Pengaruh Faktor Manajemen Terhadap Hasil Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Kota Medan Tahun 2014

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan adalah
Penyakit Demam Berdarah Dengue atau Dengue Haemorragic Fever (DHF), yang
disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit
menular mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah, memerlukan suatu sistem
surveilans atau kegiatan pencegahan maupun pemberantasan sehingga dapat
memperkecil kemungkinan terjadinya penularan yang lebih luas (Depkes RI, 2005).
Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun
1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu
penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh
propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama
kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam
jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB
(Kejadian Luar Biasa) setiap tahun ( Depkes RI, 1995).
Kegiatan pencegahan dan pemberatasan terhadap penyakit ini akan berhasil
baik bila ditunjang oleh sistem surveilans DBD yang efektif, karena fungsi utama dari
sistem adalah menyediakan informasi epidemiologi penyakit yang akurat dan tepat

dalam pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan. Disamping itu

surveilans DBD dapat dipergunakan untuk menentukan prioritas masalah,
menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang perlu diambil, perencanaan; baik
perencanaan program maupun perencanaan dalam pengembangan sistem yang ada,
pelaksanaan dan menggerakkan sumber daya yang ada serta dapat mendeteksi lebih
awal akan terjadinya Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue (KLB-DBD)
(Depkes RI, 2003).
Demam Berdarah Dengue di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan merupakan penyakit endemis hampir di seluruh provinsi. Dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan
menyebar luas serta sering menimbulkan KLB (Depkes, 2008). Pada tahun 2013,
jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah
kematian 871 orang (Incidence Rate = 45,85 per 100.000 penduduk dan CFR =
0,77%). Terjadi peningkatan jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012
yang sebesar 90.245 kasus dengan IR 37,27 padahal target Renstra Kementerian
Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun 2013 sebesar
≤ 52 per 100.000
penduduk (Kemenkes, 2014).
Fenomena insidens kasus DBD yang masih tinggi menjadi masalah kesehatan

di berbagai provinsi di Indonesia pada tahun 2013. Salah satu provinsi yang memiliki
kejadian kasus kesakitan dan kematian akibat DBD yang cukup tinggi yaitu Provinsi
Sumatera Utara bersama dengan Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi
Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Provinsi
Lampung (Kemenkes, 2014).

Pada tahun 2012 di Provinsi Sumatera Utara terdapat kasus DBD sebanyak
sebanyak 4.747 kasus kesakitan dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 36 orang,
sementara pada tahun 2013 di Provinsi Sumatera Utara terdapat kasus DBD sebanyak
4.732 kasus kesakitan dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 45 orang (Dinkes
Prov Sumut, 2014). Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah Provinsi
Sumatera Utara sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif
tinggi. Berdasarkan KLB wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat diklasifikasikan
menjadi daerah endemis DBD, sporadis DBD dan daerah potensial/bebas DBD
(Dinkes Prov Sumut, 2014).
Kota Medan merupakan salah satu daerah yang dikategorikan endemis di
Provinsi Sumatera Utara. Data laporan Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013
terdapat kasus DBD sebanyak 1270 kasus DBD dengan kematian sebanyak 9 kasus.
Pada tahun 2014 prevalensi kasus DBD sebanyak 1698 kasus dengan kematian
sebanyak 15 kasus. Kecamatan yang ada di Kota Medan semuanya sudah diklasifikan

menjadi aerah endemis DBD. Kecamatan Medan Helvetia, Medan Sunggal, Medan
Baru, Medan Denai dan Medan Selayang merupakan lima kecamatan yang paling
tinggi kasusnya (Dinkes Kota Medan, 2014).
Penyebaran penyakit DBD semakin meningkat , disebabkan oleh beberapa
faktor di antaranya yaitu meningkatnya mobilitas penduduk yang memudahkan
migrasi vektor, rendahnya kebersihan lingkungan, kurangnya pengetahuan penduduk
terhadap penyakit ini dan kebiasaan penduduk menampung air karena kurangnya
suplai air bersih terutama pada kawasan padat (Depkes RI, 2008). Hal ini

memerlukan perhatian dan upaya yang integratif dari Puskesmas sebagai suatu
institusi pelayanan kesehatan yang mempunyai kewajiban untuk melakukan upaya
kesehatan masyarakat (UKM).
Upaya pemberantasan demam berdarah dapat dibagi dalam 3 kegiatan yaitu 1)
Peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor, 2) Diagnosis dini dan
pengobatan dini, 3) Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD.
Upaya pemberantasan DBD dititik beratkan pada penggerakan potensi masyarakat
untuk dapat berperan serta dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui 3 M
plus (menguras, menutup dan mengubur) plus menabur larvasida, penyebaran ikan
pada tempat penampungan air, penggerakan juru pemantau jentik (jumantik) serta
pengenalan gejala DBD dan penanganannya di rumah tangga (Dinkes Prov Sumut,

2014).
Angka

Bebas

Jentik

(ABJ)

digunakan

sebagai

tolak

ukur

upaya

pemberantasan vektor melalui PSN-3M menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat

dalam mencegah DBD. Pendekatan pemberantasan DBD yang berwawasan
kepedulian masyarakat merupakan salah satu alternatif pendekatan baru. Upaya
pencegahan dan penanggulangan DBD yang dapat dilakukan seperti kegiatan PSNDBD. Masyarakat seharusnya memahami bahwa PSN-DBD adalah cara yang paling
utama, efektif dan sederhana, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk
membasmi virusnya belum tersedia. (Dinkes Prov Sumut, 2014)
Kegiatan Pemberantasan Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue ini akan
berhasil dengan baik bila didukung oleh unsur-unsur manajemen (man, money,

material, method) seperti sumber daya yang memadai baik sumber daya manusia,
sarana prasarana dan teknik atau metode yang digunakan. Petugas pelaksana di
lapangan dengan dukungan pengetahuan dan keahlian yang cukup akan mampu
melaksanakan kegiatan tersebut dengan baik. Demikian juga dukungan dana, sarana,
bahan terutama bubuk abate yang cukup akan membantu keberhasilan program PSNDBD.
Sistem surveilans DBD akan berfungsi dengan baik bila didukung oleh unsurunsur dari sistem yang memadai baik bila didukung oleh unsur-unsur dari sistem
yang memadai baik dari Input, Proses maupun Out put. Pada Input; pelaksanaan
sistem surveilans DBD di Kota Medan ditunjang oleh data, tenaga, sarana, biaya dan
metode. Pada bagian proses, pelaksanaan sistem surveilans DBD di kota Medan
berupa pengumpulan data, kompilasi data, analisis data dan interprestasi data. Pada
output, sistem surveilans DBD Kota Medan menghasilkan Informasi epidemiologi.
Untuk lebih memaksimalkan program pemberantasan DBD melalui

peningkatan angka bebas jentik dan penurunan angka insiden, diperlukan manajemen
berupa man, money, material dan method. Man (manusia) adalah faktor utama yang
melakukan kegiatan dan akivitas surveilans. Siagian mengatakan manusia merupakan
titik sentral dari manajemen. Keterbatasan dan ketidakpastian unsur manusia terletak
kepada jumlah, mutu, dan terutama perilakunya. Manusia dengan perilakunya itu
justru

memiliki

keistimewaan

tersendiri

dibandingkan

dengan

unsur-unsur

manajemen lainnya. Manusia bukan hanya sekedar merupakan suatu gejala atau

fenomena sosial, tetapi juga mencipatakan fenomena tersebut.

Dalam pelaksanaan sistem surveilans DBD di Kota Medan bila dilihat dari
Input, pertama unsur tenaga (man) pengelola surveilans DBD di Dinas Kesehatan
Kota Medan secara kuantitatif di Dinas Kesehatan maupun Puskesmas mencukupi
namun dari segi kualitas masih kurang seperti yang dipersyaratkan Kep. Menkes
Nomor 1116 Menkes / SK / VIII / 2003, dimana setiap puskesmas harus mempunyai
1 tenaga epidemiolog yang terampil. (Depkes, 2003)
Kedua, dari unsur money sistem surveilans DBD di Kota Medan yaitu
anggaran biaya untuk usaha pencegahan dan pemberantasan termasuk pelaksanaan
surveilans DBD sudah tersedia. Anggaran biaya untuk puskesmas tidak diberikan
langsung, tetapi diatur oleh Dinas secara proposional. Adapun anggaran untuk
P2DBD juga tersedia untuk program penyemprotan/fogging sarang nyamuk dan
untuk pemantauan jentik berkala. Pada pelaksanaannya pembagian dana ke setiap
Puskesmas belum merata untuk kegiatan P2DBD dikarenakan pembagian dana
berdasarkan tingkat kasus yang ada. Imbalan dana bagi petugas DBD di Puskesmas
untuk melakukan usaha pencegahan dan pemberantasan belum diketahui.
Ketiga, dari unsur material yaitu dari sarana dan prasarana penunjang
pelaksanaan surveilans DBD di Kota Medan sudah ada seperti alat transportasi, alat
tulis kantor dan sarana telekomunikasi. Akan tetapi kecukupan bahan untuk

pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan seperti bubuk abate dan insektisida tidak
diketahui. Bahan apa yang dikelola untuk mencapai tujuan, berarti bahan yang
diperlukan untuk menunjang manajerial harus cukup tersedia baik dari segi kuantitas
maupun dari segi kualitasnya.

Keempat, dari unsur method pelaksanaan sistem surveilans dalam mendapat
data informasi tentang DBD Kota Medan dilakukan secara manual yang di dapat dari
pengumpulan data, kompilasi data, analisis dan interprestasi data belum
mempergunakan jaringan informasi seperti internet. Dalam kompilasi data, analisis
dan interpretasi data hanya mempergunakan program Word dan Excel. Pelaksanaan
penyuluhan, fogging dan abatisasi di setiap Puskesmas juga tidak sama dikarenakan
dilakukan berdasarkan jumlah kasus yang timbul. Method adalah cara apa yang harus
ditempuh untuk melaksanakan proses tersebut agar tercapainya tujuan.
Uraian tersebut merupakan tatalaksana dari sistem surveilans DBD,
sedangkan metode dalam melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan DBD
dapat dilakukan dengan cara fisik seperti gerakan 3M, secara kimia dengan abatisasi,
fogging dan disertai dengan kegiatan penyuluhan. Semua kegiatan tersebut belum
diketahui besar pengaruhnya dalam menurunkan kasus DBD dan dalam
meningkatkan ABJ.
Dari uraian tersebut dapat diketahui mengenai pelaksanaan sistem surveilans

dan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan dari penyakit DBD yang dilakukan
di Kota Medan. Dalam penelitian ini akaan dipelajari hanya komponen input dari
manajemen pengelolaan program DBD yang terdiri dari man, money, material,
method di mana akan dilihat mengenai besarnya pengaruh faktor manajemen tersebut
terhadap Angka Bebas Jentik dan Angka Insiden yang merupakan hasil upaya
pencegahan dan pemberantasan DBD yang telah dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, masalah penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut : Apakah ada pengaruh faktor manajemen (man, money,
material, method) terhadap hasil upaya pemberantasan penyakit DBD?
1.3. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis (H0) dari penelitian ini adalah : tidak ada pengaruh faktor
manajemen (man, money, material, method) terhadap hasil upaya pemberantasan
penyakit DBD
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh faktor
manajemen (man, money, material, method) terhadap upaya pemberantasan penyakit
DBD dengan peningkatan Angka Bebas Jentik dan penurunan Angka Insiden.

1.4.2 Tujuan Khusus
1. Menganalisis pengaruh faktor manusia (man) dari petugas yang meliputi
pengetahuan, sikap, tindakan, pendidikan dan pelatihan yang pernah
diikuti terhadap peningkatan Angka Bebas Jentik dan penurunan Angka
Insiden DBD.
2. Menganalisis

besar

pemberantasan DBD

pengaruh

faktor

imbalan

(money)

terhadap


dengan peningkatan Angka Bebas Jentik dan

penurunan Angka Insiden penyakit DBD.

3. Menganalisis besar pengaruh faktor bahan (material) seperti abate
terhadap pemberantasan DBD dengan peningkatan Angka Bebas Jentik
dan penurunan Angka Insiden penyakit DBD.
4. Menganalisis besar pengaruh faktor metode (method) pemberantasan DBD
yang meliputi abatisasi, fogging dan penyuluhan terhadap pemberantasan
DBD dengan peningkatan Angka Bebas jentik dan penurunan Angka
Insiden penyakit DBD.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi instansi tempat kerja (Dinas Kesehatan) agar dapat dijadikan bahan
masukan untuk penentuan kebijakan lebih lanjut dalam upaya pemberantasan
DBD.
2. Bagi penulis, untuk menambah dan memperdalam pengetahuan penulis dalam
bidang pemberantasan DBD melalui pemanfaatan fungsi manajemen (man,
money, material and method).
3. Bagi peneliti lanjutan, diharapkan hasil penelitian ini dapat ditindaklanjuti
sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
dengan fokus penelitian yang sama.