MAKALAH HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA PERM (1)

MAKALAH
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
PERMASALAHAN HAK ASASI MANUSIA DALAM POLITIK OTONOMI
DAERAH DI INDONESIA

Dosen Pengajar :
Oleh:
1. Durotun Nafiah
2. Eko Sunarsih

8111416085
811416210

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
FAKULTAS HUKUM
2017
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,

1


Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat nikmat dan rahmat
serta hidayah-Nya makalah tentang permasalahan hak asasi manusia dalam
politik otonomi daerah di indonesia dapat terselesaikan dengan baik dan sesuai
dengan yang kami harapkan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari
dosen pengajar mata kuliah Hukum Asasi Manusia bapak Ridwan Arifin,
S.H,.Ll.m untuk memenuhi penugasan terstruktur yang sesuai dengan rencana
pembelajaran semester(RPS).
Akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan lancar.
Kami banyak mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam penyususnan makalah ini. Semuanya tidak akan
sukses tanpa dukungan dari orang-orang terdekat, semoga hasilnya tidak
mengecewakan dan mendapat apresiasi yang terbaik. Adapun kami hanyalah
manusia biasa apabila terjadi kesalahan ataupun hal yang kurang berkenan
untuk menjadi sumber bacaan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca umumnya dan
khususnya kami sebagai penyusun makalah ini.

Semarang, Oktober 2017

Penulis


2

DAFTAR ISI

HALAMAN
JUDUL……………………………………………………..........
KATA
PENGANTAR………………………………………………………...
DAFTAR ISI…………………………………………………….
…………….
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang………………………………………………………...
1.2 Rumusan Masalah………………………………………….
…………
1.3
Metode
Penulisan……………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Otonomi Daerah…………………………….
………………………...
2.2 Aspek-aspek Otonomi
daerah…………………………………………
2.3 Pelanggaran HAM dalam politik otonomi
Daerah……………………
2.4 Studi kasus pelanggaran otonomi
daerah……………………………..
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ………...
…........................................................................
3.2 Saran
…................................................................................
Daftar
Pustaka…………………………………………………………………..
Daftar
Tabel…………………………………………………………………….
Tabel 1.1 Pekerja Anak Di
Papua………………………………………………


3

1
2
3

4
4
5

6
9
11
12

17
17
18

16


BAB I
PENDAHULUAN
1.1

LATAR BELAKANG
Keputusan politik untuk menegakan HAM (Hak Asasi Manusia) dalam

bidang politik, sosial, dan budaya sering terhambat oleh faktor-faktor
kekuasaan

pemerintah

meliputi:

sistem

politik

yang


dianut

oleh

negara(otoriter, totaliter, sentralistik, mutlak, kedaulatan negara, semi
demokratis, demokratis, dan lain-lain) sehingga semakin demokratis suatu
negara semakin kuat proses penegakan hak asasi manusia dalam suatu
negara. salain itu, sistem ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
penegakan

hukum

disuatu

negara,

namun

lemahnya


hukum

tidak

berbanding lurus dengan tingkah laku pejabat yang melanggar normanorma hukum yang berlaku meskipun sudah ditetapkan peraturan-peraturan
yang mengikat bagi warga negara.1
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 telah diamanatkan
bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah hal ini tersebut
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
daearah melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan emperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan
suatu

daerah

dalam


Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia. 2

Negara

Indonesia, dijelaskan dalam pasal 18B ayat 1 UUD 1945, mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang
merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima puluh) bahasa
daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia.3 Keputusan politik
1

A. Masyhur Effendi dan taufani S. Evandri, Ham dalam dinamika/dimensi hukum, politik,
ekonomi, dan sosial (Rev.ed.; Bogor : Ghalia Indonesia; 2014 ) hlm.28

2

Undang-Undang Dasar 1945

3

Mengenai unsur-unsur pidana dalam pelanggaran HAM dalam kategori kejahatan terhadap
kemanusiaan bisa dilihat dalam Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat dan Tanggungjawab Komando, MA-RI, Jakarta, 2006.

4

penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur namun kenyataannya berbagai
kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya
memungkinkan
mendukung

tercapainya


terwujudnya

kesejahteraan

penegakan

rakyat,

hukum,

belum

sepenuhnya

dan belum

sepenuhnya

menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi

Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan
terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama
dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial
politik Pelanggaran HAM. Dimana seseorang di ekspoitasi secara besarbesaran tanpa memperhatikan hak-hak sebagai warga negara, “the advent
of the Code of Hammurabi in which it is specified that people cannot be
tortured, enslaved and have their wealth confiscated without a fair
judgment”( Kode Hammurabi di mana ia ditentukan bahwa orang tidak
dapat

disiksa,

diperbudak

dan

kekayaan

mereka

disita

tanpa

adil

pertimbangan)4
Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada
Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI
Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 19992004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000
tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan
Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi
khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. 5
Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut tidak hanya
terjadi didalam lingkup nasional, melainkan dalam ruang daerah yang
ditetapkan

sebagai

peraturan-peraturan

otonomi

daerah.

Peraturan-

peraturan yang banyak berpihak pada perkembangan dan perwujudan
dalam

otonomi

daerah

disisipkan

peraturan

yang

ternyata

telah

menghilangkan hak-hak rakyat sebagai warga negara yang dilindungi oleh
hukum negara. kebijakan-kebijakan pemerintah daerah tersebut kekurangan
4

Isabela Stancea, A CONCEPT WITH UNIVERSAL MEANINGS, HUMAN RIGHTS.

5

Muridan S. Widjojo (editor), Papua Roadmap, Obor, Jakarta, 2009.

5

efektifan pelaksanaannya sehingga masyarakat merasa banyak dirugikan
dengan adanya peraturan yang diterbitkan oleh pemerintahan daerah.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kewenangan dalam menjalankan otonomi daerah?
2. Aspek-aspek apa saya yang perlu diperhatikan dalam menjalankan
otonomi daerah?
3. Bagaimana jika politik otonomi daerah melangggar hak asasi manusia?
4. Pelanggaran HAM yang terjadi sebagai otonomi derah khusus papua?
1.3 METODE PENULISAN
Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya
tulis ini adalah metode studi pustaka atau Library Research. Studi pustaka
dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang bersifat teoritis yang
kemudian data tersebut akan dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat
adanya ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan sebagai penyebab
dari permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini. Sumber – sumber
yang dijadikan sebagai rujukan untuk studi pustaka diperoleh dari berbagai
sumber bacaanStudi tersebut memperhatikan beberapa hal, meliputi:
1. Variabel Kepustakaan
Variabel merupakan unsur, aspek, dan bagian tertentu

dari

judul/tema/masalah penelitian. variabel tersebut bersifat tidak baku
(kaku).
2. Teori Penelitian Kepustakaan
Teori penelitian kepustakaan menjelaskan tentang berbagai teori yang
didapat, kemudian dianalis dan dikembangkan dalam format pemikiran
penulis/peniliti lalu dikritisi atau sebaliknya didukung.
3. Penelitian Kepustakaan
Salah satu komponen sangat penting dalam sebuah penelitian. Hal ini
menyatakan hubungan (tema/judul) apa yang digali atau ingin diteliti.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
OTONOMI DAERAH
Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia telah
memporak-porandakan tiang-tiang ekonomi dan politik negeri yang
telah dibangun pasca reformasi. Krisis ekonomi dan politik yang
berkelanjutan menjadi multikrisis. Reformasi membuka jalan bagi
setiap daerah untuk menyuarakan keadilan ekonomi, politik, sosial
budaya, dan pelayanan. Pendekatan pembangunan sentralistik
banyak kesenjangan antar daerah
Kesenjagan

tersebut

meliputi
6

menimbulkan ketidakadilan.

beberapa

aspek-sapek

berupa

pendapatan

daerah,

kesenjangan

investasi

antar

daerah,

pendapatan daerah yang dikuasai oleh pemerintahan pusat,
kesenjangan reginal, dan kebijakan investasi yang terpusat.
Sehingga untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya salah satu
alternative

untuk

memanfaatkan

memberdayakan

sumber

daya

setiap

alam(SDA)

daerah

dan

dalam

sumber

daya

manusia(SDM) untuk mensejahterakan rakyat.6
Fakta sentralitas pemerintahan terbukti telah menyalahi hakikat
dari demorasi. Sehingga, asas desentralisasi ditetapkan untuk
membagi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur
pemerintahannya

sendiri

sehingga

disebut

otonomi

daerah. 7

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai dasar pelakssanaan
otonomi daerah, dengan adanya otonomi daerah diharapkan dapat
mengembangkan potensi yang dimiliki daerah dan mengurangi
jarak politik antara rakyat dengan pemerintahan sehingga rakyat
dapat secara langsung beraspirasi dalam tatakelola daerahnya.
Ketentuan pada pasal 1 ayat (6) jo (12) UU Peraturan Daerah
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah, yaitu:
Pasal 1 ayat (6) “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pasal 1 ayat (12) “Daerah Otonom yang selanjutnya disebut
Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 8
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan
dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Sehingga berupa instrument administrasi/ managemen
yang digunakan untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal sehingga
dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat di daerah
6

Winarna Adisubrata, Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia (Semarang : Aneka Ilmu,
2007).
7

Ibid,.

8

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Peraturanan Daerah.

7

dalam

mendorong

tantangan

global

pemberdayaan
dan

masyarakat,

mengembangkan

menghadapi

demokrasi.

Sehingga

otonomi daerah dianggap dapat menjawab persoalan-persoalan
pemerataan

pembangunan

sosial

ekonomi,

penyelenggaraan

perintahan dan pembangunan kehidupan politik yang efektif.
Landasan hukum dalam melaksanaakan otonomi daerah diatur
dalam pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :
(1)Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan derah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2)Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3)Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4)Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
(5)Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali

urusan

pemerintahan

yang

oleh

undang-undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6)Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7)Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang.9
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dibentuk
undang-ungang organik sebagai pelaksanaan dari pasal 18 UUD
1945. Undang-undang Nomer 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah yang digantikan oleh Undang-undang
Nomer
9

22

Tahun

1999

tentang

Undang-Undang Dasar 1945.

8

Pemerintahan

Daerah

lalu

digantikan dengan Undang-undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah lalu disempurnakan dengan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain perubahan-perubahan menjadi sistem desentralisasi,
adanya privilege bagi daerah-daerah tertentu dengan sebutan
sebagai

daerah

istimewa,

diantaranya

Aceh

dan

papua.

Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus
kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g)angka 2. Dalam
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara
lain

menekankan

tentang

pentingnya

segera

merealisasikan

Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang-undang
otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan
aspirasi masyarakat.10 Serta Diatur dalam Undang-Undang Nomor
44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh (UU Keistimewaan) yang diantaranya
memberikan

keistimewaan

penyelenggaraan

keistimewaan

penyelenggaraan kehidupan beragama (pasal 3 ayat (2) UU
Keistimewaan) yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at
islam. Berdasarkan ketentuan TAP MPR No.IV/MPR/1999 dan TAP
MPR No.IV/MPR/2000 serta pengakuan implisit yang terdapat pada
pasal

18A

dan

Pasal

18B

amandemen

kedua

UUD

1445,

dikeluarkanlah Undang-undang Nomer 18 Tahun 2001 yeng berisi
tentang

otonomi

daerah

bagi

provinsi

Nanggroe

Aceh

Darussalam.11
Ketentuan pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun
2014

jo

Undang-Undang

Nomor

12

Tahun

2008

tentang

pemerintahan daerah terfokusnya otonomi daerah pada tingkat
10

lihat Muridan S. Widjojo (editor), Op. Cit. hlm 23.

11

Moh.Fauzi, " Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia pada Era Otonomi Daerah (Studi
atas Otonomi Hukum di Provinsi Aceh)".Sosial dan Budaya Keislaman, Vol. 24 No. 1, Juni 2016

9

kota dan kabupaten yang ditinjau baik dari segi kewenangan
maupun segi pertimbangan keuangan yang diterimanya, maka
daerah provinsi semakin jauh dari adanya kewajiban untuk
mewujudkan dan melaksanakan kebijakan dalam segala bidang
perkembangan

daerah.

Selain

itu,

otonomi

daerah

banyak

memberikan wewenang kepada daerah kota dan kabupaten dalam
mengeluarkan kebijakan dibidang politik, dan sosial budaya yang
memngakibatkan adanya tumpang tindih antara kebijakan satu
dengan

lainnya

sehingga

mengakibatkan

kerugian

terhadap

pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri.12
2.2

ASPEK-ASPEK OTONOMI DAERAH
Kebijakan otonomi daerah pertama pada masa pemerintahan

B.J Habibie, keluarnya otonomi daerah tersebut merupakan titik
balik

pelaksanaan

dibandingkan

otonomi
dengan

daerah

yang

lebih

kebijakan-kebijakan

demokratis
otomoni

sebelumnya(melalui Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1974 Produk
Orde Baru) yang dinilai sentralis. Kebijakan otonomi daerah pada
masa B.J Habibie tersebut tidak lepas dari tuntutan daerah dan
sikap pemerintah pusat yang akomodatif atas tuntutan daerah,
sbahwa kebijakan tersebut bermaksud untuk mendorong agar lebih
mandiri dan demokratis.

13

Beranjak dari rumusan di atas, dapat

disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai
tiga aspek, yaitu:
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.
kewajiban untuk

2. Aspek

tetap

mengikuti

peraturan

dan

ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada
dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya

sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban,
juga

terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan

sendiri.
12

Nita Triana, "pendekatan Ekoregion dalam Sistem Hukum Pengelolaan Sumber Daya Air
Sungai di Era Otonomi Daerah".pandecta, Volume 9. Nomor 2. Desember 2014.
13

Gede Tusan Ardika, “Konsep Dasar Otonomi Daerah Dalam Era Reformasi”, GaneC Swara,
Volume 5, Nomor 1, 2011.

10

Makna hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan
pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam
bidang

kebijaksanaan,

pelaksanaannnya.

pembiyaan

Sedangkan

serta

kewajban

harus

perangkat
mendorong

pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya
wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk
berinisiatif

sendiri,

menetapkan

kebijaksanaan

sendiri,

perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri. Dengan
demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014, maka kebijakan otonomi daerah harus mampu:
1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan
melaksanakan kebijaksanaan sendiri
2. Membuat peraturan sendiri (PERDA)

beserta

peraturan

pelaksanaannya.
3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan
prasarananya.
Peraturan Daerah merupakan instrument dalam pelaksanaan
otonomi

daerah

untuk

menentukan

arah

dan

kebijakan

pembangunan daerah serta fasilitas pendukungnya. Namun dalam
perkembangannya

politik

otonomi

daerah

persoalan

demi

persoalan muncul berkenaan dengan penetapan dan pelaksanaan
Perda ini, sampai kemudian Pemerintah (Pusat) kewalahan untuk
melaksanakan pengawasan sampai pembatalannya. Perda adalah
produk daerah yang unik, karena dihasilkan dari sebuah proses
yang didominasi kepentingan politik lokal. Sejak otonomi daerah
bergulir, muncul ribuan Perda pajak dan retribusi daerah yang
memberatkan investor. Perda ini dianggap menimbulkan masalah
ekonomi biaya tinggi yang berdampak bagi pertumbuhan ekonomi,
baik lokal maupun nasional. Sehingga banyak Pemerintah Daerah
yang memanfaatkan peluang meningkatkan PAD melalui Perda.
Peraturan daerah harus mengandung sebuah regulasi yang dapat
ditaati oleh masyarakatnya dengan itu perlu memahami keinginan
dan kondisi sosial masyarakatnya sehingga dapat diterapkan dalam
jangka waktu lama. Dalam pencapaian peraturan daerah yang
11

responsive dalam mendukung otonomi daerah selayaknya para
perancang memperhatikan asas-asas pembentukan perda sebagai
kerangka acuan. 14
Peraturan daerah merupakan hasil kerja bersama antara
DPRD

dengan

pembuatan

Gubernur/Bupati/Walikota

PERDA

harus

ditinjau

karena

dari

tatacara

beberapa

unsur

pemerintahan. Keikut sertaan DPRD membentuk Perda bertalian
dengan wewenang DPRD di bidang legislatif atau yang secara tidak
langsung dapat dipergunakan sebagai penunjang fungsi legislatif,
yaitu hak penyidikan, hak inisiatif, hak amandemen, persetujuan
atas Rancangan Peraturan Daerah (RanPerda). Unsur Partisipasi
adalah partisipasi dimaksudkan sebagai keikutsertaan pihak-pihak
luar

DPRD

dan

Pemerintah

Daerah

dalam

menyusun

dan

membentuk RanPerda atau Perda.15
2.3
Pelanggaran HAM dalam Politik Otonomi Daerah
Politik hukum menurut Mahfud MD adalah bagaimana hukum akan
atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi
politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan. 16 Hukum dan
politik merupakan subsistem yang tidak dapat dipisahkan dalam
sistem

kemasyarakatan,

masing-masing

melaksanakan

fungsi

tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara
keseluruhan. Sistem hukum memikul tanggung jawab utama untuk
menjamin dihormatinya hak dan kewajiban yang timbul karena hak
yang bersangkutan. Sasaran utama dalam sistem politik ialah
memuaskan kepentingan kolektif dan perorangan, meskipun sistem
hukum dan sistem politik dapat dibedakan namun banyak yang
masih adanya peraturan yang tumpang tindih yang menimbulkan
konflik. Adanya peraturan daerah yang bermasalah serta peraturan
yang tidak pro terhadap rakyat, maka aplikasi politik hukum dalam
pembuatan Perda harus selaras dengan teori tujuan hukum itu

14

Muhammad Suharjono, “Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung
Otonomi Daerah”, Ilmu Hukum, Vol. 10, Nomer. 19, Pebruari 2014.
15
16

Bagir Manan,” Menyongsong Fajar OtonomiDaerah”,Pusat Studi Hukum U11,Yogyakarta ,2001,hal.70
Moh. Mahfud, MD., Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm.9.

12

sendiri yaitu harus dapat memberikan rasa adil dan memberikan
kepastian hukum serta terdapat nilai kemanfaatan.17
Pembatalan perda bermasalah telah memperoleh landasan hukum
dalam Undang-undang Pemerintah Daerah. Hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 251 ayat 1-3

Undang-Undang Nomer.23 Tahun

2014 yang menegaskan bahwa:
(1)Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh
Menteri.
(2)Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3)Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan
bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau
peraturan bupati/wali kota.
2.4
Studi kasus pelanggaran politik otonomi daerah
khusus papua
Kekerasan seperti yang terjadi di Paniai sudah sering terjadi
di Papua. Menurut catatan Kontras terdapat sejumlah kasus
kekerasan di Papua yang tidak jelas penyelesaiannya, antara lain:
Kasus Teminabuan (1966-1967), Peristiwa Kebar 26 Juli 1965,
Peristiwa Manokwari 28 Juli 1965 dan Operasi Militer 1965 - 1969.
Kemudian peristiwa penghilangan paksa di Sentani 1970, Operasi
Militer di Paniai sepanjang 1969 - 1980, Operasi Militer di Jaya
Wijaya dan Wamena Barat kurun 1970 - 1985, kasus pembunuhan
di Timika kurun 1994 - 1995, kasus pembunuhan di Tor Atas Sarmi
kurun 1992, penghilangan paksa Aristoteles Masoka, pembunuhan
Opinus

Tabuni

dan

banyak

kasus

lainnya

yang

belum

terdokumentasikan dengan baik.18 Selain itu masih ada kasus
Pembunuhan Pendeta Kinderman Gire di puncak jayanMenurut
17

Ibid, hlm.28.

18

Lihat SKP Keuskupan Jayapura, Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial Politik dan Hak Asasi
Manusia, Gambaran 2000, SKP, 2001. Hlm.216

13

Catatan Kondisi Hak Asasi Manusia di Papua yangn dikeluarkan oleh
ELSAM

(Lembaga

Studi

Advokasi

dan

Masyarakat)

terdapat

sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di Papuayaitu19:
1. Peristiwa Abepura.
Pada 7 Desember 2000 terjadi penyerangan kantor Polsek
Abepura oleh sekelompok orang bersenjata golok dan parang.
Dalam peristiwa itu satu orang anggota polisi tewas dan
sejumlah lainnya luka-luka. Beberapa jam setelah penyerangan
itu

Polres

Jayapura

menggelar

operasi

penyisiran

dan

pengejaran. Dalam operasi tersebut telah terjadi rangkaian
kekerasan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak
asasi manusia.
2. Peristiwa Wasior.
Peristiwa ini bermula dari penyerangan oleh sekelompok orang
bersenjata

terhadap

PT

Darma

Mukti

Persada

(DMP)

di

Kecamatan Wasior pada tanggal 31 Maret 2001. Dalam peristiwa
tersebut tiga orang pegawai PT DMP menjadi korban. Pada
tanggal 13 Juni 2001 terjadi lagi penyerangan terhadap base
camp CV Vatika Papuana Perkasa (VPP) di desa Wondiboi. Dalam
peristiwa ini lima orang anggota Brimob tewas dan satu orang
warga sipil tewas. Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua
melakukan

pengejaran

dan

penyisiran

terhadap

pelaku

penyerangan ke berbagai desa dan kecamatan di sekitar Wasior.
Dalam proses pengejaran tersebut diduga telah terjadi pula
pelanggaran berat hak asasi manusia.
3. Peristiwa Pembunuhan Theys.
Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay hari
Sabtu, 10 November 2001 diculik. Esok harinya, ia ditemukan
telah tewas di Koya Tengah, Kecamatan Muara Tami, Kabupaten
Jayapura. Jenazah Theys ditemukan tertelungkup di jok mobil
Toyota Kijang dengan wajah babak belur dan luka di pelipis,
dahi, dan leher. Peristiwa ini menyulut kemarahan masyarakat
Sentani, daerah asal Theys. Ratusan warga Sentani membakar
dua rumah toko, dua bank (BRI dan BPD Irja), dan 12 bangunan
19

KKPK, Menemukan Kembali Indonesia: Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai
Impunitas, Jakarta, 2014. Hlm. 95-112

14

lainnya, situasi pun mencekam sampai ke hari-hari berikutnya.
Penculikan yang berakhir pembunuhan ini diduga terkait erat
dengan aktivitas politik Theys dan kawan-kawannya. Saat
dibunuh, Theys berstatus sebagai tahanan luar dan sedang
diadili

di

Pengadilan

melakukan

Negeri

sejumlah

Jayapura

kegiatan

dengan

makar

dakwaan

dengan

tujuan

memisahkan Irian Jaya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Banyak pihak berpendapat bahwa pembunuhan Theys
adalah upaya terakhir untuk membungkam keinginan rakyat
Papua untuk merdeka.
4. Peristiwa Wamena.
Pada bulan April 2003 telah terjadi pembobolan gudang senjata
api milik Kodim Wamena. Setelah peristiwa ini TNI melakukan
operasi pengejaran dan penyisiran di sekitar kota Wamena.
Dalam operasi ini telah terjadi berbagai bentuk kekerasan.
Selain dilanda beragam tindak kekerasan yang hampir tiap
tahun terjadi, Papua juga menyimpan sejumlah ironi lainnya.
Salah satunya adalah ironi tentang gizi buruk, busung lapar dan
kelaparan. Di Distrik Kwor, Kabupaten Tambrau, Papua Barat,
ada 95 warga meninggal dunia akibat busung lapar. Meski angka
kematian itu tidak terjadi secara serentak melainkan merupakan
akumulasi sejak November 2012, namun fakta tersebut tetap
saja memprihatinkan. “Ini adalah pembiaran yang dilakukan
pemerintah daerah di sana,” kata Plt. Sekretariat Komnas HAM
Papua,

Frits

Bernard

Kamuki

Ramandey

kepada

Suara

Pembaruan (SP), Rabu (3/4) malam. Kematian 95 warga
Kampung Kwor, kata Frits, bahkan menjadi bahan pembicaraan
hingga saat ini. Bagaimana tidak, dalam catatan SP sejak 2002
hingga 2012, Provinsi Papua telah menerima dana otonomi
khusus (Otsus) sebesar Rp 28,413 triliun, dan Papua Barat dari
2009 hingga 2012 sudah ditransfer dana sebesar Rp 5,269
Triliun. Tak hanya itu, dana tambahan infrastruktur untuk
Provinsi Papua sebesar Rp 2,501 Triliun dan Papua Barat sebesar

15

Rp 2,298 Triliun pun sudah ditransfer. "Lalu kemanakah uang ini
saat rakyatnya menderita?" tanya Frits penuh keprihatinan.
5. Perjuangan keras tanpa lelah dari Mama-mama Pedagang Asli
Papua untuk memperoleh pasar yang layak di tengah kota
Jayapura.
Perjuangan

mama-mama

bersama

Sekretariat

Keadilan,

Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC FP)
dan tim Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP), barangkali
akan membuahkan hasil yang baik bagi Mama-mama Pedagang
Asli Papua ini. Setidaknya, lokasi sekitar komplek Perum Damri
sudah diratakan oleh Pemerintah Kota Jayapura pada 27 April
2016 untuk lokasi pasar tetap. Walikota Jayapura MR Kambu
mengatakan dirinya akan mengusahakan adanya pasar bagi
Mama-mama Padagang Asli Papua. Ia menyampaikan hal itu,
saat mama-mama melakukan demonstrasi ke kantor walikota
pada 10 Oktober 2008. Lalu pada 14 Oktober 2008, Mr Kambu
mengirim

surat

kepada

Gubernur

Provinsi

Papua

perihal

pembangunan pasar bagi Mama mama Pedagang Asli Papua.
Surat

walikota

ini

belum

ditanggapi

secara

serius

oleh

pemerintah provinsi Papua. Sejak surat itu dikirim hingga
September

2009,

tidak

pernah

ada

langkah

nyata

dari

Pemerintah Provinsi Papua untuk membangun pasar untuk
Mama-mama Pedagang Asli Papua. Menurut pantauan penulis,
terdapat adanya tarik ulur antara Pemerintah Kota Jayapura
dengan Pemerintah Provinsi Papua. Birokrasi yang berbelitbelit,
dan sistem dan mekanisme kerja antar instansi pemerintah
yang tidak berjalan baik, telah ikut menyebabkan Mama-mama
Pedagang

Asli

Papua

tetap

terpinggirkan

dari

sistem

perekonomian.
Menurut

catatan

Organisasi

Buruh

Internasional

dalam

terbitan ”Ikhtiar Kebijakan Singkat – Juli 2011” melalui tulisan
berjudul ”Pekerja Anak dan Pendidikan di Masyarakat Papua”,
tertulis kasus pekerja anak di Provinsi Papua adalah yang tertinggi
16

kedua di Indonesia, menurut Survei Rumah Tangga Sangat Miskin
tahun 2008 (RTSM)
Tahu
n

Jumla
h
Peker
ja

LakiLaki

Wanit Usia
a
< 15
Tahu
n

2008

130.0
00
orang

75.0
00
oran
g

55.00
0
orang

Jumla
h
Sekol
ah

Jumla
h
Anak
Usia
Sekol
ah

Jumla
h
Anak
Belu
m
Sekol
ah
98.185
anak

Jumla
h
Anak
Putus
Sekol
ah

Papua.

Kedua,

80.0
2.365
445.0
11.399
00
buah
00
anak
oran
anak
g
Table 1.1 pekerja anak di Papua
Perkembangan politik dan keamanan Papua dapat dipahami dari
tiga

isu

utama:

pertama,

internasionalisasi

penyelesaian masalah-masalah HAM. Ketiga, perkembangan dan
implementasi Otonomi Khusus (Otsus Papua). Internasionalisasi isu
Papua ditandai dengan gerakan politik kaum muda Papua yang
semakin solid dalam membangun koordinasi dan sinergi dengan
jaringan aktifis HAM di dalam maupun di luar negeri. Koordinasi
gerakan lokal Papua menghasilkan wadah “perjuangan” politik
yang dinamakan United Liberation Movement for West Papua
(ULMWP). Koordinasi gerakan politik ULMWP dilakukan pula dengan
diaspora

Papua

di

luar

negeri

dengan

mengusung

agenda

kampanye mengenai pelanggaran HAM di Papua. Kampanye politik
ini mendapat respon luas dari komunitas di negara-negara yang
menjadi basis OPM di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, Eropa,
Australia, dan Pasifik Selatan. Penyelesaian kasus-kasus HAM di
Papua menjadi hal yang sangat mendesak. Terdapat dua hal utama
yang perlu segera ditangani untuk memperbaiki kondisi HAM
Papua: pertama, penyelesaian isu HAM secara menyeluruh bukan
hanya mengenai hak-hak sipil dan politik, melainkan juga hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Isu HAM ini terkait dengan persoalan
investasi di Papua yang berdampak pada kerusakan lingkungan
hidup dan juga berada di wilayah tanah adat. Kedua, penyelesaian
tiga kasus kekerasaan yakni Wamena, Wasior, Paniai harus segera
dilakukan untuk membuktikan kesungguhan Pemerintah Indonesia
17

dalam memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keamanan
Papua.20

20

Mengenai unsur-unsur pidana dalam pelanggaran HAM dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan
bisa dilihat dalam Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
danTanggungjawab Komando, MA-RI, Jakarta, 2006.

18

BAB III
KESIMPULAN
3.1

Kesimpulan
Pelanggaran ham yang terjadi akibat pembuatan kebijakan
dalam

mengelola

sehingga

daerah

otonom

peraturan-peraturan

perlu

tersebut

diperhatiakan

tidak

merugikan

pihak yang lain. Dalam studi kasus yang dipaparkan jelas
masih banyak sekali pelanggaran Hak Asasi manusia yang
secara jelas terjadi akibat pengaruh dari politik otonomi
daerah yang bersangkutan sehingga yang berkuasa dalam
suatu daerah tersebut menghalalkan segala cara dalam
mempertimbangkan

untuk

berotonomi

yang

semestinya

merupakan penyelewangan kewenangan otonomi daerah.
Penyalahan wewenang dalam mengelola daerah khusus
terjadi tidak terlepas dari kebijakan dan kelalaian negara.
Lantas, bagaimanakah nasib anak-anak Papua. Banyak hakhak anak yang tidak terpenuhi dengan baik. Selain persoalan
gizi buruk, anak-anak Papua juga terenggut hak atas
3.2

pendidikannya dan hak untuk tumbuh kembang dengan baik.
Saran
Penting adanya kebijakan khusus yang mengaturnya. Melalui
kerangka tata kelola pemerintahan yang baik, dalam tiap
kebijakan
pendekatan

dan

pengelolaannya,

otonomi

dan

hak

harus

masyarakat

mengusung
asli

Papua.

Pemerintah harus berinisiatif dan berperan aktif dalam
langkah-langkah ini. Sebab, perubahan dan pembangunan
yang ada saat ini merupakan buah perjuangan panjang
penduduk asli Papua, karena keringat dan teriak suara
mereka. Bukan berawal dari insiatif pemerintah dalam
pemenuhan tugas dan kewajibannya.

19

DAFTAR PUSTAKA
Effendi, A. Masyhur dan taufani S. Evandri. Ham dalam dinamika/dimensi
hukum, politik, ekonomi, dan sosial. Rev.ed.; Bogor : Ghalia Indonesia, 2014.
Undang-Undang Dasar 1945.
Stancea, Isabela. A CONCEPT WITH UNIVERSAL MEANINGS, HUMAN RIGHTS.
MA-RI. Mengenai unsur-unsur pidana dalam pelanggaran HAM dalam kategori
kejahatan terhadap kemanusiaan bisa dilihat dalam Pedoman Unsur-unsur
Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Tanggungjawab
Komando. Jakarta, 2006.
Widjojo, Muridan S. (editor). Papua Roadmap. Jakarta: Obor, 2009.
Adisubrata, Winarna. Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia. Semarang :
Aneka Ilmu, 2007.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Peraturanan Daerah.
Fauzi, Moh.Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia pada Era Otonomi
Daerah (Studi atas Otonomi Hukum di Provinsi Aceh). Sosial dan Budaya
Keislaman. Vol. 24 No. 1, Juni 2016.
Triana, Nita. Pendekatan Ekoregion Dalam Sistem Hukum Pengelolaan Sumber
Daya Air Sungai Di Era Otonomi Daerah.pandecta. Volume 9. Nomor 2.
Desember 2014.
Ardika, Gede Tusan. Konsep Dasar Otonomi Daerah Dalam Era Reformasi.
GaneC Swara, Volume 5, Nomor 1, 2011.
Suharjono, Muhammad. Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam
Mendukung Otonomi Daerah. Ilmu Hukum. Vol. 10, Nomer. 19, Pebruari 2014.
Manan, Bagir. Menyongsong Fajar OtonomiDaerah.Pusat Studi Hukum U11.
Yogyakarta ,2001.
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-1. Jakarta: LP3ES, 1998.
SKP Keuskupan Jayapura. Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial Politik dan
Hak Asasi Manusia.Gambaran 2000, SKP, 2001.
KKPK.

Menemukan

Kembali

Indonesia:

Memahami

Empat

Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas. Jakarta, 2014.

20

Puluh

Tahun