Pengaruh Kortikosteroid Intranasal (Fluticasone Furoate) Terhadap Ekspresi Matriks Metalloproteinase-9 Pada Polip Hidung Di RSUPH Adam Malik Medan

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Polip Hidung

2.1.1 Definisi
Polip hidung adalah penyakit peradangan kronis dari mukosa sinonasal
ditandai dengan edema, jaringan fibrosa, vaskularisasi, sel-sel inflamasi
dan sel-sel kelenjar dengan infiltrasi sel inflamasi, remodeling jaringan
yang mencakup akumulasi dan fibrosis matriks ekstraselular (Lee et al
2003; Kahveci et al 2008).
2.1.2 Epidemiologi
Tingkat prevalensi polip hidung adalah sekitar 2% pada seluruh
populasi. Meningkat dengan bertambahnya usia, mencapai puncaknya
pada usia 50 tahun keatas. Perbandingan laki-laki : perempuan sekitar
2:1. Polip hidung kejadiannya tinggi pada kelompok pasien yang memiliki
penyakit saluran napas yang spesifik. Tingkat kekambuhan polip

tergantung pada jenis penyakit (Mygind & Lund 2008).
Prevalensi polip hidung di Amerika Serikat dan Eropa sekitar 2,1-4,3%
(Storms,Yawn & Fromer 2007). Di Finlandia, prevalensi polip hidung
sekitar 4,3% (Bachert, Watelet, Gevaert &

Cauwenberge 2005).

Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih
dominan 2,2:1. Dari seluruh orang dewasa di Thailand sekitar 1-4%
(Akerlund, Melen, Holmberg & Bende 2003). Di Indonesia, Sardjono
Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip hidung sebesar
4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS. Dr. Soetomo
Surabaya. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai
Februari 2005 kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria
(65%) dan 9 wanita (35%) (Munir 2008). Selama periode Januari sampai
Desember 2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 43 orang yang
terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 wanita (48,8%) (Dewi, 2011). Sembiring
4

Universitas Sumatera Utara


5

(2014) melaporkan, didapatkan 29 orang penderita polip hidung

yang

belum mendapat intervensi apapun, terdiri dari 19 pria dan 10 wanita.
2.1.3 Histopatologi
Secara histologi, polip terdiri dari stroma fibromyxomatous yang ditutupi
oleh epitel pernapasan khas dengan metaplasia sel skuamosa jinak.
Ujung saraf sangat sedikit pada epitel dan kelenjar submukosa, dan terjadi
penebalan membran basal. Dibandingkan dengan mukosa dinding lateral
hidung yang berdekatan, dijumpai eosinofil dan sel mast yang banyak
pada polip inflamasi (Schlosser & Woodworth 2009).
Polip hidung dengan massa seperti anggur terdiri dari epitel respiratori
dengan

variasi penebalan membran basal, terbungkus, dan dilapisi


stroma yang membedakannya dari submukosa sinus normal. Stroma yang
melapisi polip hidung terbagi pada 3 subtipe : (a) edematous, eosinofilik,
(b) fibroinflamasi, dan (c) glandular. Dari semua subtipe diatas polip
edematous eosinofilik merupakan yang paling sering, sekitar 85%
spesiment polip (Ryan 2014).
Menurut Hellquist terdapat 4 tipe histopatologi polip hidung, yaitu
Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory
Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Polyp with Hyperplasia of Seromucinous
Glands, dan Polyp with Stromal Atypia.
Inflamasi infiltrat seluler

pada polip hidung

terdiri dari eosinofil,

limfosit, sel plasma, dan sel mast yang serupa dengan yang diamati pada
mukosa bronkus penderita asma, menunjukkan bahwa mekanisme
inflamasi dari dua penyakit tersebut mirip (Lee et al 2003).
2.1.4 Patogenesis polip hidung
Mekanisme dibalik pembentukan polip merupakan multifaktorial. Bukti

terbaru menunjukkan peran penting sitokin proinflamasi, kemokin, dan
faktor chemotactic dalam patogenesis inflamasi polip, bersamaan dengan
berbagai faktor lingkungan, faktor genetik, dan faktor biokimia (Schlosser
& Woodworth 2009).

Universitas Sumatera Utara

6

Polip hidung dianggap sebagai subkelompok rinosinusitis kronis.
Mukosa sinus pada polip hidung ditandai dengan edema stroma, infiltrasi
sel-sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma, perubahan epitel
di atasnya dan dalam beberapa kasus, terjadi hiperplasia kelenjar
submukosa seromucous. Faktor-faktor yang mengarah pada aspek
morfologi polip hidung, seperti infiltrasi dengan sel-sel inflamasi,
perubahan epitel pernapasan dan komponen ekstraseluler, masih belum
bisa dipastikan. Peningkatan beberapa sitokin dan kemokin telah
terdeteksi dalam sinusitis kronis dan polip hidung. Sampai saat ini
hubungan antara sitokin tinggi dan tingkat kemokin serta perkembangan
edema dan perubahan dari matriks ekstraseluler masih dalam perdebatan.

Kemungkinan faktor permeabilitas pembuluh darah merupakan faktor
pertumbuhan endotel vaskular yang disekresikan oleh sel-sel mast dan
deposisi mediator beracun, seperti protein kationik eosinofil dan protein
dasar utama, oleh degranulasi eosinofil aktif yang merusak epitel.
Proses pembentukan polip hidung dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya :
Tempat terbentuknya polip
Epitel permukaan yang dipengaruhi oleh tipe epitel, defek pada
epitel, dan adanya proses inflamasi
Inervasi saraf
Sel sel goblet
Kelenjar submukosa
Pembuluh darah, exudasi plasma dan edema
Inflamasi, polip hidung merupakan bentuk akhir dari inflamasi pada
saluran nafas atas (Mygind & Lund 2008).
2.1.5 Inflamasi pada polip hidung
Munculnya polip hidung merupakan manifestasi klinis dari proses
inflamasi yang ditandai dengan adanya edema stroma dan adanya infiltrat
seluler. Sejumlah mediator inflamasi, growth factors dan molekul molekul
adhesi telah ditemukan terdapat dalam polip hidung.


Universitas Sumatera Utara

7

Menurut Bernstein polip hidung terbentuk melalui 4 stadium :
Fase I : Iritasi mukosa
Terdapat semakin banyak bukti yang menunjukkan epitel saluran nafas
sebagai penghalang fisik untuk mencegah masuknya partikel berbahaya
ke submukosa, epitel tersebut berperan penting sebagai "metabolik aktif"
penghalang fisik-kimia. Setelah iritasi oleh rangsangan berbahaya,
kemungkinan terjadi peningkatan jumlah:
1. Inflamatori eicosanoids, yang berfungsi sebagai aktivator sel dan
chemoattractants.
2.

Proinflammatory

cytokines,


memiliki

efek

yang

besar

pada

pertumbuhan, differensiasi, migrasi, dan aktivasi sel sel inflamatori
3. Molekul adhesi sel spesifik, yang berperan penting pada pengambilan
sel sel inflamasi.
4. Major histocompatibility complex (MHC) class II antigens, yang
berperan penting terhadap presentasi antigen dan aktivasi sel T.
Stimulasi sel epitel oleh berbagai agen dapat menyebabkan degenerasi
sitokin yang berbeda dan aktivasi inflamasi sel tertentu. Perkembangan
awal dari polip hidung di dinding lateral hidung kemungkinan merupakan
hasil dari stimulasi epitel oleh perubahan aerodinamis; sehingga terjadi
iritasi metabolik atau secara fisik mengubah dan merusak epitel

permukaan.
Fase II : Tumour necrosis factor-α (TNF−α) dan interleukin-1β (IL−1β).
Dua sitokin tersebut sering ditemukan meningkat pada epitel mukosa
hidung saat terjadinya iritasi. Sitokin tersebut menyebabkan peningkatan
regulasi ekspresi dari molekul adhesi endotel yang terdapat pada reaksi
inflamatori, terutama endothelial adhesion molecule (ICAM-1) dan
vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1).
Fase III : Eosinofil
Potensi terjadinya kerusakan pada epitel berhubungan dengan mediator
inflamasi dari eosinofil, umumnya major basic protein (MBP). Eosinophil

Universitas Sumatera Utara

8

cationic protein diketahui menstimulasi sekresi mukus saluran nafas,
sedangkan MBP eosinofil menghambat sekresi mukus saluran nafas.
Fase IV : Disregulasi transport cairan dan elektrolit. Sodium channels and
cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR) alteration.
Terdapat cairan ekstraseluler dalam jumlah yang banyak pada polip

diduga akibat disregulasi dari transport cairan dan elektrolit. Hal ini dapat
diketahui karena adanya beberapa mediator inflamasi. Pada umumnya,
histamin diketahui dapat meningkatkan permebilitas vaskular. Vascular
endothelial growth factor adalah mediator yang kuat baik pada
angiogenesis maupun permeabilitas vaskular. Protein tersebut meningkat
pada polip hidung dibandingkan dengan mukosa hidung.
Epithelial alterations in nasal polyps
Bersamaan dengan inflamasi, edema ekstraselular dan terdapatnya
mediator inflamasi, perubahan morfologi seperti hiperplasia sekretori dan
metaplasia squamosa sering ditemukan pada permukaan polip hidung.
Temuan ini diduga merupakan modifikasi dari diferensiasi dan proliferasi
epitel normal pada polip hidung (Chi & Annette 2005).

Universitas Sumatera Utara

9

Tabel 2. 1. Components of Nasal Polyps.
Albumin and others plasma protein


Histamine

IL-1β, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8

Interferon-

Granulocyte-macrophage colony-stimulating RANTES
factor
Basic fibroblast growth factor

EOTAXIN

Vascular endothelial growth factor

p-selectin

Granulocyte-macrophage colony-stimulating e-selectin
factor
Transforming growth factor α-1 and -1


MMP-7, MMP-9

Keratinocyte derived growth factor

CD 4+, CD 8+

Intercellular adhesion molecule-1

Macrofag

Vascular cell adhesion molecule-1

Mast cell

Tumor necrosis factor α

Sumber: Bachert,Watelet,Gevaert,Cauwenberge (2005); Shun et al
(2005); Bateman,Fahy,Woolford (2002).

Universitas Sumatera Utara

10

2.1.6 Matriks metalloproteinase
Matriks metalloproteinase (MMPs) adalah famili dari zinc dan calciumdependent endopeptidases yang memainkan peran kunci terhadap
degradasi matriks ekstraselular (ECM). MMPs mampu menghancurkan
semua konstituen matriks ekstra seluler termasuk kolagen, elastin,
proteoglican, laminin dan fibrocintin. Matriks metalloproteinase dan
Tissue Inhibitor Metalloproteinase (TIMPs) diproduksi oleh berbagai sel
stroma, makrofag, netrofil, monosit, limfosit, granulosit, platelet darah,
fibroblast, keratinosit, myosit, neuron, astosit, sel endotelial dan hepatosit
serta sel sel neoplastik. MMPs penting dalam proses remodeling normal.
Aktivasi dan overekspresi MMPs atau ketidakseimbangan MMPs dan
Tissue Inhibitor Metalloproteinase (TIMPs), berkaitan dengan sejumlah
penyakit tertentu yang terkait dengan kerusakan dan remodelling matriks
ekstraseluler, seperti rheumatoid arthritis, penyakit periodontal, invasi
tumor dan metastasis, dan proses pada pembuluh darah seperti
aterosklerosis, angiogenesis dan aneurisma (De, Fenton & Jones 2005;
Kuzminsky, Przybyszewski, Graczyk & Bartuzi 2012).

Gambar 2. 1 Struktur MMPs
Terdapat sekitar 26 MMPs, yang dikelompokkan menurut spesifisitas
substratnya. Struktur MMP secara garis besar terdiri dari : 1) sinyal
peptida yang mengarahkan MMP untuk mensekresi atau jalur insersi
membran plasma; 2) prodomain; 3) katalitik domain berikatan dan domain
hemopexin (De, Fenton & Jones 2005 ; Cao & Zucker, 2007).

Universitas Sumatera Utara

11

Secara kolektif, semua famili MMP dapat mendegradasi semua
komponen matriks ekstraseluler dan membran basalis epitel. MMPs dan
TIMPs berperan terhadap perkembangan otitis media akut dan kronis,
poliposis hidung dan penyakit Sjogren kelenjar ludah (De, Fenton & Jones
2005).
Metalloproteinases dibagi menjadi :
1. Matrilysins (endometalloproteinases)
Grup ini termasuk MMP-1 dan MMP-7. MMP-1 dan MMP-7 dicirikan
dengan kurangnya domain hemopeksin. Substrat dari MMP-1 dan MMP- 7
berupa makromolekul ECM, serta molekul

yang diekspresikan pada

permukaan seluler seperti Fas-ligan, pro-TNF, dan E-cadherin. Akibatnya,
mereka dapat berpartisipasi dalam apoptosis sel.
2. Collagenases (MMP-1, MMP-8, MMP-13)
Molekul molekul ini terdiri dari domain hemopexin yang berhubungan
dengan domain katalitik melalui regio hinge. Substrat dari enzim enzim ini
termasuk kolagen tipe I, II, III, V, dan IX.
3. Stromelysins
Grup ini termasuk 2 enzim : MMP-3 dan MMP-10. Mereka memainkan
peran yang sama tetapi berbeda dalam aktivitas proteolitik. Fungsi
utamanya termasuk hidrolisis komponen ECM dan aktivasi bentuk MMPs
yang tidak aktif.
4. Gelatinases (MMP-2 dan MMP-9)
Mereka ditandai dengan afinitas yang tinggi terhadap kolagen dan
gelatin. Disamping itu, MMP-2 menghidrolisis peptide bonds pada kolagen
tipe I, II, dan III. Diantara semua MMPs, mereka memainkan peran yang
paling signifikan dalam reaksi alergi.
5. Membran MMPs, terbagi kedalam dua grup :
– tipe membrane proteins. Grup ini termasuk MMP-14, MMP-15, MMP-16,
dan MMP-24;


GPI-anchored proteins – MMP-17 dan MMP-25 (Kuźmiński,

Przybyszewski, Graczyk & Bartuzi 2012).

Universitas Sumatera Utara

12

Matriks Metalloproteinase berperan pada beberapa proses patologi yang
kompleks, antara lain :
Destruksi jaringan, misalnya pada invasi dan metastasis kanker,
reumatoid artritis, osteoartritis, ulkus dekubitus, ulser gastrikus,
ulserasi kornea, penyakit periodontal, kerusakan otak dan penyakit
neuroinflamasi.
Fibrosis, misalnya pada sirosis hepatis, fibrosis paru, otosklerosis,
aterosklerosis, dan multipel sklerosis.
Kelemahan

matriks,

misalnya

pada

kardiomiopati

dilatasi,

epidermolisis bulosa, aneurisma aorta, dan restenotic lesions
(Amalinei et al 2010).
2.1.7 Peranan MMP pada degradasi matriks ekstra seluler
Matrik

ekstraseluler

merupakan

makromolekul

komplek

seperti

kolagen, polisakarida, dan glikoprotein. Matrik ekstraseluler berperan
dalam proses pertumbuhan dan migrasi sel, pemeliharaan bentuk sel dan
hubungan antar sel. Matrik disintesa oleh fibroblas dan sebagian besar
terdiri dari glikosaminoglikan, kolagen, fibronektin, dan laminin yang
berfungsi sebagai penunjang dan menjaga stabilitas jaringan. Pada
kondisi fisiologis, matrik ekstraseluler diperbaharui secara terus menerus.
Keseimbangan dinamis antara formasi dan degradasi molekul matrik
ekstraseluler memungkinkan perkembangan, remodeling, dan perbaikan
jaringan secara normal. MMP-9 dapat mendegradasi hampir semua
komponen matriks ekstraseluler. Matriks ekstraseluler terdiri dari membran
basal dan matriks interstisial dan merupakan struktur yang kompleks yang
mengelilingi dan mendukung sel-sel mukosa, dan memainkan peran
penting dalam perubahan fisiologis sel-sel ini. Keseimbangan antara
sintesis

dan

homeostasis.

penghancuran
Onset

dan

matriks

remodeling

ekstraseluler
matriks

penting

ekstraseluler

bagi
harus

dikendalikan. Proteolisis tidak terkendali dan kehancuran komponen ini
merupakan bagian dari proses patologis. MMPs adalah kelompok enzim
utama yang mengatur integritas matriks (Kahveci et al 2008).

Universitas Sumatera Utara

13

Pada reaksi inflamasi, termasuk inflamasi alergi, struktur yang ketat
dari matrik ekstraseluler menjadi longgar karena aktifitas enzim spesifik
jaringan seperti matrik metalloproteinases. Akibatnya, berbagai sel dapat
menyusup ke tempat peradangan yang sedang berlangsung, sehingga
memungkinkan pemeliharaan dan modifikasi. Meskipun degradasi pasif
protein matrik ekstraseluler dan fasilitas perpindahan sel mewakili fungsi
utama dari MMPs, molekul molekul ini juga dapat merupakan modulator
aktif reaksi inflamasi, melepaskan faktor pertumbuhan, sitokin, dan
reseptor mereka antar ruangan. Selain itu, MMPs dapat terlibat langsung
dalam pembentukan reseptor baru pada permukaan sel, serta seperti
dalam proses imunologi melalui interaksi langsung dengan molekul yang
berada pada membran sel. Pada kondisi fisiologis, MMPs mengontrol dan
mengatur proses perkembangan seperti angiogenesis, embriogenesis,
dan remodeling jaringan. Selain itu, MMPs mempertahankan homeostasis
tubuh dan memainkan peran penting dalam proses penyembuhan
(Kuźmiński, Przybyszewski, Graczyk & Bartuzi 2012).
Beberapa

MMPs

diketahui

berperan

dalam

degradasi

matriks

ekstraseluler dan aktivasi cytokines. MMP - 9 ( 92 - kDa kolagenase IV )
disekresikan dari berbagai sel termasuk fibroblas, limfosit, sel-sel endotel,
neutrofil, dan makrofag. Ekspresi MMPs diatur di berbagai tingkatan;
seperti transkripsi gen, aktivasi proenzim, dan interaksi dengan inhibitor
jaringan

dari

metaloproteinase.

Matrix

metalloproteinases

(MMPs)

diketahui memainkan peranan penting dalam invasi terhadap mukosa
hidung dengan sel sel inflamasi melalui degradasi matrik ekstraseluler
(Erbek & Erkan 2008; Bugdayci, Kaymakci & Bukan 2008).
2.1.8 Matriks Metalloproteinase-9 pada polip hidung
Dari keseluruhan jenis MMP yang pernah ditemukan sampai sekarang
ini, jenis gelatinase MMP-2 dan MMP-9 merupakan enzim utama untuk
mendegradasi kolagen type IV, V, VII, X, XI dan XIV, gelatin, elastin,
proteoglycan core protein, myelin basic protein, fibronektin, dan fibrilin -1
dan prekursor TNF-α dan IL- 1b dan mampu memecah kolagen tipe I,

Universitas Sumatera Utara

14

komponen utama yang membentuk struktur molekul stroma (Amalinei,
Caruntu & Balan 2007; Chen, Langhammer, Westhofen & Lorenzen
2007).
Pada polip hidung, perubahan jaringan yang mencakup akumulasi dan
fibrosis matriks ekstraselular (ECM). Inflamasi infiltrat seluler pada polip
hidung telah terbukti terdiri dari eosinofil, limfosit, sel plasma, dan sel mast
ke tingkat yang mirip dengan yang diamati pada mukosa bronkus
penderita

asma.

Matriks

metalloproteinase

(MMPs)

tampaknya

bertanggung jawab untuk edema dan transmigrasi sel, dan perubahan
matriks ekstra seluler dalam saluran nafas

penderita asma. Aktivasi

MMPs dihambat oleh inhibitor dari metalloproteinase (TIMPs) yang
membentuk kompleks 1:1 dengan MMP. Kehilangan koordinasi antara
MMPs dan TIMPs diyakini menghasilkan degradasi jaringan. Eosinofil
merupakan sumber utama MMPs; MMP-9 meningkat dengan akumulasi
eosinofil pada saluran nafas pasien asma (Lee et al 2003).
Kebanyakan polip hidung, pada lamina propria tampak eosinofil dan
limfosit dengan jumlah yang banyak. Inflamasi menyebabkan polip hidung
dimediasi oleh neuropeptida, sitokin, dan growth faktor yang dihasilkan
oleh sel sel tersebut. Gambaran umum berupa proses patologis yang
berbeda, edema dan peningkatan sel-sel inflamasi di submukosa.
Beberapa MMPs diketahui berperan dalam degradasi matrik ekstraselular
dan aktivasi sitokin. MMP-9 (92-kDa kolagenase IV) disekresikan dari
berbagai sel termasuk fibroblas, limfosit, sel endotel, neutrofil, dan
makrofag. Secara khusus kolagen tipe IV memotong komponen struktural
utama dari membran basal. MMP-9 memainkan peran penting dalam
berbagai penyakit Otolaryngologi (De, Fenton & Jones 2005 ; Kahveci et
al 2008).
Pada polip hidung, MMP-9 dapat meningkatkan permeabilitas vaskular
dengan

degradasi

berbagai

komponen

lamina

basal

sehingga

menyebabkan edema saluran pernafasan dan perpindahan sel sel radang.
MMP-9 dapat juga memfasilitasi perpindahan sel epitelial dan sel

Universitas Sumatera Utara

15

endotelial yang terjadi selama pertumbuhan polip (Bugdayci, Kaymakci &
Bukan 2008).
2.1.9 Diagnosis
Penderita polip hidung akan mengeluhkan hidung tersumbat dari yang
ringan sampai berat, tergantung ukuran polip. Adanya polip hidung juga
akan mempengaruhi resonansi suara. Penderita juga akan mengeluhkan
rinore mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips. Terdapat
keluhan hiposmia atau anosmia, rasa nyeri pada hidung disertai sakit
kepala (Lund 1995). Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior
didapatkan massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius
dan mudah digerakkan. Adanya fasilitas naso-endoskopi akan sangat
membantu diagnosis kasus polip yang baru. Pemeriksaan CT scan
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosa, jika ada komplikasi sinusitis dan pada perencanaan
tindakan bedah terutama bedah endoskopi (Mangunkusumo & Wardhani
2007).
2.1.10 Stadium polip
Tabel 2. 2 Stadium polip menurut Mackay and Lund, 1995.
Kondisi Polip

Stadium

Tidak ada polip

0

Polip terbatas pada meatus media

1

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum 2
memenuhi rongga hidung
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung)

3

Sumber: Assanasen and Naclerio (2001).
Untuk menilai polip hidung peneliti menggunakan naso-endoskopi dan
menentukan stadium berdasarkan stadium polip menurut Mackay & Lund
1995.

Universitas Sumatera Utara

16

2.1.11 Penatalaksanaan polip hidung
Tujuan terapi pada polip hidung adalah untuk menyingkirkan polip
ataupun mengurangi ukuran polip, membuka jalan nafas, meningkatkan
dan memperbaiki sensasi penciuman,

mengurangi rekurensi setelah

operasi, serta untuk meningkatkan kualitas hidup. Penatalaksanaan polip
hidung berfokus pada pendekatan dengan obat obatan, dengan pilihan
utamanya berupa kortikosteroid oral dan intranasal, pembedahan
dilakukan pada pasien yang tidak berespon terhadap obat obatan
(Bachert 2011).
Kortikosteroid dapat menekan fase fase pada proses inflamasi. Hal
inilah yang menjelaskan bagaimana kortikosteroid mempunyai efek yang
sangat kuat terhadap inflamasi. Kortikosteroid menghambat pelepasan
mediator vasoaktif sehingga mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan
dan deposit mediator. Kortikosteroid mengurangi amplifikasi reaksi
inflamasi dengan mengurangi rekruitmen sel-sel inflamasi dan juga
menghambat proliferasi fibroblast dan sintesa matrix protein ekstraselular.
Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya sitokin dan sel-sel inflamasi
(Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005).

Universitas Sumatera Utara

17

Gambar 2. 2 Algoritma penatalaksanaan polip hidung & sinus paranasal.
2.2

Kortikosteroid
Efek yang bervariasi dari kortikosteroid sebagai anti inflamasi pada

polip hidung berfungsi untuk mengurangi infiltrasi dan aktivasi eosinofil
serta mengurangi sekresi dari sitokin kemotaktik oleh mukosa dan sel sel
epitel polip. Penelitian histologi mengemukakan terjadi penurunan protein
kationik eosinofil dan konsentrasi albumin secara signifikan seperti reduksi
kadar eotaxin dan fibronektin, pada jaringan homogenasi dari pasien polip
hidung

yang

diterapi

dengan

kortikosteroid

oral.

Dengan

Universitas Sumatera Utara

18

mempertimbangkan inflamasi yang didominasi oleh eosinofil. Pada
patofisiologi polip hidung dan efek inhibisi dari kortikosteroid pada
inflamasi tersebut, kortikosteroid menjadi terapi andalan pada polip hidung
(Bachert 2011).
2.2.1

Kortikosteroid topikal dan sistemik

Polip hidung merupakan peradangan eosinofilik

dengan perubahan

jaringan berturut-turut, kortikosteroid topikal dan sistemik merupakan
pilihan pertama untuk pengobatan. Penggunaan kortikosteroid sistemik
mempengaruhi semua jaringan polip dalam hidung dan sinus paranasal,
tetapi mempunyai efek samping sistemik, bila digunakan dalam jangka
waktu lama. Penggunaan

kortikosteroid topikal efek samping lebih

minimal. Tapi tidak berdampak terhadap polip dalam sinus. Kortikosteroid
lipofilik mudah masuk kedalam sitoplasma sel target sehingga mengikat
satu reseptor glukokortikoid. Kortikosteroid yang menghasilkan efek pada
sel-sel inflamasi dengan meningkatkan atau sebagai inhibisi. Transkripsi
gen melalui proses yang dikenal sebagai transaktivasi dan transrekspresi,
masing-masing transaktivasi dimediasi oleh pengikatan reseptor hormon
glukokortikoid -diaktifkan DNA Urutan disebut elemen glukokortikoid
dengan respon kortikosteroid dapat menekan banyak tahapan (Badia &
Lund 2001).
2.2.2 Kortikosteroid intranasal
Beberapa penelitian menyebutkan kortikosteroid intranasal merupakan
pengobatan terbaik untuk polip hidung. Namun, kortikosteroid intranasal
saja tidak menyelesaikan semua masalah pasien yang menderita polip
hidung. Hal ini mungkin karena pada beberapa pasien yang tidak
responsif terhadap kortikosteroid seperti yang terjadi pada cystic fibrosis,
silia primer tardive dan penyakit lainnya yang ditandai dengan dominasi
infiltrasi neutrophil daripada eosinophil ( Badia & Lund 2001).
Kortikosteroid topikal mengurangi jumlah eosinofil total dalam jaringan
polip. Kortikosteroid dapat menghambat masuknya sel-sel ini dengan

Universitas Sumatera Utara

19

menekan

produksi

terhadap

aktivasi

regulasi.

Penelitian

terbaru

menunjukkan bahwa apoptosis (kematian sel) pada sel inflamasi adalah
faktor penting dalam resolusi peradangan, dan apoptosis diinduksi di
eosinofil dalam kultur sel dengan kortikosteroid ( Badia & Lund 2001).
Kortikosteroid intranasal merupakan terapi lini pertama untuk polip
hidung dan pengobatan setelah operasi, berdasarkan guideline EP3OS.
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa kortikosteroid merupakan
terapi yang efektif untuk polip hidung (Anolik 2010). Tiga jenis
kortikosteroid yang telah diteliti dengan penelitian yang adekuat dan telah
dipublikasikan yaitu : Fluticasone , budesonide dan mometasone furoate.
Guideline EPOS merekomendasikan kortikosteroid intranasal sebagai
terapi lini pertama untuk penyakit sedang sampai berat. Kortikosteroid oral
jangka pendek direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada terapi
intranasal hanya pada pasien pasien dengan penyakit yang berat, dan
prosesnya harus dievaluasi oleh dokter spesialis setelah 1 bulan
mendapatkan terapi (Bachert 2011).
2.2.3 Fluticasone furoate
Fluticasone furoate adalah kortikosteroid fluorinated sintetik dengan
efek

anti

inflamasi

yang

reaksinya

meningkat

dengan

reseptor

glucocorticoid intraseluler. Fluticasone furoate memiliki afinitas reseptor
relatif lebih besar untuk reseptor glukokortikoid

manusia daripada

kortikosteroid yang lain termasuk dexamethasone, mometasone furoate,
fluticasone propionate, ciclesonide active principle, dan budesonide. Cara
kerja fluticasone furoate pada rinitis alergi belum diketahui secara pasti
tapi diperkirakan muncul dari satu atau lebih dari efek anti-inflamasi yang
luas yang terbagi dengan kortikosteroid lain, yang berkerja pada banyak
sel sel anti inflamasi (misalnya, mast cells, eosinophils, neutrophils,
macrophages,

lymphocytes)

dan

mempengaruhi

banyak

mediator

inflamasi (misalnya, histamine, eicosanoids, leukotrienes, cytokines)
(Anolik 2010).

Universitas Sumatera Utara

20

Fluticasone

furoate

semprot

hidung

merupakan

suspensi

cair

fluticasone furoate micronized yang disemprotkan ke mukosa hidung.
Dialirkan pada sisi aktuasi dengan semprotan pendek untuk menjaga
aliran obat dan meminimalisasi variabilitas dosis. Aliran semprotan selalu
tetap jumlahnya, yang dibuat supaya mudah digunakan. Setiap aktuasi
semprotan mengalirkan

27.5 μg fluticasone furoate dalam 50 μL dari

suspensi (0.015% w/w benzalkonium chloride, dextrose anhydrous,
edetate

disodium,

microcrystalline

cellulose,

carboxymethylcellulose

sodium, polysorbate 80, dan purified water). Fluticasone furoate
mempunyai volume aplikasi terendah per spray dibandingkan beberapa
kortikosteroid cair lainnya termasuk budesonide, triamcinolone acetonide,
fluticasone propionate, and mometasone furoate (Anolik 2010).

Gambar 2. 3 Struktur kimia fluticasone furoate: (6α, 11β, 16α, 17α)-6,9difluoro-17-{[(fluoro-methyl)thio]carbonyl}-11-hydroxy-16-methyl-3oxoandrosta-1,4-dien-17-yl 2-furancarboxylate.
Fluticasone

furoat

diberikan

sekali

sehari.

Menurut

informasi

peresepan di Amerika Serikat, pada mereka yang berusia 12 tahun atau
lebih, dosis awal direkomendasikan adalah 110 g sekali sehari diberikan
sebagai dua semprotan (27,5 g / semprot) di setiap lubang hidung. Pada
anak-anak berusia 2-11 tahun, dosis awal yang dianjurkan adalah 55 g
sekali sehari diberikan sebagai satu semprotan (27,5 g / semprot) di

Universitas Sumatera Utara

21

setiap lubang hidung, dengan pilihan untuk meningkatkan ke 110 g (dua
semprotan di setiap lubang hidung) sekali sehari dalam hal respon
memadai untuk 55 g sekali sehari. Fluticasone furoat semprot hidung
memiliki eksposur sistemik yang rendah (Anolik 2010).
Fluticasone furoat mengalami metabolisme pertama yang ekstensif
oleh enzim di hati CYP3A4. Paparan sistemik fluticasone furoat (AUC)
setelah inhalasi berulang meningkat hingga 3 kali lipat pada subyek
dengan gangguan hati ringan, sedang dan berat. Dosis yang diberikan
harus diperhatikan pada pasien dengan kerusakan hati karena akan lebih
berisiko.
Fluticasone furoat cepat dibersihkan (Total plasma clearens 58,7 L /
h) dari sirkulasi sistemik terutama metabolisme di hati melalui sitokrom
P450 CYP3A4 isozim. Pasien dengan gangguan fungsi hati dapat
mempengaruhi metabolisme kortikosteroid. Farmakokinetik fluticasone
furoat setelah pemberian intranasal pada subyek dengan gangguan hati
belum dievaluasi. Sebuah studi menyebutkan bahwa dosis tunggal 400
mcg per oral inhalasi fluticasone furoat pada pasien dengan gangguan
hati sedang (Child-Pugh Kelas B) menghasilkan peningkatan Cmax (42%)
dan AUC (0-4) (172%), mengakibatkan sekitar 20% pengurangan tingkat
kortisol serum pada pasien dengan gangguan hati dibandingkan dengan
subyek sehat. Subyek dengan gangguan hati ringan atau sedang dan
subyek kontrol yang sehat (n = 9) menerima flutikason furoat / vilanterol
200/25 mcg sekali sehari selama 7 hari. Sebagai tindakan pencegahan,
subyek dengan gangguan hati berat menerima dosis kombinasi yang lebih
rendah dari fluticasone furoat / vilanterol 100 / 12,5 mcg sekali sehari
selama 7 hari. Dengan dosis ulangan, ada peningkatan paparan sistemik
fluticason furoat (hingga peningkatan 3 kali lipat dalam AUC) pada subyek
dengan gangguan hati ringan, sedang, atau berat dibandingkan dengan
subyek sehat. Pada subyek dengan gangguan hati moderat, kortisol
serum rata-rata (0 ke 24 jam) berkurang sebesar 34% dibandingkan
dengan subyek sehat (Product monograph Avamys, 2015).

Universitas Sumatera Utara

22

2.4 Kerangka konsep

Fluticasone Furoate

Mengurangi
imunoreaktifitas
positif & intensitas
MMP-9 pada matriks
ekstraseluler

Menghalangi sintesis
kolagen (menghalangi
produksi dari
degranulasi matrik
proteinase)

Mengurangi
Inflamasi

Mengurangi
jumlah eosinofil

Normalisasi ekspresi MMP-9

Inflamasi dan remodeling menurun

Polip hidung mengecil

Keterangan gambar :
Kortikosteroid
Kortikosteroid

merupakan

menghasilkan

pilihan
efek

untuk

pertama

pada

sel-sel

pengobatan.

inflamasi

dengan

meningkatkan atau menginhibisi pada transkripsi gen. Kortikosteroid
mengurangi imunoreaktivitas positif dan intensitas MMP-9 pada matriks
ekstraseluler, menghalangi sintesis kolagen, menghasilkan efek pada selsel inflamasi dengan

mengurangi inflamasi. Kortikosteroid topikal

mengurangi jumlah eosinofil total dalam jaringan polip. Kortikosteroid
dapat menghambat masuknya sel-sel ini dengan menekan produksi
terhadap aktivasi regulasi. Hal tersebut menyebabkan normalisasi
ekspresi MMP-9 sehingga inflamasi dan remodeling menurun dan polip
hidung jadi mengecil.

Universitas Sumatera Utara