Ekspresi Hypoxia Inducible Factor-1α pada Jaringan Endometriosis

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Endometriosis

Endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang ditandai dengan terjadinya proliferasi kelenjar dan stroma endometrium diluar kavum uteri.11,12 Dikatakan bahwa endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang memiliki susunan kelenjar atau stroma endometrium atau kedua-duanya dengan atau tanpa makrofag yang berisi hemosiderin dan fungsinya mirip dengan endometrium karena berhubungan dengan haid dan bersifat jinak, dan dapat menyebar ke organ lainnya seperti pada organ genitalia interna, vesica urinaria, ureter, usus, peritoneum, umbilicus, paru, bahkan dapat dijumpai di pericardium, mata dan otak.13,14

2.2 Insidensi dan Prevalensi

Insidensi keseluruhan endometriosis berkisar 5-10% pada wanita usia reproduktif dan prevalensinya dapat mencapai 20-50% pada wanita infertil dan wanita dengan nyeri pelvik kronis.

Rata-rata penderita endometriosis terdiagnosa pada usia antara 25 dan 30 tahun. Penyakit ini jarang terjadi pada wanita usia pramenarche namun dapat diidentifikasikan pada lebih dari 50% wanita yang berumur kurang dari 20 tahun dengan keluhan nyeri pelvik kronis atau dispareunia.

13,15

Belakangan ini insidensi endometriosis diperkirakan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, terutama setelah semakin meluasnya penggunaan laparoskopi di bidang ginekologi. Di Indonesia sendiri ditemukan 15-25% wanita infertil yang disebabkan oleh endometriosis.

16,17


(2)

2.3 Diagnosis Endometriosis

Diagnosis endometriosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan laparoskopi yang merupakan gold standard. Dan endometriosis secara pasti ditegakkan berdasarkan hasil histopatologi dengan ditemukannya kelenjar dan stroma endometrium yang berasal dari jaringan diluar kavum uteri.

Anamnesis yang dapat membantu diagnosa endometriosis antara lain adanya riwayat nyeri yang berhubungan dengan siklus haid, nyeri pelvik kronik, dispareunia, dischezia, infertilitas atau perdarahan yang tidak teratur.

19

22,23 Salah satu keluhan yang paling sering dialami wanita dengan endometriosis adalah nyeri pelvik kronik mencakup dismenorea yang paling sering dilaporkan. Meskipun demikian dismenorea tidak dapat secara pasti memprediksi endometriosis. Dismenorea yang berhubungan dengan endometriosis biasanya dimulai sebelum menstruasi dan bertahan selama menstruasi berlangsung dan dapat terjadi lebih lama dari itu. Sedangkan dispareunia terkait endometriosis biasanya terjadi sebelum menstruasi dan semakin nyeri tepat di awal menstruasi. Nyeri ini lebih sering terjadi pada wanita dengan penyakit yang melibatkan septum rektovagina dan cul-de-sac.19,20 Mekanisme terjadinya nyeri pada endometriosis ini mungkin disebabkan oleh peradangan lokal, infiltrasi yang dalam dengan kerusakan jaringan, terlepasnya prostaglandin dan perlengketan.

Perdarahan tidak teratur yang berhubungan dengan endometriosis diperkirakan terjadi pada 11-34% penderita endometriosis. Hal ini dikatakan diakibatkan oleh adanya kelainan pada ovarium yang luas sehingga fungsi ovarium terganggu. Perdarahan ini juga dihubungkan dengan terjadinya peningkatan kadar estrogen dan berkurangnya progesteron yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan eutopik endometrium penderita endometriosis.

14


(3)

Meskipun belum ada penjelasan yang pasti, endometriosis dihubungkan dengan infertilitas. Endometriosis dijumpai pada 20-40% wanita infertil, dan diduga ada beberapa mekanisme yang berhubungan dengan penurunan fertilitas pada wanita dengan endometriosis. Transport ovum dapat terganggu akibat adanya gangguan anatomi pada adneksa. Peradangan kronis yang mengakibatkan kadar makrofag yang cukup tinggi pada penderita endometriosis dapat mempengaruhi reseptifitas endometrium, folikulogenesis ovarium dan kerja dari saluran tuba.21 Kedua pengobatan baik medisinalis dan operatif telah digunakan untuk penanganan endometriosis terkait infertilitas. Penanganan lainnya seperti intrauterine insemination (IUI) dan IVF, juga telah digunakan pada wanita infertil dengan endometriosis.

Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menentukan diagnosa dan penanganan yang tepat dan juga diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lainnya yang mungkin memerlukan perhatian. Pemeriksaan harus mencakup penilaian dari posisi, ukuran dan mobilitas uterus, dimana uterus retrofleksi yang terfiksir dapat menjadi sangkaan adanya perlengketan hebat. Pemeriksaan rektovaginal mungkin diperlukan dan tepat untuk menilai ligamen uterosakral dan septum rektovaginal yang dapat menunjukkan adanya nodul pada deep infiltrating endometriosis. Massa di adneksa yang dijumpai pada pemeriksaan fisik dapat disangkakan sebagai kista endometriosis. Pemeriksaan pada saat menstruasi dapat meningkatkan keberhasilan mendeteksi infiltrasi nodul endometriosis dan penilaian terhadap nyeri pelvik. Pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pembedahan yang merupakan gold standard endometriosis.

22

Ultrasonografi merupakan pencitraan yang paling umum untuk mendeteksi endometriosis. Dapat mendeteksi adanya suatu kelainan organ


(4)

panggul seperti mioma uteri dan kista ovarium.1 Pencitraan ini tidak mamadai untuk menetukan adanya lesi-lesi endometriosis superfisial yang biasanya tumbuh di sepanjang selaput peritoneum.24 Ultrasonografi transvaginal dapat sangat membantu mendiagnosis endometriosis stadium lanjut, tetapi tidak dapat digunakan untuk pencitraan adhesi pelvik atau foci superficial peritoneal. Endometrioma dapat ditunjukkan dalam berbagai gambaran ultrasonografi, tetapi biasanya tampak sebagai struktur kistik dengan internal berdifusi rendah yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik kering (crisp echogenic capsule). Beberapa dapat menunjukkan septa interna atau penebalan dinding nodular. Ketika karakteristik gejala dijumpai, ultrasonografi transvaginal memiliki sensitivitas 90% atau lebih dan spesifisitas hampir 100% untuk mendeteksi endometrioma.

Pencitraan dengan doopler juga dapat membantu diagnosis sonografi dimana endometrioma menerima suplai darah yang sedikit sedangkan karsinoma ovarium menerima suplai darah yang banyak. Apabila endometriosis diduga memiliki invasif yang lebih dalam terhadap organ-organ tertentu seperti usus atau kandung kemih, pemeriksaan tambahan seperti kolonoskopi, sistoskopi, ultrasonografi rektal dan MRI mungkin diperlukan.

23,24

1 MRI memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan ultrasonografi transvaginal dalam mendeteksi implan peritoneum dan memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 75% untuk deteksi penyakit yang didapati dari pemeriksaan histopatologi, namun tidak dapat digunakan sebagai pencitraan utama karena harganya mahal dan memiliki sensitivitas yang buruk untuk mendeteksi lesi peritoneum maupun stadium endometriosis.23,25 MRI juga terkadang dapat menunjukkan perlengketan padat pada distorsi usus yang berada di dekatnya dan susunan anatomik di sekelilingnya.

Belum ada uji laboratorium darah yang dapat digunakan untuk diagnosa pasti endometriosis. Meskipun serum CA-125 mungkin dapat meningkat pada


(5)

endometriosis derajat sedang dan berat, ketentuan ini tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin. Pada suatu meta analisis dari 23 penelitian yang meneliti serum CA-125 pada wanita yang dinyatakan menderita endometriosis secara operatif, perkiraan sensitivitas dan spesifisitasnya hanya berkisar masing-masing 28% dan 90%.

Laparoskopi merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis suatu endometriosis dengan cara melihat langsung ke dalam rongga abdomen. Keparahan penyakit paling baik digambarkan dengan tampilan langsung dan lokasi dari lesi endometriosis dan keterlibatan organ lainnya. Laparaskopi diagnostik tidak dibutuhkan sebelum pasien mengeluhkan gejala nyeri pelvik. Meskipun laparoskopi dianggap sebagai prosedur yang minimal invasif, namun tetap dapat memberikan resiko pembedahan termasuk perforasi usus dan kandung kemih dan juga cedera pembuluh darah.

25

24

2.4 Klasifikasi Endometriosis

Klasifikasi endometriosis saat ini berdasarkan American Society for Reproductive Medicine (ASRM) yang merupakan revisi dari American Fertility Society (AFS). Endometriosis dibagi menjadi stadium I (minimal), stadium II (mild), stadium III (moderate), stadium IV (severe) atau dengan pembagian endometriosis minimal-ringan adalah AFS I-II dan endometriosis sedang-berat adalah AFS III-IV.19,25


(6)

(7)

Sistem skoring endometriosis menurut ASRM yang telah direvisi, penilaian terhadap lesi endometriosis pada peritoneum dan tuba menggunakan nilai yang berhubungan dengan ukuran lesi. Penilaian ini juga didasarkan pada perlengketan pada ovarium dan tuba fallopi. Dan juga terdapat penilaian untuk lesi yang dijumpai pada daerah cul-de-sac posterior. Sistem skoring endometriosis diklasifikasikan sebagai berikut:

• Stadium 1 (minimal) : 1-5 19

• Stadium 2 (mild) : 6-15 • Stadium 3 (moderate) : 16-40 • Stadium 4 (severe) : >40

2.5 Penatalaksanaan

Penanganan endometriosis yang saat ini digunakan mencakup beberapa cara yaitu pengobatan medikamentosa, pembedahan atau kombinasi keduanya. Pengobatan endometriosis bergantung kepada keluhan wanita yang menderita endometriosis dan penanganannya disesuaikan dengan tujuan. Untuk wanita dengan infertilitas dan nyeri terkait endometriosis perlu ditetapkan manakah yang menjadi prioritas utama dari dua pilihan pengobatan, yaitu hormonal ataukah pembedahan, karena belum ada bukti bahwa pengobatan hormonal tunggal dapat memperbaiki fertilitas dan angka residifnya sangat tinggi.

Jenis dan rancangan penanganan endometriosis perlu dirancang dan dimulai di meja operasi karena kepastian diagnosis endometriosis sebagian besar baru dapat ditegakkan pada saat laparoskopi atau laparatomi. Saat ini perencanaan penanganan endometriosis semakin bertambah rumit karena pilihannya sangat beragam.

22,23


(8)

Kemajuan besar telah dicapai dalam penanganan medikamentosa, meliputi GnRH agonis, GnRH antagonis, aromatase inhibitor, antagonis progesteron, modulator selektif steroid seks, antiangiogenesis, dan imunoterapi dengan vaksin. Mengingat kendala dalam biaya, seorang klinisi harus menetapkan secara ketat indikasi pemakaian obat-obatan tersebut. Untuk itu spesialis ginekologi perlu dengan baik memahami etiopatogenesis endometriosis dan juga dengan cara apa penanganan yang akan dilakukan.23

Gambar 2. Algoritme Diagnosis dan Penatalaksanaan Endometriosis15

2.6 Patogenesis

Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan:26,27,28


(9)

• Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson)

Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis. Teori ini paling banyak penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di luar pelvis.

• Teori metaplasia (Rober Meyer) 26,27,28

Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari coelom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium. Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama. Teori Robert Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran melalui darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat operasi.

• Teori penyebaran secara limfogen (Halban)

26,27,28

Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita endometriosis.

• Teori induksi 26,27,28

Teori induksi pada dasarnya menjelaskan kelanjutan dari teori metaplasia sel coelom. Bahwa endometrium yang mengalami degenerasi pada kavum abdomen melepaskan faktor-faktor yang menginduksi sebuah proses metaplastik


(10)

dalam sel-sel mesenkim yang menyebabkan terjadinya endometriosis. Adanya faktor biokimia endogen dapat menginduksi perubahan sel peritoneal menjadi jaringan endometrium.

• Teori imunologik 26,27,28

Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan, bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu telah dikemukakan bahwa danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik.26,27,28

2.7 Imunologi Endometriosis

Telah diketahui bahwa patogenesis endometriosis disebabkan oleh banyak faktor dan perkembangannya juga melibatkan faktor-faktor lain pada tingkat molekuler.27 Menurut teori implantasi endometriosis terjadi karena adanya aliran balik atau reflux dari menstruasi sehingga terjadi refluks jaringan endometrium melalui tuba fallopi menuju rongga pelvis dan sel endometrium tersebut kemudian berimplantasi. Setelah terjadinya peyebaran sel endometrium selama menstruasi, mekanisme endometriosis kemudian mengikuti beberapa tahap yaitu reflux, adhesi, preteolysis, proliferasi dan angiogenesis. Lingkungan peritoneum dari kebanyakan wanita memiliki kemampuan mereabsorbsi jaringan endometrium pada akhir periode menstruasi. Sedangkan pada beberapa wanita, proses reabsorbsi tersebut tidak terjadi secara efisien sehingga akhirnya menderita endometriosis. Hal itu dapat disebabkan oleh jaringan endometrium itu sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa kelainan dari faktor-faktor yang ada


(11)

pada lingkungan peritoneum seperti sistem imunitas humoral dan selular, sel NK, makrofag, peritoneum, dan konsentrasi hormon lokal. Ketidakmampuan untuk mereabsorbsi implan pada peritoneum ini dapat diperburuk oleh disposisi anatomis yang sering dijumpai pada wanita dengan endometriosis dan hal ini dapat meningkatkan kejadian reflux menstruasi.

Setelah terjadi adhesi pada dinding peritoneum, sel endometrium kemudian akan berproliferasi. Berdasarkan teori metaplasia, dapat dikatakan bahwa walaupun endometriosis disebabkan oleh transformasi dari peritoneum menjadi epitel tipe mulerian, cukup jelas bahwa endometriosis merupakan suatu penyakit invasive.

27,28

30 Adhesi sel endometrium diikuti dengan invasi ke mesotelium dan sitolisis apoptosis dari jaringan endometrium ektopik oleh monosit dan makrofag peritoneum.

Apoptosis atau kematian sel yang terprogram memiliki peranan dalam homeostatis selular, mengeliminasi sel-sel dari lapisan fungsional dari endometrium pada akhir fase sekresi dan selama menstruasi. TNF-α diperkirakan merupakan signal lokal utama yang menginisiasi dan memodulasi apotosis selama menstruasi. Ketahanan dari endometrium yang mengalami reflux dapat disebabkan oleh keadaan resisten terhadap apoptosis.

28

Angiogenesis juga dikatakan memainkan peranan penting dalam patofisiologi endometriosis dikarenakan pertumbuhan lesi endometriosis membutuhkan suplai darah yang adekuat. Sama halnya dengan metastasis suatu tumor, implantasi endometrium memerlukan neovaskularisasi. Hal ini dikarenakan pada dasarnya pertumbuhan sel dikontrol berdasarkan kebutuhan oksigenasi yang dipengaruhi oleh pertumbuhan pembuluh darah melalui proses angiogenesis untuk memastikan suplai oksigen sampai pada jaringan dan sel.

29

27

Faktor-faktor yang mungkin terlibat dalam pertumbuhan endometriosis melalui neovaskularisasi berhubungan dengan pembentukan steroid, sitokin, radikal


(12)

bebas, dan faktor toksin pada lingkungan peritoneum.11 Diantara beberapa faktor angiogenik, Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan faktor angiogenik yang paling banyak diteliti saat ini. VEGF ditemukan lebih banyak pada jaringan endometrium wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan wanita tanpa endometriosis. Peningkatan ekspersi VEGF juga ditemukan meningkat pada lesi endometrium merah dibandingkan dengan lesi endometrium hitam. Pada lesi endometrium merah, VEGF bukan hanya diekspresikan oleh makrofag, namun juga oleh beberapa sel. Korelasi dari konsentrasi yang tinggi dari VEGF dan keberadaan MMP-1 telah dilaporkan pada lesi endometriosis merah. VEGF dalam hal sebagai faktor angiogenik menyebabkan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kebocoran dari produk fibrin ke ruang ekstraselular yang akan meningkatkan perekrutan dari makrofag. Sekresi dari TNF-α dan IL-6 yang disekresikan oleh makrofag ketika molekul besar seperti fibrin mengaktivasi mereka, meningkatkan aktivitas angiogenik dari makrofag.

Endometriosis dikatakan juga berkaitan dengan meningkatnya aktivitas inflamasi. Beberapa penelitian membuktikan terjadi peningkatan serum marker inflamasi yang berada di dalam cairan peritoneum. Pemberian anti inflamasi pada wanita dengan endometriosis yang mengeluhkan nyeri pelvik mendukung hipotesa yang menyatakan terdapat kontribusi dari inflamasi kronis dalam patogenesis endometriosis.

27,29


(13)

Gambar 3. Patogenesis Endometriosis30

2.8 Hipoksia dan Inflamasi

Pada keadaan inflamasi, terjadi peningkatan faktor pertumbuhan, kemokin, sitokin, dan keseimbangan ROS yang mengakibatkan mutasi gen. Akan terjadi berbagai keadaan proinflamasi yang akan membentuk banyak radikal bebas sehingga menimbulkan keadaan hipoksia.

Hipoksia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi oksigen dalam sel sangat rendah. Hipoksia disebabkan oleh cedera sel dimana cedera sel disebabkan oleh beberapa faktor; iskemik, anemia, penurunan perfusi oksigen disebabkan oleh masalah darah dan lain-lain. Keadaan hipoksia pada sel tumor disebabkan tingginya konsumsi oksigen akibat tingkat proliferasi yang sangat cepat dari sel tersebut, tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan akibat kerusakan fungsi dan struktur jaringan vaskular, bertambahnya jarak difusi akibat ekspansi sel tumor serta berkurangnya kemampuan darah dalam mengangkut


(14)

oksigen. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keadaan hipoksia pada sel tumor berhubungan dengan tingkat progresifitas proliferasi, peningkatan metastasis, prognosis buruk, dan resistensi sel tumor tersebut terhadap terapi. Konsep bahwa hipoksia intra-tumor dapat memicu terjadinya keganasan juga telah banyak diketahui sejak beberapa tahun terakhir ini.

Pada keadaan hipoksia, protein Hypoxia Inducible Factor-1α (HIF-1α) berperan pentingmengendalikan respon selular dan akan mengalamidimerisasi dengan HIF-1β, membentuk faktortranskripsi HIF-1. Faktor transkripsi HIF akanterikat pada hypoxia responsive element (HREs)dalam promoter gen. Hal tersebut akan menginisiasi proses ekspresi gen yang responsif terhadap hipoksia, seperti gen Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Erythropoietin (EPO), dan lain-lain. Salah satu peran HIF-1 adalah mengaktivasi transkripsi gen-gen yang sangat penting dalam terbentuknya kanker, termasuk terjadinya angiogenesis, metabolisme glukosa, dan invasi sel-sel kanker.

32

Pada keadaan hipoksia juga terjadi peningkatan kadar reactive oxygen species (ROS). Saat ini, terdapat peningkatan perhatian pada fenomena ROS-dependent dalam regulasi aktivitas protein HIF-1α. Mitokondria merupakan tempat produksi ROS. Mitokondria berperan sebagai sensor untuk aktivasi

HIF-1α. Mekanisme sensor O2 dan proses signaling dari ROS terhadap aktivasi protein HIF-1α memiliki jalur yang bermacam-macam pada sel yang berbeda-beda. Sampai saat ini belum ada kesepakatan pakar tentang mekanisme utama regulasi HIF-1α oleh ROS. Salah satu mekanisme regulasi HIF-1α oleh ROS adalah melalui perubahan status redoks dari sel. Pada metabolisme normal, radikal bebas anion superoksida (O2) diproduksi sebagai hasil dari rantai transfer elektron di mitokondria. Enzim MnSOD adalah antioksidan endogen yang terletak pada matriks mitokondria eukariotik dan merupakan antioksidan primer yang pertama kali berhadapan dengan radikal bebas, seperti O2.

31


(15)

Pada keadaan hipoksia kadar ROS akan meningkat. Beberapa ROS seperti O2, H2O2, OH

-normal diketahui berperan sebagai molekul signal yang menginduksi berbagai proses biologis, seperti stimulasi protein fosforilasi, Ca2+-signaling, hidrolisis fosfolipid, dan aktivasi faktor transkripsi. Saat ini, terdapat peningkatan perhatian yang tertuju pada fenomena regulasi ROS-dependent dari aktivitas protein

HIF-1α. Hamanaka (2010) menyatakan H2O2 eksogen yang diberikan dalam

keadaan normoksia menstabilkan protein HIF-1α, sementara itu hipoksia pada sel Hep3B dan pemberian antimicin A akan meningkatkan pembentukan ROS pada kompleks III di mitokondria dan stabilisasi HIF-1α, respon seperti ini tidak tampak pada sel yang mitokondrianya mengalami mutasi.

yang dihasilkan selama metabolisme aerobik

35 Pada penelitian lain disebutkan bahwa ROS yang dihasilkan selama hipoksia akan mengaktivasi mitogen activated protein kinasepathway (MAPK) yang akan memberikan sinyal untuk pengaktifan HIF-1α. Ekspresi protein HIF- 1α tampaknya peka terhadap perubahan kecepatan sintesis karena waktu paruhnya yang sangat pendek pada keadaan non-hipoksia.

Hipoksia menginduksi inflamasi melalui pelepasan mediator-mediator inflamasi oleh sel parenkim maupun endotel yang hipoksik. Neutrofil sebagai salah satu efektor inflamasi akut bekerja dengan membangkitkan radikal bebas.

33,34

Lingkungan mikro jaringan yang mengalami peradangan dan inflammasi ditandai dengan rendahnya tingkat oksigen dan glukosa dan meningkatnya kadar sitokin inflamasi, oksigen reaktif, dan spesies nitrogen dan metabolit. Kompleks faktor transkripsi yang diinduksi hipoksia, Hypoxia – inducible Factor (HIF) -1 diatur oleh hipoksia juga oleh berbagai macam mediator inflamasi. Dalam sistem sel kekebalan tubuh bawaan dan adaptif, HIF-1 diregulasi oleh senyawa bakteri dan virus, bahkan di bawah kondisi normoxic. Up-regulasi ini mempersiapkan 36


(16)

sel-sel ini bermigrasi ke dan berfungsi dalam hipoksia dan jaringan yang meradang. Setelah extravasasi dari pembuluh darah tersebut, aktivitas sel lebih ditingkatkan dengan stimulasi HIF-1 oleh sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL) -1beta (β) dan tumor necrosis factor (TNF) alpha (α), dan faktor jaringan yang diekspresikan secara lokal. TNF-α yang disebabkan stimulasi HIF-1α stimulasi membutuhkan NF-kB pada tingkat stabilisasi protein HIF-1α tanpa mempengaruhi tingkat mRNA-nya. Tindakan sama, IL-1β pada stabilitas protein HIF-1α dengan memicu aktivitas NF-kB dan menghambat dimediasi degradasi protein VHL.

Fakta bahwa HIF dapat diaktifkan sebagai respons terhadap sitokin inflamasi menunjukkan HIF memainkan peran penting dalam inflamasi. Hubungan antara induksi hipoksia dari HIF-1 dan jalur sinyal lain yang diaktifkan oleh peradangan memastikan respon dari jenis sel spesifik dan stimulus seluler yang memadai. Aktifitas yang berkepanjangan dari HIF-1 dalam kondisi peradangan, bagaimanapun, dapat berkontribusi bagi kelangsungan hidup jaringan dan sel yang rusak, sehingga memicu perkembangan endometriosis.

36,37

37


(17)

Gambar 4. Patofisiologi HIF pada Cedera Sel

2.9 Hipoksia Menginduksi Angiogenesis

Sistem vaskularisasi menghantarkan oksigen dan nutrisi kepada seluruh sel tubuh. Maka tidak mengherankan jika oksigen memiliki peran utama dalam regulasi organ tubuh yang sangat kompleks. Respon transkripsi terhadap rendahnya oksigen dimediasi oleh Hypoxia-Inducible Factor (HIF), faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi angiogenik, metabolisme dan siklus sel gen. Oleh karena itu, jalur HIF saat ini dianggap sebagai pengaturan utama dari angiogenesis. Modulasi HIF dapat memberikan terapi yang menguntungkan bagi berbagai macam patologi termasuk kanker, penyakit jantung iskemik, penyakit arteri perifer, penyembuhan luka dan penyakit neovaskular mata. Hipoksia mengakibatkan pertumbuhan pembuluh darah dengan upregulasi jalur pro-angiogenik yang menjadi pendukung biologi sel endotel, stroma dan vaskular. Lebih menarik lagi, penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa hipoksia mempengaruhi aspek tambahan dari angiogenesis termasuk pembentukan, maturasi dan fungsi dari pembuluh darah.38


(18)

Gambar 5. Regulasi Angiogenesis tergantung Oksigen melalui Faktor Angiogenik Hypoxia-inducible Factor (HIF)38

Jalur HIF meregulasi gen pro-angiogenik, termasuk vascular endothelial growth factor (VEGF), angiopeietin-1, angiopoietin-2, Tie2, platelet-derived growth factor (PDGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1). Sesungguhnya, stimulasi ektopik dari jalur HIF cukup untuk menginduksi angiogenesis lokal dengan tidak adanya faktor tambahan dalam berbagai jaringan dan konteks. Faktor pro-angiogenik HIF diatur mengeksekusi program angiogenik HIF spesifik dengan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, proliferasi sel endotel, tumbuh, migrasi, adhesi, dan pembentukan tuba. Luasnya gen target pro-angiogenik HIF dan proses angiogenik menjadikan HIF sebagai "master regulator" angiogenesis.

HIF-1α banyak terekspresi pada berbagai macam kanker salah satunya pada kanker endometrium yang merupakan salah satu tumor ganas dari organ reproduksi wanita. Horree dkk (2007) menunjukkan bahwa ekspresi HIF-1α meningkat dari keadaan normal melalui keadaan predominan menjadi suatu endometrioid adenokarsinoma setara dengan penurunan aktivasi gen dan peningkatan angiogenesis. Dari penelitian ini HIF-1α dihubungkan dengan prognosis buruk pada kanker endometrium stadium I.

38

Pada penelitian lain Wu dkk menulis bahwa hepatocellular carcinoma juga menunjukkan ekspresi HIF-1. HCC merupakan suatu tumor hipervaskular dan angiogenesis memainkan peranan penting dalam progresifitasnya. Keadaan hipoksia menstimulasi angiogenesis untuk mendukung pertumbuhan tumor dengan menginduksi ekspresi faktor-faktor angiogenesis, seperti insulin-like growth factor IIdan VEGF. HIF-1 yang muncul pada keadaan hipoksia dari tumor tersebut memainkan peranan penting dalam ekspresi VEGF, angiogenesis dan pertumbuhan tumor.

39


(19)

Hipoksia merupakan suatu keadaan yang tidak seimbang antara suplai oksigen dan kebutuhannya yang terjadi pada kanker dan pada penyakit kardiovaskular iskemik. HIF-1 awalnya teridentifikasi sebagai faktor transkripsi yang memediasi ekspresi hypoxia-induced erythropoietin. Belakangan ini penggambaran dari mekanisme molekuler angiogenesis telah mengungkapkan peranan HIF-1 dalam regulasi faktor pertumbuhan angiogenik.

Pada penelitian invivo Becker dkk, dikatakan bahwa dijumpai hubungan estradiol dengan HIF-1α. Pemberian 2-Methoxyestradiol menurunkan ekspresi HIF-1α disertai penurunan gen targetnya seperti VEGF, fosfogliserat kinase dan glucose transporter-1. Hal ini menunjukkan perkembangan endometriosis yang bergantung kepada estrogen.

41

42

2.10 Hypoxic-inducible Factor (HIF)-1α

Pertama kali diidentifikasi berdasarkan kemampuannya untuk mengatur ekspresi erythropoietin (EPO), faktor hipoksia (HIF), HIF-1α, mengatur susunan yang kompleks pada gen dalam merespon kekurangan oksigen. Protein HIF termasuk ke dalam bHLH-PAS (basic helix loop helix-Per/ARNT/Sim) kelompok protein 12 dan terdiri dari 3 subunit-α regulasi O2, HIF-1α, HIF-2α, dan HIF-3α, dan secara konstitutif menunjukkan subunit-β dari translokator nuklir golongan Aryl hydrocarbon, termasuk ARNT, ARNT2, dan ARNT3. Subunit HIF-α bersifat homolog secara struktural, mengandung bHLH domain N-terminal yang memediasi pengikatan dan spesifisitas DNA. HLH dan PAS domain memediasi heterodimerisasi dengan mitra transkripsi ARNT. Meskipun kelompok ARNT semua berstruktur homolog, tidak semua ARNT memberikan respon adaptif terhadap hipoksia. ARNT3, yang dikenal sebagai BMAL, merupakan regulator penting dari ritme kardiak, sedangkan ARNT2 terutama terlibat dalam perkembangan saraf, dimana ia kompleks dengan single-minded homologue1


(20)

(SIM1). ARNT2 memediasi beberapa respon transkripsi hipoksia di SSP, meskipun ARNT adalah HIF-β primer yang terlibat dalam respon hipoksia.38,43,44

Gambar 6. Skema Representatif Struktur HIF-α dan HIF-β dan DNA Binding38

Dalam kondisi normoksik, subunit HIF-α ter-polyubiquitinated pada residu 2 prolin diantara oxygen-dependent degradation domain (ODDD) melalui sebuah kelompok enzim yang dikenal sebagai prolyl hydroxylases (PHDs). Hal ini membantu pengenalan kompleks ligase VHL E3 ubiquitin dan selanjutnya degradasi dari HIF-α melalui proteasom 26S. Sebagai tambahan, hidroksilasi dari residu terminal aspargine-C HIF-α melalui faktor inhibisi HIF-1 (FIH-1) mencegah pengikatan kofaktor yang diperlukan pada aktivitas HIF. Hipoksia menghambat aktivitas PHD dan enzim FIH-1, yang mengakibatkan protein HIF-α tidak teridentifikasi oleh VHL, terstabilisasi, dan translokasi ke nukleus. Disana akan berdimerisasi dengan HIF-1β/ARNT dan berikatan dengan hypoxia response elements (HREs) diantara promotor dari gen target. Bersama dengan koaktivator


(21)

protein p300 dan CBP, kompleks HIF mengaktivasi transkripsi sebuah panel gen-gen yang diperlukan sebagai respon terhadap hipoksia.38,44,45

Gambar 7. Regulasi Aktivitas Hypoxia-inducible Factor (HIF)38

2.11 HIF-1α pada Endometriosis

Bagaiamanapun, ekspresi HIF-1α pada lesi endometriosis ektopik belum diketahui dengan pasti. Perbedaan ekspresi HIF-1α antara jaringan endometriosis ektopik dan endometrium eutopik masih kontroversial. Penelitian Wu dkk (2007) menunjukkan level mRNA dan protein HIF-1α lebih tinggi pada jaringan endometriosis ektopik dibandingkan endometrium eutopik. Kobayashi dkk (2012) dalam analisis histokimia endometriosis ovarium menunjukkan


(22)

IRP1/IRP2/HIF-1beta meningkat secara signifikan dibandingkan kontrol. Berg dkk (2013) menemukan upregulasi HIF-1α pada lesi mirip endometriosis. Namun, peningkatan ekspresi ini hanya ditemukan pada stadium awal transplantasi dan invasi, sedangkan hal ini tidak ditemukan perbedaan dengan kontrol. Hal ini yang diyakini menjadi dasar kontroversi.

Hipoksia dan HIF-1α meningkatkan ekspresi gen regulator sinergis yang berperan dalam perkembangan jaringan endometriosis secara tidak langsung.

HIF-1α memicu perkembangan jaringan endometriosis melalui peningkatan

kadar PGF2α dan PGE2 telah ditemukan dalam cairan peritoneal dari wanita dengan endometriosis. Jalur kedua adalah HIF-1α meningkatakan faktor angiogenik seperti VEGF, CYR61, dan osteopontin yang meningkatkan nutrisi untuk perkembangan jaringan endometriosis. Jalur ketiga adalah HIF mengikat reseptor HER yang banyak terdapat pada leptin di mana leptin merangsang perkembangan jaringan endometriosis melalui jalur ERK/JNK. Jalur keempat

adalah HIF memicu downregulasi ERα, upregulasi ERβ, overekspresi GPR30 yang memicu perkembangan jaringan endometriosis yang dipicu status dan homeostasis hormonal.

46,47

2.11.1 Prostaglandin 48

Prostaglandin adalah kelompok asam lemak rantai panjang disentesis dari asam arakidonat dan terlibat dalam banyak proses fisiologis dan patologis seperti peradangan, memperbaiki jaringan, proliferasi dan angiogenesis. Pada mamalia, sel-sel mensintesis PG dari asam arakidonat melalui mediasi beberapa enzim termasuk fosfolipase A2 (PLA2), prostaglandin G/H sintase (lebih dikenal sebagai siklooksigenase, COX), dan terminal PG sintase. PLA2 memotong dan melepaskan asam arakidonat dari membran fosfolipid. COX kemudian mengubah asam arakidonat ke PGH2, yang merupakan prekursor PG umum dan


(23)

selanjutnya akan dikonversi menjadi prostaglandin atau metabolit PG terkait dengan terminal PG sintase.

Disregulasi enzim tertentu telah dikaitkan dengan perkembangan endometriosis. COX-2, enzim yang bertanggung jawab untuk dalam biosintesis PGE2, ditemukan menyimpang ekspresinya dalam makrofag peritoneal dan sel stroma endometrium. Produksi menyimpang dari PGE2 oleh makrofag dan sel stroma ektopik berkontribusi untuk berbagai proses patologis terhadap perkembangan endometriosis termasuk steroidogenesis, proliferasi sel, angiogenesis, dan inhibisi imunitas.

49,50

Meskipun sitokin proinflamasi tinggi biasanya ditemukan dalam cairan peritoneal dari wanita dengan endometriosis, hal ini tidak sepenuhnya menjelaskan overekspresi COX-2 di endometriosis. Sebaliknya, dikatakan bahwa COX-2 setidaknya 100 kali lebih sensitif terhadap pengobatan interleukin (IL)-1β dalam sel stroma endometrium dibandingkan dengan sel-sel stroma endometrium yang normal dan meningkatkan sensitivitas ini gen COX-2 yang dimediasi melalui ERK.

51

52 Suatu penelitian menemukan DUSP2, sebuah fosfatase nuklir yang menginaktivasi ERK, menurunkan regulasi dalam sel-sel stroma jaringan endometriosis ektopik. Analisis bioinformatika mengungkapkan bahwa ada unsur respon hipoksia (HRE) yang berperan dalam promotor DUSP2, menunjukkan DUSP2 adalah gen dependen hipoksia. Gagasan ini didukung oleh hasil bahwa stres hipoksia dan overekspresi HIF-1α mendownregulasi DUSP2. Downregulasi DUSP2 menyebabkan aktifnya ERK dan p38-MAPK dan akhirnya meningkatkan sensitivitas COX-2 dalam rangsangan proinflamasi.

Baik hipoksia dan PG memainkan peran penting dalam fisiologi endometrium normal. Pada saat menstruasi, banyak sitokin proinflamasi, peningkatan ekspresi COX-2, PGE2 dalam sel stroma endometrium. Wu dkk (2011) menunjukkan HIF-1α memicu endometriosis melalui efek pada


(24)

peningkatan ekpresi COX-2, IL-1beta, dan PGE2. Peningkatan protein HIF-1α akan menyebabkan downregulasi DUSP1 kemudian terjadi efek penurunan MAPK, peningkatan aktivasi ERK, dan MAPK p38 pada sel stroma endometriosis ektopik. COX2 dan PGE2 akan meningkat memicu StAR yang meningkatkan pertumbuhan sel stroma endometriosis. PGE2 menstabilkan HIF-1α melalui E-series reseptor prostanoid 2 (EP2) jalur dalam model sel epitel endometrium.

Hipoksia dan PG (PGF2α dan PGE2 khususnya) menginduksi faktor angiogenik

seperti VEGF, IL-8, dan CYR61.

Mikro RNA (miRNAs) adalah RNA noncoding kecil modulasi ekspresi gen sasaran melalui pembelahan atau penindasan translasi. Fungsi regulasi dari miRNAs telah terlibat dalam hipoksia, peradangan, perbaikan jaringan, proliferasi sel, apoptosis, remodelling matriks ekstraselular, dan angiogenesis pada endometriosis. Telah dilaporkan bahwa ekspresi mir-20a relatif lebih tinggi pada lesi ektopik dibandingkan dengan yang di jaringan endometrium eutopik. Dengan menggunakan pendekatan biologi molekuler dan bioinformatika, kami mengidentifikasi bahwa promotor mir-20a regulasi HRE, suatu segemen cis DNA tempat pengikatan HIF. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ekspresi miR-20a dipicu oleh hipoksia. miR-miR-20a memiliki lokasi target di DUSP2 3’-UTR yang menyebabkan efek downregulasi DUSP2. Penurunan ekspresi DUSP2, memicu fosforilasi ERK, overekspresi ERK, upregulasi COX-2, dan faktor mitogenik. Pada endometriosis ektopik, juga ditemukan penurunan miR-20a yang menjadi inhibitor HIF-1α sehingga HIF-1α upregulasi dan mengikat CREBBP, suatu kofaktor yang lebih meningkatkan lagi aktivitas HIF-1α.

52,53

2.11.2 Estrogen

51,52,53

Perkembangan endometriosis bergantung estrogen didasari oleh insidensi endometriosis biasanya pada menarche atau menopause dan penelitian invitro yang menunjukkan hanya monyet yang menerima estrogen dan


(25)

progesteron menunjukkan perkembangan endometriosis. Dua isoform reseptor

estrogen nuklir (ERα dan ERβ) dan satu reseptor G protein-coupled estrogen (GPR30) memediasi sebagian besar fungsi regulasi dari isoform estrogen.

Penelitian invivo Becker dkk (2008) penurunan HIF-1α akan menurunkan gen tagetnya seperti VEGF, fosfogliserat kinase, dan transporter glukosa-1. Penelitian ini juga menerangkan adanya hubungan estradiol dengan HIF-1α karena terapi inhibitor estradiol pada mencit menurunkan ekspresi HIF-1α secara signifikan.

54

Ekspresi menyimpang dari ERα, ERβ, dan GPR30 telah dilaporkan pada wanita dengan endometriosis. Downregulasi ERα dan/atau upregulasi ERβ serta

overekspresi GPR30 ditemukan dalam jaringan endometriosis. Hipoksia juga menginduksi hal yang sama. GPR30 juga diregulasi oleh hipoksia secara HIF-1α, dan memediasi efek anti-apoptosis estrogen pada hipoksia diinduksi apoptosis. Interaksi antara hipoksia dan estrogen bisa lebih rumit karena estrogen menginduksi HIF-1α sehingga hal ini bersifat timbal balik.

42

2.11.3 Leptin

55

Leptin awalnya diidentifikasi sebagai hormon endokrin, yang disekresi oleh adiposit, bekerja pada hipotalamus untuk mengatur homeostasis energi. Beberapa bukti menunjukkan leptin dan reseptornya banyak diekspresikan dalam berbagai jaringan seperti perut, otot, plasenta, ovarium, dan uterus secara parakrin dan autokrin. Selain peran regulasi dalam mempertahankan homeostasis energi, fungsi leptin juga terlibat dalam proliferasi sel, angiogenesis, dan respon imun.

Penelitian Wu dkk (2007) berhipotesis bahwa penyimpangan ekspresi leptin pada stroma endometriosis diregulasi oleh peningkatan HIF-1α. Pajanan sel stroma endometrium dalam kondisi hipoksia oleh desferioxamin menyebabkan peningkatan ekspresi gen leptin. Assay promoter aktivitas


(26)

menunjukkan bahwa HIF-1α memicu aktivitas promoter leptin setelah terapi defderioxamin. Reseptor leptin juga ditemukan diekspresikan baik pada stroma endometrial maupun sel epitiel, menunjukkan efek parakrin dan autokrin leptin ada endometriosis. Leptin merangsang perkembangan jaringan endometriosis melalui jalur ERK/JNK. Berhubungan dengan HIF, HRE ditemukan pada promoter dan intron pertama leptin.

2.11.4 Faktor Angiogenik

40

Endometrium ektopik harus didukung oleh oksigen, nutrisi, dan metabolit untuk berkembang. Untuk mengatasi kekurangan oksigen pada vaskonstriksi akibat peningkatan sitokin proinflamasi pada endometriosis, sel-sel harus melakukan angiogenesis. Dalam endometrium normal, hipoksia menginduksi ekspresi beberapa isoform VEGF pada sel epitel dan stroma endometrum. Penelitian Mahnke dkk (2000) menunjukkan tingkat VEGF wanita endometriosis pada cairan peritoneal lebih tinggi dibandingkan kontrol.

Penelitian laboratorium Becker dkk (2008) menunjukkan bahwa penekanan ekspresi VEGF dikatikan dengan peningkatan HIF-1α. Selain itu, efek HIF-1α pada estrogen memicu PI3K/Akt untuk meningkatkan ekspresi VEGF. Selain itu, peningkatan leptin juga memicu VEGF. Ekspresi protein 61 (CYR61), suatu faktor angiogeneik, juga dependen downregulasi DUSP2-dependen

HIF-1α. Osteopontin, faktor angiogenik juga diinduksi keadaan hipoksia dan HIF.

57


(27)

2.12 Kerangka Teori

Menstruasi

Retrograd

Sel endometrium

di rongga

peritoneum

Apoptosis

↓↓

Adhesi pada

peritoneum

Implantasi dan

invasi

Pertumbuhan dan perkembangan sel

endometrium ektopik Perdarahan secara

siklik pada ronggaperitoneum

Inflamasi kronik /

pembentukan

peritoneal fibrosis

Neoangiogenesis

Makrofag

Faktor Genetik,

Hormonal dan

Lingkungan

VEGF, MMP, Growth factor

Hypoxia

↑↑

HIF-

1α ↑↑

Cedera sel


(28)

2.13 Kerangka Konsep

Variabel Independent

HIF-

ENDOMETRIOSIS

Faktor Perancu :

Gangguan kardiovaskular

Tumor/neoplasia endometrium

Anemia

Variabel Bebas


(1)

selanjutnya akan dikonversi menjadi prostaglandin atau metabolit PG terkait dengan terminal PG sintase.

Disregulasi enzim tertentu telah dikaitkan dengan perkembangan endometriosis. COX-2, enzim yang bertanggung jawab untuk dalam biosintesis PGE2, ditemukan menyimpang ekspresinya dalam makrofag peritoneal dan sel stroma endometrium. Produksi menyimpang dari PGE2 oleh makrofag dan sel stroma ektopik berkontribusi untuk berbagai proses patologis terhadap perkembangan endometriosis termasuk steroidogenesis, proliferasi sel, angiogenesis, dan inhibisi imunitas.

49,50

Meskipun sitokin proinflamasi tinggi biasanya ditemukan dalam cairan peritoneal dari wanita dengan endometriosis, hal ini tidak sepenuhnya menjelaskan overekspresi COX-2 di endometriosis. Sebaliknya, dikatakan bahwa COX-2 setidaknya 100 kali lebih sensitif terhadap pengobatan interleukin (IL)-1β dalam sel stroma endometrium dibandingkan dengan sel-sel stroma endometrium yang normal dan meningkatkan sensitivitas ini gen COX-2 yang dimediasi melalui ERK.

51

52 Suatu penelitian menemukan DUSP2, sebuah fosfatase nuklir yang menginaktivasi ERK, menurunkan regulasi dalam sel-sel stroma jaringan endometriosis ektopik. Analisis bioinformatika mengungkapkan bahwa ada unsur respon hipoksia (HRE) yang berperan dalam promotor DUSP2, menunjukkan DUSP2 adalah gen dependen hipoksia. Gagasan ini didukung oleh hasil bahwa stres hipoksia dan overekspresi HIF-1α mendownregulasi DUSP2. Downregulasi DUSP2 menyebabkan aktifnya ERK dan p38-MAPK dan akhirnya meningkatkan sensitivitas COX-2 dalam rangsangan proinflamasi.

Baik hipoksia dan PG memainkan peran penting dalam fisiologi endometrium normal. Pada saat menstruasi, banyak sitokin proinflamasi, peningkatan ekspresi COX-2, PGE2 dalam sel stroma endometrium. Wu dkk (2011) menunjukkan HIF-1α memicu endometriosis melalui efek pada


(2)

peningkatan ekpresi COX-2, IL-1beta, dan PGE2. Peningkatan protein HIF-1α akan menyebabkan downregulasi DUSP1 kemudian terjadi efek penurunan MAPK, peningkatan aktivasi ERK, dan MAPK p38 pada sel stroma endometriosis ektopik. COX2 dan PGE2 akan meningkat memicu StAR yang meningkatkan pertumbuhan sel stroma endometriosis. PGE2 menstabilkan HIF-1α melalui E-series reseptor prostanoid 2 (EP2) jalur dalam model sel epitel endometrium. Hipoksia dan PG (PGF2α dan PGE2 khususnya) menginduksi faktor angiogenik seperti VEGF, IL-8, dan CYR61.

Mikro RNA (miRNAs) adalah RNA noncoding kecil modulasi ekspresi gen sasaran melalui pembelahan atau penindasan translasi. Fungsi regulasi dari miRNAs telah terlibat dalam hipoksia, peradangan, perbaikan jaringan, proliferasi sel, apoptosis, remodelling matriks ekstraselular, dan angiogenesis pada endometriosis. Telah dilaporkan bahwa ekspresi mir-20a relatif lebih tinggi pada lesi ektopik dibandingkan dengan yang di jaringan endometrium eutopik. Dengan menggunakan pendekatan biologi molekuler dan bioinformatika, kami mengidentifikasi bahwa promotor mir-20a regulasi HRE, suatu segemen cis DNA tempat pengikatan HIF. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ekspresi miR-20a dipicu oleh hipoksia. miR-miR-20a memiliki lokasi target di DUSP2 3’-UTR yang menyebabkan efek downregulasi DUSP2. Penurunan ekspresi DUSP2, memicu fosforilasi ERK, overekspresi ERK, upregulasi COX-2, dan faktor mitogenik. Pada endometriosis ektopik, juga ditemukan penurunan miR-20a yang menjadi inhibitor HIF-1α sehingga HIF-1α upregulasi dan mengikat CREBBP, suatu kofaktor yang lebih meningkatkan lagi aktivitas HIF-1α.

52,53

2.11.2 Estrogen

51,52,53

Perkembangan endometriosis bergantung estrogen didasari oleh insidensi endometriosis biasanya pada menarche atau menopause dan penelitian invitro yang menunjukkan hanya monyet yang menerima estrogen dan


(3)

progesteron menunjukkan perkembangan endometriosis. Dua isoform reseptor estrogen nuklir (ERα dan ERβ) dan satu reseptor G protein-coupled estrogen (GPR30) memediasi sebagian besar fungsi regulasi dari isoform estrogen.

Penelitian invivo Becker dkk (2008) penurunan HIF-1α akan menurunkan gen tagetnya seperti VEGF, fosfogliserat kinase, dan transporter glukosa-1. Penelitian ini juga menerangkan adanya hubungan estradiol dengan HIF-1α karena terapi inhibitor estradiol pada mencit menurunkan ekspresi HIF-1α secara signifikan.

54

Ekspresi menyimpang dari ERα, ERβ, dan GPR30 telah dilaporkan pada wanita dengan endometriosis. Downregulasi ERα dan/atau upregulasi ERβ serta overekspresi GPR30 ditemukan dalam jaringan endometriosis. Hipoksia juga menginduksi hal yang sama. GPR30 juga diregulasi oleh hipoksia secara HIF-1α, dan memediasi efek anti-apoptosis estrogen pada hipoksia diinduksi apoptosis. Interaksi antara hipoksia dan estrogen bisa lebih rumit karena estrogen menginduksi HIF-1α sehingga hal ini bersifat timbal balik.

42

2.11.3 Leptin

55

Leptin awalnya diidentifikasi sebagai hormon endokrin, yang disekresi oleh adiposit, bekerja pada hipotalamus untuk mengatur homeostasis energi. Beberapa bukti menunjukkan leptin dan reseptornya banyak diekspresikan dalam berbagai jaringan seperti perut, otot, plasenta, ovarium, dan uterus secara parakrin dan autokrin. Selain peran regulasi dalam mempertahankan homeostasis energi, fungsi leptin juga terlibat dalam proliferasi sel, angiogenesis, dan respon imun.

Penelitian Wu dkk (2007) berhipotesis bahwa penyimpangan ekspresi leptin pada stroma endometriosis diregulasi oleh peningkatan HIF-1α. Pajanan sel stroma endometrium dalam kondisi hipoksia oleh desferioxamin menyebabkan peningkatan ekspresi gen leptin. Assay promoter aktivitas


(4)

menunjukkan bahwa HIF-1α memicu aktivitas promoter leptin setelah terapi defderioxamin. Reseptor leptin juga ditemukan diekspresikan baik pada stroma endometrial maupun sel epitiel, menunjukkan efek parakrin dan autokrin leptin ada endometriosis. Leptin merangsang perkembangan jaringan endometriosis melalui jalur ERK/JNK. Berhubungan dengan HIF, HRE ditemukan pada promoter dan intron pertama leptin.

2.11.4 Faktor Angiogenik

40

Endometrium ektopik harus didukung oleh oksigen, nutrisi, dan metabolit untuk berkembang. Untuk mengatasi kekurangan oksigen pada vaskonstriksi akibat peningkatan sitokin proinflamasi pada endometriosis, sel-sel harus melakukan angiogenesis. Dalam endometrium normal, hipoksia menginduksi ekspresi beberapa isoform VEGF pada sel epitel dan stroma endometrum. Penelitian Mahnke dkk (2000) menunjukkan tingkat VEGF wanita endometriosis pada cairan peritoneal lebih tinggi dibandingkan kontrol.

Penelitian laboratorium Becker dkk (2008) menunjukkan bahwa penekanan ekspresi VEGF dikatikan dengan peningkatan HIF-1α. Selain itu, efek HIF-1α pada estrogen memicu PI3K/Akt untuk meningkatkan ekspresi VEGF. Selain itu, peningkatan leptin juga memicu VEGF. Ekspresi protein 61 (CYR61), suatu faktor angiogeneik, juga dependen downregulasi DUSP2-dependen HIF-1α. Osteopontin, faktor angiogenik juga diinduksi keadaan hipoksia dan HIF.

57


(5)

2.12 Kerangka Teori

Menstruasi

Retrograd

Sel endometrium

di rongga

peritoneum

Apoptosis

↓↓

Adhesi pada

peritoneum

Implantasi dan

invasi

Pertumbuhan dan perkembangan sel

endometrium ektopik Perdarahan secara

siklik pada ronggaperitoneum

Inflamasi kronik /

pembentukan

peritoneal fibrosis

Neoangiogenesis

Makrofag

Faktor Genetik,

Hormonal dan

Lingkungan

VEGF, MMP, Growth factor

Hypoxia

↑↑

HIF-

1α ↑↑

Cedera sel


(6)

2.13 Kerangka Konsep

Variabel Independent

HIF-

ENDOMETRIOSIS

Faktor Perancu :

Gangguan kardiovaskular

Tumor/neoplasia endometrium

Anemia

Variabel Bebas