Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Dan Pengelolahan Wakaf Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Di Kotamadya Medan

BAB II
PERKEMBANGAN PENGATURAN PELAKSANAAN WAKAF

A. Dasar Hukum Pelaksanaan Wakaf
Pelaksanaan wakaf di Indonesia tidak terlepas dari pada pengaruh agama
islam di Indonesia, dimana hal ini dapat dilihat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan
Al-Hadis, yang merupakan sumber hukum islam. Dalam Al-Qur’an sendiri
landasan pelaksanaan wakaf terdapat dalam ayat-ayat, antara lain: 30
1. Q.S. Ali Imran Ayat 92
Artinya: kamu sekalian tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebagian dari harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah maha mengetahui.
2. Q.S. Al Baqarah Ayat 267
Artinya: hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah ( di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik dan sebagian yang kami keluarkan
dari bumi untuk kamu.
3. Q.S. Al-Hajj Ayat 77
Artinya: dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan
Selain dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mendorong umat manusia berbuat
baik untuk kebaikan orang lain dengan membelanjakan atau menyedekahkan
harta, para ulama menyandarkan persoalan wakaf ini kepada sumber hukum yang

kedua yaitu Hadist Nabi Muhammad SAW., adapun Hadist Nabi Muhammad
30

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, Alma Arif,
Bandung, 1987, hal.5

Universitas Sumatera Utara

SAW., yang menjadi landasan dalam pelaksanaan wakaf sendiri adalah sebagai
berikut, yang diantaranya: 31
1. Dari Abu Hurairah, bahwa Rasullullah bersabda: bahwa manusia mati maka
terputuslah amalanya, kecuali dari 3 (tiga) perkara yaitu sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan kepadanya.
Hadist di atas bermakna bahwa amal orang yang telah mati ini terputus
pembaharuan pahalanya kecuali ketiga perkara ini karena ketiganya itu
berasal dari nasab keturunan : anak yang dimiliki, dan sedekah jariyahnya
yang kesemuanya berasal dari usahanya.
2. Dari Ibnu Umar Ibnu Al-Khatab yang mempunyai sebidang tanah di Khaibar,
lalu ia datang kepada nabi untuk meminta nasihat tentang hartu itu seraya
berkata :”Ya Rasullullah sesungguhnya aku telah mendapat sebidang tanah di

Khaibar yang aku belum pernah memperoleh tanah seperti itu. Rasullullah
berkata: ” jika engkau mau wakafkanlah tanah itu sedekahkanlah hasilnya.
Berkata Ibnu Umar : maka Umar mewakafkan tanah itu untuk orang fakir,
kepada kerabat, kepada budak untuk jalan Allah, kepada orang terlantar dan
tamu. Tidaklah orang yang mengurusi (nadzir) memakan sebagian harta itu
secara patut atau memberi pakan sebagian dari pada harta asalah tidak
bermaksud untuk mencari kekayaan. Para ulama salaf bersepakat bahwa
wakaf itu sah adanya dan wakaf Umar di Khaibar itu adalah wakaf yang
pertama terjadi di dalam islam.

31

Abdurahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal.18

Universitas Sumatera Utara

3. Dari Ustman ra., bahwa ia mendengar bahwa Rasullullah bersabda:” barang
siapa yang menggali sumur rumah maka baginya surga. Ustman berkata:”
maka sumur itupun aku gali. Dalam suatu riwayat Al-Baqhowi: bahwa

seseorang laki-laki dari Bani Giffar mempunyai sebuah mata air yang
dinamakan Raumah, sedang ia menjual satu kaleng dari airnya dengan harga
satu mud. Maka Rasullullah berkata kepadanya:” maukah engkau menjualnya
kepada dengan satu mata air dalam surga? orang itu menjawab: wahai
Rasullullah aku dan keluargaku tidak mempunyai apa-apa selain itu. Berita
itu disampaikan kepada Ustman, lalu Ustma n membelinya dengan harga 35
ribu dirham, lalu datanglah Ustman kepada nabi lalu berkata:”maukah engkau
menjadikan bagiku sepeti apa yang hendak engkau jadikan sumur itu wakaf
bagi kaum muslimin.
Selain terdapat di dalam surat-surat Al-Qur’an dan Al-Hadist, pada zaman
penjajahan kolonial Belanda wakaf juga sudah mulai dikenal di Indonesia, hal ini
dibuktikan dengan dikeluarkanya Surat Edaran Sekretaris Gubernemen No.435
yang termuat dalam Bijblad No. 6195/1905 Tentang Toezichat Op Den Bow Van
Muhammedeensche Bedelhuizen, yang berlaku di seluruh Pulau Jawa dan
Madura terkecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta, dimana dalam surat
edaran ini dijelaskan bahwa dalam mendirikan tanah wakaf harus mendapatkan
persetujuan Bupati. surat edaran ini masih belum berlaku efektif, akan tetapi
masih dipertahankan selama 25 tahun. 32

32


Abdul Ghofur Ansori, Hukum dan Praktik Perwakafan Di Indonesia, Pilar Media,
Yogyakarta, 2005, hal.40

Universitas Sumatera Utara

Selain Surat Edaran Sekretaris Gubernemen No.435, pemerintah kolonial
Belanda juga mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 4 Juni
1931 Nomor 1361/A yang termuat dalam Bijblad No. 125/3 Tahun 1931 Tentang
Toezicht Van De Regering Op Mohammedansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en
Wakafs, dimana dalam surat edaran ini menjelaskan bahwa untuk mendirikan
tanah wakaf harus mendapatkan izin dari Bupati untuk tidak bertentangan dengan
kepentingan umum. 33Selanjutnya Surat Edaran yang dikeluarkan pada zaman
penjajahan kolonial Belanda yang mengatur mengenai wakaf di Indonesia adalah
Surat Edaran Gubernemen Tanggal 24 Desember 1934 No.3088/A yang termuat
dalam Bijblad No. 13990 Tahun 1934 Tentang Toezicht De Regering Op
Mohammadansche Bedehuizan Vrijdagdiensten en Wakafs, dimana surat edaran
ini menjelaskan bahwa wakaf supaya diberitahukan kepada Bupati untuk dicatat
dan dibebaskan dari pajak. 34
Memasuki proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, peraturan

mengenai wakaf sebagaimana yang telah diuraikan di atas masih tetap berlaku,
dimana hal ini berdasarkan bunyi Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945. Selain peraturan-peraturan pemerintah kolonial belanda mengenai
wakaf yang masih tetap berlaku, pada era proklamasi kemerdekaan ini juga
pemerintah Indonesia membentuk Departemen Agama (Jawatan Urusan Agama),
sehingga dengan dibentuknya Departemen Agama segala persoalan mengenai
wakaf menjadi wewenang Departemen Agama sebagaimana yang diatur dalam
PP No.33 Tahun 1949 Jo PP No.8 Tahun 1950, pada perkembangan selanjutnya
33
34

Ibid.,hal.40
Ibid.,hal.40

Universitas Sumatera Utara

Departemen Agama mengeluarkan Surat Edaran Jawatan Urusan Agama No. 5 D
Tahun 1956, dimana surat edaran ini menginstruksikan bahwa urusan mengenai
perwakafan diserahkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA), dimana dalam
surart edaran ini KUA dianjurkan untuk membantu orang-orang yang akan

mewakafkan hartanya lengkap dengan prosedur perwakafanya. 35
Selanjutnya pada tahun 1960, pemerintah Indonesia menerbitkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, dimana dengan
lahirnya Undang-undang ini membawa perubahan yang mendasar bagi sistem
pertanahan di Indonesia, hal ini juga berdampak bagi pengaturan wakaf tanah di
Indonesia, dimana sebagaimana amanat Pasal 49 Ayat 3 UUPA yang
menyebutkan bahwa ” perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dalam suatu
peraturan pemerintah”, sehingga berdasarkan amanat Pasal 49 Ayat 3 UUPA
tersebut maka pemerintah menindaklanjutkanya dengan mengeluarkan PP No. 28
Tahun 1977 Tentang Wakaf Tanah, dimana dengan lahirnya PP No. 28 Tahun
1977 ini, semua peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial
Belanda yang bertentangan dengan PP No. 28 Tahun 1977 dinyatakan tidak
berlaku lagi, akan tetapi PP No. 28 Tahun 1977 ini hanya mengatur mengenai
wakaf tanah dan tidak mengatur wakaf selain tanah. 36
Seiring dengan diluaskannya kompetensi Pengadilan Agama, maka
urusan perwakafan juga diatur dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam, tertanggal 22 Juli 1991. Sementara untuk melaksanakan
Inpres ini Menteri Agama telah mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung No.
35
36


Ibid.,hal.50
Ibid.,hal. 51

Universitas Sumatera Utara

154 Tahun 1991, yang menyatakan bahwa ” semua instansi Departemen Agama
dan dan instansi pemerintah lainya yang terkait supaya menyebarluaskan
Kompilasi Hukum Islam”. Lahirnya Kompilasi Hukum Islam ini erat kaitanya
dengan disahkanya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama yang memberikan kompetensi lebih luas kepada Pengadilan Agama dan
menjadikan kedudukanya sama dengan pengadilan kompetensi sebelumnya yang
hanya dibidang perkawinan, yang kemudian diperluas dibidang kewarisan,
wakaf, hibah, dan wasiat. 37
Perkembangan selanjutnya, karena pemerintah masih merasa bahwa
hanya dengan peraturan wakaf yang ada, peraturan-peraturan tersebut dirasa
masih belum cukup lengkap dan belum cukup untuk dijadikan payung hukum
mengenai perwakafan di Indonesia, maka atas dasar hal itulah pada Tanggal 27
Oktober 2004 pemerintah Indoensia menerbitkan Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf, dengan lahirnya Undang-Undang Wakaf ini maka semua
peraturan mengenai wakaf masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan

dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru. 38

B. Harta Benda Dalam Wakaf
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004, adapun yang dimaksud dengan harta benda wakaf adalah:
” Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama
dan/atau manfaat jangka panjang serta memiliki nilai ekonomi menurut
syariah yang diwakafkan oleh wakif.”
37
38

Ibid.,hal.55
Ibid.,hal.56

Universitas Sumatera Utara

Menurut ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, harta benda wakaf itu sendiri terdiri atas:
2. Benda tidak bergerak
Adapun yang dimaksud dengan benda tidak bergerak dalam wakaf

yaitu meliputi:
a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar, dapat juga
diikuti dengan bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atasnya
dan tanaman serta benda lain yang berkaitan dengan tanah.
b. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut prinsip hukum agraria nasional, hanya hak milik yang
memiliki sifat penuh dan bulat (tidak mutlak). Sedangkan hak-hak lainya atas
tanah seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai hanya
mempunyai sifat yang terbatas, dimana hal ini dikarenakan pemegang haknya
itu sendiri terbterikat dengan jangka waktu dan syarat-syarat tertentu.
Berdasarkan prinsip yang telah diuraikan di atas, karena perwakafan
ini bersifat kekal abadi dan selama-lamanya, maka oleh karena itu hak-hak
atas tanah yang bersifat terbatas dalam tenggang dan jangka waktu tertentu
dan terikat dengan syarat tertentu seperti dalam tanah yang berstatus sebagai
tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan maupun hak paki jika ingin


Universitas Sumatera Utara

mewakafkan tanah yang dalam penguasaanya, maka terlebih dahulu haruslah
diajukan permohonan perubahan (konversi). Hal-hal yang menjadi hak milik
setelah hak milik itu dimiliki barulah tanah tersebut bisa diwakafkan. 39
3. Benda bergerak
Benda bergerak dalam wakaf adalah harta benda yang tidak bisa
habis karena dikonsumsi, dimana benda bergerak meliputi:
a. Uang;
b. Logam mulia;
c. Surat berharga;
d. Kendaraan;
e. Hak kekayaan atas intelektual;
f. Hak sewa; serta
g. Benda bergerak lain yang sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Sebagaimana halnya harta benda yang tidak bergerak, harta benda
yang bergerak juga baru dapat diwakafkan jika apabila harta benda tersebut
telah dikuasai dan dimiliki oleh wakif secara sah menurut hukum.


C. Penarikan Kembali Tanah Wakaf
Wakaf sebagai suatu institusi keagamaan, disamping berfungsi sebagai
kegiatan ibadah dan amal jariyah juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai
sebagai ibadah, amalan wakaf ini merupakan amalan shodaqoh yang telah

39

Taufik Hamami, Op.Cit.,29-30

Universitas Sumatera Utara

dilembagakan dan harta benda yang telah diwakafkan tersebut digunakan untuk
amal kebaikan yang terlepas dari hak milik perorangan, dan menjadi milik Allah
SWT. 40
Tanah yang telah diwakafkan pada intinya tidak dapat dilakukan
penarikan kembali atau pembatalan wakaf, dimana hal ini sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
yang menyatakan bahwa wakaf yang telah dilakukan ikrar tidak dapat dibatalkan
atau ditarik kembali. 41Namun pada hal-hal tertentu penarikan kembali tanah
wakaf dapat dilakukan dengan pengecualian apabila dalam pelaksanaan wakaf
tidak sesuai dengan tata cara perwakafan dan tidak memenuhi dari salah satu
unsur-unsur dan syarat wakaf yang telah tercantum dalam peraturan perundangundangan perwkafan yang berlaku, karena pelaksanaan wakaf yang demikian
adalah batal demi hukum. 42
Kasus penarikan kembali harta wakaf pernah terjadi di Indonesia, yaitu
pada kasus Nomor 987/Pdt.G/2003/PA.Smg., dimana para ahli waris dalam hal
ini adalah penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Semarang,
dengan gugatan para ahli waris meminta Pengadilan Agama semarang untuk
melaksanakan penarikan kembali tanah wakaf, yang pada akhirnya majelis hakim
memutuskan mengabulkan gugatan para penggugat. Dalam putusannya majelis
hakim mempertimbangkan bahwa dalam pelaksanaannya perwakafan yang
dilakukan tidak memenuhi syarat sahnya perwakafan. Diantaranya jika ditinjau
dari sudut pandang Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 bahwasannya
40

Abdul Ghofur Anshari, Op.Cit.,hlm. 78
Riza Resitasari, Op.Cit.,hlm.83
42
Ibid.,hlm.83

41

Universitas Sumatera Utara

pelaksanaan wakaf tidak memenuhi diantarannya adalah tidak dilaksanakannya
ikrar wakaf dan harta wakaf masih berstatus sengketa para ahli waris dan
merupakan harta bersama wakif dengan istri pertama dan istri kedua yang belum
dibagi waris. 43
Berangkat dari kasus yang telah diuraikan di atas maka dapat dikatakan
bahwa majelis hakim dalam menjatuhkan putusannya telah mengenyampingkan
ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yang
melarang dilakukannya penarikan kembali terhadap harta benda wakaf, namun
pengenyampingan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Wakaf tersebut, majelis
hakim memiliki alasan yang kuat serta pertimbangan yang matang, karena proses
perwakafan yang dilakukan oleh wakif tidak memenuhi salah satu syarat sahnya
perwakafan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang
Wakaf yaitu karena tidak dilakukannya ikrar wakaf antara pihak wakif dengan
nadzir, sehingga hal ini mengakibatkan perbuatan wakaf yang dilakukan menjadi
cacat secara hukum atau perbuatan wakaf yang dilakukan tidak sempurna
sehingga mengakibatkan perbuatan wakaf menjadi batal demi hukum, selain itu
hakim Pengadilan Agama Semarang juga mempertimbangkan bahwa tanah yang
merupakan objek wakaf terbukti merupakan harta bersama dari wakif dengan
isteri pertama dan isteri kedua yang belum pernah dibagikan kepada ahli waris
mereka dan harta tersebut masih dalam sengketa antar ahli waris, dimana
sebagaimana ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa pasangan
yang hidup lebih lama (duda/janda) berhak mendapatkan seperdua dari harta

43

Ibid.,hlm.84

Universitas Sumatera Utara

bersama, sehingga majelis hakim menetapkan setengah dari harta bersama adalah
harta wakif yang belum dibagi ahli waris. 44

D. Pengelolahan dan Pengurusan Harta Wakaf
Pengelolahan dan pengurusan harta benda wakaf, di Indonesia sendiri
secara profesional menjadi tugas dan kewenangan dari pada Badan Wakaf
Indonesia (BWI). BWI sendiri sebagai suatu lembaga yang berwenang untuk
mengurusi dan mengkoordinasi seluruh harta benda wakaf secara nasional,
diberikan tugas mengembangkan dan wakaf secara produktif dengan membinan
Nazhir wakaf (pengelolah wakaf) secara nasional, sehingga dengan begitu wakaf
dapat berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.45
Ketentuan Pasal 47 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia bersifat independent,
dan

pemerintah

sebagai

fasilisator.

Tugas

utama

badan

ini

adalah

memberdayakan wakaf melalui fungsi pembinaan baik terhadap wakaf benda
bergerak maupun wakaf benda tidak bergerak yang ada di Indonesia sehingga
dapat memberdayakan ekonomi umat.
Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
menyatakan bahwa adapun yang menjadi tugas dari pada Badan Wakaf Indonesia
itu sendiri adalah:
2. Melakukan

pembinaan

terhadap

Nazhir

dalam

mengelolah

dan

mengembangkan harta wakaf;
44

Ibid.,hlm. 86-88
Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif (Sebuah
Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat), Mitra Abadi Press, Jakarta, 2006, hlm.79
45

Universitas Sumatera Utara

3. Melakukan pengelolahan dan pengembangan harta wakaf bersekala nasional
dan internasional;
4. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan dan peruntukan status
harta benda wakaf;
5. Memberhentikan dan mengganti Nadzhir;
6. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf; serta
7. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan.
Disamping memiliki tugas-tugas konstitusional, Badan Wakaf Indonesia
juga harus menggarap wilayah tugas: 46
1. Merumuskan kembali fikh wakaf baru diIndonesia, agar wakaf dapat dikelola
lebih praktis, fleksibel dan modern tanpa kehilangan wataknya sebagai
lembaga Islam yang kekal;
2. Membuat kebijakan dan merencanakan strategi pengelolaan wakaf produktif,
mensosialisasikan bolehnya wakaf benda-benda bergerak dan sertifikat tunai
kepada masyarakat;
3. Menyusun dan mengusulan kepada pemerintah regulasi bidang wakaf kepada
pemerintah.
Agar pengelolaan wakaf dapat berjalan dengan optimal maka dalam
ketentuan Pasal 42 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
wakaf, disebutkan bahwa adapun yang menjadi syarat-syarat dalam pengelolaan
wakaf yaitu:
46

Departemen Agama, Pedoman Pengelolahan dan Pengembangan Wakaf, Depag RI,
Jakarta, 2006, hlm. 105-106.

Universitas Sumatera Utara

a.

Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai
dengantujuan, fungsi, dan peruntukannya.

b. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
c.

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud
pada Pasal 42 Ayat 1 dilakukan secara produktif.

d. Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud
pada Pasal 42 Ayat 1 diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga
penjamin syariah.
e.

Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang
melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin
tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.

Universitas Sumatera Utara