Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Dan Pengelolahan Wakaf Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Di Kotamadya Medan Chapter III V

BAB III
PELAKSANAAN DAN PENDAFTARAN TANAH WAKAF DI KOTA
MEDAN

A. Pengertian Pendaftaran Tanah Wakaf
Demi menjamin adanya kepastian hukum dan hak atas tanah, UndangUndang

Pokok

Agraria

telah

menggariskan

adanya

keharusan

untuk


melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dan
sebagi tindak lanjut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961, yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat 1, memberikan
pengertian mengenai pendaftaran tanah sebagai berikut:
”Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengelolahan, pembukuan, dan penyajian, serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti hanya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah di atas, dapat diuraikan beberapa hal
yang menjadi tujuan dari pada pendaftaran tanah, diantaranya:
1. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak
atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang


Universitas Sumatera Utara

terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang
hak yang bersangkutan.
2. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
3. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang telah diuraikan pada angka 1
di atas merupakan tujuan utama dari pada pendaftaran tanah yang diperintahkan
oleh Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 19, disamping itu dengan
terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk terciptanya suatu
pusat

informasi

mengenai

bidang-bidang


tanah

sehingga

pihak

yang

berkepentingan termasuk pemerintah sendiri, dengan mudah dapat memperoleh
data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidangbidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah didaftar. Terselenggaranya
pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar perwujudan tertib administrasi di
bidang pertanahan.
Selaras dengan tujuan pendaftaran tanah yang telah diuraikan di atas
maka terhadap harta benda wakaf sendiri, khusunya benda tidak bergerak yaitu
berupa tanah juga harus didaftarkan, sehingga harta benda wakaf tersebut
memiliki kepastian hukum. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997
memberi batasan terhadap objek wakaf, yaitu bahwa wakaf tanah hanya dapat
dilakukan terhadap tanah hak milik saja, tidak mencakup harta lainya yang


Universitas Sumatera Utara

dimiliki oleh wakif. Selanjutnya demi untuk menjamin kepastian hukum
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 mengharuskan wakaf dilakukan
secara lisan dan tertulis dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
yang untuk selanjutnya dibuat akta ikrar wakaf. Dengan berdasarkan akta ikrar
wakaf yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, maka
selanjutnya tanah hak milik diajukan perubahannya ke Badan Pertanahan
Nasional setelah memenuhi syarat administrasinya untuk diubah menjadi
sertifikat wakaf. 47

B. Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Wakaf
Pelaksanaan perwakafan tanah di Indonesia masih tetap mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perwakafan tanah yang
terdahulu. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf Tentang Wakaf, ketentuan dalam Pasal 16 Ayat 1 huruf a dan
Ayat 2 yaitu ketentuan mengenai wakaf untuk benda tidak bergerak yang dalam
hal ini adalah tanah , dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Tentang Perwakafan Tanah
Milik;

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1997, Tentang Tata
Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik;
3. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, Tentang Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997;

47

Taufik Hamami, Loc.Cit.,hal.30

Universitas Sumatera Utara

4. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978, Tentang Pendelegasian
Wewenang Kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/Setingkat di
Seluruh Indonesia Untuk Mengangkat/Memberhentikan Setiap Kepala
Kecamatan KUA Kecamatan Sebagai PPAIW;
5. Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1987 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978.
6. Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1987 Tentang Bimbingan dan
Pembinaan Kepada Badan Hukum Keagamaan Sebagai Nadzir dan Badan
Hukum Keagamaan yang Memiliki Tanah;

7. Instruksi Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1989 Tentang Pembuatan Akta
Ikrar Wakaf dan Pensertifikatan Tanah Wakaf;
8. SK. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 15 Tahun 1990 Tentang
Penyempurnaan Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan
Tentang Perwakafan Tanah Milik;
9. Surat Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D.II/S/Ed/07/1981 Tentang
Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik;
10. Surat Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D.II/S/Ed/11/1981 Tentang
Petunjuk Pengisian Nomor Pada Formulir Perwakafan Tanah Milik.
Pemakaian peraturan terdahulu yang sudah ada tetap digunakan
dikarenakan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf belum ada
peraturan pelaksananya.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Abdul Ghofur Anshari, secara penerapan tata cara perwakafan
tanah dilakukan sebagai berikut:48
1. Perorangan atau badan hukum yang akan mewakafkan tanah miliknya
(sebagai calon wakif) datang sendiri dihadapan PPAIW untuk melaksanakan
ikrar wakaf. Apabila calon wakif tidak dapat datang kehadapan PPAIW

karena suatu sebab seperti sakit, sudah sangat tua dan lain-lain dpaat
membuat irar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten, letak tanah yang bersangkutan dihadapan
dua orang saksi, ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nazhir dihadapan
PPAIW;
2. Pada saat menghadap PPAIW tersebut, wakif harus membawa surat-surat
sebagai berikut:
a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah lainya seperti
surat IPEDA (girik, Petok, ketitir, dan sebagainya)
b. Surat keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan
setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak
termasuk sengketa
c. Surat keterangan pendaftaran tanah
d. Izin dari Bupati/ Kotamadya Kepala Daerah, Kepala Sub Direktorat
Agraria setempat

48

Abdul Ghofur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Pilar Media,
Yogyakarta, 2006, hlm.83.


Universitas Sumatera Utara

3) PPAIW kemudian meneliti surat-surat dan syarat-syarat tersebut, apakah
sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan),
meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nazhir;
4) wakif mengikrarkan kehendak wakif kepada nazhir yang telah disahkan ikrar
tersebut harus diucapkan dengan jelas dan tegas, serta dituangkan dalam
bentuk tertulis. Bagi wakif ang tidak dapat mengucapkan ikrarny, karena bisu
misalnya, wakif tersebut dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat,
kemudian mengisi formulir ikrar wakaf, kemudian semua yang hadir
menandatangani blanko ikrar wakaf. Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf
tersebut telah ditentukan di dalam Peraturan Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Tanggal 18 April No. Kep/D/75/78;
5) PPAIW segera membuat ikrar wakaf rangkap tiga dengan dibubuhi materai
dan salinan akta ikrar wakaf rangkap empat. Akta ikrar wakaf tersebut paling
sedikit memuat: nama dan identitas wakif, nama dan identitas nazhir, data
dan keterangan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Selanjutnya
selambat-lambatnya satu bulan sejak dibuatnya akta, akta tersebut wajib
disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Disamping membuat

akta, PPAIW membukukan semua itu dalam daftar akta ikrar wakaf dan
menyimpanya dengan baik bersama aktanya.
Setelah dilaksanakannya proses perwakafan tanah dengan diterbitkannya
akta ikrar wakaf, maka tahap selanjutnya adalah tahap pendaftaran harta benda
wakaf, dimana ketentuan pendaftaran harta benda wakaf ini telah diatur di dalam

Universitas Sumatera Utara

peraturan Kompilasi Hukum Islam Pasal 224, dimana adapun bunyinya adalah
sebagai berikut:
” setelah akta ikrar wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 223 Ayat 3 dan 4, maka Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas nama Nazhir yang bersangkutan diharuskan
mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan
perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan
kelestarian.”
Adapun yang dimaksud dalam ketentuan Pasal ini, dilakukannya
pendaftaran tanah wakaf di Kantor Agraria, PPAIW atas nama nadzir
mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang palin lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. 49

Pada pendaftaran tersebut, PPAIW haruslah melampirkan sertifikat yang
bersangkutan atau bila tidak ada boleh menggunakan surat-surat bukti
kepemilikan tanah yang ada, salinan akta ikrar wakaf yang dibuat oleh PPAIW
dan surat pengesahan nadzir. 50
Apabila nadzir terdiri dari kelompok orang, yang ditulis dalam buku tanah
dan sertifikatnya adalah nama orang-orang dari kelompok tersebut disertai
kedudukannya di dalam kepengurusan. Bila kelak ada nadzir yang meninggal
dunia, mengundurkan diri, atau diganti, maka harus diadakan penyesuaian
seperlunya berdasarkan pengesahan susunan nadzir yang dilakukan PPAIW.
Apabila nazhir itu adalah badan hukum maka yang ditulis dalam buku tanah dan
sertifikatnya adalah nama badan hukum tersebut.51

49

Ibid.,hlm.85
Ibid.,hlm.86
51
Ibid.,hlm.86

50


Universitas Sumatera Utara

C. Akibat Hukum Tidak Di Daftarkan Tanah Wakaf
Pendaftaran tanah wakaf sangatlah penting,

dimana pentingnya

pendaftaran tersebut dapat dilihat dari pada tujuan dari pendaftaran tanah
sebagaimana yang diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 yaitu bahwa tujuan dari
pada pendaftaran tanah yang salah satunya adalah memberikan jaminan kepastian
hukum bagi kepemilikan tanah.
Namun pada kenyataannya di lapangan masih banyak tanah-tanah wakaf
yang belum terdaftar, dimana hal ini dikarenakan ada kecendurungan dalam
masyarakat bahwa mereka berpikir tanpa proses sertifikasi dan hanya
berlandaskan janji tertulis dari si wakif saja suduh cukup untuk memberikan
jaminan kepastian hukum bagi tanah wakaf, selain itu ditambah lagi banyaknya
para tokoh-tokoh agama yang masih belum memahami tentang sertifikasi tanah
wakaf ini, serta sosialisasi dari pemerintah mengenai pendaftaran tanah wakaf
yang masih kurang membuat masyarakat merasa enggan untuk melakukan
sertifikasi tanah wakaf.
Selain karena pola pikir masyarakat yang masih kurang memahami
tentang sertifikasi tanah wakaf, banyaknya tanah wakaf yang tidak terdaftar di
Indonesia juga disebabkan karena proses birokrasi dalam sertifikasi tanah wakaf
yang terbilang cukup rumit dan berbelit-belit, yang memakan cukup banyak
biaya, waktu, tenaga, serta pikiran, sehingga menyebabkan masyarakat malas
untuk melakukan sertifikasi tanah wakaf. 52

52

Depag, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf, Jakarta, Dirjen Bimbingan Masyarakat
dan Haji, 2004, hlm. 58

Universitas Sumatera Utara

Melihat berbagai faktor penyebab banyaknya tanah wakaf yang tidak terdaftar
sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat
kesadaran hukum masyarakat akan pentinganya pendaftaran tanah wakaf di
Indonesia yang masih rendah. Akibat hukum yang timbul dari rendahnya tingkat
kesadaran masyarakat dalam melakukan sertifikasi tanah wakaf adalah tidak
terjaminya kepastian hukum bagi kepemilikan tanah wakaf tersebut, sehingga
bisa jadi kapan saja tanah-tanah wakaf tersebut dapat beralih ke tangan orang
lain, selain itu juga akibat hukum yang timbul dari rendahnya tingkat kesadaran
masyarakat dalam melakukan sertifikasi tanah wakaf dapat menyebabkan
banyaknya timbul sengketa-sengketa mengenai tanah wakaf di pengadilan yang
proses penyelesaiannya berlarut-larut dan memakan banyak biaya. 53
Berangkat dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa proses sertifikasi
tanah wakaf, merupakan suatu proses yang cukup penting bagi keberlangsungan
tanah wakaf itu sendiri, meskipun sebagaimana yang diketahui bahwa proses
sertifikasi tanah wakaf banyak memakan waktu dan biaya, namun mau ataupun
tidak mau masyarakat harus menjalankannya, agar tanah yang diwakafkan dapat
terjamin kepastian hukumnya.

D. Perubahan Peruntukan Harta Benda Wakaf
Mengenai perubahan peruntukan harta benda wakaf itu sendiri dapat
ditinjau dari 2 (dua) sumber yaitu:
1) Ditinjau dari hukum islam (fiqih)

53

Ibid.,hlm.60

Universitas Sumatera Utara

Harta benda wakaf itu sendiri bersifat kekal, artinya bahwa manfaat dari
harta wakaf itu boleh dinikmati, akan tetapi harta wakafnya sendiri tidak boleh
diasingkan, bila timbul masalah misalnya harta wakaf sudah tidak bermanfaat
lagi apabila harta tersebut dipindahkan, contohnya dijual.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa apabila wakaf telah terjadi, maka harta
wakaf tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu
yang menghilangkan kewakafannya, apabila orang yang berwakaf meninggal
dunia, harta wakaf tidak boleh diwariskan sebab yang demikian inilah yang
dikehendaki oleh wakaf, sebagaimana yang diucapkan Rasulullah SAW,
sebagaimana yang tertuang dalam hadist Ibnu Umar bahwa “ tidak dijual, tidak
dihibahkan, dan tidak diwariskan. 54
Menurut Imam Ahmad bin Hanbali, apabila manfaat wakaf itu dapat
dipergunakan, maka wakaf itu boleh dijual dan uangnya dibelikan kepada
gantinya, misalnya: 55
a. Mengganti atau mengubah mesjid;
b. Memindahkan mesjid dari satu kampung kekampung yang lain;
c. Dijual dan uangnya untuk mendirikan masjed dikampung lain;
d. Karena kampung yang lama tidak berkehendak lagi kepada mesjid, misalnya
sudah rubuh, hal tersebut jika dilihat dari kemasalahatannya.
Berdasarkan dua pendapat di atas maka dapat dilihat perbedaannya
dimana pendapat yang pertama mengatakan bahwa wakaf tidak boleh dijual,
dihibahkan serta diwariskan, namun untuk pendapat yang kedua perubahan
54

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 14, alih bahasa Mudzkir, PT. Alma’arif , Bandung,
1996, hal.156
55
Ibid.,hal.157

Universitas Sumatera Utara

peruntukan hanya diperbolehkan dilakukan dengan cara diperjualkan harta wakaf
tersebut, dan uang hasil penjualan wakaf tersbut digunakan untuk mengganti
harta benda wakaf yang telah dijual tadi.
2. Ditinjau dari peraturan perundang-undangan di Indonesia
Memanfaatkan harta benda wakaf berarti menggunakan benda wakaf
tersebut, sedangkan benda aslinya/ pokoknya tetap tidak boleh dijual, dihibahkan,
dan diwariskan, namun apabila suatu ketika benda wakaf itu sudah tidak ada
manfaatnya dan/atau kurang memberikan manfaat demi kepentingan umum
kecuali harus melakukan perubahan pada benda wakaf tersebut seperti menjual,
merubah bentuk dan/atau sifat, memindahkan ketempat lain atau menukar dengan
benda lain.
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
wakaf, juga mengatur perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah
dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud dari pada wakaf itu
sendiri. Secara prinsip, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan menurut
ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
dilarang:
a. dijadikan jaminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual
e. diwariskan;
f. ditukar; atau

Universitas Sumatera Utara

g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainya.
Namun ketentuan yang telah diuraikan di atas tersebut dapat dikecualikan
apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan
umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), serta berdsarkan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku

dan tidak

bertentangan dengan syari’ah sebagaimana yang diatur pada Pasal 41 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Selanjutnya pada Ayat
(2) dikatakan bahwa pelaksanaan yang dimaksud pada Ayat 1 hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh ijin tertulis dari Menteri dan persetujuan Badan
Wakaf Indonesia (BWI).
Pada Pasal 41 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf dikatakan bahwa harta benda wakaf yang telah diubah statusnya karena
ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat
dan nilai tukar sekurang-kurangnya telah sama dengan harta benda wakaf semula.
Oleh karena itu, dengan demikian perubahan benda wakaf pada prinsipnya bisa
dilakukan selama memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan mengajukan
alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang
berlaku.
Ketatnya prosedur perubahan benda wakaf itu sendiri bertujuan untuk
meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan harta wakaf,
agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan eksistensi harta benda
wakaf itu sendiri, sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat banyak.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PENYELESAIAN MASALAH PEMINDAHAN TANAH WAKAF
AKIBAT DARI PROYEK PELEBARAN JALAN

A. Gambaran Umum Masjid Al-Fallah
Mesjid Al-Fallah merupakan mesjid yang letaknya berada di Jalan
Cemara, Kota Medan. Mesjid Al-Fallah didirikan di atas tanah milik ahli waris
Pak Ilyas setelah mendapatkan ganti rugi dari Pemerintah Kota Medan, karena
adanya proyek pelebaran jalan. Mesjid Al-Fallah ini didirikan di atas tanah yang
luasnya lebih kurang 20x30 meter.56
Adapun susunan pengurus/ badan Kenadziran mesjid Al-Fallah itu sendiri
adalah sebagai berikut: 57
1. Pak Ariyanto sebagai Ketua BKM Mesjid Al-Fallah
2. Pak Roni sebagai Sekretaris BKM Mesjid Al-Fallah
3. Pak Zulfan Sebagai Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah
Mesjid Al-Fallah sendiri berdiri dengan maksud dan tujuan agar mesjid
dapat menjadi wadah atau tempat berkumpulnya masyarakat dalam menjalankan
kegiatan keagamaan, bagi umat islam, yaitu seperti melaksanakan acara Maulid
Nabi Muhammad Saw, Pengajian, Qurban, serta acara-acara keagamaan lainya.
Serta kedepannya diharapkan Mesjid Al-Fallah ini menjadi tempat pendidikan
keagamaan bagi anak-anak seperti mendirikan madrasah.

58

56

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017
Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017
58
Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017
57

Universitas Sumatera Utara

B. Sejarah Mesjid Al-Fallah
Mesjid Al-Fallah dahulunya adalah suatu Musholla kecil yang didirikan
pada tahun 1970-an yang berada dijalan cemara, Kota Medan. Musholla AlFallah sendiri didirikan di atas tanah sertifikat hak milik Pak Ilyas, yaitu seorang
pensiunan TNI, yang pada awal mulanya mengapa

Pak Ilyas mewakafkan

tanahnya, dikarenakan Pak Ilyas merasa prihatin melihat warga sekitar yang
harus menempuh jarak yang lumayan jauh hanya untuk beribadah, oleh karena
itu berangkat dari rasa keprihatinan tersebut muncul niat Pak Ilyas untuk
mewakafkan sebagaian tanahnya untuk tempat beribadah. 59
Sebelum menjadi mesjid yang cukup besar seperti yang saat sekarang ini
Mesjid Al-Fallah hanyalah sebuah Mushollah kecil yang hanya berdindingkan
papan kayu, serta hanya mampu menampung puluhan orang saja untuk dapat
melaksanakan Ibadah di dalam mesjid tersebut. Pada awal berdirinya mushollah
Al-Fallah ini didirikan di atas tanah yang berukuran 15x15 meter milik tanah Pak
Ilyas.
Pada saat mewakafkan tanahnya tersebut Pak Ilyas pernah mengatakan
bahwa tanah tersebut adalah benar miliknya dengan bukti segel yang
ditandatangani oleh Camat Medan Barat Abdul Rasyidin. Sejak berdirinya
musholla tersebut hingga tahun 2011-an belum pernah terjadi permasalahan di
atas tanah tersebut, namun pada pertengahan tahun 2011 persoalan muncul di
atas tanah wakaf Mushollah Al-Fallah, yang dimana kemunculan persoalan
tersebut diakibatkan karena masyarakat sekitar Musholla Al-Fallah tidak terima

59

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara

Musholla Al-Fallah akan dirobohkan karena terkena imbas dari proyek pelebaran
jalan pemerintah kota medan. 60
Keberadaan Musholla Al-Fallah sendiri jika dilakukan pelebaran jalan
oleh pemerintah kota medan tepat berada di tengah-tengah badan jalan, sehingga
mau tidak mau pemerintah kota medan harus merobohkan musholla tersebut,
yang kemudian nantinya akan dipindahkan. Namun warga menolak kebijakan
pemerintah tersebut, karena menurut warga jika Musholla Al-Fallah dirobohkan
kemana lagi mereka akan melaksanakan ibadahnya, karena masih belum jelasnya
Mushollah Al-Fallah tersebut akan dipindahkan. 61
Akhirnya melihat hal tersebut pemerintah berinisiatif untuk melakukan
musyawarah dengan warga sekitar Mushallah Al-Fallah, yang diwakilkan oleh
pengurus mushollah. Setelah dilakukan proses musyawarah akhirnya disepakati
bahwa Musholah Al-Fallah akan dipindahkan di tanah milik ahli waris Pak Ilyas,
dan pemerintah akan meningkatkan status mushollah menjadi mesjid dengan
membangun lebih besar lagi mushollah tersebut, dan semua biaya pembangunan
serta pembelian tanah milik ahli waris Pak Ilyas di tanggung oleh pemerintah
sebagai ganti rugi pemindahan Mushollah Al-Fallah. Melihat hal tersebut
menurut Pak Zulfan hasil musyawarah yang dilakukan antara warga sekitar
mesjid yang dalam hal ini diwakili oleh anggota pengurus mushalla dengan
pemerintah, sangatlah memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar
Musholla Al-Fallah, sehingga akhirnya banyak warga yang setuju agar musholla

60
61

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017
Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara

dipindahkan dan ditingkatkan statusnya menjadi mesjid, namun meskipun begitu
masih ada juga yang tidak setuju apabila masjid dipindahkan. 62

C. Penyelesaian Masalah Pemindahan Tanah Wakaf
Ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pada
esensinya tidak jauh berbeda dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977, hanya saja pada Undang-Undang Wakaf memberikan alternatif
penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi, arbitrase, dan jalan terakhir
melalui lembaga pengadilan. Pada dasarnya jalan utama dalam penyelesaian
sengketa wakaf adalah melalui jalan musyawarah untuk mencapai mufakat,
sebagaimana yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Wakaf
yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat, dan apabila penyelesaian sengketa melalui
musyawarah tidak berhasil, penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui
proses mediasi, arbitrase, dan pengadilan. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 62
Undang-Undang Wakaf dikatakan bahwa adapun yang dimaksud dengan mediasi
adalah penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh
para pihak yang bersengketa. Dalam hal apabila proses mediasi tidak berhasil
dalam menyelesaikan sengketa, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat
dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal apabila badan arbitrase syariah
tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat diajukan ke
Pengadilan Agama dan/atau Mahkamah Syariah.

62

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara

Ketentuan pasal 62 Undang-Undang wakaf tersebut sejalan dengan
ketentuan Pasal 49 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana
yang telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama, yang menyebutkan bahwa ”Pengadilan Agama bertugas
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama islam di bidang:
1. perkawinan;
2. waris;
3. wasiat;
4. hibah;
5. wakaf;
6. zakat;
7. infaq;
8. shadaqoh; dan
9. ekonomi syariah.
Mengenai teknis dan tata cara pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama,
dilakukan menurut ketentuan yang berlaku. Kemudian Pasal 229 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa ” Hakim dalam menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguhsungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya
sesuai dengan rasa keadilan.”
Pengajuan tuntutan ke pengadilan bagi pihak yang merasa haknya
dilanggar merupakan suatu keharusan untuk menjamin adanya kepastian hukum,

Universitas Sumatera Utara

pengadilan sebagai tempat terakhir bagi pencari keadilan dan dianggap dapat
memberikan suatu kepastian hukum karena putusan pengadilan memiliki
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Pada Mesjid Al-Fallah sendiri yang merupakan objek penelitian dalam
penulisan skripsi ini sendiri, adapun permasalahan yang dihadapi adalah karena
pihak warga dan/atau masyarakat yang berada di sekitar mesjid menolak untuk
dilakukannya pemindahan Mesjid Al-fallah yang didirikan di atas tanah wakaf,
yang dimana pemindahan tersebut dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan
(Pemko Medan), karena pada saat itu Pemko Medan akan melakukan proyek
pelebaran jalan. 63
Menurut Pak Zulfan selaku Bendahara Badan Kenadziran Mesjid (BKM)
Mesjid Al-Fallah sendiri, proses penyelesaian masalah pemindahan tanah wakaf
antara warga masyarakat sekitar mesjid dengan Pemko Medan sempat menemui
berbagai hambatan, namun akhirnya pihak BKM Mesjid Al-Fallah beserta
Pemko Medan mencari solusi bersama dalam upaya penyelesaian sengketa
dengan mengadakan musyawarah antara pihak BKM Mesjid Al-Fallah dengan
Pemko Medan. Berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan antara BKM
Mesjid Al-Fallah dengan Pemko Medan, akhirnya ditemukan beberapa
kesepakatan antara kedua belah pihak, yang dimana adapun kesepakatan yang
dihasilkan diantaranya: 64

63
64

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017
Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara

1. Pihak pemerintah akan memberikan ganti kerugian yang berupa pembelian
tanah milik ahli waris Pak M. Ilyas, yang berada tepat dibelakang Mesjid AlFallah seharga Rp. 3.000.000.000.000 (tiga milyar rupiah), dengan luas tanah
20x30 Meter;
2. Pihak pemerintah bersedia untuk membangun kembali Mesjid Al-Fallah,
dengan biaya-biaya pembangunan yang dibebankan kepada Pemko Medan;
3. Pihak pemerintah bersedia untuk mengurus segala dokumen-dokumen
perizinan terkait perubahan status hak milik tanah yang sebelumnya
merupakan tanah milik ahli waris Pak Ilyas menjadi tanah wakaf;
4. Pihak pemerintah bersedia untuk tidak merubuhkan Masjid Al-Fallah,
sebelum proses pembangunan bangunan pengganti Mesjid Al-Fallah telah
siap sampai bangunan itu terbilang layak untuk digunakan dalam
mengerjakan kegiatan ibadah.
Berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang telah diuraikan di atas, oleh
pemerintah dijadikan dasar untuk memindahkan mesjid Al-Fallah, yang semula
posisinya tepat berada ditengah-tengah jalan apabila dilakukan pelebaran jalan,
menjadi mundur kepinggiran jalan. Menurut Pak Zulfan kesepakatankesepakatan yang ditwarkan pemerintah sangatlah menguntungkan masyarakat
sekitar, sehingga masyarakat bisa menerima keputusan pemerintah untuk
memindahkankan Mesjid Al-Fallah demi pelebaran jalan untuk kepentingan
umum. 65

65

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara

D. Hambatan dan Solusi Dalam Penyelesaian Masalah Pemindahan Tanah
Wakaf
Pada praktiknya di lapangan penyelesaian terhadap perselisihan wakaf ini
sering sekali banyak dijumpai hambatan-hambatan dalam penyelesaiannya,
hambatan-hambatan tersebut bisa datang dari berbagai pihak, baik itu pihak
nazhir mesjid, wakif, ahli waris wakif, ataupun dari pihak pemerintah sendiri.
Pada Mesjid Al-Fallah yang berada di jalan cemara sendiri proses penyelesaian
perselisihan dilakukan melalui proses musyawarah mufakat antara pihak BKM
Mesjid Al-Fallah dengan pemerintah, dalam proses musyawarah tersebut tidak
banyak dijumpai hambatan-hambatan yang berarti, akan tetapi meskipun begitu
menurut Pak Zulfan ada beberapa hal-hal yang menyebabkan proses musyawarah
menjadi terhambat, yang diantaranya: 66
1. Adanya beberapa warga yang masih tetap tidak menerima Mesjid Al-Fallah
dipindahkan demi proyek pemerintah yaitu pelebaran jalan, karena menurut
mereka apabila mesjid tersebut dirubuhkan, maka hal itu dapat menimbulkan
dosa, serta menurut mereka lebih baik pemerintah mencari

alternatif jalan

yang lain, tanpa harus merobohkan mesjid Al-Fallah;
2. Proses tawar menawar besaran ganti rugi yang dilakukan antara pemerintah
dengan ahli waris Pak Ilyas yang menemui sedikit hambatan, dimana ada
beberapa dari ahli waris Pak Ilyas yang masih tidak mau menjual tanahnya
dengan alasan ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka yang
masih terlalu sedikit, sementara menurut perhitungan nilai jual tanah pada
66

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara

lingkungan cemara terbilang tinggi, apalagi tanah tersebut posisinya tepat
berada di jalan besar;
Meskipun penyelesaian sengketa wakaf tanah pada praktiknya sering
sekali dijumpai hambatan-hambatan, akan tetapi setiap hambatan pasti ada solusi
terbaik untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi, dimana pada kasus Mesjid
Al-Fallah yang berada di Jalan Cemara, adapun beberapa solusi penyelesaian
hambatan-hambatan yang terjadi, antara lain: 67
1. Terhadap hambatan yang pertama solusi yang dilakukan adalah dengan
memberikan pemahaman kepada masyarakat yang tidak mau mesjid
dirobohkan bahwasanya lingkungan Mesjid Al-Fallah masuk ke dalam zona
untuk dilakukan pelebaran jalan, sehingga mau tidak mau pemerintah harus
tetap menjalankan pemindahan terhadap Mesjid Al-Fallah, serta masyarakat
sekitar juga harus menerima keputusan pemerintah tersebut, karena proyek
pelebaran jalan yang dilakukan pemerintah demi kepeningan umum,
sementara yang kita ketahui prinsi dasar Hukum Agraria di Indonesia adalah
apabila kepentingan umum menghendaki maka kepentingan khusus dapat
dikesampingkan, dan apabila di cari jalan lain untuk dilakukan pelebaran,
dikhawatirkan ganti rugi yang

harus dikeluarkan pemerintah

bisa

membengkak, sementara diketahui bahwa anggaran yang dimiliki pemeritah
untuk proyek pelebaran jalan terbatas.

67

Pak Zulfan, Wawancara, Bendahara BKM Mesjid Al-Fallah, Kamis, 26 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara

2. Terhadap hambatan yang kedua solusi penyelesaiannya adalah bahwa
pemerintah memberikan besaran ganti rugi yang cukup menguntungkan ahli
waris yaitu dengan harga ganti rugi sedikit di atas Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) tanah-tanah dijalan cemara, dimana menurut Pak Zulfan diketahui
bahwa ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah kepada ahli waris adalah
sebesar Rp. 3.000.000.000 (tiga milyar rupiah).

Universitas Sumatera Utara

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas tadi maka dapat
diambil beberapa kesimpulandalam skripsi ini, adapun kesimpulan dalam
penulisan skripsi ini, antara lain:
1. Bahwa perkembangan pelaksanaan wakaf di Indonesia tidak terlepas dari
perkembangan agama islam di Indonesia, yang dibawak oleh para pedagang
yang berasal dari timur tengah, dasar hukum pelaksanaan wakaf sendiri,
secara tersirat diatur dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj, Al- Baqarah, dan Surat
Ali-Imran, namun secara tegas perintah pelaksanaan wakaf terdapat didalam
hadi-hadis rasullullah SAW, di Indonesia sendiri pengaturan wakaf sudah ada
sejak zaman penjajahan kolonial Belanda yaitu diatur di dalam Surat Edaran
Gubernurmen Nomor 435Bijblad No. 6195/1905 Tentang Toezichat Op Den
Bow Van Muhammedeensche Bedelhuizen, memasuki era proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia pengaturan wakaf semula diatur dalam PP
Nomor 28 Tahun 1977, akan tetapi keberadaan PP ini dirasa masih belum
cukup lengkap karena PP ini hanya mengatur mengenai wakaf tanah saja, dan
barulah tahun 2004 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, dimana Undang-Undang ini dijadikan payung
hukum dalam pelaksanaan wakaf di Indonesia;

Universitas Sumatera Utara

2. Bahwa tata cara perwakafan dan pendaftaran wakaf di Indonesia, masih
mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, PP Nomor
28 Tahun 1977, serta Kompilasi Hukum Islam, tata cara perwakafan dan
pendafaran wakaf dilakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu tahap perwakafan
dimana tahap ini merupakan tahap terbitnya akta ikrar wakaf yang dilakukan
oleh wakif

dihadapan PPAIW, setelah tahap perwakafan maka tahap

selanjutnya adalah tahap pendafaran wakaf, yang dilakukan oleh PPAIW
sebagai perwakilan para Nadzir yang dilakukan ke Badan Pertanahan Negara
(BPN), setelah mendapatkan permohonan dari PPAIW selanjutnya BPN
menerbitkan sertifikat wakaf.
3. Bahwa penyelesaian perselisihan wakaf dapat dilakukan dengan cara litigasi
dan non litigasi, dimana mula-mula penyelesaian perselisihan berdasarkan
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dilakukan dengan cara
musyawarah, apabila musyawarah tidak berhasil barulah melalui proses
mediasi, Arbitrasi dan apabila masih belum dapat terselesaikan juga maka
ditempuh jalan terakhir yaitu proses litigasi melalui lembaga peradilan,
dimana peradilan yang paling berwenang menanganinya adalah Pengadilan
Agama. Pada sengketa Mesjid Al-Fallah sendiri yang merupakan penelitian
dalam skripsi ini, penyelesaian permasalahan pemindahan tanah wakaf
dilakukan dengan cara musyawarah antara warga yang dalam hal ini diwakili
oleh pengurus musholla dengan pemerintah kota Medan.

Universitas Sumatera Utara

B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat disampaikan oleh penulis, dalam
penulisan skripsi ini, antara lain:
1. Bahwa Tanah yang telah diwakafkan sebaiknya dilakukan pendaftaran ke
BPN, dimana pendaftaran ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
bagi pemegang sertifikat wakaf, serta dengan dilakukannya pendaftaran
wakaf maka dapat memperkecil timbulnya sengketa.
2. Bahwa sebaiknya proses perwakafan dan pendaftaran wakaf dilakukan sesuai
dengan prosedur yang telah diatur dan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, jangan sampai ada salah satu prosedur
yang terlewatkan karena apabila salah satu prosedur terlewatkan maka hal ini
dapat berdampak pada proses perwakafan menjadi cacat hukum sehingga
proses perwakafan menjadi tidak sah secara hukum dapat dapat diminta
pembatalan perwakafannya melalui pengadilan;
3. Bahwa sebaiknya pemerintah lebih mensosisalisasikan lagi persoalan hukum
perwakafan kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat menjadi lebih
mengetahui tentang wakaf, sehingga apabila masyarakat telah mengetahui
diharapkan sengketa-sengketa mengenai perwakafan dapat diminimalisir.

Universitas Sumatera Utara