struktur-struktur dominan masyarakat yang ada. Mereka tinggal dan hidup di pemukiman kumuh bukan karena marjinal atau berbudaya kemiskinan melainkan karena sistem sosial masyarakat luas memaksa mereka menjadi marjinal.

  Teori ketergantungan dipandang lebih mendekati kenyataan, dan lebih membantu dalam menyelesaikan masalah kemiskinan di perkotaan, dan lebih khusus lagi persoalan pemukiman kumuh di kota. Berpedoman pada ini, persoalan pemukiman kumuh berarti penyelesaian terhadap “akses” kelompok miskin kota terhadap sistem sosial politik dan ekonomi, serta mengurangi dominasi kebudayaan kemiskinan yang memenjarakan kelompok ini. Menurut Parwoto (1985), akar penyelesaian pemukiman sesungguhnya tidak bertolak dari kondisi fisik atau pemukiman tersebut, melainkan bermula dari cara pandang “pola dasar” berpikir sebagai titik tolak untuk memilih, merumuskan dan mengembangkan

  14 teori sebagai landasan definisi dan tindakan” .

  Selanjutnya cara-cara pandang yang ada, dalam praktiknya menghasilkan dua jenis tindakan dalam penyelesaian persoalan pemukiman di perkotaan.

  Kelompok cara pandang pertama (yaitu paradigma ekonomi, kesejahteraan, dan

  13 penolakan, berikut cabang-cabangnya) memandang perumahan dari dua solusi terpisah, yaitu perumahan atau hunian sebagai obyek, dan penghuni sebagai subyek yang harus dilayani. Pemerintah dianggap sebagai satu-satunya lembaga yang paling bertanggung-jawab sekaligus juga yang paling tepat dan mampu. Sumber-sumber daya dikelola melalui sistem kontrol terpusat.

  Kelompok kedua, yang diwakili oleh Paradigma Sumber Daya, melihat pembangunan perumahan sebagai hubungan antara unsur-unsur pendapatan, harga perumahan, biaya perumahan dan aset. Istilah aset mengacu kepada keseluruhan sumberdaya yang dimiliki oleh penghuni, termasuk kependudukan, informasi, tanah, dan lainnya. Dengan demikian pemerintah dipandang sebagai fasilitator ketimbang pemrakarsa yang memberikan iklim kondusif bagi penghuni di pemukiman kumuh untuk membangun perumahan mereka sendiri. Paradigma ini membawa pada tindakan yang mendudukkan penghuni sebagai pelaku utama, sedangkan tugas pemerintah dan industri lebih mendorong prakrasa mereka sebagai titik tolak proyek pemukiman.

  Paparan di atas menunjukkan bahwa kebudayaan pemukiman kumuh benar-benar berlainan dengan kebudayaan warga kota dan kampung lumrah kebanyakan. Hal yang justru membawa pada stigmatisasi bagi penghuni pemukiman kumuh, berikut dampak-dampak lanjutannya, seperti misalnya tindakan kekerasan oleh aparat negara dan oleh masyarakat biasa. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kebudayaan pemukiman kumuh tidaklah berbeda secara tegas dengan kebudayaan masyarakat kota umumnya. Guiness,

  14 atau kelas-kelas sosial, tetapi juga hidup gagasan mengenai kerukunan yang

  15

  menghasilkan ”harmoni” . Dikatakan bahwa perkelahian antar warga kampung jarang terjadi, dan kalaupun ada mudah diselesaikan. Di sana ada semacam gagasan solidaritas antar penghuni ilegal, dan hadir berbagai saluran komunikasi melalui berbagai jalur-jalur informal seperti misalnya profesi dan paguyuban-

  16

  paguyuban tukang becak, tukang parkir dan sebagainya . Guiness dan Hasyim sedikit banyak memberikan pandangan bahwa penghuni kampung ilegal tidaklah berbeda secara tegas dengan warga kota kebanyakan.

  Dalam perkembangannya, kampung Code di kelurahan Kotabaru Yogyakarta merupakan salah satu kampung liar dan tidak baik, yang telah mengalami perubahan secara fisik dan sosial, menjadi kampung legal dan baik- baik. Di sana, ada perubahan simbol-simbol kebudayaan dari yang ilegal menjadi legal, dari yang kumuh menjadi rapi. Pekerjaan-pekerjaan perbaikan tata-ruang dan hunian-hunian warga di kampung Code oleh Romo Mangun (tahun 1983- 1987) adalah salah satu contoh penggantian tanda kebudayaan dari yang kumuh, liar, tidak teratur, menjadi tanda kebudayaan yang bersih, rapi, dan indah.

  Dalam Postmodern ethic, Bauman berusaha memetakan berbagai pendekatan mengenai konsep stranger untuk menganalisis kebudayaan masyarakat modern. Stranger adalah bukan tetangga (neighbor), bukan pula sosok asing (aliens) tapi sekaligus merupakan keduanya. Mereka adalah sosok asing yang

  17

  dekat secara fisik sekaligus tetangga yang jauh secara sosial . Dia mengatakan bahwa dalam masyarakat konsumsi, seorang stranger bisa menjadi daya tarik

  15 karena perbedaan yang dimiliki, misalnya dalam turisme. Walaupun demikian,

  

stranger lebih banyak menciptakan kepanikan, atau oleh Bauman disebut sebagai

  obyek ketakutan (stranger as object of fear) yang senantiasa menciptakan

  18

  perasaan terancam . Kaum miskin kota barangkali merupakan sosok stranger sebagaimana diutarakan oleh Bauman. Mereka ini dekat secara fisik tapi jauh secara sosial, dan keberadaannya merangsang timbulnya kepanikan dan perasaan terancam. Sehingga bisa dipahami, kenapa keberadaan mereka selalu diupayakan untuk ditertibkan oleh aparat negara, misalnya dengan menerapkan berbagai kebijakan dan program untuk mencegah kehadiran dan menertibkan keberadaan miskin kota dari wilayah-wilayah publik di perkotaan. Seperti penerapan sejumlah persyaratan untuk mendapatkan KTP (bagi yang sudah lama bermukim) dan KIPEM (kartu Identitas Penduduk Musiman) bagi pendatang baru atau penduduk sementara, membuat diskriminasi pelayanan bagi pendatang sementara/non- permanen dan menindak serta memberikan sanksi bagi pelanggar administrasi

  19

  kependudukan , termasuk pembangunan tempat-tempat penampungan gelandangan dan pengemis, dan pembangunan rumah-rumah singgah untuk anak- anak jalanan oleh Dinas Sosial.

  Perasaan terancam oleh karena keberadaan kaum miskin kota juga terjadi pada masyarakat biasa. Wujud dari perasaan terancam tersebut, berlanjut pada bentuk penolakan yang dapat dengan mudah ditemui di gang-gang kampung, 18 seperti hadirnya papan bertuliskan ”pemulung dilarang masuk”. Perasaan terancam

  

Mike Featherstone, “Global culture: nationalism, globalization, and modernity : a Theory,

  16 oleh kehadiran kaum miskin kota ini dapat menghasilkan kepanikan yang meluas, yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi suatu tindakan represif seperti razia, penangkapan, dan pemulangan paksa. Barangkali pula oleh karena kaum miskin kota adalah obyek ketakutan bagi simbol modernitas kota, maka citra hitam dan stigma-stigma buruk atas keberadaan mereka di tengah masyarakat kota menjadi langgeng.

  Melihat kenyataan ini, barangkali rumah-tinggal (home) merupakan sebuah

  20

  pengalaman yang traumatik sebagaimana banyak diberitakan oleh media-media massa (khususnya televisi) ketika terjadi tindakan penggusuran oleh negara terhadap pemukiman yang tidak memiliki ijin resmi.

  Definisi home sendiri pada dasarnya tersusun atas sebuah dikotomi yang membatasi siapa orang-dalam (inside home) dan siapa orang-luar (outside home);

  21 pelanggaran atas batas-batas ini, menghadirkan kegelisahan bagi orang-dalam .

  Oleh sebab itu, selama hadir sebuah artikulasi atas sebuah gagasan atau visi tentang home, maka akan selalu hadir sebuah sosok imajiner orang luar. Dalam wilayah domestik, artikulasi ini bisa berwujud dalam peningkatan sistem keamanan hunian rumah tangga, membangun pagar tinggi, dan tembok-tembok dengan kawat berduri atau pecahan-pecahan kaca. Selain itu, pengalaman home selalu memiliki beberapa aspek akan hadirnya pengalaman memperoleh perasaan aman, relasi yang hangat, dan kendali atas privasi dan properti. Hasil pengamatan 20 Hebdige terhadap kelompok pekerja kelas bawah di Inggris mengemukakan bahwa

  

David Morley, ”Home Territories: Media, Mobility, and Identity”, Routledge. Place of

  17 konsep kewarganegaran tidak berakar pada ketersediaan ruang, melainkan ditentukan oleh kepemilikan atas properti. Serupa dengan Hebdige, dalam analisisnya tentang politik representatif homeless, Neil Smith mengatakan bahwa keberadaan mereka di ruang-ruang publik di kota sering kali berbenturan dengan struktur kekuasaan yang senantiasa mengusahakan agar keberadaan mereka dihapuskan dari wilayah publik – misalnya dipindahkan ke tempat penampungan atau ke taman-taman kota, dipaksa meninggalkan gedung-gedung terlantar yang dijadikan tempat tinggal mereka. Ada semacam upaya secara terus menerus untuk menghapus kehadiran para homeless dari ruang-ruang publik di pusat-pusat kota.

  Lebih lanjut, Heller dan Vincent Descomber mengatakan bahwa gagasan tentang

  

home tidak (selalu) memerlukan kehadiran ruang fisik, melainkan sebagai ruang

  virtual (ruang yang dibayangkan), di mana seseorang yang berada dalam ruang

  22 virtual itu merasa diterima tanpa banyak catatan kaki .

F. Metodologi Penelitian

  Pada awalnya penelitian dilakukan secara grounded research dengan cara melakukan penelitian partisipatoris berupa pengamatan di wilayah penelitian dan berbicara dengan berbagai orang dari kaum miskin kota yang tinggal di Sidomulyo. Hal ini dimaksudkan untuk membantu peneliti merumuskan pokok persoalan tesis dan menyusun kerangka teoritis yang tepat untuk menjawab pokok persoalan tersebut. Selanjutnya, penelitian dilakukan dengan cara menelusuri informasi sekunder, diskusi-diskusi kelompok, observasi partisipatif dan

  18 akan dipilih individu-individu dari kelompok miskin kota, warga biasa, unsur pemerintah, dan pekerja kemanusiaan. Observasi partisipatif, berarti peneliti akan berkunjung di kampung-kampung, bertemu dan berbincang-bincang dengan masyarakat, dan mengamati keseharian individu-individu dan kelompok tertentu.

G. Penyajian tesis

  Bagian pertama dari penulisan tesis ini dimulai dengan gambaran singkat mengenai bidang yang hendak diteliti baik secara obyektif dan juga subyektif; meliputi latar belakang penelitian, masalah penelitian, metode dan signifikasi penelitan. Dalam Bab pendahuluan dipaparkan pula secara ringkas mengenai tema-tema dari hasil-hasil penelitian tentang bidang dan topik kajian serupa yang telah dilakukan oleh penelitian-penelitian lain, dan dilanjutkan dengan pertanyaan mengapa tema ini masih penting untuk diteliti. Bab ini juga memuat tentang rumusan masalah yang hendak dikaji melalui penelitian ini, serta secara ringkas menuliskan tentang Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis yang digunakan dalam penelitian.

  Bab II dari tesis ini merupakan latar belakang historis sebagai setting empiris. Bagian ini menceritakan setting sosio historis kota Yogyakarta sebagai wilayah di mana penelitian ini berlangsung. Pada Bab ini akan diulas secara singkat mengenai sejarah kota Yogyakarta, dan selanjutnya mengenai perkembangan kampung-kampung di Yogyakarta yang awal mulanya berangkat

  19 pertumbuhan fisik dan ekonomi kota. Keberadaan kampung-kampung kumuh di bantaran kali di Yogyakarta di bahas secara singkat yang meliputi lingkungan fisiknya, asal usul dan jenis profesi penghuninya serta citra hitam yang melekat padanya. Selanjutnya dipaparkan pula mengenai program-program perbaikan kampung yang turut menyumbang pada memudarnya citra hitam kampung- kampung seperti ini.

  Bab III berupa deskripsi mengenai lingkungan fisik dan sosial di mana kelompok sosial yang menjadi subyek penelitian ini bermukim, yaitu di RW 04, Kampung Sidomulyo, Kricak, Kelurahan Bener, Yogyakarta. Pembahasan meliputi sejarah kampung Sidomulyo yang terkait dengan keberadaan kelompok miskin kota yang bermukim di Sidomulyo, perkembangan lingkungan fisik kampung dan pemukiman. Dilanjutkan dengan deksripsi mengenai asal-usul dan pekerjaan kelompok miskin kota di sana, serta keseharian di kampung dan kategori sosial, tingkat ekonomi serta citra hitam yang melekat pada pada pemukiman itu.

  Bab IV yaitu analisis dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama membahasa tentang miskin kota sebagai the object of fear, yaitu membahas tentang pengalaman keterasingan miskin kota. Bagian kedua yang menjadi pokok permasalan dari tesis ini, membahas tentang pengalaman miskin kota memaknai dan menciptakan kampung halaman (home) mereka sejak dalam masa pengembaraan dari kota ke kota, ataupun setelah mereka tinggal dan menetap di Kota selama berpuluh tahun.

  20 Bab V adalah penutup, merupakan kesimpulan dari pokok yang dipermasalahkan oleh penelitian ini, dan kemudian di lanjutkan dengan Daftar Pustaka.

BAB II KAMPUNG DAN PEMUKIMAN KUMUH DI YOGYAKARTA Kehadiran pemukiman-pemukiman tidak resmi dan bercitra kumuh tidak

  dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan sosial, ekonomi, politik kota, khususnya kebijakan yang menyangkut tata kelola kota. Persoalan ini telah menjadi isu penting pemerintah kolonial sejak tahun 1900, sebagaimana tertuang dalam Mindere Welvaart Onderzoek (penelitian tentang penurunan tingkat kesejahteraan) bahwa pemerintah kolonial perlu segera melakukan perbaikan- perbaikan atas persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh ledakan penduduk, kehancuran akibat perang kemerdekaan dan pertikaian politik, serta gejala urbanisasi di kota-kota di Jawa dan semakin akutnya kemiskinan di wilayah-

  1 wilayah pedesaan.

  Kebijakan Politik Etis yang dilancarkan pada dua dekade pertama awal abad ke-20 dianggap sebagai solusi utama menyangkut persoalan-persoalan tersebut. Kebijakan ini menghasilkan berbagai program pendidikan, emigrasi, irigasi, dan perbaikan kampung, kesehatan, pendirian lumbung desa, dan pembangunan bank-bank perkreditan rakyat. Selanjutnya, antara tahun 1900- 1940-an, kota-kota kolonial atau kota-kota Indies berkembang sejalan dengan pertumbuhan perekonomian pada sektor tertentu, seperti pertambangan, perkebunan, perdagangan dan industri. Disinyalir bahwa perkembangan kota-kota itu menjadi tempat kelahiran kaum urban baru yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat atau priyayi, kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan Bumi Putra atau Pribumi. Kota-kota kolonial itu antara lain adalah Jakarta (Batavia), Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Makasar. Selanjutnya, pertumbuhan penduduk yang begitu pesat tidak bisa lagi

  2 diantisipasi lagi oleh daya dukung kota-kota kolonial ini secara layak.

  Ledakan penduduk yang terjadi di kota-kota kolonial yang bersifat konsentrik, membawa dampak seperti diungkapkan dalam banyak studi antara

  3

  4