Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

18

BAB II
TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA
SEBAGAI PEJABAT PUBLIK TERHADAP AKTA YANG DITERBITKAN
BERKAITAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1014 K/PID/2013

A. Tugas dan Kewenangan Notaris sebagai Pejabat Umum
Kata notaris berasal dari kata notarius dan notariui yang berarti orang yang
menjalankan pekerjaan menulis. Sedangkan kata notariat berasal dari kata latijnse
Notariaat. Pada zaman Romawi, diberikan kepada orang-orang yang menjalankan
pekerjaan menulis. Istilah notaris sebenarnya berasal dari akta “notarius” sesuai
dengan nama pengabdinya yaitu Notarius yang ada pada jaman Romawi. Nama ini
dimaksudkan untuk menandakan suatu golongan orang-orang yang melakukan suatu
bentuk pekerjaan tulis menulis tertentu. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa istilah
notaris berasal dari perkataan Notaliteraria, yang berarti tanda atau karakter (letter
mark) yang menyatakan suatu perkataan.22
A.W Voors antara lain mengutarakan bahwa dalam sejarah posisi seorang
notaris mengenal ups and downs. Secara ekstensif ia membicarakan sejarahnya
yaitu:23

a. Di Mesir, terkenal sebagai negara tertua yang mempunyai lembaga notariat,
kedudukan notaris dipandang tinggi.

22

Soegondo Notodisoerjo. Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan). PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1993. hlm. 13
23
Kie, Tan Thong, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris. PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta. 2011. Hlm 449-455

18

19

b. Di kota tua Roma dikenal tabellarius (notarius) yang mempunyai peranan
sebagai penulis diantara para penduduk yang buta huruf. Ia adalah seorang
yang rendah diri yang tidak dapat berdiri di bawah pengayoman para yuris dan
politisi.
c. Di abad pertengahan (the medieval ages) terlihat seorang notaris bekerja

dikalangan kaisar dan gereja.
d. Menurut A. W. Voors, Prof. Mr. A. Pitlo dalam bukunya De 17 en 18
Eeuwsche Notariesboeken telah menggambarkan seorang notaris sebagai
seorang yang penting.
e. Baru dalam abad ke-19 Ventose Wet, yang datang dari Perancis ke Belanda,
menyegarkan dan menarik notariat ke tingkat yang lebih tinggi.
Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keterangannya
dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya)
memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat
yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan
membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang.
Kalau seorang advokat membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan,
maka seorang notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu.
Pengaruh seorang notaris dalam beberapa lingkungan dan situasi dalam
kehidupan seorang anggota masyarakat :
a. Dalam Hubungan Keluarga

20

Sering kali terjadi bahwa rahasia keluarga antara para anggotanya terpaksa

diungkapkan kepada seorang notaris, umpamanya dalam hal adanya seorang
anak pemboros, dalam hal membuat surat wasiat, perjanjian nikah, perseroan
keluarga, dan keadaan lain. Dalam hal itu seorang notaris harus dapat
membedakan antara hubungan keluarga dan tugas (zakelijk) dan harus
menunjukkan sifat yang objektif, tidak memihak, tidak mementingkan materi
(mengenai honorarium notaris), dan mampu menyimpan rahasia. Ternyata
dalam banyak hal nasihat seseorang notaris dipertimbangkan oleh masyarakat.
b. Dalam Soal Warisan
Di sini peranan seorang notaris tidak kurang pentingnya,. Di negara-negara
Common Law soal penetapan ahli waris dilakukan oleh Pengadilan (court) dan
di Indonesia oleh Mahkamah Syari’ah untuk mereka yang hendak membagi
warisannya menurut hukum adat daerahnya. Bagi mereka yang tunduk kepada
hukum Barat suatu keterangan notaris dalam akta waris (Certificaat van
Erfreht) cukup untuk mencairkan uang yang disimpan dalam rekening suatu
bank yang tertulis atas nama seseorang yang telah meninggal dunia,
memastikan para ahli waris yang berhak menjual harta dalam suatu warisan,
atau membuka safeloket di suatu bank
Hasil yang mencolok pekerjaan seorang notaris ini seharusnya mendorong
para notaris untuk secara teliti memeriksa dan lebih tekun serta tetap
mempelajari Hukum Waris.

c. Dalam Bidang Usaha

21

A .W. Voors melihat dua persoalan tentang fungsi notariat di bidang usaha,
yaitu :
1.

Pembuatan kontrak antara para pihak, dalam hal itu suatu tindakan
dimulai serta diakhiri dalam akta, umpamanya suatu perjanjian jual-beli.
Dalam hal ini notaris telah terampil dengan adanya model-model di
samping mengetahui dan memahami undang-undang.

2.

Pembuatan kontrak yang justru memulai sesuatu dan merupakan dasar
suatu hubungan yang berlaku untuk jangka waktu agak lama. Dalam hal
ini dibutuhkan dari seorang notaris suatu penglihatan tajam terhadap
materinya serta kemampuan melihat jauh ke depan, apakah ada
bahayanya, dan apa yang mungkin terjadi.

Dilihat dari sudut lain A. W. Voors membagi pekerjaan notaris menjadi :
(a) pekerjaan yang diperintahkan oleh undang-undang yang juga disebut
pekerjaan legal, dan (b) pekerjaan ekstralegal, yaitu pekerjaan yang
dipercayakan padanya dalam jabatan itu.
Yang disebut pertama (a) menurut A.W. Voors adalah tugas sebagai
pejabat untuk melaksanakan sebagian kekuasaan pemerintah dan sebagai
contoh disebutnya antara lain : (1) memberi kepastian tanggal, (2)
membuat grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, (3) memberi
suatu keterangan dalam suatu akta yang menggantikan tanda tangan, (4)
memberi kepastian mengenai tanda tangan seseorang.

22

Kemudian (b), tugas lain yang dipercayakan kepadanya adalah menjamin
dan menjaga “perlindungan kepastian hukum” atau sebagaimana yang
ditulis oleh A.W. Voors: de bescherming van de rechtszekerheid. Setiap
warga mempunyai hak serta kewajiban dan ini tidak diperbolehkan secara
sembrono dikurangi atau disingkirkan begitu saja, baik karena yang
berkepentingan masih di bawah umur atatupun mengidap penyakit
ingatan. Kehadiran seorang notaris dalam hal-hal itu diwajibkan oleh

undang-undang dan ini adalah bukti kepercayaan pembuat undang-undang
kepada diri seorang notaris. Contohnya adalah :
1. Perjanjian Nikah (Pasal 147)
Perjanjian ini dianggap demikian penting sehingga diharuskan
membuatnya dengan akta autentik. Yang paling penting adalah
menjaga kepentingan para pihak dan menjelaskan isinya kepada
mereka yang pada umumnya masih muda dan lagi menetapkan tanggal
pembuatannya, karena menurut undang-undang perjanjian nikah harus
dilakukan sebelum pernikahan dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil.
2. Pemisahan dan Pembagian Warisan
Dalam hal anak di bawah umur yang juga berhak dan kepetingannya
harus dijaga (Pasal 1074)
3. Perjanjian Hibah (Pasal 1682)

23

Dianggap sangat penting, agar pemberi hibah mengetahui akibatnya
dan penerima hibah memahami syarat yang diletakkan dalam suatu
hibah.
Dalam tindak hukum yang disebut diatas, kepercayaan diberikan kepada

eseorang notaris untuk memperhatikan kepentingan yang lemah dan yang kurang
mengerti. Dan perlindungan yang sama dipercayakan kepadanya dalam semua tindak
hukum lainnya bentuknya diharuskan dengan akta autentik (akta notaris).
Teapi walaupun seorang notaris harus menjaga kepentingan para pelanggan
dan mencari jalan paling murah, keharusan ini janganlah sekali-kali dipakai untuk
memberi nasihat menyelundupkan ketentuan undang-undang. Sebab seorang notaris
tidak hanya mengabdi kepada masyarakat, teapi juga kepada pemerintah yang
menaruh kepecayaan penuh kepadanya.
Notaris menurut definisi UUJN adalah pejabat umum yang satu-satunya
berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin
kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
lain atau orang lain.
Selaku pejabat umum, Notaris dalam menjalankan tugasnya harus bertindak
berdasarkan etika. Etika yang dimaksud adalah kode etik yang dimaksudkan untuk
menjalankan suatu profesi supaya betul-betul mencerminkan pekerjaan profesional,

24


bermoral, dengan motivasi dan berorientasi pada keterampilan intelektual dengan
argumentasi rasional dan kritis.24
Maksud

profesional

disini

adalah

suatu

paham

yang

menciptakan

dilakukannya dengan kegiatan-kegiatan tertentu dalam masyarakat dengan berbekal

keahlian yang tinggi dan berdasarkan keterpanggilan, serta ikrar untuk menerima
panggilan tersebut, untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan
pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengan kehidupan.
Dengan demikian profesi tidaklah sekali-kali boleh disamakan begitu saja dengan
kerja biasa yang bertujuan mencari nafkah dan/atau mencari kekayaan duniawi.25
Dalam pengertian notaris di atas dapat dijelaskan pula bahwa notaris
merupakan pejabat umum (openbare ambtenaar), dan seorang pejabat umum tidak
mempunyai kedudukan yang sama dengan pegawai negeri. Meskipun pegawai negeri
sebagai pejabat juga yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan umum,
tetapi pegawai negeri dalam hal ini tidak seperti yang dimaksud oleh Pasal 1868
KUHPerdata. Notaris bukan pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud oleh
perundang-undangan kepegawaian karena notaris tidak menerima gaji, melainkan
menerima honorarium dari kliennya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.26

24

G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta, Erlangga. hlm 48
Soetandyo Wignjosoebroto. Profesi Profesionalisme dan Etika Profesi. Media Notariat,
2001. Hlm 32
26

Liliana Tedjosaputro. Etika Profesi Notaris Dalam Penengakan Hukum Pidana. BIGRAF
Publishing, Yogyakarta, 1995. hlm. 28
25

25

Sesuai dengan Pasal 2 UUJN bahwa Notaris diangkat oleh Menteri, namun
tidak berarti bahwa pengangkatan notaris oleh menteri menjadikan notaris adalah
aparatur negara yang digaji oleh negara. Notaris hanya menerima honor dari klien
dari setiap akta yang diminta kepadanya. Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004
diatur mengenai honorarium bagi notaris yaitu bahwa “notaris berhak menerima
honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai kewenangannya”. Honorarium
yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari
setiap akta yang diterbitkan. Nilai ekonomis sangat beragam nilainya karena
tergantung dari objek setiap akta. Nilai sosiologis ditetapkan berdasarkan fungsi
sosial dari objek setiap akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah)
Dalam UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas No. 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris dapat pula dijumpai pada Pasal 1 ditegaskan pula tentang
Pengertian Notaris dinyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang

untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini. Hal ini pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan pengertian
notaris yang dirumuskan dalam Pasal 1 UUJN dan peraturan pelaksanaannya, dan
pada Pasal 15 yang ketentuan ayat (1), dan ayat (2) diubah pada Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2014 mengenai kewenangan Notaris.
Berdasarkan uraian di atas, notaris tidak dapat dikatakan sebuah profesi yang
biasa saja karena notaris adalah Pejabat Umum. Notaris publik sering disebut juga
sebagai pejabat umum atau public officer atau openbaar ambtenaar.

26

Notaris tidak boleh membuat akta jika tidak diminta. Akta Notaris harus
memenuhi peraturan yang berlaku seperti UUJN dan peraturan-peraturan lain yang
ada. Beberapa Pasal yang dibuat untuk melindungi akta notaris sebelum UUJN
terdapat pada Peraturan Jabatan Notaris yaitu dalam Pasal 26, 27, 32, 33 dan 34.
Pengertian notaris menurut Sarman Hadi secara tegas diungkapkan bahwa:27
Notaris bukanlah pihak dalam akta yang dibuat dihadapannya, karena tidak
memihak. Notaris tidak mempunyai pihak, namun dapat memberikan jalan
dalam jalur hukum yang berlaku, agar maksud pada pihak yang meminta bukti
tertulis akan terjadinya hubungan hukum diantara para pihak, dapat dibantu
melalui jalur hukum yang benar. Dengan demikian maksud para pihak
tercapai sesuai dengan kehendak para pihak, di sinilah dituntut pengetahuan
hukum yang luas dari seorang notaris untuk dapat meletakkan hak dan
kewajiban para pihak secara proporsional.
Salah satu perilaku seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya adalah
senantiasa bersikap profesional. Menyandang jabatan selaku notaris harus jujur
terhadap diri sendiri yang berlandaskan pada spiritual, moral, mental, akhlak, baik
dan benar. Selain mempunyai intelektual yang tinggi serta yang mempunyai sifat
netral/tidak memihak, independen, mandiri, tidak mengejar materi, menjunjung
harkat dan martabat Notaris yang profesional.28
Dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris
didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Definisi yang diberikan

27
Koesbiono Sarman Hadi. Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang,
Makalah pada Seminar Nasional “Profesi Notaris Menjelang Tahun 2000”, 15 Juni 1996, Yogyakarta,
1996. hlm. 7
28
A. A. Andi Prajitno. Apa dan Siapa Notaris di Indonesia ?. Cetakan Pertama, Putra Media
Nusantara, Surabaya. 2010. hlm. 92

27

oleh UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris.
Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk
membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.29
Bila rumusan ini diperbandingkan, maka rumusan UUJN yang baru lebih luas
dibandingkan dengan PJN yang lama namun keduanya memiliki esensi yang sama
tentang notaris yakni sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta.
Terminologi berwenang (bevoegd) dalam PJN maupun UUJN diperlukan karena
berhubungan dengan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
suatu akta otentik adalah yang sedemikian, yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, di
tempat akta itu dibuat. Untuk pelaksanaan Pasal 1868 KUH Perdata tersebut pembuat
undang-undang harus membuat peraturan perundang-undangan untuk menunjuk para
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan oleh karena itulah
para notaris ditunjuk sebagai pejabat yang sedemikian berdasarkan PJN maupun
UUJN.30
Pengertian notaris sebagai pejabat umum satu-satunya yang berwenang
membuat akta dalam rumusan PJN tidak lagi digunakan dalam UUJN. Penggunaan
kata satu-satunya (uitsluitend) dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa
notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum itu, tidak turut pejabat
lainnya. Semua pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu yang artinya
29

Abdul Ghofur Anshori. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII
Press, Yogyakarta, 2009. hlm. 14
30
GHS Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris. Erlangga, Jakarta, 1983. hlm. 33

28

wewenang mereka tidak meliputi lebih daripada pembuatan akta otentik yang secara
tegas ditugaskan kepada mereka oleh undang-undang. Perkataan uitsluitend dengan
dihubungkan dengan bagian kalimat terakhir PJN mempunyai arti dengan
mengecualikan setiap orang lain. Dengan perkataan lain, wewenang notaris bersifat
umum sedang wewenang para pejabat lainnya adalah pengecualian. Itulah sebabnya
bahwa apabila di dalam peraturan perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum
diharuskan adanya akta otentik, maka hal itu hanya dapat dilakukan dengan suatu
akta notaris, terkecuali peraturan perundang-undangan ada yang menyatakan dengan
tagas, atau sebagian yang satu-satunya berwenang untuk itu.31
Dalam penjelasan dalam UUJN yang menyatakan bahwa notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta
otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.
Akta otentik dibuat agar terjadi kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum. Kewenangan notaris, menurut Pasal 15 UUJN adalah membuat akta otentuk
mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Notaris memiliki
wewenang pula untuk:32

31
32

Ibid., hlm. 34
Abdul Ghofur Anshori. Op. Cit., 2009. hlm. 16

29

a.

Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b.

Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c.

Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d.

Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e.

Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

f.

Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g.

Membuat akta risalah lelang.
Kewenangan Notaris yang disebutkan diatas adalah pada UU Nomor 30

Tahun 2004 kemudian UUJN tersebut direvisi menjadi UU Nomor 2 Tahun 2014
yang mengatur kewenangan Notaris pada Pasal 15 diubah pada ketentuan ayat (1) dan
ayat (2). Namun pada dasarnya, Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang
membuat akta otentik yang pembuatannya tidak boleh melebihi yang telah ditetapkan
oleh Undang-Undang Jabatan Notaris.
Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang berlaku. Notaris merupakan salah satu
pejabat umum di Indonesia. Pejabat umum dapat membuat akta otentik namun tidak
semua pejabat umum dapat dikatakan sebagai seorang notaris, sebagai contohnya
adalah pegawai catatan sipil (ambtenaar van de Burgerlijske Stand), meskipun ia

30

bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal tertentu,
umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian.33
Dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan Pasal 19 UU Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2004, notaris hanya
diperbolehkan untuk melakukan jabatannya di dalam daerah tempat kedudukannya.
Dengan demikian, notaris hanya boleh memiliki satu kantor. Dari uraian tersebut jika
notaris melakukan pelanggaran dengan memiliki lebih dari satu kantor, maka notaris
dapat dikenakan sanksi dari peringatan tertulis sampai pemberhentian tidak dengan
hormat.
B. Kedudukan, Kewajiban dan Larangan Notaris sebagai Pejabat Umum
1.

Kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum
Mengenai kedudukan notaris sebagai pejabat umum, R. Soegondo

Notodisoerjo menyatakan bahwa:34
“Lembaga Notariat telah dikenal di negara Indonesia, yaitu sejak Indonesia
dijajah oleh Belanda, semula lembaga ini diperuntukkan bagi golongan
Eropa terutama dalam bidang hukum perdata, yaitu Burgerlijk Wetboek.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, pada masa dulu masyarakat Indonesia
sebenarnya sudah mengenal dan mengetahui bidang hukum perdata khususnya
tentang perjanjian secara umum pun dapat membuat suatu perjanjian. Seiring
perkembangan zaman lembaga notariat kemudian muncul dan diadopsi menjadi
Hukum Indonesia.
33

Kartini Soedjendro, 2001, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,
Kanisius, Yogyakarta, hlm 43
34
Soegondo Notodisoerjo.Op. Cit., hlm. 1

31

Kewenangan notaris dijabarkan dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Sbtl
1860 Nomor 3) yang memberikan pengertian tentang Notaris, bunyinya sebagai
berikut :35 Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki
untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,
menyimpan aktanya, memberikan grosse, salinan, dan kutipannya, semua sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum, tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Menurut Doddy Rajasa Waluyo dalam bukunya yang berjudul hanya Ada Satu
Pejabat Umum Notaris, dengan diangkatnya seorang Notaris oleh Menteri
Kehakiman maka seorang Notaris dapat menjalankan tugasnya dengn bebas, tanpa
dipengaruhi badan eksekutif dan badan lainnya. Maksud kebebasan disini adalah
supaya profesi Notaris nantinya tidak akan takut untuk menjalankan jabatannya,
sehingga dapat bertindak netral dan independen.36
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik sesuai
dengan wewenang atau kewajibannya terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUJN
dikaitkan dengan Pasal 1868 KUHPerdata.
Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang
membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan

35
36

Peraturan Jabatan Notaris (Sbtl. 1860 Nomor 3) tentang Notaris Reglement, Pasal 1
Doddy Radjasa Waluyo, Hanya Ada Satu Pejabat Umum Notaris, Media Notaris, hal 41.

32

dengan

pekerjaannya

dalam

membuat

akta

tersebut.

Ruang

lingkup

pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya.
Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan
kebenaran materiil, Nico membedakannya menjadi empat poin, yakni:37
a.

Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta
yang dibuatnya;

b.

Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta
yang dibuatnya;

c.

Tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap
kebenaran maeriil dalam akta yang dibuatnya;

d.

Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode
etik notaris.

2.

Kewajiban dan Larangan terhadap Notaris sebagai Pejabat Umum
Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 30 tahun 2004 mengatur tentang Kewajiban seorang notaris. Ketentuan Pasal
16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib :
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, madniri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalm perbuatan hukum

37

Nico. Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum. Center for Documentation and
Studies of Business Law, Yogyakarta. 2003.

33

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari protokol notaris
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta.
d. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta
akta.
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya.
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dari segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan kata sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat
dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu
buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya
pada sampul setiap buku.
h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya
surat berharga.
i. Membuat daftar akta yang berkenan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan.
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar
nihil yang berkenan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian

34

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu
5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya.
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan.
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan
tempat kedudukan yang bersangkutan.
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2
(dua) orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta
wasiat di bawah tangan, dan ditanda tangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan notaris, dan
n. Menerima magang calon notaris.
Pasal 16 ayat 2 UUJN Nomor 2 Tahun 2014, kewajiban menyimpan minuta
akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal notaris
mengeluarkan Akta in originali.
Akta-akta yang dapat dikeluarkan Notaris dalam bentuk original disebutkan
dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30
Tahun 2004 yaitu:
1.

Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun

2.

Akta penawaran pembayaran tunai

3.

Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga

4.

Akta Kuasa

35

5.

Akta Keterangan Kepemilikan

6.

Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 16A

sehingga berbunyi sebagai berikut :
1. Calon Notaris yang sedang melakukan magang wajib melaksanakan ketentuan
sebagimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a.
2. Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) calon Notaris juga
wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta.
Pasal 43 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5) Pasal 43 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 43
berbunyi sebagai berikut :
1. Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.
2. Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalm akta,
Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang
dimengerti oleh penghadap.
3. Jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
4. Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Notaris wajib
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
5. Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, Akta
tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.

36

6. Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi akta sebagaiman
dimaksud pada ayat (2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam
bahasa Indonesia.
Notaris wajib membacakan akta diatur dalam Pasal 44 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
pada ketentuan ayat (2) dan ayat (4) diubah dan ditambah ayat 1 (satu) ayat, yakni
ayat (5) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut :
1. Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak
dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
2. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada
akhir akta
3. Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh
penghadap, Notaris, saksi dan penerjemah resmi
4. Pembacaan, penerjemahan, atau penjelasan, dan penandatanganan sebagaiman
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) serta dalamPasal 43 ayat (3) dinyatakan
secara tegas pada akhir akta.
5. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai
kekuatan pembukian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan
bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut pnggantian biaya, ganti
rugi, dan bunga kepada notaris

37

Pasal 17 UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas No. 30 tahun 2004
mengatur tentang larangan Notaris. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Notaris dilarang :
a. menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut
tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang
Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
h. menjadi Notaris Pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan,
atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan
Notaris.
Pasal 52 Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 tidak mengalami perubahan
pada Undang-undang nomor 2 Tahun 2004, sehingga Pasal 52 Undang-undang nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan:
a. Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau
orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena
perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai
dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu
kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, apabila orang
tersebut pada ayat (1) kecuali Notaris sendiri, menjadi penghadap dalam
penjualan dimuka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan dihadapan
Notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota rapat
yang risalahnya dibuat oleh Notaris.
c. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat
akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan apabila
akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa mengurangi kewajiban Notaris

38

yang membuat akta itu untuk membayar biaya, ganti rugi dan bunga kepada yang
bersangkutan.
Seperti pada Pasal 52, Pasal 53 juga tidak mengalami perubahan di Undangundang nomor 2 Tahun 2014. Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris menyatakan bahwa akta Notaris tidak boleh membuat penetapan ketentuan
yang memberikan sesuatu hak dan/atau keuntungan bagi:
a. Notaris, istri atau suami Notaris;
b. Saksi, istri atau suami saksi; atau
c. Orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi, baik
hubungan darah dalam garis lurus keatas atau kebawah tanpa pembatasan derajat
maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.
C. Tinjauan tentang Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
“Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut”38.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman
pidana. Pelaku dapat dikatakan sebagai “subjek” tindak pidana. Beberapa pakar
hukum pidana memberikan definisi mengenai strafbaar feit antara lain:
a. Simons dalam P. A. F. Lamintang, mengatakan bahwa strafbaar feit adalah
kelakuan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan
dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab39

38
39

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 1993. hlm. 54
P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 176

39

b. J. Baumannn dalam Sudarto menyatakan bahwa tindak pidana merupakan
pebuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan
dengan kesalahan.40
c. Prof Van Hamel, mengatakan bahwa strafbaar fait itu sebagai sebagai suatu
serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain. 41
d. Vos42 merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang
diancam pidana oleh peraturan undang-undang. Kemudian Vos mengartikan delik
sebagai tatbestandmassigheit dan wesenschau. Tatbestandmassigheit, merupakan
kelakuan yang mencocoki rumusan ketentuan dalam undang-undang yang
bersangkutan, maka di situ telah ada delik, sedang arti wesenschau, merupakan
kelakuan yang mencocoki rumusan ketentuan dalam undang-undang yang
bersangkutan, apabila kelakuan itu dem wesen nach, yaitu menurut sifatnya cocok
dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang
bersangkutan. Misalnya dalam penadahan di situ tidak mungkin dimaksudkan
seorang yang telah membeli barangnya sendiri dari orang lain yang mencuri
barang tersebut, karena hakikatnya penadahan mempunyai makna yang tidak
mengancam pidana seseorang yang membeli barangnya sendiri, meskipun
nampaknya kelakuan itu mencocoki rumusan undang-undang.
Subjek tindak pidana dalam KUHP adalah manusia tersebut. Dalam hukum
pidana, pertanggungjawaban bersifat pribadi, artinya barangsiapa melakukan tindak
40

Sudarto, Op.Cit, hal. 42
P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 182
42
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Teori-Teori Pemidanaan. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, hal 72
41

40

pidana, maka ia harus bertanggung jawab sepanjang pada diri orang tersebut tidak
ditemukan dasar penghapus pidana.
Dalam hukum pidana dikenal dengan konsep penyertaan, bahwa dua orang
atau lebih yang ikut membantu seseorang melakukan kejahatan maka ia juga
dikenakan pidana.
Semacam hukuman pidana sudah lama dapat dikenakan kepada perkumpulan
badan hukum yang dalam tindakannya menyimpang dari anggaran dasar yang telah
disahkan oleh Departemen Kehakiman, yaitu secara pencabutan kedudukan
perkumpulan sebagai badan hukum oleh pemerintah setelah ada tuntutan dari
kejaksaan dan pernyataan dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, sifat hukuman ini
sangat berlainan dengan hukum pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan dengan
prosedur atau acara yang biasa.43
Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai “pencurian”. Dalam Pasal itu kelakuan
dirumusakn sebagai mengambil. Contoh pencurian mobil, akibat dari pencurian mobil
mengakibatkan si korban harus pulang dengan jalan kaki dan menderita kerugian
materi yang besar. Pasal ini menyebutkan suatu akibat yang disebabkan oleh
perbuatannya yang dirumuskan secara material.
Menurut Prof Moeljatno, adanya perbedaan perumusan formal dan material
ini tidak berarti bahwa dalam perumusan formal tidak ada suatu akibat sebagai unsur
tindak pidana. Juga dalam tindak pidana dengan perumusan formal selalu ada akibat

43

Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama, Bandung,
2003. hlm. 60

41

yang merupakan alasan diancamkannya hukuman pidana. Akibat ini adalah selalu
suatu kegiatan pada kepentingan orang lain atau kepentingan negara.44
2. Jenis Tindak Pidana
Dalam sistematika KUHP perlu diperjelas tentang perbedaan antara kejahatan
(misdrijven) Pasal 104 sampai 488 dengan pelanggaran (overtredingen) Pasal 498
sampai 569. Kejahatan menunjuk pada suatu perbuatan yang menurut nilai-nilai
kemasyarakatan dianggap sebagai perbuatan tercela, meskipun tidak diatur secara
tertulis

dalam

ketentuan

undang-undang.

Oleh

karenanya

disebut

dengan

Rechtsdelicten. “Sedangkan pelanggaran menunjuk pada perbuatan yang oleh
masyarakat bukan sebagai perbuatan tercela. Diangkatnya sebagai perbuatan pidana
karena

ditentukan

oleh

undang-undang.

Oleh

karenanya

disebut

dengan

Wetsdelicten”.45
Untuk memahami rumusan hukum dari setiap tindak kejahatan dan
pelanggaran, perlu diketahui asas-asas hukum pidana, beberapa asas penting adalah
sebagai berikut:
a. Tindak pidana mempunyai 2 (dua) sifat:46
1) Formil
Dalam tindak pidana ini yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang
adalah perbuatannya.

44

Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 10
Chaerudin. Materi Pokok Asas-Asas Hukum Pidana. Fakultas Hukum Universitas Islam
As-Syafi’iyah, 1996. hlm. 11
46
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 34
45

42

2) Materiil
Dalam jenis tindak pidana ini yang diancam dengan hukuman oleh undangundang adalah akibatnya.
b. Tindak pidana memiliki 2 (dua) unsur:47
1) Objektif
Unsur ini terdiri atas suatu perbuatan atau suatu akibat.
2) Subjektif
Unsur ini adalah suatu kehendak atau tujuan yang ada dalam jiwa pelaku,
yang dirumuskan dengan istilah sengaja, niat dan maksud.
c. Tindak pidana terdiri atas :48
1) Tindak pidana dolus atau yang dilakukan dengan sengaja
2) Tindak pidana kulpos atau yang dilakukan tanpa sengaja
d. Tindak pidana mempunyai 3 (tiga) bentuk
1) Pokok, di mana semua unsur tindak pidana dirumuskan
2) Gekwalifikasir, disebutkan nama kejahatan disertai dengan unsur pemberatan,
misal pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu
3) Geprivilegeerd, hanya dicantumkan nama kejahatannya yang disertai unsur
peringatan.49
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
“Mengikuti asas yang berlaku dalam hukum pidana, maka seseorang tidak
dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana apabila tindak pidana tersebut belum
dirumuskan di dalam undang-undang”.50
47

48

Leden Marpaung, 2005, Asas-asas Teori Praktek Hukum Pidana. Jakarta, Sinar Grafika, hal.11

Riki Susanto & Partners, 2010, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 8 Maret 2010
49

Moh. Taufik Makarao, dkk. Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003. hlm. 42

43

Sekalipun perkembangan mutakhir dalam hukum pidana menunjukkan bahwa
asas hukum tersebut tidak lagi ditetapkan secara rigid atau kaku, tetapi asas hukum
tersebut sampai sekarang tetap dipertahankan sebagai asas yang sangat fundamental
dalam hukum pidana sekalipun dengan berbagai modifikasi dan pengembangan.51
Dengan demikian seseorang tidak dapat dihukum bila seseorang tersebut
melakukan tindak pidana atau kejahatan yang mana perbuatan pidana tersebut belum
diatur oleh undang-undang atau aturan sebelumnya. Bagaimana mungkin seseorang
dapat dikatakan bersalah telah melakukan tindak pidana yang mana kesalahan
tersebut belum dirumuskan dalam undang-undang?
Sesuai dengan azas legalitas yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang
dianut dalam hukum pidana yang merupakan hukum positif di Indonesia, bahwa
seseorang dapat dikatakan bersalah dan dapat dihukum apabila seseorang tersebut
telah diadili dan dinyatakan bersalah di hadapan pengadilan kemudian dijatuhkan
hukuman oleh Hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat
(inkracht van gewijsde).
Seseorang yang diduga atau telah melakukan kejahatan dapat dipersalahkan
atau dijatuhi hukuman jika kejahatan atau kesalahan yang dilakukannya memenuhi
unsur-unsur tindak pidana yang telah diatur sebelumnya. Jika salah satu unsur tidak
terpenuhi, maka pembuktian terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan

50

P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997. hlm. 151
51
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996. hlm. 88

44

adalah tidak sempurna. Dalam perkembangannya di masyarakat, hal-hal tersebut di
atas sudah tidak lagi dijadikan pedoman dalam menetapkan seseorang bersalah.
Penegak Hukum sampai Tingkat Peradilan bahkan kerap kali mengenyampingkan hal
yang sangat normatif tersebut. Masyarakat yang seharusnya mendapat keadilan dari
pemerintah malah mendapatkan ketidakadilan dari sikap aparat pemerintah yang
dapat dikatakan kerap kali bertindak semena-mena kepada rakyatnya.
Bertolak dari berbagai tuntutan normatif tersebut di atas, pemahaman terhadap
unsur-unsur tindak pidana merupakan kebutuhan yang sangat mendasar berkaitan
dengan penerapan hukum pidana materiil.
Secara umum unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan ke dalam dua
macam, yaitu:
a. Unsur Objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat
berupa:
1) Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. Contoh
unsur objektif yang berupa perbuatan yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang
dan diancam oleh undang-undang. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat disebut
antara lain perbuatan-perbuatan yang dirumuskan di dalam Pasal 242, 263,
362 KUHP. Di dalam ketentuan Pasal 362 KUHP misalnya, unsur objektif
merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah
perbuatan mengambil.
2) Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil. Contoh
unsur objektif yang berupa suatu akibat adalah akibat-akibat yang dilarang

45

dan diancam oleh undang-undang dan sekaligus merupakan syarat mutlak
dalam tindak pidana antara lain akibat-akibat sebagaimana dimaksudkan
dalam ketentuan Pasal 351, 338 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP
misalnya, unsur objektif yang berupa akibat yang dilarang dan diancam
dengan undang-undang adalah akibat yang berupa matinya orang.
3) Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh
undang-undang. Contoh unsur objektif yang berupa suatu keadaan yang
dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah keadaan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 160, 281 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 282
KUHP misalnya, unsur objektif yang berupa keadaan adalah di tempat
umum.52
b. Unsur Subjektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader) yang
berupa:
1) Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan
yang telah dilakukan (kemampuan bertanggung jawab).
2) Kesalahan atau schuld. Berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung
jawab di atas, persoalannya adalah kapan seseorang dapat dikatakan mampu
bertanggung jawab? Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab
apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu:

52

P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir. Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan
Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik. Penerbit Tarsito, Bandung,
1981. hlm. 26

46

a) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat
mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan nilai dari
akibat perbuatannya itu
b) Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan
kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan
c) Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana
yang tidak dilarang oleh undang-undang.53
Uraian tersebut diatas merupakan pembahasan unsur-unsur tindak pidana
secara umum. Notaris yang dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat publik
yang diduga melakukan perbuatan pidana khususnya pemalsuan akta sering
dikenakan Pasal 263, 264 dan 266 KUHP yang diuraikan sebagai berikut : 54
1. Pasal 263 KUHP55
(1) Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang atau yang
diperuntukkan

sebagai

bukti

daripada sesuatu

hal

dengan

maksud

diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak di palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara lama enam tahun.

53
Satochid Kartanegara. t.th. Hukum Pidana Kumpulan Kulian, Buku I, Balai Lektur
Mahasiswa, Jakarta, hlm. 242
54
Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta, Op.Cit, hal. 107
55
Andi Ahmad Mansyur, “Analisis Yuridis Normatif Terhadap Pemalsuan Akta Yang
dilakukan Oleh Notaris” Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2013

47

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
surat yang isinya tidak benar atau yang palsu, seolah-olah benar dan tidak
palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.56
Adapun unsur-unsur yang tercantum pada ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHP
adalah :
a. Unsur Obyektif adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat yang
dapat menerbitkan

sesuatu hak,

menerbitkan

sesuatu perjanjian,

menimbulkan pembebasan sesuatu hutang, diperuntukkan guna menjadi
bukti atas sesuatu ini
b. Unsur Subyektif dengan maksud untuk mempergunakan dan memakai
surat itu seolah-olah asli atau tidak palsu, pemakaian atau penggunaan
surat itu dapat menimbulkan kerugian. 57
Penjatuhan hukuman pidana dapat dikenakan apabila pada waktu
memalsukan surat itu harus dengan maksud menggunakan atau menyuruh
orang lain untuk menggunakan surat tersebut seolah-olah asli dan tidak
palsu. Pelaku yang dapat dihukum menurut Pasal ini tidak saja,
“Memalsukan” surat pada ayat (1) tetapi juga sengaja tetapi juga sengaja
menggunakan surat palsu ayat (2) “sengaja”. Seseorang yang dituduh
menggunakan surat palsu ini pun harus pula dibuktikan, bahwa orang itu

56

Dinas Hukum Polri, 1995, Penjabaran Unsur Pasal-Pasal Dalam KUHP Dan Delik-Delik
Lain di Luar KUHP, Jakarta, hal. 91-92
57
H.A.K. Moch Anwar, Op.Cit, hal. 181

48

bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula
perbuatan itu harus mendatangkan kerugian.
2. Pasal 264 ayat (1) KUHP : 58
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun,
jika dilakukan terhadap :
1. Akta-akta otentik
2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu Negara atau bagiannya
ataupun dari suatu lembaga umum
3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu yang diterangkan
dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti suratsurat itu :
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai
surat tersebut dalam ayat pertama yang isinya tidak benar atau yang dipalsu
seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
Pasal 264 KUHP ini memiliki unsur-unsur yang mirip dengan Pasal 263 ayat (1)
KUHP, sedangkan perbedaannya terletak pada obyek pemalsuan yang dalam

58

R. Soesilo, 1994. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.
Politeia. Bogor . hal. 196-197

49

hubungannya dengan Notaris yaitu akta otentik Pasal 264 ayat (1) ke 1 yaitu
perbuatan pemalsuan itu dilakukan terhadap suatu objek yang spesifik yang
diterbitkan oleh seorang Notaris yaitu akta otentik. Akta Otentik yang diterbitkan
oleh Notaris dianggap mengandung kepercayaan ynag tinggi dibanding surat
biasa yang tercantum pada Pasal 263 KUHP. Akta otentik menurut ketentuan
tersebut adalah akte yang dibuat dihadapan seorang pegawai-pegawai umum yang
berhak untuk itu, biasanya Notaris.
3. Pasal 266 ayat (1) KUHP :59
(1) Barang siapa menyuruh masukkan keterangan palsu kedalam suatu akta
otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta
itu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai akta itu
seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenarannya, diancam jika
pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran jika karena
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Unsur-unsur yang terdapat dalam Ketentuan Pasal 266 KUHP tersebut meliputi
beberapa unsur :
a. Unsur obyektif adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat yang dapat
menerbitkan sesuatu hak, menerbitkan sesuatu perjanjian, menimbulkan
59

R. Soesilo. Op.Cit, hal. 197-198

50

pembebasan sesuatu hutang, diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu
hal
b. Unsur subyektif dengan maksud untuk mempergunakan dan memakai surat itu
seolah-olah asli atau tidak palsu, pemakaian atau penggunaan surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
Menurut Pasal ini yang dapat dihukum adalah orang yang memberikan
keterangan tidak benar dan juga kepada orang yang tidak sengaja menggunakan
surat atau akte yang memuat keterangan tidak benar itu, selain itu seseorang
tersebut dapat dihukum apabila dari penggunaan surat itu menimbulkan kerugian.
Sementara itu berkaitan dengan persoalan kemampuan bertanggung jawab ini
Pembentuk KUHP berpendirian, bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggung
jawab. Konsekuensi dari pendirian ini adalah bahwa masalah kemampuan
bertanggung jawab ini tidak perlu dibuktikan adanya di pengadilan kecuali apabila
terdapat keragu-raguan terhadap unsur tersebut. Dalam kasus Putusan Mahkamah
Agung No. 1014 K/PID/2013 ini baik notaris maupun penghadap yang juga terpidana
yaitu Robby Sumampao memenuhi unsur tindak pidana subjektif. Notaris dan Robby
Sumampao adalah seorang yang sudah dewasa, mampu bertanggungjawab atas hal
yang dilakukannya, dalam keadaan sehat dan sadar tanpa ada paksaan, serta
mengetahui bahwa hal yang dilakukan oleh para pelaku adalah perbuatan yang
dilarang oleh hukum positif.
4. Kesengajaan dan Kealpaan dalam Hukum Pidana
Tindak pidana yang paling sering dilakukan adalah yang mempunyai unsur
kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Seseorang yang yang melakukan suatu

51

perbuatan melawan hukum dengan sengaja memang tepat untuk mendapat hukuman
pidana.
Kesengajaan secara eksplisit terlihat dalam KUHP yaitu dengan maksud,
dengan paksaan, dengan kekerasan, sedang dikehendakinya, dan bertentangan dengan
apa yang dilakukan.60
Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu kesatu:
perbuatan yang dilarang, kedua: akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan
itu, dan ketiga: bahwa perbuatan itu melawan hukum.61
Biasanya diajarkan bahwa kesengajaan (opzet) itu tiga macam, yaitu kesatu :
kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk);
kedua : kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai
keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau
kesengajaan secara keinsyafan kepastian); dan ketiga; kesengajaan seperti sub 2 tetapi
dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa suatu
akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn atau kesengajaan secara
keinsyafan kemungkinan).62
Suatu perbuatan yang sudah dilandasi dengan maksud tidak baik, kemudian si
pelaku menghendaki hal tersebut, dan mengetahui akibat apa yang terjadi jika ia
melakukannya, maka sudah dapat dipastikan bahwa unsur kesengajaan dalam
60
Riki Susanto & Partners, 2010, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 8 Maret 2010
61
Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama, Bandung,
2003. hlm. 66.
62
Ibid.

52

perbuatan tersebut sudah terpenuhi. Contoh : seseorang membawa pisau dengan
maksud untuk menusuk seseora

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Pertanggungjawaban Pidana Notaris Terhadap Akta yang Dibuatnya (Studi Putusan Mahkamah Agung Register No. 1099K/PID/2010)

8 79 154

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam pemalsuan Akta Otentik (Studi tentang putusan Mahkamah Agung republik Indonesia Nomor:1014k/Pid/2013) Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam pemalsuan Akta Otentik (Studi tentang putusan Mahkamah Agung republik Ind

0 1 11

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 17

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 2

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 17

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 9