Pergeseran Pembagian Waris Adat Dalam Suku Batak Angkola (Studi Di Kecamatan Padangbolak Kabupaten Padanglawas Utara) Chapter III V

50

BAB III
PERAN LEMBAGA ADAT DALAM MENYIKAPI PERGESERAN HUKUM
WARIS ADAT ANGKOLA DI KECAMATAN PADANG BOLAK
KABUPATEN PADANGLAWAS UTARA

1.

Pengertian lembaga adat masyarakat Angkola di kabupaten Padanglawas
Utara

A. Pengertian Lembaga Adat
Indonesia mempunyai banyak wilayah atau daerah. Setiap daerah mempunyai
adat istiadat dan hukum adat tersendiri yang dilaksanakan sesuai menurut adat dan
kebudayaan daerah itu sendiri.
Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warganya
hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama. Apabila ingin memahami dan
mengetahui segala bentuk hubungun hukum suatu daerah, maka perlu mempelajari
masyarakat hukum adat daerah yang bersangkutan.
Hukum adat pada umumnya bercorak tradisional artinya bersifat turun

temurun, dari zaman nenek moyang sampai anak cucu sekarang keadaannya masih
tetap berlaku dan diperintahkan oleh masyarakat bersangkutan. Contohnya di tanah
adat Padanglawas Utara dimana hukum adatnya mempunyai corak bersifat
kebersamaan (komunal) artinya lebih mengutamakan kepentingan bersama dimana
kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama. Hubungan antar anggota
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain didasarkan oleh rasa
kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong.

50

Universitas Sumatera Utara

51

Lembaga adat merupakan kata yang berasal dari gabungan antara kata
lembaga dan kata adat. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut dengan institution
yang berarti pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literatur
tersebut, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada
pola perilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur
dalam suatu kerangka nilai yang relevan.Sehingga lembaga adat adalah pola perilaku

masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur
dalam suatu kerangka nilai adat yang relevan.66Sehingga lembaga adat adalah pola
perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki
struktur dalam suatu kerangka nilai adat yang relevan.
Menurut ilmu budaya, lembaga adat diartikan sebagai suatu bentuk organisasi
adat yang tersusun relative tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasirelasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi
hukum adat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan dasar.67
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 2007 tentang
Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, lembaga adat

diartikan sebagai

lembaga kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah
tumbuh dan berkembang didalam sejarah masyarakat atau dalm suatu masyarakat
hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam
hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan

66
67


Mohammad Daud Ali,HukumIslam, jakarta: Rajagrafindo persada,2004,Hal.216
Hendropuspito,Sosiologi Agama, yogyakarta: Kanisius,1994, hal.114

Universitas Sumatera Utara

52

menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan
mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.
Menurut Ter Haar, lembaga adat lahir dan dipelihara oleh keputusankeputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan yang berwibawa dari
kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hakim yang
bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan
keyakinan hukum.68
Dari beberapa pengertian diatas lembaga adat adalah suatu organisasi atau
lembaga masyarakat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang
dimaksudkan untuk membantu pemerintah daerah dan menjadi mitra pemerintah
daerah dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang
dapat membangun pembangunan suatu daerah.
Masyarakat yang masih berpegang pada adat-istiadat, pemimpin adat yang
dikukuhkan melalui hukum adat biasanya memiliki tanda-tanda kepemimpinan resmi

dan memegang kewibawaan resmi untuk memimpin masyarakatnya. Tanda-tanda ini
merupakan hal yang menaikkan harga diri dari pemimpin adat yang secara langsung
mendukung kewibawaan serta kekuasaan pemimpin adat.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat, dalam lingkungan
daerah adat tertentu atau suatu daerah dipimpin oleh ketua adat yang bertugas

68

Badruzzaman Ismail,2007, Mesjid dan adat Meunasha sebagai Sumber Energi Budaya
Aceh, Banda Aceh,MAA, hal.150

Universitas Sumatera Utara

53

memelihara jalannya hukum adat dengan semestinya. Sifat pimpinan ketua adat
adalah erat hubungannya dengan sifat dan corak serta suasana adat di daerah tersebut.

B. Fungsi Lembaga Adat
Lembaga adat berfungsi bersama pemerintah merencanakan, mengarahkan,

mensinergi program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat,
kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya
keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dalam mensejahterakan masyarakat,
baik preventif maupun represif, antara lain:69
a. Menyelesaikan masalah sosial masyarakat,
b. Penengah (hakim perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di
masyarakat.
Kemudian, lembaga adat juga memiliki fungsi lain yaitu:
1. Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan
disegala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan
kemasyarakatan.
2. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya
3. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keadatan dan keagamaan.

69

Peraturan Lembaga Adat Besar Republik Indonesia Nomor: 1 tahun 2009 Tentang
Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan, Dan Pengembangan Adat Istiadat Dan Lembaga Adat
Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia


Universitas Sumatera Utara

54

4. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka memperkaya,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan
kebudayaan adat khususnya.
5. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk
kesejahteraan masyarakat desa adat.
C. Wewenang Lembaga Adat
Lembaga adat memiliki wewenang yang meliputi:70
1. Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan masyarakat adat
tersebut.
2. Mengelola hak-hak dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan
kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
3. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan
kebiasan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaiannya tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan

agama untuk kepentingan desa adat.
5. Sebagi penengah dalam kasus-kasus adaat yang tidak dapat diselesaikan pada
tingkat desa.
6. Membantu penyelengaraan upacara keagamaan, kabupaten/kota desa adat
tersebut berada.

70

Ibid

Universitas Sumatera Utara

55

D. Tugas dan Kewajiban Lembaga adat
Lembaga adat mempunyai tugas dan kewajiban yaitu:71
1. Menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian perselisihan yang
menyangkut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.
2. Memberdayakan, mengembangkan, dan melestarikan adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah

sebagai bagian yang tak terpisahkan dari budaya nasional.
3. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif antara
Ketua Adat, Pemangku Adat, Pemuka Adat dengan aparat Pemerintah pada
semua tingkatan pemerintahan di Kabupaten daerah adat tersebut.
4. Membantu kelancaran roda pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan/atau
harta kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan kepentingan
masyarakat hukum adat setempat.
5. Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat
memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama pemerintah
desa/kelurahan dalam pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan
pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis.
6. Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya kebinekaan
masyarakat adat dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
7. Membina dan melestarikan budaya dan adat istiadat serta hubungan antar
tokoh adat dengan Pemerintah Desa dan Lurah.
71

Ibid

Universitas Sumatera Utara


56

8. Mengayomi adat istiadat.
9. Memberikan saran usul dan pendapat ke berbagai pihak perorangan,
kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalah adat
10. Melaksanakan keputusan-keputusan paruman dengan aturan yang di tetapkan.
11. Membantu penyuratan awig-awig.
12. Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.

2. Peranan Lembaga Adat Angkola Dalam Menyikapi Pergeseran Hukum
Waris Adat Angkola
Lembaga adat kabupaten Padanglawas utara disebut juga sebagai lembaga
adat Dalihan natolu yaitu suatu lembaga yang dibentuk pemerintah daerah tingkat II,
sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para pengetua adat yang benarbenar memahami, menguasai, menghayati adat istiadat dilingkungannya. Lembaga ini
memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha dan kegiatan dalam rangka
menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah
termasuk di dalamnya adat istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan
sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. Dalihan na tolu adalah filosofis atau
wawasan sosial-kultural yang menyangkut masyarakat dan budaya adat Angkola.

Dalihan na tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah
dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok dalam adat Angkola.
Dalihan na tolu terdiri dari tiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah:
1. Kahanggi, yaitu pihak atau sekelompok keluarga yang semarga, di toba, pihak
ini disebut sebagai dongan tubu atau dongan sabutuha. Kahanggi mempunyai

Universitas Sumatera Utara

57

istilah-istilah lain yang menyangkut kerabat kahanggi antara lain: saama
saina, marangkang maranggi, saama, saoppu, saparamaan, saparoppuan,
sabona atau sahaturunan.72Suhut dan Kahanggi adalah suatu kelompok
keluarga yang semarga atau yang mempunyai garis keturunan yang sama
dalam satu huta yang merupakan bonabulu ( pendiri Kampung), suhut dan
kahangginya terdiri dari:
a. Suhut
b. Hombar suhut (kahanggi) adalah kelompok yang kedudukannya dapat
ditautkan dengan silsilah keluarga
c. Kahanggi Pareban Kelompok orang/seseorang yang kedudukannya

menjadi kahanggi, karena sepengambilan (istrinya bersaudara).
Didalam suatu kampung dikenal dengan apa yang disebut dengan
Harajaon dihuta, yang dimaksud dengan harajaon di huta adalah kerabat
kerabat, kahanggi dan raja dihuta, (yang mendirikan huta dan yang masih satu
keturunan dan semarga dengannya).73
a.

Suhut adalah mereka yang merupakan tuan rumah didalam pelaksanaan
upacara adat. Suhut inilah yang merupakan penanggung jawab terhadap
segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan acara adat
tersebut.

72

Basyral Hamidy Harahap, siala sampagul: nilai nilai luhur budaya masyarakat kota
Padangsidimpuan,cet,1, Padangsidimpuan: Pemerintah Kota Padangsidimpuan,2004, hal.23
73
Pandapotan nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman,Sumatera
Utara:Forkala Prov.Sum.Uatra.hal 83

Universitas Sumatera Utara

58

b. Hombar suhut, adalah keluarga dan kahanggi semarga dengan suhut
tetapi tidak satu nenek, hombar suhut ini tidak hanya yang berasal dari
huta yang sama, tetapi juga dari luar huta yang masih mempunyai
hubungan keluarga dan semarga dengan suhut.
c.

Kahanggi pareban adalah keluarga kelompok pertama dan yang ketiga
sama-sama mengambil istri dari keluarga yang sama, dalam status adat
kahanggi

pareban

ini

dianggap

sebagai

saudara

Markahanggi

berdasarkan perkawinan.74
2. Anak boru, yaitu pihak atau kelompok yang mengambil istri dari pihak suhut.
Pihak ini di toba disebut sebagai boru.Anak boru sebagaimana dengan suhut
dibagi atas:
a.

Anak boru pusakoadalah anak boru yang karena orang tuanya mengambil
istri dari kelompok suhut.

b.

Anak boru topot rata adalah anak boru yang mengambil istri dari
keluarga mora.

c.

Anak boru bona bulu ( anak boru asal pangalehenan ni boru) adalah
anak boru yang telah mempunyai kedudukan sebagai anak boru sejak
pertama kalinya suhut menempati huta. Anak boru inilah yang pertama
mengambil boru dari keluarga kelompok suhut, anak boru ini bahkan
turut membuka huta dan turut bertempat tinggal dengan suhut dihuta
tersebut. Anak boru ini dalam paradaton (upacara adat) turut menentukan

74

hasil wawancara dengan tokoh adat Mangaraja Huala Harahap, tanggal 18 november 2016

Universitas Sumatera Utara

59

sesuatunya. Kedudukan anak boru terhadap suhutakan

menjadi

kedudukan anak boru terhadap moranya, jika dipandang dari sudut suhut,
maka pendampingnya adalah anak boru. Anak boru dari kelompok ini
disebut dengan bayo-bayo magodang (goruk goruk hapinis).
3.

Mora, yaitu pihak yang memberikan istri kepada pihak pertama. Pihak ini
ditoba disebut hula-hula. Mora terbagi dalam tiga kelompok:
a.

Mora mual adalah kelompok keluarga yang secara turun temurun
menjadi mora, karena kelompok suhut sejak pertama kalinya, telah
mengambil boru dari kelompok ini. Dalam upacara adat mora mual
ini dapat hadir sebagai harajaon.

b.

Mora bako (pangalapan boru) adalah mora tempat kelompok suhut
mengambil boru,mora ini adalah kelompok keluarga yang telah
pernah memberi boru kepada suhut, oleh karena itu secara turun
temurun kelompok suhut dapat mengambil boru dari kelompok mora
ini.

c.

Mora pambuatan boru adalah kelompok keluarga tempat suhut
mengambil istri. Mora sebagai kelompok keluarga yang baru pertama
kalinya memberikan boru secara langsung ini menganggap keluarga
mora ini sebagai mora pambuatan boru.

d.

Mora soksok adalah kelompok keluarga yang telah memberi
boru,atau orang tua dari ibu.

Universitas Sumatera Utara

60

Dalihan natolu diartikan dengan tungku yang berkaki tiga yang sangat
membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari kaki tungku tersebut rusak,
maka tungku tidak dapat digunakan lagi. Hal ini dimaksudkan dalam adat yaitu
apabila salah satu ketiga unsur dari dalihan na tolu tersebut tidak berperan dalam
pelaksanaan suatu acara adat, maka acara adat tersebut tidak akan selesai. Acara acara
adat atau disebut horja tersebut mempunyai syarat agar dapat dilaksanakan dengan
muasyawarah adat yang dihadiri oleh unsur dalihan na tolu tersebut, apabila salah
satu dari ketiga unsur berhalangan hadir acara adat atau horja tersebut tidak akan
terlaksana. Musyawarah adat dapat pelaksanaannya telah tertata dan teratur sebagai
mana terlihat dalam acara siriaon dan siluluton. Siriaon mempunyai pengertian
kegembiraan meliputi acara adat kelahiran, perkawinan dan syukuran, sedang
siluluton adalah acara adat duka cita meliputi kematian, tolak bala dan musibah lain.75
Dalihan na tolu sebagai suatu lembaga

merupakan wadah untuk

melaksanakan tujuan bersama, memelihara, dan mempertahankan adat. Semuanya
harus terpenuhi agar dapat harmonis dan seimbang, dalam masyarakat Padanglawas
di istilahkan dengan “manat-manat markahanggi, elek marboru, hormat mar mora”
artinya kita harus menjaga hubungan baik dengan kahanggi, berlaku sayang pada
anak boru, dan hormat pada mora.
Kedudukan dalam dalihan na tolu dapat berubah, jika pada suatu saat
seseorang dapat menjadi mora, dan saat lain pada tempat yang berbeda bisa jadi anak
75

Abbas pulungan,Peranan Dalihan Na Tolu Dalam Proses Interaksi Antara Nilai-Nilai Adat
Dengan Islam Pada Masyarakat Mandailing dan angkola Tapanuli Selatan, IAIN Sunan Kalijaga,
Yogjakarta,2003,hal.2

Universitas Sumatera Utara

61

boru, hal ini disesuaikan dengan tuan rumah yang mengadakan horja, dalam
masyarakat Padanglawas sering dikatakan ”margotti tutur”.
Masyarakat Angkola di kecamatan Padang bolak mayoritas memeluk agama
Islam, sehingga dalam pembagian waris banyak menggunakan hukum waris Islam
atau yang disebut faraidh, tetapi dalam prakteknya pembagian waris tersebut tidak
dilakukan dikarenakan berbagai faktor yang menyebabkan pembagian waris tersebut
bergeser dari hukum waris Islam. Banyak terjadi perselisihan dalam hal pembagian
waris yang terkadang memicu pertikaian dan keretakan dalam keluarga, hal ini dapat
dimengerti karena pembagian warisan sangat mudah menimbulkan sengketa,
perselisihan yang terjadi banyak diselesaikan dengan musyawarah keluarga dan
sebagian dimusyawarahkan dengan musyawarah adat.
Dalam menyelesaikan permasalahan pembagaian waris yang dilakukan
dengan musyawarah adat mempunyai tingkatan, musyawarah ini dalam adat Angkola
disebut marpokat atau martahi.
SKEMA I
PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN
TAHI GELENG-GELENG ULU TOT

TAHI SABAGAS
MARPOKAT/MARTAHI
TAHI SAHUTA

TAHI LUAT

Universitas Sumatera Utara

62

Dari skema diatas dapat dilihat tingkatan proses pelaksanaan pembagian
warisan dari musyawarah keluarga sampai ke musyawarah adat
SKEMA II
PELAKSANAAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN
WARISAN
AHLI WARIS
MARPOKAT

WALI WARIS/SAKSI-SAKSI

MUSYAWARAH SEMUA PIHAK

SARAN DARI LEMBAGA ADAT

Dari skema diatas penyelesaian sengketa pembagian waris, pengetua adat
mengumpulkan seluruh ahli waris, mengumpulkan wali waris dan saksi-saksi,
musyawarah dilakukan dengan mendengarkan pendapat seluruh pihak atau ahli waris
Pengetua adat memberikan jalan keluar terhadap masalah pembagian warisan
tersebut.
Marpokat atau martahi dahulu dilaksanakan setelah kedatangan boru tetapi
saat ini martahi diadakan sebelum datangnya boru, dalam hal ini acara martahi
mengalami proses perubahan, perubahan ini terjadi atas kesepakatan dalam
musyawarah adat dalihan na tolu di huta. Beberapa tingkatan musyawarah sesuai
dengan orang yang ikut dalam musyawarah itu:76

76

Wawancara dengan Bapak Panyambung Harahap tokoh adat di desa Sosopan, tanggal 18
November 2016

Universitas Sumatera Utara

63

a. Tahi geleng-geleng ulu tot, adalah musyawarah yang didahului dalam
keluarga diadakan antara suami istri.
b. Tahi sabagas adalah musyawarah yang diadakan yang diahadiri pihak
kahanggi, anak boru, dan mora, yakni keluarga terdekat
c. Tahi sahuta adalah musyawarah yang diadakan yang dihadiri keluarga
sekampung, dalam musyawarah ini harus hadir:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Kahanggi dan kahanggi hombar suhut
Anak boru
Pisang raut
Mora
Hatobangon dihuta
Raja dihuta (raja panusunan bulung)
Harajaon
Orakkaya dihuta
Pemerintahan

d. Tahi luat dalam musyawarah ini hadir segala unsur pemerintah adat, raja-raja
dan pastak pago-pago di huta antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Kahanggi dan hombar suhut
Anak boru
Pisang raut
Mora dongan satahi
Hatobangon
Harajaon
Harajaon torbing bolak
Orakkaya luat
Raja pamusuk
Raja panusunan bulung

Universitas Sumatera Utara

64

Perselisihan mengenai pembagian waris di desa Sosopan dan desa
Purbasinomba tidak pernah ke tingkat Pengadilan Negeri,77hal ini disebabkan masih
tingginya rasa kekeluargaan dan hatobangon dihuta

serta pengetua adat masih

mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat.
Sengketa dalam pembagian warisan antara ahli waris timbul dikarenakan
adanya salah satu pihak yang ingin menguasai atau ingin mendapatkan harta warisan
lebih banyak dari ahli waris yang lain, karena faktor ekonomi dan pendidikan yang
rendah dari dari ahli waris.
Contoh kasus: Bapak R Harahap
Menurut penuturan responden keluarga terdiri dari seorang ayah, seorang ibu
dan dua anak laki-laki yaitu S Harahap dan A Harahap keluarga responden
memeluk agama Islam, setelah ayah responden meninggal dilakukan pembagian
warisan. Harta warisan yang ditinggalkan berupa dua bidang sawah, dua lahan
kebun dan rumah serta tanahnya. Dalam musyawarah pembagian warisan S
Harahap mendapat bagian satu sawah dan sebidang kebun demikian juga dengan
A Harahap bagian yang sama, rumah tempat tinggal belum dibagi dikarenakan
ibu dari responden masih hidup dan menempatinya, setelah beberapa lama
terjadinya pembagian warisan ternyata si S Harahap merasa tidak puas dengan
hasil pembagian warisan yang terjadi dengan alasan hasil sawah yang menjadi
bagiannya tidak sama dengan hasil sawah bagian A Harahap, perselisihan

77

Hasil wawancara denganBapak Soripada Harahap kepala desa Sosopan dan bapak Damhuri
harahap kepala desa Purbasinomba pada tanggal 12 November 2016.

Universitas Sumatera Utara

65

pertama masih ruang lingkup keluarga tetapi tidak mencapai kesepakatan
sehingga pihak yang bersengketa berkesimpulan diselesaikan secara adat,
lembaga adat memberikan masukan agar kedua belah pihak berdamai dengan
menerima hasil pembagian waris dengan hati lapang, tetapi S Harahap tetap tidak
mendengarkan masukan dari lembaga adat, sehingga lembaga adat menyarankan
kepada A Harahap

untuk mengabulkan permintaan S Harahap, hasil yang

didapatkan, A Harahap yang mempunyai pendidikan dan ekonomi lebih cukup
dari S Harahap, menyerahkan bagian warisannya kepada S Harahap dengan cara
pertukaran harta warisan, sehingga sengketa waris ini dapat terselesaikan.
Dalam wawancara dengan ketua lembaga adat Kecamatan Padangbolak
menyatakan bahwa pembagian warisan antara S Harahap dan A Harahap secara
adat sudah sesuai, tetapi S Harahap merasa tidak adil dikarenakan bahagian yang
dia terima sawahnya tidak menghasilkan atau kurang subur tanahnya, S Harahap
merasa iri dengan hasil sawah yang didapatkan A Harahap lebih banyak, ketua
adat menyarankan untuk melakukan pertukaran dan diterima A Harahap .
Dalam pelaksanaan pembagian waris adat Batak Angkola di kabupaten
Padanglawas Utara kecamatan Padang Bolak, Lembaga Adat dan Budaya
Padanglawas utara mempunyai peran penting untuk memberikan jalan keluar
agar terhindar dari sengketa, dalam hal pembagian waris, lembaga adat dan
budaya menyikapi persoalan persoalan yang terjadi dengan memberikan nasehatnasehat ataupun petuah-petuah untuk dapat dipertimbangkan para ahli waris yang
akan melakukan pembagian warisan, lembaga adat menyerahkan sepenuhnya

Universitas Sumatera Utara

66

proses pembagian warisan kepada ahli waris dengan catatan berlaku adil terhadap
semua ahli waris, lembaga adat dalam hal ini hanya sebagai penengah jika terjadi
perselisihan dan menjadi penasehat atau pembimbing jika melakukan pembagian
warisan dengan hukum Islam atau dengan hukum adat.
Hasil wawancara dengan ketua lembaga adat dan budaya kabupaten
Padanglawas Utara bahwa pembagian warisan yang terjadi pada masyarakat
Kabupaten Padanglawas utara sangat dipengaruhi oleh hukum Islam, karena
mayoritas masyarakatnya beragama islam, dan sengketa yang sering terjadi dan
diselesaikan lembaga adat memakai hukum Islam. Ketua lembaga adat dan
budaya Kabupaten Padanglawas Utara berpendapat pembagian warisan dilakukan
jika si pewaris telah meninggal, meninggalnya si pewaris merupakan hukum
tuhan, harta yang ditinggalkan sipewaris menjadi hak milik ahli waris yang
dibagi secara hukum tuhan atau hukum Islam.78
Pembagian warisan yang dilakukan memakai hukum Islam ataupun hukum
Adat adalah sama asalkan berlaku adil kepada ahli waris yang melakukan
pembagian warisan, pembagian warisan merupakan hal yang sensitif yang dapat
memicu perselisihan dalam keluarga, peran lembaga adat dalam hal pembagian
warisan hanya memberi saran dan menjelaskan tata cara pembagian waris.
Dalam hal pelaksanaan pembagian warisan, lembaga adat menyerahkan
sepenuhnya kepada ahli waris hukum mana yang akan dilaksanakan, ini

78

Wawancara dengan bapak Ikhwan harahap ketua lembaga adat dan budaya kab.
Padanglawas Utara pada tanggal 12 november 2016

Universitas Sumatera Utara

67

dilakukan agar terhindar dari perselisihan antara pewaris, lembaga adat yang
merupakan lembaga yang berdiri untuk melestarikan adat dan budaya di
kabupaten Padanglawas utara tidak dapat memaksakan hukum adat dalam
pembagian warisan, dalam pembagian warisan tugas dan fungsi lembaga adat
mengalami pergeseran, menurut pengetua adat dan budaya Kabupaten
Padanglawas Utara pergeseran pembagian warisan yang dilakukan dengan tidak
memakai hukum adat adalah wajar, karena menurut dia dalam pembagian
warisan dengan memakai hukum Islam lebih adil dan menghindari perselisihan
antara sesama pewaris. Pergeseran pembagian warisan dari hukum adat ke hukum
waris Islam merupakan suatu keputusan yang tepat dan adil.79
Peran lembaga adat dan budaya sebagai penengah sangat penting untuk
menyelesaikan persoalan pembagian warisan, persoalan warisan tidak hanya
menyangkut harta yang ditinggalkan tetapi juga menyangkut hukum waris apa
yang dilakukan apakah hukum waris adat atau hukum waris Islam juga mengenai
ahli waris mana yang berhak menerima warisan.
Tahapan yang dilalui dalam proses martahi ini adalah:80
a. Pengetua adat mengumpulkan seluruh ahli waris
b. Pengetua adat mengumpulkan wali waris dan saksi-saksi
c. Musyawarah dilakukan dengan mendengarkan pendapat seluruh pihak atau
ahli waris
79

Ibid
Wawancara dengan bapak Tongku Adil Harahap Tokoh Adat di desa Purbasinomba pada
tanggal 15 november 2016, pukul 14.00 Wib
80

Universitas Sumatera Utara

68

d. Pengetua adat memberikan jalan keluar terhadap masalah pembagian warisan
tersebut.
Musyawarah yang diadakan dengan kehadiran pengetua adat dilakukan atas
undangan keluarga ahli waris yang diadakan di rumah pewaris, dalam
penyelesaiannya biasanya diakhiri dengan kesepakatan antara semua ahli waris yang
dimediasi oleh pengetua adat.

Universitas Sumatera Utara

69

BAB IV
PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN PADA MASYARAKAT
ANGKOLA DIKECAMATAN PADANGBOLAK KABUPATEN
PADANGLAWAS UTARA
A. Hukum Waris Adat
1.

Pengertian Hukum Waris
Hukum waris merupakan kumpulan peraturan, yang mengatur hukum

mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orangorang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak
ketiga.81
Peraturan-peraturan hukum dengan waris, dipengaruhi oleh perubahanperubahan sosial dan juga oleh peraturan-peraturan hukum asing yang sejenis.82
Hukum waris berlaku apabila terjadi kematian dan harta yang ditinggalkan
akan diatur untuk diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat
yang lebih berhak. Dan juga bagaimana penyelesaian hutang-hutang sipewaris jika ia
meninggalkan hutang.
Banyak defenisi dari pengertian hukum waris menurut para sarjana.
Soepomo menyatakan bahwa hukum waris itu memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses mengoperkan barang-barang harta benda dan barangbarang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan
81
82

A.Pilio,.1997 Hukum Waris.jakarta:T.PN, hal 1.
Soekanto, Meninjau …, Op.cit, Hal.110

69

Universitas Sumatera Utara

70

manusia (generatie) kepada turunannya, proses itu tidak menjadi “akuut” oleh
sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah
suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak
mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengalihan harta benda dan
harta bukan benda tersebut.83
Apabila pendapat Soepomo tersebut dapat dijadikan suatu patokan yang
sementara sifatnya, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa saat terjadinya
pengalihan harta waris terjadi, pada waktu harta tersebut diberikan kepada ahli
waris, yang mungkin terjadi pada saat pewaris masih hidup. Akan tetapi proses
semacam itu, sangat cenderung terjadi pada masyarakat-masyarakat yang
menganut sistem kewarisan individual, dan frekwensinyapun kadang-kadang
sering terjadi atau kadang-kadang juga jarang terjadi, oleh karena hal itu
tergantung kepentingan masing-masing pihak.84
Hukum waris berisi seluruh peraturan hukum yang mengatur pemindahan
harta milik, barang-barang, harta benda dari generasi yang berangsur mati (yang
mewariskan) kepada generasi muda (para ahli waris).85
Wirjono Prodjodikoro, memberikan rumusan warisan adalah soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan

83
84

Soerjono Soekanto,Op.cit.hal. 259
Ibid.,hal.270
85
Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia,pustaka yustisia, hal. 45.

Universitas Sumatera Utara

71

seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih
hidup.86
R. Santoso Pudjosubroto, mengemukakan bahwa: Hukum waris adalah hukum
yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih
kepada orang lain yang masih hidup.87
Dari rumusan tentang hukum waris diatas dapat disimpulkan bahwa:
”Hukum waris, adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai
kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang
ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnya, baik hubungan antar mereka dengan mereka maupun dalam
hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.88
Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan
uraian yang beragam tentang hukum waris, para umumnya para sarjana hukum
sependapat bahwa, “Hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang
mengatur tentang cara atau proses peradilan harta kekayaan dari pewaris kepada
ahli waris atau para ahli warisnya”. Kemudian dalam kamus hukum, pengertian
warisan adalah harta peninggalan yang berupa barang-barang atau hutang dari
orang yang meninggal, yang seluruhnya atau sebagian ditinggalkan atau

86
Wirjono Prodjodikoro, 1991, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Persetujuan Tertentu.
Bandung:Sumur Bandung, hal.8.
87
R. Santoso Pudjosubroto, 1964, Masalah Hukum sehari-har. Yogyakarta:HHS, hal.8
88
A.Pitlo.,1981. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut KUHPerdata.
Jakarta: Bina Aksara.hal.1

Universitas Sumatera Utara

72

diberikan kepada ahli waris atau orang-orang yang telah ditetapkan menurut surat
wasiat.89
a.

Menurut hukum Islam, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.90 Berdasarkan pasal 171 huruf a kompilasi
mengenai batasan hukumkewarisan , maka proses peralihan dalam
hukumkewarisan mengenal tiga unsur pokok yaitu:91

b.

Pewaris
Adalah orang yang pada saat meninggalnya dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan

c.

Harta warisan
Adalah harta bawaan ditambah bagian bagian dari harta bersam setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang, dan pemberian untuk
kerabat.

d.

Ahli waris

89

J.C.T. Simorangkir,S.H.,dkk, Kamus Hukum, hal. 186.
Buku II, Hukum Kewarisan, bab I, pasal 171 ayat a.
91
Idris Djkfar, Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam,Pustaka jaya, hal.51
90

Universitas Sumatera Utara

73

Adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Hukum kewarisan Islam biasa disebut dengan Faraidl.Menurut kitab Ia-natut
Tholibin, Faraidl menurut istilah bahasa ialah takdir (qadar/ketentuan) dan pada
syara’ ialah bagian yang diqadarkan/ditentukan bagi waris.Faraidl adalah jama’ dari
Faraidl yang berarti: suatu bagian tertentu. Dengan demikian Faraidl dikhususkan
untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’.92
Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang hukum kewarisan
terdapat pada surah An-Nisa ayat (1), (7), (8), (11), (12), (33), dan (176), surah AlBaqarah ayat (180), (233) dan (240), surah Al-Anfal ayat (75), dan surah Al-Ahzab
ayat (4), (5) dan (6) serta surah ath-Thalaaq ayat (7). Lima belas ayat tersebut secara
keseluruhan sudah dapat menggambarkan prinsip-prinsip kewarisan dan sistem
kekeluargaan yang khas dari Hukum Kewarisan Islam.Ayat-ayat tersebut demikian
terperinci dengan sistematik hukum yang kuat dan hampir semua persoalan kewarisan
dapat diselesaikan dengan baik, sehingga wajar kalau dikatakan bahwa hukum
kewarisan Islam merupakan ilmu yang standard.93
Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata (BW), hukum waris adalah
hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan
seseorang yang telah meninggal dunia ,atau mengatur peralihan harta kekayaan yang

92
93

Ibid.,hal.2
Ibid.,hal.12

Universitas Sumatera Utara

74

ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibat-akibatnya bagi
ahli waris.94
Harta warisan terdiri atas:95
a. Harta bawaan atau harta asal
Harta bawaan atau harta asal adalah harta yang dimiliki seseorang sebelum
kawin dan harta itu akan kembali keluarganya bila ia meninggal tanpa anak.
b. Harta bersama dalam perkawinan
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh dari hasil usaha
suami-istri selama dalam ikatan perkawinan.
c. Harta pusaka
Harta pusaka adalah harta warisan yang hanya diwariskan kepada ahli waris
tertentu

karena

sifatnya

tidak

terbagi,

melainkan

hanya

dinikmati/dimanfaatkan bersama oleh semua ahli waris dan keturunannya.
d. Harta yang menunggu
Harta yang menunggu adalah harta yang akan diterima oleh ahli waris, tetapi
karena satu-satunya ahli waris yang akan menerima harta itu tidak diketahui
dimana ia berada.
2.

Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak

94
95

Buku II Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Zainuddin ali, Pelaksanaan …Op.cit .hal.4-5

Universitas Sumatera Utara

75

berwujud benda (immateriele goerderen) dari suatu generasi manusia (generatie)
kepada turunannya. Proses itu tidak menjadi “akuut” oleh sebab orang tua meninggal
dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting
bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses
penerusan dan pengalihan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Proses itu
berjalan terus, hingga angkatan (generatie) baru, yang dibentuk dengan mencar atau
mentasnya anak-anak, yang merupakan keluarga-keluarga baru, mempunyai dasar
kehidupan materiil sendiri dengan barang-barang dari harta peninggalan orang hanya
sebagai fundamen.96
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses
dari abad ke abad yang menarik perhatian, ialah proses penerusan dan peralihan
kekayaan materieel dan immmaterieel dari turunan ke turunan. Hanya tinggal
ditunjukkan saja sampai dimana berlakunya pengaruh-pengaruh lain-lain aturanaturan hukum atas lapangan hukum waris dalam masing-masing lingkungan hukum.
Aturan aturan hukum waris tidak hanya mengalami pengaruh perubahanperubahan sosial dan semakin eratnya pertalian keluarga yang berakibat semakin
longgarnya pertalian clan dan suku saja, melainkan juga mengalami pengaruhnya
sistem-sistem hukum asing, yang mendapat kekuasaan berdasarkan atas agama
karena ada hubungannya lahir yang tertentu dengan agama itu, dan kekuasaan tadi
misalnya dipraktekkan atas soal-soal yang concreet oleh hakim-hakim agama,

96

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat,Jakarta, PT Pradnya Paramita, cet ketujuh belas,

hal.84

Universitas Sumatera Utara

76

walaupun pengaruh itu atas hukum waris tidak begitu kentara seperti atas hukum
perkawinan, adalah tergantung dari kekuasaan bentuk-bentuknya hukum waris sendiri
apakah ia dapat tetap menolak pengaruh itu, ataukah pengaruh itu dapat
menyebabkan perubahan-perubahan yang mendalam atasnya.97
Beberapa pendapat para ahli hukum waris adat antara lain:
Menurut Hilman Hadikusuma bahwa,
Hukum waris adat hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris
serta bagaimana cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya
dan pewaris kepada ahli waris, dengan kata lain hukum penerusan harta kekayaan
dari suatu generasi kepada turunannya.98
Menurut Imam Sudiyat:
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang
bertalian dengan proses penerusan/pengoperan da peralihan/perpindahan harta
kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi.99
Teer Haar menyatakan:
Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana abad ke abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan
yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.100

97

K.Ng. Poesponoto. Soebakti, Asas-asas dan susunan hukum adat,(jakarta, Pradnya
Paramita,cet ke-8), hal.232
98
Hilman Hadikusuma, 1999 Hukum Waris Adat,PT.Citra aditya bakti, Bandung, hal 7
99
Imam sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Azas, Yogyakarta: Liberty, hal.151

Universitas Sumatera Utara

77

Berdasarkan pendapat para ahli hukum adat diatas dapat disimpulkan , Hukum
Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah
meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dari tiga pendapat di atas juga terdapat suatu
kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta
waris dari suatu generasi keturunannya.
Hukum Waris Adat di dalamnya terdapat adanya kesatuan dan berjenis-jenis
dalam Hukum Adat Indonesia, dapat disusun aturan-aturan pokok dan asas-asas yang
sangat umum berlakunya, tetapi tidak dapat disusun suatu aturan yang di semua
lingkungan hukum berperangai lahir yang sama. Dalam Hukum Adat ini para ahli
waris tidak dapat ditetapkan, karena di berbagai daerah itu terdapat bermacam-macam
sistem kekeluargaan.Jadi para ahli warisnya digolongkan berdasar sifat kekeluargaan
masing-masing.Tetapi yang pasti menjadi ahli waris adalah anak.101
Terdapat tiga unsur dalam hukum waris adat, yaitu:
a. Unsur Proses
Proses peralihan atau pengoperan pada waris adat sudah dapat dimulai semasa
pemilik harta kekayaan itu masih hidup dan proses itu berjalan terus hingga
keturunannya masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri
sendiri (mentas atau mencar di Jawa), yang kelak pada waktunya mendapat

100

Teer Haar, Beginselen en Stelsel Van het Adatrecht, JB Groningen Jakarta, 1950, hal. 197
Tamakiran S. , Asas Asas Hukum Waris menurut Tiga Sistem Hukum, Pionir Jaya,
Bandung, 2000, Hlm. 62
101

Universitas Sumatera Utara

78

giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi (keturunan)
yang berikutnya.
Soepomo selanjutnya menyatakan bahwa meninggalnya bapak atau ibu adalah
suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak
mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan
harta bukan benda tersebut.102
b. Unsur-unsur benda yang diwariskan
Benda-benda yang diwariskan berupa benda berwujud (materiil) dan tidak
berwujud (immateriil). Harta warisan materiil, yaitu harta warisan berwujud
benda yang diwariskan kepada generasi berikutnya, contohnya rumah, tanah,
gedung, perhiasan, dan lain-lain. Harta warisan immateriil, yaitu harta warisan
yang tidak berwujud tetapi diwariskan kepada para ahli waris, contohnya gelar
ataupun jabatan.
c. Unsur Generasi
Defenisi tentang hukum waris menyebutkan bahwa proses pewarisan itu
berlangsung dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.103Dalam kesatuan
rumah tangga, yang akan menjadi ahli waris dari seseorang adalah anak-anak dari
orang yang bersangkutan sesuai dengan sistem cara menarik garis keturunan.
Hukum waris adat tidak mengenal legitieme portie,akan tetapi hukum waris
adat menetapkan dasar persamaan hak. Hak sama ini mengandung hak untuk

102
103

Soepomo, Op.Cit.hal. 79
Djaren Saragih, Pengantara Hukum Adat Indonesia, Transito, Bandung, 1996,hal. 154

Universitas Sumatera Utara

79

diperlakukan sama oleh orang tuanya di dalam proses meneruskan dan
mengoperkan harta benda keluarga. Selain dasar persamaan hak, hukum waris
adat juga meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian,
berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris.
Harta warisan dalam hukum waris adat tidak boleh dipaksakan untuk dibagi
antara para ahli waris.104
Hukum Waris adat menunjukan corak-corak yang memang typerend bagi
aliran pikiran tradisional Indonesia, bersendi atas prinsip-prinsip yang timbul dari
aliran-aliran pikiran komunal dan konkrit dari bangsa Indonesia. 105
Sifat yang lain dalam hukum waris adat diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan
pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebagian
yang dibagi-bagi.
b. Memberi kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan orang tua
angkatnya.
c. Dikenal sistem “penggantian waris”.
d. Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjalan secara rukun dalam
suasana ramah-tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris.

104
105

Soerojjo Wignjodipoero, Op.cit, hal 163
Soepomo, Op.Cit,.hal.78

Universitas Sumatera Utara

80

e. Anak perempuan, khususnya di Jawa, apabila tidak ada anak laki-laki, dapat
menutup hak mendapat bagian harta peninggalan, kakek-neneknya dan
saudara-saudara orang tuanya.
f. Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan
wajib diperhatikan sifat/macam, soal dan kedudukan hukum dari pada barang
masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan itu.106
Berbicara mengenai sistem pewarisan, tidak dapat lepas dari sistem
kekeluargaan yang dianut di negara kita ini. Apabila masyarakat Indonesia yang
menganut bermacam agama, kepercayaan, terdiri dari berjenis-jenis suku bangsa,
mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dan keturunan yang berbeda-beda. Pada
umumnya sistem kekeluargaan yang ada di dalam masyarakat hukum adat Indonesia
terdapat tiga jenis yaitu :
1. Sistem Patrilineal, yaitu suatu masyarakat hukum, dimana anggotaanggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui pihak Bapak, bapak dari
bapak

terus

ke

atas

sehingga

dijumpai

seorang

laki-laki

sebagai

moyangnya.Akibat hukum yang timbul dari sistem ini adalah, anak-anak yang
lahir dan semua harta kekayaan yang ada adalah milik Bapak atau keluarga
bapak. Dapat dikatakan kedudukan pria lebih menonjol dari wanita di dalam
pewarisan.

106

Ibid.,hal.164

Universitas Sumatera Utara

81

2. Sistem Matrilineal, yaitu suatu sistem di mana masyarakat tersebut menarik
garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga
dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya.
3. Sistem Parental atau Bilateral, adalah masyarakat hukum, dimana para
anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis Bapak dan garis
Ibu, sehingga dijumpai seorang laki-laki atau seorang perempuan sebagai
moyangnya.
Ketiga sistem tersebut di atas masih cukup kuat bertahan terutama di daerah
pedesaan, sedangkan perkembangan di kota-kota besar pada saat ini nampaknya
sudah mengarah ke sistem parental. Adakalanya sistem keturunan yang satu dan
yang lain disebabkan karena perkawinan dapat berlaku bentuk campuran atau
alternerend.107
3.

Sistem Pewarisan
Sistem pewarisan

yang ada di dalam masyarakat hukum adat Indonesia

terdapat tiga jenis yaitu :108
a. Sistem Pewarisan Individual
Yang merupakan ciri dari sistem pewarisan individual adalah bahwa harta
warisan akan terbagi-bagi hak kepemilikannya kepada ahli waris, hal ini
sebagaimana yang berlaku menurut hukum KUHPerdata, dan hukum Islam,

107

I.G.N. Sugangga, Hukum Adat Khusus, Hukum Adat Waris Pada Masyarakat Hukum Adat
yang bersistem Patrilineal di Indonesia, Semarang, 1988, hal 11.
108
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama Hindu-Islam, PT.Citra Adtya Bakti, Bandung,1991.hal.15-19

Universitas Sumatera Utara

82

begitu pula halnya berlaku bagi masyarakat dilingkungan masyarakat hukum adat
seperti pada keluarga-keluarga masyarakat pacitan yang patrineal dan keluargakeluarga suku Jawa Lainnya yang parental. Kelebihan dari sistem pewarisan
individual adalah dengan adanya pembagian harta warisan maka masing-masing
individu ahli waris mempunyai hak milik yang bebas atas bagian masing-masing
yang telah diterimanya.
Kelemahan dari sistem pewarisan individual ini adalah selain harta warisan
tersebut menjadi terpecah-pecah, dapat berakibat putusnya hubungan kekerabatan
antar keluarga ahli waris yang satu dengan yang lainnya.Hal ini berarti azas hidup
kebersamaan dan tolong-menolong menjadi lemah diantara keluarga ahli waris
tersebut. Hal ini kebanyakan terjadi dikalangan masyarakat adat yang berada di
perantauan, dan telah berada jauh dari kampung halamannya.
b. Sistem Pewarisan Kolektif
Yang merupakan ciri dari pewarisan kolektif ini adalah bahwa harta warisan
itu diwarisi atau lebih tepatnya dikuasai sekelompok ahli waris dalam keadaan
tidak terbagi-bagi, seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga/kerabat
(badan hukum adat).Harta peninggalan seperti ini disebut “harta pusaka” di
Minangkabau atau “harta menyanak” di Lampung.
Dalam sistem ini, harta warisan orangtua (harta pusaka rendah) atau harta
peninggalan seketurunan atau suku dari moyang asli (marga geonologis) tidak
dimiliki secara pribadi oleh ahli waris yang bersangkutan.Akan tetapi para
anggota keluarga/kerabat hanya boleh memanfaatkan, misalnya tanah pusaka

Universitas Sumatera Utara

83

yang digarap bagi keperluan hidup keluarganya, atau rumah pusaka itu boleh
ditunggu dan didiami oleh salah seorang dari mereka yang sekaligus
mengurusnya.Hal ini sebelumnya dapat diatur berdasarkan persetujuan dan
kesepakatan para anggota keluarga/kerabat yang bersangkutan.
c. Sistem Pewarisan Mayorat
Yang merupakan ciri sistem pewarisan mayorat adalah harta peninggalan
orangtua (pusaka rendah) atau harta peninggalan leluhur kerabat (pusaka tinggi)
tetap utuh dan tidak dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris, melainkan
dikuasai oleh anak sulung laki-laki (mayorat pria) di lingkungan masyarakat
patrilineal seperti di Lampung dan juga di Bali, atau tetap dikuasai oleh anak
sulung perempuan (mayorat wanita) dilingkungan masyarakat matrilineal
Semendo di Sumatera Selatan dan Lampung. Sitem ini hampir sam dengan sistem
pewarisan kolektif dimana harta warisan tidak dibagi-bagi kepada ahli waris,
melainkan sebagai hak milik bersama. Bedanya pada sistem pewarisan mayorat
ini, anak sulung berkedudukan sebagai penguasa tunggal atas harta warisan
dengan hak dan kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan adik-adiknya
atas dasar musyawarah dan mufakat dari para anggota keluarga ahli waris
lainnya.
Sistem kewarisan mayorat, dikategorikan menjadi dua yaitu:
1.

Mayorat laki-laki apabila anak laki-laki sulung (keturunan laki-laki)
merupakan ahli waris tunggal, dimana terjadi didaerah Lampung,

Universitas Sumatera Utara

84

2.

Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat
pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal, daerahnya di masyarakat
tanah Semendo.

Hukum adat waris adalah salah satu aspek hukum dalam lingkup
permasalahan hukum adat yang meliputi norma-norma yang menetapkan harta
kekayaan baik yang materiil maupun immateriil, yang mana dari seorang tertentu
dapat diserahkan kepada keturunannya sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses
peralihan dari harta yang dimaksud.109
4.

Pelaksanaan Pembagian Waris Adat Pada Masyarakat Angkola

a.

Harta Waris
Harta waris menurut hukum adat Angkola di kabupaten Padanglawas Utara

adalah keseluruhan harta kekayaan pewaris, baik yang berwujud maupun tidak
berwujud. Barang-barang yang berwujud dapat dibagi atas dua bagian yaitu:
1. Harta rumah
2. Harta diluar rumah
Harta yang tidak berwujud adalah harta yang tidak dapat di tangkap panca
indera, contohnya kedudukan atau pangkat di dalam adat.
Dalam masyarakat Angkola di kabupaten Padanglawas utara sumber-sumber
dari harta warisan dibagi atas dua jenis yaitu:
a. Harta Pusako: adalah harta peninggalan nenek moyang secara turn temurun
atau harta bawaaan asal suami di dalam perkawinan yang dibawa kedalam
109

Tolib Setiady, Inti Sari Hukum adat Indonesia, Bandung,:Alfabeta, 2009, hal,281

Universitas Sumatera Utara

85

kehidupan keluarga menjadi harta warisan pusaka, pada umumnya berbentuk
sawah, ladang , dan rumah.
b. Harta pencarian bersama adalah harta pencarian bersama selama perkawinan,
harta pencarian bersama ini dapat berupa barang-barang bergerak seperti
hewan-hewan ternak dan lain-lain. Barang-barang tidak bergerak seperti
rumah, ladang, sawah dan lain-lain.
Harta pusako dalam perkawinan akan menjadi satu dengan harta pencarian
sebab harta pusako sudah menjadi hak dari suami yang yang telah melakukan
pembagian waris sebelumnya dan sudah hak suami sepenuhnya sehingga akan
diteruskan oleh keturunan mereka yang menjadi pewaris harta mereka. 110
Dalam hukum adat Angkola setiap keturunan akan mewariskan marga dari
Ayahnya. Dalam pembagian warisan pemberian-pemberian atau yang disebut
holong ate yang diberikan kepada istri menjadi hak milik, jika diwariskan kepada
keturunannya maka pemberian-pemberian tersebut akan berpindah ke marga lain.
Hal ini sepenuhnya akan menjadi hak milik dari turunannya, berbeda dengan
hukum adat batak Karo dimana harta tersebut setelah istri meninggal
dikembalikan kepada marga asalnya, istri hanya mempunyai hak pakai selama
hidupnya.
b. Proses Pewarisan

110

Wawancara dengan Tongku Adil harahap, tokoh adat Kabupaten Padanglawas Utara,
tanggal 12 november 2016

Universitas Sumatera Utara

86

Proses pewarisan, yaitu proses bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan
atau mengalihkan harta kekayaan yang ditinggalkan kepada para waris ketika
pewaris itu masih hidup dan pemakainya atau cara bagaimana melaksanakan
pembagian warisan kepada para waris setelah pewaris meninggal. Hal ini dapat
dijumpai dalam berbagai sistem hukum, baik hukum waris barat, hukum waris
Islam dan juga hukum adat. Tetapi dalam hukum adat yang masyarakatnya
menganut sistem pewarisan individual, ada dijumpai pengalihan harta waris pada
saat pewaris masih hidup atau disebut hibah, seperti pada masyarakat adat
Angkola di Kabupaten Padanglawas Utara, penerusan atau pengalihan harta
kekayaan dikala pewaris masih hidup ialah diberikannya harta kekayaan tertentu
sebagai dasar kebendaan untuk kelanjutan hidup kepada anak-anakyang akan
mendirikan rumah tangga baru (manjae) misalnya pemberian atau dibuatkannya
bangunan rumah, bidang-bidang tanah ladang, kebun atau sawah untuk laki-lak