Pengaruh Faktor Manajemen Terhadap Hasil Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Kota Medan Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Demam Derdarah Dengue (DBD)
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan
demam akut selama 2 hingga 7 hari dengan dua atau lebih gejala berikut: nyeri
kepala, nyeri retro orbital, nyeri otot, nyeri persendian, bintik-bintik kulit sebagai
manifestasi perdarahan dan leukopenia (terjemahan WHO, 2003). Penyakit ini
ditandai dengan gejala ; kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah,
kesadaran menurun atau renjatan (shock) (Depkes, 2008).
2.2 Nyamuk Penular DBD
Virus dengue ditularkan dari orang melalui gigitan nyamuk Aedes egypti yang
merupakan vektor epidemi yang paling utama di samping Aedes albopictus yang
dianggap sebagai vektor sekunder. Jenis ini merupakan vektor epidemi yang kurang
efisien dibanding Aedes aegypti. (WHO terjemahan, 2003).
2.2.1 Morfologi dan Lingkaran Hidup
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil dibandingkan dengan
rata-rata nyamuk lainnya. Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam dengan bintikbintik putih pada bagian badan, kaki dan sayapnya Nyamuk Aedes aegypti mengalami
metamorfosis sempurna yaitu; telur - jentik - kepompong - nyamuk.


10

Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air. Telur nyamuk Aedes
aegypti berwarna hitam dengan ukuran + 0,8 mm. Umumnya telur akan menetas
menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik
berlangsung 6-8 hari, stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4 hari.
Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa mencapai 9-10 hari. Umur nyamuk
betina dapat mencapai 2-3 bulan. (Depkes RI, 2005).
2.2.2 Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti
Tempat perkembangbiakan utama adalah Tempat Penampungan Air (TPA) di
dalam atau di sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi
Jarak 500 meter dari rumah.
Tempat perkembangbiakan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung
di suatu tempat atau bejana. Nyamuk ini juga dapat berkembang biak pada sumur
bersih yang tidak dimanfaatkan. Jenis-jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti dapat dikelompokkan menjadi :
1. TPA untuk keperluan sehari-hari seperti drum, tangki reservoir, tempayan, bak
mandi/WC, ember dan lain-lain.
2. TPA bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat minum burung, vas bunga,
perangkap semut, wadah kondensasi air di belakang kulkas, barang bekas (ban,

kaleng, botol, plastik) dan lain-lain.
3. TPA alamiah seperti lobang pohon, lobang batu, pelepah daun, tempurung kelapa,
potongan bambu dan lain-lain.

2.2.3 Perilaku Nyamuk Dewasa
Setelah menetas dan setelah sayapnya menjadi kaku maka nyamuk dewasa
siap terbang untuk mencari mangsa/darah. Nyamuk jantan menghisap cairan
tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan nyamuk betina
menghisap darah, lebih menyukai darah manusia daripada binatang (bersifat
antropofilik). Darah (protein) diperlukan untuk mematangkan telur yang telah dibuahi
oleh pejantannya.
Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur, mulai
menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka
waktu tersebut disebut siklus gonotropik. Biasanya nyamuk betina mencari
mangsa mulai pagi sampai petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara
pukul 09.00- 10.00 dan 16.00 – 17.00. nyamuk Aedes aegypti mempunyai kebiasaan
menghisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik untuk
memenuhi lambungnya dengan darah. Sehingga nyamuk ini sangat efektif sebagai
penular DBD. (Depkes RI, 1996).
2.2.4 Ukuran Kepadatan Populasi Nyamuk Aedes aegypti

Untuk mengetahui kepadatan populasi (density) nyamuk Aedes aegypti dapat
dilakukan dengan survei nyamuk, survei penangkapan telur (ovitrap) dan survei
jentik. Dalam penelitian ini cara yang akan digunakan adalah dengan survei jentik.
Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti diperiksa dengan mata telanjang untuk mengetahui ada atau
tidaknya jentik.
2. Untuk memeriksa TPA yang berukuran besar seperti : bak mandi, tempayan,
drum dan bak penampungan air hujan lainnya, jika pada pandangan (penglihatan)
pertama tidak menemukan jentik, ditunggu kira-kira ½ - 1

menit untuk

memastikan bahwa jentik benar-benar tidak ada.
3. Untuk memeriksa container yang kecil seperti vas bunga, pot tanaman atau botol
yang airnya keruh dilakukan dengan memindahkan airnya ketempat lain.
Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya agak keruh
biasanya dipergunakan senter.
Ada 2 cara survei jentik :

1. Cara single larva
Survei ini dilakukan dengan mengambil jentik di setiap tempat genangan air
yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut jenis jentiknya.
2. Cara visual
Survei ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap
tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.
Dalam program pemberantasan penyakit DBD, survei jentik yang biasa digunakan
adalah cara visual.
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui density jentik Aedes aegypti
adalah :

1. House Index (HI) adalah persentase jumlah rumah yang ditemukan jentik dari
seluruh rumah yang diperiksa.
2. Container Index (CI) adalah persentase jumlah container yang ditemukan jentik
dari seluruh container yang diperiksa.
3. Breteau Index (BI) adalah jumlah container dengan jentik dalam 100 rumah.
HI lebih menggambarkan penyebaran nyamuk di suatu wilayah. Density Figure (DF)
adalah kepadatan populasi jentik Aedes aegypti yang merupakan gabungan dari HI,
CI, dan BI yang dinyatakan dengan skala 1 sampai 9.
DF


HI

CI

BI

1

1-3

1-2

1-4

2

4-7

3-5


5-9

3

8-17

6-9

10-19

4

18-28

10-14

20-34

5


29-37

15-20

35-49

6

38-49

21-27

50-74

7

50-59

28-31


75-99

8

60-76

32-40

100-199

9

> 77

> 41

> 200

Risiko penularan DBD akan terjadi bila angka DF >1, HI > 1% dan CI > 2%.

Bila DF < 2 mengandung arti bahwa kepadatan jentik rendah, DF 2 - 5 berarti
kepadatan jentik sedang dan bila DF>5 kepadatan jentik tinggi.

2.3 Pemberantasan Nyamuk Aedes aegypti
Pemberantasan Nyamuk Aedes aegypti selain dilakukan pemberantasan
terhadap nyamuk (dewasa), juga dilakukan pemberantasan terhadap jentiknya.
Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal

istilah

Pemberantasan Sarang Nyamuk dilakukan dengan cara :
1. Kimia : cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan insektisida pembasmi
jentik melalui abatisasi. Larvasida yang biasa dipergunakan adalah temephos.
Formulasi temephos yang digunakan adalah granules (sand granules). Dosis
yang dipergunakan 1 ppm dan sudah terbukti efektif 8 – 12 minggu
khususnya di dalam gentong tanah liat dengan pemakaian air normal. Selain
itu dapat juga dipergunakan Bacillusthuringiensis H-14 (Bt.H-14) dan
golongan insect growt regulators. Pemberantasan Sarung Nyamuk dengan
cara kimia yaitu dengan mempergunakan larvasida Temephos akan berhasil
dengan baik apabila dilaksanakan secara rutin (kurang dan 12 minggu sekali).

Demikian juga ketersedian bahan dan dukungan dana dalam penyediaan
bahan merupakan faktor yang sangat mendukung keberhasilan pelaksanaan
pemberantasan sarang nyamuk tersebut Pemberantasan jentik dengan caca
kimia biasanya terbatas untuk wadah peralatan rumah tangga yang yang sulit
dibersihkan seperti tower.
2. Biologis : misalnya dengan memelihara ikan pemakan jentik seperti ikan
kepala timah.

3. Fisik : dengan kegiatan menguras bak mandi, bak WC sekurang-kurangnya
seminggu sekali, menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan,
drum dan lain-lain), serta mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas
yang dikenal istilah 3M yaitu menguras, menutup, dan mengubur tempattempat penampungan air sehingga diharapkan nyamuk Aedes aegypti dapat
terbasmi.
Sedangkan untuk pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan cara
penyemprotan bahan kimia. Penyemprotan bahan kimia ini dapat dilakukan dengan
pengasapan (fogging) dan pengkabutan. Pengasapan (fogging) menggunakan mesin
swing fog portable yang dijinjing sementara pengkabutan menggunakan mesin ULV
(Ultra Low Volume) yang diletakkan dan diangkut dengan kendaraan roda empat.
Fogging maupun ULV dapat dipergunakan untuk penanggulangan focus
maupun penyemprotan massal untuk menanggulangi KLB atau melakukan

penanggulangan sebelum musim penularan. Penanggulangan focus dengan kegiatan
pemberantasan nyamuk penular DBD yang dilaksanakan dengan melakukan
pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN-DBD), larvasida,
penyuluhan dan penyemprotan (pengasapan) menggunakan insektisida sesuai dengan
kriteria. Penanggulangan focus dilaksanakan untuk membatasi penularan DBD dan
mencegah

terjadinya-KLB

di

lokasi

tempat

tinggal

penderita

DBD

dan

rumah/bangunan sekitarnya serta tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi
sumber penularan DBD lebih lanjut.

Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari hasil PE yang dilakukan oleh
petugas puskesmas. Tindak lanjut dari hasil PE tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bila ditemukan pendenta DBD lainnya (1 atau lebih ) atau ditemukan 3 atau lebih
tersangka DBD dan ditemukan jentik (lebih dari 5%) dari rumah bangunan yang
diperiksa, maka dilakukan penggerakkan masyarakat dalam PSN DBD, larvasida,
penyuluhan dan pengasapan dengan insektisida di rumah penderita DBD dan
rumah/bangunan sekitarnya dalam radius 200 meter, 2 siklus dengan interval 1
minggu.
2. Bila tidak ditemukan penderita lainnya seperti tersebut di atas, tetapi ditemukan
jentik, maka dilakukan penggerakan masyarakat dalam PSN DBD, larvasida, dan
penyuluhan.
3. Bila tidak ditemukan penderira lainnya seperti tersebut di atas dan tidak
ditemukan jentik, maka dilakukan penyuluhan kepada masyarakat.

2.4 Pemantauan Jentik Berkala (PJB)
1. PJB adalah kegiatan untuk mengetahui adanya jentik nyamuk, yang dilakukan di
rumah-rumah dan tempat-tempat umum (TTU) secara teratur sekurang-kurangnya
tiap 3 bulan untuk mengatahui keadaan populasi jentik nyamuk penular DBD.
2. Kegiatan ini dilakukan dengan mengunjungi rumah / TTU untuk memeriksa
container Aedes aegypti serta memberikan penyuluhan tentang PSN kepada
masyarakat atau pengelola TTU. Dengan kunjungan yang berulang-ulang, disertai

dengan penyuluhan diharapkan masyarakat dapat termotivasi untuk melaksanakan
PSN secara teratur.
3. PJB di rumah-rumah ini dilakukan oleh petugas bersama kader wilayah RW/
Dusun setempat.
Pemantauan hasil pelaksanaan PJB dilakukan secara teratur sekurangkurangnya tiap 3 bulan dengan menggunakan indikator Angka Bebas Jentik (ABJ)
yaitu persentase rumah / TTU yang tidak ditemukan jentik. Lingkungan yang baik
bila ABJ di wilayah tersebut lebih dari 95 %.
ABJ

=

Jumlah rumah / bangunan yang tidak ditemukan jentik
x100%
Jumlah rumah diperiksa

2.5 Penyuluhan kepada Keluarga dan Masyarakat
Selain penyuluhan individu yang dilakukan melalui kegiatan PJB, penyuluhan
kepada masyarakat luas tentang DBD dan pencegahannya di wilayah rawan DBD
juga dilakukan secara kelompok seperti pada pertemuan kader, pada saat pelaksanaan
posyandu, arisan dan lain-lain, dan secara massa seperti pada saat pemutaran film
layar tancap, ceramah agama, pertemuan musyawarah desa dan lain-lain.

2.6 Perilaku Masyarakat
Menurut teori H.L. Blum bahwa perilaku mempunyai peranan yang besar
terhadap tingkat kesehatan setelah faktor lingkungan, pelayanan kesehatan dan
keturunan. Di samping itu menurut teori Health Belief Model, untuk mencapai
keberhasilan dalam usaha pemberantasan penyakit DBD setiap individu harus

memiliki keinginan dari dalam dirinya sehingga dia sendiri terdorong untuk
melakukannnya. Demikian juga bahwa seseorang dapat melakukan usaha
pemberantasan (behavior change) terhadap penyakit Demam Bedarah Dengue bila
dirinya merasa rentan (perceive susceptibility) dan merasa terancam (perceive threat)
terhadap penyakit ini. Kesadaran seseorang akan perasaan rentan dan terancam
dipengaruhi oleh karakter dari masyarakat itu seperti jenis kelamin, umur, etnik,
sosial ekonomi dan pengetahuan (knowledge) orang itu terhadap penyakit DBD.
Seseorang yang tahu banyak tentang penyakit DBD akan merasa terancam sehingga
ada pemberantasan terhadap penyakit DBD. Seseorang yang tahu banyak tentang
penyakit DBD akan merasa terancam sehingga ada keinginan dari dalam dirinya
untuk melakukan suatu usaha pemberantasan terhadap penyakit ini. Disamping itu,
seseorang

akan lebih terdorong untuk melakukan usaha pencegahan bila dia

menyadari akan mengalami kerugian material bila kena penyakit ini. Bila terserang
penyakit ini maka disamping waktu yang dia perlukan untuk perawatan juga harus
mengeluarkan dana untuk pengobatan. Waktu yang terbuang untuk perawatan juga
merupakan kerugian besar bagi seseorang bila dihitung secara material (Percieved
benefits minus perceived barriers to behavior change).
Perilaku untuk melakukan usaha pencegahan terhadap penyakit DBD oleh
seseorang juga dipengaruhi oleh sakit (illness) yang sedang atau pernah diderita
olehnya. Seseorang yang pernah kena DBD, tidak akan menginginkan terkena
penyakit DBD lagi, sehingga muncul dari dalam dirinya untuk melakukan
pencegahan. Faktor media informasi dan edukasi juga berpengaruh pada seseorang

sehingga pengetahuan masyarakat tentang suatu penyakit terutama pada penyakit
DBD semakin baik. Peningkatan pengetahuan tentang suatu penyakit dapat
mendorong seseorang untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan. (Glanz
dkk,1996)

2.7 Faktor Manajemen yang Memengaruhi Hasil Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan DBD
2.7.1 Faktor Man
a. Umur Petugas
Dilihat dari kemampuan fisik petugas dengan umur tua memiliki gerakan
yang kurang lincah dan gesit bila dibandingkan dengan petugas dengan
umur yang lebih muda. Dengan kenyataan seperti itu petugas dengan umur
muda dalam melakukan usaha pencegahan dan pemberantasan terhadap
penyakit DBD memberikan hasil yang cukup maksimal.
b. Jenis Kelamin
Petugas laki-laki dalam melakukan pekerjaan lapangan terutama dalam
pencegahan dan pemberantasan DBD relatif lebih kuat bila dibandingkan
dengan petugas wanita sehingga hasil dari petugas laku-laki lebih
maksimal.
c. Kuantitas
Jumlah petugas yang lebih banyak dalam melaksanakan kegiatan
pencegahan dan pemberantasan DBD akan memberikan hasil yang lebih
baik dari pada jumlah petugas yang sedikit.

d. Kualitas
Tidak banyak karyawan secara tepat sesuai dengan kebutuhan organisasi,
sehingga mereka harus dilatih agar dapat melaksanakan pekerjaan secara
efektif. (Handoko, 2000). Petugas yang tidak pernah mendapat pelatihan
khusus tentang DBD serta memiliki pendidikan dan pengetahuan yang
rendah mengenai penyakit DBD memiliki kemampuan yang terbatas dan
membenkan hasil kerja yang kurang baik bila dibandingkan dengan
petugas dengan pendidikan yang memadai dan mendapat pelatihan.
e. Perilaku Petugas
Perilaku petugas yang ditunjang oleh pengetahuan, sikap dan tindakan
yang mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan DBD akan
memberikan hasil lebih baik dari petugas yang kurang mendukung upaya
pencegahan dan pemberantasan DBD.
f. Perilaku Masyarakat
Perilaku masyarakat yang ditunjang oleh pengetahuan, sikap dan tindakan
yang mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan DBD akan
memberikan hasil lebih baik dari masyarakat yang kurang mendukung
upaya pencegahan dan pemberantasan DBD.
2.7.2 Faktor Money
a. Anggaran untuk pengadaan abate dan insektisida
Tidak tersedianya anggaran dalam pengadaan bahan pemberantasan
seperti bubuk abate dan insektisida akan mempengaruhi dari hasil

pemberantasan dimana TPA sebagai breeding place dari nyamuk penular
DBD tidak memperoleh bubuk abate karena tidak tersedia sehingga telur
nyamuk dapat menetas menjadi nyamuk yang dapat menularkan penyakit
DBD. Angka Bebas Jentik dapat mengalami penurunan dan Angka
Insiden mengalami peningkatan.
b. Upah /imbalan untuk petugas
Penghargaan berupa uang dalam berbagai bentuk paling sering diberikan
untuk memberikan penghargaan kepada karyawan untuk meningkatkan
perilaku dan kinerjanya (Simamora, 2004). Bila karyawan memandang
kompensasi mereka tidak memadai, prestasi kerja, motivasi dan kepuasan
kerja mereka bisa turun secara dramatis (Handoko, 2000). Demikian juga
dalam melakukan pekerjaan pemberantasan terhadap penyakit DBD di
lapangan pemberian imbalan atau upah bagi petugas akan sangat berarti
daripada sekedar ucapan terima kasih.
2.7.3

Faktor Material
a. Bubuk abate dan insektisida
Bubuk abate adalah zat kimia yang khusus dipergunakan untuk
membunuh jentik nyamuk dan insektisida dipergunakan untuk membunuh
nyamuk dewasa. Tidak tersedianya bubuk abate dan insektisida dalam
usaha pencegahan dan pemberantasan DBD dapat memberikan hasil yang
kurang baik karena jentik nyamuk dan nyamuk dewasa tidak dapat
ditanggulangi sehingga berpotensi dalam penyebaran penyakit DBD.

b. Alat transportasi
Teknologi di bidang transportasi akan meningkatkan mobilitas pekerja
(Handoko, 2000). Petugas yang tidak memiliki alat transportasi dalam
melaksanakan aktifitas akan menjadi terhambat yang dapat berpengaruh
pada hasil kegiatannya seperti dalam melakukan usaha pencegahan dan
pemberantasan DBD. Tidak semua wilayah dapat dijangkau oleh petugas
bila tidak memiliki alat transportasi.
c. Formulir untuk pencatatan dan pelaporan
Dalam pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan DBD, keberadaan
formulir sangat penting untuk pencatatan dari apa yang dilakukan dan
diperoleh di lapangan sebagai informasi untuk melakukan tindakan
selanjutnya. Bila formulir tidak tersedia sebagai alat bantu dalam
pencatatan maka tidak akan ada data yang dapat dijadikan informasi untuk
melakukan tindakan selanjutnya.
2.7.4

Faktor Method
a. Fogging
Fogging dilakukan pada wilayah yang memenuhi syarat untuk dilakukan
fogging seperti pada daerah KLB dan pada daerah yang potensial terjadi
penyebaran kasus DBD. Pada kasus yang seharusnya dilakukan fogging,
bila tidak dilakukan

fogging maka akan terjadi penyebaran kasus yang

dapat meningkatkan Angka Insiden.

b. Abatisasi
Abatisasi dilakukan terutama pada TPA yang sulit dikuras. Bila pada TPA
seperti tersebut ditemukan jentik dan tidak dilakukan abatisasi maka
perkembangbiakan nyamuk akan terus berlangsung pada tempat seperti itu
yang dapat meningkatkan populasi nyamuk penyebar DBD.
c. Penyuluhan
Semakin

sering

penyuluhan

dilakukan

pada

masyarakat

akan

meningkatkan pengetahuan masyarakat pada materi yang diberikan
tentang penyakit DBD terutama untuk pencegahan dan pemberantasan
maka akan dapat berpengaruh pada perilaku masyarakat dan apabila sama
sekali tidak pemah dilakukan penyuluhan DBD pada masyarakat di suatu
wilayah maka akan berpengaruh

juga

pada

perilaku

masyarakat

tersebut dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan DBD.
d. Gerakan 3 M
Tidak melakukan gerakan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) pada
tempat-tempat penampungan air maka tindakan pemberantasan yang lain
seperti fogging tidak akan ada artinya,

sehingga

upaya

untuk

menningkatkan ABJ dan menurunkan Angka Insiden tidak akan berhasil.
Karena untuk keberhasilan kegiatan fogging harus disertai dengan PSN
berupa gerakan 3M.

e. Ikan/predator
Keberadaan ikan sebagai pemakan jentik sangat membantu dalam
meningkatkan ABJ secara alamiah. Pada pot bunga yang tidak bisa
dikuras di halaman rumah lebih baik diisi ikan sehingga kemungkinan
jentik nyamuk yang ada pada pot tidak bisa menetas menjadi nyamuk
karena sudah dimakan ikan tersebut.

2.8 Surveilans Epidemiologi DBD
Surveilans DBD adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan
interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan
pihak/instansi terkait secara sistematis dan terus-menerus tentang situasi DBD dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit tersebut
agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien (Depkes RI,
2005).
Disebutkan bahwa Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan data untuk
melakukan tindakan (surveillance for action), sehingga aktifitas penting surveilans
yang pertama adalah proses pengumpulan data epidemiologi secara sistematis sebagai
aktifitas rutin dan yang kedua adalah pengolahan dan analisa serta interpretasi data
agar menghasilkari informasi epidemiologi yang dapat dipergunakan untuk
menentukan tindakan perbaikan yang perlu dilakukan atau peningkatan program
dalam menyelesaikan masalah.

Berdasarkan pemahaman terhadap pengertian surveilans maka konsep dasar
kegiatan surveilans meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis dan
interpretasi data dan umpan balik dan diseminasi yang baik serta respon yang cepat.
Pengumpulan data surveilans dapat dilakukan melalui surveilans aktif maupun
surveilans pasif. Surveilans aktif dilakukan dengan cara melakukan kunjungan
petugas surveilans ke unit sumber data di puskesmas, rumah sakit, laboratorium serta
langsung di masyarakat ataupun sumberdata lainnya seperti pusat riset dan penelitian
yang berkaitan. Pengumpulan data surveilans dari sumber data tersebut harus
mendapat jaminan dapat dilakukan secara teratur dan terus menerus, apakah
dikumpulkan secara mingguan, bulanan, ataupun secara tahunan.
Dalam pelaksanaan surveilans epidemiologi terdapat berbagai jenis data yang
perlu dikumpulkan, agar dapat memberikan informasi epidemiologi suatu penyakit
dengan lengkap. Data yang perlu dikumpulkan seperti pencatatan kematian, laporan
penyakit, laporan KLB / wabah, basil pemeriksaan laboratorium, penyelidikan kasus,
penyelidikan KLB, survei, laporan penyelidikan vektor, pemakai obat / vaccine dan
keterangan penduduk atau kondisi lingkungaa Pelaksanaan surveilans suatu penyakit
memiliki spesifikasi data yang dikumpulkan sehingga masing-masing penyakit hanya
memerlukan beberapa jenis data yang dikumpulkan. Setelah pengumpulan data baru
kemudian dilakukan pengolahan data. Ada dua aspek kualitatif yang perlu
dipertimbangkan dalam pengolahan data dan analisis data surveilans yaitu ketepatan
waktu dan sensitifltas data. Ketepatan waktu pengolahan data sangat berkaitan
dengan periode waktu penerimaan data. Kemajuan teknologi komputerisasi harus

dapat dimanfaatkan dalam proses pengolahan data, terutahia untuk kemudahan
menyajikan basil pengolahan data berdasarkan variabel epidemiologi yang
diinginkan, serta analisis dengan simulasi statistik. Kriteria pengolahan data yang
baik

adalah

tidak

membuat

kesalahan

selama

proses

pengolahan,

dapat

mengidentifikasi adanya perbedaan dalam frekuensi dan distribusi kasus, teknik
pengolahan data yang dipakai tidak menimbulkan pengertian yang salah atau berbeda,
metode yang dipakai sesuai dengan metode-metode lazim.
Pelaksanaan analisis dan interpretasi data sangat tergantung pada tingkat unit
kesehatan serta ketrampilan petugas kesehatan khususnya petugas surveilans yang
ada pada unit tersebut. Seseorang yang akan melakukan analisis membutuhkan
beberapa hal yaitu tersedia data dalam keadaan siap dianalisis, pengetahuan dasardasar epidemiologi, pengetahuan penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhinya,
kecakapan dan pengalaman dalam menganalisis. Berdasarkan hasil analisa dan
interpretasi data dapat dibuatkan rekomendasi atau saran-saran dalam menentukan
tindakan yang perlu dilakukan oleh pihak yang berkepentingan termasuk kepada
sumber data yang sering disebut feed back atau umpan balik. Penggunaan informasi
epidemiologi yang dihasilkan surveilans oleh semua pihak yang mungkin dapat
melakukan tindakan pemecahan masalah kesehatan dapat dijadikan tolak ukur
keberhasilan surveilans.
Seringkali diseminasi informasi diartikan sebagai memberikan data dalam
bentuk tabel, grafik dan map tanpa disertai komentar atau interpretasi tertentu,
sehingga cara ini kurang memberi manfaat yang diharapkan. Diseminasi yang baik

harus dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti dan dimanfaatkan dalam
memberikan menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya pengendalian serta evaluasi
program yang dilakukan. Berbagai cara diseminasi informasi yang dapat dilakukan
antara lain membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan kepada atasan,
membuat suatu tulisan di majalah secara rutin, membuat laporan kajian untuk seminar
dan pertemuan, memanfaatkan media internet yang setiap saat dapat diakses dengan
mudah.

2.9 Landasan Teori
2.9.1 Teori Model Sistem
Dalam buku Management Principles For Health Professionals menyebutkan
mengenai teori model sistem (Libert dkk, 2004). Model sistem ini biasanya
diterapkan pada teknologi komputer, tapi hal ini tidak dibatasi penggunaannya.
Penggunaan yang lebih fleksibel pada pendekatan ini adalah menjadi kerangka kerja
(framework) bagi manajer dimana faktor-faktor organisasi baik internal maupun
eksternal dapat divisualisasikan. Pendekatan sistem ini memungkinkan manajer untuk
mengukur keadaan organisasi secara total. Lingkaran input proses output dapat
diidentifikasi untuk setiap divisi atau bagian organisasi. Perubahan dari suatu keadaan
dalam organisasi dapat dinilai secara kontinu untuk membedakan impact perubahan
tersebut. Teori model sistem secara keseluruhan diperkenalkan oleh Ludwig Von
Bertalanffy, seorang biologist pada tahun 1951. Terminologi yang dikemukakannya
menjadi dasar bagi konsep dasar teori sistem secara keseluruhan. Kenneth E Boulding

mengembangkan hierarki dari sistem dan membantu mnghubungkan antara teori dan
pengetahuan sistem secara empiris. Model sistem terdiri dari 4 komponen dasar yaitu
: Input, proses, output dan feedback. Input adalah elemen dari sistem yang harus
diterima karena ia menentukan berjalannya sistem. Input yang penting diperlukan
untuk mencapai tujuan organisasi. Elemen input yaitu 5 hal yaitu man/tenaga,
uang/money, material, method atau cara yang akan dipergunakan agar proses alam
sistem dapat berjalan. Input dapat berupa tenaga atau manusia yang terlibat (man),
uang/dana (money), sarana/prasarana yang berupa gedung dan barang didalamnya
(material) cara untuk melakukan (methods) dan alat atau mesin yang digunakan
(machine). Input juga termasuk dukungan secara luas baik dari internal maupun
eksternal organisasi. Output dapat berupa barang tau pelayanan yang harus dihasilkan
oleh organisasi. Output harus bersifat rutin, frekuen, dapat diprediksi dan mudah
untuk diidentifikasi. Sebagai contoh output dari organisasi pemadam kebakaran
adalah mengatasi bahaya kebakaran, output rumah sakit adalah menyediakan
pelayanan kesehatan kepada pasien. Proses (Throughputs) adalah struktur dimana
input akan diubah menjadi output. Contoh proses adalah alur kerja, metode dan
prosedur yang dilaksanakan. Manajer atau pemimpin tidak bisa mengendalikan input,
tapi dapat mengendalikan proses. Pada pelayanan yang spesifik, kontrol dari proses
adalah langsung berhubungan dengan pengetahuan profesional manajer. Seperti
contohnya prosedur alur pelayanan kesehatan pada pasien di klinik dikembangkan
oleh kepala pelayanan (chief services), karena pengetahuan orang yang bersangkutan

mengenai prosedur, prioritas dan hubungan antara komponen pada perencanaan
terapi.
Perubahan dari input harus diantisipasi. Dalam rangka mengantisipasi
perubahan-perubahan ini manajer memerlukan feed back atau umpan balik tentang
penerimaan dan kecukupan dari output. Jejaring komunikasi dan proses kontrol
adalah sumber dari feed back atau umpan balik untuk sebuah organisasi.

2.9.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dibuat kerangka pemikiran seperti skema di bawah ini :
Man
Petugas :
- Umur
- Jenis kelamin
- Kuantitas
- Kualitas (pendidikan dan
pelatihan DBD)
- Perilaku (Pengetahuan,
sikap dan tindakan)

Material

Money

Angka Bebas
Jentik (ABJ)
dan
Angka Insiden

Upah/imbalan untuk
petugas

-

- Bubuk abate dan
insektisida untuk
pencegahan dan
pemberantasan.

Method
Fogging
Abatisasi
Penyuluhan

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Faktor Manajemen yang
Memengaruhi Angka Bebas Jentik dan Angka Insiden Demam
Berdarah Dengue

2.9.3. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran diatas, adapun kerangka
konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Faktor manajemen
(X)

Hasil Pemberantasan
Demam Berdarah
Dengue (Y)

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Manajemen yang
Memengaruhi Angka Bebas Jentik dan Angka Insiden Demam
Berdarah Dengue