Sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum metroseksual : studi deskriptif.

(1)

vi

ABSTRAK

SIKAP MASYARAKAT YOGYAKARTA TERHADAP KAUM METROSEKSUAL

Jelly Shinta Sulandary Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2009

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum metroseksual. Kaum metroseksual adalah pria dengan orientasi seks yang normal yang suka dengan gaya hidup perkotaan, suka merawat diri, bersosialisasi, penampilan cenderung rapi. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif deskriptif.

Penelitian dilakukan di Yogyakarta dengan subyek sebanyak 100 orang yang tinggal di wilayah Yogyakarta. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap yang dibuat sendiri oleh peneliti. Keseluruhan item berjumlah 61 aitem. Seleksi item menggunakan Product Moment Pearson dengan korelasi item berkisar 0,300 - 0,645. Estimasi reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik Cronbach Alpha yang menghasilkan koefesien reliabilitas sebesar 0,941. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik deskriptif yang meliputi penyajian data melalui tabel, perhitungan nilai maksimum, nilai minimum, mean teoritis, mean empiris dan standar deviasi serta perhitungan prosentase.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean empirik dari sikap terhadap kaum metroseksual p=0.005 (p<0,05), dimana mean empiriknya lebih rendah dibanding mean teoritiknya. Maka dapat disimpulkan bahwa sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum Metroseksual memiliki sikap negatif.


(2)

vii

ABSTRACT

THE ATTITUDE OF PEOPLE IN YOGYAKARTA TOWARDS METROSEXUAL

Jelly Shinta Sulandary Sanata Dharma of University

Yogyakarta 2009

This research was descriptive research which aimed to obtainan illustration about the attitude of people in Yogyakarta towards metrosexual. Metrosexual are men with a normal sex orientation. They have an urban lifestyle, they do care about their appearance and body and they like to build social relationship. The method used was descriptive quantitative.

The research was done in Yogyakarta with 100 people as the subjects. The instrument used in this research was attitude scale made by the researchers. All items were 61 items. Items were selected by using Product Moment Pearson and resulted correlated item 0.300 – 0.645. Reliability estimation was done by using Cronbach Alpha technique and resulted reliability coefficient 0.941. The method to analyze the data was descriptive statistic method which included presenting data through table, maximum score, minimum score, theoretical mean, empirical mean, deviation standard, and counting the precentage.

The results of the research showed that there is a significance difference between empirical mean and the attitude towards metrosexuals which is p = 0.005 (p< 0.05), in which the empirical mean is lower than theoritical mean. Therefore, it can be concluded that people in Yogyakarta have negative attitude towards metrosexual.


(3)

i

SIKAP MASYARAKAT YOGYAKARTA TERHADAP KAUM METROSEKSUAL

(Studi kuantitatif-deskriptif) Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

JELLY SHINTA SULANDARY NIM : 019114178

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk

Tuhan YME

Untuk kesempatan dan berkat pada setiap hembusan nafasku

Bapak dan mama

Untuk kasih yang tidak berkesudahan, dukungan dan kepercayaan

Orang-orang yang mengasihiku

Untuk dukungan dan semangat mu

Bukan awalnya atau akhirnya tapi proses bagaimana semua itu berjalan yang pada akhirnya berbicara….

(none)

Bukan masalah-masalahmu yang mengganggumu, tetapi cara Anda memandang masalah-masalah itu. Semuanya bergantung pada cara Anda

memandang sesuatu . (-- Epictetus)


(7)

(8)

vi

ABSTRAK

SIKAP MASYARAKAT YOGYAKARTA TERHADAP KAUM METROSEKSUAL

Jelly Shinta Sulandary Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2009

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum metroseksual. Kaum metroseksual adalah pria dengan orientasi seks yang normal yang suka dengan gaya hidup perkotaan, suka merawat diri, bersosialisasi, penampilan cenderung rapi. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif deskriptif.

Penelitian dilakukan di Yogyakarta dengan subyek sebanyak 100 orang yang tinggal di wilayah Yogyakarta. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap yang dibuat sendiri oleh peneliti. Keseluruhan item berjumlah 61 aitem. Seleksi item menggunakan Product Moment Pearson dengan korelasi item berkisar 0,300 - 0,645. Estimasi reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik Cronbach Alpha yang menghasilkan koefesien reliabilitas sebesar 0,941. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik deskriptif yang meliputi penyajian data melalui tabel, perhitungan nilai maksimum, nilai minimum, mean teoritis, mean empiris dan standar deviasi serta perhitungan prosentase.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean empirik dari sikap terhadap kaum metroseksual p=0.005 (p<0,05), dimana mean empiriknya lebih rendah dibanding mean teoritiknya. Maka dapat disimpulkan bahwa sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum Metroseksual memiliki sikap negatif.


(9)

vii

ABSTRACT

THE ATTITUDE OF PEOPLE IN YOGYAKARTA TOWARDS METROSEXUAL

Jelly Shinta Sulandary Sanata Dharma of University

Yogyakarta 2009

This research was descriptive research which aimed to obtainan illustration about the attitude of people in Yogyakarta towards metrosexual. Metrosexual are men with a normal sex orientation. They have an urban lifestyle, they do care about their appearance and body and they like to build social relationship. The method used was descriptive quantitative.

The research was done in Yogyakarta with 100 people as the subjects. The instrument used in this research was attitude scale made by the researchers. All items were 61 items. Items were selected by using Product Moment Pearson and resulted correlated item 0.300 – 0.645. Reliability estimation was done by using Cronbach Alpha technique and resulted reliability coefficient 0.941. The method to analyze the data was descriptive statistic method which included presenting data through table, maximum score, minimum score, theoretical mean, empirical mean, deviation standard, and counting the precentage.

The results of the research showed that there is a significance difference between empirical mean and the attitude towards metrosexuals which is p = 0.005 (p< 0.05), in which the empirical mean is lower than theoritical mean. Therefore, it can be concluded that people in Yogyakarta have negative attitude towards metrosexual.


(10)

(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih yang telah memberikan berkat dan kekuatan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari terselesaikannya karya tulis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi. M.Si, selaku Dekan dan dosen pembimbing akademik, terima kasih atas bimgbingan dan dukungannya. 2. Ibu Aquilina Tanti Arini, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah memberikan waktu, dukungan dan perhatian selama proses penyelesaian skripsi ini, juga untuk diskusi dan semangatnya yang menginspirasi, serta membantu disaat saya membutuhkannya.

3. Ibu Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si selaku Kaprodi Psikologi. Tanpa bantuannya saya tidak mungkin sampai di tahap ini.

4. Mas Gandung, mas Muji, mas Doni dan also pak Gi’, terima kasih atas keramahan kalian dan kesabaran kalian untuk membantu saat mengurus administrasi.

5. Buat Bapak dan Mama yang selalu mendukung saya dengan doa kalian. I Love You so Much.

6. Buat ‘ogah’ terima kasih mau menemani kakak mu yang cerewet dan suka marah-marah ini, serta mengantar sistakemana saja. I Love You gah.


(12)

x

7. Buat anak-anak ‘kost kejora’ mbak nisa ‘ceriwis’, devi ‘kemayu’, mbak arum ‘kepala suku’, diyah ‘seksi sibuk’, mbak fitri ‘bu pendeta’, rini ‘bu dosen’, mbak ani ‘pinky’, n jenk jenk. Terima kasih atas kebersamaan, kegembiraan, dan persahabatan ini. Kita selalu tertawa walaupun dimarahi bapak kost. Daku sangat kangen suasana kita bersama, di setiap saat. Saya bisa merasakan namanya kehidupan ini bersama kalian. Lop u all.

8. Buat mas Iwan ‘kuyusku’ terkasih, thanx atas segala dukungannya.

9. Buat anak psi 01 prima, thanks jeng dah mau menyuport aku bahkan memarahiku bila ku da salah. Buat rome thanks ya dah mau membimbingku dalam mengerjakan skripsi nie. Buat jaja, thanks yah kau dah mau mendengarkan keluh kesahku dan menyuportku, dion n etha mari kita sama-sama berjuang. Buat devi thanks ya dah mau menemani menyebar angket penelitian ku, n buat seto koordinator Psi ‘01 yang tersisa hehehe thanks ya.

10. Buat anash (si perempuan panikan), silva (si perempuan tambah panikan), mimi mira (si wanita super), hehehehe Peace!!!!… kita berjuang bersama-sama ya… Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita selama kita berusaha n tidak pernah berputus asa, dan tentu saja ditambah doa… terima kasih atas sebulan terakhir ini… kenapa yak kok baru dekatnya terakhir-akhir ini.

11. Teman-teman bermain ku yang selalu mengingatkanku atas keisengan kalian bang zendi, bang ignas, bang mail, mas koko, pay, bang yul, Pak


(13)

xi

Eko. Terima kasih atas lelucon kalian, dan keisengan kalian, betapa ku rindu ulah kalian.

12. Buat Melly SMU 5 teman seperjuanganku ke Yogyakarta terima kasih atas segalanya, atas kegembiraan walaupun kita sering dimarahi ibu kost. 13. Dan buat lapiku walaupun bermasalah tapi kau tetap menemaniku di setiap

malam.

Serta kepada semua pihak yang tidak tersebutkan namun turut mendukung dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam penelitian ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kasih senantiasa melimpahkan rahmat dan karunianya kepada mereka.

Yogyakarta, 24 Oktober 2009


(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PESETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. LANDASAN TEORI ... 7

A. Sikap ... 7

1. Definisi Sikap ... 7

2. Aspek Sikap dan Interaksi antar Sikap ... 8


(15)

xiii

B. Metroseksual ... 13

1. Definisi Metroseksual ... 13

2. Karakteristik Pria Metroseksual ... 14

C. Maskulinitas ... 16

1. Definisi Maskulin ... 16

2. Tipologi Maskulin ... 16

D. Sikap Masyarakat Yogyakarta Terhadap Kaum Metroseksual ... 19

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 23

A. Jenis Penelitian ... 23

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 24

C. Definisi Operasional ... 24

D. Subjek Penelitian ... 25

E. Prosedur ... 26

F. Metode Pengumpulan Data ... 26

G. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 29

1. Uji Validitas ... 29

2. Seleksi Item ... 29

3. Reliabilitas ... 31

4. Metode Analisis Data ... 32

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Persiapan Penelitian ... 34

B. Hasil Penelitian ... 34


(16)

xiv

a. Usia Subjek ... 35

b. Jenis Kelamin Subjek ... 35

c. Pendidikan Subjek ... 35

d. Pekerjaan Subjek ... 35

2. Hasil Pengujian ... 36

a. Uji Normalitas ... 36

b. Deskripsi Data Penelitian ... 36

c. Uji t ... 37

d. Analisis secara Khusus ... 38

1) Aspek Sikap ... 38

2) Indikator Kaum Metroseksual ... 40

e. Analisis Tambahan ... 41

C. Pembahasan ... 43

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

A. Kesimpulan ... 49

B. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. : Nilai / skor Berdasarkan Kategori Jawaban ... 27

Tabel 2. : Blue Print Skala Sikap Terhadap Kaum Metroseksual ... 28

Tabel 3. : Spesifikasi Skala Sikap Terhadap Kaum Metroseksual ... 28

Tabel 4. : Distribusi Item (setelah uji coba) ... 30

Tabel 5. : Distribusi Item Skala Sikap Terhadap Kaum Metroseksual ... 31

Tabel 6. : Usia Subjek ... 35

Tabel 7. : Jenis Kelamin Subjek ... 35

Tabel 8. : Pendidikan Terakhir Subjek ... 35

Tabel 9. : Pekerjaan Subjek ... 35

Tabel 10. : Uji Normalitas ... 36

Tabel 11. : Deskripsi Data Penelitian ... 37

Tabel 12. : Uji t Mean Empirik dan Mean Teoritik ... 38

Table 13. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Kognitif ... 38

Tabel 14. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Afektif ... 39

Tabel 15. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Konatif ... 39

Tabel 16. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Indikator Gaya hidup ... 40

Tabel 17. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Indikator Penampilan Diri ... 41


(18)

xvi Tabel 18. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam 10 tahun terakhir ini terdapat perkembangan dan perubahan

segmentasi dalam dunia periklananan. Hal ini dapat dilihat pada iklan-iklan

kosmetik yang awal mulanya ditujukan pada kaum wanita, sekarang tidak

hanya wanita saja tapi juga ditujukan pada kaum pria misalnya iklan sabun

wajah, sampoo, dan parfum. Tidak hanya itu, hal tersebut nampak pada

merebaknya salon-salon kecantikan yang tidak hanya ditujukan untuk kaum

wanita saja akan tetapi ditujukan juga untuk kaum pria.

Banyak pria sekarang memperhatikan dirinya untuk tampil trendi dan

rapi sehingga tidak jarang mereka pergi ke salon untuk melakukan facial,

manicure, pedicure, creembath, dan melakukan perawatan tubuh di spa.

Perilaku pria yang memperhatikan penampilan lebih dengan melakukan

perawatan diri, dan pemanjaan diri disebut pria metroseksual (Arifin, 2004).

Saat ini yang menjadi lambang pria metroseksual adalah David

Beckham. Beckham merupakan olahragawan terkenal di bidangnya yang

terkenal dengan penampilan flamboyannya, suka bergonta-ganti rambut, dan

warnanya, serta waktu dan biaya yang dihabiskan tidaklah sedikit bisa

berjam-jam dan berjuta-juta (dalam Arifin, 2004).

Salah seorang pria metroseksual yang tergolong pengusaha muda


(20)

memilih baju yang sesuai, memakai face moisturaiser, bedak tipis, lip gloss,

parfum, dan mengoleskan jel rambut, memakan waktu 1,5 jam. Di tas kerja

pun tidak ketinggalan dengan bedak, lip gloss, penyegar mulut, sikat gigi,

parfum serta perlengkapan bisnisnya. Biaya yang dikeluarkan untuk

kebutuhan perawatan tubuh yaitu 2-5 juta perbulan (dalam Baroto, 2008).

Pria yang suka memperhatikan dirinya sendiri, atau mencintai dirinya

sendiri, bukan merupakan wacana yang baru. Sejak dahulu pria juga selalu

memperhatikan dirinya sendiri. Menurut Tika Bisono fenomena metroseksual

telah ada sejak tahun 1960-an, ketika kaum adam mulai dilibatkan dalam

peragaan busana, dan juga adanya tren gaya hidup yang mapan. Istilah “pria

metroseksual” di Indonesia baru muncul 5 tahun terakhir ini (dalam Tjahyadi,

& Kusumo, 2007)

Menurut Kartajaya (2004) istilah pria metroseksual berkembang pada

tahun 1995 diperkenalkan oleh Simpson, kolumnis fashion Inggris, untuk

menggambarkan kelompok anak muda berkocek tebal yang hidup di kota

besar (metropolis) atau di sekitarnya, sangat menyayangi bahkan cenderung

memuja diri sendiri (narcisstic), serta sangat tertarik pada fashion dan

perawatan dirinya sendiri. Istilah metroseksual berasal dari etimologi Yunani,

yaitu ‘metro’, yang menandakan tipe pria ini mempunyai gaya hidup urban

yang modern (perkotaan), dan ‘seksual’,yang berasal dari istilah homoseksual

yang menandakan bahwa tipe pria ini biasanya normal, tetapi memiliki


(21)

Ronaldo (2008) memaparkan tumbuhnya kecenderungan metroseksual

di kehidupan masyarakat dilihat dari wacana budaya populer merupakan suatu

cerminan dari perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi dan

informasi yang melenyapkan batas-batas teritorial misalnya negara, bangsa,

kesukuan, kepercayaan, politik, dan budaya. Luruhnya batasan-batasan ini

berimbas secara signifikan pada pola berpikir dan stereotip yang dibentuk oleh

pola pemikiran modern tentang maskulinitas.

Hal tersebut dipertegas oleh Henry E Wirawan (dalam Tjahyadi &

Kusumo) dari Universitas Tarumanegara, menurutnya modernisasi dan

industrialisasi menyebabkan munculnya jenis manusia baru. Hal ini merubah

gaya hidup menjadi lebih maju seiring dengan zaman. Modernisasi juga

meninggalkan nilai yang lama, sehingga mengharuskan perubahan sikap dan

mental dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan yang baru.

Menurut Jean-Marc Carriol, direktur perusahaan fashion Trimex

(dalam Sarnianto, 2004), Perilaku metroseksual merupakan efek dari gerakan

feminisme. Secara mendasar mengubah cara pria dan wanita berinteraksi

dalam lingkungan kerja sehingga penampilan dan perawatan menjadi sangat

penting yaitu adanya persamaan dalam dunia kerja. Berubahnya peran wanita

membawa konsekuensi berubah pula peran-peran pria.

Peran-peran yang terbentuk merupakan harapan budaya pada diri pria

dan wanita. Laki-laki digambarkan sebagai sosok yang maskulin dan wanita

sebagai sosok yang feminin. Nauly (2002) mendefinisikan maskulin adalah


(22)

bagi pria. Terranova, Nurseto & Mahatmaji (2008) memaparkan secara umum,

maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan,

kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri,

kesetiakawanan laki dan kerja. Ciri-ciri tersebut antara lain seorang

laki-laki harus kuat secara fisik, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok

untuk bekerja di luar. Barker (dalam Terranova dkk, 2008) memaparkan di

antara yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan

verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan

anak-anak.

Masyarakat Yogyakarta masih memegang tinggi nilai-nilai lokal dan

budayanya. Hal tersebut dapat dilihat pada budaya pewarisan dalam keluarga,

dalam prosesi perkawinan masih menggunakan ritual adat, dalam acara-acara

tertentu masyarakatnya masih menggunakan keris, blangkon, batik, kebaya,

dan juga terdapat kegiatan kebudayaan yang diadakan tiap tahun seperti

sekatenan dan labuhan. Dilihat dari indikator tersebut memungkinkan bila

masyarakatnya masih memegang nilai-nilai maskulinitas tradisional.

Meskipun demikian, Sahni (dalam Ronaldo, 2008) mengatakan

sebagian besar masyarakat Yogyakarta begitu menjunjung tinggi nilai

tradisional Jawa dan sekaligus terbuka terhadap akulturasi dengan nilai dan

budaya luar. Ronaldo (2008) menjabarkan bahwa ketika suatu kebudayaan

baru muncul dalam suatu masyarakat, baik yang menyerap dari kebudayaan


(23)

dapat dengan mudah diterima jika kebudayaan baru tersebut tidak

bertentangan dengan mainstreamyang ada di dalam masyarakat.

Oleh karena itu, adanya fenomena metroseksual yang gaya hidup

prianya bertolak belakang dengan harapan masyarakat terhadap pria. Hal

tersebut akan menimbulkan suatu sikap tertentu mengenai fenomena

metroseksual baik yang positif maupun negatif, dikatakan positif jika

masyarakat menerima kaum metroseksual dan negatif jika masyarakat tidak

menyukai kaum metroseksual. Hal tersebut dipertegas oleh Thurstone, Likert,

dan Osgood (dalam Azwar,1995) yang menyatakan sikap merupakan suatu

bentuk evaluasi atau reaksi perasaan mendukung atau tidak mendukung pada

suatu objek tersebut. Hal ini menarik untuk diteliti karena dengan adanya

kaum metroseksual membawa efek pembentukan sikap masyarakat. Sikap

positif masyarakat akan membawa dampak merasa diterimanya pria yang

menganut gaya hidup metroseksual, akan tetapi bila masyarakat memiliki

sikap negatif dampaknya pria metroseksual akan merasa tidak diterima, dan

tidak nyaman sehingga tidak bebas dalam mengekspresikan dirinya.

Dari uraian tersebut peneliti ingin melihat bagaimana sikap masyarakat

Yogyakarta terhadap kaum metroseksual.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum


(24)

C. Tujuan Penelitian

Untuk mendapat gambaran tentang sikap masyarakat terhadap kaum

metroseksual.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan

informasi dalam bidang ilmu psikologi, khususnya dalam bidang

psikologi sosial, mengenai sikap masyarakat terhadap kaum metroseksual

hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi bagi peneliti lain.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi pembaca

mengenai sikap masyarakat terhadap kaum metroseksual.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi kaum

metroseksual mengenai sikap masyarakat terhadap keberadaan

mereka sehingga mereka dapat membangun strategi konstruktif


(25)

7 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sikap

1. Definisi Sikap

Menurut Mar’at (1982), dalam studi kepustakaan mengenai sikap

merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi

sesuai dengan rangsang yang diterimanya. Sikap mengarah pada objek

tertentu yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kesediaan untuk

bereaksi dari orang tersebut terhadap objek. Manifestasi sikap tidak dapat

langsung dilihat, akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai

tingkah laku yang masih tertutup.

Sikap menurut Thurstone, Likert, dan Osgood (dalam Azwar,

1995) adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang

terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau tidak memihak

(favorable) maupun perasaan mendukung atau tidak memihak

(unfavorable) pada objek tersebut. Menurut skema triadic (triadic

schema) Secord & Backman (dalam Azwar, 1995) mendefinisikan sikap

sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran

(kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu

aspek di lingkungan sekitarnya.

Dari definisi-definisi di atas peneliti mengambil arti sikap yang


(26)

mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung atau tidak

memihak dari objek tersebut.

2. Aspek dan Interaksi Sikap a. Aspek Sikap

Tiga aspek sikap menurut Mann (dalam Azwar,1998), yaitu :

1). Aspek Kognisi

Aspek kognisi berhubungan dengan belief, ide, konsep, dengan

kata lain aspek kognisi berisi pengetahuan, persepsi, kepercayaan

dan stereotipe seseorang mengenai sesuatu.

2). Aspek Afeksi

Aspek afeksi menyangkut kehidupan emosional seseorang,

dengan kata lain aspek afeksi merupakaan perusahaan individu

terhadap objek sikap dan perasaan menyangkut masalah

emosional.

3). Aspek Konasi

Aspek konasi merupakan kecenderungan bertingkah laku,

biasanya berakar paling dalam sebagai aspek sikap dan

merupakan aspek yang paling bertahan terhadap

pengaruh-pengaruh yang mungkin merubah sikap seseorang.

b. Interaksi antar Sikap

Ketiga aspek sikap, yaitu kognisi, aspek afeksi, dan aspek


(27)

merupakan suatu sistem kognitif. Ini berarti bahwa yang dipikirkan

seseorang tidak akan lepas dari perasaannya. Masing-masing aspek

tidak dapat berdiri sendiri, namun merupakan interaksi dari

aspek-aspek sikap secara kompleks.

3. Pembentukan Sikap

Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola

sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya.

Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap (dalam Azwar,

1998) adalah :

a. Pengalaman pribadi

Apa yang dialami akan membentuk dan mempengaruhi

penghayatan individu terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan

menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk mempunyai

tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai

pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Apakah

penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif ataukah

sikap negatif akan tergantung pada berbagai faktor lain. Akan tetapi,

Middlebrook (dalam Azwar, 1988), mengatakan bahwa tak adanya

pengalaman sama sekali dengan sesuatu objek psikologis cenderung

akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut.

Pembentukan kesan atau ungkapan terhadap objek


(28)

individu yang bersangkutan, situasi dimana tanggapan itu terbentuk,

dan atribut atau ciri-ciri objek yang dimiliki oleh stimulus.

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman

pribadi harus melalui kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih

mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam

situasi yang melibatkan faktor emosional.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang lain di sekitar individu merupakan salah-satu diantara

komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap individu. Seseorang

yang dianggap penting, seseorang yang diharapkan persetujuannya

bagi setiap gerak tingkah dan pendapat individu, seseorang yang

tidak ingin dikecewakan, atau seseorang yang berarti khusus bagi

individu, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap terhadap

sesuatu. Diantara orang yang biasanya dianggap penting bagi

individu adalah orang tua, orang yang statusnya tinggi, teman

sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami, dan

lain-lain.

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap

konformitas atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk

berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang


(29)

c. Pengaruh budaya

Kebudayaan dimana individu hidup dan dibesarkan

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Tanpa

disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap

individu terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai

sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayan pula lah yang

memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota

kelompok masyarakat asuhannya, dan hanya kepribadian individu

yang kuat saja lah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan

dalam pembentukan sikap individual.

d. Media massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa

seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dll. Mempunyai

pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.

Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media

massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat

mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai

sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya

sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh

informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif


(30)

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai sistem

mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan

keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri

individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara

sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari

pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajarannya-ajarannya.

Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat

menentukan system kepercayaan, maka tidaklah mengherankan

kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam

menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat

sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan

mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau

mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak.

Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga

pendidikan atau dari agama seringkali menjadi determinan tunggal

yang menentukan sikap.

f. Pengaruh faktor emosional

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan

dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk

sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi, yang

berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau penglihatan


(31)

sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang,

akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persesiten dan

bertahan lama.

B. Metroseksual

1. Definisi Metroseksual

Kata metroseksual berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 2

kata, yaitu ‘metro’, yang menandakan bahwa tipe pria ini mempunyai

gaya hidup urban yang modern (perkotaan); dan ‘seksual’, berasal dari

istilah homoseksual yang menandakan bahwa tipe pria ini biasanya

normal, tetapi memliki citarasa atau selera yang cenderung diasosiasikan

dengan tipe lelaki gay. Menurut Simpson (dalam Kartajaya dkk, 2004)

mendeskripsikan pria metroseksual sebagai laki-laki yang cinta setengah

mati tak hanya terhadap dirinya, tetapi juga gaya hidup kota besar yang

dijalaninya.

Secara lebih jauh menurut Kartajaya (2004), pria metroseksual

adalah pria yang pada umumnya hidup di kota besar, gaya hidup yang

mewah, dan juga pesolek tulen yang suka merawat dirinya sendiri, serta

selalu mengikuti tren busana yang ada, dengan alasan untuk memperbaiki

penampilan luarnya. Pria metroseksual digambarkan sebagai sosok yang

normal atau straight, sensitif dan terdidik, hanya saja mereka lebih


(32)

Lebih lanjut, Iskandar (2005) mendefinisikan pria metroseksual

sebagai pria yang suka merawat diri (dandy) dan mengikuti trend terbaru.

Mereka biasa pergi ke klinik atau ke salon, butik, fitness centre, gaul di

kafe/mall. Umumnya mereka berada di kota-kota besar, royal, menikmati

hidup. Penampilan mereka cenderung rapi, menawan, stylist, fashionable,

tetapi mereka tetaplah pria sejati dengan orientasi seks yang normal.

Metroseksual merupakan gaya hidup sehingga para penganut gaya hidup

ini tidak hanya berasal dari kota besar saja, akan tetapi terdapat juga pada

kota-kota kecil yang tidak termasuk dalam kota metropolitan.

Dari definisi-definisi di atas penulis mendefinisikan pria

metroseksual sebagai pria sejati dengan orientasi seks yang normal yang

suka dengan gaya hidup urban (perkotaan), suka merawat diri dengan

biasa pergi ke klinik atau ke salon, butik, fitness centre, bersosialisasi di

kafe/ mall dan mengikuti trend terbaru. Penampilan mereka cenderung

rapi, menawan, dengan bergaya ala sendiri, dan menggunakan busana

terbaru.

2. Karakteristik Pria Metroseksual

Beberapa ciri pria metroseksual dikemukakan oleh Kartajaya dkk

(2004), yaitu :

a. Pada umumnya hidup dan tinggal di kota besar dimana hal ini tentu


(33)

gaya hidup yang dijalani dan secara jelas akan mempengaruhi

keberadaan mereka,

b. Berasal dari kalangan berada dan memiliki banyak uang karena

banyaknya materi yang dibutuhkan sebagai penunjang gaya hidup

yang dijalani,

c. Memiliki gaya hidup urban dan hedonis,

d. Secara intens mengikuti perkembangan fesyen di majalah-majalah

mode pria agar dapat mengetahui perkembangan fesyen terakhir yang

mudah diikuti, dan

e. Umumnya memiliki penampilan yang klimis, dandy dan sangat

memperhatikan penampilan serta perawatan tubuh.

Dilihat dari karakteristik tersebut kaum metroseksual tidak hanya

terdapat di daerah perkotaan saja, hal ini berkaitan dengan perkembangan

modernisasi yang begitu cepat sehingga kesempatan akses informasi

dapat saja pria yang berada bukan di kawasan perkotaan mengikuti gaya

hidup perkotaan.

Berdasarkan dari karakteristik dan definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa ciri-ciri pria metroseksual adalah:

a. Menyukai gaya hidup urban, hedonis, bersosialisasi di kafe/ mall

b. Menyukai untuk tampil rapi, klimis dan dandy, dan mengikuti

perkembangan mode terbaru.

c. Merawat diri dengan pergi ke salon untuk melakukan luluran, facial,


(34)

C. Maskulinitas

1. Definisi Maskulin

Maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh

budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria (Nauly, 2002). Terranova,

Nurseto, & Mahatmaji (2008) memaparkan secara umum maskulinitas

tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan,

ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan

laki-laki, dan kerja.

2. Tipologi Maskulin

Beynon (dalam Terranova dkk, 2008)) membagi bentuk maskulin

dengan ide tren perkembangan zaman, sebagai berikut:

a. Maskulin sebelum tahun 1980-an

Sosok maskulin yang muncul adalah figur-figur laki-laki kelas

pekerja dengan bentuk tubuh mereka dan perilaku mereka sebagai

dominator, terutama atas perempuan. Citra laki-laki semacam ini

memang kental dengan awal industrialisasi pada masa itu, laki-laki

bekerja di pabrik sebagai buruh berlengan baja. Mereka terlihat sangat

‘bapak’, sebagai penguasa dalam keluarga dan sosok yang mampu

memimpin perempuan serta pembuat keputusan utama.

Menurut Levine (ensiklopedi Wikipedia, 1998) Terdapat empat


(35)

No sissy stuff: sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau feminine dilarang, seorang laki-laki sejati harus menghindari

perilaku yang bersosialisasi dengan perempuan.

Be a big wheel : maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasaan, dan penggaguman dari orang lain. seseorang harus

mempunyai kekayaan, ketenaran, dan status yang sangat lelaki.  Be a sturdy oak: kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan,

dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem

dalam berbagai situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak

menunjukkan kelemahannya.

Give ‘em hell : lelaki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta harus mampu mengambil resiko walaupun alasan dan

rasa takut menginginkan sebaliknya.

Dalam ketradisionalitasan yang dikembangkan oleh kebudayaan

jawa lebih mirip dengan poin kedua bahwa laki-laki must be a big

wheel. Seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memliki

“garwo” (istri), “bondo”(harta), “turronggo” (kendaraan), “kukilo”

(burung peliharaan), dan “pusoko” (senjata atau kesaktian) (Darwin,

2005).

b. Maskulin tahun 1980-an

Beynon (2002) menunjukkan dua buah konsep maskulinitas yaitu

anggapan-anggapan bahwa new man as nurture dan new man as


(36)

laki-laki terhadap feminism. Laki-laki menjalani sifat alamiahnya

seperti perempuan sebagai makhluk yang mempunyai rasa perhatian.

Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya

untuk mengurus anak. Keinginan mereka untuk menyokong gerakan

perempuan juga melibatkan peran penuh mereka dalam arena

domestik. Kelompok ini biasanya berasal dari kelas menengah,

berpendidikan baik, dan intelek.

Anggapan kedua adalah bahwa new man as narcissist. Hal ini

berkaitan dengan komersialisme terhadap maskulinitas dan

konsumerisme semenjak akhir perang dunia II. Mereka adalah

anak-anak dari generasi zaman hippies (tahun 60-an) yang tertarik pada

pakaian dan music pop. Banyak produk-produk komersil untuk

laki-laki yang bermunculan, bahkan laki-laki-laki-laki sebagai objek seksual menjadi

bisnis yang amat luar biasa.

Di sini, laki-laki menunjukkan maskulinitas mereka dengan gaya

hidup “yuppies” yang flamboyan dan perlente. Laki-laki semakin suka

memanjakan dirinya dengan produk-produk komersial yang membuat

mereka “tampak sukses”. Properti, mobil, pakaian, atau artefak

personal merupakan wujud dominan dalam gaya hidup ini. Kaum

maskulin yuppiesini dapat dilihat dari penampilannya berpakaian, juga

Porsche mereka. Kaum yuppies mengganggap laki-laki pekerja

industri yang loyal dan berdedikasi sebagai sosok yang ketinggalan


(37)

c. Maskulin tahun 1990-an

Laki-laki kembali bersifat tidak perduli lagi terhadap yang

dilakukan kaum maskulin yuppies di tahun 80-an. The new land ini

berasal musik pop dan football yang mengarah kepada

sifat-kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism. Mereka kemudian

menyatakan dirinya dalam label konsumerisme dalam bentuk yang

lebih ‘macho’, seperti membangun kehidupannya di sekitar sepak bola

dan dunia minum-minum, juga sex dan hubungan dengan para

perempuan. Pada dekade 1990-an ini kaum laki-laki masih

mementingkan leisure time mereka sebagai masa untuk

bersenang-senang, mereka menikmati hidup bebas seperti apa adanya. Kebebasan

mereka menjauhkan dari hubungan yang bersifat domestik yang

membutuhkan loyalitas dan dedikasi.

Hal tersebut mengindikasikan seiring dengan perkembangan zaman

pengertian maskulin mengalami perubahan di setiap zamannya.

D. Sikap Masyarakat Yogyakarta Terhadap Kaum Metroseksual

Kota Yogyakarta mengalami perkembangan dalam segi bisnis,

perdagangan, tempat perbelanjaan, dengan gaya hidup masyarakatnya. Hal ini

nampak pada mall-mall yang banyak dibangun, salon-salon, butik-butik,

tempat bisnis yang dikembangkan, dan perumahan yang berkembang cukup

pesat. Hal tersebut berdampak pada berkembangnya budaya metroseksual di


(38)

klinik atau ke salon, ke butik, fitness center, senang bersosialisasi di kafe/

mall serta mengikuti perkembangan trend terbaru (Kartajaya, 2004). Menurut

Jones (dalam Rahardjo, 2007) kaum metroseksual lebih mengedepankan sisi

feminin mereka.

Disisi lain, Kota Yogyakarta terkenal dengan budaya keratonnya

dianggap masih memegang nilai-nilai leluhurnya. Hal tersebut nampak dari

kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh masyarakatnya antara lain sekatenan

dan labuhan, serta acara pernikahan, dan juga pada acara-acara tertentu

masyarakat juga masih mengunakan batik, kebaya, blangko, keris dan

lain-lain. Begitu juga halnya dengan peran-peran yang terbentuk dari budaya

setempat seperti maskulinitas dan feminitas, dimana laki-laki dianggap

maskulin bila mempunyai kekuatan, ketabahan, aksi, kendali, kepuasan diri,

kesetiakawanan laki-laki dan kerja (Terranova dkk, 2007). Meskipun

demikian, menurut Sahni (2003) sebagaian besar masyarakat Yogyakarta

yang begitu menjunjung tinggi nilai tradisional Jawa terbuka terhadap

akulturasi dengan nilai dan budaya luar. Berdasarkan hal tersebut peneliti

ingin melihat sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum metroseksual.

Sikap akan memberikan warna atau corak pada tingkah laku atau

perbuatan individu. Sikap terdiri dari tiga komponen yaitu, kognisi, afeksi,

dan konasi. Thurstone (dalam Azwar, 1995) merupakan salah seorang ahli

yang menyatakan bahwa komponen afeksi merupakan komponen yang

berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap.


(39)

merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu

positif atau negatif.

Munculnya sikap dalam suatu situasi bersifat subjektif dan berdasarkan

atas perasaan individu yang bersangkutan terhadap objek yang dihadapinya.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapatkan individu terhadap

objek bisa juga menjadi perbedaan sikap antara seseorang dengan orang lain,

walapun objek yang dihadapi tidak berbeda.

Peranan sikap dalam kehidupan individu sangat besar, sebab apabila

sudah dibentuk pada diri individu maka sikap tersebut akan turut menentukan

cara-cara tingkah lakunya terhadap objek-objek sikapnya. Sikap masyarakat

terhadap kaum metroseksual dapat juga dipengaruhi oleh faktor budaya,

karena kebudayaan dimana individu hidup dan dibesarkan mempunyai

pengaruh besar terhadap pembentukan sikap individu.

Media massa mempunyai pengaruh terhadap berkembangnya

metroseksual di Yogyakarta, karena media massa membawa pesan-pesan

yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini individu. Adanya informasi

baru mengenai metroseksual memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya

sikap terhadap hal tersebut.

Individu cenderung untuk memiliki sikap searah dengan sikap orang

yang dianggap penting. Kecenderungan ini dikarenakan untuk menghindari

konflik dengan orang yang dianggap penting. Pemahaman akan baik dan

buruk, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta


(40)

umumnya individu akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi

sikapnya atau mungkin individu tersebut tidak mengambil sikap untuk

memihak.

Berdasarkan hal tersebut yang dimaksud dengan sikap masyarakat

Yogyakarta terhadap kaum metroseksual adalah bagaimana kecenderungan

masyarakat Yogyakarta dalam berpikir, merasakan, dan berperilaku apakah

mendukung atau tidak mendukung terhadap pria metroseksual. Jika

mempunyai sikap yang positif, mereka akan menunjukkan sikap mendukung/

memihak/ setuju terhadap kaum metroseksual. Sedangkan jika mempunyai

sikap yang negatif yaitu tidak mendukung/ tidak memihak/ tidak setuju


(41)

23 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini mengunakan jenis penelitian deskriptif yaitu

penelitian yang digunakan untuk mendeskriptifkan atau memberi

gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui data sampel atau populasi

sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan

yang berlaku secara umum (Sugiyono, 1999). Mardalis (dalam Meinita,

2003) menyatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang

bertujuan mendeskripsikan, mencatat, menganalisa, dan

menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Penelitian

ini tidak menguji atau tidak menggunakan hipotesa tetapi hanya

mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai variabel yang diteliti.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penelitian ini menggunakan

data kuantitatif mengenai variabel yang diperoleh melalui skor jawaban

subyek pada skala sebagaimana adanya. Metode ini digunakan untuk

mengetahui dan menggambarkan sikap masyarakat berdasarkan skor item

yang disusun oleh peneliti.

Dengan demikian, jenis penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti

adalah penelitian deskriptif kuantitatif yaitu gambaran secara umum


(42)

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini adalah sikap masyarakat terhadap kaum

metroseksual.

C. Definisi Operasional

Sikap masyarakat terhadap kaum metroseksual adalah bentuk

evaluasi atau reaksi perasaan mendukung atau postif atau perasaan tidak

mendukung atau negatif terhadap kaum metroseksual.

Sikap dilihat dari jawaban subjek terhadap skala yaitu dari hasil

jawaban skor total skala penelitian sikap subjek, bila menunjukkan skor

total yang tinggi memiliki arti bahwa sikap masyarakat Yogyakarta

terhadap kaum metroseksual tergolong positif, dan bila menunjukkan hasil

skor yang rendah memiliki arti bahwa sikap masyarakat Yogyakarta

terhadap kaum metroseksual tergolong negatif. Aspek sikap yang

digunakan untuk menyusun skala ini adalah :

1. Aspek Kognitif : pengetahuan, kepercayaan, atau pikiran yang

didasarkan pada informasi yang berhubungan dengan kaum

metroseksual

2. Aspek Afektif : dimensi emosional dari sikap yang berhubungan

dengan kaum metroseksual

3. Aspek Konatif : kesiapan seseorang dalam bertingkah laku yang


(43)

Pria metroseksual yaitu pria sejati dengan orientasi seks yang

normal/ heteroseksual yang suka dengan gaya hidup urban (perkotaan),

suka merawat diri dengan biasa pergi ke klinik atau ke salon, butik, fitness

centre, bersosialisasi di kafe/ mall dan mengikuti trend terbaru.

Penampilan mereka cenderung rapi, menawan, dengan bergaya ala sendiri,

dan menggunakan pakaian mode terbaru. Indikator perilaku metroseksual :

1. Gaya hidup : menyukai gaya hidup urban, hedonis, bersosialisasi di

kafe/ mall.

2. Penampilan diri : menyukai untuk tampil rapi, klimis dan dandy, dan

mengikuti perkembangan mode terbaru.

3. Perawatan diri : merawat diri dengan pergi ke salon untuk melakukan

luluran, facial, spa, perawatan kuku dan tangan, perawatan kuku dan

kaki, dan fitness.

D. Subjek Penelitian

Sampel penelitian diambil secara purposive sampling dipilih

berdasarkan ciri-ciri yang telah ditentukan yaitu :

1. Masyarakat yang tinggal di Yogyakarta, alasannya karena peneliti

ingin melihat sikap dari masyarakat yang diasumsikan masih

memegang nilai-nilai dari generasi sebelumnya.

2. Minimal memiliki pendidikan SMU, alasannya karena masyarakat

tersebut diasumsikan telah memiliki pengalaman untuk berinteraksi


(44)

datangnya dari lingkungan luar, sehingga lebih memahami kondisi dan

situasi yang ada.

E. Prosedur

Prosedur/ langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah :

1. Membuat skala sikap dengan metode rating yang dijumlahkan

(summated rating),

2. Melakukan uji kesahihan butir dan reliabilitas skala untuk

mendapatkan butir yang sahih dan data yang reliabel.

3. Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria dan

kemudian mengukur sikap masyarakat Yogyakarta dengan cara subjek

mengisi skala yang telah diuji kesahihannya dan kereliabelannya.

4. Menganalisis data yang masuk dengan uji statistik deskriptif

(penyajian data melalui tabel, perhitungan nilai maksimum, nilai

minimum, mean teoritis, mean empiris, dan standar deviasi serta

perhitungan prosentase) untuk melihat sikap masyarakat Yogyakarta

terhadap kaum metroseksual.

5. Membuat kesimpulan berdasarkan analisis tersebut.

F. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan

skala kepada responden secara langsung yaitu pada anggota masyarakat


(45)

pengumpulan data dengan metode rating yang dijumlahkan (Summated

Ratings Method). Respon yang digunakan dalam skala ini terdiri dari

empat kategori pilihan jawaban yaitu : SS (sangat setuju), S (setuju), TS

(tidak setuju) dan STS (sangat tidak setuju).

Menurut Hadi (1991) modifikasi terhadap skala Likert perlu

dilakukan untuk menghilangkan kelemahan yang dikandung oleh skala

lima tingkat, yaitu (1) adanya arti ganda pada kategori jawaban yang

terletak di tengah, dapat diartikan ragu-ragu atau netral. Kategori ganda

arti ini tentu saja tidak diharapkan dalam suatu instrument; (2) Tersedianya

pilihan tengah tersebut menimbulkan kecenderungan untuk menjawab

pilihan tersebut terutama bagi mereka yang ragu-ragu untuk kearah setuju

atau tidak setuju, atau yang disebut central tendering effect (Hadi, 2000);

(3) Maksud kategorisasi jawaban SS – S – TS – STS adalah terutama

untuk melihat kecenderungan pendapat responden, kearah setuju atau tidak

setuju.

Dalam pengukuran, setiap butir item pernyataan kemungkinan

mendapatkan skor/nilai skala dilakukan dengan cara menentukan

kontinum skor antara 1 sampai 4 berdasarkan kategori pernyataan

favorabel dan unfavorabel (lihat tabel 1).

Tabel 1.

Nilai / Skor Berdasarkan Kategori Jawaban

Jawaban Skor

Favorabel Unfavorabel

Sangat Setuju 4 1

Setuju 3 2

Tidak Setuju 2 3


(46)

Banyaknya item dalam penelitian ini adalah berjumlah 72 butir

item, berikut ini (tabel 2) akan menunjukkan secara jelas tabulasi tabel

mengenai aspek-aspek yang digunakan dengan pertimbangan

keseimbangan jumlah item pada setiap aspek sikap, sebagai berikut:

Tabel 2. Blue Print

Skala Sikap Terhadap Kaum Metroseksual

No Sikap

Perilaku Metroseksual

Total (%) Gaya hidup Penampilan

Diri

Perawatan Diri Fav Un fav Fav Un fav Fav Un fav

1. Kognitif 4 4 4 4 4 4 24

(33,33%)

2. Afektif 4 4 4 4 4 4 24

(33,33%)

3. Konatif 4 4 4 4 4 4 24

(33,33%)

12 12 12 12 12 12 72

(100%)

Tabel 3.

Spesifikasi Skala Sikap Terhadap Kaum Metroseksual No Sikap

Perilaku Metroseksual

Total (%) Gaya Hidup Penampilan Diri Perawatan Diri

Fav Un fav Fav Un fav Fav Un fav

1 Kognitif 1, 19, 37, 55

10, 28, 46, 64 2, 20, 38, 56 11, 29, 47, 65 3, 21, 39, 57 12, 30, 48, 66 24 (33,33 %) 2 Afektif 13, 31,

49, 67 4, 22, 40, 58 14, 32, 50, 68 5, 23, 41, 59 15, 33, 51, 69 6, 24, 42, 60 24 (33,33 %) 3 Konatif 7, 25,

43, 61 16, 34, 52, 70 8, 26, 44, 62 17, 35, 53, 71 9, 27, 45, 63 18, 36, 54, 72 24 (33,33 %)

12 12 12 12 12 12 72


(47)

G. Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas

Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan

suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2000).

Menurut Hadi (1995), suatu alat ukur dianggap baik dalam

mengukur apa yang seharusnya diukur sesuai dengan tujuan

penelitian jika alat tes tersebut memiliki validitas yang tinggi.

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi.

Validitas isi adalah validitas yang diestimasi lewat pengujian

terhadap isi skala dengan analisis rasional / profesional judgement,

yaitu penilaian validitas terhadap suatu alat ukur yang diberikan oleh

orang-orang yang dianggap ahli dan profesional di bidangnya, dalam

hal ini adalah dosen pembimbing (Azwar, 2003).

2. Seleksi Item

Seleksi item dilakukan dengan cara melihat koofesien korelasi

tiap item yaitu dengan mengkorelasikan skor masing-masing item

dengan skor total keseluruhan item. Besarnya koefesien korelasi

item total bergerak dari 0 sampai dengan 1,00 dengan tanda positif

atau negatif. Semakin mendekati angka 1 yang bertanda positif

maka daya diskriminasi itemnya semakin baik. Sebagai kriteria

seleksi item berdasarkan korelasi item total maka biasanya diberikan


(48)

minimal 0,30 dianggap layak menjadi sebuah item (Azwar, 2003).

Teknik korelasi item yang digunakan dalam penelitian ini adalah

formula koefesien korelasi produk moment Pearson. Pengolahan

data akan dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS

for windows 15. Dari pengolahan data tersebut terdapat 11 item yang

gugur. Korelasi item berkisar antara 0,300 – 0,645. Item-item yang

gugur (tabel 4) antara lain: 6, 7, 17, 20, 36, 52, 57, 60, 64, 65, 70.

Tabel 4.

Distribusi Item (setelah uji coba)

No Sikap

Perilaku Metroseksual

Total Gaya Hidup Penampilan Diri Perawatan Diri

Fav Un fav Fav Un fav Fav Un fav

1. Kognitif 1, 19, 37, 55

10, 28, 46, 64*

2 , 20*, 38, 56 11, 29, 47,65* 3, 21, 39, 57* 12, 30, 48, 66 20 (32.78 %)

2. Afektif 13, 31, 49, 67 4, 22, 40, 58 14, 32, 50, 68 5, 23, 41, 59 15, 33, 51, 69 6*, 24, 42, 60* 22 (33,33 %)

3. Konatif 7*, 25, 43, 61 16, 34, 52*,70* 8, 26, 44, 62 17*, 35, 53, 71 9, 27, 45, 63 18, 36*, 54, 72 19 (33,33 %)

11 9 11 10 11 9 61

(100 %)

Item setelah uji coba digunakan dalam penelitian, karena

menggunakan metode item terpakai. Jadi item-item yang sahih atau

tidak gugur, langsung digunakan untuk penelitian. Distribusi skala

sikap setelah dilakukan uji coba menjadi sebagai berikut : Keterangan yang diberi tanda * adalah item gugur


(49)

Tabel 5.

Distribusi Item Skala Sikap Masyarakat Terhadap Kaum Metroseksual

No Sikap

Indikator Perilaku Metroseksual

Total Gaya Hidup Penampilan Diri Perawatan Diri

Fav Un fav Fav Un fav Fav Un fav

1 Kognitif 1, 19, 37, 55

10, 28, 46,

2 , 38, 56 11, 29, 47, 3, 21, 39, 12, 30, 48, 66 20 (32.78 %) 2 Afektif 13, 31,

49, 67 4, 22, 40, 58 14, 32, 50, 68 5, 23, 41, 59 15, 33, 51, 69

24, 42, 22 (33,33 %) 3 Konatif 25, 43,

61

16, 34, 8, 26, 44, 62 35, 53, 71 9, 27, 45, 63 18, 54, 72 19 (33,33 %)

11 9 11 10 11 9 61

(100 %)

3. Reliabilitas

Alat ukur penelitian juga harus teruji reliabilitasnya. Reliabilitas

mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang

mengandung makna kecermatan pengukuran. Pengukuran yang

tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya

karena perbedaan skor yang terjadi antar individu lebih ditentukan

oleh faktor error (kesalahan) dari pada faktor perbedaan yang

sesungguhnya (Azwar, 1999). Reliabilitas dinyatakan oleh koefesien

reliabilitas (rxx3) yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai

dengan 1,00 berarti semakin tinggi koefesien reliabilitas.

Sebaliknya, semakin rendah koefesien reliabilitas mendekati angka

0, semakin rendah reliabilitasnya.

Jadi tujuan dari pengujian reliabilitas adalah untuk melihat sejauh

mana alat ukur yang digunakan dalam penelitian memberikan hasil


(50)

hal yang sama. Reliabilitas skala pada penelitian ini adalah 0,941.

Diukur dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach, program

SPSS versi 15.00 for windows.

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode statistik deskriptif yang meliputi penyajian data melalui

tabel, perhitungan nilai maksimum, nilai minimum, mean teoritis,

mean empiris dan standar deviasi serta perhitungan prosentase.

Kelompok subjek dibedakan ke dalam sikap yang positif atau

negatif dengan cara melakukan uji perbandingan mean antara mean

empirik dengan mean teoritik. Apabila mean empirik lebih besar

dari mean teoritik, maka sikap subjek positif, namun jika mean

empirik lebih kecil dari mean teoritik maka sikap subjek adalah

negatif.

Keterangan :

Skor maksimum teoritik: Skor paling tinggi yang diperoleh sebjek

pada skala.

Skor minimum teoritik: Skor paling rendah yang diperoleh subjek

pada skala.

Skor maksimum empirik: Skor paling tinggi yang diperoleh subjek


(51)

Skor minimum empirik: Skor paling rendah yang diperoleh subjek

pada penelitian.

Mean teoritik : Rata-rata teoritik dari skor masksimum dan

minimum.

Mean empirik : Rata-rata dari skor subjek penelitian.

Median : Nilai tengah yang dihasilkan.

Modus : Skor subjek yang sering muncul.

SD : Simpangan baku menunjukkan variasi

jawaban subjek.


(52)

34 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitan

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 20 Juni sampai tanggal 24

Juni 2009. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan cara menyebar skala

penelitian kepada masyarakat di Yogyakarta dengan kriteria subjek

penelitian. Skala penelitian yang digunakan merupakan skala try out

terpakai.

Peneliti menyebar skala di beberapa wilayah bagian Yogyakarta

diantaranya wilayah Seturan, wilayah perumahan Minomartani, wilayah

jalan Kaliurang, Mall Galeria, dan melalui surat elektronik (e-mail).

Pengembalian skala tidak dapat dilakukan pada hari itu juga, oleh karena

itu peneliti memberikan waktu 2-4 hari untuk subjek mengembalikan

kembali skala tersebut. Dari 140 skala yang disebar, 40 skala tidak

dikembalikan kepada peneliti sehingga jumlah keseluruhan subjek

sebanyak 100 orang.

B. Hasil Penelitian

1. Karaketristik Subjek Penelitian

Berdasarkan data identitas pada skala penelitian yang diperoleh,


(53)

a. Usia Subjek

Tabel 6. Usia Subjek

Usia Jumlah Presentase

Remaja 16 16%

Dewasa awal 77 77%

Dewasa tengah 5 5%

Total 100 100%

Keterangan usia subjek berkisar antara 17-50 tahun

b. Jenis Kelamin Subjek

Tabel 7. Jenis Kelamin Subjek

Jenis kelamin Jumlah Presentase

Laki-laki 52 52 %

Perempuan 48 48 %

Total 100 100 %

c. Pendidikan Terakhir Subjek

Tabel 8.

Pendidikan Terakhir Subjek

Pendidikan terkahir Jumlah Prosentase

SMU 64 64 %

S1 30 30 %

S2 6 6 %

Total 100 100 %

d. Pekerjaan Subjek

Tabel 9. Pekerjaan Subjek

Pekerjaan Jumlah Prosentase

Mahasiswa 36 36 %

Pegawai Swasta 36 36 %

Wirausaha 16 16 %

Tidak bekerja 12 12 %


(54)

2. Hasil Pengujian a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran

skor pada kelompok sampel mengikuti distribusi normal. Jika p >

0,05 maka sebaran skor dinyatakan normal. Sebaliknya jika p <

0,05 maka sebaran skor dinyatakan tidak normal.

Uji normalitas dilakukan dengan one sample

Kosmogorov-Smirnov dengan program SPSS 15.00 for Windows. Hasil uji

normalitas menghasilkan probabilitas sebesar 0,117. Hal tersebut

berarti bahwa p > 0,05 sehingga distribusi skor adalah normal.

Tabel 10. Uji Normalitas

Skor

Kosmogorov-Smirnov 1,191

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,117

b. Deskripsi Data Penelitian

Berdasarkan penelitian deskriptif dengan perhitungan

program SPSS for windows versi 15.00, menunjukkan mean

empirik lebih kecil dari pada mean teoritik 146,5 < 152,5. Hal ini

menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelompok penelitian lebih kecil

dari rata-rata teoritik, maka dapat diartikan bahwa secara umum

subjek dari penelitian ini memiliki sikap yang negatif terhadap


(55)

Tabel 11.

Deskripsi Data Penelitian

Keterangan Teoritik Empirik

N 100

Minimum 61 98

Maksimum 244 241

Mean 152,5 146,41

SD 30,5 21,39

Median 147

Modus 153

Range 143

Varians 457,881

c. Uji t

Uji perbedaan atau uji t untuk melihat signifikansi

perbedaan antara mean empirik dan mean teoritik dari sikap

masyarakat terhadap kaum metroseksual. Jika p ≥ 0,05 maka antara mean empirik dan mean teoritik tidak ada perbedaan yang

signifikan. Sebaliknya, jika p < 0,05 maka mean empirik dan mean

teoritik ada perbedaan yang signifikan.

Pengujian ini menggunakan one sample T-test melalui

program SPSS ver 15.00 for widows. Hasil uji perbedaan

menghasilkan taraf signifikansi sebesar 0,005 (p < 0,05), sehingga

antara mean empirik dan mean teoritik ada perbedaan secara

signifikan. Artinya sikap masyarakat negatif secara signifikan


(56)

Tabel 12.

Uji t Mean Empirik dan Mean Teoritik

One-Sample Statistics

N Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

VAR00062 100 146.4100 21.39815 2.13981

d. Analisis Secara Khusus 1) Aspek Sikap

a) Aspek Kognitif

Pada aspek kognitif, mean empirik = 47,08 < mean

teoritik = 50, dan hasil uji t yang menunjukkan nilai t =

-0,846 dengan p = 0,00 (p < 0,05). Secara signifikan terdapat

perbedaan antara mean teoritik dengan mean empiris,

artinya pada aspek kognitif, sikap subjek negatif secara

signifikan terhadap kaum metroseksual

One-Sample Test

-2.846 99 .005 -6.09000 -10.3359 -1.8441

VAR00062

t df Sig. (2-tailed)

Mean

Difference Lower Upper 95% Confidence Interval of the

Difference Test Value = 152.5


(57)

Tabel 13.

Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Kognitif

Teoritik Empirik

N 100 100

Minimum 20 29

Maximum 80 80

Mean 50 47,08

Std. deviasi 10 7,75

b) Aspek Afektif

Dari hasil analisis diketahui bahwa mean empirik =

53,11 > mean teoritik = 52,5 dan hasil analisis uji –t

diperoleh skor t = 0,736, dan p = 0,464 (p > 0,05), artinya

tidak ada perbedaan yang signifikan antara mean teoritis

dan mean empiris. Pada aspek afektif, sikap masyarakat

tidak dapat dipastikan apakah memiliki sikap positif atau

negatif terhadap kaum metroseksual.

Tabel 14.

Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Afektif

Teoritik Empirik

N 100 100

Minimum 21 33

Maximum 84 85

Mean 52,5 53,11

Std. deviasi 10,5 6,98

c) Aspek Konatif

Pada aspek konatif, mean empirik = 46,20 < mean

teoritik = 50, hasil uji – t diperoleh skor t = - 5,437 dengan


(58)

empirik berbeda dengan mean teoritik secara signifikan.

artinya pada aspek konatif, sikap subjek negatif secara

signifikan terhadap kaum metroseksual

Tabel 15.

Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Konatif

Teoritik Empirik

N 100 100

Minimum 20 28

Maximum 80 76

Mean 50 46,20

Std. deviasi 10 6,98

2) Indikator Kaum Metroseksual

a) Gaya Hidup

Pada indikator gaya hidup, mean empirik = 45,69 <

mean teoritik = 50, dan hasil uji – t diperoleh skor p =

0,000 (p < 0,05) dengan t = -5,784. Berdasarkan hasil

tersebut terdapat perbedaan secara signifikan antara mean

teoritik dengan mean empirik, artinya sikap subjek negatif

secara signifikan terhadap gaya hidup kaum metroseksual.

Tabel 16.

Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Indikator Gaya Hidup

Teoritik Empirik

N 100 100

Minimum 20 29

Maximum 80 77

Mean 50 45,69


(59)

b) Penampilan Diri

Pada indikator penampilan diri, mean empirik =

51,28 < mean teoritik = 52,5, dan hasil uji -t diperoleh skor

t = -1,638 dengan p = 0,105 (p > 0,05). Berdasarkan hasil

tersebut, tidak ada perbedaan secara signifikan antara mean

teoritik dan mean empirik. Artinya sikap subjek terhadap

penampilan diri kaum metroseksual tidak dapat dipastikan

apakah positif atau negatif.

Tabel 17.

Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Indikator Penampilan Diri

Teoritik Empirik

N 100 100

Minimum 21 28

Maximum 84 80

Mean 52,5 51,28

Std. deviasi 10,5 7,449

c) Perawatan Diri

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mean empirik

= 47,01 < mean teoritik = 50 dengan uji-t menghasilkan

skor t = -3,797 dan p = 0,000 (p < 0,05). Berdasarkan hasil

tersebut terdapat perbedaan yang signifikan antara mean

empirik dan mean teoritik, artinya sikap subjek negatif

secara signifikan terhadap perawatan diri kaum


(60)

Tabel 18.

Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Indikator Perawatan Diri

Teoritik Empirik

N 100 100

Minimum 20 28

Maximum 80 80

Mean 50 47,01

Std. deviasi 10 7,87

e. Analisis Tambahan 1). Usia

Peneliti menggunakan uji korelasiproduct momentPearson

untuk menguji hubungan sikap masyarakat dengan usia

terhadap kaum metroseksual. Hasil penelitian menunjukkan

skor p = 0,012 (p ≥0,05) dengan korelasi 0,250, artinya bahwa terdapat hubungan secara signifikan antara usia dan sikap

masyarakat terhadap kaum metroseksual.

2). Jenis Kelamin

Peneliti menggunakan T-test independent sample tes untuk

menguji perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan

terhadap kaum metroseksual. Hasil yang didapat adalah mean

laki-laki lebih besar daripada mean perempuan (177,56 >

174,73) dengan skor p = 0,391 (p > 0,05), artinya laki-laki dan

perempuan sama-sama tidak memiliki perbedaan sikap


(61)

3). Pendidikan Terakhir

Pengujian dilakukan dengan menggunakan analisis

perbandingan mean yaitu one way ANOVA untuk menguji

apakah pendidikan terakhir mempengaruhi sikap masyarakat

terhadap kaum metroseksual. Hasil yang didapat adalah mean

S2 lebih besar dibandingkan dengan mean S1, dan mean S1

lebih besar daripada mean SMU (215.20 > 181.03 > 170.81)

dengan p = 0.000 (p < 0,05), artinya terdapat perbedaan secara

signifikan antar jenjang pendidikan pada sikap subjek terhadap

kaum metroseksual.

4). Pekerjaan

Pengujian dilakukan dengan menggunakan analisis

perbandingan mean yaitu one way ANOVA untuk menguji

apakah ada pengaruh antara pekerjaan dan sikap masyarakat

kaum metroseksual. Hasil yang didapat adalah mean wirausaha

= 182.62, mean tidak bekerja = 180.50, mean pekerja =

175.93, dan mean mahasiswa = 171.42 dengan p = 0.360 (p >

0,05), artinya bahwa pekerjaan subjek tidak memiliki pengaruh

yang signifikan pada sikap subjek terhadap kaum


(62)

C. Pembahasan

Yogyakarta terkenal sebagai kota budaya. Hal tersebut nampak dari

ritual budaya yang diadakan tiap tahun, dalam perkawinan masih

menggunakan ritual adat, berdirinya keraton, serta memandang raja

keraton sebagai pemimpin mereka. Tidak hanya itu saja nilai-nilai dari

leluhur ikut diwariskan kepada penerusnya antara lain harapan-harapan

atau peran-peran terhadap pria, dimana pria menjadi sosok maskulin.

Barker (Dalam terannova, 2008) memaparkan bahwa pria diharapkan

mempunyai kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, pekerja keras,

dan dianggap lemah bila menyentuh kehidupan domestik, perempuan, dan

kelembutan. Hal tersebut berbanding terbalik dengan pria metroseksual,

dimana pria suka merawat dirinya dengan pergi ke salon, pergi ke butik,

berpenampilan rapi dan suka menghabiskan waktu di mall/ kafe. Oleh

karena itu, peneliti ingin melihat sikap masyarakat terhadap kaum

metroseksual.

Dari hasil uji perbandingan mean diketahui bahwa mean empirik

lebih kecil dari mean teoritik (146,41< 152,5). Hal tersebut berarti bahwa

masyarakat Yogyakarta pada penelitian ini memliki sikap yang cenderung

negatif secara signifikan terhadap kaum metroseksual. Dengan kata lain

meskipun modernisasi semakin berkembang di wilayah Yogyakarta akan

tetapi masyarakat Yogyakarta pada penelitian ini cenderung menolak pria

metroseksual. Masyarakat cenderung masih memegang nilai-nilai


(63)

bila mempunyai kekayaan, ketenaran dan status yang sangat laki-laki. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa laki-laki dilarang mendekati hal-hal yang

berbau feminin (Levine dalam ensiklopedia Wikipedia, 1998).

Sikap berisi tiga aspek yang saling berhubungan, yaitu kognitif,

afektif dan konatif. Dari hasil analisis sikap terhadap aspek kognitif

diketahui bahwa mean empirik lebih kecil mean teoritik ( 47,08 < 50),

yang artinya subjek memiliki sikap negatif terhadap kaum metroseksual.

Pada tataran konsep pemikiran, dari apa yang ketahui dan yakini pada

dasarnya mereka menolak atau tidak menerima pria yang mempunyai gaya

hidup yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diwariskan.

Pada aspek kognitif terlihat meskipun terdapat perkembangan di

segala aspek kehidupan pada masyarakat Yogyakarta sikap masyarakat

masih memegang nilai-nilai yang diturunkan oleh generasi sebelumnya.

Seperti dijelaskan oleh Azwar (1995) bahwa kebudayaan merupakan

faktor yang dapat membentuk sikap seseorang.

Aspek selanjutnya dari sikap adalah aspek afektif. Aspek ini

mengungkap dimensi emosional dari sikap, merupakan dimensi yang

berhubungan dengan sikap (Azwar, 1995). Jika dilihat dari hasil uji

perbedaan mean diketahui bahwa mean empirik lebih besar dari mean

teoritik (53,11 > 52,5), artinya subjek dalam penelitian ini tidak bisa

dipastikan apakah mereka memiliki sifat negatif atau positif terhadap


(64)

Hal tersebut dikarenakan oleh sebagian masyarakat Yogyakarta

masih menjunjung tinggi nilai tradisional akan tetapi sekaligus terbuka

terhadap akulturasi dengan nilai budaya luar (Sahni, 2005), sehingga

metroseksual yang merupakan budaya dari luar mengalami perkembangan

di wilayah Yogyakarta.

Aspek terakhir dari sikap adalah aspek kognitif, yang memberikan

gambaran mengenai kecenderungan berperilaku dalam diri seseorang. Dari

hasil penelitian ini diketahui bahwa mean empirik lebih kecil dari mean

teoritik (46,20 < 50), artinya subjek memiliki sikap negatif yang

signifikan. Subjek cenderung menghindar terhadap kaum metroseksual.

Pada tataran konsep mereka nampaknya mereka memegang nilai-nilai

maskulinitas yang diwariskan kepada mereka sehingga mereka cenderung

bereaksi menghindar bila bertemu dengan kaum metroseksual. Reaksi ini

merupakan kecenderungan subjek untuk bertindak secara negatif terhadap

kaum metroseksual.

Pada indikator gaya hidup kaum metroseksual, dari hasil analisis

diketahui bahwa mean empirik lebih kecil dari pada mean teoritik (45,69

<50). Artinya bahwa masyarakat memiliki sikap negatif yang signifikan.

Hal ini berarti masyarakat tidak menyetujui bila para pria lebih suka

menghabiskan waktunya di mall atau kafe. Pria diharapkan untuk bekerja

daripada menghabiskan waktu di mall atau kafe. Hal tersebut didasarkan

pada harapan-harapan budaya pada diri pria. Azwar (1995)


(65)

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap individu. Dalam

hal ini masyarakat masih memegang teguh nilai-nilai yang diwariskan oleh

leluhurnya.

Pada indikator perilaku penampilan diri kaum metroseksual, dari

hasil analisis diketehui bahwa mean empirik lebih besar dari pada mean

teoritik (52,5 < 51,28). Artinya bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan

antara mean teoritik dan empiris. Dari hasil tersebut tidak dapat dipastikan

apakah mereka memiliki sikap negatif atau positif terhadap kaum

metroseksual. Hal ini dikarenakan pada masa sekarang penampilan

menjadi sangat penting dalam dunia kerja sehingga berpenampilan rapi

sangat diperlukan. Azwar (1995) menyebutkan bahwa media massa

sebagai sarana penyampaian informasi juga berpengaruh terhadap

pembentukan sikap seseorang. Media massa seringkali membawa

pesan-pesan yang mengandung sugesti dimana pria sangat menarik bila

berpenampilan rapi (Kartajaya, 2004).

Pada indikator perawatan diri, dari hasil analisis diketahui bahwa

mean empirik lebih kecil dari pada mean teoritik (47,01 < 50). Hal ini

berarti masyarakat memiliki sikap negatif secara signifikan. Dengan

demikian, masyarakat tidak menyetujui bila para pria merawat diri dengan

pergi ke salon dengan melakukan perawatan kuku, tangan, dan kaki,

melakukan luluran, spa dan facial. Azwar (1995) mempertegas bahwa

sikap dapat dipengaruhi oleh faktor budaya dimana subjek berada dan


(66)

masyarakat masih memandang pria tidak semestinya berada pada area

yang dianggap masih didominasi oleh wanita.

Peneliti melakukan uji tambahan terhadap demografi subjek (usia,

jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan pekerjaan). Hasil yang didapat

adalah usia dan pendidikan terakhir subjek yang berpengaruh terhadap

sikap terhadap kaum metroseksual. Dari hasil uji tambahan terdapat

hubungan antara usia dan sikap subjek terhadap kaum metroseksual ( p =

0,012 dan koefisien korelasi 0,250). Middlebrook ( dalam Azwar, 1995)

mengatakan bahwa tak adanya pengalaman sama sekali dengan sesuatu

objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek

tersebut. Azwar (1995) mengatakan lebih lanjut bahwa sikap akan lebih

mudah terbentuk apabila pengalaman terjadi dalam situasi yang

melibatkan emosional. Metroseksual merupakan fenomena yang baru

berada di masyarakat Yogyakarta, sehingga subjek bersikap negatif

terhadap gaya hidup metroseksual ini. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh

kebudayaan dimana subyek berada, laki-laki diharapkan untuk menjauhi

area yang di dominasi oleh kalangan wanita.

Pada hasil uji terhadap jenjang pendidikan terakhir, terdapat

perbedaan yang signifikan antara jenjang pendidikan pada sikap subjek

terhadap kaum metroseksual. Hal tersebut dapat dilihat dari hasilnya

bahwa pendidikan S2 > pendidikan S1 > pendidikan SMU (215,20 >

181,03 > 170,81). Azwar (1995) menjelaskan bahwa pendidikan


(67)

akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya, semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin terbuka sikapnya terhadap

gaya hidup kaum metroseksual. Keterbukaan seseorang pada pemikiran

baru, menjadikan konsep atau nilai-nilai baru menjadi dapat diterima oleh

seseorang.

Dari keseluruhan pembahasan terhadap sikap masyarakat dapat

dilihat bahwa masyarakat Yogyakarta dalam penelitian ini cenderung

menolak kaum metroseksual. Hal tersebut memperlihatkan bagaimana

nilai-nilai yang ditanam dari generasi sebelumnya masih mengakar dalam

diri seseorang melalui proses sosialiasi, dimana sifat-sifat maskulinitas


(68)

50 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Masyarakat Yogyakarta pada penelitian ini memiliki sikap yang

negatif terhadap kaum metroseksual. Hal tersebut dapat berarti mereka

cenderung menolak kaum metroseksual.

2. Berdasarkan analisis terhadap aspek kognitif, subjek memiliki sikap

negatif yang signifikan. Hal itu artinya pada tataran konsep pemikiran

pada dasarnya mereka menolak atau tidak menerima kaum

metroseksual.

3. Pada aspek afektif subjek tidak ada perbedaan yang signifikan antara

menerima atau menolak. Hal tersebut berarti tidak dapat dipastikan

apakah mereka memiliki sikap negatif atau positif terhadap kaum

metroseksual.

4. Pada aspek konatif diketahui bahwa masyarakat memiliki sikap yang

negatif secara signifikan. Hal tersebut berarti subjek cenderung untuk

menolak.

5. Pada indikator gaya hidup, masyarakat pada penelitian ini memiliki

sikap negatif yang signifikan, artinya mereka menolak jika pria

mempunyai kegiatan yang sering menghabiskan waktu di mall/ kafe.

6. Pada indikator penampilan diri, tidak ada perbedaan yang signifikan


(69)

mereka tidak dapat dipastikan apakah mereka memiliki sikap negatif

atau positif terhadap kaum metroseksual.

7. Pada indikator perawatan diri, masyarakat memiliki sikap negatif

secara signifikan, artinya mereka menolak perawatan diri pada kaum

metroseksual.

8. Pada analisis tambahan demografi subjek, terhadap hubungan antara

usia dan sikap terhadap kaum metroseksual.

9. Pada demografi pendidikan terakhir, terdapat perbedaan sikap

masyarakat terhadap kaum metroseksual, antara subyek yang memiliki

jenjang pendidikan S2, dengan subyek yang memiliki jenjang

pendidikan S1, dan dengan subyek yang memiliki jenjang pendidikan

SMU.

B. Saran

1. Saran untuk penelitian selanjutnya,

Bagi peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini

karena keterbatasan waktu melakukan penelitian ini hendaknya

penelitian berikutnya dapat menggunakan skala yang digunakan oleh

peneliti agar mendapatkan hasil yang lebih baik. Subjek penelitian

juga hendaknya lebih banyak lagi agar hasil yang dicapai lebih


(70)

2. Saran untuk masyarakat,

Masyarakat perlu menyadari bahwa nilai-nilai yang diturunkan

bukan hal yang kodrati, melainkan suatu harapan budaya terhadap

kaum pria. Walaupun demikian pria mempunyai pilihan bebas untuk


(1)

c. Aspek Konatif

VAR00020

N Valid 100

Missing 0

Mean 46.2000

Std. Error of Mean .69892

Median 46.0000

Mode 46.00

Std. Deviation 6.98917

Variance 48.848 Range 48.00 Minimum 28.00 Maximum 76.00 Sum 4620.00 VAR00020

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 28.00 2 2.0 2.0 2.0

33.00 1 1.0 1.0 3.0

35.00 2 2.0 2.0 5.0

36.00 1 1.0 1.0 6.0

37.00 2 2.0 2.0 8.0

38.00 2 2.0 2.0 10.0

39.00 2 2.0 2.0 12.0

40.00 4 4.0 4.0 16.0

41.00 3 3.0 3.0 19.0

42.00 4 4.0 4.0 23.0

43.00 8 8.0 8.0 31.0

44.00 4 4.0 4.0 35.0

45.00 3 3.0 3.0 38.0

46.00 13 13.0 13.0 51.0

47.00 10 10.0 10.0 61.0

48.00 11 11.0 11.0 72.0

49.00 6 6.0 6.0 78.0

50.00 7 7.0 7.0 85.0

51.00 4 4.0 4.0 89.0

52.00 2 2.0 2.0 91.0

53.00 1 1.0 1.0 92.0

54.00 4 4.0 4.0 96.0

57.00 1 1.0 1.0 97.0

70.00 1 1.0 1.0 98.0

71.00 1 1.0 1.0 99.0

76.00 1 1.0 1.0 100.0


(2)

T-Test Konatif

One-Sample Statistics

100 46.2000 6.98917 .69892 VAR00001

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

One-Sample Test

-5.437 99 .000 -3.80000 -5.1868 -2.4132 VAR00001

t df Sig. (2-tailed)

Mean

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference Test Value = 50


(3)

UJI TAMBAHAN

a. Usia

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

sikap 176.20 23.691 100

usia 25.98 6.226 100

Correlations

sikap usia

sikap Pearson Correlation 1 .250*

Sig. (2-tailed) .012

N 100 100

usia Pearson Correlation .250* 1

Sig. (2-tailed) .012

N 100 100


(4)

b. Jenis kelamin

Group Statistics

52 177.56 25.874 3.588 48 174.73 21.249 3.067 jenis_kelamin

laki-laki perempuan skor_total

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Independent Samples Test

.742 .391 .595 98 .554 2.829 4.758 -6.613 12.270

.599 96.723 .550 2.829 4.720 -6.540 12.197 Equal variances

assumed Equal variances not assumed skor_total

F Sig. Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence Interval of the

Difference t-test for Equality of Means


(5)

c. Pendidikan Terakhir

Oneway ANOVA

[DataSet2]

Descriptives sikap

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound

Upper Bound

smu 64 170.81 22.968 2.871 165.08 176.55 118 282

s1 31 181.03 12.611 2.265 176.41 185.66 146 204

s2 5 215.20 42.927 19.197 161.90 268.50 176 267

Total 100 176.20 23.691 2.369 171.50 180.90 118 282

Test of Homogeneity of Variances sikap

Levene Statistic df1 df2 Sig.

8.291 2 97 .000

ANOVA sikap

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 10186.482 2 5093.241 10.887 .000

Within Groups 45377.518 97 467.809


(6)

d. Pekerjaan

Oneway

ANOVA

[DataSet2]

Descriptives sikap

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

mahasiswa 36 171.42 24.397 4.066 163.16 179.67 132 282

pekerja 30 175.93 26.754 4.885 165.94 185.92 118 267

wirausaha 16 182.62 24.719 6.180 169.45 195.80 146 256

tidak bekerja 18 180.50 13.259 3.125 173.91 187.09 153 207

Total 100 176.20 23.691 2.369 171.50 180.90 118 282

Test of Homogeneity of Variances sikap

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.816 3 96 .488

ANOVA sikap

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1819.133 3 606.378 1.083 .360

Within Groups 53744.867 96 559.842