MAKALAH PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IDEOLOGI

MAKALAH PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IDEOLOGI PANCASILA, KOMUNISME, LIBERALISME, SOSIALISME, FASISME DAN FAHAM AGAMA

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Pendidikan Pancasila

Disusun Oleh:

Supriyadi ( 135080600111011 )

Tomi Aris ( 135080600111012 )

Anas Nurhidayah ( 135080600111019 )

Rangga Pangestu ( 135080600111023)

Aldi Silalahi ( 135080600111041 )

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita haturkan kepada Tuhan yang maha Esa karena dengan Rakmat dan Hidayahnya, kita semua diberikan kemudahan dan kelancaran untuk menyelesaikan tugas menyusun makalah mata kuliah Pendidikan Pancasila dengan Judul “Makalah Persamaan dan Perbedaan Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama”.

Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila karena telah memberikan pengajaran, hal yang berkaitan dengan Pendidikan Pancasila sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu.

Selanjutnya semoga dengan penyusunan Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, umumnya bagi seluruh civitas Akademika universitas Brawijya dan khususnya seluruh Mahasiswa Fakultas perikanan dan Ilmu kelautan Universitas Brawijaya. Mohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini terjadi banyak kekuraangan atau kesalahan yang disengaja ataupun tidak disengaja.

Malang, 14 September 2014

Penyusun

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara, Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara. Dengan kata lain, unsur-unsur yang merupakan materi Pancasila diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri. Ideologi pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok seperti ideologi-ideologi lain di dunia. Pancasila diambil dari nilai-nilai luhur budaya dan nilai religius bangsa Indonesia. Pancasila berkedudukan sebagai ideologi bangsa dan negara. Dengan demikian, pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa dan bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari negara lain.

Ideologi erat sekali hubungannya dengan filsafat. Karena filsafat merupakn dasar dari gagasan yang berupa ideology. Filsafat memberikan dasar renungan atas ideologi itu sehingga dapat dijelmakan menjadi suatu gagasan untuk pedoman bertindak. Dari sudut etimologinya, filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua buah kata, yaitu (filos) berarti cinta dan (Sophia) berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Jadifilsafat berarti cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan. Arti kata inilah yang kemudian dirangkumkan menjadi suatu makna bahwa filsafat adalah suatu renungan atau pemikiran yang sedalam-dalamnya untuk mencari kebenaran.

Karena filsafat itu tersusun dalam suatu keseluruhan, kebulatan, dan sistematis maka pemikiran filsafat harus berdasarkan kejujuran dalam penemuan hakikat dari suatu obyek yang menjadi titik sentral pemikiran. Terdapat banyak ideologi yang berkembang di dunia seperti Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama, dan tentunya masing-masing ideology memiliki pandangan yang berbeda-beda. Persamaan dan perbedaan masing – masing ideology ini menarik untuk di pelajari lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

Beberapa Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut;

  1. Bagaimana konsep dari Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama?

  2. Bagaimanakah persamaan dana perbedaan Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama?

C. Tujuan Pembahasan

Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui konsep dari Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama

  2. Untuk mengetahui persamaan dana perbedaan Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama.

BAB II. PEMBAHASAN

1. Ideologi Pancasila

Pancasila sebagai ideologi terbuka karena pancasila dapat menyesuaikan dan diterapkan dari dinamika di Indonesia dan didunia. Tetapi tidak merubah nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri. Sehinga pancasila dapat digunakan dan diterapkan dalam berbagai zaman.

1. Syarat- Syarat Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Pancasila dikatakan sebagai ideologi terbuka, karena telah memenuhi syarat-syarat sebagai Ideologi terbuka antara lain sebagai berikut...

  • Nilai Dasar, adalah nilai dasar yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yang tidak berubah

  • Nilai Instrumen, ialah nila-nilai dari nilai dasar yang dijabarkan lebih kreatif dan dinamis ke bentuk UUD 1945, ketetapan MPR, dan peraturan perundang-undangan lainnya

  • Nilai Praktis, adalah nilai-nilai yang dilaksanakan di kehidupan sehari-hari, baik di masyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai praktif bersifat abstrak, seperti mengormati, kerja sama, dan kerukunan. Hal ini dapat dioperasionalkan ke bentuk sikap, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari.

2. Dimensi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Ideologi Pancasila memiliki 3 dimensi penting yaitu sebagai berikut...

  • Dimensi Realitas adalah mencerminkan kemampuan ideologi untuk mengadaptasika nilai-nilai hidup dan berkembang dalam masyarakat

  • Dimensi Idealisme adalah idealisme yang ada dalam ideologi mampu menggugah harapan para pendukugnya

  • Dimensi Pendukung adalah mencerminkan atau menggambarkan kemampuan suatu ideologi untuk memengaruhi dan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.

3. Ciri-Ciri Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Dalam fungsinya sebagai Ideologi, pancasila menjadi dasar seluruh aktivitas bangsa Indonesia. Sehingga pancasila tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ciri-ciri pancasila sebagai Ideologi terbuka adalah sebagai berikut;

  • Pancasila mempunyai pandangan hidup, tujuan dan cita-cita masyarakat Indonesia yang berasal dari kepribadian masyarakat Indonesia sendiri.

  • Pancasila memiliki tekat dalam mengembangkan kreatifitas dan dinamis untuk mencapai tujuan nasional

  • Pengalaman sejarah bangsa Indonesia Terjadi atas dasar keinginan bangsa (masyarakat) Indonesia sendiri tanpa dengan campur tangan atau paksaan dari sekelompok orang.

  • Isinya tidak operasional

  • Dapat menginspirasi masyarakat untuk bertanggung jawab sesuai nilai-nilai Pancasila

  • Menghargai pluralitas, sehingga diterima oleh semua masyarakat yang berlatakng belakang dan budaya yang berbeda.

4. Faktor Pendorong Pemikiran Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka.

Menurut Moerdiono bahwa terdapat faktor-faktor atau bukti yang mendorong pemikiran Pancasila sebagai ideologi terbuka antara lain sebagai berikut;

  • Proses pembagunan nasional berencana, dinamika mayarakat indonesia yang berkembang sangat cepat. Sehingga tidak semua permasalahan kehidupan dapat ditemukan jawabannya secara ideologis.

  • Runtuhnya Ideologi tertutup, seperti marxisme-leninisme/komunisme.

  • Pengalaman sejarah politik terhadap pengaruh komunisme sangat penting, karena dari pengaruh ideologi komunisme yang bersifat tertutup, Pancasila pernah merosot dan kaku. Pancasila tidak tampil sebagai pedoman, tetapi sebagai senjata konseptual untuk menyerang lawan-lawan politik. Kebijaksanaan pemerintah disaat itu menjadi absolute. Akibatnya, perbedaan-perbedaan menjadi alasan untuk secara langsung dicap sebagai anti Pancasila.

  • Tekad untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

5. Arti Ideologi Pancasila

Arti rumusan akhir Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam sidang PPKI merumuskan sebagai berikut :

Ketuhanan Yang Maha Esa

Sebagai hasil refleksi terhadap hidup manusia Indonesia sejak zaman kumo, khususnya dalam hidup masyarakat desa, para pendiri negara kita sampai pada kesimpulan: manusia Indonesia mengakui Tuhan yang satu adanya, entah dengan adanya, entah dengan sebutan Tuhan, Widi, Widi, Wasa, Sang Hyang Hana, Gusti atau Allah. Adanya dunia dengan segala isinya mendorong manusia ke dalam keyakinan: ada suatu realitas, yang tertinggi, yang menjadi sumber adanya seluruh realitas di dunia sebagai sebab yang pertama, sebagai causa prima. Bagaimana orang-orang menghayati keyakinannya, bagaimana mereka bertaqwa, mengabdi kepada Tuhan, tergantung pada pribadi masing-masing. Maka di Indonesia ada kebebasan beragama. Indonesia bukan negara “teokratis”, bukan negara agama yaitu negara yang dalam penyelenggaraan kehidupan berpemerintahan berdasarkan kekuasaan (kratia) Tuhan (Theos) menurut ajaran agama tertentu. Para pemeluk agama dan para penganut kepercayaan bebas dalam menghayati dan melaksanakan keyakinan mereka, saling menerima serta saling menghargai dengan penuh toleransi dan dengan semangat kerjasama yang serasi.

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Bangsa Indonesia mempunyai gambaran atau citra manusia sendiri. Setiap manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi budi dan karsa merdeka, dihargai dan dihormati sesuai dengan martabatnya. Semua manusia adalah sama derajatnya sebagai manusia. Semua manusia sama hak dan kewajibannya. Pada dasarnya manusia dibedakan atas dasar ras, agama, adat atau keturunan atau jenis kelamin. Manusia adalah makhluk rohani sekaligus makhluk jasmani, adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial. Hal ini disebut untuk mempergunakan istilah Prof. Notonagoro: monodualitas. Setiap manusia diharapkan mendapat apa yang menjadi haknya. Maka dirumuskan: “Kemanusiaan yang adil”.124 Di sini kita menemukan dasar hak-hak asasi manusia dalam pandangan hidup bangsa Indonesia. Disadari pula bahwa dunia dengan isinya itu merupakan obyek bagi manusia. Dunia ini merupakan obyek bagi pancaindera manusia: bagi mata, untuk dinikmati keindahan alamnya; bagi telinga, dinikmati bermacam-macam suaranya. Manusia dapat menangkap itu semua sehingga timbul getaran-getaran dalam jiwanya, dengan bermacam-macam perasaan. Apa yang dialami dalam jiwanya dapat diekspresikan dan dimanifestasikan dalam bermacam-macam bentuk kesenian; umpamanya dalam bentuk lagu, tari-tarian, atau lukisan. Tetapi dunia ini terutama merupakan obyek untuk budinya dan karsanya. Manusia dengan jiwanya yang rohani bersifat transenden, mengatasi struktur dan kondisi alam jasmani. Manusia dapat mengenal hukum-hukum alam dapat menemukan potensi yang terkandung dalam alam; manusia mampu mengolah dan mengubah alam dalam batas-batas tertentu. Transendensinya relatif dan terbatas. Dengan demikian manusia mampu menciptakan kebudayaan. Ia mengolah tanah, air, api dan logam yang didapatnya dalam alam. Hal ini dirumuskan dalam istilah “yang beradab”.

Persatuan Indonesia

Ketika Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 tampil pada sidang paripurna BPUPKI atas permintaan ketuanya, dr. Radjiman Wedyodiningrat, ia menegaskan:

“Saya mengerti apakah Paduka Tuan Ketua kehendaki Paduka Tuan minta dasar, minta philosophisce grondslag... Dasar pertama yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar KEBANGSAAN. Kita mendirikan satu negara Kebangsaan Indonesia. Tetapi saya minta kepada saudarasaudara, janganlah saudara-saudara salah faham, jikalau saya katakan, bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar KEBANGSAAN. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat. Bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le désir d’ètre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian!”

Persatuan Indonesia atau kebangsaan Indonesia diilhami oleh kata-kata pujangga Empu Tantular pada jaya-jayanya Majapahit dahulu, yang sekarang tercantum dalam lambang negara; “Bhineka Tunggal Ika”: walaupun beraneka ragam adalah satu! Indonesia memang terdiri atas bermacam-macam suku atau kelompok etnik: orang Jawa, Timor, Madura, Batak, Aceh, Bali, Bugis dan seterusnya, masing-masing dengan bahasa daerah, adat, kesenian, dan watak kebiasaan mereka masing-masing. Terdapat bermacam-macam agama dan kepercayaan. Tetapi sukusuku atau kelompok-kelompok etnik, yang selama berabad-abad telah mengalami nasib yang sama, bertekad hendak bersatu. Bersama-sama sudah menderita dijajah oleh kaum kolonialis; hasrat keinginannya hanya satu; tetap bersatu. Nasionalisme ini tidak boleh menjadi satu chauvinisme.127 Oleh karena itu sila II ini tidak boleh lepas dari sila III. Artinya, sila Kebangsaan atau Persatuan Indonesia dijiwai oleh sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; kebangsaan yang ingin berhubungan secara serasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan

Sejak dahulu, bahkan pada zaman Majapahit (1293-1517) orang mengenal adat kebiasaan cara khusus mengadakan perundingan, yang disebut “musyawarah untuk mufakat”. Cara melakukan segala sesuatu bersama di desa-desa Indonesia juga terungkap dalam prosedur, yang ditempuh oleh para sesepuh dalam mengambil keputusan. Pada umumnya di Nusantara orang mengenal musyawarah. Setiap anggota sidang dapat berbicara, setiap orang berhak agar gagasannya didengarkan dan bahwa orang lain juga harus memperhitungkannya. Setelah mengadakan pembicaraan, timbang-menimbang maka akhirnya diambil keputusan. Dalam keputusan itu tak tercantumkan keinginan siapa saja dan tak seorang pun boleh memaksakan kehendak pribadinya. Dalam musyawarah dan memutuskan secara bersama - sama, kepala desa memegang pimpinan. Keputusan terakhir disebut mufakat yaitu konsensus, kesepakatan bersama.128 Jadi keputusan mufakat adalah langkah terakhir dari musyawarah yang berlangsung lama. Pada waktu mempertimbangkan dan bersepakat kepala desa tidak dibenarkan bertindak selaku pembesar dalam arti selaku orang yang mendikte, akan tetapi sebagai kepala sosial suatu keluarag besar, seorang bapak bagi seluruh persekutuan.

Cara berunding musyawarah untuk mufakat ini dilaksanakan bukan hanya dalam rapat dan rembug desa, tetapi juga dalam forum sidang MPR, DPR pusat sampai dengan DPRD tingkat II. Musyawarah untuk mufakat merupakan suatu bentuk dan proses berunding yang tidak mengenal adanya usaha untuk saling menghantam atau saling menjebak dengan akal muslihat supaya akhirnya dapat tampil sebagai pemenang yang unggul dalam perdebatan. Musyawarah untuk mufakat merupakan suatu metode dengan tukar pikiran, menyumbangkan gagasan-gagasan berusaha untuk bersama-sama dapat menemukan kebenaran dan kebaikan.

Dalam musyawarah orang boleh saja adu argumentasi dan berdiskusi. Hal ini oleh Sukarno dikemukakan juga ketika ia berbicara tentang asas musyawarah mufakat dalam sidang paripurna BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang dikenal dengan sebutan “Lahirnya Pancasila”:

“Dalam perwakilan, nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada suatu staat yang hidup betul-betul jikalau dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya.”

Demokrasi Indonesia memang tidak mengenal oposisi, dalam arti kelompok atau partai yang a priori menentang pendirian orang yang sedang berkuasa. Tetapi perbedaan pendapat mempunyai tempat dalam demokrasi Pancasila.129 Orang boleh saja mengemukakan pendapat dan pendiriannya yang berbeda dengan pendapat orang yang berkuasa, asal caranya menurut aturan permainan yang benar. Dalam perundingan orang jangan menuruti emosinya atau jangan memaksakan kehendaknya sendiri, melainkan supaya berbicara dengan bijaksana. Kebebasan memang dijunjung tinggi, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab.

Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia

Di dekat kota Palembang ada sebuah batu dengan prasasti “Kedukan Bukit” (683). Menurut Prof. Muhammad Yamin batu itu merupakan peninggalan Gründungsakt kerajaan Sriwijaya. Tulisannya berbunyi: “Marwuat wanua Sriwijaya jaya siddhayatra subbiksa”. Oleh M. Yamin diterjemahkan: “Mereka mendirikan negara Sriwijaya agar jaya sejahtera sentosa”. Jadi negara Sriwijaya didirikan bukan untuk keagungan dinasti Syailendra, melainkan untuk kesejahteraan rakyatnya.130 Kata siddhayatra adalah “sejahtera” dalam bahasa Indonesia. Ideologi Pancasila jelas bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Prof. Djojodiguno menulis:

“Kita ini rakyat yang terikat secara sosial dan tradisional; kita masing-masing bertindak atau bertingkah laku seperti semua orang lain, tiap orang bersifat komunal.”

Rumusan inilah yang kemudian dijadikan dasar negara, hingga sekarang bahkan hingga akhir perjalanan Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bertekad bahwa Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat dirubah oleh siapapun, termasuk oleh MPR hasil pemilu. Jika merubah dasar negara Pancasila sama dengan membubarkan negara hasil proklamasi (Tap MPRS No. XX/MPRS/1966).

    1. Ideologi Komunis

      1. Pengertian Ideologi Komunisme

Ideologi komunis atau komunisme merupakan perlawanan besar pertama dalam abad ke-20 terhadap sistem ekomomi yang kapitalis dan liberal. Komunisme adalah sebuah paham yang menekankan kepemilikan bersama atas alat-alat priduksi (tanah, tenaga kerja, modal) yang bertujuan untuk tercapainya masyarakat yang makmur, masyarakat komunis tanpa kelas dan semua orang sama. Komunisme ditandai dengan prinsip sama rata sama rasa dalam bidang ekomomi dan sekularisme yang radikal tatkala agama digantikan dengan ideologi komunias yang berseifat doktriner. Jadi, menurut ideologi komunis, kepentingan-kepentingan individu tunduk kepada kehendak partai, negara dan bangsa (kolektivisme).

2. Ciri-ciri Ideologi Komunisme

  • Ajaran komunisme adalah sifatnya yang ateis, tidak mengimani Allah. Orang komunis menganggap Tuhan tidak ada, kalau ia berpikir Tuhan tidak ada. Akan tetapi, kalau ia berpikir Tuhan ada, jadilah Tuhan ada. Maka, keberadaan Tuhan terserah kepada manusia.

  • Sifatnya yang kurang menghargai manusia sebagai individu. terbukti dari ajarannya yang tidak memperbolehkan ia menguasai alat-alat produksi.

  • Komunisme mengajarkan teori perjuangan (pertentangan) kelas, misalnya proletariat melawan tuan tanah dan kapitalis.

  • Salah satu doktrin komunis adalah the permanent atau continuous revolution (revolusi terus-menerus). Revolusi itu menjalar ke seluruh dunia. Maka, komunisme sering disebut go international.

  • Komunisme memang memprogramkan tercapainya masyarakat yang makmur, masyarakat komunis tanpa kelas, semua orang sama. Namun, untuk menuju ke sana, ada fase diktator proletariat yang bertugas membersihkan kelas-kelas lawan komunisme, khususnya tuan-tuan tanah yang bertentangan dengan demokrasi.

  • Dalam dunia politik, komunisme menganut sistem politik satu partai, yaitu partai komunis. Maka, ada Partai Komunis Uni Soviet, Partai Komunis Cina, PKI, dan Partai Komunis Vietnam, yang merupakan satu-satunya partai di negara bersangkutan. Jadi, di negara komunis tidak ada partai oposisi. Jadi, komunisme itu pada dasarnya tidak menghormati HAM.

No

Komunisme

Pancasila

Liberalisme

1.

Atheis

Monotheisme

Sekuler

2.

HAM diabaikan

HAM dilindungi tanpa melupakan kewajiban asasi

HAM dijunjung secara mutlak

3.

Nasionalisme ditolak

Nasionalisme dijunjung tinggi

Nasionalisme diabaikan

4.

Keputusan ditangan pimpinan partai

Keputusan melalui musyawarah mufakat dan voting (pemungutan suara)

Keputusan melalui voting (pemungutan suara)

5.

Dominasi partai

Tidak ada dominasi

Dominsi mayoritas

6.

Tidak ada oposisi

Ada oposisi dengan alasan

Ada oposisi

7.

Tidak ada perbedaan

Ada perbedaan pendapat-pendapat

Ada perbedaan pendapat

8.

Kepentingan negara-negara

Kepentingan seluruh rakyat

Kepentingan mayoritas

    1. Ideologi Sosialisme

      1. Pengertian sosialisme

Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar tahun 1830, yakni adanya keinginan agar alat-alat produksi dimiliki secara bersama untuk melayani semua kebutuhan masyarakat, bukan monopoli atas kaum kapitalis. Sosialisme atau sosialism (Inggris) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis, yaitu berarti kemasyarakatan. Dalam arti di atas ada empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: pertama, sosial demokrasi; kedua, komunisme; ketiga anarkhisme; dan keempat sindikalisme (Elisa,2009).

Sosial Demokrat : Sosial demokrat merupakan gerakan sosialisme yang semula berdasarkan Marxisme. Sejak timbulnya revisionisme yang dikemukan oleh Edward Bernstein (1850-1932) dan dipertahankan oleh Karl J. Kautsky (1854-1938), kemudian gerakan ini semakin melepaskan ajaran Marx yang bercorak revolusioner. Sosial demokrat berpegang teguh pada asas demokrasi dan menentang diktatur kaum proletariat yang ada pada komunisme. Menurut penganut sosial demokrat, masyarakat harus dikepalai oleh satu pemerintah yang dipilih bersama-sama secara demokratis, tidak hanya pada lingkup politik tetapi termasuk di bidang ekonomi karena semua proses dalam sebuah negara tidak dapat dilepaskan dari diperlukannya ketertiban ekonomi.

Menurut asas sosial demokrat klasik, assosiasi-assosiasi sukarelawan di luar negara cenderung dicurigai dan dianggap keburukannya lebih banyak dibandingkan kebaikannya. Asosiasi-asosiasi sukarelawan cenderung tidak professional, serampangan, serta merendahkan pihak yang berhubungan dengannya. Dalam perkembangannya, sosial demokrat klasik direvisi oleh Anthony Giddens dengan "Jalan Ketiga" (demokrasi sosial), berusaha mempertahankan inti kepedulian pada keadilan sosial dan lepas dari sekedar perbedaan antara aliran "kiri" maupun "kanan". Persamaan dan kebebasan individual bagi Giddens memang bertentangan, namun langkah-langkah egaliter dapat memperluas serta membuka rentang kebebasan setiap individu. Kebebasan dalam aliran ini berarti adanya otonomi atas tindakan yang dilakukan manusia disertai tuntutan keterlibatan komunitas sosial yang lebih luas. Lebih jelasnya dapat dilihat dari mottonya: tak ada hak tanpa tanggung jawab dan tak ada otoritas tanpa demokrasi.

  • Perbedaaan sosialisme dgn komunisme (Marx) :

Sosialisme merupakan sebuah masyarakat yang langsung timbul dari kapitalisme sebagai bentuk pertama dari masyarakat baru dan dalam kerjanya tidak menerima bantuan dari kapitalisme, termasuk hal yang bersifat sosial. Sedangkan komunisme adalah masyarakat yang lebih tinggi, di mana hanya dapat berkembang jika sosialisme mempunyai kedudukan yang kuat. Apabila dalam masyarakat sosialis penghisapan manusia atas manusia lainnya sudah berakhir, alat-alat produksi dimiliki sepenuhnya oleh kaum buruh, serta setiap manusia memberi menurut kemampuaannya dan menerima sesuai dengan bobot pekerjaannya sebagi wujud usahanya untuk menwujudkan masyarakat tanpa kelas; tidak ada kelas yang menghisap dan dihisap. Sedangkan pada masyarakat komunis, setia manusia memberi menurut kemampuannya dan menerima sesuai dengan kebutuhannya.

2. Prinsip Dasar Sosialisme

Menurut Elisa (2009), Walaupun banyak terdapat aliran atau pengertian sosialisme, tetapi ada sejumlah prinsip dasar dari sosialisme itu sendiri, yaitu :

  1. Semua bentuk Marxisme dapat diketegorikan sosialisme, tetapi tidak sebaliknya.

  2. Meskipun tidak mudah merumuskan dengan persis apa itu sosialisme, paling tidak ada dua hal yang mempersatukan segala macam aliran revolusioner, egalitarian, anarkis, utopis, reformis, teknokrat, religius, dan sebagainya itu yang dinamakan dirinya sosialis.

  3. Keyakinan etis bahwa perekonomian harus diarahkan pada kesejahteraan segenap orang, bukan untuk keuntungan segelintir orang.

  4. Sumber ketidakadilan sosial adalah hak milik pribadi (atas alat-alat produksi).

  5. . Sosialisme adalah cita-cita etis tentang masyarakat yang solider dan tuntutan penghapusan hak milik pribadi .

3. Konsep Tokoh Sosialisme

Sosialisme Karl Marx.

Cita-cita kolektivitas, kepemilikan bersama, atau apa yang dikenal saat ini dengan nama sosialisme kurang lebih di abad ke-5 SM sebenarnya sudah ada sebagaimana dideskripsikan oleh Jambulos, yakni adanya sebuah "negeri matahari" di mana disana segala-galanya dimiliki bersama, tak terkecuali para istri. Secara historis, pelbagai aliran sosialis sering dikaitkan ke era sebelum Karl Marx (18181883), bahkan kepada filosof yunani kuno, Plato (427-347).

Jauh sebelum Marx mengembangkan dan menjadikan sebagai cita-cita perjuangan menuju revolusi proletariat. Tokoh yang dapat dianggap pioneer dari cita-cita sosialisme secara sistematis dapat dirujukkan kepada Francois-Noel Babeuf (1760-1797). Kemudian Saint Simon (1760), Auguste Blanqui (1805-1881), Weitling (1808-1871) Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865), Louis Blane (1811-1882), Moses Hess (1812-1875).

Dalam Sosialisme Karl Marx, paling tidak ada 3 (tiga) pemikiran yang mempengaruhi Karl Marx, yaitu ajaran Hegel, filsafat materialisme Feuerbach, dan teori revolusioner Perancis (terutama gagasan-gagasan para sosialisme utopis)

Ajaran G.W.F Hegel (1770-1831) : Metode untuk mendekati, memahami, dan mempelajari gejala alam, Marx mengambil dari materialisme, dialektika Hegel. Materialisme dialeketika Hegel menjadi inspirasi materialisme dialektika Marx yang dikembangkan menjadi materialisme historis sebagai puncak prestasi ilmiahnya. Bagi Hegel, alam adalah proses mengelar pikiran-pikiran yang menimbulkan proses alam, sejarah manusia, organisme, dan kelembagaan masyarakat. Materi baginya kurang rill dibandingkan jiwa. Pikiran atau jiwa menurut Hegel esensi alam. Marx menolak idealisme Hegel tersebut dengan membalikkan filsafatnya dan mengatakan materi pokok dari alam, bukan jiwa atau pikiran. Pada organisasi ekonomi masyarakat misalnya, disini jelas menurut Marx bahwa cara-cara produksi (materi) menentukan kelembagaan politik dan sosial yang ada.

Dalam dialektika Hegel, dunia berada pada sebuah proses perkembangan atau perubahan yang bersifat dialektika. Perubahan-perubahan tersebut berlangsung melalui tahap afirmasi (tesis), pengingkaran (anti tesis), dan akhirnya sampai pada tahap integrasi (sintesis). Marx kemudian menggagas materialis dialektikanya berdasarkan materi dari materialisme dialektika Hegel. Jika bagi Hegel dan kaum idealis pada umumnya alam merupakan buah hasil dari roh, sedangkan bagi Marx dan Engels semua yang bersifat rohani merupakan hasil dari materi.

Bagi Marx, kekuatan material (modal) menentukan dalam masyarakat, termasuk perkembangan evolusi serta fenomena lain, onorganik, organic atau manusia; kebiasaan dan tradisi politik, sosial dan agama. Yang menentukan sejarah menurut Marx adalah produksi dan kelahiran manusia. Keterpesonaan terhadap filsafat Hegel, Marx kemudian mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengerakkan bagaimana membebaskan manusia dari penindasan sistem politik reaksioner.

Secara filosofis, rakitan dari materialisme dialektika Hegel tersebut ditemukan persepsi yang sama pada literatur kaum Marxist, yaitu ada tiga dalil (1) dalil perubahan pada kuantitas dapat menimbulkan perubahan kualitas, (2) dalil kesatuan dan pertentangan dari lawannya, atau hukum kontradiksi yang lazim disebut dengan hukum "interpenetration of opposities", kelanjutan bagian dari dalil pertama sebelumnya, dan (3) pengingkaran terhadap pengingkaran (the law of the negation of negation).

Ludwig Feuerbach : Pemikiran Marx semakin berkembang setelah berkenatan dengan filsafat klasik Jerman, yaitu materialisme Ludwig Feuerbach. Menurut Feuerbach, manusia merupakan sesuatu yang abstrak. Adapun gagasan menurut Feuerbach adalah "renungan" dari "kenyataan material" yang menentukan kegiatan manusia.

Menurut Marx, dengan memposisikan manusia sebagai yang abstrak, Feuerbach tidak hanya menurunkan manusia menjadi orang saleh tetapi juga gagal melihat bahwa hal itu sendiri merupakan produk sosial. Filsafat Feuerbach berhenti pada menempatkan gagasan sebagai renungan dari kenyataan material, padahal antara kesadaran dan praksis manusia terdapat suatu hubungan timbal batik. Ketika Feuerbach memperlakukan "kenyataan materil" sebagai yang menentukan kegiatan manusia, Feurbach menurut Marx tidak melakukan analisis modifikasi dunia "obyektif dan subyektif yaitu terhadap kegiatan manusia.

Revolusi Perancis : Kendatipun Marx banyak mengkritik materialisme Feuerbach, namun dipertahankannya (juga Engels) dan dijadikan teori filsafatnya. Ketika menjelaskan hal-hal yang rohani dari jasmani serta mencurahkan segala perhatian kepada pembebasan manusia dari keterasingan dirinya sendiri, antara Marx dengan Feuerbach tidak terdapat perbedaan. Akan tetapi Marx tidak hanya sampai di situ ia kemudian melacak asal keterasingan tersebut hingga menemukannya setelah berjumpa dengan kaum sosialis radikal di Paris, yaitu berlangsung dalam proses pekerjaan manusia. Menurut Marx, masyarakat sosialis akan segera terwujud dalam masyarakat yang menganut sistem Kapitalisme. Sejak abad ke-19, ideologi kapitalismeliberalisme sebenarnya telah popular sebagaimana pertama tumbuh dan berkembang di Amerika dan hampir di semua negara Eropa Barat.

Kapitalisme sendiri memiliki karakteristik antara lain pekerjaan yang seharusnya sebagai wujud perealisasian diri menjadi de-realisasi diri, manusia tidak memiliki kebebasan dalam melakukan pekerjaannya, sehingga "kehilangan dirinya sendiri", dan manusia berada di bawah kekuasaan kekuatan obyektif asing (kekuasaan, sosial, dan politik), Oleh karena itu, menurut Marx, manusia hanya dapat dibebaskan dari jerat kapitalisme, bila hak milik pribadi atas alat-alat produksi dihapus melalui revolusi kaum buruh. Inilah yang merupakan substansi dari sosialisme klasik.

Dalam sosialisme klasik ini, Karl Marx mengemukakan bahwa untuk mencapai masyarakat komunis tanpa klas, dapat dicapai melalui 5 (lima) tahap dalam Sistem Produksi, yaitu :

  1. Sistem komunisme primitive sebagai tingkatan ekonomi awal yang bercirikan, kepemilikan secara kolektif. Pada tahap ini teknologi belum ada dan masyarakat hidup damai.

  2. Sistem produksi kuno yang didasarkan atas perbudakan serta bercirikan telah lahirnya hak milik pribadi. Disinilah sistem pertanian dan pengembalaan menggantikan perburuan sebagai sarana hidup. Akibatnya, ketika kelompok minoritas mengusasi sarana hidup, maka pertarungan kepentinganpun mulai timbul.

  3. Tahap dimana kelompok-kelompok feodal sudah menguasai penduduk. Seluruh kelebihan hasil yang dimiliki penduduk dikuasai oleh para feudal. Masyarakat hanya dapat hidup secara sangat sederhana.

  4. Lahir sistem borjuis/kapitalis dengan ciri meningkatnya perdagangan, produksi, dan pembagian kerja. Sistem pabrik ini akhirnya melahirkan industrialis kapitalis yang menjadi sebagai pemilik modal sekaligus pengontrol alat-alat produksi.

  5. Sistem sosialisme.

Argumen yang diajukan Karl Marx terhadap tahap-tahap tersebut yang dilalui melalui revolusi sosial adalah :

  1. Berdasarkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, pilihan revolusi kaum buruh merupakan kesimpulan yang tidak terelakkan (sosilisme ilmiah: tidak hanya bersandar dan didorong oleh cita-cita moral, tetapi juga berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat.

  2. Manusia tidak akan dapat mengembangkan dirinya secara utuh karena terpecah ke dalam kelas-kelas sosial. Penyebab keterpecahan tersebut adalah sistem struktur, bukan sekadar masalah kehendak buruk sekelompok orang yang membeku dalam modal dengan hukum-hukum yang menguasainya. (sistem kapitalis).

  3. Bukan kesadaran sosial yang menentukan keadaan sosial, tapi sebaliknya. Adapun factor determinannya adalah produksi, sebab keadaan ekonomi seseorang sangat menentukan cara pandangnya terhadap persoalan-persoalan hidupnya.

Menurut Karl Marx, ada 2 (dua) tingkatan revolusi dalam masyarakat yang terdiri dari :

  1. Tingkatan peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum proletar. Di masa ini orang mengadakan perubahan yang revolusioner. Kelas - kelas di dalam masyarakat hilang dengan sendirinya seiring dihilangkannya hak milik pribadi atas sarana produksi, distribusi, dan pertukaran.

  2. Tingkat kedua adalah tingkat kelima atau tipe terakhir dari sistem produksi, yaitu terciptanya "masyarakat tanpa kelas" atau komunisme murni. Alat-alat produksi telah manjadi milik masyarakat, yaitu negara, di mana sejarah umat manusia telah ditutup dengan suatu negara bahagia, sintesa dari dua zaman sebelumnya yaitu sosilisme (tesa) dan kapitalisme (antitesa).

Menurut Septyo (2008), kapitalisme dan sosialisme dibentuk di atas landasan nilai (value) yang samayaitu matrealisme-hedonisme yaitu segala kegiatan manusia dilatar belakangi dan dipresentasikan kepada sesuatu yang bersifat duniawi, dan dibangun di atas pandangandunia yang sekuler yaitu memisahkan hal-hal yang bersifat spiritual dan material (agamadengan dunia). Sosialisme bahkan memiliki pandangan yang negatif terhadap agama.Menurut meraka agama adalah sesuatu yang tidak realistis, berwujud material. Bahkanagama sesungguhnya adalah rekayasa kelompok yang berkuasa untuk memperkokohkepentingan mereka sendiri. Salah satu ungkapan Marx yang popular adalah ;”Kritikterhadap agama adalah syarat yang pertama atas segala kritik” (Hendrie Anto, 2003: 356)dan Marx sendiri memandang agama adalah sebagai candu bagi rakyat, jika terhadapTuhan saja mereka berpendirian begitu kejamnya apalagi terhadap agama. (AbdullahZakiy, 2002: 51).

Seiring dengan perkembangan kapitalisme di Eropa barat dan Amerika, dibelahan dunia lain (Rusia, China dan Eropa Timur) juga berkembang sosialisme, padaabad ke-19, di mana orang-orang sosialis mati-matian memerangi pandangan alirankapitalis yang memakai sistem liberalis. Aliran ini disebut sistem Ekonomi Sosialis.Munculnya sosialisme ini adalah akibat kezaliman yang diderita oleh masyarakat karenasistem ekonomi kapitalis serta berbagai kekeliruan yang terjadi didalamnya. Merekamelihat bahwa kezaliman ini terjadi karena tidak meratanya kepemilikan individu diantara manusia. Oleh karena itu, mereka berpendapat perlunya persamaan secara riildalam kepemilikan.

Mazhab sosialis ini berpendapat bahwa terjadinya kezaliman akibat adanya (hak)kepemilikan, sehingga hak kepemilikan harus dihapus, baik secara mutlak (sosialismekomunis) atau hanya penghapusan kepemilikan terhadap kekayaan produktif, yang biasadisebut kapital, seperti tanah, pabrik, lintasan kereta api, pertambangan, dan lainnya.Artinya, seseorang dilarang memiliki secara individu setiap barang yang mengahasilkansesuatu. Tidak boleh memiliki rumah untuk disewakan, begitu juga dengan pabrik, tanahdan sebagainya. Namun mereka memberikan kepemilikan kepada individu terkait denganbarang-barang konsumsi (consumer goods) seperti mobil untuk dipakai sendiri, tidakboleh disewakan. Tanah boleh dimiliki jika hasil pertanian tersebut untuk dikonsumsisendiri. Ini adalah doktrin sosialis kapitalis. Doktrin ini diterapkan di Rusia menurutkonsep Karl Marx (1818-1883) dalam bukunya ‘Das Capital’ tahun 1848, yangditerapkan kemudian oleh Nikolai Lenin dan Joseph Stalin lalu Nikita Khrushchev.Mengenai kapitalis dan sosialisme ini, Nabhani mengatkan : “Sosialisme ini semuanyarusak, dan telah ditinggalkan Negara-negara penganutnya, Rusia telah runtuh, Jerman Timur (sekarang Jerman) akan kembali menerapkan sistem kapitalis, meninggalkansistem sosialis. Sistem ekonomi sosialis, termasuk di antarnya komunisme, mempunyaipandangan yang bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalis” (Gus Fahmi, 2002:47-48 dalam Septyo 2008).

Sosialisme sebagai falsafah hidup yang mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan individu, sama tuanya dengan aliran klasik bahkan lebih tua lagi.Tetapi kalau yang dimaksudkan sosialisme yang mendasarkan suatu doktrin ekonomiserta politik tertentu maka tidak lain yang dimaksudkan ialah sistem ekonomi sosialis.Seperti dikemukakan oleh Jakob Oser bahwa aliran ini adalah aliran yang menentangprinsip-prinsip ekonomi klasik yaitu: menolak ide laissef dan menolak adanya pernyataanbahwa akan terjadi kepentingan yang harmonis di antara kelas-kelas yang berbeda. Disamping itu aliran ini menjadi pembela dan pelopor tindakan-tindakan yang mengarahpada kepemilikan perusahaan yang bersifat publik untuk memperbaiki kondisimasnyarakat, pemilikan ini bisa diselenggarakan oleh pemerintah pusat ataupunpemerintah daerah atau perusahaan yang bersifat koperatif.

    1. Ideologi Liberalisme

      1. Sejarah ideologi Liberal

Paradigma Liberalisme merupakan salah satu paradigma dalam studi Ilmu Hubungan Internasional selain realisme. Pada awal perkembangannya, banyak pemikir yang mengidentifikasi liberalisme cenderung kepada sebuah ideologi politik dan ekonomi dengan prinsip penting yaitu akan pentingnya kebebasan individu dan hubungan yang damai serta teratur antar individu.25 Beberapa tokoh yang mengemukakan ide mengenai konsep-konsep liberalisme klasik pada abad ke-17 dan 18 adalah Imamnuel Kant, John Locke, Adam Smith dan Thomas Jefferson.26 Akan tetapi, salah satu tokoh yang menjadi dasar dalam pemikiran mengenai liberalisme dalam segi politik adalah Immanuel Kant. Pada tahun 1795, ia menulis essay yang berjudul ‗Perpetual Peace‟. Dari essay tersebut, pemikiran Kant kemudian berkembang dan mempengaruhi perkembangan apa yang disebut dengan liberalisme dalam ilmu Hubungan Internasional saat ini (Avianto,2013).

Inti dari pemikiran Kant adalah dunia yang menghormati konstitusi dan bisa membangun 'perdamaian abadi' di dunia. Untuk mencapai perdamaian tersebut, dibutuhkan perwakilan demokrasi dari semua negara, adanya hukum internasional, dan pergerakan manusia dan perdagangan yang bebas. Kant menekankan liberalisme pada kemajuan, perkembangan dan perdamaian abadi. Pemikiran-pemikiran Kant tersebut kemudian berkembang dan dipakai oleh Woodrow Wilson pada pasca Perang Dunia Pertama. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu pemikiran liberal yang pertama kali dalam dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Wilson berpendapat bahwa penyebab terjadinya ketidakstabilan dan konflik adalah ―undemocratic nature of international politics‖.

Inti dari pemikiran Kant adalah dunia yang menghormati konstitusi dan bisa membangun 'perdamaian abadi' di dunia. Untuk mencapai perdamaian tersebut, dibutuhkan perwakilan demokrasi dari semua negara, adanya hukum internasional, dan pergerakan manusia dan perdagangan yang bebas. Kant menekankan liberalisme pada kemajuan, perkembangan dan perdamaian abadi. Pemikiran-pemikiran Kant tersebut kemudian berkembang dan dipakai oleh Woodrow Wilson pada pasca Perang Dunia Pertama. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu pemikiran liberal yang pertama kali dalam dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Wilson berpendapat bahwa penyebab terjadinya ketidakstabilan dan konflik adalah ―undemocratic nature of international politics‖.28 Ide tentang bagaimana dunia harus berkembang yang tampaknya telah terinspirasi oleh Immanuel Kant ‘Perpetual Peace‘. Kant menyarankan bahwa ketika negara menjadi republik dan warga negara mereka diberi kesempatan untuk membuat keputusan, mereka cenderung memilih untuk tidak berperang, karena itu adalah mungkin untuk berpendapat bahwa sebagai negara lebih menjadi republik dan demokrasi menyebar maka kemungkinan perang antara negara menjadi lebih kecil sampai akhirnya semua bangsa melihat perang sebagai kemenangan tidak rasional dan perdamaian atas konflik.

2. Prinsip Ideologi Liberalis

Menurut Avianto (2013), liberalisme memiliki pandangan positif terhadap sifat dasar manusia. Individu bisa mengendalikan dirinya, sehingga untuk mencapai kepentingannya individu akan saling bekerja sama tanpa perlu terlibat dalam konflik. Kerja sama yang dilakukan akan memberikan kemajuan bagi kualitas individu itu sendiri. Kaum liberalis sangat percaya bahwa konflik dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dapat disatukan dengan cara saling berkomunikasi atau adanya pertukaran informasi yang jelas. Dengan saling berkomunikasi tersebut, dapat menciptakan tatanan sosial, politik, dan ekonomi untuk menguntungkan semua orang dan menjamin kebebasan individu dan material economic prosperity. Sehingga dapat dikatakan bahwa liberalisme memandang hubungan internasional lebih bersifat kooperatif yang memungkinkan adanya kerjasama, bukanlah cenderung konfliktual.

Menurut Hosang (2011), liberalisme memandang kooperasi sebagai suatu hal yang penting dandiperlukan. Hal ini bila dipadukan dengan pendekatan pilhan rasional akanmembentuk sebuah premis ‘tujuan akan lebih mudah dan lebih baik dicapaibersama-sama daripada dilakukan sendiri’. Pendekatan seperti itulah yangkemudian mendasari analisis APSC melalui teori neoliberal institusionalismedengan pendekatan pilihan rasional. Jadi, pertama-tama akan dikaji apakah benarbahwa APSC merupakan pilihan rasional bila dibandingkan dengan usaha soliter masing-masing negara atau entitas collective defense.

Negara bukanlah satu-satunya aktor dalam hubungan internasional

Dalam liberalisme, aktor non-negara merupakan aktor yang juga ikut diperhitungkan dalam hubungan internasional. Aktor non-negara tersebut bisa berupa individu, kelompok kepentingan, perusahaan multinasional, ataupun organisasi baik itu bersifat kepemerintahan maupun non-pemerintah. Hal ini tentunya berawal dari asumsi liberal secara umum bahwa terdapat hak-hak tertentu dalam tiap individu. Aktor negara maupun aktor non-negara bisa saling melengkapi dan mendukung satu dengan yang lainnya. Selain itu, liberalis juga tidak menganggap bahwa negara sebagai satu entitas yang satu utuh. Maksudnya disini adalah terdapat level domestik yang juga ikut berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan suatu negara. Hal ini tentu bertolak belakang dengan asumsi realisme yang hanya menganggap adanya satu suara saja (yaitu suara pemerintah) yang mewakili suara negara. Dengan demikian aktor non-negara dalam suatu negara juga turut berperan di sini.

Liberalisme menginginkan perubahan ke arah yang positif

Asumsi ini didasari oleh kepercayaan bahwa setiap manusia itu pada dasarnya mempunyai pandangan yang positif atau progresif. Pandangan progresif tersebut dalam artian bahwa ada kemungkinan untuk mencapai perubahan yang positif dalam hubungan internasional. Dengan kondisi seperti ini, maka secara rasional, manusia atau yang dalam hal ini negara akan memikirkan kebijakan yang rasional dengan cost yang paling minim. Karena perang dan konflik bukanlah kondisi yang ideal dan akan memakan biaya yang sangat besar, maka tentunya kaum liberal akan menghindari hal ini. Sebagai gantinya, kaum liberal memandang bahwa dengan adanya kerjasama maka akan lebih menguntungkan satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‗ideal‘ di sini bukanlah kondis ideal yang sesempurna kaum utopis yang terdapat perdamaian abadi dan tidak adanya konflik.

Adanya ketergantungan dan keterkaitan antar-negara

Liberalis tidak menganggap adanya perbedaan antara High Politics dan Low Politics dalam isu hubungan internasional. Hal ini bertentangan dengan pandangan realis yang menganggap bahwa hanya isu keamanan saja yang penting dalam hubungan internasional. Isu ekonomi merupakan salah satu isu yang penting. Kaum liberal percaya bahwa meskipun kondisi dunia internasional itu anarki, akan tetapi sebenarnya setiap negara itu saling membutuhkan satu sama lain terutama kebutuhan komoditas perekonomian masyarakat tiap negara. Konsekuensi dari keadaan ini adalah adanya ketergantungan. Untuk mengatasi adanya ketergantungan tersebut, maka kerjasama merupakan pilihan yang paling rasional.

    1. Ideologi Fasisme

      1. Sejarah Ideologi Fasisme

Fasisme adalah sebuah gerakan politik penindasan yang pertama kali berkembang di Italia setelah tahun 1919 dan kemudian di berbagai negara di Eropa, sebagai reaksi atas perubahan sosial politik akibat Perang Dunia I. Nama fasisme berasal dari kata Latin ‘fasces’, artinya kumpulan tangkai yang diikatkan kepada sebuah kapak, yang melambangkan pemerintahan di Romawi kuno.

Istilah “fasisme” pertama kali digunakan di Italia oleh pemerintahan yang berkuasa tahun 1922-1924 pimpinan Benito Mussolini dan gambar tangkai-tangkai yang diikatkan pada kapak menjadi lambang partai fasis pertama. Setelah Italia, pemerintahan fasis kemudian berkuasa di Jerman dari 1933 hingga 1945, dan di Spanyol dari 1939 hingga 1975. Setelah Perang Dunia II, rezim-rezim diktatoris yang muncul di Amerika Selatan dan negara-negara belum berkembang lain umumnya digambarkan sebagai fasis.

Untuk memahami falsafah fasisme, kita dapat cermati deskripsi yang ditulis Mussolini untuk Ensiklopedi Italia pada tahun 1932:

Fasisme, semakin ia mempertimbangkan dan mengamati masa depan dan perkembangan kemanusiaan secara terpisah dari berbagai pertimbangan politis saat ini, semakin ia tidak mempercayai kemungkinan ataupun manfaat dari perdamaian yang abadi. Dengan begitu ia tak mengakui doktrin Pasifisme – yang lahir dari penolakan atas perjuangan dan suatu tindakan pengecut di hadapan pengorbanan. Peranglah satu-satunya yang akan membawa seluruh energi manusia ke tingkatnya yang tertinggi dan membubuhkan cap kebangsawanan kepada orang-orang yang berani menghadapinya. Semua percobaan lain adalah cadangan, yang tidak akan pernah benar-benar menempatkan manusia ke dalam posisi di mana mereka harus membuat keputusan besar–pilihan antara hidup atau mati…. (Kaum Fasis) memahami hidup sebagai tugas dan perjuangan dan penaklukan, tetapi di atas semua untuk orang lain–mereka yang bersama dan mereka yang jauh, yang sejaman, dan mereka yang akan datang setelahnya.”

Garis pemikiran serupa diungkapkan oleh Vladimir Jabotinsky, yang dikenal luas sebagai wakil terpenting Yahudi Zionis, dan pendukung hak radikal Israel, yang menyimpulkan ideologi fasistik dalam pernyataannya pada tahun 1930-an:

Sangatlah bodoh orang yang mempercayai tetangganya, sebaik dan sepenuh kasih apa pun tetangga itu. Keadilan hanya ada bagi orang-orang yang memungkinkannya terwujud dengan kepalan tangan dan sikap keras kepala mereka…. Jangan mempercayai siapa pun, senantiasa berhati-hatilah, bawalah selalu tongkatmu—inilah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup dalam pertarungan bagai serigala antara semua melawan semua ini.”

Ciri lainnya untuk diingat adalah bahwa fasisme merupakan ideologi nasionalistik dan agresif yang didasarkan pada rasisme. Nasionalisme semacam ini sama sekali berbeda dari sekadar kecintaan pada negara. Dalam nasionalisme agresif pada fasisme, seseorang mencita-citakan bangsanya menguasai bangsa-bangsa lain, menghinakan mereka, dan tidak menyesali timbulnya penderitaan hebat terhadap rakyatnya sendiri dalam prosesnya. Selain itu, nasionalisme fasistik menggunakan peperangan, pendudukan, pembantaian, dan pertumpahan darah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis tersebut.

Sebagaimana halnya yang mereka lakukan untuk menguasai bangsa-bangsa lain, rezim fasis juga menggunakan kekuatan dan penindasan terhadap bangsa mereka sendiri. Dasar kebijakan sosial fasisme adalah pemaksaan gagasan, dan keharusan rakyat menerimanya. Fasisme bertujuan membuat individu dan masyarakat berpikir dan bertindak seragam. Untuk mencapai tujuan ini, fasisme menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua metode propaganda. Fasisme menyatakan siapa pun yang tidak mengikuti gagasan-gagasannya sebagai musuh, bahkan sampai melakukan genocide (pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan atau bangsa), seperti dalam kasus Nazi Jerman.

Prinsip mendasar di balik fasisme masa kini adalah Darwinisme, yang dimunculkan seakan-akan suatu teori ilmiah meski tidaklah demikian adanya. Namun, Darwinisme, yang menyatakan klaim-klaim seperti “manusia adalah hewan yang telah berkembang sempurna”, “beberapa ras telah tertinggal dalam proses evolusi”, dan “melalui seleksi alam, yang kuat akan bertahan dan yang lemah tersingkir”, telah menjadi sumber bagi banyak ideologi berbahaya sepanjang abad ke-20, terutama fasisme.

2. Fasisme di Abad Ke-20

Segera setelah akhir Perang Dunia I, rezim fasis pertama di abad ke-20 dibangun di Italia oleh Benito Mussolini. Ia diikuti oleh Hitler di Jerman dan Franco di Spanyol. Pada tahun 1930-an, fasisme menjadi sebuah ideologi politik yang populer, partai-partai fasis baik besar ataupun kecil didirikan di banyak negara, dan kaum fasis berkuasa di Austria dan Polandia, sehingga seluruh Eropa dipengaruhi oleh fasisme.

Ada banyak kesamaan antara fasisme di Eropa, di mana contoh fasisme yang paling jelas terlihat, dengan fasisme di Amerika Latin dan Jepang, yang gerakannya juga mengakar dan tumbuh subur. Secara umum, fasisme memanfaatkan kondisi kekacauan dan ketidakstabilan dalam sebuah negara untuk menunjukkan diri kepada rakyat sebagai ideologi penyelamat. Begitu pemerintahan fasis terbentuk, rakyat dikendalikan dengan kombinasi ketakutan, penindasan, dan teknik-teknik cuci otak.

Krisis Sosial: Lahan Subur bagi Fasisme

Pada dasarnya, kemiskinan Italia akibat perang Dunia I adalah faktor terpenting dalam perkembangan kekuasaan fasisme. Lebih dari 600.000 orang Italia tewas akibat perang itu, dan hampir setengah juta orang menjadi cacat. Bagian terbesar dari populasi terdiri dari para janda yatim piatu. Negara itu tertekan oleh resesi ekonomi dan angka pengangguran yang tinggi. Walau bangsa Italia menderita kerugian besar dalam perang, mereka hanya mencapai sebagian kecil dari tujuan mereka. Seperti halnya negara-negara lain yang lelah akibat perang, bangsa Italia merindukan untuk memiliki kembali kehormatan dan keagungan mereka sebelumnya.